Вы находитесь на странице: 1из 19

Makalah

Al-Fana, Al-Baqa, Ittihad, Al-Hulul dan Wahdat Al-Wujud

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok.


Mata Kuliah : Ilmu Tasawuf. Dosen Pengampu : M. Syaifudin, M.Pd. I

Disusun Oleh:
1. Tri Susanti (2417078)
2. Indah Mekar Sari ( 24170 )

PRODI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
TAHUN 20

ii
Kata Pengantar
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul ‘Fana, Baqa, Ittihad, Hulul dan Wahdat Al-Wujud” kami dengan lancar
tanpa halangan suatu apapun.
Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Ilmu Tasawuf. Dalam
penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis
mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Bapak M. Syaifudin, M.Pd. I, selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu
Tasawuf.
2. Perpustakaan yang telah membantu peminjaman buku dalam penulisan
makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan
dengan senang hati menerima kritik dan saran yang konstruktif demi
kesempurnaan makalah ini.

Pekalongan, 10 November 2018

Penyusun,

i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................
C. Tujuan Penelitian
BAB II PEMBAHASAN
A. Fana dan Baqa
a. Pengertian Fana’ dan Baqa .................................................................
b. Faham Antara Fana Seiring Baqa .......................................................
c. Tokoh Sufi Fana dan Baqa .................................................................
d. Fana, Baqa dalam Pandangan Al-Qur’an ..........................................
B. Ittihad dan Hulul
a. Pengertian Ittihad dan Hulul ...............................................................
b. Tokoh Sufi Ittihad-Hulul ...................................................................
c. Ittihad dalam Pandangan Al-Qur’an ...................................................
C. Wahdatul Al-Wujud
a. Pengertian Wahdatul Al-Wujud ........................................................
b. Tokoh Sufi Wahdatul Wujud..............................................................
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama
Islam mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan
Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari
dari mistisme, termasuk di dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya
komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan lewat pengasingan diri
dan berkontemplasi.
Ada istilah populer dalam konsep adanya kemungkinan seorang hamba
dapat berkomunikasi secara langsung dengan Tuhan, yaitu Fan, Baqa, Hulul,
Ittihad dan Wahdat al-Wujud. Kondisi ini menyebabkan timbulnya berbagai aliran
dan karakteristik yang berbeda sama sekali dengan karakteristik awal dimana
kesejukan dan kedamaian mewarnai kehidupan. Dalam makalah ini penulis akan
mencoba mendeskripsikan ketiga konsep tersebut berikut tokoh-tokohnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana deskripsi mengenai Fana dan Baqa?
2. Bagaimana deskripsi mengenai Ittihad dan Hulul?
3. Bagaimana deskripsi mengenai Wahdat Al-Wujud?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui deskripsi mengenai Fana dan Baqa.
2. Untuk mengetahui deskripsi mengenai Ittihad dan Hulul.
3. Untuk mengetahui deskripsi mengenai Wahdat Al-Wujud.

ii
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fana dan Baqa
D. Pengertian Fana’ dan Baqa
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda
dengan al-fasad (rusak). Fana’ artinya hilang, hancur, tidak tampaknya
sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang
lain1. Sehingga dapat dipahami fana merupakan proses menghancurkan diri
bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan.
Baqa artinya tetap, terus hidup. Baqa adalah sifat yang mengiringi dari
proses fana dalam menghancurkan diri untuk mencapai ma’rifat.
Ma’rifat adalah tingkat yang tinggi untuk bisa dekat dengan Allah,
namun untuk ke tingkat seorang sufi dapat melihat Tuhan dari hati
sanubarinya tidak mudah. Semakin tinggi ma’rifat seseorang maka semakin
dekat ia dengan Tuhan yang akhirnya bersatu dengan Tuhan. Namun untuk
mencapai ma’rifat seorang sufi harus bisa menghancurkan diri terlebih dulu.
Proses penghancuran inilah dalam Tasawuf disebut “Fana’, dan diiring
“Baqa”.
Sebagian ahli tasawuf membagi fana` menjadi tiga tahap yaitu: (1)
transformasi jiwa melalui kesirnaan dan menghilangkan hawa nafsu. (2)
abstraksi mental atau pelenyapan pikiran dari semua objek persepsi, pikiran
dan tindakan melalui konsentrasi kepada Dzat Allah terkusus melalui aktifitas
dzikir. (3) berhentinya semua pemikiran sadar dengan kata lain lenyapnya
kesadaran dan mencapai fana. 2
E. Faham Antara Fana Seiring Baqa
Bahwa proses penghancuran diri (fana) rupanya tidak dapat dipisahkan
dari baqa (tetap, terus hidup). Maksudnya adalah apabila proses penghilangan
sifat manusia dari pengancuran tersebut, maka yang muncul kemudian adalah

