Вы находитесь на странице: 1из 12

Diversitas Kultural dan Pengelolaan Konflik

Dalam Sebuah Organisasi Bisnis Multinasional

MC Ninik Sri Rejeki


Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Abstract
The theoritical analysis is inspired by the labor riot occurred in Drydocks World Graha
Shipyards Company in Batam April 22, 2010. This case has reminded us to consider the
importance of diversity management for business organization. Such organization has
a reality of cultural diversity in its employees and usually it is a multinational company.
Such company has grown and expanded in accordance with the development of the
global economic order.The reality of cultural diversity actually can be positive forces
to sustain the dynamics of the organization, but if not properly managed it can make
the negative impact of disadvantageous communication climate. It can enrich the
communication climate practices of racism and discrimination. The goal of diversity
management is to maximize the positive forces of cultural diversity and to minimize its
negative impacts. Management of diversity is itself a way of managing an organization
that requires the multicultural paradigm. Inter-group conflict management is an integral
part of the management of diversity. At the group level, it is necessary to understand the
factors of inter-group conflict . When the conflict as the adverse effect of cultural diversity
occurs, that is needed is a constructive management. Parties who have a burden of
adaptation should be accommodative to other parties. Accomodation is conducted in
the way of viewing the conflict, attitudes, and management style. It is also needs to be
developed a communication climate that may reduce the prejudices which is the source
of the practices of racism and discrimination.

Key words: cultural diversity, diversity management, multicultural, conflict


management, adaptation

Pendahuluan budaya barat dan budaya timur dalam


Diversitas kultural dan manajemen memperlakukan pesan komunikasi.
diversitas pada hakekatnya adalah suatu Budaya barat cenderung berorientasi
proposisi yang dihubungkan oleh konsep pada isi pesan komunikasi, sementara
cultural distance (jarak kultural) atau budaya timur lebih pada konteksnya,
cultural difference (perbedaan kultural). sehingga yang banyak berperan adalah
Menurut Triandis (2009:18), perbedaan pesan nonverbal, seperti gerak tubuh,
kultural atau perbedaan budaya dapat kontak mata, tinggi rendahnya suara,
menyebabkan terjadinya konflik. jarak tubuh, dan sebagainya. Perbedaan
Contohnya adalah perbedaan antara ini sering menimbulkan miskomunikasi,

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 2, Januari 2011 137


Diversitas Kultural dan Pengelolaan Konflik... MC Ninik Sri Rejeki

dan pada gilirannya memunculkan yang memberdayakan diversitas dengan


konflik. memaksimalkan kekuatan positif dan
Konflik sendiri menurut sifatnya menekan seminimal mungkin dampak
dapat dipahami sebagai sebuah kondisi negatifnya.
ketika aktivitas seseorang tidak sesuai Pada organisasi bisnis multinasional,
dengan aktivitas orang lain atau di dalamnya pasti terdiri individu-
ada perbedaan opini di antara dua individu dari berbagai bangsa. Pelangi
kelompok, sehingga ada hambatan untuk warna jelas terdapat dalam organisasi
tercapainya tujuan masing-masing. semacam ini. Di antara para anggota
Dalam sebuah organisasi, konflik antar terjadi kontak dan interaksi dengan latar
kelompok dapat mengakibatkan tidak belakang budaya berbeda, sehingga besar
efektifnya pencapaian tujuan, misalnya kemungkinan adanya miskomunikasi,
terhambatnya aktifitas atau berbagai dan bahkan konflik antar individu atau
kerugian yang timbul jika terjadi antarkelompok budaya.
kerusuhan yang dipicu oleh adanya PT Drydocks World Graha di
konflik. Batam adalah contoh dari perusahaan
Organisasi dengan diversitas mutinasional. Perusahaan ini merupakan
kultural adalah organisasi yang di organisasi dengan diversitas kultural
dalamnya terdapat banyak kelompok yang mempekerjakan orang-orang
budaya. O’Hara-Deveraux dan Jahansen dengan latar belakang budaya berbeda.
(1994:35) mengandaikannya sebagai Di PT Drydocks World Graha terdapat
pelangi warna yang ada dalam sebuah 2000 pegawai tetap, 100 orang di
organisasi. Pelangi warna adalah antaranya adalah pekerja asing (Kompas,
metafora yang melukiskan keragaman 24/4/2010).
budaya di antara para anggota organisasi Potensi munculnya konflik antar
yang bersumber pada ras, etnis, profesi, kelompok sangat besar di organisasi bisnis
kelas, dan afiliasinya dalam komunitas tersebut. Peristiwa amuk buruh yang
tertentu. terjadi pada 22 April 2010 merupakan
Dalam organisasi dengan pelangi bukti bahwa konflik antar kelompok
warna, keragaman budaya menunjukkan budaya dapat terjadi. Dalam peristiwa
bahwa dalam organisasi terdapat tersebut terlibat supervisor berkebangsaan
perbedaan budaya yang sangat kuat, India dan buruh Indonesia.
sehingga potensi konflik antar kelompok Dalam Kim (1984:17) dikemukakan
juga sangat besar. Oleh karena itu, baik adanya beberapa tataran dalam
laten maupun nyata, konflik perlu memahami kontak antarbudaya. Dua
dikelola. diantaranya adalah tataran antar
Dalam konteks diversitas kultural bangsa dan tataran antar dua kelompok
pada sebuah organisasi, terdapat sosiologis. Dalam kasus amuk buruh di
manajemen yang disebut manajemen PT Drydocks World Graha, terlibat dua
diversitas. Manajemen ini merupakan kelompok yang termasuk dalam tataran
suatu bentuk pengelolaan organisasi antar bangsa, yaitu India dan Indonesia.

