Вы находитесь на странице: 1из 24

95

BAB III

STANDAR DAN METODE PENGUJIAN

3.1. Standar Pengujian

Model penelitian ini dengan metode ekperimental dengan melakukan

beberapa percobaan yang dilakukan untuk menguji beberapa hipotesa

menemukan hubungan-hubungan terhadap variabel bebas dan variabel

menggantung dan melakukan kontrol sebagai perbandingan. Penelitian dengan

metode ekperimental diadasarkan atas beberapa kriteria umum antara lain :

1. Pemilihan masalah yang berdampak cukup luas dan sangat penting serta

dapat dipecahkan ;

2. Difinisi pengunaan variabel-variabel dalam percobaan harus jelas ;

3. Diperlukan tingkat ketelitian dan akurasi dalam setiap percobaan atau

obeservasi pengambilan data ; dan

4. Model, penggunaan material serta refrensi harus jelas.

Seluruh rangkain pemeriksaan maupun pengujian bahan dan benda uji

berdasarkan syarat dan ketentuan dengan merujuk pada standar pengujian

meliputi SNI, ASTM dan AASTHO maupun standar lainnya yang

direkomdensaikan.

3.1.1 Standar pengujian bahan

a. Pemeriksaan karateristik aspal

Pemeriksaan karateristik aspal sebagai bahan pengikat pada campuran

aspal harus memenuhi syarat dan ketentuan. Aspal memiliki fungsi sebagai

pengikat bahan pada campuran aspal dan sangat peka terhadap perubahan

temperature. Untuk itu diperlukan aspal yang memiliki kualitas yang baik dengan

melakukan pengujian berdasarkan standar pengujian ASTM dan SNI


96

Tabel. 3.1 Persyaratan Aspal Keras Pen 60/70

Pen. 60/70
No. Sifat-sifat Metode Min. Max. Satuan

1. Penetrasi (25 °C, 100 gr, 5 detik) SNI 06-2456-1991 60 70 0,1 mm

2. Titik Lembek (ring and ball test) SNI 06-2434-1991 48 58 0C

3. Titik nyala (clevland open cup) 200 0 0C


SNI 06-2433-1991

4. Kelarutan (CCl4) ASTM-D2042 99 - % berat

5. Daktilitas (25 °C, 5 cm per menit) SNI 06-2432-1991 100 - cm

6. Berat jenis (25 °C) SNI 06-2488-1991 1 - Gr/cm3

Sumber : SNI No. 1737-1989-F

b. Pemeriksaan bahan

Agregat kasar yang digunakan pada campuran aspal yang tertahan pada

saringan # 8 (2.36 mm) yang tediri dari batu pecah atau kerikil pecah, sementara

agregat halus yang lolo pada saringan # 8 (2.36 mm) yang terdiri dati pasir alam

atau abu batu. Seluruh bahan tersebut harus memenuhi persyaratan atau

spesifikasi. Pengujian variabel bahan di uji berdasarkan standar pengujian dan

pemeriksaan SNI dan ASTM.

Tabel. 3.2 Ketentuan Agregat Kasar

Pengujian Standar Nilai


Kekekalan bentuk agregat terhadap
SNI 03-3407-1994 Maks. 12%
larutan natrium dan magnesium sulfat
Abrasi dengan mesin Los Angeles SNI 03-2417-1991 Min. 40%
Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 03-2439-1991 Min. 95%
Angularitas SNI 03-6877-2002 95/90
Partikel pipik dan lonjong ASTM D-4791 Maks. 10%
Sumber :Departemen Pekerjaan Umum
97

c. Pengujian filler

Filler adalah material yang lolos saringan No. 200 ( 0,075 mm )