1
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Cet ke-10, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011),
hlm. 231.
2
Muhammad Anas Ma’arif, Jurnal Tasawuf Falsafi dan Implikasinya Dalam Pendidikan
Islam, Vol. 3 Nomor 1, Mei 2018, hlm. 6

ii
sifat yang ada pada manusi itu. Ada beberapa paham kesufian yang
membuktikan adanya keseiringan fana dan baqa yaitu :
a. “Jika kejahilan (iqnoranceI dari seseorang hilang yang akan tinggal
ialah pengetahuan”.
b. “Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, maka yang akan
tinggal ialah taqwanya’.
c. “Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk, maka
tinggalah baginya sifat-sifat yang baik”.
d. “Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya maka mempunyai sifat-sifat
Tuhan”.
Kebanyakan orang sufi dalam penghancuran diri lewat fana yang
dicari al dana’an al-nafs. Maksudnya ialah dengan melewati al fana’ al-
nafs maka hancurlah perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar
manusia.
e. Al-Qasyairi berpendapat tentang fana, sebagai berikut : “Fananya
seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya
kesadaran tentang dirinya tetap ada demikian pula makhluk lain ada tetapi
ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.
f. Nichoison
Arti fana adalah “The passing a way of the sufi from his phenomenal
Existence”. Kalau seorang sufi telah mencapai al dana’an al-nafs yaitu
3
kalau wujud rohaninya dan dapat bersatu dengan Tuhan.
F. Tokoh Sufi Fana dan Baqa
Abu Yazid al-Bustami wafat pada tahun 874 M disebut sebagai sufi
yang pertama kali memperkenalkan fana dan baqa ini. Nama kecilnya adalah
Thaifur.4 Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum sufi seluruhnya.
Bermacam-macam pula anggapan orang tentang pendiriannya. Ia pernah
mengatakan: “Kalau kamu lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan
keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara, maka

3
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Cet ke-6, (Bandung: Pustaka Media, 2014), hlm. 259.
4
Op Cit, hlm. 235-237.

ii
janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti
perintah syari’at dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’atnya.
Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari mulutnya
keluarlah kata-kata yang ganjil, jika tidak hati-hati memahami akan
menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Diantara ucapan ganjil yang keluar dari dirinya, misalnya: “Tidak ada Tuhan,
melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besarnya
kuasaku.”
Selanjutnya Abu Yazid mengatakan,

Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.

Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku.

Selanjutnya diceritakan yang berikut:

“Seorang lewat di rumah Abu Yazid dan mengetok pintu. Abu Yazid
bertanya: “Siapa yang engkau cari?” Jawabnya: Abu Yazid”. Lalu Abu
Yazid megatakan: “Pergilah”. Di rumah ini tidak ada kecuali Allah Yang
Maha Kuasa dan Maha Tinggi”.

Pada lain kali Abu Yazid berkata:

“Yang ada dalam baju ini hanyalah Allah.


