Вы находитесь на странице: 1из 16

PERANAN PERADILAN AGAMA

KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA

Fadilah Qotimatun Puji Rahayu 1

A. Pendahuluan

Peradilan Agama adalah terjemahan dari Godsdienstige Rechtspraak


(Bahasa Belanda) , berasal dari kata godsdienst yang berarti agama; ibadat;
keagamaan dan kata rechtspraak berarti peradilan , yaitu daya upaya mencari
keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut
peraturan-peraturan dan dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan
bahwa yang dimaksud Peradilan Agama dalam undang-undang ini adalah
peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa Peradilan Agama
adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.

Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan


Agama adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau
menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama
Islam melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan
kekuasaan kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Rumusan Masalah (Sub Judul)


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1
Mahasiswa Kelas HES 5F Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syari’ah IAIN
Surakarta, NIM. 162111203
1. Apa yang dimaksud dengan Kompetensi Absolut di Peradilan Agama?
2. Bagaimana Wewenang dalam Kompetensi Absolut di Peradilan Agama?
3. Apa saja Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam ?
4. Bagaimana Pilihan Hukum dalam Penyelesaian Perkara Warisan Dicabut?
5. Apa yang dimaksud dengan Kewenangan Mengadili Tidak Meliputi
Sengketa Hak Milik Atau Sengketa Lain Antar Orang Islam dengan Non
Islam?
C. Pembahasan
1. Kompetensi Absolut Di Peradilan Agama
Kata ‘kekuasaan’ sering disebut ‘kompetensi’ yang berasal dari
bahasa Belanda ‘competentie’, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan
‘kewenangan’ dan kadang dengan ‘kekuasaan’.Kekuasaan atau
kewenangan peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum acara.
Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan
peradilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan
atau tingkat Pengadilan,dlam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis
Pengadilan atau tingkat Pengadilan lainnya.Kekuasaan pengadilan di
lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat
tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.2
Kompetensi absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang
berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan.
Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan
golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.
Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

2
Asasriwarni dan Nurhasnah. 2006. Peradilan Agama di Indonesia. Padang: Hayfa Press. Hlm. 151
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang pada pokoknya
adalah sebagai berikut.

– perkawinan;

– waris;

– wasiat;

– hibah;

– wakaf;

– zakat;

– infaq;

– shadaqah; dan

– ekonomi syari’ah.3

Kekuasaan absolut artinya kekuasaan pengadilan agama yang


berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan
pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis
pengadilan atau tingkatan pengadilan. dalam perbedannya dengan jenis
perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya
:Pengadilan agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang
beragama islam sedangkan bagi yang selain islam menjadi kekuasaan
peradilan umum.Pengadilan agamalah yang berkuasa memeriksa dan
mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara
di pengadilan tinggi agama atau mahkamah agung.Banding dari
pengadilan agama diajukan ke pengadilan tinggi agama, tidak boleh
diajukan ke pengadilan tinggi.4

3
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 98
4
Drs.H.Chatib Rasyid SH.M.Hum,.Drs.Syaifuddin.SH,M.Hum,.Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktik Pada Peradilan Agama.,Yogyakarta : UII Press 2009 hal.27-28
Kewenangan peradilan agama memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan bidang perdata dimaksud, sekaligus dikaitkan dengan asas
“personalita” ke-islaman yakni yang dapat ditundukkan ke dalam
kekuasaan lingkungan peradilan agama, hanya mereka yang beragama
islam.yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam lingkungan
peradilan agama dilakukan oleh pengadilan agama yang bertindak sebagai
peradilan tingakat pertama, bertempat kedudukan di kotamadya atau
ibukota kabupaten. Peradilan tingkat “banding” dilakukan oleh
pengadilan tinggi agama yang bertempat kedudukan di ibukota provinsi.5
2. Wewenang dalam Kompetensi Absolut di Peradilan Agama
Kewenangan absolut Peradilan Agama pada akhir Masa Kolonial
Belanda, Masa Jepang dan Masa Kemerdekaan adalah sama, diatur dalam
Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152, Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116
dan 610, Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639 dan PP No. 45 Tahun
1957. kewenangan absolut Peradilan Agama pada Masa Orde Baru dan
Masa Reformasi adalah sama sebagaimana kewenangan yang diberikan
oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UU No. 7 Tahun 1989.
Kewenangan absolut Peradilan Agama pada Masa Pasca Reformasi diatur
dalam UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009. 2.
Perkembangan kewenangan absolut Peradilan Agama dari masa ke masa
mulai Masa Kolonial Belanda sampai dengan Masa Pasca Reformasi
semakin bertambah atau luas, lebih banyak perkara yang bisa diperiksa
oleh Peradilan Agama, bertambahnya perkara yang bisa diperiksa oleh
Peradilan Agama semakin signifikan pada masa Orde Baru. Dan lompatan
terbesar perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama ada pada
Masa Pasca Reformasi, kewenangan Peradilan Agama bertambah dengan
adanya kewenangan memeriksa perkara zakat, infak, dan ekonomi syariah
serta khusus untuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, kewenangan
Peradilan Agama yang dijalankan oleh Mahkamah Syar‟iyah semakin