dan termasuk kapur hidrat, abu terbang, Portland semen dan abu batu. Filler

dapat berfungsi untuk mengurangi kepekaan terhadap temperatur serta

mengurangi jumlah rongga udara dalam campuran, namun demikian jumlah filler

harus dibatasi pada suatu batas yang menguntungkan. Terlampau tinggi kadar

filler maka cenderung menyebabkan campuran menjadi getas dan akibatnya

akan mudah retak akibat beban lalu lintas. Pada sisi lain kadar filler yang

terlampau rendah menyebabkan campuran menjadi lembek pada temperatur

yang relatif tinggi. Jumlah filler ideal antara 0.6 % sampai 1.2 %, yaitu

perbandingan prosentase filler dengan prosentase kadar aspal dalam campuran

atau lebih dikenal dengan istilah Dust Proportion

Tabel. 3.3 Pengujian dan Persyaratan Mineral Filler

No. Pengujian Metode Syarat

1. Berat Jenis SNI 15-2531-1991 ≥ 1,0 gr/cc

2. Sand Equivalent SNI 03-4428-1991 ≥ 50%

Sumber :Departemen Pekerjaan Umum

e. Pengujian karateristik campuran

Perencanaan campuran maupun pengujian karateristik berdasarkan

standar pengujian, untuk Marshall Mix desain berdasarkan ASTM D1559 dan

untuk SUPERPAVE mix desain berdasarkan AASHTO TP4 .

d. Pengujian sifat-sifat mekanik

seluruh variabel campuran aspal dalam pengujian sifat-sifat mekanik

(engineering property) meliputi kuat tarik, kuat lentur, fatigue dan deformasi

permanen di uji berdasarkan standar SNI dan ASTM.


98

3.2. Metode Pengujian

3.2.1. Pengujian Sifat Fisik dan Sifat Mekanik Serat Ijuk

a. Uji Tarik Serat Tunggal

Uji tarik dilakukan sesuai dengan ASTM 3379-02 dengan ukuran dan
model spesimen uji. (Gambar 3.1)

Gambar 3.1 Alat Uji Tarik Serat Tungal dan serat saat putus ditarik

Kekuatan tarik dari serat individual diukur dengan menggunakan sekrup-

driven mesin uji universal dengan kontrol komputer dan dengan sebuah beban

sebesar 10 kN /sel. Setelah mengukur diameter masing-masing serat individu

terpaku pada setiap akhir menjadi bentuk kertas dengan sekitar diamtere 50 mm

dan diuji sampai terjadi kerusakan. Gaya diterima oleh serat didefinisikan

sebagai nilai rata-rata yang diperoleh dari jumalh sampel sera yang diuji

Langkah-langkah pengujian serat tunggal yaitu :

a. Menyiapkan spesimen uji serat tunggal yang telah dibuat

b. Memasang spesimen pada alat pencekam uji tarik dan mengencangkan

dengan kuat agar tidak terlepas ketika mesin uji di jalankan.


99

c. Sebelum spesimen tertarik maka kertas yang ada pada specimen di

gunting agar tidak ikut menerima beban.

d. Menjalankan alat uji hinga serat ijuk putus

e. Menyimpan hasil pembacaan alat uji

b. Uji Scanning Electron Microscope (SEM) struktur mickro serat ijuk

Soistim microcosmic dari lignoselulosa serat ijuk komposit perkerasan

untuk memperkuat kinerja dari campuran aspal sebagai bahan perkerasan dan

sifat karakteristiknya dianalisis. A Hitachi S-3000N scanning electron Mikroskop

digunakan dengan tegangan di bawah 15 kV . cara dan perkuatan stabilisasi

dari berbagai jenis serat dalam campuran dilakukan pengujan. (Gambar 3.2).

Gambar 3.2 Alat ujin Scaning electron microscopy (SEM) untuk mengamati
struktur micro

Uji SEM dilakukan untuk mengetahui bentuk morpologi serat ijuk tanpa

perlakuan maupun yang diberi perlakuan dengan langkah sebagai berikut :

a. Menyiapkan serat ijuk dengan panjang kurang lebih 10 mm.

