Вы находитесь на странице: 1из 30

A.

MONITORING ANESTESI
Status fisiologis pasien yang mendapatkan tindakan anestesi harus mendapatkan pengawasan
selama proses tersebut berlangsung, baik pada anestesi umum, regional, local maupun
pasca operasi. Monitoring dilakukan oleh dokter anestesi dan atau staff anestesi yang
berkompoten. Hasil monitoring akan menjadi acuan pengambilan keputusan selama operasi
berlangsung atau pasca operasi, baik untuk tindakan pre operasi atau asuhan selanjutnya di
ruang pulih sadar/tingkat asuhan lain.
Informasi dari monitoring dapat menentukan kebutuhan asuhan medis dan keperawatan serta
kebutuhan diagnostic dan pelayanan lainnya.Hasil monitoring dicatat pada form monitoring
intra dan pasca operatif.
Metode atau cara ditentukan oleh status pasien pada hasil assessment pra anestesi, jenis
anestesi yang digunakan dan kompleksitas oeprasi atau tindakan yang lain selama tindakan
anestesi. Setiap hasil monitoring yang tercatat pada form monitoring terekam dalam rekam
medis pasien.
1. Data yang harus dicatat dengan interval yang teratur sebelum, selama, dan
setelah prosedur dilakukan:
a. Tingkat kesadaran pasien (dinilai dari respons pasien
terhadap stimulus)
b. Respons menjawab (verbal) : menunjukkan bahwa pasien bernapas
a. Hanya memberikan respons berupa refleks menarik diri (withdrawal):
dalam sedasi berat / dalam, mendekati anestesi umum, dan harus segera
ditangani.
b. Oksigenasi :
 Memastikan konsentrasi oksigen yang adekuat selama proses anestesi
 Gunakan oksimetri denyut (pulse oximetry)
c. Respons terhadap perintah verbal (jika memungkinkan)
d. Ventilasi paru (observasi, auskultasi)
 Semua pasien yang menjalani anestesi umum harus memiliki ventilasi
yang adekuat dan dipantau secara terus- menerus
 Lihat tanda klinis: pergerakan dinding dada, pergerakan kantong
pernapasan, auskultasi dada
 Pemantauan karbon dioksida yang diekspirasi untuk

34
pasien yang terpisah dari pengasuh / keluarganya
 Jika terpasang ETT / LMA: pastikan posisi terpasang dengan benar
 Kapnografi.
e. Sirkulasi
 Elektrokardiogram (EKG) untuk pasien dengan penyakit
kardiovaskular yang signifikan
 Pemeriksaan analisis gas darah (AGD)
 Tekanan darah dan frekuensi denyut jantung setiap 5 menit (kecuali
dikontraindikasikan)
 Pasien dengan anestesi umum: semua hal di atas ditambah evaluasi
kontinu fungsi sirkulasi dengan: palpasi nadi, auskultasi bunyi
jantung,
 tekanan intra-arteri, oksimetri.
f. Temperatur tubuh
2. Pencatatan data untuk sedasi berat / dalam:
a. Respons terhadap perintah verbal atau stimulus yang lebih intens (kecuali
dikontraindikasikan)
b. Pemantauan karbondioksida yang diekspirasi untuk semua pasien
c. EKG untuk semua pasien
Pengumpulan data status pasien yang terus menerus secara sistemik akan menjadi dasar
memindahkan pasien ke ruang intensif atau unit rawat inap. Catatan tersebut juga menjadi
acuan dalam menyelesaikan monitoring di ruang pemulihan (recovery room). Pada pasien
yang langsung dipindahkan ke ruang intensif, monitoring dan pendokumentasian
diperlakukan sama dengan monitoring di ruang pemulihan.
Menghentikan monitoring di ruang pemulihan dilakukan dengan mengacu pada beberapa
alternative antara lain :
 Pasien dipindah atau monitoring dihentikan oleh dokter anestesi.
 Pasien dipindah atau monitoring dihentikan penata anestesi/petugas recovery
room sesuai dengan kriteria scoring alderette, steward dan bromage scale yang
telah terpenuhi.
 Pasien dipindahkan ke unit yang mampu memberikan asuhan pasca
anestesi/pasca sedasi pasien tertentu seperti ICCU atau ICU.

35
B. PEDOMAN PEMULIHAN DAN PEMULANGAN PASIEN
Setiap rumah sakit harus mempunyai kriteria pemulihan dan pemulangan yang sesuai dengan
pasien dan prosedur yang dilakukan. beberapa prinsip dasar yang harus miliki adalah :
1. Prinsip umum
a. Pengawasan medis dalam fase pemulihan dan pemulangan pasien setelah
pemberian sedasi sedang / dalam merupakan tanggung jawab dokter yang
melakukan sedasi.
b. Ruang pemulihan harus dilengkapi dengan monitor dan peralatan
resusitasi yang adekuat
c. Pasien yang menjalani sedasi sedang atau dalam harus dipantau sampai
criteria pemulangan terpenuhi.
1) Durasi dan frekuensi pemantauan harus disesuaikan dengan masing-
masing pasien bergantung pada tingkat sedasi yang diberikan, kondisi
umum pasien, dan intervensi / prosedur yang dilakukan
2) Oksigenasi harus dipantau sampai pasien terbebas dari risiko depresi
pernapasan.
d. Tingkat kesadaran, tanda vital, dan oksigenasi (jika diindikasikan) harus
dicatat dengan rutin dan teratur
e. Perawat atau petugas terlatih lainnya yang bertugas memantau pasien dan
mengidentifikasi adanya komplikasi harus dapat hadir atau mendampingi
pasien hingga kriteria pemulangan terpenuhi.
f. Petugas yang kompeten dalam menangani komplikasi (misalnya
mempertahankan patensi jalan napas, memberikan ventilasi tekanan
positif) harus dapat segera hadir kapanpun diperlukan hingga kriteria
pemulangan terpenuhi.
2. Pelayanan Pasca Anestesi
Kebijakan: Ruang pulih sadar dikelola oleh dokter spesialis Anestesi atau dokter residen
Anestesi yang memenuhi syarat dan perawat yang telah mendapat pelatihan khusus
Prosedur Pelaksanaan:
a. Serah terima pasien pasca bedah-anestesi disertai laporan anestesi lengkap
dengan instruksi dari dokter spesialis anestesi, obat, cairan infus / darah
dan lain-lain

