Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Disusun Oleh :
Kelompok 4
1. Yunita Priandini
2. Frederika N. Geong
KUPANG
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Keunggulan
Komparatif II-Peranan Alat Tukar dan Kurs Devisa” ini dengan baik dan lancar.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen
pengajar mata kuliah Ekonomi Internasional.
Penulis berterimakasih kepada Ibu Amidah, S.Pd., M.Pd selaku dosen mata
kuliah yang telah memberikan tugas ini. Terselesainya makalah ini tentu tidak
lepas dari peran serta berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada semua yang telah membantu dalam pembuatan serta
penyelesaian makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Seandainya pemerintah Indonesia mempertahankan kurs devisa Rp1,5=¥1,
maka biaya produksi Jepang (kolom 3) bisa dirupiahkan atas dasar kurs
tersebut. Hasil perhitungannya terlihat dalam tabel B (kolom 4) sebagai
berikut:
Tabel B
Biaya Produksi Indonesia dan Jepang
Pada Berbagai Tingkat Kurs Devisa
Biaya Jepang
Biaya per Unit
Dalam Rupiah
Barang
Indonesia Jepang
Rp 1,50=¥1 Rp 2,00=¥1
Rp ¥
(1) (2) (3) (4) (5)
Minyak bumi 3.000 30.000 45.000 60.000
Karet 1.000 6.000 9.000 12.000
Tekstil 2.000 1.500 2.250 3.000
Semen 3.000 1.800 2.700 3.600
Jam tangan 10.000 3.000 4.500 6.000
TV 60.000 6.000 9.000 12.000
Mobil 3.000.000 180.000 270.000 360.000
4
mobil dari Jepang. Jepang tentu memiliki pola perdagangan yang persis
sebaliknya.
Inti dari uraian di atas ialah bahwa penetuan kurs devisa
menetukan pula “batas” dan “cut-off point” pada skala keunggulan
komparatif yang memisahkan barang-barang apa yang diekspor/diimpor
oleh masing-masing negara. Dalam contoh di atas (Rp1,50=¥1), “cut-off
point” terletak antara tekstil dan semen (lihat gambar berikut):
Cut-off point
Ekspor Indonesia Rp 1,50 = ¥1 Ekspor Jepang
(Impor Jepang) (Impor Indonesia) Skala
keunggulan
komparatif
Minyak bumi
Pesawat TV
Mobil
Tekstil
Karet
Semen
Jam
5
Semen yang semula diimpor menjadi barang ekspor Indonesia. Sebaliknya,
pihak Jepang mendapatkan bahwa sekarang lebih murah untuk mengimpor
semen dari Indonesia daripada menghasilkannya sendiri. “Cut-off
point”pun akan bergeser ke kanan.
Cut-off point
Rp 2,00 = ¥1
Ekspor Indonesia Ekspor Jepang
(Impor Jepang) (Impor Indonesia) Skala
keunggulan
komparatif
Minyak bumi
Pesawat TV
Mobil
Tekstil
Karet
Karet
Semen
Jam
6
menunjukkan bahwa apabila suatu negara karena sesuatu pertimbangan
(misalnya, untuk menekan inflasi dalam negeri) menentukan kurs devisa
yang terlalu rendah, dalam arti menilai mata uang sendiri terlalu tinggi
relatif terhadap mata uang asing, atau yang sering disebut dengan
overvalued exchange rate, maka bidang keunggulan komparatifnya
menyempit (cut-off point-nya bergeser ke kiri). Kebijaksanaan semacam
ini dalam jangkan panjang menghambat perkembangan ekspor negara
tersebut. Oleh sebab itu, sangatlah penting kurs devisa ditentukan secara
cermat dan tepat dan tidak hanya didasarkan atas pertimbangan jangka
pendek saja.
Dari segi penentuan pola perdangan internasional, uraian di atas
menggambarkan dua asas yang berkaitan dengan kasus constantcost
dengan banyak barang dan dengan alat tukar yang berbeda, yaitu:
1. Keunggulan komparatif masih tetap faktor penentu yang
fundamental bagi pola perdagangan. (Garis skala keunggulan
komparatif tetap melandasi penentuan pola perdagangan).
2. Tetapi “batas” atau “cut-off point” yang secara tepat memisahkan
barang-barang mana yang diekspor/dimpor oleh suatu negara
ditentukan oleh asas keunggulan mutlak. (Posisi cut-off point
diperoleh dengan membandingkan apakah biaya produksi suatu
barang secara mutlak lebih murah di suatu negara dibanding
dengan negara lain).
7
dalam perdagangan, yaitu “negara kita” dan “negara-negara lain”.
Kelompok “negara-negara lain” ini mencakup semua negara lain yang
mempunyai hubungan perdagangan dengan “negara kita”. Dengan cara ini,
dengan mudah contoh-contoh kasus seperti yang kita telah bahas di muka
bisa digunakan untuk “kasus banyak negara”.
Ada satu aspek dalam “kasus banyak negara” yang tidak bias
terungkap dalam “kasus dua negara”, yaitu adanya kemungkinan
hubungan perdagangan tidak langsung antara lebih dari dua negara.
