Вы находитесь на странице: 1из 16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Lahirnya Genetika Hukum Mendel
Genetika merupakan cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang materi genetik,
strukturnya, reproduksinya, ekspresinya, perubahannya, dan rekombinasi dari genetik itu
sendiri (Corebima, 2009). Cakupan genetika inilah yang membuat genetika dinilai dasar dari
seluruh ilmu terapan dalam biologi. Awal kemunculannya, genetika masih dibagun atas dasar
mitos karena ilmuwan yang pada masa tersebut masih memiliki keterbatasan dalam hal
fasilitas penelitian. Sebelum hukum Mendel muncul, masyarakat umum telah mengetahui
bahwa terdapat fenomena pewarisan sifat baik dari observasi sehari-hari maupun berbagai
penuturan dari kitab suci. Anggapan yang muncul pada masa tersebu adalah anggapan
pangenesis, preformasionisme dan blend inheritances.
Anggapan pangenesis merupakan anggapan bahwa suatu partikel spesifik yang
disebut gemmule yang membawa informasi spesifik dari berbagai bagian tubuh ke organ
reproduksi kemudian mewariskannya pada embryo (Pierce, 2012). Anggapan ini kemudian
dipatahkan oleh teori germ-plasm yang diajukan oleh Weisman, teori ini menyatakan bahwa
pada sel gamet telah memiliki seluruh informasi genetik yang diwariskan pada sperma dan
ovum. Selanjutnya terdapat anggapan preformasionisme yang merupakan anggapan
dipopulerkan oleh Nicolaas Hartsoeker pada tahun 1649 yang menyatakan bahwa dalam
sperma laki-laki telah terbentuk manusia kecil yang disebut dengan homunculus (Hartwell,
2012). Terakhir, terdapat anggapan blend inheritances yang merupakan anggapan yang
muncul di masyarakat bahwa sifat morfologis dan fisiologis anak adalah perpaduan dari
kedua induknya (Pierce, 2012). Anggapan ini didasarkan pada pengamatan bahwa anak
biasanya memiliki beberapa sifat morfologis dan fisiologis dari ayah dan ibunya. Anggapan
dikatakan belum tepat karena tidak bisa menjelaskan kemunculan anak yang benar-benar
berbeda dari orang tuanya, baik dari segi morfologis ataupun fisiologis.
Perdebatan-perdebatan tersebut menemukan titik terang karena penelitian saintifik
terhadap fenomena persilangan dari Mendel. Penelitian ini dimulai pada akhir pertengahan
tahun 1800-an dengan menggunakan Pisum sativum dan dipublikasikan pada tahun 1866.
Ada empat hal yang menyebabkan eksperimen Mendel dapat dianggap sebagai eksperimen
yang mendasari perkembangan genetika secara saintifik. Pertama adalah pemilihan Pisum
sativum sebagai organisme eksperimentalnya. Pisum sativum adalah tumbuhan yang mudah
dikembangbiakkan dan memiliki daur hidup yang singkat. Hal ini memungkinkan Mendel
untuk memperoleh data dari mengobservasi sifat pada banyak individu Pisum sativum dalam
satu waktu yang relatif singkat. Pisum sativum pada kondisi normal biasa berkembangbiak
dengan cara melakukan fertilisasi sendiri (selffertilization). Struktur anatomi bunga Pisum
sativum memudahkan Mendel untuk mencegah terjadinya fertilisasi sendiri. Lebih lanjut, hal
ini juga memudahkan Mendel untuk melakukan fertilisasi silang.
Kedua, Mendel melakukan pengamatan yang terfokus pada pewarisan dari sifat-sifat
tertentu saja beserta alternatif dari sifat-sifat tersebut, misalnya bunga ungu dan bunga putih,
polong hijau dan polong kuning. Mendel melalui pengamatan salah satu sifat dapat
membedakan dan melacak dengan jelas pewarisan atau transmisi dari satu sifat yang diamati
beserta alternatifnya. Hal ini karena sifat-sifat yang diamati Mendel pada Pisum sativum tidak
menunjukkan bentuk intermediate. Sifat yang tidak menunjukkan bentuk intermediate ini
disebut sebagai sifat diskrit (discrete traits), lebih lanjut sifat yang menunjukkan bentuk
intermediate disebut sebagai sifat berkelanjutan (continuous traits) (Hartwell dkk, 2011).
Ketiga, Mendel mengumpulkan dan melestarikan galur murni Pisum sativum