b. Menyiapkan preparat uji SEM

c. Memasang serat ijuk yang telah disiapkan pada preparat


100

d. Memasukkan serat ke dalam alat “pelapisan” (coating) sampel uji SEM

e. Memasukkan preparat yang berisi serat yang sudah dilapisi emas dalam

SEM

f. Mengambil gambar sesuai dengan yang diinginkan untuk berbagai

pembesaran

g. Menyimpang hasil foto SEM

c. Pengujian komposisi senyawa kimia serat ijuk

1. Menentukan kandungan hemisellulosa

1. Sejumlah sampel (M) “serat sabut kelapa” direndam dalam larutan

aquades 150 ml,

2. kemudian direfluks selama 1 jam pada suhu 100oC

3. Kemudian disaring, hasil saringan “residu”nya dicuci dengan aquades

sebanyak 300 ml

4. Kemudian residu dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC hingga

beratnya konstan,

5. Kemudian ditimbang, diperoleh (B)

6. Residu (B) direndam dalam larutan asam sulfat (H2SO4 1N) 150 ml,

7. Kemudian direfluks selama 1 jam pada suhu 100oC

8. Kemudian disaring, hasilnya saringan “residu”nya dicuci dengan aquades

sebanyak 300 ml hingga netral (pH 7),

9. Kemudian residu dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC hingga

bertanya konstan,

10. Kemudian ditimbang, diperoleh (C).

11. Nilai A, B, dan C dimasukkan dalam rumus 4.1 untuk memperoleh

Kandungan hemisellulosa (%).


101

B C
HC  100% ...................................................................... (3.1)
M

dengan : HC = Kandungan Hemisellulosa (%)

M = massa awal sampel (gram) = 1 gram

B = massa residu (gram) pada poin c di atas

C = massa residu (gram) pada poin e di atas.

b. Menentukan kandungan sellulosa.

1. Residu (C) direndam dalam larutan asam sulfat (H2SO4, 72%) 100 ml

selama 4 jam pada suhu ruang.

2. Kemudian larutan asam sulfat dibuang

3. Kemudian residu direndam dalam larutan asam sulfat (H2SO4 1N) 150 ml,

4. Kemudian direfluks selama 1 jam pada suhu 100oC

5. Kemudian disaring, hasil saringan “residu”nya dicuci dengan aquades 400

ml hingga netral (pH 7)

6. Kemudian residunya dikeringkan dalam oven 100oC hingga beratnya

konstan,

7. Kemudian ditimbang, diperoleh (D)

8. Nilai A, C, dan D dimasukkan dalam rumus 4.2 untuk memperoleh

Kandungan sellulosa (%).

CD
SC  100% .....................................................................(3.2)
M

dengan : SC = Kandungan Sellulosa (%)

M = massa awal sampel (gram) = 1 gram

C = massa residu (gram) pada poin a di atas

D = massa residu (gram) pada poin d di atas.


102

3. Menentukan kandungan lignin

a. Residu (D) diabukan dalam furnace pada suhu 600oC selama 4 jam hingga

beratnya konstan,

b. Kemudian ditimbang, diperoleh (E).

c. Nilai A, D, dan E dimasukkan dalam rumus 4.3 untuk memperoleh

kandungan lignin (%)

DE
LC  100% .....................................................................(3.3)
M

dengan : LC = Kandungan Lignin (%)

M = massa awal sampel (gram) = 1 gram

D = massa residu (gram)

E = massa residu (gram)

4. Uji XRD

Uji Sinar X atau X-Ray Diffraction (XRD) digunakan untuk

menganalisis struktur kristal suatu material karena setiap unsur atau senyawa

memiliki pola difraksi tertentu. Pada difraktrogram tersebut tampak kaitan antara

sudut 2θ tertentu dengan intensitas cacah detector yang telah ada dalam

sistem XRD. Bila hasilnya berbentuk kristal heksagonal, maka memiliki

parameter kisi a = b ≠c; α= β= 90°, dan γ = 120°. Ukuran kristallin ditentukan

berdasarkan pelebaran puncak difraksi sinar-X yang muncul. Metode ini

sebenarnya memprediksi ukuran kristallin dalam material, bukan ukuran

partikel.

Langkah-langkah pengujian XRD

1. Menyiapkan serat sabut kelapa dalam bentuk serbuk/bubuk

2. Meletakkan dan memadatkan “bubuk” serat sabut kelapa di atas preparat

3. Memasukkan preparat (b) ke dalam alat uji XRD (Gambar 4.11a)


103

4. Menjalankan alat uji XRD dengan kecepatan 2 derajat/menit, hingga 80

derajat pada 2.