Ucapan yang keluar dari mulut Abu Yazid itu, bukanlah kata-kata sendiri
tetapi kata-kata itu diucapkannya melalui diri Tuhan dalam ittihad yang
dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak
mengaku dirinya sebagai Tuhan.
G. Fana, Baqa dalam Pandangan Al-Qur’an
Paham fana dan baqa yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu
dipandang oleh sufi sebagai sejalan dengan konsep liqa al-rabbi (menemui
Tuhan). Fana dan baqa merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan.
Hal ini sejalan dengan firman Allah yang berbunyi:

ii
Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah
ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun
dalam beribadat kepadanya (QS Al-Kahfi, 18: 110).5

B. Ittihad dan Hulul


H. Pengertian Ittihad dan Hulul
“Ittihad” artinya bahwa tingkatan tasawuf seorang sufi telah merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan dimana
yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Kemudian salah satu
dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan perkataan: Hai Aku.
A.R. Al- Badawi berpendapat bahwa di dalam ittihad yang dilihat
hanyalah satu wujud. Walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah
satu dari yang lain. Hal ini terjadi karena yang dilihat dan dirasakan hanya
satu wujud. Sehinnga akan terjadi pertukaran peranan antara yang dicintai
(sufi dan Tuhan). Dalam ittihad “identitas telah hilang, identitas telah menjadi
satu.” Hal ini bisa terjadi karena sufi telah memasuki fana yang tidak
mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.6
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam
bukunya “Al-Luma” mengatakan hulul ialah paham yang mengatakan bahwa
Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di
dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

5
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia,Ed. Rev Cet. 12, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), hlm. 204
6
Op Cit, hlm. 269.

ii
Sedangkan menurut Al-Hallaj Allah memiliki dua sifat dasar
keutamaan yaitu “Lahut” dan kemanusiaan “Nasut”. Hal ini dapat dilihat
dalam karya beliau yang menjelaskan tentang teori terjadinya makhluk.
I. Tokoh Sufi Ittihad-Hulul
Sebagai penyebar dan pembawa ajaran ittihad dalam tasawuf adalah
Abu Yazid Al-Bustami. Ia lahir di Bistam di Persia pada tahun 874 M. dan
meninggal dalam usia 73 tahun. Kelihatannya ia mempunyai istri, tetapi tak
dapat diketahui perincian selanjutnya dari hidup perkawinannya. Ibunya juga
merupakan seorang zahid dan Abu Yahid amat patuh padanya. Sunguhpun
orang tuanya adalah salah satu pemuka masyarakat yang berada di Bistam,
Abu Yazid memilih kehidupan sederhana dan menaruh sayang serta kasih
pada fakir miskin. Ia jarang ke luar dari Bistam dan ketika kepadanya
dikatakan bahwa orang yang mencari hakekat selalu berpindah dari satu
tempat ke tempat lain, ia menjawab : “Temanku (maksudnya Tuhan) tidak
pernah bepergian dan oleh karena itu akupun tidak bergerak dari sini”.
Sebagian besar dari waktunya ia pergunakan untuk beribadah dan memuja
Tuhan. dia senantiasa ingin dekat kepada Tuhan, yang dimulai dengan
timbulnya paham fana dab baqa’ dalam tasawuf. Ia member jalan bagaimana
supaya dapat dekat di hadirat Tuhan. dia menjelaskan, suatu malam ia
bermimpi dengan berkata :
“Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepadaMu? Dia menjawab
:Tinggalkan dirimu dan datanglah”.
Abu Yazid setelah mengetahui proses pendekatan diri kepada Allah,
melalui fana ia meninggalkan dirinya ke hadirat Tuhan. Keberadaan ia dapat
dilihat apa berada dekat atau belum pada Tuhan melalui “SYATAHAT” yang
diucapkan. Adapun Syatahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan oleh
seorang sufi pada permukaan ia berada di pintu gerbang ittihad, seperti
ucapan dia :