(Hartwell dkk, 2011). Persilangan antara galur murni (pure-breeding lines) menghasilkan
keturunan yang membawa sifat spesifik parental yang tetap konstan dari generasi ke generasi.
Mendel mengamati persilangan galur murni-nya selama lebih dari delapan generasi. Pisum
sativum berbunga putih selalu menghasilkan keturunan berbunga putih, sedangkan Pisum
sativum berbunga ungu selalu menghasilkan keturunan berbunga ungu. Mendel
menyimpulkan bahwa secara konstan dan eksklusif sifat-sifat alternatif seperti bunga ungu
dan putih atau polong hijau dan kuning, saling berlawanan satu sama lain, sehingga sifat-sifat
tersebut disebut juga sifat pasangan antagonistik (antagonistic pairs). Pada eksperimennya,
Mendel tidak hanya melestarikan galur murni sebagai stok saja, namun juga saling
menyilangkan antara galur murni, sehingga diperoleh keturunan hibrida (hybrids) yang secara
genetik tidak sama dengan orangtuanya untuk setiap sifat antagonistik.
Keempat, sebagai ahli dalam persilangan tumbuhan, Mendel dapat secara hati-hati
mengatur persilangan Pisum sativum-nya. Hal ini memungkinkan Mendel untuk mengamati
secara pasti keturunan yang dihasilkan dari persilangan yang dilakukannya. Lebih lanjut,
Mendel selain dapat mengontrol persilangan suatu sifat tertentu, ia juga dapat melakukan
persilangan resiprokal (reciprocal crosses). Persilangan resiprokal ini, Mendel membalik
sifat parental guna menentukan sifat tersebut dibawa oleh sel telur (ovum) dalam ovule atau
oleh sel sperma dalam pollen. Sebagai contohnya, Mendel menggunakan pollen dari Pisum
sativum berbunga ungu untuk membuahi sel telur Pisum sativum berbunga putih, demikian
juga sebaliknya. Dikarenakan keturunan dari persilangan resiprok adalah sama, maka Mendel
menyimpulkan bahwa kedua parental memiliki kontribusi yang setara pada pewarisan sifat
(Hartwell dkk, 2011).
Kelima, Mendel bekerja dengan sejumlah besar tumbuhan, menghitung seluruh
keturunannya, melakukan analisis numerik terhadap hasil temuannya dan kemudian
membandingkan antara hasil temuannya dengan model yang disusunnya. Mendel adalah
orang pertama yang mempelajari pewarisan sifat secara kuantitatif, hal ini kemungkinan
besar disebabkan oleh latar belakang pendidikan matematika dan fisika yang diterimanya.
Analisis numerik yang disusun Mendel secara hati-hati menunjukkan pola pewarisan
(transmisi) sifat yang kemudian menggambarkan dasar hukum pewarisan sifat.
Terakhir, Mendel adalah seorang eksperimentalis parktik yang brillian. Contohnya,
ketika membandingkan antara Pisum sativum tinggi dan pendek, Mendel memastikan bahwa
Pisum sativum pendek tidak tertutup oleh Pisum sativum tinggi, sehingga pertumbuhannya
tidak terhambat. Mendel dengan tegas hanya berfokus pada sifat-sifaat tertentu dari Pisum
sativum saja daripada seluruh sifat yang muncul saat tumbuhan tersebut tumbuh. Melalui cara
ini, Mendel dapat mengamati lebih banyak individu pada ruang kebun biara yang terbatas,
dan dia dapat mengevaluasi hasil dari persilangan pada satu kali musim tumbuh.
2.2 Hukum Pewarisan Sifat Mendel I
Keberhasilan dalam pengisolasian galur murni (pure-breeding lines) dari beberapa
set sifat ini membuat Mendel kemudian melakukan beberapa persilangan pada individu-
individu dengan satu sifat beda, misalnya warna biji dan panjang batang. Setiap persilangan
memiliki satu induk membawa satu bentuk sifat dan induk lainnya membawa bentuk
alternatif dari sifat tersebut. Persilangan Pisum sativum dengan polong berwarna kuning dan
Pisum sativum dengan polong berwarna hijau adalah parental (P) dan resiproknya. Seluruh
keturunan yang dihasilkan memiliki polong yang berwarna kuning. Seluruh keturunan dari
generasi P disebut sebagai generasi filial pertama (F1) (Hartwell dkk, 2011). Selanjutnya,