5. Menyimpan hasil pembacaan alat uji XRD

(a) (b)

Gambar 3.3 Proses Pengujian XRD (a) alat uji XRD, (b) tampilan hasil XRD

3.2.2. Pengujian sifat-sifat mekanik (engineering property)


a. Pengujian kuat tarik tidak langsung (ITS) (indirect tensil)

Kekuatan tarik tak langsung tes (ITS) dan modulus resilient (MR)

pengujian dilakukan pada temperature 25 ° C berdasarkan standar pengujian

ASTM D 6931. Hal signifikan terhadap prilaku pada metode desain perkerasan

secara empiris. Pendekatan teori menggunakan toeri elastis multilayer atau

model finite elemen untuk menghitung respon struktur akibat beban lintas.

Prosedur menggunakan uji mesin universal (UTM-5) dilengkapi dengan

temperature ruangan pada suhu 250 C.

Uji kuat tarik tidak langsung pada campuran asphalt concrete adalah

prosedur yang sering digunakan untuk memperkirakan kemungkinan kinerja

perkerasan. Saaat ini, uji kuat tarik tidak langsung banyak digunakan untuk

mengetahui kerentanan terhadap kelembaban. Namun, uji kuat tarik tidak

langsung juga dapat digunakan untuk menentukan sifat teknik yang diperlukan

untuk analisis elastis dan viskoelastis dan untuk mengevaluasi retak thermal,
104

retak kelelahan, dan masalah lain yang potensial. Dari uji ini akan nampak

kurangnya informasi mengenai faktor yang menentukan indirect tensile strength

(ITS) campuran aspal. Oleh karena itu, sifat fisik dan komposisi aspal

berpengaruh pada nilai ITS yang diperoleh (Garrick dan Biskur, 1990).

Kekuatan tarik dipengaruhi oleh temperatur dan lama pembebanan.

Kenaikan temperatur akan menyebabkan kekentalan aspal menurun. Hal ini

disebabkan oleh meningkatnya energi thermal (thermal energy) dan melarutnya

asphaltenese ke dalam oil. Jika dikaitkan dengan lalu lintas maka pembebanan

yang lama akan terjadi pada lalu lintas dengan kecepatan rendah atau

sebaliknya. Semakin lama pembebanan pada perkerasan maka aspal yang

semula bersifat elastik akan menjadi bersifat lebih viscos (Suprapto, 2004).

Pemberian beban yang berkelanjutan (berulang) akan mengakibatkan

kenaikan tegangan (stress) yang akan diikuti pula dengan kenaikan regangan

(strain), sampai pada regangan tertentu, yaitu keadaan saat benda uji mulai

runtuh (mengalami retak) yang berarti tegangan yang terjadi merupakan

tegangan maksimum. Pada keadaan tegangan maksimum dan regangan tertentu

ini benda uji dianggap mengalami gaya tarik tidak langsung. Setelah benda uji

runtuh / retak maka besarnya tegangan yang diperlukan sampai benda uji hancur

(pecah) akan semakin turun, tetapi regangan yang terjadi justru akan semakin

besar. Hal ini disebabkan oleh ikatan dalam benda uji semakin turun karena

sudah mengalami retak yang berakibat pada pecahnya / hancurnya benda uji

(Abojaradah et al,2004).

Gaya tarik tidak langsung menggunakan benda uji yang berbentuk

silindris yang mengalami pembebanan tekan dengan dua plat penekan yang

menciptakan tegangan tarik yang tegak lurus sepanjang diameter benda uji
105

sehingga menyebabkan pecahnya benda uji. Pengujian gaya tarik tidak langsung

secara normal dilaksanakan menggunakan Marshall yang telah dimodifikasi

dengan plat berbentuk cekung dengan lebar 12,5 mm pada bagian penekan

Marshall. Pengukuran kekuatan tarik dihentikan apabila jarum pengukur

pembebanan telah berbalik arah atau berlawanan dengan arah jarum jam.