36
b. Pasien diposisikan miring / terlentang / lateral sesuai instruksi.
c. Pasang monitor, ukur tanda vital tiap 5-10 menit, catat produksi urine.
d. Pertahankan jalan napas.
e. Beri O2 : 2 lt / menit sesuai instruksi dokter spesialis anestesi.
f. Pastikan infus/transfusi, DC, drain, NGT dll berfungsi dengan baik.
g. Lakukan penilaian dengan standar Aldrette Score untuk pasien pasca
anestesi umum dan Bromage Score untuk pasien pasca anestesi regional.
h. Bila Aldrette Score > 8, Steward score > 5 atau Bromage Score < 2 pasien
dikembalikan ke ruang rawat inap.
i. Nilai Aldrette < 8 nilai atau Steward score < 5 atau tetap respirasi 0,
pasien dirujuk ke ruang intensif.
j. Sebelum merujuk ke ruang intensif atau mengembalikan pasien ke ruang
rawat inap, perawat ruang pulih sadar harus memberi tahu perawat ruang
intensif / ruangan lewat telepon.
k. Serah terima pasien dari petugas ruang pulih sadar ke perawat ruang
intensif/ruangan disertai dengan rekam medik beserta instruksi dokter
spesialis Anestesi dan dokter spesialis Bedah; obat-obat, infus/darah, dan
hal-hal lain yang perlu diinformasikan
3. Kriteria Pemulangan Pasien
a. Pasien harus sadar dan memiliki orientasi yang baik. Bayi dan pasien
dengan gangguan status mental harus kembali ke status semula /awal
(sebelum menjalani anestesi / analgesik). Dokter dan keluarga harus
menyadari bahwa pasien anak-anak yang memiliki risiko obstruksi jalan
napas harus duduk dengan posisi kepala menunduk ke depan.
b. Tanda vital harus stabil
c. Penggunaan sistem skoring dapat membantu pencatatan untuk kriteria
pemulangan.
d. Telah melewati waktu yang cukup ( hingga 2 jam ) setelah pemberian
terakhir obat antagonis (nalokson, flumazenil) untuk memastikan bahwa
pasien tidak masuk ke fase sedasi kembali setelah efek obat antagonis
menghilang.
e. Pasien rawat jalan boleh dipulangkan dengan didampingi oleh orang

37
dewasa yan dapat mengantarkan pasien sampai ke rumah dan dapat
melaporkan jika terjadi komplikasi pasca- prosedur.
f. Pasien rawat jalan dan pendampingnya harus diberikan instruksi tertulis
mengenai diet pasca-prosedur, obat-obatan, aktivitas, dan nomor telepon
yang dapat dihubungi jika terjadi keadaan emergensi.
g. Selama pemulihan pasien pasca anestesi di recovery room, ada beberapa
kriteria atau ketentuan yang dipakai untuk menentukan pulih sadar pasien
atau kriteria pemulangan pasien, yaitu :
1) Alderette score : untuk kriteria pemulihan pasien dengan sedasi pada
dewasa

Sirkulasi Tekanan sistolik 20% dari praanestesi Skor 2 Tekanan


sistolik 20-50% dari praanestesi Skor 1 Tekanan sistolik
>50% dari praanestesi Skor 0
Kesadaran Sadar penuh Skor 2
Bangun jika dipanggil Belum respon Skor 1
Skor 0
Respirasi Mampu bernafas dan batuk Skor 2
Sesak atau bernafas dengan periode Apnoe Skor 1
Skor 0
Warna kulit Hangat, kulit kering, warna merah mudaSkor 2
Pucat, dingin Skor 1
Sianosis Skor 0
Ekstremitas Mampu menggerakan 4 ekstremitas MampuSkor 2
menggerakan 2 ekstremitas Skor 1
Mampu menggerakan 0 ekstremitas Skor 0
Bila score ≥ 8 tanpa nilai 0, dapat pindah ke ruangan
2) Steward score : untuk kriteria pemulihan pasien dengan sedasi pada
bayi dan anak-anak

38
Kesadaran Sadar penuh Skor 2
Bangun jika dipanggil BelumSkor 1
respon Skor 0
Respirasi Batuk/menangis BerusahaSkor 2
bernafas Skor 1
Perlu bantuan bernafas Skor 0
Aktivitas motorik Gerakan beraturan GerakanSkor 2
tanpa tujuan Skor 1
Tidak bergerak Skor 0
Bila score ≥ 5, dapat pindah ke ruangan

3) Bromage score : untuk kriteria pemulihan pasien dengan pembiusan


regional anestesi
Aktivitas motorik Gerakan penuh tungkai Skor 0
Tak mampu ektensi tungkai Skor 1
Tak mampu fleksi lutut Skor 2