Mendel menanam kembali polong F1 tersebut dan membiarkannya mengalami fertilisasi
sendiri. Eksperimen yang melibatkan persilangan hibrida dengan satu sifat beda disebut
sebagai persilangan monohibrida (monohybrid crosses) (Hartwell dkk, 2011). Keturunan
yang dihasilkan dari persilangan antar sesama F1 disebut sebagai filial kedua (F2) (Hartwell
dkk, 2011). Hasil berupa seluruh keturunan yang dihasilkan dari persilangan antar sesama F1
dihasilkan 6022 F2 berpolong kuning dan 2001 F2 berpolong hijau. Data dari hasil
persilangan tersebut kemudian dianalisis secara matematis sehingga diperoleh perbandingan
3 kuning : 1 hijau. Persilangan resiprok yang dilakukan Mendel untuk sifat warna polong
juga diperoleh hasil yang sama. Hal ini kemudian mendasari munculnya perbandingan 3 : 1
pada persilangan monohibrida (Hartwell dkk, 2011).
Kehadiran Pisum sativum berpolong hijau pada F2 adalah bukti tak terbantahkan
bahwa peristiwa blend inheritances tidak terjadi. Jika peristiwa blend inheritances terjadi
maka sifat yang membawa warna polong hijau akan hilang pada F1 sebab tercampur dengan
sifat warna polong kuning, sifat yang tercampur tidak mungkin dimurnikan lagi (Hartwell
dkk, 2011). Hal tersebut mendasari Mendel untuk menyimpulkan bahwa pasti ada dua tipe
sifat polong warna kuning, yakni polong warna kuning mutlak seperti yang terdapat pada
generasi parental (P) dan sifat polong warna kuning yang terdapat pada hibrida F1. Jenis
kedua inilah yang kemudian informasi sifat polong berwarna hijau. Mendel kemudian
menyebut bahwa sifat yang muncul pada setiap F1 sebagai sifat dominan -pada kasus ini sifat
polong warna kuning, sedangkan sifat antagonis yang tetap ada namun tersembunyi pada F1
namun muncul kembali pada F2 sebagai sifat resesif (Hartwell dkk, 2011).
Penjelasan tentang hasil eksperimennya Mendel ini menggunakan penjelasan bahwa
untuk setiap sifat pada Pisum sativum, memiliki dua salinan unit pewarisan. Setiap unit
pewarisan menentukan satu sifat. Setiap individu menerima satu salinan unit pewarisan sifat
dari induk jantan dan satu salinan dari induk betina, sehingga setiap individu memiliki dua
salinan unit pewarisan sifat. Unit pewarisan inilah yang nantinya disebut sebagai gen. Setiap
gen memiliki bentuk alternatif yang disebut dengan alel. Kombinasi antara berbagai bentuk
alternatif dari suatu gen tersebut menentukan sifat morfologis yang diamati oleh Mendel.
Sebagai contoh misalnya gen pengkode warna polong memilki dua bentuk alternatif yakni
warna kuning dan hijau. Persilangan monohibrida Mendel ini menyilangkan satu alel bersifat
dominan dan satu alel yang lain bersifat resesif. Hasil generasi parental (P) salah satu induk
memiliki alel domina dan satunya lagi memiliki alel resesif. Pada generasi F1 memiliki satu
alel dominan dan satu alel resesif, kondisi yang seperti itu disebut dengan kondisi
heterozigot.
Mendel menjelaskan bahwa setiap parental mewariskan satu salinan dari setiap
gennya kepada keturunannya sebagai akibat dari terjadinya pembelahan meiosis saat proses
pembentukan gamet. Gamet adalah sel yang berdiferensiasi untuk membawa gen-gen dari
parental ke keturunannya. Gamet ada dua macam yakni gamet jantan yakni sperma (pada
tumbuhan terdapat dalam serbuk sari) dan gamet betina ovum (pada tumbuhan terdapat pada
ovule). Lebih lanjut, Mendel menjelaskan bahwa selama pembelahan meiosis pada proses
gametogenesis, kedua salinan dari setiap gen yang dimiliki oleh parental saling berpisah
(bersegregasi) sehingga setiap gamet hanya menerima salah satu alel dari setiap gen.
Kemudian saat proses fertilisasi berlangsung, salah satu polen dengan satu alel untuk setiap
gen bergabung dengan salah satu ovum dengan satu alel untuk setiap gen secara acak,
sehingga zigot yang terbentuk memiliki dua alel untuk setiap gen atau bisa juga disebut
memiliki dua salinan untuk setiap gen.
