Вы находитесь на странице: 1из 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Osteoartritis Lutut


2.1.1 Definisi
Osteoartritis (OA) adalah suatu penyakit sendi yang sering
dijumpai dan umumnya mengenai orang-orang usia lanjut. Penyakit ini
ditandai dengan adanya perubahan secara histopatologi dan radiologi pada
sendi. Sering dikenal sebagai “keausan” sendi, namun sekarang diketahui
bahwa OA adalah penyakit degeneratif yang menyerang keseluruhan
sendi, termasuk kartilago, lapisan sendi, ligamen, dan tulang. Keadaan ini
ditandai dengan hancurnya tulang rawan (jaringan yang melindungi ujung
tulang di antara sendi), perubahan tulang sendi, dan perburukan dari
tendon dan ligamen, serta berbagai tingkat peradangan pada sinovium
(Chan, 2014)

2.1.2 Epidemiologi
Osteoartritis (OA) lutut adalah penyakit sendi yang paling umum
terjadi dengan prevalensi yang tinggi, baik terbukti secara radiografi
maupun simtomatik. Sekitar 27 juta orang di Amerika Serikat dan 8,5 juta
orang di Inggris didiagnosis osteoartritis berdasarkan gambaran klinis dan
radiografinya. Prevalensi OA meningkat seiring bertambahnya usia,
didapatkan 13,9% pada orang dewasa dengan usia 25 tahun, sementara
didapatkan 33,6% pada orang dengan usia lebih dari 65 tahun (Neogi,
2013)
Prevalensi osteoartritis lutut pada wanita lebih tinggi daripada laki-
laki yaitu 11,4% berbanding 6,8%. Perbedaan jenis kelamin baru-baru ini
terbukti bahwa wanita memang lebih lazim untuk terjadinya osteoartritis
lutut. Dalam suatu meta-analisis juga dilaporkann bahwa wanita
cenderung mempunyai tingkat keparahan lebih tinggi yang terbukti secara
radiografi dibandingkan dengan pria, dan semakin tinggi lagi saat usia

5
6

meningkat diatas 55 tahun. Jumlah kejadian penyakit ini terus meningkat


seiring dengan populasi yang bertambah tua dan obesitas, yaitu masih
diatas 50% pada kelompok usia diatas 45 tahun (Hafez dkk, 2014)

2.1.3 Faktor Resiko


Osteoartritis lutut adalah penyakit multi-faktorial. Penyebab OA
hingga saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi didapatkan bukti yang
jelas bahwa faktor resiko utamanya adalah usia, obesitas, trauma sendi,
dan beban kerja berat. Faktor resiko OA dapat dibagi menjadi faktor resiko
sistemik (misalnya usia, jenis kelamin, genetika, dan kelebihan berat
badan) dan faktor resiko biomekanik lokal (misalnya cedera sendi,
kelebihan berat badan, dan kelemahan otot). Beban mekanis abnormal
yang terjadi saat melakukan beberapa kegiatan olahraga ataupun selama
bekerja berat dapat mengaktifkan kaskade biokimia yang menyebabkan
terjadinya degradasi sendi dan timbulnya nyeri, hal ini dapat juga terjadi
pada kegiatan dengan beban normal jika sendinya memang sudah
mengalami perburukan (Hafez dkk, 2014).
Dari semua faktor risiko untuk timbulnya OA, faktor ketuaan
adalah yang terkuat. Secara keseluruhan, pada usia dibawah 45 tahun
frekuensi OA kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita, tetapi usia di
atas 50 tahun (setelah menopause) frekuensi OA lebih banyak pada wanita
daripada pria. Hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada
patogenesis OA. Sementara itu, wanita lebih sering terkena OA lutut dan
OA sendi banyak, dan lelaki lebih sering menderita OA paha, pergelangan
tangan dan leher (Soeroso, Harry dan Handono, 2014). OA lutut juga lebih
sering mengenai populasi dengan kelebihan berat badan dibanding yang
normal. Sebagai contoh, wanita obese dengan BMI 30-35kg/m2
mempunyai resiko 4 kali lebih tinggi untuk terjadinya OA daripada wanita
yang tidak obese. Obesitas berkaitan secara langsung dengan peningkatan
pembebanan mekanik pada lutut dan panggul yang dapat menyebabkan
kerusakan kartilago sendi (Hafez dkk, 2014).
7

Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada OA nampaknya terdapat


perbedaan di antara masing-masing suku bangsa. Misalnya OA paha lebih
jarang di antara orang-orang kulit hitam dan Asia daripada Kaukasia. OA
lebih sering dijumpai pada orang-orang Amerika asli (Indian) daripada
orang-orang kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara
hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan
pertumbuhan (Soeroso, Harry dan Handono, 2014)
Cedera pada sendi terbukti meningkatkan resiko terjadinya OA
lutut. Ditemukan adanya cedera ligamentum cruriatum anterior pada 15-
20% penderita OA lutut. Sebanyak 50-70% kejadian ruptur komplet
ligamen cruriatum anterior dengan kerusakan pada meniskus dan ligamen
lainnya didiagnosis OA berdasarkan temuan radiologisnya (Hafez dkk,
2014).
Aktivitas fisik dan beban kerja yang berat merupakan risiko
penting pada kejadian OA lutut, terutama pada populasi obese. Aktivitas
fisik berat seperti berlari, bermain ski lintas negara, dan menahan beban
berlebihan dapat meningkatkan resiko terjadinya OA lutut apabila
dilakukan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Namun,
aktivitas fisik dengan intensitas rendah sampai sedang secara signifikan
tidak meningkatkan kejadian OA, seperti lari kecil, berenang dan
bersepeda. Risiko terjadinya OA lutut juga meningkat 2-3 kali lebih tinggi
pada orang dengan pekerjaan berat, seperti buruh dibanding pekerja yang
tidak terlalu banyak bergerak (Gaudreault, 2015).

2.1.4 Etiopatogenesis
Osteroartritis dibedakan menjadi duaberdasarkan patogenesisinya,
yaitu OA primer dan OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik
yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya
dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA
sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin,
inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta
8

imobilisasi yang terlalu lama. Osteoartritis primer lebih sering ditemukan


dibanding OA sekunder (Soeroso, Harry dan Handono, 2014)
Selama ini OA sering dipandang sebagaiakibat suatu proses
ketuaan yang tidak dapat dihindari. Para pakar yang meneliti penyakit ini
sekarang berpendapat bahwa OA ternyata merupakan penyakit gangguan
homestasis dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur
proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas diketahui. Jejas
mekanis dan kimiawi pada sinovia sendi terjadi multifaktorial antara lain
karena umur, stres mekanis atau penggunaan sendi yang berlebih, defek
anatomik, obesitas, genetik, humoral dan faktor kebudayaan (Soeroso,
Harry dan Handono, 2014). Jejas mekanis dan kimiawi ini diduga
merupakan faktor penting yang merangsang terbentuknya molekul
abnormal dan produk degradasi kartilago didalam cairan sinovial sendi
yang mengakibatkan terjadi inflamasi sendi, kerusakan kondrosit dan
nyeri. Osteoartritis ditandai dengan fase hipertrofi kartilago yang
berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas atau sintesis matriks
makromolekul oleh kondrosit sebagai kompensasi perbaikan (repair).
Osteoartritis terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi rawan sendi,
remodelling tulang dan inflamasi cairan sendi (Soeroso, Harry dan
Handono, 2014)
Beberapa penelitian membuktikan bahwa tulang rawan sendi
ternyata dapat melakukan perbaikan sendiri dimana kondrosit akan
mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru. Proses perbaikan ini
dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol
proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel. Faktor ini menginduksi
kondrosit untuk mensintesisis asam deoksiribonukleat (DNA) dan proteon
seperti kolagen serta proteoglikan. Faktor pertumbuhan yang berperan
adalah insulin-like growth factor (IGF-1), growth hormon, transforming
growth factor b (TGF b) dan coloni stimulating factors (CSFs). Faktor
pertumbuhan seperti IGF-1 memegang peranan penting dalam proses
9

perbaikan rawan sendi. Pada keadaan inflamasi, sel menjadi kurang


sensitif terhadap efek IGF-1 (Soeroso, Harry dan Handono, 2014).

Gambar 1. Patogenesis OA. Proses perbaikan rawan sendi dan faktor


keseimbangan antara sintesis matriks dan hilangnya matriks (sumber:
Soeroso, Harry dan Handono, 2014)

Gambar 2. Perubahan struktur pada sendi dengan osteoartritis. (sumber:


Caspian J Intern Med. 2011 Summer; 2(3): 235)

Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah keseimbangan


metabolisme rawan sendi. Kelebihan produk hasil degrasasi matriks rawan
sendi ini cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan
sendi serta mengawali suatu respons imun yang menyebabkan inflamasi
sendi. Rerata perbandingan antara sintesis dan pemecahan matriks rawan
sendi pada pasien OA kenyataannya lebih rendah dibanding normal yaitu
0,29 dibanding 1 (Soeroso, Harry dan Handono, 2014)
10

Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan


aktivitas fibrinogenik dan penurunan fibrinolitik. Proses ini menyebabkan
terjadinya penumpukan trombus dan kompleks lipid pada pembuluh darah
subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan
subkhondral tersebut. Ini mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi
seperti prostaglandin dan interlukin yang selanjutnya menimbulkan bone
aging lewat subkhondral yang diketahui mengandung ujung saraf sensibel
yang dapat menghantarkan rasa sakit. Penyebab rasa sakit itu dapat juga
berupa akibat dari dilepasnya mediator kimiawi seperti kinin dan
prostaglandin yang menyebabkan radang sendi, peregangan tendo atau
ligamentum serta spasmus otot-otot ekstra artikular akibat kerja yang
berlebih. Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang
menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis
serta kenaikan tekanan vena intrameduler akibat stasis vena intramedular
karena proses remodelling pada trabekula dan subkondral (Soeroso, Harry
dan Handono, 2014).
Peran makrofag didalam cairan sendi juga penting, yaitu apabila
dirangsang oleh jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau
CSFs, akan memproduksi sitokin aktivator plasminogen (PA) yang disebut
katabolin. Sitokin tersebut adalah IL-1, IL-6, TNF-a dan b, dan interferon
(IFN) a dan t. Sitokin-sitokin ini akan merangsang kondrosit melalui
reseptor permukaan spesifik untuk memproduksi CSFs yang sebaliknya
akan mempengaruhi monosit dan PA untuk mendegrasasi rawan sendi
secara langsung. Pasien OA mempunyai kadar PA yang tinggi pada cairan
sendinya. Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan sendi
(Soeroso, Harry dan Handono, 2014).
Interleukin-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi, yaitu
meningkatkan sintesis sendi yang mendegradasi rawan sendi yaitu
stromelisin dan kolagenosa, menghambat proses sintesis dan perbaikan
normal kondrosit. Pada percobaan binatang ternyata pemberian human
recombinant IL-1a sebesar 0,01 ng dapat menghambat sintesis
11

glukoaminoglikan sebesar 50% pada hewan normal. Kondrosit pasien OA


mempunyai reseptor IL-1 2 kali lipat lebih banyak dibanding individu
normal dan kondrosit sendiri dapat memproduksi IL-1 secara lokal
(Soeroso, Harry dan Handono, 2014).
Faktor pertumbuhan sitokin tampaknya mempunyai pengaruh yang
berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang
degradasi komponen matriks rawan sendi, sebaliknya faktor pertumbuhan
merangsang sintesis, padahal IGF-1 pasien OA lebih rendah dibandingkan
individu normal pada umur yang sama. Percobaan pada kelinci
membuktikan bahwa puncak aktivitas sintesis terjadi setelah 10 hari
perangsangan dan kembali normal setelah 3-4 minggu (Soeroso, Harry dan
Handono, 2014).

2.1.5 Manifestasi Klinis


Riwayat perjalanan penyakit osteoartritis lutut masih kurang
dipahami hingga saat ini. Gejala osteoartritis sangat bervariasi pada setiap
individu. Gejalanya meliputi nyeri sendi, kekakuan, pembengkakan,
penurunan fungsi, dan keretakan atau terdapat rasa gemeretak saat sendi
digerakkan. Karakteristik nyerinya adalah pada intensitas, kualitas, dan
prediktabilitasnya serta rasa nyeri saat bergerak ataupun tidur. Gejalanya
biasanya dimulai bertahap dengan riwayat ketidaknyamanan pada lutut
yang lama dan mengalami eksaserbasi. Nyeri yang dirasakan sering
berubah-ubah tingkat keparahannya dan terjadi secara perlahan. Pasien
biasanya merasakan nyeri dan penurunan fungsi yang meningkat dari
waktu ke waktu dan makin parah saat beraktivitas menahan beban
dibanding saat istirahat.Menurut hasil temuan the European League
Against Rheumatism (EULAR), gejala khas pada osteoartritis lutut adalah
nyeri yang sering memburuk menjelang sore hari, berkurang saat istirahat,
dan hanya nyeri dan kaku ringan di pagi hari saat belum beraktivitas. Pada
kasus lanjut, nyeri dirasakan lebih sering dan bahkannyeri di malam hari
dapat terjadi. Pada kelompok usia diatas 40 tahun dengan nyeri lutut,
12