Tak mampu fleksi pergelangan kaki Skor 3

Bila score ≤ 2, dapat pindah ke ruangan


C. PERALATAN EMERGENSI
1. Peralatan emergensi yang sesuai harus tersedia saat melakukan pemberian
sedasi/analgesik yang berpotensi untuk menyebabkan depresi kardiorespirasi.
2. Berikut adalah pedoman mengenai peralatan apa saja yang harus tersedia,
dapat dimodifikas sesuai dengan kondisi tempat praktik / institusi.
a. Peralatan intravena
1) Sarung tangan
2) Tourniquet
3) Swab alkohol
4) Kassa steril
5) Kateter intravena / kanula infus (ukuran 24, 22)

39
6) Selang infus (untuk anak-anak menggunakan tetesan mikro: 60
tetes/ml)
7) Cairan intravena / cairan infuse
8) Jarum suntik untuk aspirasi obat, injeksi intramuscular (pada anak
dan bayi:jarum untuk injeksi intraosseous sumsum tulang)
9) Spuit dengan beragam ukuran
10) Perekat
b. Peralatan untuk manajemen jalan napas dasar
1) Sumber oksigen yang bertekanan
2) Mesin suction
3) Kateter untuk suction
4) Suction tipe-Yankauer
5) Sungkup wajah (berbagai ukuran dari bayi – dewasa)
6) Satu set self-inflating breathing bag-valve
7) Oropharyngeal airways dan nasopharyngeal airways
8) Lubrikan / gel pelumas
c. Peralatan untuk manajemen jalan napas lanjut (untuk petugas
dengan keahlianintubasi)
1) Laryngeal mask airways (LMA)
2) Pegangan laringoskop
3) Bilah laringoskop
4) Tabung endotrakeal (endotracheal tube-ETT): ukuran
dengan balonberdiameter 6.0, 7.0, 8.0 mm.
5) Stilet / mandrain (ukuran disesuaikan dengan diameter ETT)
d. Obat-obatan antagonis
1) Nalokson
2) Flumazenil
e. Obat-obatan emergensi
1) Epinefrin
2) Ephedrine
3) Vasopressin
4) Atropine

40
5) Nitrogliserin (tablet atau semprot)
6) Amiodaron
7) Lidokain
8) Dekstrose 10%, 25%, 50%
9) Difenhidramin
10) Hidrokortison, metilprednisolon, atau deksametason
11) Diazepam atau midazolam

D. PROSEDUR PEMERIKSAAN PATENSI JALAN NAPAS UNTUK


PEMBERIAN SEDASI DAN ANALGESIK.
Pemberian ventilasi tekanan positif (VTP), dengan atau tanpa intubasi trakea mungkin
diperlukan jika timbul gangguan pernapasan selama proses pemberian sedasi/analgesic.
1. VTP ini dapat lebih sulit dilakukan pada pasien dengan anatomi jalan
napas yang atipikal / tidak lazim
2. Abnormalitas jalan napas dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
obstruksi jalan napas saat ventilasi spontan
3. Beberapa faktor yang dapat menimbulkan kesulitan dalam manajemen jalan
napas antara lain:
a. Riwayat pasien
1) Adanya masalah dengan anestesi /
sedasi sebelumnya.
2) Stridor, mengorok (snoring), apnea saat tidur (sleep apnea)
3) Artritis rematoid yang lanjut / berat
b. Pemeriksaan fisik
1) Habitus / postur tubuh: obesitas yang signifikan (terutama di
struktur wajah dan leher)
2) Kepala dan leher :
a) Leher pendek
b) Ekstensi leher terbatas
c) Pendeknya jarak antara mentalis – hyoid (< 3 cm pada
dewasa)
d) Massa di leher

41
e) Penyakit / trauma pada tulang spinal servikal
f) Deviasi trakea
g) Gambaran wajah dismorfik (misalnya: sindrom Pierre-
Robin)
3) Mulut
a) Pembukaan kecil (< 3 cm pada dewasa)
b) Gigi seri yang menonjol / maju (protruding)
c) Gigi yang goyang
d) Menggunakan peralatan gigi (misalnya: kawat, gigi palsu)
e) Lengkung langit-langit yang tinggi
f) Makroglosia (lidah besar)
g) Hipertrofi tonsil
h) Uvula tidak terlihat
4) Rahang
a) Mikrognatia
b) Retrognatia
c) Trismus
d) Maloklusi yang signifikan

E. PELAYANAN NYERI AKUT PASCA OPERASI


1. Nyeri pasca operasi adalah nyeri yang dimulai dari nyeri pembedahan sampai
terjadi penyembuh. Efektifitas terapi nyeri postoperasi memiliki beberapa
faktor, termasuk perawatan yang baik, penanganan non-farmakologi yang
baik dan balance analgesia (multimodal).
2. Penilaian dan penanganan yang tidak optimal dari nyeri pasca operasi dapat
menyebabkan efek yang merugikan pada pasien seperti terjadi ansietas,
gangguan tidur dan hambatan dalam mobilisasi, dan yang paling parah adalah
stres dan penderitaan.
3. Pelayanan Nyeri akut pasca operasi meliputi penanganan nyeri pada pasien
setelah dilakukan pembedahan elektif maupun emergency yang dilakukan
sejak dalam ruang operasi maupun setelah berada pada perawatan lanjutan di