Perhitungan gaya tarik tidak langsung menggunakan persamaan :

……………………………………………………………… (3.4)

Dengan :

ITS : Nilai kuat tarik secara tidak langsung (N / mm2)

P : Nilai stabilitas (N)

h : Tinggi benda uji (mm)

d : Diameter benda uji (mm)

Gambar 3.4. Uji kuat tarik tidak langsung (split indirect tensile test)
106

b. Pengujian deformasi permanent (rutting)

Deformasi permanen pada perkerasan lentur, yang biasa disebut (rutting dan

geser). Terjadinya alur pada struktur perkerasan lentur, biasanya terdiri dari

penurunan arah memanjang jalur roda kendaraan akibat akumulasi dari jumlah

deformasi yang terjadi disebabkan oleh aplikasi beban lalu lintas (Gamabr 3.4

Asphalt Institute, 1996). Terjadinya jejak roda pada campuran aspal, biasanya

karena campuran memiliki kekuatan geser yang cukup untuk mendukung gaya

itekan yang berikan (Sousa et al.1991)

Gambar 3.5 Accumulated plastic strains in pavement (after Asphalt


institute,1996)

Eisemann dan Hilmar mempelajari fenomena deformasi perkerasan aspal

menggunakan peralatan perangkat pelacakan roda dan mengukur kedalaman

rata-rata serta volume bahan akibat jejak roda beban dan daerah terjadinya

lendutan atau penurunan yang berdekatan pada titik mengalami perubahan

struktur atau terjadinya deformasi menyimpulkan bahwa:

1. Pada tahap awal dari pembebanan peningkatan deformasi permenan akibat

jejak roda ban menunjukkan adanya perubahan secara jelas yang lebih
107

besar dari peningkatan pada daerah terjadinya lendutan atau penuruann.

Oleh karena itu, dalam tahap awal, pemadatan akibat beban lalu lintas atau

densifikasi adalah suatu mekanisme utama yang lasim dalam proses

pembangunan

Gambar 3.6 Typical repeated load permanent deformation behavior of pavement


material (sumber : AASHTO design guide, 2002)

2. Setelah tahap awal, volume penurunan jejak roda ban kira-kira sama dengan

peningkatan volume lendutan pada daerah yang berdekatan. Hal ini

menunjukkan bahwa sebagian pemadatan akibat beban lalu lintas sudah

berakhir dan menimbulkan terjadin rutting disebabkan bagian dasar lapisan

perkerasan mengalami deformasi geser, yaitu, distorsi tanpa perubahan

volume. Dengan demikian, deformasi geser dianggap mekanisme utama

terjadinya rutting untuk sebagian besar selama masa pelayanan

perkerasan..
108

Gambar 3.7 Influence of temperatur on accumulated strain at stress equal to


0.034 MPa

Suhu telah ditemukan memiliki dampak yang signifikan terhadap rutting.

Hofstra dan Klomp (1972) menentukan dari pengukuran uji-jejak roda ban

dimana rutting meningkat dengan faktor 250-350, peningkatan suhu dari 68°F

to140°F (20°C hingga 60°C). Linden dan Van der Heide (1987) melaporkan

peningkatan yang signifikan dalam alur yang didapat di Eropa selama musim

panas antara tahun 1975 dan 1976.

Gambar 3.8 Influence of temperatur on accumulated strain at stress equal to


0.069 MPa
109

Para peneliti telah mengakui kebutuhan untuk melakukan tes

laboratorium pada suhu yang tinggi pada kisaran suhu yang terjadi di lapangan.

Bonnot (1986) melaakukan pengujian pada suhu 60°C untuk campuran beton

aspal wearing course dan lapisan binder course 50°C. pemiliah temperature

relative sangat tinggi untuk mereproduksi kondisi yang paling menguntungkan

sebagaiman diharapkan di Perancis.

Gambar 3.9 Influence of temperatur on accumulated strain at stress equal to


0.103 MPa

Prosedur pengujian dengan melakukan pencamouran bahan-bahan

kedalam mesin pencampur laboratorium pada kecepatan pencampuran 312

rpm. Dua batch campuran disiapkan untuk masing-masing campuran beton.

Jumlah bahan masing-masing campuran dipanaskan sampai 1600 C sebelum

pencampuran. Bahan dicampur selama 5 menit terdiria agregat, filler dan aspal

sebagai bahan pengikat. Kemudian dimasukkan kedalam silinder Marshall

dengan diameter 10 cm, sekitar 6 cm tinggi kemudian dipanaskan sampai 1400

C dan dipadatkan dengan palu Marshall, menerapkan 50 pukulan pada setiap

bidang permukaan dari spesimen dan dipadatkan dengan menggunakan roda

laboratorium pemadat pneumatik Morin et al. (2011). Sebelum pemadatan


110

dimulai, spesimen menjadi sasaran pra-pemadatan dengan tekanan rendah ban

(0,1 MPa) dan beban roda maksimum rendah (1 kN). Efektif pemadatan dari

spesimen bergulir roda dilakukan pada tekanan ban lebih tinggi (0,6 MPa) dan

beban roda konstan (5 kN). Setelah pemadatan, baik permukaan sampel yang

dipoles sampai mereka mencapai ketinggian 5 cm. Dari benda uji balok ukuran

25 cm x 25 cm2 yang dipotong.