138 Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 2, Januari 2011


MC Ninik Sri Rejeki Diversitas Kultural dan Pengelolaan Konflik...

Merekapun merupakan dua kelompok kelompok dalam konteks manajemen


sosiologis, yakni kelompok buruh diversitas.
dan supervisor yang termasuk dalam
kelompok manajemen. Diversitas Kultural dan Manajemen
Secara teoritik, dapat dikemukakan Diversitas
bahwa kontak dan interaksi yang Diversitas kultural pada hakekatnya
melibatkan dua kelompok budaya sering dapat diberdayakan menjadi kekuatan
dihadapkan pada sterotype, etnosentrisme, positif yang dapat menopang kehidupan
dan prasangka. Hambatan-hambatan organisasi. Sebagai contoh, interplay antar
tersebut menjadi sumber praktek-praktek individu dan relasi antar kelompok dapat
rasisme dan diskriminasi. Rasisme menumbuhkan kemampuan bekerjasama
dapat dipahami sebagai policy, praktek, dengan pekerja lain yang berbeda budaya.
keyakinan, atau sikap yang mengacu Persoalannya, jika tidak dikelola dengan
pada karakteristik status individu baik akan menyebabkan tidak sehatnya
berdasar ras. Sementara diskriminasi iklim komunikasi.
berupa pemilahan berdasar pekerjaan, Iklim komunikasi yang tidak sehat
tempat tinggal, kesempatan pendidikan, dapat menyuburkan praktek-praktek
dan sebagainya. Contoh yang dapat rasisme dan diskriminasi yang berpotensi
diambil dari peristiwa tersebut adalah menimbulkan konflik dan dapat memicu
adanya ungkapan kasar bernada rasisme kerusuhan, perusakan aset, yang menga-
dari seorang supervisor yang ditujukan kibatkan kerugian dan tidak efektifnya
kepada buruh. Ungkapan verbal yang organisasi dalam mencapai tujuan.
menyatakan bahwa “orang Indonesia Diversitas kultural merupakan
itu bodoh” dimaknai sebagai salah satu realitas yang sulit dihindari dalam
manifestasi tindakan diskriminatif yang organisasi bisnis dewasa ini. Tatanan
dialami oleh buruh Indonesia. Ungkapan ekonomi global telah membawa implikasi
tersebut kemudian memicu kemarahan banyaknya perusahaan multinasional
para buruh Indonesia dan terjadi yang melakukan ekspansi bisnis ke
mobilisasi aksi berbentuk amuk buruh negara-negara lain. Oleh karena itu
dan berakibat rusaknya sejumlah mobil untuk memberdayakan kekuatan positif
perusahaan. diversitas kultural dan meminimalisir
Kerusuhan sara ini setidaknya telah dampak buruknya perlu dilakukan
membuat perusahaan untuk beberapa manajemen diversitas. Bagi perusahaan
saat berhenti beroperasi, sehingga dapat multinasional yang umumnya memiliki
dibayangkan besarnya kerugian yang pekerja dengan diversitas kultural, seperti
dialami oleh PT Drydocks World Graha. PT Drydocks World Graha, manajemen
Dengan kata lain, akibat peristiwa tersebut jelas diperlukan untuk mengelola
tersebut, organisasi menjadi tidak pekerjanya yang memiliki latar belakang
efektif mencapai tujuannya. Tulisan ini budaya yang beragam.
selanjutnya bertujuan untuk menjawab Manajemen ini memiliki kemampuan
persoalan diversitas kultural dikaitkan untuk memahami keragaman budaya
dengan pengelolaan konflik antar