42
ruang perawatan bangsal maupun ruang perawatan intensif pada kurun waktu
minimal 2 hari setelah operasi dan maksimal 6 bulan.
4. Nyeri pasca operasi harus dinilai rutin dan sistematis, saat istirahat/diam dan
saat bergerak, dengan didampingi tenaga kesehatan yang kompeten.
Direkomendasikan penilaian nyeri dilakukan bersamaan dengan penilaian
fungsi vital yang lain dan didokumentasikan sebagai vital sign .
Penilaian vital sign harus mencangkup :
a. Lokasi nyeri
b. Intensitas nyeri
c. Onset, Durasi nyeri
d. Kualitas nyeri (seperti ditusuk atau diiris)
e. Diskripsi nyeri (kata-kata pasien dalam menjelaskan nyeri)
f. Faktor yang meningkatkan atau mengurangi nyeri
g. Efek nyeri terhadap pasien
h. Metode pilihan pasien dalam mengatasi nyeri (bila pasien mengerti dan
tahu)
Sangat penting untuk mengetahui nyeri pasca operasi yang tidak dikeluhkan sama sekali pada
saat diam, namun mengeluhkan nyeri sedang sampai berat hanya saat digerakkan.
5. Penilaian rutin dan sistematis serta komunikasi yang efektif antara tenaga
kesehatan dan pasien sangat penting untuk memastikan nyeri berat yang
timbul mendadak atau nyeri hebat yang persisten untuk segera diketahui oleh
karena kemungkinan keluhan tersebut berkaitan erat dengan kegawatan
medis.
6. Nyeri pasca operasi merupakan keluhan subyektif sehingga patient self
report of pain merupakan “gold standar” dari penilaian nyeri.
7. Tenaga kesehatan harus memotivasi pasien untuk melaporkan dan
mendiskripsikan nyeri yang dideritanya. Mendengarkan dan percaya terhadap
keluhan pasien merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan
assesment nyeri pasca operasi.

43
44
BAB V
DOKUMENTASI

A. DOKUMENTASI TERKAIT PELAYANAN ANESTESI


Pada status anestesi RS terdapat 7 bagian utama yang harus dilengkapi mulai dari Pra-, Intra,
sampai dengan Pasca anestesi, yaitu:
1. Data Dasar
Data dasar meliputi:
a. Identitas pasien, berupa nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, dan
nomer register pasien. Pengisian dilakukan sesuai dengan data yang ada
di rekam medis pasien.
b. Nama harus diisi dengan tepat sesuai KTP/kartu identitas yang berlaku,
jangan sampai ada salah tulis, atau huruf yang berbeda, contoh: Soeparno
dengan Suparno, Deni dengan Denny
c. Bila ada stiker label pasien, maka kolom identitas dapat ditempel stiker
label pasien.
d. Informasi mengenai tindakan yang akan dilakukan, berupa diagnosis pra-
anestesi, jenis tindakan operatif, waktu dan tempat akan dilakukan
tindakan, beserta). Pengisian diagnosis, jenis tindakan, serta waktu dan
tempat tindakan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan
sebelumnya. Dan hal tersebut dilakukan konfirmasi ulang saat dilakukan
time out, atau tilik keselamatan pasien.
e. Nama-nama pihak yang terlibat dalam tindakan (baik anestesi maupun
bedah) Pengisian nama pihak sesuai dan dikonfirmasi ulang saat
dilakukan time out di kamar operasi.
2. Evaluasi Pra-Anestesi
Ditujukan untuk mencari masalah yang ada pada pasien, serta menyusun rencana anestesi
yang sesuai dengan keadaan pasien. Evaluasi meliputi:
a. Anamnesa dasar, meliputi riwayat anestesi dan komplikasinya, riwayat
alergi, dan obat obatan yang sedang dikonsumsi. Pengisian sesuai dengan

45
hasil anamnesa yang dilakukan pemeriksa terhadap pasien dan atau
keluarga pasien pada saar kunjungan pra anestesi.
b. Vital Sign, meliputi berat badan, tinggi badan, tekanan darah, nadi,
frekuensi pernapasan, suhu tubuh, saturasi perifer, dan skor nyeri.
Pengisian sesuai dengan hasil pemeriksaan saat kunjungan pra anestesi.
c. Evaluasi jalan nafas, ditujukan untuk memperkirakan tingkat kesulitan
dalam mempertahankan jalan napas, melakukan intubasi, maupun
melakukan ventilasi. Pengisian sesuai dengan hasil pemeriksaan saat
kunjungan pra-anestesi.
d. Fungsi Sistem Organ, ditujukan untuk mencari penyulit anestesi.
Pengisian sesuai dengan pemeriksaan, anamnesa, pemeriksaan fisik,
maupun pemeriksaan penunjang, pada saat kunjungan praanestesi. Jika
dalam satu sistem organ tidak ditemukan kelainan dapat memberikan
tanda “check” pada kolom DBN. Kelainan lain yang tidak terdapat dalam
daftar dapat dituliskan pada kotak kosong pada kolom catatan.

f. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang, pengisian sesuai dengan hasil


pemeriksaan laboratorium/penunjang pasien. Dicantumkan juga tanggal
dilakukannnya pemeriksaan laboratorium/penunjang yang tercatat.
g. Simpulan evaluasi pra-anestesi, meliputi PS ASA, Cardiac Risk Index,
Penyulit, dan Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien. Diisi setelah
mengevaluasi kondisi pasien secara keseluruhan.
3. Rencana Pra Anestesi
Rencana Pra Anestesi, tempat untuk merencanakan rencana anestesi dan obat-obat yg rencana
digunakan
a. Rencana Anestesi, diisi sesuai dengan rencana anestesi yang telah
disusun setelah mengevaluasi kondisi pasien, dan disetujui oleh pasien
(dibuktikan dengan lembaran Informed Consent) dan juga diketahui
olehSupervisor yang bertugas. Berikan tanda “check” pada teknik yang
dipilih, dan lingkari agen yang dipilih. Jika dipilih agen/teknik yang tidak
tersedia, dapat dituliskan pada kolom catatan.
b. Pemeriksa mengisikan identitasnya dengan nama dengan jelas serta

