Вы находитесь на странице: 1из 8

1. Kenapa diperlukan amil zakat?

Di Indonesia sendiri, Lembaga Amil Zakat (LAZ) berbeda dengan Badan Amil Zakat
(BAZ) yang dibentuk oleh negara. LAZ merupakan organisasi yang tumbuh atas dasar
inspirasi masyarakat sehingga pergerakannya lebih cenderung pada usaha swasta atau
swadaya. Yang menjadi pekerjaan amil zakat paling besar di antara usaha-usaha
lainnya adalah penghimpunan dan pendayagunaan zakat. Pendayagunaan merupakan
usaha amil zakat dalam mengelola dan mendistribusikan zakat sehingga selain
mencari cara agar tersalurkannya dana zakat kepada orang-orang yang menjadi
haknya, zakat juga mendapat nilai dan kekuatan lebih tinggi dalam kehidupan umat.
Sementara pengumpulan zakat (marketing) merupakan usaha amil dalam
menghimpun zakat dari para muzaki (yang menunaikan zakat), hal ini menjadi usaha
penting bagi LAZ, selain agar terhimpunnya dana zakat yang besar, juga sebagai tolak
ukur besar kecilnya penghasilan (rotibah) juga pemasukan yang diterima amilin.

Besar-kecilnya dana zakat yang bisa dihimpun tentu bergantung dari kepercayaan
para muzaki dalam menitipkan ibadah zakatnya pada lembaga tersebut. Dan tumbuh-
tidaknya kepercayaan muzaki terhadap lembaga tersebut tentu bergantung pada bagus
tidaknya kinerja, serta sesuai tidaknya penyaluran zakat terhadap para mustahiq-nya
itu, dengan yang disyari’atkan Islam. Maka dari itu permasalahan marketing juga
pendayagunaan zakat dalam Lembaga Amil Zakat, kedua-duanya tidak bisa
dipisahkan. Keduanya memiliki keterikatan sehingga di dalamnya dibutuhkan
penanganan secara serius oleh para amil zakat

Penghimpunan Zakat
Usaha pengumpulan atau penghimpunan zakat, para amilin biasa menyebutnya
dengan istilah marketing zakat. Tidak ada kepastian alasan apa yang melatar
belakangi digunakannya istilah ini untuk peghimpunan zakat. Yang jelas, jika melihat
kedudukan amil zakat di atas, yang menjadi pemasukan bagi organisasi amil zakat
adalah dari penghimpunan zakat sementara nilai jual amil zakat yang disuguhkan
kepada masarakat adalah kinerja juga ketaatan amilin dalam mendistribusikan dan
mendayagunakannya. Dengan kata lain hal yang dijual sehingga mendapatkan
penghasilan, bagi amil zakat, bukanlah produk materil melainkan kinerja atau jasa.
Kegiatan menghimpun zakat, jika kita membaca sejarah Islam, merupakan kegiatan
atau usaha amilin dalam menghimpun zakat dengan menjemput atau mengambil dari
tempat amilin. Selain mengambil zakat, para amilin yang bertugas mengambil zakat
juga mesti mendoakan orang-orang yang mengeluarkan zakat. Dalam hadits riwayat
Mutafaq ‘Alaih, ‘Abdullah Bin Abi ‘Aufa berkata, Rasulallah shallallahu 'alaihi wa
sallam, ketika datang kepadanya salah satu kaum yang membayar zakat, beliau
mendoakannya: “allahumma shalli ‘alaihim” ya Allah berikanlah shalawat
(kesejahteraan) kepada mereka!(Ibn Hajar al-Atsqalany, Ibid., hlm. 124)

Selain itu, para pemungut zakat juga berkewajiban untuk berusaha mengingatkan
umat untuk membayar zakat. Hal ini terjadi seperti yang dilakukan Rasulallah
shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Mu’adz tatkala mengutusnya ke suatu negeri.

Mekanisme dan Pos-pos Pendistribusian Zakat


Bagi lembaga amil zakat, yang menjadi tujuan awal usahanya adalah pengelolaan dan
pendistribusian zakat. Pengelolaan zakat dalam artian mengusahakan agar dana zakat
yang berhasil dihimpunnya bisa disalurkan kepada post-post (ashnaf) yang sesuai
dengan yang dianjurkan dan ditetapkan oleh syari’at Islam. Dalam Lembaga Amil
Zakat, usaha pendistribusian zakat ini terdapat dalam program pendayagunaan zakat.
Pendayagunaan sendiri secara konseptual terdiri dari dua kata yaitu: kata “daya” dan
“guna”. Kata “daya” berarti power, energy, dan capacity. Kata "daya" mengisyaratkan
kekuatan atau tenaga untuk menggerakkan. Sementara daya guna berarti daya kerja
yang mendatangkan hasil yang sebanyak-banyaknya dengan penuh manfaat (using,
efficiency, usefulness). Dengan demikian program pendayagunaan berarti program
yang di dalam pendistribusiannya itu tidak hanya memastikan dana zakat sampai
kepada mustahik, melainkan juga bernilai produktif dan mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. (Ahmad Hasan Ridwan [2008], hlm: 3)