ii
“Aku tidak heran melihat cintaku padaMu karena aku hanyalah hamba yang
hina, tetapi aku heran melihat cintaMu padaKu karena Engkau adalah Raja
Mahakuasa”.7
Abu Yazid Al-Busthami, tingkatan ini diperoleh oleh Yazid hampir
selama 30 tahun. Selama itu Ia membentuk diri dengan selalu dzikir kepada
Allah. Hingga merasa bahwa Dia adalah diriku sendiri.8
Adapun paham hulul diajarkan oleh Husein Ibnu Mansur Al-Hallaj. Ia
lahir tahun 244 H, (858 M), di negeri Baidha, salah satu kota kecil yang
terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan
dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang Sufi yang terbesar
dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di negeri Ahwar.
Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan tidH. Ia masuk ke kota Baghdad dan
belajar pada al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia pernah juga
menunaikan ibadah haji di Mekkah selama tiga kali. Dengan riwayat hidup
yang singkat ini jelas bahwa ia memilki dasar pengetahuan tentang tasawuf
yang cukup kuat dan mendalam.
Dengan perjalanan hidup yang sesungguhnya ia pernah keluar masuk
penjara akibat konflik dengan ulama fikih. Pandangan-pandangan tasawuf
yang agak ganjil sebenarnya akan dikemukakan di bawah itu menyebabkan
orang ulama fikih bernama Ibn Daud al-Isfahami mengeluarkan fatwa untuk
membantah dan memberantas pahamnya. Al- Isfahami dikenal sebagai ulama
fikih penganut mahzab Zahiri, suatu mahzab yang hanya mementingkan zahir
nas ayat belaka. Fatwa yang menyesatkan yang dikeluarkan oleh Ibn Daud itu
sangat besar pengaruhnya terhadap diri al-Hallaj, sehingga al-Hallaj
ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia
dapat meloloskan diri berkat bantuan seorang sifir penjara.
Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus, suatu wilayah yang terletak di
Ahwar. Setelah bersembunyi empat tahun lama di kota itu, dan tetap tidak
mengubah pendiriannya, akhirnya ia ditangkap kembali dan dimasukkan ke
7
Mustofa, Akhlak Tasawuf, Cet. IV, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm. 270
8
Muhammad Anas Ma’arif, Jurnal Tasawuf Falsafi dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam,
Vol. 3 Nomor 1, Mei 2018, hlm. 7

ii
penjara selama delapan tahun lamanya. Lamanya dipenjara itu tidak
menyebabkan ia luntur pendiriannya. Akhirnya pada tahun 309 H (921 M)
diadakan persidangan ulama di bawah pengawasan Kerajaan Bani Abbas,
Khalifah Mu’tashim Billah. Dan akhirnya pada tanggal 18 Zulkaidah tahun
309 H (921 M) al-Hallaj di jatuhi hukuman mati. Ia dihukum bunuh, dengan
terlebih dahulu dipukul dan dicambuk, lalu di salib, sesudah itu dipotong
kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya, dan ditinggalkan tergantung
bagian-bagian tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, dengan maksud
untuk menjadi peringatan bagi ulama lainnya yang berbeda pendirian.
Arberry lebih lanjut melukiskan kasus pembunuhan al-Hallaj.9
Masalah al-Hallaj dihukum bunuh sudah disepakati bersama, namun
bagaimana proses pembunuhannya dengan disalib sebagaimana digambarkan
Arberry, masih perlu dipersoalkan, karena kalau memang demikian betapa
kejamnya para penyiksa itu, dan mengapa ia tega melakukan cara tesebut,
sebagaimana kaum Bani Israil menyiksa Yesus Kristus (Yudas Iskareot).
Mengenai sebab-sebab dibunuhnya al-Hallaj hingga sekarang masih
kontroversial. Kebanyakan mengemukakan bahwa sebab-sebab dibunuhnya
al-Hallaj karena perbedaan paham dengan paham yang dianaut ulam fikih
yang dilindungi oleh pemetintah, maka hal ini masih juga dipertanyakan.
Orang yang menanyakan jika al-Hallaj dibunuh karena perbedaan paham
dengan pham yang dianut oleh ulama fikih, mengapa sufi yang lainnya
sebagimana Zun al-Nun al-Mishri, Ibn Arabi dan lainnya tidak dibunuh.
Dalam paham al-Hulul yang dikemukakan al-Hallaj ada dua hal yang
dapat dicatat. Pertama, bahwa paham al-Hulul merupakan pengembangan
atau bentuk lain dari paham mahabbah sebagiamana disebutkan dibawa
Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini terlihat adanya kata-kata cinta yang
dikemukakan al-Hallaj. Kedua, al-Hulul juga menggambarkan adanya ittihad
atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan.