46
singkatan, membubuhkan waktu, tanggal dan tanda tangan. Setelah
melengkapi kesemuanya, cantumkan nama pemeriksa dan waktu
kunjungan pra-anestesi dan bubuhkan tanda tangan pemeriksa pada kotak
yang telah disediakan.
c. Perencanaan untuk tindakan anestesi meletakkan nama yang jelas serta
singkatannya, tanggal dan waktu perencanaan
4. Evaluasi Pra-Induksi
Evaluasi Pra-Induksi, merupakan re-evaluasi pra-anestesi sesaat sebelum
melakukan induksi. Meliputi tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi napas,
saturasi oksigen perifer dan suhu tubuh), kecukupan puasa, masalah saat induksi,
perubahan rencana anestesi, dan pemberian premedikasi yang telah
direncanakan. (Gambar 9)
a. Tanda vital diisi sesuai dengan hasil pemeriksaan yang didapatkan, bila
mana didapatkan kelainan maka dicantumkan dalam status, dan bila
mana kondisi tersebut tidak memungkinkan untuk induksi, maka
disebutkan/ditulis pada “Sebutkan jika ada……………”
b. Kecukupan puasa diisi sesuai hasil interogasi terhadap pasien/keluarga
pasien.
c. Jika terdapat masalah pada saat induksi (berdasarkan hasil pemeriksaan),
beri tanda “check”, dan tuliskan pada baris yang telah tersedia.
d. Jika terdapat perubahan teknik anestesi yang akan digunakan dan tidak
sesuai rencana, tuliskan pada baris yang tersedia “Perubahan rencana
Anestesi……….” dan lakukan informed consent kembali kepada pasien
dan keluarganya.
e. Pemberian premedikasi diisi oleh pihak yang memberikan premedikasi
dengan menuliskan nama agen yang diberikan, waktu, serta
membubuhkan tanda tangan dan nama terang.
c. Daftar Tilik Keselamatan Pasien
Daftar Tilik Keselamatan Pasien, diisi dengan memberikan tanda “check”
pada kotak yang telah disediakan, jika point tersebut ada/sudah dikerjakan
5. Induksi
Kolom Induksi, meliputi teknik induksi, teknik intubasi, evaluasi jalan napas,

47
posisi pasien, dan ketersediaan IV line, NGT, tampon, CVC, maupun arterial
line. (Gambar 11)
a. Teknik induksi diisi sesuai dengan teknik yang digunakan. Titrasi obat
induksi, tahapan induksinya,
b. Evaluasi jalan napas, meliputi penilaian derajat dari laringoskopi, dan
ETT maupun LMA yang digunakan. Diisi sesuai dengan hasil
pengamatan pemeriksa, jika melakukan intubasi ataupun pemasangan
LMA.
c. Pengisian posisi pasien, IV line, NGT, tampon, CVC, maupun arterial
line sesuai dengan yang terpasang pada pasien.
6. Monitoring Intra Anestesi
Monitoring Intra Anestesi, meliputi tabel monitoring intra anestesi, balans cairan,
anestesi regional, dan catatan.
a. Tabel monitoring diisikan sesuai dengan keadaan pasien (tanda sesuai
“keterangan” yang telah tersedia pada lembaran status anestesi) (Tekanan
darah, nadi, dan frekuensi napas (jika pasien bernapas spontan)) setiap 5
menitnya. (Gambar 6.1)
b. Pemberian obat juga diberikan tanda berupa angka sesuai dengan tempat
nama obat tersebut dituliskan pada tabel sesuai dengan waktu pada saat
diberikan.
c. Rangkuman balance cairan intra anestesi dituliskan pada kotak dan baris
yang telah disediakan. (Gambar 6.2)
d. Jika menggunakan anestesi regional, berikan keterangan mengenai
teknik, agen yang digunakan, tipe, volume, dan keterangan lain pada
kotak yang telah disediakan (Gambar 5)
e. Masalah atau keterangan lain yang terjadi intra-anestesi dapat
dicantumkan pada kotak catatan. (gambar 17)
f. Setelah proses anestesi selesai bubuhkan tanda tangan dan waktu pada
kolom yang tersedia.
g. Tanggal, waktu masuk kamar operasi, saat induksi, saat insisi, dicatat
pada kolom yang disediakan.
h. Tanggal, waktu Keluar kamar operasi, saat selesai operasi, saat selesai

48
anestesi dicatat pada kolom yang disediakan.
7. Monitoring Pasca Anestesi
Monitoring Pasca Anestesi, meliputi tabel monitoring pasca anestesi, skor aldrette
pasca anestesi, pesanan/tindakan di ruang pulih sadar, skor nyeri, skor bromage pasca
anestesi.
a. Tabel monitoring pasca anestesi diisikan sesuai dengan kondisi pasien
selama di ruang pulih sadar. Cantumkan data dasar pasien dan
pemeriksa pada tabel terlebih dahulu pada saat menerima pasien.
Kemudian, tabel diisi dengan memberikan tanda pada tabel (tanda yang
digunakan sama dengan tanda pada tabel monitoring intra anestesi)
sesuai dengan kondisi pasien.