Kondisi ibadah perzakatan yang belum banyak disadari oleh para Muslimin
Indonesia, di samping lebih banyaknya jumlah kemiskinan dibanding yang kaya,
mengakibatkan dana zakat yang terhimpun tidak sebanding dengan kebutuhan atau
jumlah mustahik yang membutuhkan pertologan zakat. Dalam kondisi seperti ini tentu
hal yang mesti diusahakan oleh para amilin adalah mengelola agar sumberdaya yang
penuh keterbatasan itu dapat menghasilkan output yang optimal. Kesadaran dan usaha
seperti ini akan terwujud hanya dengan apabila zakat disalurkan lewat lembaga
sehingga dalam permasalahan inilah penyaluran zakat lewat lembaga akan mendapat
nilai lebih ketimbang menyalurkannya secara langsung oleh muzakki.

Dalam mengusahakan penyaluran zakat, para amilin harus mencocokkan objek yang
hendak dijadikan tempat penyaluran dengan ketentuan-ketentuan mustahik yang telah
ditetapkan oleh syari’at. Mungkin saja ketetapan yang diambil tidak berbentuk
kongkrit seperti yang diterangkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, namun hal itu
diperbolehkan asalkan sejalan dan tidak keluar dari ketetapan mustahik yang telah
ditetapkan Islam. Dalam Al-Qur'an ada delapan ashnaf yang berhak menerima, atau
menjadi tempat disalurkannya, dana zakat. Dalam Al-Qur'an surah at-Taubah: 60
dijelaskan sebagai berikut:

Yang artinya:
“sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, amil zakat,
para muallaf yang sedang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang
yang berutang, orang-orang fi sabilillah, dan yang sedang dalam perjalanan. Sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui dan Maha
bijaksana”

a. Faqir, merupakan orang yang memiliki harta namun kurang dari nishab
(ukuran untuk harta yang wajib dizakati) atau lebih, tetapi tidak cukup untuk
kebutuhan pokoknya sehari-hari.

b. Miskin, yaitu seseorang yang tidak memiliki apapun atau tidak mampu
memenuhi kebutuhan pokok hidupnya sehari-hari. Dalam hadits riwayat bukhari dan
muslim diterangkan bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda: “Tidaklah miskin orang
yang berkeliling meminta-minta segenggam atau dua genggam, sebiji atau dua biji
tamar.” Kemudian para shahabat bertanya, kalau demikian lalu apa miskin itu?
Rasulallah saw. menjawab: “Miskin adalah orang yang tidak dapat mencukupi
dirinya, dan tidak diketahui keadaannya, maka orang bersedekah kepadanya dan dia
tidak meminta-minta kepada orang lain.”(Ibn Katsir [1997), hlm: 385) Dalam
membedakan istilah faqir dan miskin para ulama ada yang mendefinisikan faqir
sebagai orang yang memiliki pekerjaan dan mendapat penghasilan namun belum bisa
mencukupi seluruh kebutuhannya. Sementara miskin adalah orang yang lemah dan
benar-benar tidak memiliki penghasilan. Adapun orang yang masih kuat namun tidak
mau bekerja, meskipun tidak memiliki penghasilan, para ulama sepakat hal itu tidak
boleh dimasukan pada kedua kelompok ini dan tidak layak mendapat zakat.

c. Amil zakat, yaitu orang yang mengusahakan pengelolaan dan penghimpunan


zakat dari orang-orang kaya. Amil zakat harus berasal dari orang Muslim (selain
keluarga dan keturunan Rasulallah). Ibn Hazm mengatakan bahwa amil zakat adalah
para pekerja zakat yang diutus oleh imam yang wajib untuk mentaatinya, yaitu
mereka yang bisa dibenarkan (dipercaya) dan mereka yang menjadi pengumpul
zakat.(Mahmud Aziz Siregar [Op. Cit.], hlm: 77) Meskipun amil dalam taraf
hidupnya termasuk kaya, sebagai bentuk imbalan atas kerjanya, dia tetap berhak
mendapatkan zakat. Rasulallah saw. bersabda:
“Tidak halal harta zakat bagi orang kaya, kecuali karena lima hal: ikut berperang fi
sabilillah, sebagai amil, tenggelam dalam utang, mu’allaf dan yang jatuh miskin”
(H.R. Abu Dawud dan Ahmad)

