Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Di Indonesia sendiri, Lembaga Amil Zakat (LAZ) berbeda dengan Badan Amil Zakat
(BAZ) yang dibentuk oleh negara. LAZ merupakan organisasi yang tumbuh atas dasar
inspirasi masyarakat sehingga pergerakannya lebih cenderung pada usaha swasta atau
swadaya. Yang menjadi pekerjaan amil zakat paling besar di antara usaha-usaha
lainnya adalah penghimpunan dan pendayagunaan zakat. Pendayagunaan merupakan
usaha amil zakat dalam mengelola dan mendistribusikan zakat sehingga selain
mencari cara agar tersalurkannya dana zakat kepada orang-orang yang menjadi
haknya, zakat juga mendapat nilai dan kekuatan lebih tinggi dalam kehidupan umat.
Sementara pengumpulan zakat (marketing) merupakan usaha amil dalam
menghimpun zakat dari para muzaki (yang menunaikan zakat), hal ini menjadi usaha
penting bagi LAZ, selain agar terhimpunnya dana zakat yang besar, juga sebagai tolak
ukur besar kecilnya penghasilan (rotibah) juga pemasukan yang diterima amilin.
Besar-kecilnya dana zakat yang bisa dihimpun tentu bergantung dari kepercayaan
para muzaki dalam menitipkan ibadah zakatnya pada lembaga tersebut. Dan tumbuh-
tidaknya kepercayaan muzaki terhadap lembaga tersebut tentu bergantung pada bagus
tidaknya kinerja, serta sesuai tidaknya penyaluran zakat terhadap para mustahiq-nya
itu, dengan yang disyari’atkan Islam. Maka dari itu permasalahan marketing juga
pendayagunaan zakat dalam Lembaga Amil Zakat, kedua-duanya tidak bisa
dipisahkan. Keduanya memiliki keterikatan sehingga di dalamnya dibutuhkan
penanganan secara serius oleh para amil zakat
Penghimpunan Zakat
Usaha pengumpulan atau penghimpunan zakat, para amilin biasa menyebutnya
dengan istilah marketing zakat. Tidak ada kepastian alasan apa yang melatar
belakangi digunakannya istilah ini untuk peghimpunan zakat. Yang jelas, jika melihat
kedudukan amil zakat di atas, yang menjadi pemasukan bagi organisasi amil zakat
adalah dari penghimpunan zakat sementara nilai jual amil zakat yang disuguhkan
kepada masarakat adalah kinerja juga ketaatan amilin dalam mendistribusikan dan
mendayagunakannya. Dengan kata lain hal yang dijual sehingga mendapatkan
penghasilan, bagi amil zakat, bukanlah produk materil melainkan kinerja atau jasa.
Kegiatan menghimpun zakat, jika kita membaca sejarah Islam, merupakan kegiatan
atau usaha amilin dalam menghimpun zakat dengan menjemput atau mengambil dari
tempat amilin. Selain mengambil zakat, para amilin yang bertugas mengambil zakat
juga mesti mendoakan orang-orang yang mengeluarkan zakat. Dalam hadits riwayat
Mutafaq ‘Alaih, ‘Abdullah Bin Abi ‘Aufa berkata, Rasulallah shallallahu 'alaihi wa
sallam, ketika datang kepadanya salah satu kaum yang membayar zakat, beliau
mendoakannya: “allahumma shalli ‘alaihim” ya Allah berikanlah shalawat
(kesejahteraan) kepada mereka!(Ibn Hajar al-Atsqalany, Ibid., hlm. 124)
Selain itu, para pemungut zakat juga berkewajiban untuk berusaha mengingatkan
umat untuk membayar zakat. Hal ini terjadi seperti yang dilakukan Rasulallah
shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Mu’adz tatkala mengutusnya ke suatu negeri.
Kondisi ibadah perzakatan yang belum banyak disadari oleh para Muslimin
Indonesia, di samping lebih banyaknya jumlah kemiskinan dibanding yang kaya,
mengakibatkan dana zakat yang terhimpun tidak sebanding dengan kebutuhan atau
jumlah mustahik yang membutuhkan pertologan zakat. Dalam kondisi seperti ini tentu
hal yang mesti diusahakan oleh para amilin adalah mengelola agar sumberdaya yang
penuh keterbatasan itu dapat menghasilkan output yang optimal. Kesadaran dan usaha
seperti ini akan terwujud hanya dengan apabila zakat disalurkan lewat lembaga
sehingga dalam permasalahan inilah penyaluran zakat lewat lembaga akan mendapat
nilai lebih ketimbang menyalurkannya secara langsung oleh muzakki.
Dalam mengusahakan penyaluran zakat, para amilin harus mencocokkan objek yang
hendak dijadikan tempat penyaluran dengan ketentuan-ketentuan mustahik yang telah
ditetapkan oleh syari’at. Mungkin saja ketetapan yang diambil tidak berbentuk
kongkrit seperti yang diterangkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, namun hal itu
diperbolehkan asalkan sejalan dan tidak keluar dari ketetapan mustahik yang telah
ditetapkan Islam. Dalam Al-Qur'an ada delapan ashnaf yang berhak menerima, atau
menjadi tempat disalurkannya, dana zakat. Dalam Al-Qur'an surah at-Taubah: 60
dijelaskan sebagai berikut:
Yang artinya:
“sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, amil zakat,
para muallaf yang sedang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang
yang berutang, orang-orang fi sabilillah, dan yang sedang dalam perjalanan. Sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui dan Maha
bijaksana”
a. Faqir, merupakan orang yang memiliki harta namun kurang dari nishab
(ukuran untuk harta yang wajib dizakati) atau lebih, tetapi tidak cukup untuk
kebutuhan pokoknya sehari-hari.
b. Miskin, yaitu seseorang yang tidak memiliki apapun atau tidak mampu
memenuhi kebutuhan pokok hidupnya sehari-hari. Dalam hadits riwayat bukhari dan
muslim diterangkan bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda: “Tidaklah miskin orang
yang berkeliling meminta-minta segenggam atau dua genggam, sebiji atau dua biji
tamar.” Kemudian para shahabat bertanya, kalau demikian lalu apa miskin itu?
Rasulallah saw. menjawab: “Miskin adalah orang yang tidak dapat mencukupi
dirinya, dan tidak diketahui keadaannya, maka orang bersedekah kepadanya dan dia
tidak meminta-minta kepada orang lain.”(Ibn Katsir [1997), hlm: 385) Dalam
membedakan istilah faqir dan miskin para ulama ada yang mendefinisikan faqir
sebagai orang yang memiliki pekerjaan dan mendapat penghasilan namun belum bisa
mencukupi seluruh kebutuhannya. Sementara miskin adalah orang yang lemah dan
benar-benar tidak memiliki penghasilan. Adapun orang yang masih kuat namun tidak
mau bekerja, meskipun tidak memiliki penghasilan, para ulama sepakat hal itu tidak
boleh dimasukan pada kedua kelompok ini dan tidak layak mendapat zakat.
e. Riqab, adalah membebaskan hamba sahaya (budak) dalam artian, harta zakat
diberikan untuk membebaskan seseorang dari status budak dari tuannya. Dalam hal
ini terlihat bagaimana usaha Islam menghilangkan adanya perbudakan di dunia ini.
h. Ibn sabil (orang yang sedang dalam perjalanan), para ulama Safi’iyah
berpendapat bahwa ibn sabil ini meliputi, orang yang mengadakan perjalanan dari
tempat mukimnya dan orang asing yang sedang dalam perjalanan.