49
b. Keterangan lain selama pulih sadar dapat dituliskan pada baris
keterangan Skor nyeri, bromage dan aldrette diisikan sesuai dengan hasil
pemeriksaan dengan tidak lupa mencantumkan waktu evaluasi.
Pesanan/tindakan di ruang pulih sadar diisi langsung setiap setelah
memberikan pesanan/melakukan tindakan dengan mencantumkan waktu,
pesanan/tindakan, dan tanda tangan pada kolom yang sesuai.

c. Ketika pasien akan dipindahkan dari ruang pulih sadar, cantumkan


tempat yang dituju, waktu, nama supervisor yang mengetahui, dan
bubuhkan tanda tangan supervisor yang menyetujui pemindahan pasien
dari ruang pulih sadar.
8. Pesanan Pasca Anestesi
Pesanan Pasca Anestesi, diisi sebelum pasien dipindahkan dari ruang pulih sadar di
CPPT milik pasien oleh dokter anestesi. Setelahnya, ditandatangani juga oleh ahli
anestesi yang bertugas pada saat itu.

B. INFORMED CONSENT ANESTESI


Adalah suatu proses penyampaian informasi secara relevan dan eksplisit kepada pasien untuk
memperoleh persetujuan medis sebelum dilakukan suatu tindakan medis (pembiusan) yang
dilakukan dan diberikan oleh dokter anestesi kepada pasien tentang tujuan, metode, resiko
dan hal lainnya terkait tentang tindakan sedasi dan anestesi yang berhubungan dengan pasien.
Informed Consent dilakukan oleh dokter anestesi setelah pasien dikonsulkan oleh operator/
dokter bedah untuk direncanakan tindakan operasi. Dokter anestesi akan melakukan
assasmen pada pasien untuk menentukan kelayakan kondisi pasien untuk dilakukan
pembiusan dan tindakan operasi.
Dalam pemberian informasi edukasi berupa resiko, manfaat dan alternative tindakan anestesi
harus didiskusikan dengan pasien dan keluarga atau orang yang dapat membuat keputusan
mewakili pasien.Edukasi juga termasuk tentang perencanaan analgetik pasca tindakan
operasi.Edukasi tersebut dilakukan oleh dokter spesialis anestesi.
Setelah mendapatkan penjelasan/edukasi tentang resiko, manfaat, alternative tindakan
anestesi serta analgetik pasca operasi, pasien dan atau keluarga berhak menentukan
pernyataan setuju atau menolak tindakan anestesi. Pemberian pelayanan sedasi dan anestesi

50
dapat dilanjutkan setelah pasien dan keluarga pasien memahami informasi yag sudah
disampaikan dan menyetujui dengan menandatangani form informed consent yang telah
disediakan. Kegiatan edukasi dan persetujuan tindakan tersebut harus tercatat dalam form
informed consent anestesi dan tersimpan dalam rekam medis pasien.

51
BAB VI
LOGISTIK

A. BAHAN MEDIS HABIS PAKAI (BMHP)


1. Seluruh bahan medis habis pakai disediakan oleh depo Farmasi IBS
2. BMHP yang bersifat habis pakai dalam satu kemasan di amprah saat
persiapan pasien untuk setiap kasus
3. BMHP yang bersifat tidak habis dalam satu kemasan di amprah kepada
depo farmasi oleh petugas IBS setiap minggu, dan dituliskan pada lembar
pemakaian BMHP sesuai jumlah pemakaian
4. BMHP yang digunakan untuk menjaga kualitas pelayanan dan sterilitas
kamar operasi diamprahkan setiap minggu dan menjadi tanggungan rumah
sakit sebagai bagian dari unit cost

B. PROSEDUR PERMINTAAN BMHP KE DEPO FARMASI


1. Setiap pasien rencana operasi elektif dibuatkan amprahan BMHP sehari
sebelum pembedahan oleh perawat IBS kepada depo farmasi IBS dengan
menyerahkan lembar pemakaian BMHP pasien bedah
2. Setiap pasien rencana operasi emergensi dibuatkan amprahan BMHP sesaat
sebelum pembedahan dimulai, untuk mengganti floor stok BMHP IBS oleh
perawat Instalasi Anestesi dan Terapi Intensif kepada depo farmasi IGD
dengan menyerahkan lembar pemakaian BMHP pasien.
3. Permintaan BMHP mingguan dibuat dengan mengisi lembar permintaan
bon BMHP dari IBS kepada gudang Farmasi

52
BAB VII
STANDAR KESELAMATAN PASIEN

A. PENGERTIAN
Keselamatan pasien (pasien safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi :
1. Asesmen resiko.
2. Identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien.
3. Pelaporan dan analisis insiden.
4. Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya.
5. Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh :
- Kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan.
- Tidak mengambil tindakan yang seharusnya tidak diambil.

B. TUJUAN
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.
2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.
3. Menurunkan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) di rumah sakit.
4. Terlaksananya program – program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD).

C. INSIDEN DAN KESELAMATAN PASIEN


1. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)/Adverse Event
Adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan, yang mengakibatkan cedera pasien akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil, dan
bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien. Cedera dapat diakibatkan oleh
kesalahan medis atau bukan kesalahan medis karena tidak dapat dicegah.
2. KTD yang tidak dapat dicegah (Unpreventable Adverse Event)
Suatu KTD yang terjadi akibat komplikasi yang tidak dapat dicegah dengan pengetahuan