9
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Cet ke-10, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 242-
243

ii
Perbedaan antara Ittihad al-Bustami dengan Hulul al-Hallaj, dalam
ittihad yang dilihat satu wujud, sedangkan dalam hulul ada dua wujud, tetapi
bersatu dalam satu tubuh.
J. Ittihad dalam Pandangan Al-Qur’an
Pandangan ittihad ini jug dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi
Musa ingin melihat Allah. Musa berkata : “Ya Tuhan, bagaimana supaya
aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: Tinggalah dirimu (lenyapkanlah
dirimu )baru kamu kemari (bersatu).10
Ayat dan riwayat tersebut member petunjuk bahwa Allah SWT. telah
secara rohaniah atau batiniah, yang caranya antara lain dengan beramal saleh,
dan beribadah semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan
akhlak yang buruk, menghilankan kesadaran sebagai manusia, meninggalkan
dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang
kesemuanya ini tercakup dalam konsep fana dan baqa. Adanya konsep fana
dan baqa ini dapat dipahami dari isyarat yang terdapat dalam ayat sebagai
berikut.

Semua yang ada di dunia ini akan binasa. Yang tetap kekal Dzat Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (QS. Al-Rahman [55]: 26-27).11
C. Wahdatul Al-Wujud
c. Pengertian Wahdatul Al-Wujud
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu
wahdat dan al-wujud. Wahdat artunya sendiri, tunggal, atau kesatuan,
sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian, wahdat al-wujud berarati
kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang
bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah

10
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia,Ed. Rev Cet. 12, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), hlm. 205
11
Ibid., hlm. 205

ii
sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi bagi pada bagian yang lebih
kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan
sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan
forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan
Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.
Pengertian wahdah al-wujud yang terakhir itulah yang selanjutnya
digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada
hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih lanjut
menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdat l-
wujud, nasut yang ada dalam hulul diubah mnenjadi khalq (makhluk) dan
lahut menjadi haqq (Tuhan). dan Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian
dari sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah
dalam disebut haqq. Kata-kata dan haqq ni merupakan padanan kata al-‘arad
(accident) dan al-juhar (substance) dan al-zahir (lahir-luar-tampak), dan al-
bathin (dalam, tidak tampak).
Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek, yaitu
aspek luar yang disebut al-khalq (makhluk), al ‘arad (accident-kenyataan
luar), zahir (luar-tampak), aspek dalam yang disebut al-haqq (Tuhan), al-
jauhar (substance-hakikat), dan al-bathin (dalam).
Selanjutnya paham ini juga mengambil pendirian bahwa dari kedua
aspek tersebut yang sebenarnya ada dan yang terpenting adalah aspek batin
atau al-haqq yang merupakan hakikat, esensi atau substansi. Sedangkan aspek
al-khalq, luar dan yang tampak merupakan bayangan yang ada karena adanya
aspek yang pertama (al-haqq).
Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham bahwa
antara makhluk (manusia) dan haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari
wujud Tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan
wujud hanya bayangan atau fotocopy dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun
dari suatu dasar pemikiran bahwa Allah sebagai diterangkan dalam al-hulul,
ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, dan oleh karena itu dijadikan-Nya
alam ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin bagi Allah. Pada saat

ii
ia ingin melihat diri-Nya, ia cukup dengan melihat alam ini. Pada benda-
benda alam ini terdapat sifat-sifat Tuhan, dan dari sinilah timbul paham
kesatuan. Paham ini juga mengatakan bahwa yang ada di alam ini
kelihatannya banyak tetapi sebenarnya satu. Hal ini tak ubahnya seperti orang
yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di
sekelilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat dirinya kelihatan banyak, tetapi
sebenarnya dirinya hanya satu. Dalam Fushush al-Hikam sebagai dijelaskan
al-Qashimi dan dikutip Harun Nasution, fama wahdat al-wujud ini antara lain
terlihat dalam ungkapan:
Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin ia
menjadi banyak.12
Dalam wujud lain uraian falsafah ini dapat dikemukakan sebagai
berikut: Bahwa makhluk yang dijadikan Tuhan dan wujudnya tergantung
kepadanya, adalah sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan.
Yang berwujud selain Tuhan tak akan mempunyai wujud, sekiranya Tuhan
tidak ada. Tuhanlah yang sebenarnya mempunyai wujud hakiki atau yang
wajib al-wujud. Sementara itu, makhluk sebagai yang diciptakan-Nya hanya
mempunyai wujud yang bergantumg kepada wujud yang berada pada dirinya,
yaitu Tuhan. Dengan kata lain yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah
Tuhan, dan wujud yang dijadikan ini sebenarnya tidak mempunyai wujud.
Yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Allah. Dengan demikian, yang
sebenarnya hanyalah satu wujud, yaitu wujud Tuhan.