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 2, Januari 2011 139


Diversitas Kultural dan Pengelolaan Konflik... MC Ninik Sri Rejeki

dalam organisasi, sehingga disebut individu. Dilanjutkan dengan pemahaman


sebagai manajemen kerja antarbudaya di tingkat kelompok, baru kemudian di
(intercultural working management). level organisasi. Menurut Cox (1994:6),
Di dalam organisasi, manajemen ini ada empat faktor di tingkat individu,
menjadi salah satu bentuk manajemen yaitu struktur identitas; prasangka;
dalam menjalankan roda perusahaan. stereotype; dan tipe personalitas. Ini
Penerapannya mensyaratkan adanya artinya, tiap individu dalam organisasi
pergeseran dari paradigma budaya adalah pribadi yang unik. Masing-masing
tunggal ke multikulturalisme. Dengan individu berbeda antara yang satu dan
demikian manajemen diversitas melekat yang lainnya disebabkan oleh identitas
pada organisasi multikultur. diri dan personalitasnya.
Dengan mengutip dari Cox Di dalam diri individu dapat
(1994:229), organisasi multikutur berkembang pula prasangka dalam
memiliki beberapa karakteristik. relasinya dengan individu lain yang
Karakteristik itu adalah sebagai berikut, berbeda budaya. Prasangka adalah sikap
pertama, di dalam organisasi ada budaya yang kaku terhadap pihak lain yang
organisasi yang mendukung dan didasarkan pada keyakinan yang keliru.
memberikan nilai pada perbedaan. Ini Sikap ini terbangun karena pemahaman
artinya bahwa ada kebiasaan-kebiasaan yang diperolehnya sejak kecil, misalnya
yang memberikan penghormatan pada melalui sosialisasi dari kelompok atau
mereka yang berbeda budaya. Kedua, mereka yang dianggap significant others.
mengakui realitas pluralisme sebagai Prasangka dapat tumbuh menjadi
sebuah proses akulturasi, sehingga ketidaksukaan yang tidak rasional
keberagaman di dalam organisasi diakui terhadap pihak lain dengan berbasis
sebagai kekayaan organisasi. Ketiga, pada ras, agama, atau orientasi seksual
terjadi integrasi formal dan informal tertentu.
di tingkat organisasi. Artinya ada Bentuk ekspresi dari prasangka
perpaduan dari unsur-unsur budaya di dapat berupa antilokusi, avoidance
tingkat individu dan kelompok yang (penghindaran), diskriminasi, physical
terlembaga secara struktural maupun attack, dan eksterminasi. Selain
yang melalui jaringan informal. Keempat, prasangka, di dalam diri individu juga
tak ada bias kultural yang terlembaga, berkembang stereotip, yakni penilaian
baik dalam sistem, maupun dalam negatif atau positif terhadap seseorang
manajemen. Artinya tidak ada praktek- berdasar keanggotaannya pada suatu
praktek rasisme dan diskriminasi yang kelompok. Dalam peristiwa amuk
terjadi secara terlembaga dalam sistem buruh yang terjadi di PT Drydocks
dan manajemen. Kelima, konflik antar World Graha, bentuk ekspresi yang
kelompok di dalam organisasi sangat muncul adalah diskriminasi. Kelompok
minimal terjadi. buruh yang mayoritas berkebangsaan
Penerapan manajemen diversitas Indonesia merasa diperlakukan berbeda
dimulai dengan pemahaman terhadap dengan golongan manajemen yang
faktor-faktor keragaman di tingkat bukan orang Indonesia. Kelompok buruh

140 Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 2, Januari 2011


MC Ninik Sri Rejeki Diversitas Kultural dan Pengelolaan Konflik...

