Вы находитесь на странице: 1из 5

JPS dan Model Pengembangan Masyarakat Berciri

Community Development1

Dr. Gumilar Rusliwa Sumantri2

Krisis sosial tengah melanda bangsa Indonesia dewasa ini. Tampaknya krisis ini
akan terus berlangsung tahun ini. Apalagi jika agenda politik nasional seperti pemilihan
umum Juni 1999 ternyata tidak sukses dan berhasil menelurkan pemerintahan yang
legitimate, akan semakin terpuruk pada pelbagai kesengsaraan sosial. Salah satu jalan
keluar yang diyakini dapat meminimalisasi dampak dari krisis ini adalah Program
Jaringan Sosial. Namun demikian, dalam kenyataan program ini tidak terlaksana sesuai
dengan harapan bahkan Bank Dunia mengancam menghentikan kucuran dana JPS
(Kompas, 11 Februari 1988). Memang berbagai penyimpangan baru akibat kurangnya
transparansi dan accountability semakin marak. Apakah program ini patut diteruskan?
Sejak bulan Juli 1997 bangsa Indonesia dilanda ”Asian Flu” yang dahsyat. Krisis
ekonomi ini bermula dari terpuruknya nilai tukar rupiah atas Dolar yang mencapai titik
dramatis 70 %. Badai moneter ini mencerminkan gagalnya sektor publik negara kita,
keuangan yang lemah begitu vulnerable terhadap ”permainan” para fund manajer.
Keadaan ini merembet pada rontoknya ”bubble economy”. Struktur ekonomi kita
ditandai oleh hadirnya swasta yang kurang kuat fondasi bisnisnya. Banyak diantara
mereka tertarik untuk menenamkan uangnya di sektor spekulatif. Sehungga, hancur
leburlah bangunan usaha mereka tatkala dihadapkan pada fluktuasi nilai tukar rupiah atas
dolar yang terjadi. Sektor riil kemudian ikut macet yang diikuti oleh meledaknya angka
pengangguran. Masyarakatpun merasakan pahitnya krisis ekonomi ketika dihadapkan
pada melambungnya harga-harga.
Pada masa akhir hayat Orde Baru, diyakini solusi mujarab dari persoalan aktual
diatas adalah reformasi total di berbagai bidang kehidupan termasuk ekonomi dan politik.
Namun sikap mengulur waktu dan resistensi rezim pada masa itu, mengarahkan situasi
1 Makalah disampaikan pada seminar nasional Jaring Pengaman Sosial dan Pemberdayaan Ekonomi Hotel
Indonesia, 30 Maret 1999, penyelenggara : Forum Ekonomi Rakyat.
2 Penulis menyelesaikan doktor sosiologi di Universitas Bielefeld Jerman dengan Magana Cum Laude
(1995). Kini mengajar di jurusan sosiologi dan pascasarjana UI serta menjabat wakil direktur eksekutif
Pusat Studi Jepang UI.
pada hal yang semakin buruk. Sebagai akinatnya, secara cepat krisis sosial sudah mulai
merambahi berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Namun demikian, lapisan termiskin
(Low-Income Group), merasakan paling getir dampak krisis karena lemahnya
kemampuan untuk bertahan hidup meski pada tingkat yang dasar. Keadaan ini terus
berlanjut setelah pasca pergantian kepala negara, bahkan dinilai semakin parah. Pasalnya,
pemerintah baru dinilai kental melanjutkan ”perilaku” rezim sebelumnya. Reformasi total
diterima dalam sikap yang mendua muka antara kepentingan partikularisitik dan bangsa.
Krisis (crisis) dimengerti secara umum sebagai “an unstable or crusial time for
state of affairs”(webster’s new encyclopedic dictionary, 1994). Jadi, krisis sosial
mengacu pada kehidupan masyarakat yang penuh ketidakpastian, rawan, mempunyai
kohesi yang rapuh, serta lemahnya peranan negara. Indikasi dari lahirnya krisis sosial
dapat disimak dewasa ini seperti semakin menyedihkannya kualitas anak didik kita,
semakin maraknya fenomena anak jalanan, rawan pangan yang merebak di perkotaan dan
di pedesaan, kualitas dan kuantitas kriminalitas melambung tajam, penafian hukum
sebagai panglima di negeri ini, pelanggaran hak asasi yang kian dalam, lemahnya moral