Tiga prinsip utama hukum Mendel I ini adalah, pertama setiap sifat sekurang-
kurangnya memiliki dua alel (Pierce, 2012). Kedua, dua alel dari suatu sifat berpisah secara
bebas (acak) selama proses pembentukan gamet (gametogenesis) (Hartwell dkk, 2011), dan
ketiga, Alel yang berpisah secara acak menghasilkan gamet dengan proporsi yang setara
(equal proportion) (Pierce, 2012).
2.3 Sistematika Drosophila melanogaster
Drosophila melanogaster merupakan kelompok insekta bersayap yang masuk dalam
ordo Dipteran dan berada pada genus Drosophila. Secara lebih lengkap, Strickberger (1962)
menyatakan bahwa Drosophila melanogaster memiliki sistematika sebagaimana di bawah
ini.
Filum : Arthropoda
Anak filum : Mandibulata
Induk kelas : Hexapoda
Kelas : Insekta
Anak kelas : Pterygota
Bangsa : Diptera
Anak bangsa : Cyclorrapha
Induk suku : Ephydroidea
Suku : Drosophilidae
Marga : Drosophila
Anak marga : Sophophora
Spesies : Drosophila melanogaster
Drosophila melanogaster merupakan hewan yang paling sering digunakan dalam
penelitian genetika, evolusi, fisiologi, dan sejarah kehidupan. Hal ini terjadi Karena
Drosophila melanogaster termasuk serangga yang mudah berkembangbiak dan sangat cocok
sebagai kajian-kajian genetika (Breitenbach, 1997). Menurut Bolker (1995) organisme yang
dapat digunakan sebagai kajian genetika merupakan organisme yang mampu
berkembangbiak dengan cepat, memiliki waktu generasi yang pendek, serta struktur yang
sederhana dan persyaratan tersebut dapat ditemukan pada Drosophila melanogaster. Selain
itu, lalat buah ini memiliki variasi fenotip yang relatif mudah diamati serta proses perawatan
yang cukup mudah. Drosophila melanogaster telah menjadi kajian atau objek dalam
penelitian genetika sejak awal abad ke 20 (Dubnau, 2014). Menurut Capy dan Gibert (2004)
Drosophila melanogaster adalah subjek penelitian yang sangat ekstensif untuk digunakan
dalam penelitian genetika.
2.4 Karakteristik Drosophila melanogaster
Karakteristik Drosophila melanogaster ini adalah memiliki panjang tubuh dewasa 2-
3 mm, imago betina umumnya lebih besar dibandingkan dengan yang jantan, tubuh berwarna
coklat kekuningan dengan faset mata berwarna merah berbentuk elips. Terdapat pula mata
oceli yang mempunyai ukuran jauh lebih kecil dari mata majemuk, berada pada bagian atas
kepala, diantara dua mata majemuk, berbentuk bulat. Sealain itu, ciri utama adalah adanya
sedikit kromosom, dengan genom yang kecil, dan memiliki kromosom raksasa pada kelenjar
ludahnya (Hartwell, dkk., 2011). Kromosom (sebagai pembawa bahan keturunan) pada
Drosophila melanogaster berjumlah delapan, yaitu enam autosom (kromosom somatik) dan
dua gonosom (kromosom seks). Pada kromosom ini terdapat DNA (asam
deoksiribonukleat) berpilin ganda yang tersusun dari senyawa kimia berupa gula pentosa
(deoksiribosa), asam fosfat dan basa nitrogen. Basa nitrogen dapat dibedakan atas 2 tipe
dasar, yaitu: pirimidin (yang terbagi atas sitosin/S dan timin/T) dan purin (yang terbagi atas
adenin/A dan guanin/G). Komposisi basa nitrogen pada Drosophila melanogaster, adalah
30,7% untuk adenine, 19,6 untuk guanine, 20,2% untuk sitosin, dan 29,4% untuk timin
(Suryo, 2008).
Lalat jantan mempunyai sex comb (sisir kelamin) pada kaki depannya, sehingga
dapat digunakan sebagai alat identifikasi, sedangkan lalat betina tidak memiliki sisir
kelamin. Lalat jantan mempunyai tanda berwarna gelap atau hitam pada abdomen
bagian dorsal sedangkan pada lalat betina tidak ada, seperti yang terlihat pada gambar 2.2
(Chyb & Gompel, 2012).
Gambar 2.2 Drosophila melanogaster betinda dan jantan (Chyb & Gompel, 2012).
2.5 Siklus Hidup Drosophila melanogaster
Drosophila melanogaster atau yang selanjutnya disebut dengan D. melanogaster
merupakan insekta dengan empat tahapan dalam siklus hidupnya. Tahapan tersebut terdiri