Gambar 3.10. Pengujian Rutting, Xu, at al,((2014)

Stabilitas Dinamis (DS) dan Laju deformasi (RD) dapat dihitung dengan

menggunakan rumus:

……………………………………….. (3.5)

……………………………………….. (3.6)

Dengan:

DS = Stabilitas Dinamis (lintasan/mm)

RD = Laju Deformasi (mm/menit)


111

d1 = Deformasi pada pengujian 45 menit (mm)

d2 = Deformasi pada pengujian 60 menit (mm)

t1 = 45 menit

c. Kuat lentur (flexural strength)

Kuat lentur pada spesimen beton aspal diukur dengan cara pengujian

lentur setengah lingkaran. Benda iji dpotong setengah lingkaran diameter 10 cm

yang diekstraksi dari benda uji silinder pada pengujain Marshall. Selain itu,

bagian tarik benda uji dipotong dengan ketebalan sekitar 2 mm kedalaman

sekitar 10 mm; benda uji dipotong pada titik tengah dalam arah pembebanan dari

poros tengah benda uji. Semua pengujian dilakukan di dalam suhu ruang 200 C.

sebelum ke pengujian, benda uji disimpan di pada suhu uji selama 2 jam, untuk

menghindari penurunan suhu di dalam sampel.

Gambar 3.11 Pembebanan Kuat Lentur (Flexural Loading)


112

Pengaturan pengujian untuk tes lentur setengah lingkaran terdiri dalam

dua rol mendukung pada lurus (bawah) tepi dan loading rol pada titik tengah dari

setengah lingkarang. Jarak antara dua masing-masing adalah 8 cm. Peralatan

yang digunakan untuk pengujian adalah mesin Dynasphalt servo-hidrolik dengan

kapasitas 10 kN. Beban uji adalah dari 1 kN diterapkan pada sampel pada

tingkat pemuatan 0,5 mm / min

d. Pengujian Kelelahan (Fatigue) tarik tidak langsung (ITFT)

Sebuah mesin servo hydraulic fatigue tester biasanya digunakan untuk

melakukan pengujian fatigue test. Fatigue tester ini terdiri dari aktuator hidrolik

dioperasikan dipasang ke bingkai beban kekakuan tinggi untuk menerapkan

beban ke spesimen. Karena sistem ini hidrolik dioperasikan, adalah mungkin

untuk mencapai kedua beban tinggi dan frekuensi siklik tinggi. Sistem pengujian

pada fatigue tester harus dilengkapi dengan sistem kontrol yang mampu

mengendalikan tes dan pengukuran data pada frekuensi tinggi. Hal ini juga

penting bahwa sistem pengukuran beban secara akurat dapat mengukur beban

spesimen, dan memberikan kompensasi untuk kesalahan beban yang

disebabkan oleh gerakan dinamis dari sistem pengujian.

Properti kelelahan campuran aspal berkaitan erat dengan umur

pelayanan jalan aspal. Semakin baik properti kelelahan campuran, semakin lama

umur perkerasan. Dengan demikian, diperlukan suatu penelitian terhadap

properti kelelahan campuran aspal Modarres et al. (2014). Pengujian kelelehan

tarik tidak langsung (ITFT) merupakan metode yang efektif yang telah banyak

digunakan dalam penelitian Tabakovic et al.(2010); Modarres et al.(2013); dan

Hunter et al. (2009). Jadi metode ini digunakan untuk menyelidiki properti
113

kelelahan campuran aspal modifikasi serat ijuk. Specimen digunakan dalam

penelitian ini adalah spesimen Marshall standar,ukurannya ∅101.6 mm x 63,5

mm. metode persiapan specimen sama seperti metode pengujian rengangan

tidak langssung pada suhu rendah. diuji pada suhu kamar, 16,50 C. Sebuah

stress control Modus diterapkan. adalah beban berulang setengah-sinusoidal,

frekuensi adalah 5 Hz.Dalam rangka untuk memastikan akurasi pengukuran

beban minimum ditetapkan dengan 0,15 KN.