sering mendapatkan makian dari pihak tertentu. Bias dalam konteks sikap ini
manajemen jika mereka salah dalam dapat memunculkan bias perilaku, yaitu
bekerja. menilai orang lain berdasarkan pada
Di tingkat kelompok, ada tiga faktor, identitas kelompok orang itu.
yaitu perbedaan budaya; etnosentrisme, Prasangka dan diskriminasi
dan konflik antarkelompok. Faktor bersumber pada faktor-faktor intra
pertama berbicara tentang perbedaan pribadi, faktor-faktor antar pribadi,
budaya, artinya persoalan ini lebih dan faktor-faktor penguatan sosial.
banyak melibatkan kelompok, ketimbang Sementara itu, stereotyping adalah
individu. Sebagai contoh adalah masalah suatu proses kognitif dan perseptual.
yang terjadi di level individu, seperti yang Dalam kerangka ini, karakter individu
terjadi di PT Drydocks World Graha dianggap berdasar pada keanggotaan
dapat menggalang solidaritas kelompok mereka dalam kelompok. Oleh karena
dan akhirnya yang muncul adalah konflik itu stereotyping dapat pula memiliki
antarkelompok. Etnosentrisme juga perlu pengertian sebagai proses yang dilalui
dicermati di tingkat kelompok. Hal ini individu, sehingga ia dapat dipandang
seperti definisi dari etnosentrisme, yaitu sebagai anggota kelompok. Stereotyping
kecenderungan untuk memandang orang juga memuat informasi tentang kelompok
lain (outgroup) secara tidak sadar dengan asal individu yang telah tersimpan dalam
menggunakan nilai/norma kelompok benak seseorang.
dan kebiasaan diri sendiri (ingroup) Di level kelompok, faktor-faktor
sebagai kriteria penilaian. Sementara kelompok dan konflik antarkelompok
itu, empat faktor konteks organisasional berpengaruh terhadap organisasi
adalah budaya organisasi dan proses karena dapat memberikan sistem norma
akulturasi; integrasi struktural; integrasi alternatif untuk memandu perilaku
informal dan bias institusional. individu. Oleh karena itu diperlukan
Kerangka berpikir yang mendasari pengetahuan tentang perbedaan budaya
pemahaman di masing-masing antarkelompok guna memahami
kelompok itu adalah sebagai berikut, diversitas kultural dalam organisasi.
identitas pribadi yang ada dalam Demikian pula dengan etnosentrisme.
tataran individu ada kaitannya dengan Etnosentrisme didefinisikan sebagai
identitas kelompok. Hal ini karena suatu kecenderungan untuk memandang
identitas kelompok merupakan bentuk para anggota kelompok sendiri sebagai
afiliasi seorang individu dengan pusatnya. Dalam menginterpretasikan
individu lainnya. Mereka secara kelompok sosial lain (out­group), akan
kolektif menggunakan benda-benda bertolak dari perspektif pusat. Artinya
atau simbol-simbol tertentu. Identitas bahwa keyakinan, perilaku, dan nilai-
ini menentukan perilaku individu. Di nilai kelompok sendiri lebih positif
tingkat individu, dapat terjadi prasangka daripada out­group.
yang dalam bentuk sikap yang bias. Ada
Dalam pada itu, konflik antar-
kecenderungan individu untuk menilai
kelompok memiliki dua gambaran
individu lain berdasar karakteristik

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 2, Januari 2011 141


Diversitas Kultural dan Pengelolaan Konflik... MC Ninik Sri Rejeki

yang berbeda, yaitu, pertama batas- terjadinya komunikasi terpolarisasi.


batas kelompok, termasuk perbedaan Komunikasi terpolarisasi terjadi ketika
kelompok. Kedua, konflik langsung komunikator tidak mampu mempercayai
maupun tak langsung yang berhubungan atau secara serius mempertimbangkan
dengan identitas kelompok budaya. pandangan seseorang. Komunikasi
Tataran berikutnya adalah demikian memiliki ciri retorika, yakni
organisasi, yaitu pemahaman terhadap “kami benar, dan kamu salah”. Ciri ini
budaya organisasi, akulturasi, integrasi, eksis ketika individu atau kelompok
dan bias institusional. Pertama, budaya hanya memperhatikan kepentingan diri
organisasi terdiri dari nilai, keyakinan, sendiri, tanpa/sedikit memperhatikan
dan prinsip yang mendasari sistem kepentingan pihak lain.
manajemen. Akulturasi dalam konteks Menurut Gudykunst & Kim
ini mengacu pada proses untuk (1997:279), konflik bersifat nyata dan
memecahkan masalah perbedaan laten. Konflik laten sering dihindari,
budaya, perubahan budaya, serta karena dipandang negatif. Namun
adaptasi antarkelompok. Kedua, integrasi sesungguhnya konflik adalah netral.
struktural yang mengacu pada tingkatan Sifat negatif atau positif dari konflik
heterogenitas dalam struktur formal justru terletak pada efek pengelolaannya.
dari sebuah organisasi. Ketiga, integrasi Pengelolaan konflik bisa berakibat
informal. Integrasi jenis ini merupakan positif atau negatif bagi hubungan
bentuk dari partisipasi dalam kelompok antar individu atau kelompok. Oleh
informal. Integrasi ini memainkan peran karena itu solusinya harus diperhatikan
penting dalam mendukung keberhasilan agar tidak membuahkan akibat negatif
karir individual. Akses pada jaringan bagi hubungan antarkelompok.
informal memiliki implikasi langsung Adapun pencarian solusinya harus
bagi kontribusi karyawan terhadap memperhatikan karakteristik konflik
inisiatif kualitas total yang sangat antarkelompok.
bergantung pada keterlibatan karyawan. Menurut Landis dan Boucher
Keempat, bias institusional mengacu pada (Gudykunst & Kim, 1997:286),
fakta bahwa pola-pola preferensi inheren terdapat beberapa karakteristik konflik
dalam pengelolaan organisasi akan antarkelompok, yaitu, pertama, konflik
menjadi kendala partisipasi para anggota karena perbedaan kelompok dapat
organisasi karena kesempatan untuk membimbing pada aktivasi identitas dan
berpartisipasi menjadi terbatas, sehingga stereotip sosial. Stereotipe sosial dapat
dapat menghambat pencapaian tujuan- menyebabkan tidak berlangsungnya
tujuan organisasi. Tulisan ini menyoroti komunikasi antarbudaya, misalnya
diversitas kultural dikaitkan dengan dengan memilih untuk menghindari
pengelolaan konflik, sehingga fokusnya kontak dengan pihak yang tidak disukai.
adalah faktor konflik antarkelompok. Kedua, konflik yang terkait dengan klaim
Penyebab konflik beragam teritori yang ada cenderung didasarkan
tergantung dari situasinya. Namun dari pada perbedaan kekuasaan dan
sisi komunikasi, penyebabnya adalah sumberdaya Ketiga, konflik bisa meliputi