biasanya terdapat kekakuan pagi yang ringan, keterbatasan fungsi dan satu
atau lebih temuan khas (krepitus, keterbatasan gerak, dan perbesaran
tulang). Biasanya, terlihat pasien memegang lututnya, yang menandakan
adanya nyeri yang dalam pada sendi atau tulangnya (Alshami, 2014).
Pada pemeriksaan fisik, temuan khas osteoartritis lutut yaitu
krepitus, nyeri atau keterbatasan saat bergerak, perbesaran tulang, dan
efusi pada sendi. Gambaran lain dapat berupa deformitas (fleksi tetap atau
varus – valgus jarang terjadi), ketidakstabilan, periarticular yang lunak dan
nyeri pada penekanan patellofemoral. Gerakan fisiologi dari tibiofemoral,
kemungkinan sendi patellofemoral, dapat memicu nyeri dan keterbatasan
gerak. Defisit sensorimotor dan perubahan kontrol neuromuskuler juga
dapat terjadi pada pasien osteoartritis lutut. Hambatan gerakan pada otot
quadriceps dapat terjadi akibat berkurangnya kemampuan otot untuk
berkontraksi karena nyeri dan pembengkakan yang ada (Alshami, 2014).

2.1.6 Diagnosis
Deteksi dini dan perbaikan faktor risiko pada pasien osteoartritis
sangatlah penting. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat
penyakit, gambaran klinis dari pemeriksaan fisik dan hasil dari
pemeriksaan radiologi. Berikut adalah klasifikasi diagnosis berdasarkan
kriteria American College of Rheumatology (ACR) pada tabel 1 (Heidari,
2011).
Namun pada sejumlah pasien, terutama pada pasien dengan
gambaran klinis yang dicurigai, konfirmasi penegakan diagnosis OA
diperlukan pemeriksaan radiografi atau MRI. Informasi mengenai
gambaran klinis dan faktor risiko seperti usia, jenis kelamin, indeks massa
tubuh, tidak adanya nyeri pada keseluruhan kaki, onsetnya akibat cidera,
kesulitan menuruni tangga, efusi teraba, deformitas flexi tetap (varus),
keterbatasan gerakan fleksi, dan krepitasi sangat membantu dan mampu
memprediksi perkembangannya berdasarkan temuan radiografi dengan
tingkat sensitivitas 94% dan spesifisitas 93% (Heidari, 2011).
13

Tabel 1. Klasifikasi Diagnosis Osteoartritis berdasarkan Kriteria American


College of Rheumatology (ACR)
Klinis Klinik dan Radiologis Klinik dan
Laboratorium
Nyeri lutut + Nyeri lutut + Nyeri lutut +
Minimal 3 dari 6 : Minimal 1 dari 3 : Minimal 5 dari 9 :
1) Usia > 50 1) Usia > 50 1) Usia > 50 tahun
tahun tahun 2) Kaku pagi < 30
2) Kaku pagi < 30 2) Kaku pagi < 30 menit
menit menit 3) Krepitasi saat
3) Krepitasi saat 3) Krepitasi saat bergerak
bergerak bergerak dan 4) Pembesaran
4) Nyeri tekan terdapat tulang
5) Pembesaran osteofit 5) Tidak terasa
tulang hangat pada
6) Tidak terasa perabaan
hangat pada synovium
perabaan 6) LED < 40
synovium mm/jam
7) RF < 1:40
8) Cairan sendi
yang
menandakan
osteoartritis
Sumber : Alshami A..: Arthritis Rheum 29:1039, 1986
Keterangan :
LED: laju endap darah; RF: Rheumatoid factor
Penegakan diagnosis osteoartritis lutut juga dapat dilakukan
dengan menggunakan kriteria diagnostik oleh the European League
Against Rheumatism (EULAR). Apabila terdapat semua 3 keluhan klinis
14

(nyeri lutut persisten, kaku pagi dan penurunan fungsi) dan semua 3 tanda
khas (krepitasi, keterbatasan gerak, dan pembesaran tulang) maka
diagnosis osteoartritis lutut 99% dapat ditegakkan (Heidari, 2011).