5 M.Yahya Harahap,S.H.,Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama.,Jakarta : Sinar


Grafika 2005 hal. 100
bertembah, tidak saja memeriksa perkara perdata Islam (ahwal syahsiyah
dan muamalah) tetapi juga memeriksa perkara pidana Islam (jinayah).6
Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:

1. Perkawinan

Dalam bidang perkawinan meliputi hal-hal yang diatur dalam atau


berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syari’ah, antara lain:7

1. izin beristri lebih dari seorang;

2. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua


puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis
lurus ada perbedaan pendapat;

3. dispensasi kawin;

4. pencegahan perkawinan;

5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;

6. pembatalan perkawinan;

7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;

8. perceraian karena talak;

9. gugatan perceraian;

10. penyelesian harta bersama;

11. penguasaan anak-anak;

6 Abdullah Tri Wahyudi, “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia Pada Masa Kolonial
Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia, Vol. 7, No. 2, Desember 2018
7
Ibid. Hlm. 99
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana bapak
yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;

13. Penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada


bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;

14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;

15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;

16. Pencabutan kekuasaan wali;

17. Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut;

18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur
18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada
penunjukkan wali oleh orang tuanya;8

19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah


menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya;

20. Penetapan asal usul seorang anak;

21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan


perkawinan campuran;

22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut
peraturan yang lain.9

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan


kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu:

8
Ibid. Hlm. 99
9
Ibid. Hlm. 99
23. Penetapan Wali Adlal;

24. Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.

2. Warisan

Yang dimaksud dengan “waris” adalah:

1. penentuan siapa yang menjadi ahli waris


2. penentuan mengenai harta peninggalan
3. penentuan bagian masing-masing ahli waris
4. melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut
5. penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan
siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli
waris.

3. Wasiat

Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan


suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang
berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.

4. Hibah

Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara


sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang
lain atau badan hukum untuk dimiliki.10

5. Wakaf

Yang dimaksud dengan “wakaf’ adalah perbuatan seseorang atau


sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk

10
Ibid. Hlm. 128
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.11

6. Zakat

Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh
seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai
dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

7. Infaq

Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan


sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan,
minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan
sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah
Subhanahu Wata’ala.

8. Shodaqoh

Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang


memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara
spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan
mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.12

9. Ekonomi Syari’ah

Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau


kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain
meliputi:

– bank syari’ah;

– lembaga keuangan mikro syari’ah.

– asuransi syari’ah;

11
Ibid. Hlm. 128
12
Ibid. Hlm. 129
– reksa dana syari’ah;

– obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;

– sekuritas syari’ah;

– pembiayaan syari’ah;

– pegadaian syari’ah;

– dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan

– bisnis syari’ah.

Dalam perkara ekonomi syari’ah belum ada pedoman bagi hakim dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Untuk memperlancar proses
pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, dikeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah.

Pasal 1 PERMA tersebut menyatakan bahwa:

1) Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa,


mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi
syari’ah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah.

2) Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari’ah dalam Kompilasi


Hukum Ekonomi Syari’ah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi
tanggung jawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk
menjamin putusan yang adil dan benar.13

3. Peradilan Agama di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

13
Ibid. Hlm. 130
Bahwa dengan adanya Amandemen Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh diatur tentang adanya pengadilan khusus di lingkungan
Peradilan Agama yang berlaku di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang
mempunyai kewenangan yang lebih luas.14

Sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang


Peradilan Syari’at Islam, kewenangan Peradilan Agama di Aceh meliputi:

– ahwal syahsiyah (hukum keluarga);

– muamalah (hukum perdata);

– jinayah (hukum Pidana);

yang didasarkan atas syari’at Islam dan akan diatur dalam Qanun Aceh.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 49 tersebut menyebutkan bahwa:

a. Yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang al-ahwal al-syahsiyah


meliputi hal-hal yang diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama beserta penjelaan dari pasal tersebut, kecuali
wakaf, hibah, dan sadaqah;

b. Yang dimaksud dengan kewenangan bidang muamalah meliputi


kebendaan dan perikatan seperti:

– jual beli, hutang piutang;

14
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-surat Dalam
Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama, Bandung: Mandarmaju. 2014 , Hlm 80
– qiradh (permodalan);

– musaqah, muzara’ah, mukhabarah (bagi hasil pertanian);

– wakilah (kuasa), syirkah (perkongsian);

– ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta), syuf’ah (hak langgeh),


rahnu (gadai);

– ihya’u al-mawat (pembukaan tanah), ma’adin (tambang), luqathah (barang


temuan);

– perbankan, ijarah (sewa menyewa), takaful;

– perburuhan;

– harta rampasan;

– waqaf, hibah, sadaqah, dan hadiah.15

c. Yang dimaksud dengan kewenangan di bidang jinayah adalah sebagai


berikut.

Hudud yang meliputi:

– zina;

– menuduh berzina (qadhaf);

– mencuri;

– merampok;

– minuman keras dan napza;

– murtad;

– pemberontakan (bughat);

15
Ibid. Hlm. 81
Qishash/diat yang meliputi:

– pembunuhan;

– penganiayaan;

Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan


pelanggaran syari’at selain hudud dan qishash/diat seperti:

– judi;

– khalwat;

– meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan.16

4. Pilihan Hukum dalam Penyelesaian Perkara Warisan Dicabut

Kewenangan Peradilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan memutus


perkara warisan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dibatasi dengan adanya hak opsi. Hak opsi adalah hak memilih
hukum warisan apa yang akan dipergunakan dalam menyelesaikan pembagian
warisan. Jadi hak opsi adalah pilihan hukum bagi pada pihak yang bersengketa
khusus dalam perkara warisan untuk menempuh penyelesaian melalui jalur
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) atau Hukum Adat atau hukum Islam.

Mengenai hak opsi ini Mahkamah Agung memberikan petunjuk bagi hakim-
hakim dalam menyelesaikan perkara warisan dengan mengeluarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1990 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa
ketentuan pilihan hukum warisan merupakan permasalahan yang terletak di luar
badan peradilan dan berlaku bagi golongan rakyat yang hukum kewarisannya
tunduk pada Hukum Adat dan atau Hukum Perdata Barat (BW) dan atau Hukum
Islam. Para pihak boleh memilih Hukum Adat atau Hukum Perdata Barat (BW)
yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri Hukum atau memilih Hukum Islam

16
Ibid. Hlm. 81
yang menjadi wewenang Pengadilan Agama. Pilihan hukum ini berlaku sebelum
perkara diajukan ke pengadilan apabila suatu perkara warisan dimasukkan ke
Pengadilan Agama maka pihak lawan telah gugur haknya untuk menentukan
pilihan hukum dalam menyelesaikan perkara warisan. Apabila dalam perkara
warisan diajukan ke Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri secara bersamaan
oleh para pihak yang bersengketa maka hal ini telah terjadi sengketa kewenangan
mengadili antara pengadilan pada badan peradilan yang satu dengan pengadilan
pada badan peradilan yang lain sehingga harus diselesaikan dahulu melalui
Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir.

Dengan adanya perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang


Peradilan Agama menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
kalimat yang terdapat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Para Pihak sebelum berperkara
dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam
pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.17

5. Kewenangan Mengadili Tidak Meliputi Sengketa Hak Milik Atau


Sengketa Lain Antar Orang Islam dengan Non Islam

Apabila terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama cara penyelesaiannya adalah sebagai
berikut.