142 Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 2, Januari 2011


MC Ninik Sri Rejeki Diversitas Kultural dan Pengelolaan Konflik...

ketidaksetujuan atas penggunaan bahasa mereka yang berbudaya individualistik


atau kebijakan bahasa. Keempat, konflik dan kolektivistik, maka pengelolaan
dapat diperburuk oleh perbedaan konflik dalam kerangka tulisan ini
kelompok dalam memilih cara untuk mengambil pendekatan yang digunakan
menemukan solusi. Kelima, perbedaan oleh Ting-Toomey (Gudykunst, 1997),
agama dapat memperburuk konflik. yaitu pengelolaan konflik antarkelompok
Dalam konteks peristiwa amuk budaya individualistik dan kolektivistik.
buruh di PT Drydocks World Graha Dalam peristiwa amuk buruh
Batam, maka konflik antarkelompok tersebut, pihak manajemen PT Drydocks
tampak menunjukkan karakteristik World Graha yang tidak berkebangsaan
mengaktifasi identitas, yang berupa Indonesia dipandang memiliki budaya
mobilisasi individu-individu ke dalam individualistik, sedangkan mayoritas
kelompok komunal yang didasarkan buruh adalah orang Indonesia yang
pada ras. Selain itu juga terdapat cenderung kolektivistik. Dalam konteks
perbedaan kekuasaan, di satu sisi pihak manajemen modern, pihak manajemen
manajemen, dan di lain pihak adalah berorientasi pada manajemen individu,
kelompok buruh. seperti pengembangan diri, kompetisi,
kompetensi, independensi, dan
Pengelolaan Konflik sebagai Implemen­ tanggungjawab individu. Ciri-ciri ini
tasi dari Manajemen Diversitas merupakan atribut yang melekat pada
Salah satu faktor dalam manajemen budaya individualistik. Sementara itu
diversitas adalah konflik antarkelompok. dalam budaya kolektivistik melekat
Dalam konteks ini konflik perlu dikelola atribut kohesi sosial yang kuat
agar tidak merugikan organisasi. Dengan dan manajemen kelompok, seperti
kata lain bahwa salah satu bentuk interdependensi relasional dan kerjasama.
implementasi dari manajemen diversitas Karakter ini ada pada mayoritas buruh.
adalah berupa pengelolaan konflik. Di antara mereka yang berbudaya
Dalam organisasi bisnis multina- individualistik dan kolektivistik, ada
sional dengan diversitas kultural, perbedaan orientasi dalam memandang
kemampuan mengelola konflik dan mengelola konflik.
antarkelompok dapat dipertimbangkan Konflik selalu berada dalam
menjadi salah satu kompetensi yang harus konteks. Konteks ini dapat merupakan
dimiliki oleh mereka yang menduduki sumber konflik. Sumber konflik dalam
posisi manajerial. Dengan asumsi bahwa kasus tersebut adalah adanya prasangka
pemimpin dengan pemahaman dan skill antarkelompok dengan manifestasi
yang baik dalam pengelolaan konflik berupa diskriminasi dan rasisme. Konflik
dapat efektif mendukung pencapaian diperparah dengan munculnya stereotipe
tujuan-tujuan organisasi. sosial yang memudahkan untuk memicu
Dengan mengasumsikan bahwa persoalan identitas.
organisasi bisnis multinasional yang Persoalan identitas bagi kaum
beroperasi di Indonesia melibatkan buruh selanjutnya dapat dipahami
sebagai masalah menjaga kehormatan.