53
mutakhir.
3. Kejadian Nyaris Cedera (KNC)/Near Miss
Adalah suatu kesalahan akibat melaksanakn suatu tindakan (commision) atau tidak
mengambil yang seharusnya diambil (omission), yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera
serius tidak terjadi :
a. Karena “keberuntungan”
b. Karena “pencegahan”
c. Karena “peringanan”
4. Kesalahan Medis (Medical Errors)
Adalah kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis yang mengakibatkan atau
berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien.
5. Kejadian Sentinel (Sentinel Even)
Adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius; biasanya dipakai
untuk kejadian yang sangat tidak diharapkan atau tidak dapat diterima, seperti operasi pada
bagian tubuh yang salah.
Pemilihan kata “sentinel” tekait dengan keseriusan cedera yang terjadi (seperti, amputasi
pada kaki yang salah) sehingga pencarian fakta terhadap kejadian ini mengungkapkan adanya
masalah yang serius pada kebijakan dan prosedur yang berlaku.
D. TATA LAKSANA KESELAMATAN PASIEN
Dalam melaksanakan keselamatan pasien terdapat tujuh langkah menuju keselamatan pasien
rumah sakit. Adapun tujuh langkah tersebut adalah:
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien.
Menciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.
2. Memimpin dan mendukung karyawan.Membangun
komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan pasien.
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko. Mengembangkan sistem
dan proses pengelolaan risiko, serta melakukan identifikasi dan asesmen
hal potensial bermasalah.
4. Mengembangkan sistem pelaporan. Memastikan karyawan agar dengan
mudah dapat melaporkan kejadian atau insiden, serta rumah sakit
mengatur pelaporan kepada KKP-RS (Komite Keselamatan Pasien Rumah
Sakit).

54
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien. Mengembangkan cara-cara
komunikasi yang terbuka dengan pasien.
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien. Mendorong
karyawan untuk melakukan analis akar masalah untuk belajar bagaimana
dan mengapa kejadian itu timbul.
7. Mencegah cidera melalui implementasi sistem keselamatan pasien.
Menggunakan informasi yang ada tentang kejadian atau masalah untuk
melakukan perubahan pada sistem pelayanan.
8. Dalam melaksanakan keselamatan pasien standar keselamatan pasien
harus diterapkan. Standar tersebut adalah:
a. Hak pasien.
b. Mendidik pasien dan keluarga.
c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan.
d. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan
evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien.
e. Peran kepemimpinan dalam meningkatan keselamatan pasien.
f. Mendidik karyawan tentang keselamatan pasien.
g. Komunikasi yang merupakan kunci bagi karyawan untuk mencapai
keselamatan pasien.

55
BAB VIII
KESELAMATAN KERJA

Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 pasal 164 ayat (1) menyatakan bahwa upaya
kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari
gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Rumah Sakit
adalah tempat kerja yang termasuk dalam kategori seperti disebut di atas, berarti wajib
menerapkan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. Program keselamatan dan kesehatan
kerja di tim pendidikan pasien dan keluarga bertujuan melindungi karyawan dari
kemungkinan terjadinya kecelakaan di dalam dan di luar rumah sakit.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa “Setiap warganegara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dalam hal ini yang
dimaksud pekerjaan adalah pekerjaan yang bersifat manusiawi, yang memungkinkan
pekerja berada dalam kondisi sehat dan selamat, bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat
kerja, sehingga dapat hidup layak sesuai dengan martabat manusia.
A. PERLINDUNGAN KESELAMATAN KERJA DAN
KESEHATAN PETUGAS KESEHATAN
1. Petugas kesehatan yang merawat pasien menular harus mendapatkan
pelatihan mengenai cara penularan dan penyebaran penyakit, tindakan
pencegahan dan pengendalian infeksi yang sesuai dengan protokol jika
terpajan.
2. Petugas yang tidak terlibat langsung dengan pasien harus diberikan
penjelasan umum mengenai penyakit tersebut.
3. Petugas kesehatan yang kontak dengan pasien penyakit menular melalui
udara harus menjaga fungsi saluran pernapasan (tidak merokok, tidak
minum dingin) dengan baik dan menjaga kebersihan tangan.

56
B. PETUNJUK PENCEGAHAN INFEKSI UNTUK
PETUGAS KESEHATAN
1. Untuk mencegah transmisi penyakit menular dalam tatanan pelayanan
kesehatan, petugas harus menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) yang
sesuai untuk kewaspadaan Standar dan Kewaspadaan Isolasi (berdasarkan
penularan secara kontak, droplet, atau udara) sesuai dengan penyebaran
penyakit.
2. Semua petugas kesehatan harus mendapatkan pelatihan tentang gejala
penyakit menular yang sedang dihadapi.
3. Semua petugas kesehatan dengan penyakit seperti flu harus dievaluasi untuk
memastikan agen penyebab. Dan ditentukan apakah perlu dipindah tugaskan
dari kontak langsung dengan pasien, terutama mereka yang bertugas di
instalasi perawatan intensif (IPI), ruang rawat anak, ruang bayi.
Keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 merupakan bagian integral dari perlindungan
terhadap pekerja dalam hal ini Pelayanan Bedah dan perlindungan terhadap Rumah Sakit.
Pegawai adalah bagian integral dari rumah sakit. Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja
akan meningkatkan produktivitas pegawai dan meningkatkan produktivitas rumah sakit.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dimaksudkan untuk
menjamin:
1. Agar pegawai dan setiap orang yang berada di tempat kerja selalu berada
dalam keadaan sehat dan selamat.
2. Agar faktor-faktor produksi dapat dipakai dan digunakan secara efisien.
3. Agar proses produksi dapat berjalan secara lancar tanpa
hambatan.
Faktor-faktor yang menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat digolongkan
pada tiga kelompok, yaitu :
1. Kondisi dan lingkungan kerja.
2. Kesadaran dan kualitas pekerja.
3. Peranan dan kualitas manajemen.
Dalam kaitannya dengan kondisi dan lingkungan kerja, kecelakaan dan penyakit akibat kerja
dapat terjadi bila :
1. Peralatan tidak memenuhi standar kualitas atau bila sudah aus.