Gambar 3.12 Uji kelelehan tarik tidak langsung (Indirect tensil fatigue)
sumber Gua et al.(2015)

e. Modulus Ketahanan (MR).

Modulus kekakuan adalah salah satu parameter yang digunakan untuk

perencanaandan mengevaluasi kinerja campuran beraspalKarena campuran

beraspal merupakan materialyang tidak bersifat elastis sempurna

makaterminologi modulus elastis (E) tidak cocokdigunakan dan sebagai gantinya

digunakanistilah Modulus Resilien (MR), yaitu moduluselastisitas berdasarkan


114

deformasi balik(recoverable strain). Sehingga modulus resilien didefinisikan

sebagai:

……………………………………………………………. (3.7)

Dengan 𝜎d sebagai tegangan deviator, yakni tegangan axial yang

diberikan sedangkan 𝜀 r merupakan deformasi yang dapat balik (recoverable

strain). Metode untuk menghitung nilai modulus kekakuan lentur dari campuran

beraspal tanpa pengujian dilaboratorium dikembangkan oleh Shell melalui

penelitian selama lebih dari 20 tahun. Metode ini menggunakan solusi

nomograph yang diperkenalkan oleh Van Der Poel (Shell Bitumen,1990) untuk

menghitung modulus resilien campuran beraspal berdasarkan propertis dari

aspal dan konsentrasi volume agregat. Sedangkan Pengujian Modulus Resilien

dilaboratorium dilakukan dengan menggunakan alat “Universal Material Testing

Apparatus (UMATTA)“ dimana benda uji atau campuran pada Kadar Aspal

Optimum Refusal (KAO Ref).Secara umum semakin besar nilai modulus resilien

maka campuran beraspal akan semakin kaku.

f. Pengujian Metode Marshall

Seperti terlihat pada Gambar 3.11. alat ini digunakan untuk mengetahui

karakteristik campuran beton aspal yang antar lain meliputi stabilitas, kelelehan,

rongga dalam campuran, dan rongga terisi aspal. Karena karakteristik beton

aspal sangat dipengaruhi oleh kadar aspal, maka dari hasil-hasil tes Marshall ini

dirancang campuran aspal yang memberikan kadar aspal optimum.

Marshall test modifikasi. Modifikasi alat Marshall ini terletak pada alat

pemegang benda uji. Kalau pada uji Marshall konvensional benda uji merupakan

silinder dengan diameter 10 cm, maka pada alat Marshall modifikasi ini benda uji
115

berupa balok yang terbuat dari campuran beton aspal. Alat ini berfungsi untuk

mengukur ketahanan campuran beton aspal menahan beban lentur dengan cara

”three point bending test”. Dari tes ini sekaligus akan dapat diukur lendungan

maksimum yang bisa ditahan, serta proses penjalaran retak sebelum benda uji

mengalami keruntuhan.

Gambar 3.13 Alat tes Marshall

Prosedur pelaksanaan pengujian Marshall adalah sebagai berikut :

1. Menimbang agregat sesuai dengan persentase pada target gradasi yang

diinginkan untuk masing-masing fraksi dengan berat agregat 1200 gram,

kemudian dikeringkan campuran agregat tersebut sampai beratnya tetap

pada suhu (105 ± 5)0C.

2. Memanaskan aspal untuk pencampuran yaitu pada viskositas kinematik 100

± 10 centitokes, agar temperatur pencampuran agregat dan aspal tetap,

maka pencampuran dilakukan diatas pemanas dan diaduk hingga rata.


116

3. Setelah temperatur pemadatan tercapai yaitu pada viskositas kinematik 100 ±

10 centitokes, maka campuran tersebut dimasukan ke dalam cetakan yang

telah dipanasi (1000 C hingga 1700 C) dan diolesi vaselin terlebih dahulu,

serta bagian bawah cetakan diberi sepotong kertas filter atau kertas lilin

yang telah dipotong sesuai dengan diameter cetakan, sambil ditusuk-tusuk

dengan spatula sebanyak 15 kali dibagian tepi dan 10 kali dibagian tengah.