2.1.7 Penilaian intensitas nyeri


International Association for the Study of Pain (IASP)
mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensori dan emosional yang
tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan
potensial(Mob, Adedoyin, dan Anifaloba, 2003). Keluhan nyeri sendi pada
pasien osteoartritis lutut merupakan keluhan utama yang seringkali
membawa pasien ke dokter (meskipun mungkin sebelumnya sendi sudah
kaku dan berubah bentuknya). Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan
dan sedikit berkurang dengan istirahat (Soeroso, Harry dan Handono,
2014). Nyeri yang dirasakan oleh pasien osteoartritis lutut ini sangat
bersifat subjektif sehingga dalam prakteknya, pengukuran yang sering
digunakan adalah menggunakan VAS (Visual Analog Scale).
Visual Analog Scale (VAS) banyak digunakan secara luas karena
cukup sederhana dan sesuai untuk berbagai populasi dan keadaan.
Akseptabilitasnya sebagai pengukuran intensitas nyeri sudah dimulai sejak
awal tahun 1970an (Hawker dkk, 2011). Skala ini dinilai dengan bertanya
kepada pasien mengenai derajat nyeri yang diwakili dengan angka 0 (tidak
ada nyeri) sampai 10 (nyeri sangat hebat). Derajat rasa nyeri berdasarkan
skala VAS dibagi dalam beberapa kategori yaitu 0,5 – 1,9 derajat sangat
ringan; 2,0 – 2,9 ringan; 3,0 – 4,9 sedang; 5,0 – 6,9 kuat; 7,9 – 9,9 sangat
kuat dan 10 sangat kuat sekali (Hawker dkk, 2011)
15

2.1.8 Terapi
Hingga saat ini, tidak ada terapi kuratif untuk tatalaksana
osteoartritis dan pengobatannya kebanyakan ditujukan untuk mengatasi
rasa nyeri dan keterbatasan gerak. Tatalaksana yang optimal untuk pasien
osteoartritis memerlukan modalitas terapi non-farmakologis dan terapi
farmakologis. Berdasarkan data yang ada, tidak ada perbedaan yang
signifikan secara statistik antara terapi non-farmakologis dan terapi
farmakologis (Heidari, 2011).

Tabel 2. Rekomendasi terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis


oleh American College of Rheumatology pada pasien osteoartritis
1 Edukasi pasien
2 Penurunan berat badan
3 Latihan aerobik
4 Terapi fisik
5 Latihan range of motion
6 Latihan kekuatan otot
7 Alat bantu untuk ambulasi
8 Patellar tapping
9 Penggunaan alas kaki yang sesuai
10 Penggunaan brace
11 Terapi okupasi
12 Pelindung sendi
13 Alat bantu untuk aktifitas sehari-hari
Sumber : Caspian J Intern Med. 2011 Summer; 2(3): 249–255.
Tujuan awal terapi sering kali difokuskan untuk mengurangi rasa
nyeri. Asetaminofen dan Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) sering
digunakan untuk menghilangkan nyeri yang ringan hingga sedang.
Penggunaan OAINS biasanya lebih efektif dibandingkan asetaminofen,
namun komplikasi terapi OAINS jangka panjang lebih tinggi, sehingga
dipertimbangkan asetaminofen sebagai lini-pertama terapi OA. Pada kasus
16

OA yang tidak merespon pengobatan dengan OAINS maupun


asetaminofen, ataupun pada kasus OA yang lebih parah dan adanya
peradangan, pemberian terapi alternatif perlu dipertimbangkan. Kombinasi
OAINS dan asetaminofen dapat digunakan apabila penggunaan salah
satunya dinilai kurang untuk mengendalikan rasa nyeri. Pemberian
inhibitor COX-2 juga perlu dipertimbangkan untuk pasien dengan risiko
perdarahan gastointestinal. Bagaimanapun, obat-obatan ini berkaitan
dengan peningkatan risiko komplikasi kardiovaskular (Heidari, 2011)
 Penurunan berat badan
Berat badan yang berlebih ternyata merupakan faktor yang akan
memperberat penyakit OA. Oleh karenanya berat badan harus
selalu dijaga agar tidak berlebihan. Apabila berat badan berlebih,
maka harus diusahakan penurunan berat badan, bila mungkin
mendekati berat badan ideal. Suatu analisis meta-regresi
menunjukkan bahwa kecacatan dapat berkurang secara signifikan
ketika berat lebih dari 5,1% atau pada penurunan >0,24% per
minggu. Penurunan berat badan ini juga diharapkan dapat
memperbaiki kondisi klinis umum lainnya seperti diabetes,
hipertensi, dan dislipidemia yang biasanya juga terjadi bersamaan
OA.
 Terapi intraartikular OA lutut
Terapi kortikosteroid intraartikular biasanya direkomendasikan
pada pasien yang tidak merespon pemberian asetaminofen dan
OAINS, khususnya dikatakan efektif pada pasien yang memiliki
efusi sendi. Aspirasi cairan sendi dan injeksi long-acting
kortikosteroid intraartikular seperti methylprednisolone dan
tramcinolone memberikan efek pengurangan rasa nyeri,
peningkatan fungsi dan baik untuk perisapan pasien untuk
melanjutkan ke terapi lebih lanjut seperi terapi fisik dan program
penurunan berat badan.
 Terapi eksperimental
17