atas telur, larva, pupa, dan dewasa. D. melanogaster dapat menghasilkan 100 atau lebih
dalam satu siklus hidupnya. D. melanogasteri ini menghabiskan kurang lebih 12 hari dalam
satu siklus hidupnya, dimana lima harinya akan dihabiskan pada tahap telur dan larva.,
kemudian empat hari aka nada pada tahap pupa, dan sisa waktu yang ada untuk tahap dewasa.
Siklus hidup D. melanogaster ini akan semakin pendek saat kondisi lingkungan tidak
mendukung. Tahap-tahapan hidup D. melanogaster dapat dijabarkan sebgaai berikut :
2.5.1 Telur
Telur D. melanogasteri berukuran 0,5 mm dan berbentuk lonjong. Telur ini dilapisi
oleh dua lapisan, yang pertama selaput vitelin tipis yang mengelilingi sitoplasma dan yang
kedua selaput tipis tetapi kuat (korion) dibagian luar dan di anterior terdapat dua tangkai tipis.
Permukaan korion tersusun atas lapisan kitin yang kaku, berwarna putih transparan. Pada
salah satu ujungnya terdapat filament-filamen yang mencegah supaya telur tidak tenggelam
didalam medium.
2.5.2 Larva
Telur menetas menjadi larva dalam waktu 24 jam. Larva berwarna putih, memiliki
segmen, dengan bentuk menyerupai cacing, mulut berwarna hitam dengan bentuk kait
sebagai pembuat lubang. Pada stadium ini aktifitas makan semakin meningkat dan geraknya
relatif cepat. D. melanogaster pada tahap larva mengalami dua kali molting. Tahap antara
molting satu dan selanjutnya disebut instar. Larva D. meanogaster memiliki tiga tahap instar
yang disebut dengan larva instar-1, larva instar-2, dan larva instar-3 dengan waktu
perkembangan berturut-turut selama 24 jam, 24 jam dan 48 jam diikuti dengan perubahan
ukuran tubuh yang makin besar. Larva instar-1 melakukan aktivitas makan pada permukaan
medium dan pada larva instar-2 mulai bergerak ke dalam medium demikian pula pada larva
instar-3. Aktivitas makan ini berlanjut sampai mencapai tahap pra pupa. Sebelum mencapai
tahap ini larva instar-3 akan merayap dari dasar botol medium ke daerah atas yang relatif
kering (Strickberger, 1962). Selama tahap perkembangan larva, medium mengalami
perubahan dalam komposisi dan bentuk.
2.5.3 Pupa
Proses perkembangan pupa sampai menjadi dewasa membutuhkan waktu 4 - 4,5 hari.
Pada awalnya pupa berwarna kuning muda dengan bagian kutikula mengeras dan berpigmen.
Tahap ini terjadi perkembangan organ dan bentuk tubuh. Dalam waktu yang singkat, tubuh
menjadi bulat dan sayapnya menjadi lebih panjang. Warna tubuh D. meanogaster dewasa
yang baru muncul lebih mengkilap dibandingkan D. meanogaster yang lebih tua.
2.5.4 Dewasa
Lalat dewasa jantan dan betina mempunyai perbedaan morfologi pada bagian
posterior abdomen. Pada lalat betina dewasa terdapat garis-garis hitam melintang mulai dari
permukaan dorsal sampai bagian tepi. Pada lalat jantan ukuran tubuh umumnya lebih kecil
dibandingkan dewasa betina dan bagian ujung segmen abdomen berwarna hitam. Bagian
tarsal pertama kaki depan lalat jantan terdapat bristel berwarna gelap yang disebut sex comb
(Wahyuni, 2013). D. melanogaster ini merupakan organisme yang dapat kawin berulang kali
dan dengan pasangan yang berbeda-beda. D. melanogaster betina mengalami kedewasaan
seksual pada saat beruumur 24 jam dan akan matang pada usia 48 jam setelah menetas.
Sementara itu, D. melanogaster jantan mencapai kedewasaannya 12 jam setelah menetas dan
akan mulai melakukan kopulasi setelah 24 jam setelah menetas (Hartanti, 1998).
2.6 Kerangka Konseptual
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya fenomena Mendel I yang terjadi
pada D. melanogaster strain ♂N >< ♀e dan ♂N >< ♀cl beserta dengan resiproknya.
persilangan. Peristiwa ini sering disebut dengan sebutan tipe rekombinan.
Hukum Mendel I (Hukum segresi pasangan kromosom) merupakan eksperimen yang
melibatkan persilangan hibrida dengan satu sifat beda disebut sebagai persilangan
monohibrida

