Вы находитесь на странице: 1из 30

ANATOMI DAN FISIOLOGI

HIDUNG

Disusun oleh :

Nana Khoirun Nisa

173600122

Pembimbing :

dr. Upang Wijayanto, Sp.THT,KL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG
2017

1
DAFTAR ISI

Daftar isi ...................................................................................................................... 2


BAB I: PENDAHULUAN .......................................................................................... 3
BAB II: HIDUNG ....................................................................................................... 4
II. 1. Anatomi Hidung Luar ........................................................................... 4
II. 2. Anatomi Hidung Dalam ........................................................................ 6
II. 3. Kompleks Osteo-Meatal ........................................................................ 7
II. 4. Pendarahan Hidung .............................................................................. 9
II. 5. Persyarafan Hidung .............................................................................. 13
II. 6. Fisiologi Hidung ................................................................................... 16
II. 7. Sistem Mukosiliar Hidung ................................................................... 19
BAB III: SINUS PARANASAL ................................................................................. 20
III. 1. Anatomi Sinus Paranasal .................................................................... 25
III. 2. Fisiologi Sinus Paranasal .................................................................... 27
Kesimpulan ................................................................................................................. 29
Daftar Pustaka ............................................................................................................. 30

2
BAB I
PENDAHULUAN

Hidung dan sinus paranasal adalah organ yang berperanan penting sebagai

garis terdepan pertahanan tubuh pada saluran nafas terhadap mikroorganisme dan

bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di dalamnya.

Selain itu, organ ini juga berfungsi sebagai alat respirasi, pengatur

humidifikasi, penghidu, dan penyeimbang tekanan lokal. Fungsi-fungsi ini tidak

lepas dari struktur anatomi kedua organ tersebut, yang juga akan dibahas dalam

referat ini. Dalam Referat ini penulis membahas dua hal pokok yaitu anatomi dan

fisiologi hidung serta anatomi dan fisiologi sinus paranasal.

3
BAB II

HIDUNG

2.1 Anatomi hidung luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian

luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar

dibedakan atas tiga bagian yaitu yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat

digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ;

dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk

hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :

1) pangkal hidung (bridge),

2) batang hidung (dorsum nasi),

3) puncak hidung (tip),

4) ala nasi,

5) kolumela,

6) lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan

atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:

1) tulang hidung (os nasal)

2) prosesus frontalis os maksila

3) prosesus nasalis os frontal;

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang

terletak di bagian bawah hidung, yaitu

4
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior

2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (ala mayor)

3) tepi anterior kartilago septum.

Gambar 2.1 Anatomi Hidung Luar

Gambar 2.2 tulang hidung

5
2.2 Anatomi hidung dalam

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.

internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga

hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat

konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior

dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka

media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut

meatus superior.

Gambar 2.3. Anatomi Hidung Dalam

2.2.1 Septum nasi

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian

posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior

oleh kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela

6
membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila ,

Krista palatine serta krista sfenoid.

Gambar 2.4 Septum Nasi

2.2.2 Kavum nasi

Kavum nasi terdiri dari:

1. Dasar hidung

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan

prosesus horizontal os palatum.

2. Atap hidung

Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior,

os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan

korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh

lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius

yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan

menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka

superior.

7
3. Dinding Lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus

frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media

yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina

perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.

4. Konka

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka.

Celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus

inferior, celah antara konka media dan inferior disebut meatus

media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior.

Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang

teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal

dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior

merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian

superior dan palatum.

2.2.3 Meatus superior

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang

sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media.

Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior

melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas

belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus

sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.

2.2.4 Meatus media

8
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah

yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat

muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di

balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada

dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal

sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan

sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang

dinamakan hiatus semilunaris.

Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan

yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di

atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang

dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila,

dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus

frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior

atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal.

Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal

mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.

2.2.5 Meatus Inferior

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,

mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3

sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.

2.2.6 Nares

9
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi

dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri

septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina

horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh

prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.

2.2.7. Sinus Paranasal

Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang

terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris

merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk

piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan

puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.

2.3 Kompleks ostiomeatal (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior

yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus

paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media

dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah

prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger

nasi dan ressus frontal.

Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena

sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit

infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal

sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai

serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung

10
menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus

dan konka media.

Gambar 2.3. Kompleks Ostio Meatal


2.4 Perdarahan hidung

Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid

anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis

interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.

maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina

yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki

rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung

mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang

disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya

11
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber

epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya .Vena di vestibulum dan struktur luar hidung

bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena

di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk

mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.

Gambar 2.4 Vaskularisasi Hidung

2.5 Persarafan hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal

dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat

persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion

sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan

persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima

12
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari

n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus

profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung

posterior konka media.

Nervus olfaktorius : saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan

bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu

pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Gambar 2.5 Persarafan Hidung

Gambar 2.6 Persarafan Hidung

13
2.6 Fisiologi hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka

fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :

1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),

penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan

dan mekanisme imunologik lokal;

2) Fungsi Penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan

pengecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung,

konka superior, dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat

mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila

menarik nafas dengan kuat.

3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses

berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang;

4) Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi

terhadap trauma dan pelindung panas;

5) Refleks nasal. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin

dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi

kelenjar liur, lambung, dan pankreas.

2.6.1 Sistem Mukosiliar Hidung

14
Gambar 2.7. Sistim Mukosiliar / Mucociliary Clearance

Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme

mukosa hidung untuk membersihkan dirinya dengan cara mengangkut

partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lender ke arah

nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan local pada mukosa hidung.

Transpor mukosiliar disebut juga clearance mucosiliar atau sistem

pembersih mukosiliar sesungguhnya.

Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja

simultan, yaitu gerakan silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya

masuk menembus gumpalan mukus dan bergerak ke arah posterior

bersama dengan materi asing yang terperangkap di dalamnya ke arah

nasofaring. Aliran cairan pada sinus mengikuti pola tertentu. Transportasi

mukosiliar pada sinus maksila berawal dari dasar yang kemudian

menyebar ke seluruh dinding dan keluar ke ostium sinus alami. Kecepatan

kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan menggunakan

15
suatu partikel yang tidak larut dalam permukaan mukosa. Lapisan mukosa

mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat

merusak bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A

(Ig A), dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari

sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG) dan Interferon dapat juga ditemukan

pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia

tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus

kemudian menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang

terperangkap ke arah faring. Cairan perisiliar yang di bawahnya akan di

alirkan kearah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum

diketahui secara pasti. Transportasi mukosiliar yang bergerak secara aktif

ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja

secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut lender akan

menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Kecepatan dari TMS

sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1 sampai 20 mm

/ menit.

Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media

maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia

cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam

celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral,

dimulai dari tempat yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia

bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium

silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit.

16
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan

bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid

anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior

orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang

berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus

sfenoetmoid, kemudian melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius

menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh

gerakan menelan.

Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap

bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya

mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm / menit.

17
BAB III

SINUS PARANASAL

3.1 Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang

sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus

paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk

rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah

pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid

kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan

kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga

sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi

udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.

Gambar 3.1 Sinus Paranasal

18
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian

anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, atau

di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior

sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka

media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis

perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara

kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus

paranasal adalah sebagai sumber lendir yang segar dan tak terkontaminasi yang

dialirkan ke mukosa hidung.

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi

udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris

dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari

orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified

columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari

rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel

goblet.

3.1.1 Sinus maksila

Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal

yang terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan

pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat

lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan

cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat

dewasa.

19
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai

cekungan ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior,

yang terlihat berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini

kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di

meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah

lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang

merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan

berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm

anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada

dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan

turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke

bawah bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan

berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai

antara usia 15 dan 18 tahun.

Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya

menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus

zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os

maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan

infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga

hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis

os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka

inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar

orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.

20
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan

bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut

Morris, pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila

pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20

x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di

meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di

bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk

dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada

lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan

irigasi sinus.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila

adalah

1) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas ,

yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi

taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke

dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua

dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus.

Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup

oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini

dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe,

sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan

rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis.

2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.

21
3) Os sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga

drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui

infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid

anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat

menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan

sinusitis.

3.1.2 Sinus frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan

ke emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel

infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada

usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20

tahun.

Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali

juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya,

kadang-kadang juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal

kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya

dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15%

orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5%

sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi

3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak

adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto

rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh

tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga

22
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal

berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang

berhubungan dengan infundibulum etmoid.

3.1.3 Sinus etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi

dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan

fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Sel-sel etmoid, mula-mula

terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus superior dan

suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan posterior.

Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang

sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada

orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di

bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4

cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior,

volume sinus kira-kira 14 ml.

Sinus etmoid berongga – rongga terdiri dari sel-sel yang

menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os

etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita.

Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior

yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid posterior yang

bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada

bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan

sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah

23
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat

bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di

resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di

infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan

dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea

yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di

bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.

3.1.4 Sinus sfenoid

Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai

pasangan evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi.

Perkembangannya berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi

mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago nasalis posterior

maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih

kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun.

Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya

bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum

tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu

sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya.

Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus

etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum

intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan

lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus

24
berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan

menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai

indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah

superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah

inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus

kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di

sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah

pons.

3.2 Fisiologi sinus paranasal

Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.

Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini

adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku

Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka

tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dipatahkan

oleh Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa,

tidak memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa

kerja dari sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu

dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat

mengenai fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal

tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat

pertumbuhan tulang muka.

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain

adalah:

25
(1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan

mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah

ternyata tidak didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan

rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang

lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan

beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa

sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa

hidung.

(2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas ,

melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-

ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di

antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.

(3) Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat

tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang

hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,

sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.

(4) Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan

mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi

sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai

26
resonator yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan

besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.

(5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan

mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

(6) Membantu produksi mukus.

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya

kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif

untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi

karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

27
KESIMPULAN

Berdasarkan struktur anatomisnya, hidung terdiri atas hidung luar dan

hidung bagian dalam. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-

bagiannya dari atas ke bawah: pangkal hidung, batang hidung, puncak hidung, ala

nasi, kolumela, dan lubang hidung. Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang

membentang dari os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior dan

terdiri dari cavum nasi, septum nasi, konka-konka, dan meatus diantaranya

Fungsi fisiologis hidung adalah : 1) Fungsi respirasi untuk mengatur

kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang

dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2) Fungsi penghidu,

karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk

menampung stimulus penghidu; 3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi

suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui

konduksi tulang; 4) Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban

kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) Refleks nasal.

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi

udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris

dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari

orbita dan zygomatikus.

Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian

anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada

atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel

anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas

28
konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis

perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara

keduakelompok.

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara

lain adalah : sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning), penahan suhu

(thermal insulators) , peredam perubahan tekanan udara membantu keseimbangan

kepala, resonansi suara, produksi mukus.

DAFTAR PUSTAKA

29
1. Sherwood, L,. 2002. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC. Hal 243-250.

2. Wibowo, D, Paryana,W,. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Singapore :

Elseiver. Hal : 521-526.

3. Kamila, N, dkk,. 2012. Anatomi dam Fisiologi Hidung dan Sinus

Paranasal. Jurnal. Universitas Trisakti.

4. Paulsen, F, Waschke, J,. 2010. Sobotta jilid 3. Jakarta : EGC. Hal :58

30

Вам также может понравиться