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 2, Januari 2011 143


Diversitas Kultural dan Pengelolaan Konflik... MC Ninik Sri Rejeki

Kehormatan harganya bisa melebihi karena ucapan bernada rasisme dari


harga sebuah nyawa, sehingga menjaga seorang supervisor berkebangsaan
kehormatan pertaruhannya adalah hidup India. Bagi kelompok buruh, hal ini
dan mati. dianggap sebagai pelanggaran terhadap
Di lain pihak, dari sisi manajemen, kehormatan mereka.
tampaknya identitas tidak disadari Menurut Ting-Toomey (Gudykunst
sebagai masalah kesopanan atau cara & Kim, 1997:280), anggota budaya
memperlakukan para pekerja dengan individualistik memandang konflik
sopan. Sebagai bukti adalah bahwa buruh (1) bersifat instrumental. Konflik
selalu dihina dan dimaki saat mereka instrumental berasal dari suatu perbedaan
melakukan kesalahan dalam pekerjaan. dalam tujuan dan praktek, (2) isu konflik
Persoalan perbedaan penguasaan terpisah dari pihak yang berkonflik,
sumberdaya juga tidak disadari sebagai (3) kondisi konflik berkaitan dengan
pemicu konflik, karena sebetulnya sudah adanya pelanggaran akan harapan
sering terjadi gejolak di kalangan buruh individu terhadap perilaku yang layak.
terkait dengan masalah distribusi, yakni Sementara anggota budaya kolektivistik
berupa rendahnya tingkat kesejahteraan memandang konflik (1) bersifat ekspresif,
buruh (Kompas, 23/4/2010). yaitu konflik yang muncul karena
Dalam pada itu, mayoritas buruh keinginan untuk melepaskan ketegangan,
cenderung memandang konflik lebih (2) isu konflik tidak terpisah dari pihak-
bersifat ekspresif karena bertujuan pihak yang berkonflik, (3) kondisi konflik
melepaskan ketegangan akibat berkaitan dengan adanya pelanggaran
ketidakadilan yang terjadi, sehingga akan harapan terhadap perilaku normati
kecenderungan penyelesaian konflik kelompok.
yang bersifat instrumental dapat Dalam cara mengelola konflik, orang
dipastikan kurang menyentuh persoalan. dari budaya individualistik memiliki (1)
Oleh karena itu diperlukan pemahaman sifat konfrontasional terhadap konflik.
terhadap makna dasar di balik kerusuhan Sifat ini berasal dari pelaksanaan
yang terjadi. orientasi dan penggunaan logika linier,
Kecenderungan orang dari budaya (2) kecenderungan untuk menghadapi
individualistik adalah memisahkan konflik berdasar pemahaman diri
isu konflik dari kehidupan pribadinya. independen, (3) pandangan jangka
Dalam kasus ini, isu konflik merupakan pendek dalam mengelola konflik, (4)
persoalan yang terkait dengan tugas kecenderungan tidak memakai mediator
manajerial, sehingga pengelolaan hanya untuk mengelola konflik. Apabila
karena menjalankan tugas semata. menggunakan mediator, maka akan
Sementara pihak buruh dapat dikatakan digunakan mediator formal. Sebaliknya,
tidak bisa melepaskan isu dari dirinya. orang dari budaya kolektivistik
Hal ini karena muatannya menyangkut memiliki (1) sifat nonkonfrontasional
kehidupan mereka. Pengembangan terhadap konflik. Sifat ini berasal
konflik yang memicu pertikaian adalah dari keinginan kuat untuk menjaga
perasaan tersinggung seorang buruh keselarasan kelompok dan menggunakan

144 Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 2, Januari 2011


MC Ninik Sri Rejeki Diversitas Kultural dan Pengelolaan Konflik...

bentuk komunikasi tak langsung, (2) invokasi budaya berdasar keyakinan,


kecenderungan menghadapi konflik tujuan diadik, tujuan individual, tujuan
berdasar pemahaman diri interdependen, yang berhubungan dengan keluaran,
(3) pandangan jangka panjang dalam dan partisipan yang berhubungan
mengelola konflik, (4) kecenderungan dengan keluaran. Unsur-unsur tersebut
memakai mediator informal. dipertautkan menjadi tujuh hukum.
Ada tiga gaya pengelolaan konflik Salah satu hukumnya mengemukakan,
(Glenn, Witmeyer, dan Stevenson dalam ketika salah satu partisipan memegang
Gudykunst & Kim, 1997:281), yaitu manfaat teritorial, maka pihak lain harus
faktual induktif, aksiomatik deduktif, bersikap akomodatif.
dan afektif intuitif. Gaya faktual-induktif Menurut hemat penulis, PT
dimulai dengan fakta-fakta penting dan Drydocks World Graha beroperasi di
gerakan-gerakan secara induktif menuju Wilayah Indonesia, dan mayoritas buruh
sebuah konklusi. Gaya aksiomatik- adalah orang Indonesia, sehingga dapat
deduktif dimulai dengan suatu prinsip diandaikan bahwa para buruh memegang
umum dan mendeduksi implikasi bagi manfaat teritorial (kewilayahan). Oleh
situasi spesifik, sedangkan gaya afektif- karena itu manajemen perusahaan ini
intuitif didasarkan pada penggunaan merupakan pihak yang memiliki beban
pesan-pesan emosional. adaptasi, sehingga harus akomodatif
Menurut Ting-Toomey (Gudykunst terhadap cara dan gaya pengelolaan
& Kim, 1997:281), anggota budaya konflik dari pihak buruh. Manajemen PT
individualistik cenderung menggunakan Drydocks World Graha perlu melakukan
dua gaya, yaitu faktual-induktif dan pengelolaan dengan gaya afektif-intuitif.
aksiomatik-deduktif. Sementara itu, Dengan mempertimbangkan pesan-
anggota budaya kolektivistik cenderung pesan emosional kelompok buruh.
menggunakan gaya afektif-intuitif. Selain itu Manajemen PT Drydocks
Dari uraian tersebut tampak bahwa World Graha perlu mengembangkan
ada perbedaan dalam memandang konflik sikap nonkonfrontasional terhadap
dan dalam cara dan gaya pengelolaannya. konflik. Keselarasan hubungan dengan
Hal ini tentu saja menjadi kesulitan para pekerja perlu dijaga dengan
bagi semua pihak untuk menyelesaikan berlaku sopan dalam berkomunikasi
konflik. Oleh karena itu diperlukan sikap baik verbal maupun nonverbal. Tidak
akomodatif dari salah satu pihak. melukai identitas yang dapat memicu
pengembangan konflik antar kelompok.
Dalam Kawasan Studi Komunikasi
Antarbudaya, ada sebuah teori yang Pesan-pesan argumentatif yang tidak
terkait dengan kepentingan akomodatif bermuatan sara perlu dikembangkan
tersebut. Menurut Ellingsworth (1988:271), agar para pekerjanya kembali termotivasi
perilaku adaptasi dalam interkultural dalam bekerja. Selain itu pihak
diadik terkait dengan unsur-unsur status manajemen perlu merangkul mereka
atau kekuasaan, perilaku teritorial, yang dianggap sebagai tokoh untuk
adaptasi dalam gaya komunikasi, menjadi mediator informal. Sebagai
contoh pihak-pihak yang selama ini

