Вы находитесь на странице: 1из 5

Kasus:

Gugatan anak dan menantu kepada ibunya sebesar Rp 1,8 miliar telah mendapat
putusan di Pengadilan Negeri Garut, Rabu (14/6/2017). Majelis hakim menolak
semua gugatan Yani Suryani (45) dan Handoyo Adianto (47), suaminya, terhadap
Siti Rokayah alias Nenek Amih (85). Keputusan itu jelas disambut gembira
keluarga tergugat.

Amih hingga saat ini masih tak percaya harus beperkara di pengadilan. Semua itu
berawal dari gugatan Yani Suryani, anak kandungnya, dan Handoyo, menantunya,
yang merasa Amih berutang kepadanya senilai Rp 40 juta lebih. Keduanya
kemudian melakukan gugatan perdata dengan nilai ganti rugi mencapai Rp 1,8
miliar.

Utang piutang itu berawal saat usaha anak Amih, Asep Rohendi, yang juga kakak
Yani Suryani, mengalami kesulitan hingga akhirnya terjerat kredit macet senilai
Rp 40 juta lebih di sebuah bank pada 2001. Saat itu, Yani membantu kesulitan
Asep, sang kakak, dengan memberi bantuan senilai tunggakan kredit di bank.
Dengan syarat sertifikat hak milik (SHM) tanah dan bangunan milik Amih di
kawasan Garut Kota dibaliknamakan menjadi atas nama Handoyo Adianto.

"Permintaan balik namanya ditolak pihak keluarga, tapi akhirnya Handoyo (suami
Yani) tetap memberi pinjaman," kata Eef Rusdiana, salah satu anak Amih yang
ditunjuk menjadi juru bicara keluarga.

Namun, teknis pembayaran bantuan dari Handoyo tersebut, menurut Eef, tidak
dituangkan secara rinci dalam perjanjian yang hanya diketahui oleh Amih dan
Asep beserta Yani dan Handoyo.
"Disampaikan secara lisan teknisnya yaitu 50 persen ditransfer dan sisanya
disetorkan langsung oleh Yani agar sertifikat milik ibu saya bisa disimpan Yani,”
katanya. Belakangan, menurut Eef, Handoyo ternyata hanya memberi pinjaman
pelunasan kredit ke bank sebesar Rp 21,5 juta saja.
Pelunasan sisa tunggakan kredit ke bank akhirnya dibayar oleh keluarga senilai
Rp 22,5 juta pada 2014 silam. "Transfer pelunasan sisa tunggakan ada bukti
setorannya ke bank, tahun 2014. Maka sebenarnya utang kakak saya (Asep) hanya
Rp 21,5 juta ke Handoyo," papar Eef. Masalah utang piutang ini, menurut Eef,
sempat tak pernah dibahas lagi oleh keluarga.

Ternyata pada Oktober 2016, Yani bersama suami yang tinggal di Bekasi datang
menemui Amih di Garut. Keduanya membujuk Amih untuk menandatangani surat
pengakuan utang senilai Rp 41,5 juta. "Mereka memaksa ibu saya
menandatangani pengakuan utang sebesar Rp 41,5 juta. Padahal utang kakak saya
(Asep) hanya setengahnya. Menurut versi mereka, pinjaman sisanya telah
dibayarkan secara tunai, kakak saya dan ibu saya tidak pernah menerimanya,"
lanjutnya.

Eef memaparkan, dari cerita ibunya, surat perjanjian utang tertanggal 8 Oktober
2016 tersebut ditandatangani Amih karena merasa kasihan. Amih khawatir
terhadap Yani yang mengatakan jika surat tersebut tidak ditandatangani, Yani
akan diceraikan Handoyo. "Saya bersama saudara saya yang lain juga
nandatangan sebagai saksi karena takut Yani dicerai," kata Eef yang mengaku
menyesal menandatangani surat tersebut karena dijadikan dasar gugatan kepada
ibunya.