birokrasi serta hubungan antar umat beragama dan kelompok yang destruktif bahkan
cenderung lahirnya vendeta (balas dendam) seperti tergambar jelas pada kasus kerusuhan
Ketapang, Kupang, Ambon, Kampung Rambutan, dan sebagainya.
Salah satu langkah yang diambil pemerintah untuk mengurangi intensitas maupun
dampak krisis sosial bagi kalangan miskin adalah Program Jaringan Pengaman Sosial
(social safety net program). Program ini telah mulai dilaksanakan dalam bentuk lain jauh
sebelum krisis melanda. Program pengentasan kemiskinan Orde Baru, lengkap dengan
segala kekurangannya, dapat dilihat sebagai bagian hal ini. Sedangkan penerapan pada
masa krisis semakin banyak didukung oleh dana pinjaman dari Bank Dunia. Distribusi
dana telah banyak dilakukan meskipun dinilai masih terlambat. Kelambatan ini
diakibatkan tidak adanya infrastruktur sistim distribusi yang komunikatif terhadap pola
kehidupan sosial masyarakat sasaran program. Selama penerapan yang telah dilakukan
terutama pada paruh terakhir 1998 dan awal tahun ini, evaluasi menunjukan bahwa
efektifitas program ini sebagai suatu langkah untuk mengatasi krisis sosial yang parah
relatif rendah.
Program ini secara idealistik sangat baik, yaitu menolong lapisan masyarakat
yang berada dalam kondisi “emergency”, sehingga mereka dapat bangkit dan pada
gilirannya membawa dampak pada daya tahan serta perbaikan ekonomi secara
keseluruhan. Namun sayangnya titik berat implementasi program lebih bersifat jangka
pendek, delivery, dan sekali beri. Implementasi semacam ini terbukti merupakan salah
satu major culprits dari kegagalan JPS selama ini di tanah air. Program ini akhirnya
bersifat tidak mendidik, mengajarkan ketergantungan, dan menebarkan bibit baru
penyalahgunaan uang rakyat. Faktor kegagalan lain terletak pada pelaksanaan program
yang mengandalkan birokrasi yang ditandai struktur yang rentan penyelewengan dan
korupsi. Transparansi alokasi program dan pertanggungjawaban sulit diharapkan dalam
mekanisme kronis seperti saat ini.
Bahkan secara politik, praktik program ini mengundang kecurigaan sementara
masyarakat bahwa pemerintah mempergunakan sebagai instrumen politik uang (money
politics). Hal ini bertalian dengan pelaksanaan program, yang entah secara kebetulan,
berdekatan dengan penyelenggaraan pemilu Juni 1999. Dana JPS diperoleh dari pinjaman
luar negeri, berarti uang rakyat yang diperoleh dari berhutang. Jadi dana ini bukan milik
pemerintah (rezim) atau partai yang berkuasa, bahkan nenek moyang para koruptor yang
tengah aji mumpung, namun milik negara atau seluruh rakyat. Jadi, manipulasi “kesan”
sebagi rezim pemurah melalui penghamburan uang rakyat tersebut merupakan tindakan
politik tidak etis dan semestinya dihindari.
Faktor lain yang melemahkan aksi JPS di lapangan selama ini, terkait juga dengan
aspek tidak jelasnya tataran intervensi. Pemerintah hanya membagi sasaran berdasarkan
sektor seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, ketenagakerjaan dan sebagainya. Padahal
yang paling penting diperhatikan adalah tataran mikro intervensi seperti dilakukan di
tingkat komunitas. Kalaupun ada disadari pentingnya tataran ini, pemahaman diwarnai
penyamarataan struktur sosial setempat seperti keberadaan elit lokal yang potensial dalam
rangka pemberdayaan masyarakat. Selanjutnya, pemahaman semacam ini menafikan pula
struktur dan organisasi sosial lokal yang sebenarnya merupakan entry poin yang efektif
untuk mengatasi persoalan mikro secara berkesinambungan seperti upaya mengatasi
krisis sosial di atas.
Menilik beberapa kekeliruan seperti digambarkan diatas, program JPS yang
secara riil ditopang dana yang cukup besar, implementasi harus mendapat koreksi total di
