Вы находитесь на странице: 1из 3

Bhineka Tunggal Ika : Energi Untuk Mencapai Pemuda ASEAN yang Leave No Behind

Mantily Sri Astuti Hutauruk

Ringkasan Singkat
Integrasi adalah metode untuk menguatkan sesuatu yang terpisah dan berbeda menjadi
kesatuan yang utuh atau bulat, juga membentuk satu unit fungsional. ASEAN yang akan
menempuh usia 52 tahun, sedang fokus pada pengintegrasian dalam berbagai aspek
seperti, ekonomi, sosial budaya, toleransi, moderasi, pendidikan, teknologi dan aspek
lainnya yang dinilai penting untuk kemajuan bersama. Pemuda berperan penting dalam
tercapainya misi ini. Pemuda harus menjadi solusi karena pemuda adalah tonggak masa
depan. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara Indonesia memiliki nilai sejarah
dan makna yang bisa memberikan energi pada pemuda untuk mencapai pemuda
Indonesia dan ASEAN yang bersatu, saling menguatkan dan melangkah serentak.

Visi yang tertuang dalam cetak biru dokumen ASEAN 2025 Forging Ahead Together
dengan makna sarat dari semboyan Bhineka Tunggal Ika merupakan dasar yang pasti
bahwa Indonesia beserta masyarakat ASEAN memiliki mimpi serupa yakni melangkah
maju demi kepentingan bersama. Terbentuknya ASEAN berdasar pada persamaan
geografis, persamaan suku bangsa (Melayu-Austronesia), dan semua negara (kecuali
Thailand) adalah bekas jajahan Eropa sehingga dapat dikatakan memiliki persamaan
nasib. Hal lainnya adalah untuk memajukan negara,mempererat kerjasama antar negara
kawasan Asia Tenggara dan meningkatkan perdamaian di tingkat regional. Poin-poin ini
perlu tetap diingat agar setiap insan yang berada di kawasan tetap menghidupi semangat
awal organisasi yang telah bergerak sejak tahun 1967. Tidak jauh berbeda sewaktu abad
ke-14 M Mpu Tantular di kerajaan Majapahit menulis kitab Sutasoma, berpikir bahwa
Indonesia (Majapahit) dengan keragaman yang rumit harus dipersatukan agar memiliki
sense of belonging satu sama lain. Meski perbedaan yang kompleks hampir saja terlalu
klise jika hanya disusun dalam tiga kata.
Pemuda sendiri dalam sejarahnya adalah pemeran yang paling ngotot. Contohnya
Soekarno dan Hatta dipaksa untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia
oleh Wikana, dkk. Di Filipina ada Jose Rizal, dkk yang memimpin gerakan pemberontakan
untuk mengusir Spanyol. Pemuda Vietnam dan Kamboja yang aktif dalam Federasi
Pemuda. Ada gerakan BARIP (Barisan Pemuda) yang dibentuk Pengiran Mohd. Yusuf
untuk mempertahankan hak bangsa Melayu Brunei dari jajahan Inggris. Namun, dibalik
semua gerakan, pemberontakan dan kekeraskepalaan itu, terkandung kreatifitas dan
semangat yang mau tidak mau harus diakui hanya dimiliki oleh pemuda.
Setahun yang lalu saya solo travelling ke Malaysia. Pertama kalinya dalam hidup
saya, pergi ke luar negeri. Satu-satunya negara kawasan ASEAN selain Indonesia yang
telah saya pijak. Satu kata untuk pengalaman itu. Mengesankan.
Selama mempersiapkan kepergian saya kesana, saya banyak membaca blog atau
menonton video perjalanan orang-orang yang pernah melakukan kunjungan yang sama.
Beberapa mendapat pengalaman kurang mengenakkan, tapi banyak berpengalaman
positif. Sayangnya, otak saya lebih dipengaruhi oleh hal-hal yang kurang baik. Seminggu
sebelum berangkat, saya malah ingin membatalkan rencana, karena beberapa teman
bercerita, bagian imigrasi di bandar udara Malaysia sangat tidak ramah terutama pada
orang Indonesia. Tapi dengan keberanian yang saya pinjam dari buku Mark Manson
berjudul “Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat” , saya tetap melanjutkan rencana
perjalanan saya, tentu saja dengan sikap bodo amat. Toh, pengalaman tiap orang
berbeda. Ternyata berhasil! Saya tidak menghadapi kendala berarti ketika menghabiskan
4 hari penuh di Malaysia. Tidak ada tindakan kriminal, tidak ada petugas imigrasi yang