4. Pemadatan dilakulan menggunakan alat pemadat manual dengan jumlah

tumbukan 75 kali dibagian sisi atas, kemudian dibalik dan sisi bagian bawah

juga ditumbuk 75 kali.

5. Pemadatan lanjutan untuk kepentingan kepadatan membal (refusal)

dilaksanakan seperti cara pemadatan standar hanya tumbukannya dilakukan

sebanyak 2 x 400 tumbukan.

6. Setelah proses pemadatan selesai benda uji didinginkan pada suhu ruang

kurang lebih 24 jam, setelah dingin benda uji dikeluarkan dengan ejector dan

diberi kode.

7. Benda uji dibersihkan dari kotoran yang menempel dan diukur tinggi benda

uji dengan ketelitian 0,1 mm dan ditimbang beratnya diudara.

8. Benda uji direndam dalam air selama 24 jam supaya jenuh.

9. Setelah jenuh benda uji ditimbang beratnya dalam air.

10. Benda uji dikeluarkan dari bak perendaman dan dikeringkan dengan kain

pada permukaan agar kondisi permukaan kering jenuh (Saturated Surface

Dry/ SSD) kemudian ditimbang.

11. Benda uji direndam dalam bak perendaman (waterbath) pada suhu 600 C

selama 30 hingga 40 menit. Pengujian untuk mendapatkan nilai stabilitas


117

sisa, dilakukan dengan merendam benda uji dalam bak perendaman

(waterbath) pada suhu 600 C selama 24 jam.

12. Bagian dalam permukaan kepala penekan dibersihkan dan dilumasi agar

benda uji mudah dilepaskan setelah pengujian.

13. Benda uji dikeluarkan dari bak perendaman, letakkan benda uji ditengah

pada begian bawah kepala penekan kemudian letakkan bagian atas kepala

penekan dengan memasukkan lewat batang penuntun, kemudian letakkan

pemasangan yang sudah lengkap tersebut ditengah alat pembebanan, arloji

kelelehan (flow meter) dipasang pada salah satu batang penuntun.

14. Kepala penekan dinaikkan hingga menyentuh atas cincin penguji kemudian

diatur kedudukan jarum arloji penekan dan arloji flow pada angka nol.

15. Pembebenan dilakukan dengan kecepatan tetap 51 mm (2 inchi) per menit,

hingga kegagalan benda uji terjadi yaitu pada saat arloji pembebenan

berhenti dan mulai kembali berputar menurun, pada saat itu pula baca arloji

kelelehan. Titik pembacaan pada saat benda uji mengalami kegagalan

adalah merupakan nilai stabilitas Marshall. Nilai stabilitas Marshall

dicocokkan dengan tabel kalibrasi kemudian dikalikan dengan koreksi

volume benda uji sehingga menjadi nilai stabilitas Marshall terkoreksi.

16. Setelah pengujian selesai, kepala penekan diambil, bagian atas dibuka dan

benda uji dikeluarkan. Waktu yang diperlukan dari saat diangkatnya benda

uji dari rendaman air sampai tercapainya beban maksimum tidak boleh

melebihi 60 detik.

17. Untuk pembuatan benda uji dilakukan dengan menggunakan jenis aspal

Pertamina dengan tingkat penetrasi 60/70.


118

18. Campuran agregat aspal standar dimasukan kedalam cetakan dan ditumbuk

tiap sisi sebanyak 75 kali pada temperatur ± 160° C.

19. Selanjutnya campuran agregat-aspal dicampur pada suhu ± 160° C,

sedangkan suhu pemadatannya ditetapkan pada suhu 140° C.

20. Campuran agregat aspal untuk mencapai kepadatan membal dimasukan

kedalam cetakan dan ditumbuk tiap sisinya 400 kali pada suhu pencampuran

± 160° C dan suhu pemadatan ± 140° C.

21. Setelah proses pemadatan selesai, benda uji didinginkan selama ± 4 jam,

dan kemudian dilakukan test Marshall.

Вам также может понравиться