Hal yang demikian itu lebih lanjut dikatakan Ibn ‘Arabi sebagai berikut:

Sudah menjadi kenyataan bahwa makhluk adalah dijadikan, dan bahwa


ia berhajat kenapa khalik yang menjadikannya: karena ia hanya mempunyai
sifat mungkin (mungkin ada mungkin tidak ada), dan demikian wujudnya
tergantung pada suatu yang lain. Dan sesuatu yang lain ia bersandar ini
haruslah sesuatu yang lain yang pada esensinya mempunyai wujud yang
bersifat wajib, berdiri sendiri dan tak berhajat kepada yang lain dalam

12
Ibid., hlm. 217

ii
wujudnya: bahkan ialah yang dalam ensensinya mamberikan wujud bagi
yang dijadikan. Dengan demikian yang dijadikan mempunyai sifat wajib,
tetapi sifat wajib ini tergantung pada suatu yang lain, dan tidak pada dirinya
sendiri.
Paham wahdatul wujud tersebut di atas mensyariatkan bahwa pada
manusia ada unsur lahir dan batin, dan pada Tuhan pun ada unsur lahir dan
batin. Unsur lahir manusia adalah wujud fisiknya yang tampak, sedangkan
unsur batiniahnya adalah roh atau jiwanya yang tidak tampak yang hal ini
merupakan pancaran, bayangan atau fotocopy Tuhan.13 Selanjutnya, unsur
lahir pada Tuhan adalah sifat-sifat ketuhanannya yang tampak di alam ini,
dan unsur batiniahnya adalah zat Tuhan. Dalam wahdatul wujud ini yang
terjadi adalah bersatunya wujud batin manusia dengan wujud lahir Tuhan,
atau bersatunya unsur lahut yang ada pada manusia dengan unsur nasut yang
ada pada Tuhan sebagaimana yang dikemukakan dalam paham hulul. Dengan
cara demikian maka paham wahdatul wujud ini tidak menggangu zat Tuhan,
dan dengan demikian tidak akan membawa keluar dari Islam.
Selanjutnya jika kita buka Al-Qur’an, di dalamnya akan dijumpai ayat-
ayat yang memberikan petunjuk bahwa Tuhan memiliki unsur lahir dan batin
sebagaimana dikemukakan dalam paham wahdatul wujud itu. Misalnya kita
baca ayat yang berbunyi:

Daialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zahir dan Yang Batin,
dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (Q.S Al-Hadid [57]: 3)

13
Ibid., hlm. 218

ii
Dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nya lahir dan batin. (Q.S Luqman
[31]: 20).

Selanjutnya uraian tentang wujud manusia sebagai bergantung kepada


wujud Tuhan sebagaimana dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa
manusia adalah sebagai makhluk yang butuh dan fakir, sedangkan Tuhan
adalah sebagai Yang Maha Kaya. Paham yang demikian sesuai pula dengan
syarat ayat yang berbunyi:14

Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah, dan Allah


Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha terpuji. (QS.
Fathir [35]: 15).

Dalam Al-Qur’an dan terjemahnya terbitlah Departemen Agama tahun


1884, halaman 90, kata al-awwal pada surat Al-Hadid ayat 3 diatas diartikan
yang telah ada sebelum segala sesuatu ada, dan al-akhir ialah yang tetap ada
setelah segala sesuatu musnah. “Yang Zahir” juga artinya yang nyata adanya
karena banyak bukti-buktinya dan “Yang Batin” ialah yang tak dapat
digambarkan hakikat Zat-Nya oleh akal.