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 2, Januari 2011 145


Diversitas Kultural dan Pengelolaan Konflik... MC Ninik Sri Rejeki

selalu membela kepentingan para buruh. mindful bukan automatic pilot. Agar
Bentuk konkritnya, pengelolaan mencapai kondisi ini maka perlu
konflik antar kelompok dapat dilakukan diarahkan untuk menjadi konstruktif
melalui pertama, kontak antar kelompok. tanpa syarat. Konstruksi tanpa
Kontak yang baik, yang antara lain syarat dilakukan dengan rasionalitas,
dicirikan oleh keharmonisan, status pemahaman, komunikasi, reliabilitas,
setara, dan keintiman. Hal ini akan nonkoersif, dan penerimaan (Fisher
membawa pada penurunan prasangka, & Brown dalam Gudykunst & Kim,
sehingga dapat mengurangi permusuhan 1997:289).
antarkelompok. Ketiga, menciptakan iklim
Kedua, manajemen konstruktif. komunikasi yang mendukung. Ciri iklim
Tujuan manajemen ini adalah untuk komunikasi yang mendukung adalah
mencapai persetujuan dan meningkatkan deskriptif (tidak evaluatif), mengambil
hubungan. Menurut Johnson dan Johnson orientasi masalah, spontanitas (tidak
(Gudykunst & Kim, 1997:288) penekanan strategik), empati, kesetaraan, dan
dalam manajemen konstruktif adalah kesementaraan. Ada tiga pilihan untuk
pada proses dan juga keluarannya. Proses negosiasi solusi (Hocker dan Wilmot
dalam manajemen konstruktif adalah dalam Gudykunst dan Kim, 1997:296),
sebagai berikut, konflik didefinisikan yaitu mencoba untuk merubah pihak lain,
sebagai masalah bersama, dan sebagai mencoba untuk memilah kondisi yang
situasi menang-menang yang akan mendasari konflik, dan pilihan terakhir
dicapai dua pihak. adalah dengan merubah orientasi diri
sendiri. Sebagai contoh adalah dengan
Dua pihak perlu memandang
melakukan listening bukan hearing.
setara satu sama lain, dengan posisi
yang dipandang serius, dinilai, dan Menurut Roach dan Wyatt
dihormati. Para partisipan dalam (Gudykunst & Kim, 1997:297), listening
manajemen ini juga perlu menggunakan merupakan aktivitas bertujuan (tidak
ketrampilan komuniksi efektif natural dan pasif), yaitu mendengarkan
dengan mengungkapkan asumsi dan dengan mengambil informasi baru dan
perspektifnya untuk mencapai solusi memeriksanya berlawanan dengan hal-
yang memuaskan, sementara itu keluaran hal yang sudah diketahui, memilah ide-
yang perlu diperhatikan adalah para ide penting, mencari atau menciptakan
partisipan memahami dan berpikir bahwa kategori guna menyimpan informasi,
mereka memiliki pengaruh satu sama dan memperediksikan sesuatu yang
lain. Selain itu juga sepakat pada solusi, akan terjadi untuk mempersiapkannya.
puas dengan keputusan, merasa diterima Sementara itu hearing adalah aktivitas
pihak lain, serta dapat meningkatkan yang natural, proses yang otomatis. Oleh
kecakapan untuk mengelola konflik yang karena itu, pihak manajemen diharapkan
mendatang. mau mendengarkan aspirasi para buruh
terutama yang terkait dengan masalah
Komunikasi dalam pengelolaan
distribusi. Artinya bahwa diperlukan
konstruktif harus dilakukan dengan
pembenahan dalam alokasi sumberdaya,