Hukum Mendel I terjadi saat parental mewariskan satu salinan dari setiap gennya kepada
keturunannya sebagai akibat dari terjadinya pembelahan meiosis saat proses pembentukan
gamet.

Persilangan D. melanogaster strain ♂N >< ♀e dan ♂N >< ♀cl beserta dengan resiproknya
sebagai F1
Persilangan D. melanogaster strain ♂N >< ♀N hasil persilangan F1 strain ♂N >< ♀e dan
♂N >< ♀N hasil persilangan F1 ♂N >< ♀cl beserta dengan resiproknya sebagai F2

Pembahasan : (hasil dari persilangan D. melanogaster strain ♂N >< ♀e dan ♂N >< ♀cl
beserta dengan resiproknya dan hasil keturunan F1 akan disilangkan dengan sesamanya
dan menghasilkan keturunan dengan rasio 3:1). Analisis data menggunakan uji Chi-square

Kesimpulan : hasil F2 dari persilangan strain D. melanogaster ♂N >< ♀N hasil persilangan


F1 strain ♂N >< ♀e dan strain D. melanogaster ♂N >< ♀N hasil persilangan F1 ♂N ><
♀cl menunjukkan adanya fenomena Mendal 1.

2.7 Hipotesis Penelitian


Hipotesis dari penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Fenotip dan rasio yang muncul pada F1 dari persilangan D. melanogaster strain
♂N >< ♀e dan ♂N >< ♀cl beserta dengan resiproknya adalah normal dengan
rasio 1:1.
2. Fenotip dan rasio yang muncul pada F2 dari persilangan D. melanogaster strain
♂N >< ♀N hasil persilangan F1 ♂N >< ♀e dan strain ♂N >< ♀N hasil
persilangan F1 ♂N >< ♀cl beserta dengan resiproknya adalah normal dan mutan
dengan rasio 3:1.
3. Fenomena yang muncul dari persilangan D. melanogaster ♂N >< ♀e dan ♂N ><
♀cl beserta dengan resiproknya telah sesuai dengan hokum Mendel I.
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS
4.1 Rekontruksi Persilangan Monohibrid
Hasil rekontruksi persilangan monohibrid pada strain ♂N >< ♀e dan ♂N >< ♀cl
beserta dengan resiproknya menjelaskan bahwa rasio fenotip F2 pada persilangan ini adalah
3:1 dengan angka 3 untuk normal dan 1 untuk mutan. Rekontruksi tertera seperti di bawah
ini.
4.1.1 Parental pertama (P1)
Fenotip : ♂ Normal (N) >< ♀ Ebony (e)
𝑒+ 𝑒
Genotip : 𝑒 + >< 𝑒