Bentuk yang paling sederhana adalah hubungan perdagangan tidak
langsung antara tiga negara, yang kadang-kadang disebut dengan istilah
“triangular trade” atau “perdagangan segitiga”. Sebagai contoh lihat
gambar di bawah ini:
Singapura
Karet mentah
Mesin dan
barang konsumsi
Jepang
tahan lama
8
langsung bisa dipakai dalam proses produksinya. Indonesia tidak bisa
memenuhi persyaratan industri Jepang, mungkin karena memang belum
ada industri dalam negeri yang bisa mengolah lebih lanjut karet
mentahnya, atau mungkin (kalaupun bisa dilakukan pengolahan dalam
negeri) biayanya sangat mahal sehingga tidak bisa bersaing di pasar
Jepang. Dalam keadaan seperti ini Singapura bisa masuk dalam jaringan
perdagangan karena negara ini menyediakan jasa penyortiran dan
pengolahan yang cukup murah. Singapura seakan-akan bertindak sebagai
“perantara” dalam perdagangan karet. Yang perlu diingat dalam contoh ini
adalah bahwa tanpa Singapura, perdagangan karet antara Indonesia dan
Jepang tidak akan terjadi atau hanya terjadi dengan volume yang kecil.
Seandainya kemudian Indonesia menghendaki untuk memperoleh
manfaat dari perdagangan (gains from trade) yang lebih besar dengan cara
melarang ekspor karet mentah ke Singapura dan berusaha menjual
karetnya langsung ke Jepang. Apa yang terjadi? Ini tergantung pada
sampai berapa jauh kemampuan Indonesia untuk mengambil alih peranan
Singapura dalam “perdagangan segitiga” tersebut. Bila Indonesia belum
siap dengan fasilitas-fasilitas pengolahan yang cukup efisien, maka
volume perdagangan akan menurun, dan justru ini malah bertentangan
dengan tujuan dari kebijaksanaan tersebut, yaitu memperoleh “gains from
trade” yang lebih besar. Tetapi apabila Indonesia sudah siap untuk
mengambil alih sebagian besar dari peranan Singapura, maka penurunan
volume perdagangan tersebut tidak besar atau bahkan tidak terjadi,
sehingga tujuan untuk memperoleh “gains from trade” yang lebih besar
bisa tercapai.
Uraian ini menggarisbawahi dua asas. Asas yang pertama adalah
bahwa menjual langsung produk kita kepada konsumen akhir belum tentu
berarti kita bisa memperoleh bagian “gains from trade” yang lebih besar.
Ini tentu saja tidak berarti bahwa kita jangan berusaha untuk menghindari
“perdagangan perantara” sebisa mungkin. Meningkatkan pengolahan
barang ekspor kita (sehingga semakin mengurangi perlunya “perdagangan
9
perantara”) adalah tujuan politik perdagangan luar negeri yang benar.
Masalahnya adalah kita harus senggup melakukan pengolahan tersebut
dengan efisien. Meskipun bisa mengolah, tetapi apabila efisiensi rendah
(yaitu, biaya tinggi), maka tambahan “gains from trade” yang diperoleh
adalah semu. Sebabnya adalah bahwa biaya pengolahan yang tinggi sering
merupakan beban bagi kelompok lain dalam masyarakat dalam negeri
(misalnya, konsumen).
Asas yang kedua adalah bahwa apabila suatu negara sengaja
membatasi perdagangannya hanya dengan suatu negara tertentu (yaitu
melaksanakan perdagangan bilateral) karena sesuatu hal (misalnya,
karena pertimbangan politik, atau terpaksa melakukannya karena tidak
tersedianya cukup devisa), maka negara tersebut cenderung memproleh
“gains from trade” yang lebih kecil dibanding dengan apabila tidak
melakukan pembatasan terhadap partner perdagangannya (yaitu
melaksanakan perdagangan multilateral). Bilateralisme mempunyai
“biaya ekonomi”.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penetuan kurs devisa menetukan pula “batas” dan “cut-off point”
pada skala keunggulan komparatif yang nantinya memisahkan barang-
barang apa yang diekspor/diimpor oleh masing-masing negara. Oleh
karena itu, sangatlah penting kurs devisa ditentukan secara cermat dan
tepat dan tidak hanya didasarkan atas pertimbangan jangka pendek saja.
Begitu pula dalam hubungan perdagangan antar negara. Tidak selamanya
negara yang menghindari perdagangan perantara akan memperoleh gains
from trade yang lebih besar, sehingga diharapkan suatu negara tetap ikut
dalam perdagangan multilateral.
3.2 Saran
Sebagai warga negara yang baik, hendaknya mau dan mampu
memahami peranan kurs devisa sebagai alat tukar dalam
perdagangan internasional.
Senantiasa bersedia untuk berperan serta meningkatkan kualitas dan
daya saing produk selaku pelaku ekonomi dunia.
Sebagai seorang calon guru, hendaknya menguasai materi
keunggulan komparatif secara menyeluruh guna penerapan
pembelajaran di kemudian hari.
11
DAFTAR PUSTAKA
Boediono. (2000). Ekonomi Internasional. Yogyakarta: BPFE.
1. Keunggulan komparatif masih tetap faktor penentu yang fundamental bagi
pola perdagangan. (Garis skala keunggulan komparatif tetap melandasi
penentuan pola perdagangan).
Apabila suatu negara memiliki keunggulan komparatif dalam produksi barang-
barang tertentu, maka negara tsb. cenderung utk mengekspor barang2 tsb.
2. Tetapi “batas” atau “cut-off point” yang secara tepat memisahkan
barang-barang mana yang diekspor/dimpor oleh suatu negara ditentukan
oleh asas keunggulan mutlak. (Posisi cut-off point diperoleh dengan
membandingkan apakah biaya produksi suatu barang secara mutlak lebih
murah di suatu negara dibanding dengan negara lain).
Mampu memproduksi suatu barang dengan biaya yang lebih rendah dibanding
negara lain.