Namun, dalam pandangan sufi bahwa yang dimaksud dengan zahir


adalah sifat-sifat Allah yang tampak, sedangkan yang batin adalah zat-Nya.
Manusia dianggap mempunyai kedua unsure tersebut karena manusia berasal
dari pancaran Tuhan, sehingga antara manusia dengan Tuhan pada hakikatnya
satu wujud.

Selanjutnya pada ayat 31 surat Luqman di atas dinyatakan bahwa yang


lahir dan batin itu merupakan nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepada

14
Ibid., hlm. 218

ii
manusia. Ayat yang demikian itu jelas bahwa pada manusia juga ada unsure
lahir dan batin itu.15

d. Tokoh Sufi Wahdatul Wujud


Paham wahdatul wujud dibawa oleh Muhyidin Ibn Arabi yang lahir di
Murcia, Spanyol di tahun 1165. Setelah selesai studi di Seville, beliau pindah
ke Tunis di tahun1145, dan disana ia masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M.
Iapergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskus tahun1240 M.
Selain sebagai sufi, beliau juga dikenal sebagai penulis yang produktif.
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai
pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakan pahamnya dengan
berdasarkan renungan fikiran dan filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan
ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan
untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam.
Baginya wujud (yang ada) itu hanya satu. Wujudnya makhluk adalah
‘ain wujud Khaliq. Pada hakikatnya tidaklah ada pemisah antara manusia dan
Tuhan.
Pemikiran Ibnu Arabi juga berpengaruh pada sufi dan mistikus
sesudahnya baik di Barat maupun di Timur. Karyanya yang paling penting
ialah al-Futuhat al-Makkiyah, sebuah ensiklopedia tentang tasawuf.16 Ibn
Arabi berkata ;

Wahai Yang Menjadikan segala sesuatu pada dirinya, Engkau bagi apa
yang Engkau jadikan, mengumpulkan apa yang Engkau jadikan, barang yang
berhenti adanya Pada Engkau-Maha Engkaulah yang sempit dan lapang17

15
Ibid., hlm. 219
16
Oom Mukaromah, Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan dan Kebudayaan Jurnal Ittihad, Hulul,
Dan Wahdat Al-Wujud, Vol. 16 No. 1 Januari-Juni 2015
17
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia,Ed. Rev Cet. 12, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), hlm. 219-220

ii
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Dari paparan makalah di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai


berikut :

1. Pencapaian tertinggi yang diidamkan bagi seorang sufi adalah bersatunya


sang pencipta dan yang dicinta.
2. Konsep penyatuan ini bagi Abu Yazid al-Bustami dikenal dengan istilah
Ittihad, bagi al-Hallaj dikenal dengan istilah Hulul dan Ibnu Arabi
menyebutnya dengan istilah wahdat al-wujud.
3. Perbedaan antara Ittihad al-Bustami dengan hulul al-Hallaj adalah dalam
hulul diri al-hallaj tidak melebur atau hilang, sementara dalam ittihad diri abu
Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Jadi dalam ittihad yang dilihat
satu wujud, sedang dalam hulul ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu
tubuh.
4. Dalam teorinya tentang wujud, Ibnu Arabi mempercayai terjadinya emanasi,
yaitu Allah menampakkan segala sesuatu dari wujud ilmu menjadi wujud
materi.
5. Filosofi dari ketiga konsep di atas (ittihad, hulul, dan wahdat al-wujud)
adalah bahwa Allah ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Sehingga
dijadikan-Nya alam ini yang merupakan cermin bagi Allah di kala ingin
melihat diri-Nya.

ii
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, Prof. Dr., Akhlak Tasawuf, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2011.
Mustofa, Akhlak Tasawuf, CV Pustaka Setia, Bandung, 2014.
Nata Nata, Abuddin, Prof. Dr., Abuddin, Edisi Revisi Akhlak Tasawuf dan
Karakter Mulia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2013
Annas, Muhammad Ma’arif, Tasawuf Falsafi Dan Implikasinya Dalam
Pendidikan Islam. Institut Pesantren KH. Abdul Chalim Pacet, Mojokerto,
2018.
Mukarroomah, Oom, Ittihad, Hulul dan Wahdatt Al-Wujud, IAIN Sultan
Maulana Hasanuddin, Banten,2015

ii

Вам также может понравиться