Statins terbukti dapat mencegah degradasi matriks tulang rawan


dan memperlambat degenerasi kartilago. Oleh karena itu, statin
dianggap sebagai agen terapeutik untuk perlindungan kartilago
terhadap perkembangan penyakit OA lutut.
 Terapi fisik
Pasien dengan OA lutut simtomatik sebaiknya melakukan terapi
fisik, berupa latihan yang cukup untuk mengurangi nyeri dan
meningkatkan kapasitas fungsi. Penggunaan modalitas termal
dinilai efektif menghilangkan gejala OA. Cryotherapy dapat
dilakukan dengan pemijatan menggunakan es.
 Glukosamin
Glukosamin dapat mennurunkan progresivitas kerusakan tulang
rawan, yaitu dengan menghambat sejumlah enzim yang berperan
dalam proses degradasi tulang rawan, antara lain : hialuronidase,
protease, elastase dan cathepsin B1 in vitro dan juga merangsang
sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang rawan
sendi manusia.
 Kondroitin sulfat
Kondroitin sulfat merupakan komponen penting dalam jaringan
kelompok vetebrata, dan terutama terdapat pada matriks
ekstraseluler sekeliling sel. Salah satu jaringan yang mengandung
kondroitin sulfat adalah tulang rawan sendi dan zat ini merupakan
bagian dari proteoglikan. Pemberian kondroitin sulfat pada pasien
OA mempunyai efek protektif terhadap terjadinya kerusakan tulang
rawan sendi. Mekanisme utama kondroitin sulfat pada pasien OA,
yaitu : 1) anti inflamasi; 2) efek metabolik terhadap sintesis
hialuronat dan proteoglikan; 3) anti-degradatif melalui hambatan
enzim proteolitik dan menghambat efek oksigen reaktif
 Brace dan alat kaki
Ketidakstabilan varus atau valgus ringan atau sedang dapat
diperbaiki dengan knee brace. Penggunaan brace valgus dapat
18

meningkatkan skor WOMAC. Knee brace dan foot orthoses dapat


dipertimbangkan sebagai tatalaksana konservatif untuk mengurangi
nyeri dan kekakuan serta meningkatkan fungsi fisik pada pasien
osteoartritis lutut. Tatalaksana ini juga terbukti dapat meningkatkan
proprioseptif, keseimbangan, grade Kellgren/Lawrence dan skor
fungsi fisik pada penderita osteoartritis lutut dengan varus dan
valgus.
 Aktivitas dan latihan
Pasien dengan OA lutut sebaiknya melakukan latihan berjalan
aerobik secara teratur dan latihan kekuatan otot serta berbagai
latihan gerak lainnya. Penggunaan alat bantu berjalan juga bisa
mengurangi rasa sakit pada penderita OA lutut.
 Terapi bedah
Pasien osteoartritis lutut awalnya harus dirawat secara konservatif,
dan pembedahan harus dipertimbangkan jika gejala pada lututnya
tidak dapat terkontrol oleh terapi non-farmakologis maupun terapi
farmakologis.
Terapi bedah pada OA lutut dapat berupa artroskopi, osteotomi,
dan artroplasti lutut. Penentuan prosedur yang paling sesuai untuk
keadaan pasien didasarkan beberapa faktor, yaitu lokasi, tingkat
keparahan progresivitas OA, karakteristik pasien dan faktor risiko
lainnya (Heidari, 2011)

2.2 Kualitas Hidup


World Health Organization (WHO) mendefinisikan kualitas hidup
sebagai persepsi individu mengenai kedudukan mereka dalam kehidupan
dilihat dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal serta
hubungannya dengan tujuan, harapan, standar, dan hal-hal lain yang
menjadi perhatian individu tersebut. Berdasarkan definisinya, WHO
mengimplikasikan bahwa kualitas hidup ditentukan oleh persepsi
individual mengenai kondisi kehidupannya saat ini (Karow, 2014)
19

Kualitas hidup bergantung pada interpretasi emosional yang


diberikan masing-masing individu terhadap fakta dan kejadian yang
terjadi. Kualitas hidup semakindiakui sebagai suatu penilaian yang sangat
bergantung pada subjektivitas seseorang. Di bidang kesehatan yang
spesifik, misalnya, ada variabilitas yang berarti antara kapasitas masing-
masing individu untuk menghadapi keterbatasan fisik atau penyakit serta
ekspektasi mereka terhadap kesehatannya. Konsep individu ini
mempunyai pengaruh determinan dalam persepsi dan penilaian orang
terhadap kondisi kesehatan mereka. Dengan demikian, dua orang dengan
kondisi fungsional yang sama atau kondisi kesehatan secara objektif yang
sama (misalnya, artritis rematik), dapat memiliki kualitas hidup yang
berbeda. (Xavier dkk, 2003). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
kualitas hidup merupakan suatu persepsi atau penilaian subjektif dari tiap
individu yang meliputi bebagai aspek yaitu kondisi fisik, psikologis, sosial
dan lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai studi mengenai kualitas hidup telah banyak dilakukan
untuk meneliti aspek-aspek kehidupan yang penting bagi individu dalam
hubungannya dengan kualitas hidup. Berbagai aspek-aspek kualitas hidup
menurut para ahli, diantaranya dapat dilihat pada tabel 3.
20