Dalam surat perjanjian utang tersebut, menurut Eef, Amih harus mengakui telah
berhutang pada 6 Februari 2001 senilai 501,5 gram emas murni. Kemudian
pelunasannya telah melewati batas waktu yang dijanjikan yaitu selama dua tahun.
Nilai utang saat itu adalah Rp 40.274.904 yang setara dengan harga emas murni
sebanyak 501,5 gram dengan harga per gram emas tahun 2001 sebesar Rp 80.200.
Hingga akhirnya, pada Februari 2017, Yani dan Handoyo
mengajukan gugatan perdata berdasarkan surat utang tersebut dengan tergugat
pertama Amih dan tergugat dua Asep Ruhendi.
Upaya mediasi telah dilakukan dengan berbagai cara hingga akhirnya kasus maju
ke persidangan dan menarik perhatian media. Setelah berita anak menggugat ibu
kandung Rp 1,8 miliar ramai di media, berbagai pihak pun berupaya turun tangan
melakukan mediasi, termasuk Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi.
Namun, Handoyo dan Yani bergeming. Dedi sendiri semula melihat masalah ini
masalah keluarga biasa yang tak perlu sampai ke pengadilan. Dia menemui Amih
saat persidangan sudah memasuki sidang keenam.

Dedi sengaja menemui Amih di rumahnya, 25 Maret 2017, dan berjanji akan
membantu Amih. "Siapa pun yang melawan ibu, akan saya bela ibu," tegas Dedi
yang mengajukan diri menjadi kuasa untuk menyelesaikan masalah Amih.
Ternyata upaya Dedi menemui Handoyo tidak bisa terlaksana. Dedi mengaku
hanya bisa berkomunikasi dengan Handoyo lewat pesan singkat di ponsel.

Saat itu, dia malah ditanyai lulusan sekolah mana oleh Handoyo. "Dia nanya saya
lulusan mana, kalau dia lulusan IKIP dan ITB," papar Dedi. Saat itu, Dedi
mengaku telah meminta Handoyo untuk menyelesaikan kasusnya secara
kekeluargaan. Dia merasa kasihan terhadap Amih yang di usia tuanya harus
berhadapan dengan hukum. Handoyo bergeming dengan dalih telah menyiapkan
program trauma healing untuk Amih. Adapun Handoyo mengaku, gugatannya
dilanjut bukan semata-mata untuk menuntut Amih. Dia telah menyiapkan paket
"kasih sayang" untuk ibu mertuanya setelah persidangan beres. "Kalau kalian tahu,
Amih itu paling sayang ke saya dan istri saya selama ini. Saya malah sudah
menyiapkan paket 'kasih sayang' untuk Amih setelah sidang ini. Nanti juga
saat sidang sekarang akan terbuka semuanya," jelas Handoyo di Pengadilan
Negeri Garut, 30 Maret 2017.