146 Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 2, Januari 2011


MC Ninik Sri Rejeki Diversitas Kultural dan Pengelolaan Konflik...

sehingga buruh menjadi lebih sejahtera. Berbeda dengan kelompok budaya


Dalam konteks ini, harus disadari bahwa kolektivistik yang cenderung efektif-
masalah distribusi merupakan salah satu intuitif. Perbedaan ini membawa
sumber konflik yang harus ditangani oleh implikasi sulitnya menemukan solusi
pihak manajemen PT Drydocks World penyelesaian konflik.
Graha. Dalam kerangka ini diperlukan sikap
akomodatif dari satu pihak terhadap
Penutup pihak lainnya dalam cara memandang
Kesimpulan yang dapat dipetik dari dan gaya pengelolaan konflik. Adapun
kajian ini adalah bahwa diversitas kultural pihak yang harus akomodatif adalah
dalam organisasi bisnis multinasional pihak yang memiliki beban adaptasi,
memerlukan manajemen diversitas. misalnya karena tidak menguasai teritori
Manajemen ini pada dasarnya diperlukan (kewilayahan).
untuk memaksimalkan kekuatan positif Komunikasi nyata yang harus
diversitas kultural dalam organisasi dan dijalankan pihak yang mengakomodasi
meminimalkan dampak negatifnya. adalah dengan mengadakan kontak
Manajemen diversitas merupakan antarkelompok. Kontak ini bermanfaat
salah satu manajemen dalam pengelolaan untuk mengurangi prasangka. Sementara
organisasi yang mensyaratkan adanya itu dalam menjalankan pengelolaan
paradigma multikultural. Salah satu yang konstruktif, komunikasi yang dilakukan
menjadi bagian dari manajemen ini adalah harus bersifat mindful yang antara lain
pengelolaan konflik antarkelompok. ditandai oleh aktivitas listening (mende-
Pengelolaan antarkonflik harus ngarkan secara aktif dan tidak natural
berlandas pada pemahaman adanya atau bertujuan). Iklim komunikasi yang
perbedaan dalam cara memandang dikembangkan juga harus yang mendu-
dan gaya mengelola konflik dari kung pengelolaan konstruktif, yakni yang
masing-masing kelompok budaya yang tidak berlandaskan pada budaya tunggal,
terlibat konflik. Kelompok budaya sehingga dapat mematikan praktek-
individualistik berbeda dalam cara dan praktek rasisme dan diskriminasi.
gaya mengelola konflik dengan kelompok
budaya kolektivistik. Kelompok budaya Daftar Pustaka
individualistik cenderung memandang Cox, Taylor, JR. (1994). Cultural Diversity
konflik secara instrumental, sedangkan in Organization. San Fransisco CA,
kelompok budaya kolektivistik cenderung Berret-Kohler Publishers
memandang secara ekspresif. Sementara Ellingsworth, Huber W. (1988). “A Theory
itu, cara mengelola konflik dari kelompok of Adaptation in Intercultural Dyads”
budaya individualistik cenderung dalam Young Yun Kim & William
konfrontasional, sedangkan kolektivistik B. Gudykunts (eds). Theories in
cenderung nonkonfrontasional. Dalam Intercultural Communication. Sage
gaya, kelompok budaya individualistik Publications. Newbury Park.
cenderung menggunakan gaya faktual Gudykunst, William B. & Young Yun
induktif atau aksiomatik deduktif. Kim (1997). Communicating With

Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 2, Januari 2011 147


Diversitas Kultural dan Pengelolaan Konflik... MC Ninik Sri Rejeki

Strangers: An Approach to Intercultural Distance, Culture and Time. San


Communication 3rd Ed. Boston, Fransisco CA, Jossey-Bass Publishers
McGraw-Hill Triandis, Harry C. (2009). “Culture
Kim, Young Yun (1984). “Searching for and Conflict” dalam Samovar,
Creative Integration” dalam William Larry A; Richard E. Porter &
B. Gudykunts & Young Yun Kim Edwin R. McDaniel. Intercultural
(eds). Methods for Intercultural Communication: A Reader. 12th Ed.
Communication Research. Beverly Boston, Wadsworth
Hills, Sage Publications Kompas, 23 April 2010
O’Hara-Deveraux, Mary & Robert Kompas, 24 April 2010
Jahansen (1994). Global Work: Bridging

148 Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 2, Januari 2011

Вам также может понравиться