Tabel 3. Aspek-aspek Kualitas Hidup Menurut Para Ahli (Galloway,


2005)
Felce (1996) Schalock World Health Hagerty dkk Cummins
(2000), p.118 Organization (2001), pp. 74- (1997)
QOL 75
definition
Disabilitas/ Disabilitas/ Kesehatan Indikator studi Disabilitas
Psikologi Psikologi sosial
6 kemungkinan 8 domain 6 domain : 7 domain 7 domain
domain : utama : utama : utama :
Kesejahteraan Kesejahteraan Fisik Kesehatan Kesehatan
fisik fisik
Kesejahteraan Kesejahteraan Lingkungan Kesejahteraan Kesejahteraan
material material material material
Kesejahteraan Keterlibatan Hubungan Merasa satu Kesejahteraan
sosial sosial sosial bagian dari masyarakat
masyarakat
setempat
Kesejahteraan Pekerjaan dan Pekerjaan/
produktif aktivitas aktivitas
produktif produktif
Kesejahteraan Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan Kesejahteraan
emosional emosional emosional emosional
Hak atau Hak
kesejahteraan
warga negara
Hubungan Hubungan Hubungan
intra-personal dengan sosial/ keluarga
keluarga dan
kerabat
Pengembangan
diri
Penentuan Tingkat
nasib sendiri kemandirian
Spiritual
Keselamatan Keselamatan
pribadi

Berdasarkan perbandingan aspek-aspek kualitas hidup oleh


beberapa ahli, maka aspek kualitas hidup yang digunakan dalam penelitian
ini mengacu pada aspek-aspek kualitas hidup yang terdapat pada World
Heath Organization Quality of Life Bref version (WHOQoL-BREF)
karena sudah mencakup keseluruhan kualitas hidup. Instrumen WHOQoL-
BREF juga dinilai lebih sesuai untuk mengukur kualitas hidup pasien
21

dengan kondisi kronis, seperti penderita osteoartritis yang mengalami


nyeri yang berkelanjutan (Hand, 2016).
Instrumen kualitas hidup WHOQoL-BREF telah banyak digunakan
di berbagai negara untuk menilai kualitas hidup pada pasien dewasa
maupun lansia dengan kondisi penyakit kronis. WHOQoL-BREF
ditujukan untuk mengevaluasi kualitas hidup dan efek dari penyakit,
gangguan, atau intervensi kesehatan terhadap kualitas hidup pasien.(Hand,
2016). Pengembangan WHOQoL-BREF merupakan suatu proyek multi-
nasional, yaitu berdasarkan dengan konsep lintas budaya sehingga
penggunaannya dapat digunakan di berbagai negara(Theofilou, 2013)
WHOQoL-BREF menilai empat aspek dari kualitas hidup, yaitu
kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, hubungan sosial dan hubungan
dengan lingkungan (Tabel 4).

Tabel 4. Aspek-aspek kualitas hidup menurut instrumen WHOQoL-BREF


Domain Aspek yang termasuk dalam domain
1. Kesehatan fisik Aktivitas kehidupan sehari-hari
Ketergantungan pada zat dan alat bantu medis
Energi dan kelelahan
Mobilitas
Rasa sakit dan ketidaknyamanan
Tidur dan istirahat
2. Psikologis Penampilan fisik
Perasaan negatif
Perasaan positif
Harga diri
Spiritualitas/ Agama/ Kepercayaan personal
Berpikir, belajar, ingatan dan konsentrasi
3. Hubungan sosial Hubungan pribadi
Dukungan sosial
Aktivitas seksual
4. Lingkungan Sumber keuangan
Kebebasan, keamanan fisik dan perlindungan
Perawatan kesehatan dan sosial : aksesibilitas
dan kualitas
Lingkungan rumah
Kesempatan memperoleh informasi baru dan
keterampilan
22