Gamet : e+ ; e
𝑒+
F1 :𝑒

Parental kedua (P2)


Fenotip : ♂ Normal (N) >< ♀Normal (N)
𝑒+ 𝑒+
Genotip : 𝑒 >< 𝑒

Gamet : e ; e ; e+ ; e
+

F2 : ♂
e+ e

𝑒+ 𝑒+
e+ (N) (N)
𝑒+ 𝑒

𝑒+ 𝑒
E (N) (e)
𝑒 𝑒

Rasio F2 : 3(N) : 1(e)


4.1.2 Parental pertama (P1)
Fenotip : ♂ Ebony (e) >< ♀ Normal (N)
𝑒 𝑒+
Genotip : 𝑒 >< 𝑒+

Gamet : e ; e+
𝑒+
F1 :𝑒

Parental kedua (P2)


Fenotip : ♂ Normal (N) >< ♀Normal (N)
𝑒+ 𝑒+
Genotip : 𝑒 >< 𝑒
Gamet : e+ ; e ; e+ ; e
F2 : ♂
e+ e

𝑒+ 𝑒+
e+ (N) (N)
𝑒+ 𝑒

𝑒+ 𝑒
E (N) (e)
𝑒 𝑒

Rasio F2 : 3(N) : 1(e)


4.1.3 Parental pertama (P1)
Fenotip : ♂ Normal (N) >< ♀ Clot (cl)
𝑐𝑙+ 𝑐𝑙
Genotip : 𝑐𝑙+ >< 𝑐𝑙

Gamet : cl+ ; cl
𝑐𝑙+
F1 : 𝑐𝑙

Parental kedua (P2)


Fenotip : ♂ Normal (N) >< ♀Normal (N)
𝑐𝑙 + 𝑐𝑙+
Genotip : 𝑐𝑙 >< 𝑐𝑙

Gamet : cl+ ; cl ; cl+ ; cl


F2 : ♂
cl+ cl

𝑐𝑙+ 𝑐𝑙+
cl+ (N) (N)
𝑐𝑙+ 𝑐𝑙

𝑐𝑙+ 𝑐𝑙
Cl (N) (cl)
𝑐𝑙 𝑐𝑙

Rasio F2 : 3(N) : 1(cl)


4.1.4 Parental pertama (P1)
Fenotip : ♂ Clot (cl) >< ♀ Normal (N)
𝑐𝑙 𝑐𝑙+
Genotip : >< 𝑐𝑙+
𝑐𝑙

Gamet : cl ; cl+
𝑐𝑙+
F1 : 𝑐𝑙

Parental kedua (P2)


Fenotip : ♂ Normal (N) >< ♀Normal (N)
𝑐𝑙 + 𝑐𝑙+
Genotip : 𝑐𝑙 >< 𝑐𝑙

Gamet : cl ; cl ; cl+ ; cl
+

F2 : ♂
cl+ cl

𝑐𝑙+ 𝑐𝑙+
cl+ (N) (N)
𝑐𝑙+ 𝑐𝑙

𝑐𝑙+ 𝑐𝑙
Cl (N) (cl)
𝑐𝑙 𝑐𝑙

Rasio F2 : 3(N) : 1(cl)


4.2 Data Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan bentuk pembuktian kembali terhadap hokum
Mendel I. Data yang didapatkan selama proses pengambilan data dapat dilihat pada table
berikut ini.
Tabel. Jumlah F1 pada persilangan ♂N >< ♀e dan Resiproknya
Fenotip Ulangan
Persilangan Jumlah
(Strain) 1 2 3 4 5 6
♂N >< ♀e N 122 - - - - - 122
♂ e >< ♀N N 104 - 104
Jumlah 226 226