Karena pintu mediasi telah tertutup, pihak keluarga pun berupaya meyakinkan
hakim di persidangan dalam kasus gugatan perdata tersebut. Satu di antaranya
dengan menghadirkan saksi ahli pakar hukum perdata, Prof. Dr. Mashudi yang
juga guru besar Universitas Padjadjaran Bandung pada sidang, 7 Juni lalu. Dalam
kesaksiannya, Mashudi menilai gugatan tersebut bisa batal demi hukum karena
banyak hal yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
hukum perdata. Salah satunya adalah asas kepatutan.
"Dalam pasal 1339, perjanjian tidak hanya mengikat apa yang tertulis dalam
perjanjian, tapi juga diharuskan menaati kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
Jika bertentangan dengan kepatutan, maka batal demi hukum,” tegasnya. Dalam
kesaksiannya, Mashudi juga mengingatkan kepada penggugat soal dongeng Malin
Kundang karena yang digugat tidak lain ibu kandungnya. "Hati-hati, ada contoh
kejadian Malin Kundang agar diperhatikan. Sangat bahaya bila ibu katakan yang
tidak baik ke kita, bisa kejadian. Bahaya itu," kata Mashudi.
Sumber: http://jateng.tribunnews.com/2017/06/14/begini-kronologi-anak-gugat-
ibu-kandung-rp-18-miliar-dosen-unpad-ingatkan-kisah-malin-kundang
Analisis
dalam pembuatan suatu perjanjian, haruslah memenuhi syarat-syarat perjanjian
seperti yang sudah tertera pada pasal 1320 KUH Perdata, yakni:
1. Kesepakatan
2. Kecakapan
3. Obyek / perihal tertentu
4. Kausa yang halal
Namun bila dilihat kembali dari sudut pandang syarat sah-nya, sebenarnya
perjanjian dalam perkara tersebut bisa dianggap tidak sah tanpa perlu dibawa ke
pengadilan sekalipun. Menurut saya, hal-hal berikut yang dapat dijadikan alasan
perjanjian tersebut tidak sah:
1. Menurut keterangan juru bicara keluaraga, ada paksaan dan kesilapan
dalam penandatanganan perjanjian tersebut. Seharusnya dalam perjanjian
tidak ada paksaan, penipuan dan kesilapan. Karena dengan adanya salah
satu dari 3 hal tersebut, kata sepakat dalam perjanjian dapat dianggap tidak
sah ( pasal 1321 KUHPer).
2. Dari objek yang diperjanjikan sebenarnya sah karena bias dihitung
jumlahnya. Namun, penghitungan jumlah dalam perkara tersebut dianggap
tidak wajar karena hutang yang tadinya hanya Rp. 40 juta bias menjadi Rp.
1,8M. Bahkan dalam perjanjian ditambahkan utang lain seperti 500gram
emas yang sebelumnya tidak ada (tidak diperjanjikan) dan tergugat juga
tidak menikmati ataupun menerima emas yang dimaksud, ikut tertulis
dalam perjanjian tersebut.
3. Objek / kausa nya pun juga dapat dianggap tidak halal karena adanya
unsur penipuan dan kesilapan. Bahkan sebab-sebab adanya perjanjian
dalam perkara tersebut masih diragukan, tanpa sebab yang pasti dan dibuat
karena sebab yang palsu atau terlarang. Sehingga tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Selain 3 hal tersebut, masih ada alasan lain bisa dianggap tidak sahnya perjanjian
dalam perkara tersebut. Bila dilihat dari asas kepatutan, tidak akan dianggap benar
seorang anak menggugat orang tuanya sendiri yang sudah melahirkan, mendidik,
merawat, dan membiayai hidupnya dari masih dikandungan hingga dapat
berkehidupan sendiri.

Pada kasus diatas, hakim menolak seluruh gugatan penggugat karena penggugat
dalam pasal 1320 KUHAP, sebuah perjanjian tidak boleh bertentangan dengan
kesusilaan dan perikemanusiaan yang disebut sebagai asas kepatutan. Agar tidak
terjadi penyalahgunaan kedudukan yang lebih kuat menekan yang lebih lemah.
Dalam pasal 1339, perjanjian tidak hanya mengikat apa yang tertulis dalam
perjanjian, tapi juga diharuskan mentaati kepatutan, kebiasaan, dan undang-
undang, jika bertentangan dengan kepatutan, maka batal demi hukum.
Selain itu, perjanjian yang dibuat oleh Amih juga dibuat tanpa ada sebab akibat
yang jelas. Karena, sebenarnya yang berutang adalah anak Amih lainnya yaitu
Asep Rohendi. Perjanjian yang dibuat tanpa ada sebab, juga batal demi hukum
sebagaimana diatur dalam pasal 1335 KUHAP.
Pasal 1226 KUHAP yang menegaskan bahwa perjanjian batal demi hukum jika
penggugat wan prestasi. Dia menilai, penggugat telah wanprestasi jika dikaitkan
dengan pasal 104 KUHAP soal kewajiban alimentasi (pemberian nafkah
berdasarkan hubungan keluarga), yang mengatur kewajiban orangtua pada anak
dan sebaliknya. "Kewajiban orangtua pada anaknya mulai dari mendidik,
memberi makan hingga menikahkan, ada juga kewajiban anak saat orangtua saat
orangtua sudah tua, bukan malah digugat, ini wanprestasi penggugat, makanya
batal demi hukum.

Вам также может понравиться