membentak-bentak dan saya terkagum dengan sarana transportasinya. Saya mendapat
teman baru. Saya bahkan tidak tersesat ke destinasi yang saya kunjungi walaupun tanpa
guide tour.
Memang stigma negatif tentang satu sama lain sudah dari dulu melekat pada
masyarakat di kedua negara. Seringkali malah menjadi bumerang, jadi rival dan bersikap
chauvinis. Isu budaya, isu ekonomi, isu politik dan masalah lainnya, menggerogoti sikap
pemuda lantas menimbulkan konflik yang sampai hari ini masih kita temui di lingkup
umum. Saya tidak tahu apakah hal ini juga terjadi antara Indonesia dengan 8 negara
lainnya, yang jelas ini sangat tidak dianjurkan, tidak mencerminkan mimpi dari Bhineka
Tunggal Ika dan ASEAN 2025.
Bertujuan untuk meminimalisir tindakan-tindakan ekstrem khususnya pada generasi
muda, ASEAN, pemimpin negara, serta masyarakat telah memberikan wadah seperti
konferensi, forum, ekshibisi, student exchange dan sebagainya. Tahun 2017, ASEAN
bersama United Nations Population Fund menggarap ASEAN Youth Development Index
memakai 4 indikator untuk menilai pengembangan pemuda di Asia Tenggara yaitu
pendidikan, kesempatan kerja, kesehatan dan kesejahteraan, serta partisipasi pemuda,
yang menyimpulkan hanya 4 negara ASEAN yang memiliki pengembangan pemuda di
atas rata-rata kawasan1. Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Menunjukkan kita masih
perlu berusaha keras mewujudkan pemuda-pemuda yang mandiri dan berdampak bagi
kawasan. Pemuda perlu diberikan ruang yang lebih konsisten dan bersifat menyeluruh.
Energi kesatuan dari Bhineka Tunggal Ika perlu kembali disegarkan dalam ingatan
pemuda Indonesia. ASEAN 2025 : Forging Ahead Together perlu disosialisasikan ke
seluruh pemuda ASEAN. Seperti yang saya sampaikan bahwa sudah banyak wadah yang
disediakan oleh kawasan. Sebut saja ASEAN Youth Environment Forum (AYEF), ASEAN
Youth Expo (AYE), ASEAN Youth Fellowship, ASEAN Youth Camp, Ship for Southeast
Asian and Japanese Youth Program (SSEAYP), dan masih banyak lagi. Salah satunya
pernah saya ikuti seleksinya melalui Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Sumatera
Utara. Program-program ini sudah lama dan berkesinambungan, hanya saja saya
sependapat dengan Bapak Riaz Saehu dalam tulisannya di majalah Masyarakat ASEAN
Edisi 20 Desember 2018, kalau ASEAN bisa lebih baik dari sekedar sporadis. Memperkuat
jejaring pemuda ASEAN bukan soal adanya utusan pemuda mewakili negaranya dalam
forum-forum tersebut tetapi memberi pemahaman yang praktikal tentang penerapan
integrasi di negara sendiri dan di kawasan.
Untuk mencapai No Youth is to be left behind, diperlukan lebih dari sekedar
konferensi atau program exchange. Bukan berarti tidak penting, melainkan perlu dilakukan
upgrade sehingga lebih efisien. Saya lebih menyarankan kegiatan pemuda yang field
study dan ekskursi. Tidak hanya duduk dalam ruangan seminar. Saya pikir salah satu
kegiatan pemuda yaitu ASEAN Youth Interfaith Camp sudah melakukannya dengan
menambahkan kegiatan tinjauan lapangan ke berbagai tempat keagamaan di Indonesia.
Dengan begitu, para pemuda lebih terkoneksi dengan kondisi negara yang dikunjungi.
Jaringan komunikasi tidak hanya terjalin antar peserta forum, tetapi juga dengan
masyarakat umum terkhusus pemuda. Pemuda Indonesia sendiri perlu digasak tentang
pentingnya merayakan keragaman sebagai kekuatan. Dimulai dari diri sendiri dan
lingkungan sekitar. Saya sendiri memulainya dengan berkunjung ke Malaysia,
mematahkan stigma negatif dengan melihat sendiri, setelahnya menceritakannya kepada
orang-orang sekitar sehingga mereka juga bisa belajar. Seyogianya, pemuda harus aktif
memberi solusi bukan malah menjadi pemicu perpecahan.

1
Tulisan Riaz Saehu di Majalah Masyarakat ASEAN Edisi 20 Desember 2018

Вам также может понравиться