Keikutsertaan dalam dan kesempatan untuk


rekreasi
Lingkungan fisik (polusi/ bising/ lalu lintas/
iklim)
Transportasi

Pada kuesioner WHOQoL-BREF terdapat 24 item yang telah


dibagi menjadi masing-masing domain,yaitu 7 item kesehatan fisik
(domain 1), 6 item kesehatan psikologis (domain 2), 3 item hubungan
sosial (domain 3) dan 8 item kesehatan lingkungan (domain 4). Setiap item
diberi nilai dengan skala Likert 5 poin. Setiap item dari kuesioner
WHOQoL-BREF dinilai dengan skala 1 sampai 5. Nilai domain mentah
dari hasil pengumpulan data kuesioner diubah menjadi skor 4-20 sesuai
pedoman WHO dengan program statistical package for social science
(SPSS). Nilai domain diskalakan dengan arah yang positif (yaitu nilai yang
lebih tinggi, menunjukkan kualitas yang lebih tinggi pula). Rata-rata skor
masing-masing item pada tiap domain digunakan untuk menghitung nilai
domain tersebut. Nilai yang didapatkan akan diubah secara linier menjadi
skala 0-100 (Theofilou, 2013).

2.3 Hubungan Intensitas Nyeri dengan Kualitas Hidup


Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif yang paling
umum terjadi dan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
utama di Indonesia. Pada tahun 2010, 56,7% pasien di poliklinik
rheumatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta didiagnosis
menderita osteoartirits (Amanda, 2015).
OA dapat menyerang semua tulang rawan di sekujur tubuh ,
termasuk tulang belakang, sendi panggul, sendi lutut, hingga sendi
pergelangan kaki. Penyakit inimengenai seluruh struktur pada sendi,
dimana terjadi kombinasi antara degradasi rawan sendi, remodelling
tulang dan inflamasi cairan sendi (Soeroso, Harry dan Handono, 2014).
Dua gejala utama yang paling umum dan sangat menganggu penderitanya
adalah nyeri dan keterbatasan fungsi fisik. Kedua gejala ini dapat
23

membatasi kemampuan penderitanya untuk bekerja dan melakukan


aktivitas sehari-harinya secara normal sehingga dinilai berpengaruh
terhadap kualitas hidup penderitanya (Aksekili dkk, 2016).
Kualitas hidup merupakan suatu persepsi atau penilaian subjektif
dari tiap individu yang meliputi bebagai aspek yaitu kondisi fisik,
psikologis, sosial dan lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Seiring
juga dengan bertambahnya usia pasien dan telah dialami dalam jangka
waktu yang cukup panjang, nyeri yang dirasakan pasien OA secara
langsung dapat menurunkan kualitas hidup si penderita. Nyeri ini dapat
menyebabkan suasana hati yang buruk, kesulitan untuk mengerjakan
kegiatan sehari-hari, keterbatasan saat berpartisipasi dalam berbagai acara
atau pekerjaan hingga kesulitan tidur. Semua keterbatasan dan perasaan
tidak nyaman inilah yang menyebabkan penurunan kualitas hidup pada
penderita osteoartritis (Neogi, 2013).
Tidak seperti banyak kondisi nyeri pada penyakit lainnya yang
dapat segera dipulihkan, OA adalah penyakit degeneratif yang tidak dapat
disembuhkan dan disertai dengan pengalaman nyeri yang kronis. Hingga
saat ini, tidak ada terapi kuratif untuk OA, sehingga kualitas hidup yang
dimiliki tiap individu berbeda-beda sesuai persepsi mereka terhadap nyeri
kronis dan keadaan penyakit yang mereka rasakan. Oleh karena itu, tenaga
medis juga perlu mengetahui berbagai aspek kualitas kehidupan yang
dapat dipengaruhi oleh penyakit yang diderita pasiennyaagar dapat
dilakukan juga penanganan dari segi fisik, mental, dan sosial (Jakobsson
dkk,2002)
24

2.4 Kerangka Teori

Faktor resiko

Multifaktorial : Penyakit gangguan homeostatis dari


 Usia metabolisme kartilago dengan
 Jenis kelamin kerusakan struktur proteoglikan
 Suku bangsa dan genetik
 Obesitas
 Cedera sendi
 Pekerjaan dan olahraga Jejas mekanis dan kimiawi

Terbentuknya molekul abnormal


dan produk degradasi kartilago di
cairan sinovial sendi

Nyeri

Gangguan kesehatan Gangguan hubungan


fisik dengan lingkungan

Gangguan Gangguan hubungan


kesejahteraan sosial
psikologis

Penurunan kualitas
hidup
25

2.5 Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Tergantung

Intensitas nyeri pada Kualitas hidup pada


pasien osteoartritis lutut pasien osteoartritis lutut

Visual Analog Scale


WHOQoL-BREF
(VAS)

Вам также может понравиться