tingkat falsafah, strategi, maupun implementasi. Falsafah dari JPS adalah pemberdayaan
sosial (social empowerment). Jadi program ini sebaliknya bersifat mendidik untuk
mampu mengatasi permasalahan dengan mengerahkan potensi sendiri. Jadi program
bersifat berkelanjutan, dana yang diberikan bernuansa dampingan dan ditumbuhkan
perilaku kolektif di tingkat mikro yang mencerminkan nilai rukun, peduli, mandiri dan
sejahtera. Berarti penggunaan organisasi tingkat bawah (akar rumput) mutlak diperlukan
agar program bersifat mengakar dan kontekstual. Tak kalah penting lagi, hilangkan target
waktu penyelenggaraan yang dipatok berdasarkan tahun anggaran apalagi agenda politik.
Upaya ini merupakan negasi kontraproduktif dari ide dasar JPS yang semesttinya
berorientasi pada agenda yang lebih luas seperti pemberdayaan, demokratisasi dan
penegakan hak asasi dalam kerangka pembangunan masyarakat madani.
Sedangkan strategi yang tepat bagi pelaksana JPS adalah pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat (community organization and community development) (lihat
Rubin dan Rubin 1987). Masyarakat seyogyanya dirangsang untuk membangun
komunitas dengan mengorganisasikan diri sehingga potensi yang kecil bisa menjadi besar
setelah terkumpul dalam satu wadah organisasi setempat. Jaringan antar organisasi pun
ditumbuhkan agar terjadi penyebarluasan kemajuan. Akan lebih besar lagi potensi yang
terhimpun apabila local elite dilibatkan. Dalam suatu komunitas tidak semua orang
miskin atau bodoh. Para elite inilah yang merupakan minoritas penting yang jika
dirangsang untuk berkiprah dapat menjadi sumber daya tak ternilai bagi lingkungannya.
Sedangkan peranan pemerintah perlu pula diposisikan dalam bentuk memfasilitasi
kegiatan seperti dana sampingan jika diperlukan dan menyebarluaskan ide-ide progresif
pemberdayaan. Fasilitator lain dapat diambil dari kalangan universitas dan LSM.
Jadi, penanganan krisis sosial melalui JPS ini melibatkan organisasi akar rumput
(grass roots organization) di tingkat komunitas. Secara sederhana, komunitas dapat
dibagi dua, yaitu komunitas kepentingan (community of interest) dan komunitas spasial
(spatial community). Tampaknya yang paling praktis untuk identifikasi komunitas adalah
yang disebutkan terakhir misalnya secara administratif-politik, komunitas spasial di
Indonesia analog dengan tingkat RW. Namun demikian, intervensi dapat dilakukan
dengan memperhatikan kedua bentuk komunitas di atas, misalnya revitalisasi fungsi dari
organisasi sosial di tingkat RW sebagai contoh kelompok majelis ta’lim, banjar dan
sebagainya. Organisasi semacam ini bersifat mengakar, solid, voluntir, dan sangat hirau
dengan persoalan setempat (local issues) seperti pengangguran, konflik internal dan
eksternal, kekurangan pangan dan sebagainya.
Sebagai contoh, dalam majelis ta’lim biasanya terdapat seksi sosial yang dapat
ditingkatkan peranannya dalam rangka memerangi krisis sosial dan dampak di
lingkungan terdekat. Misalnya, dana JPS didistribusikan kepada kelompok ini dengan
besarnya sesuai dengan dana dasar setempat. Sistem matching fund ini membutuhkan
kehadiran fasilitator seperti dikemukakan di atas yang ditempatkan sekurang-kurangnya
satu per kecamatan bahkan ideal per kelurahan / desa. Peranan LSM dan universitas
dituntut pula dalam hal pengembangan sistem distribusi dan pengawasan sehingga JPS
dapat menjadi program yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kepustakaan :

Webster New Encyclopedic Dictionary, New York: HR, 1994


Rubin, J and Rubin R, Community Development and Community Organization,
London: Prentice Hall, 1987

Вам также может понравиться