d. Al-Mu’allafatu qulubuhum (orang yang dibujuk hatinya) yang termasuk ke


dalam kelompok ini, dalam catatan Ibn Katsir, terbagi kepada beberapa macam di
antaranya; jika dia diberi (harta zakat) ia bakalan masuk Islam, jika diberi ia bakalan
lebih bagus keislamannya dan lebih kuat hatinya dalam keimanan, dan jika dengan
diberikannya (harta zakat itu) akan tampak kepadanya kebaikan Islam, dan dari
sebagian mereka, yang jika diberikannya zakat itu, akan menarik perhatian orang
yang berkewajiban zakat. (Ibn Katsir [Op. Cit.], hlm: 385-386)

e. Riqab, adalah membebaskan hamba sahaya (budak) dalam artian, harta zakat
diberikan untuk membebaskan seseorang dari status budak dari tuannya. Dalam hal
ini terlihat bagaimana usaha Islam menghilangkan adanya perbudakan di dunia ini.

f. Al-Gharimun, yaitu orang yang berutang dan tidak sanggup untuk


melunasinya.
g. Fi sabilillah, yaitu orang yang pergi ke medan perang untuk menegakkan
agama Allah SWT. Meskipun termasuk kaya, mereka tetap berhak menadapatkan
harta zakat. Bagi sebagian ulama ada yang mepertimbangkan para mujahid ini mesti
mendapat harta zakat karena mereka telah rela meninggalkan pekerjaan mencari
nafkah keluarga demi membela kalimah Allah SWT., sehingga mereka tidak sempat
lagi bekerja dan menafkahi keluarganya. Dengan pertimbangan ini sehingga para
ulama ada yang mengambil kesimpulan kalau para aktivis Islam yang tidak sempat
mencari nafkah, seperti Da’i, pelajar dan sebagainya, juga termasuk ke dalam
kelompok mujahid dan berhak mendapat bagian zakat. Dan memasukan aktifitas-
aktifitas perjuangan seperti pendidikan dan dakwah, kemudian sarana penunjang
ibadah, kepada kelompok fie sabilillah ini bukan hanya atas dasar pertimbangan
logika semisal di atas saja. Melainkan benar-benar atas dasar nash Rasulullah yang
kuat menjelaskan persoalan tersebut.
Ya Ummu Ma'qil! Apa yang menghalangimu keluar (Pergi mengerjakan Haji)? Ia
menjawab: Kami telah bersedia, tetapi tiba-tiba Abu Ma'qil meninggal dunia,
sementara onta kami yang kami kendarai untuk naik haji itu telah diwakafkan oleh
Abu Ma'qil untuk Fi sabilillah. Maka sabda Rasul: "Sayang! Mengapa engkau tidak
berangkat dengan menunggangnya, padahal hajji itu sebahagian dari sabilillah"
HR. Abu Dawud. (lihat, A. Hassan [1996], hlm. 338)

h. Ibn sabil (orang yang sedang dalam perjalanan), para ulama Safi’iyah
berpendapat bahwa ibn sabil ini meliputi, orang yang mengadakan perjalanan dari
tempat mukimnya dan orang asing yang sedang dalam perjalanan.

Meskipun tidak secara detail, setidaknya terhadap kelompok-kelompok inilah harta


zakat mesti disalurkan.
Berdasarkan Pasal 3 UU No. 23 tahun 2011, tujuan pengelolaan zakat adalah
1) Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.
Pengelolaan zakat yang baik akan memudahkan langkah sebuah LPZ untuk mencapai
tujuan inti dari zakat itu sendiri, yaitu optimalisasi zakat. Dengan bertindak efisien
dan efektif, LPZ mampu memanfaatkan dana yang ada dengan maksimal.
2) Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan
Pengelolaan zakat dimaksudkan agar dana zakat yang disalurkan benar-benar sampai
pada orang yang tepat dan menyalurkan dana zakat tersebut dalam bentuk yang
produktif sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan
zakat untuk hal yang produktif dapat dilakukan dengan mendirikan Rumah Asuh,
melakukan pelatihan home industry, mendirikan sekolah gratis, dan sebagainya.