1. Apabila objek sengketa terdapat sengketa hak milik atau sengketa lain
antara orang Islam dengan selain orang Islam maka menjadi kewenangan
Peradilan Umum untuk memutuskan perkara tersebut. Proses pemeriksaan
perkara di Peradilan Agama terhadap objek sengketa yang masih terdapat
sengketa milik atau sengketa lain antara orang Islam dan selain orang
Islam ditunda terlebih dahulu sebelum mendapatkan putusan dari
Peradilan Umum. Sebagaimana diatur dalam pasal berikut. “Dalam hal

17
Ibid. Hlm. 81
terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus
diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.”
2. Apabila objek sengketa terdapat sengketa hak milik atau sengketa lain
antara orang Islam maka Peradilan Agama dapat memutus bersama-sama
perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sebagaimana diatur
dalam pasal berikut. “Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana
dimaksud ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang
beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama
bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.”18

D. Kesimpulan
Berdasakan pembahasan sebagaimana tersebut di atas maka penulis
memberikan kesimpulan sebagai berikut.
Kompetensi absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan yang
berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan.
Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan
rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.

Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam pasal 49 Undang-


Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang pada pokoknya adalah
sebagai berikut.

– perkawinan;

– waris;

– wasiat;

– hibah;

18
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm.
133
– wakaf;

– zakat;

– infaq;

– shadaqah; dan

– ekonomi syari’ah.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang


Peradilan Syari’at Islam, kewenangan Peradilan Agama di Aceh meliputi:

– ahwal syahsiyah (hukum keluarga);

– muamalah (hukum perdata);

– jinayah (hukum Pidana);

yang didasarkan atas syari’at Islam dan akan diatur dalam Qanun Aceh.

Kewenangan Peradilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan memutus


perkara warisan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dibatasi dengan adanya hak opsi. Hak opsi adalah hak memilih
hukum warisan apa yang akan dipergunakan dalam menyelesaikan pembagian
warisan.

Apabila terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama cara penyelesaiannya adalah sebagai
berikut. Apabila objek sengketa terdapat sengketa hak milik atau sengketa lain
antara orang Islam dengan selain orang Islam maka menjadi kewenangan
Peradilan Umum untuk memutuskan perkara tersebut. Apabila objek sengketa
terdapat sengketa hak milik atau sengketa lain antara orang Islam maka Peradilan
Agama dapat memutus bersama-sama perkara yang menjadi kewenangan
Peradilan Agama.
Perkembangan kewenangan absolut Peradilan Agama dari masa ke masa
mulai Masa Kolonial Belanda sampai dengan Masa Pasca Reformasi semakin
bertambah atau luas, lebih banyak perkara yang bisa diperiksa oleh Peradilan
Agama, bertambahnya perkara yang bisa diperiksa oleh Peradilan Agama semakin
signifikan pada masa Orde Baru. Dan lompatan terbesar perkara yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama ada pada Masa Pasca Reformasi, kewenangan
Peradilan Agama bertambah dengan adanya kewenangan memeriksa perkara
zakat, infak, dan ekonomi syariah serta khusus untuk Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, kewenangan Peradilan Agama yang dijalankan oleh Mahkamah
Syar‟iyah semakin bertembah, tidak saja memeriksa perkara perdata Islam (ahwal
syahsiyah dan muamalah) tetapi juga memeriksa perkara pidana Islam (jinayah).

DAFTAR PUSTAKA

Wahyudi , Abdullah Tri, 2004, Peradilan Agama di Indonesia, Yogjakarta:


Pustaka Pelajar.

Wahyudi , Abdullah Tri, 2014, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi


Contoh Surat-surat Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama,
Bandung: Mandarmaju.

Wahyudi, Abdullah Tri, “Kewenangan Absolut Peradilan Agama di Indonesia


Pada Masa Kolonial Belanda Hingga Masa Pasca Reformasi”, Yudisia,
Vol. 7, No. 2, Desember 2016.

Rasyid , Drs.H.Chatib SH.M.Hum,.Drs.Syaifuddin.SH,M.Hum,.Hukum Acara


Perdata dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan Agama.,Yogyakarta :
UII Press 2009
Harahap, M.Yahya S.H. Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan
Agama.,Jakarta : Sinar Grafika 2005

Asasriwarni, Nurhasnah. 2006. Peradilan Agama di Indonesia. Padang: Hayfa


Press.

Вам также может понравиться