Tabel. Jumlah F2 pada persilangan ♂N >< ♀e


Fenotip Ulangan
Jumlah
(Strain) 1 2 3 4 5 6
Normal - - - - - - -
Ebony - - - - - - -
Jumlah
Tabel. Jumlah F2 pada persilangan ♂e >< ♀N
Fenotip Ulangan
Jumlah
(Strain) 1 2 3 4 5 6
Normal 114 - - - - - 114
Ebony 27 - - - - - 27
Jumlah 141 141
Tabel. Jumlah F1 pada persilangan ♂N >< ♀cl dan Resiproknya
Fenotip Ulangan
Persilangan Jumlah
(Strain) 1 2 3 4 5 6
♂N >< ♀cl N - - - - - - -
♂cl ><♀N N - - - - - - -
Jumlah

4.3 Analisis Data Penelitian


Tabel. Analisis data persilangan D. melanogaster strain ♂e >< ♀N
Fenotip (f0 - fh)2
Persilangan f0 fh f0 - fh (f0 - fh)2 Chi tabel
F2 fh
N 114 114 0 1 -
♂e >< ♀N
e 27 27 0 1 -
- -
Berdasarkan hasil uji chi-square yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa nilai chi
hitung tidak dapat dibandingkan dengan chi tabel karena adanya perhitungan yang tidak dapat
dilakukan yaitu pembagian terhadap angka 0.
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Persilangan D. melanogaster
Persilangan D. melanogaster strain ♂N >< ♀e ini mendapatkan kendalan adanya
kekurangan data penunjang. Pengamatan proyek yang belum berjalan hingga akhir membuat
data yang terkumpul juga belum secara keseluruhan. Selain itu hasil persilangan pada
perlakuan ini pada tahap persilangan F1. Oleh karena itu, data tidak dapat digunakan dalam
pengujian chi-squer. Hal semacam ini tidak hanya terjadi perlakuan ini, tetap pada perlakuan
perlakuan yang lain (♂e >< ♀N, ♂N >< ♀cl, dan ♂cl ><♀N ).
Kegagalan pada proses pengerjaan proyek ini terjadi karena strategi persilangan yang
tidak maksimal. Strategi yang dimaksud disini ada pengaturan kegiatan-kegiatan apa yang
harus dilakukan saat berada di laboratorium. Selain itu, faktor eksternal juga sangat
mempengaruhi. Keberadaan kutu pada ampulan dan medium D. melanogaster sangat
mempengarui kegagalan saat persilangan, kematian induk, dan kegagalan pupa untuk
menetas.
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang telah dibahas pada sub-bab diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa fenotip dan rasio yang muncul pada F1 maupun F2 dari persilangan awal berupa D.
melanogaster strain ♂N >< ♀e dan ♂N >< ♀cl beserta dengan resiproknyatidak memiliki
kesesuaian dengan hokum Mendek I, sedangkan pada hasil keturunan F1 memiliki kesesuaian
dengan Hukum Mendel I. Oleh karena itu, persilangan ini belum sesuai denganhukum
Mendel I.
6.2 Saran
Saran yang dapat diberikan pada pembaca dari penulis adalah adanya pengaturan
yang baik agar mendapatkan data sesuai dengan yang diinginkan, serta memiliki cadangan
rencana untuk mengatasi kondisi-kondisi yang tidak diinginkan seperti kematian betina
ataupun yang lain.
Corebima, A. D. 2009. Pengalaman Berupaya Menjadi Guru Profesional. Pidato Pengukuhan
Guru Besar pada FMIPA UM. Disampaikan pada Sidang Terbuka Senat UM, Malang

Pierce, B.A. 2012. Genetics: A Conceptual Approaches, 4th Edition. New York: W. H.
Freeman and Company.

Hartwell, L.H., Hood, L. Goldberg, L.M., Reynolds, A.E., dan Silver, L.M. 2011. Genetics:
From Genes to Genomes, 4th Edition. New York: Mac Graw Hill.

Вам также может понравиться