d. Fungsi Lembaga Amil Zakat


Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga amil zakat memiliki fungsi sebagai :
1) Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
2) Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
3) Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan
4) Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat[12].
Lembaga pengelola zakat yang berkualitas sebaiknya mampu mengelola zakat yang
ada secara efektif dan efisien. Program-program penyaluran zakat harus benar-benar
tersalurkan oleh para mustahik dan memiliki nilai manfaat bagi mustahik tersebut.
Selain itu, seluruh anggota organisasi pengelola zakat telah memahami dengan baik
syariat dan seluk-beluk zakat sehingga pengelolaan zakat tetap berada dalam hukum
islam dan tentunya hal ini harus sejalan dengan asas-asas pengelolaan zakat.
2. Cara Meningkatkan Efektifitas Organisasi Pengelolaan Zakat

1. Meningkatkan kemampuan melakukan tindakan/kegiatan organisasi sesuai dengan


nilai-nilai baru di zamannya.
2. Meningkatkan kemampuan mewujudkan nilai-nilai baku dalam kehidupan organisasi,
seperti kejujuran, keeterbukaan, kebenaran, dan lain-lain.
3. Mengembangkan penghayatan, keperdulian dan kepekaan pada nilai-nilai
kemanusiaan yang bersifat universal (menyeluruh).
4. Memantapkan dan mengembangkan kemampuan mengimplementasikan nilai-nilai
sosial yang berlaku dan dihormati dalam kehidupan berorganisasi.
5. Mengembangkan sikap bahwa menerima pelimpahan wewenang merupakan tanggung
jawab.

3. Prospek Organisasi Pengelolaan Zakat di Indonesia untuk Masa yang akan


datang
Dengan memperhatikan perkembangan regulasi zakat dan memperhatikan
perkembangan kondisi masyarakat Indonesia saat ini, maka kita dapat memperkirakan
berbagai perkembangan zakat yang terjadi pada waktu ke depan :
 Dengan perbaikan regulasi dan tatakelola zakat, Diperkirakan Zakat pada
tahun 2016 akan tumbuh sebesar 30%. Sehingga capaian penghimpunan zakat
secara nasional pada tahun 2016 mencapai Rp 5,46 Triliun. Angka 5,4 Trilyun
artinya tingkat pencapaian penghimpunan zakat masih berada pada kisaran
2,5% dari potensinya.
 Jumlah LAZNAS akan berkurang, akibat mengalami degradasi. Dengan
pembatasan bahwa syarat minimal penghimpunan zakat bagi LAZNAS adalah
Rp 50 Milyar, maka diperkirakan jumlah LAZNAS di Indonesia menyusut
dari 18 LAZNAS pada masa lalu, menjadi maksimal hanya 10 LAZNAS.
 Penghimpunan dana masing-masing LAZNAS akan semakin besar. Dengan
berkurangnya jumlah LAZNAS, maka diperkirakan jumlah penghimpunan
dana masing-masing LAZNAS akan mengalami kenaikan.
 Jumlah UPZ akan semakin banyak, akibat terjadi arus formalisasi organisasi
para pengelola zakat informal. Pengelola zakat di masjid, pesantren, sekolah
dan BMT yang pengumpulan dananya masih kecil akan berbondong-bondong
membentuk atau menjadi UPZ. Belum lagi ditambah pengelola zakat di
lembaga negara dan perusahaan negara, menjadikan UPZ semakin banyak.
 Peran BAZNAS semakin signifikan. Dengan segala kewenangan yang
dimilikinya berdasarkan undang-undang dan regulasi turunannya, mau tidak
mau peran BAZNAS akan semakin signifikan dalam pengelolaan zakat di
indonesia. Kita berharap posisi sangat strategis BAZNAS dapat dioptimalkan
melalui kualitas kepemimpinan dan manajemen BAZNAS yang semakin lebih
baik, khususnya dalam berinteraksi dengan semua pemangku kepentingan
zakat di Indonesia.
 LAZ dituntut semakin berkualitas. Akibat perbaikan tata kelola zakat Di
Indonesia, khususnya dengan adanya fungsi pengawasan dan evaluasi yang
dilakukan BAZNAS dan Kementerian Agama, LAZ harus meningkatkan
kualitas lembaganya.

Tantangan efektivitas pemanfaatan zakat akan semakin besar.


Perkembangan masyarakat yang semakin kritis dan arus informasi yang
semakin terbuka, pada akhirnya masyarakat akan semakin ingin mengetahui
bahwa pemanfaatan zakat yang dilakukan lembaga zakat betul-betul sudah
efektif, yaitu ikut serta mengatasi kemiskinan secara nyata.

Вам также может понравиться