57
2. Alat-alat produksi tidak disusun secara teratur menurut tahapan proses
produksi.
3. Ruang kerja terlalu sempit, ventilasi udara kurang memadai, ruangan terlalu
panas atau terlalu dingin.
4. Tidak tersedia alat-alat pengaman.
5. Kurang memperhatikan persyaratan penanggulanganbahaya
kebakaran dan lain-lain.

58
BAB IX
PENGENDALIAN MUTU

Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan adalah aspek yang akan ditingkatkan
dengan menetapkan indikator, criteria, serta standar yang akan digunakan untuk mengukur
mutu pelayanan. Indikator mutu pada pelayanan anestesi RS AMC Bandung yaitu :
Pelaksanaan Asesmen Praanestesi dan Prasedasi
Ruang lingkup : Pelaksanaan Asesmen Praanestesi dan Prasedasi

Dimensi mutu : Keselamatan, efektivitas dan kompetensi

Tujuan : Terlaksananya kepatuhan dalam pelaksanaan asesmen


praanestesi dan prasedasi

Definisi operasional : Asesmen praanestesi adalah pemeriksaan oleh dokter


spesialis anestesi sebelum tindakan anestesi
Asesmen prainduksi adalah pemeriksaan oleh dokter
spesialis anestesi sebelum dilakukan induksi

Kriteria inklusi : -

Kriteria eksklusi : -

Numerator : Jumlah pasien yang dilakukan asesmen praanestesi


dan prainduksi
Denominator : Jumlah pasien dalam satu bulan

Standar : 100 %

59
Proses monitoring status fisiologis selama anestesi
Ruang lingkup : Proses monitoring status fisiologis selama anestesi

Dimensi mutu : Kepatuhan

Tujuan : Terlaksananya proses monitoring status fisiologis


selama anestesi
Definisi operasional : Proses monitoring status fisiologis selama dilakukan
anestesi
Kriteria inklusi : -

Kriteria eksklusi : -

Numerator : Jumlah pasien yang dilakukan monitoring status


fisiologis selama anestesi
Denominator : Jumlah pasien dalam satu bulan

Standar : 100 %

Proses monitoring pemulihan anestesi dan sedasi dalam


Ruang lingkup : Proses monitoring pemulihan anestesi dan sedasi
dalam
Dimensi mutu : Efektivitas

Tujuan : Terlaksananya proses monitoring saat pemulihan


anestesi dan sedasi dalam

Definisi operasional : Proses monitoring saat pemulihan anestesi dan sedasi


dalam
Kriteria inklusi : -

Kriteria eksklusi : -

60
Numerator : Jumlah pasien yang dilakukan monitoring status
fisiologis selama anestesi
Denominator : Jumlah pasien dalam satu bulan

Standar : 100 %

Insiden Konversi tindakan dari lokal/regional ke general


Ruang lingkup : Ketidaktepatan pemilihan anestesi

Dimensi mutu : Efektifitas

Tujuan : Tercapainya Keselamatan Pasien

Definisi : Terjadinya konversi tindakan anestesi karena berbagai sebab


operasional

Kriteria inklusi :  Ketidaktepatan asesmen praanestesi


 Ketidaktepatan pemilihan obat
 Ketidaktepatan prosedur anestesi

Kriteria : -
eksklusi
Numerator : Jumlah Kejadian Konversi Anestesi

Denominator : Jumlah pasien operasi dengan spinal


anestesi
Standar : 0%

Indikator tersebut dilaporkan setiap bulan dalam laporankerja bulanan.

61
BAB IX
PENUTUP

Buku pedoman Pelayanan Anestesi RS AMC ini mempunyai peran penting sebagai
pedoman bagi pelaksanaan kegiatan sehari – hari baik dokter anestesi, penata anestesi
dan perawat yang bertugas dalam memberikan pelayanan sedasi dan anestesi sehingga
dapat meningkatkan mutu pelayanan khususnya pelayanan anestesi.
Penyusunan Buku Pedoman Pelayanan Anestesi ini adalah langkah awal ke suatu proses yang
panjang, sehingga memerlukan dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak dalam
penerapannya untuk mencapai tujuan.

62
DAFTAR RUJUKAN

1. Standar Umum Pelayanan anestesiologi dan Reanimasi di Rumah Sakit.


Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Direktorat
Rumah Sakit Khusus Swasta, Jakarta 1999.
2. Standards and Practice Parameters. Standards for basic anesthetic monitoring.
Disetujui oleh ASA House of Delegates; 2010.
3. Standar Akreditasi Rumah Sakit. Kerjasama Direktorat Jenderal Bina Upaya
Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dengan Komisi Akreditasi
Rumah Sakit (KARS), Jakarta 2011.
4. Standards and Practice Parameters. Standards for basic anesthetic monitoring.
Disetujui oleh ASA House of Delegates; 2010.
5. Surgical Anesthesia. Guidelines for patient care in anesthesiology. Disetujui
oleh ASA House of Delegates; 2011.
6. Standars and Practice Parameters. Basic standards for anesthesia care. Disetujui
oleh ASA House of Delegates; 2010.
7. Standars and Practice Parameters. Standards for postanesthesia care. Disetujui
oleh ASA House of Delegates; 2009.
8. Hewer CL. The stages and signs of general anesthesia. BMJ. 2009; 2 : 274-6.

63

Вам также может понравиться