Вы находитесь на странице: 1из 3

Utang Indonesia Melonjak, Perlukah Kita Khawatir?

The Conversation Kompas.com - 02/07/2018, 14:03 WIB Petugas menunjukan pecahan


dollar Amerika di salah satu gerai penukaran mata uang di Kwitang, Jakarta, Jumat (29/6/2018).
(KOMPAS.com/MAULANA MAHARDHIKA) Oleh: Tommy Soesmanto dan Yenny Tjoe
KENAIKAN utang pemerintah Indonesia menjadi topik panas menjelang Pemilihan Umum 2019.
Pemerintah pusat mengalami kenaikan utang sebanyak 48 persen (atau hampir dua kali lipat dari
pemerintahan sebelumnya) semenjak Presiden Joko "Jokowi" Widodo memulai pemerintahannya
pada 2014. Prabowo Subianto, lawan politik Jokowi, menyatakan bahwa dalam kondisi utang yang
terus bertambah, Indonesia akan bubar pada tahun 2030. Jokowi dalam hal ini beranggapan bahwa
klaim Prabowo mengandung pesimisme yang berlebihan.
Di dalam artikel ini kami memberikan elaborasi dan analisis objektif mengenai situasi
utang pemerintah. Tulisan ini diharapkan akan membantu menjawab kekhawatiran masyarakat
tentang prospek ekonomi Indonesia di masa mendatang. Pinjam lagi, pinjam lagi Utang negara
yang berlebihan membawa Yunani ke krisis ekonomi pada 2017. Pengalaman ini pelajaran
berharga bagi bangsa lain untuk mengevaluasi strategi pengelolaan utang negara. Mungkin ini
yang menjadi dasar kekhawatiran Prabowo bahwa Indonesia akan terjerumus dalam krisis yang
sama. Tetapi, apakah Indonesia akan mengalami hal serupa dengan Yunani? Untuk menjawabnya,
mari kita tinjau lebih dalam status utang Indonesia saat ini.
Utang negara pada akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada
2014 berkisar di angka 122 miliar dollar AS. Selama 4 tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi,
utang tersebut bertambah 48 persen hingga mencapai 181 miliar dollar AS. Penambahan utang
yang terjadi cukup besar jika dibandingkan dengan masa pemerintahan SBY, antara 2009 dan 2013
utang negara naik di kisaran 26 persen. Baca: Utang Pemerintah Capai Rp 4.169 Triliun, Ini
Rinciannya Rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini berada pada
kisaran 30 persen, meningkat dari 24,7 persen pada 2014. Angka tersebut masih relatif aman dan
sesuai dengan aturan Undang-Undang Keuangan Negara yang membatasi rasio utang terhadap
PDB di angka 60 persen.
Utang pemerintah Indonesia juga masih relatif terkendali jika dibandingkan dengan
negara-negara lain. Di Amerika dan Jepang, rasio utang terhadap PDB masing-masing berada di
angka 105 persen dan 253 persen. Angka sebesar itu cukup umum di negara maju yang secara
mudah bisa mendapatkan pinjaman. Di kawasan Asia Tenggara, rasio utang terhadap PDB
Indonesia juga relatif rendah. Utang pemerintah Indonesia dari tahun ke tahun. Sumber: Bank
Indonesia(TOMMY SOESMANTO & YENNY TJOE) Membedah utang Indonesia Setelah
memahami status utang Indonesia saat ini, pertanyaan berikutnya adalah: haruskah kita khawatir
tentang hal itu? Pertama, kita perlu menganalisis strategi Indonesia dalam pencarian sumber utang.
Dalam beberapa tahun terakhir pinjaman Indonesia lebih bergantung pada dana lokal daripada
dana asing. Ini upaya pemerintah dalam mengurangi risiko nilai tukar dan goncangan ekonomi
global yang terkait dengan pinjaman luar negeri. Strategi tersebut tercermin pada meningkatnya
penggunaan surat utang berdenominasi rupiah yang diterbitkan dalam lingkup domestik. Statistik
dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa proporsi pinjaman luar negeri dalam portfolio utang
Indonesia menurun dari 78 persen ke 30 persen pada 2008 ke 2017. Di sisi lain, proporsi surat
utang berdenominasi rupiah meningkat dari 21,7 persen menjadi 70 persen pada periode yang
sama. Isu lainnya yang penting untuk kita amati adalah penggunaan utang oleh pemerintah.
Pengurangan proporsi pinjaman luar negeri memberikan fleksibilitas dan ruang lebih dalam
penggunaan pinjaman.
Utang yang diperoleh dari kreditor asing sering kali disertai dengan kondisi dan batas-
batas bagaimana debitur dapat menggunakan pinjaman tersebut. Pemerintah telah mengalokasikan
sebagian besar utangnya ke bidang infrastruktur yang menjadi prioritas utama dalam pemerintahan
Jokowi. Dana utang dialokasi untuk proyek-proyek skala besar seperti bandara, pelabuhan laut,
sistem transportasi massal, jalan tol, serta pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi. Dalam
rencana kerja dan anggaran Jokowi, pengeluaran untuk infrastruktur meningkat secara konsisten
di kisaran 10 miliar dollar AS per tahun, hampir empat kali lipat dari pemerintahan sebelumnya.
Selain infrastruktur, pemerintahan Jokowi juga memprioritaskan pengeluaran di dua sektor
ekonomi utama lainnya, yaitu pendidikan dan kesehatan. Sesuai dengan amanat Undang-Undang
Dasar, pemerintah Jokowi telah mengalokasikan 20 persen dari anggaran tahunan untuk
pendidikan, termasuk menyiapkan Sovereign Wealth Fund untuk mengelola dana beasiswa bagi
pendidikan pascasarjana. Di sektor kesehatan, pemerintah telah meningkatkan anggaran untuk
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hingga September 2017 sekitar 70 persen penduduk
Indonesia telah menikmati manfaat dari program jaminan kesehatan pemerintah. Target
pemerintah adalah menjamin kesehatan seluruh penduduk Indonesia melalui program ini pada
2019.
Sisi lain, pemerintahan Jokowi telah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) sejak
2015. Beberapa pihak menganggap kebijakan ini tidak populer untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi di jangka pendek. Biaya bahan bakar yang meningkat memacu peningkatan biaya
produksi dan penurunan kegiatan ekonomi. Namun, keputusan ini akan berdampak positif dan
substansial dalam pengurangan beban utang Indonesia di masa mendatang. Data dari Kementerian
Keuangan menunjukkan kenaikan anggaran di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur
masing-masing sebesar 11 persen, 54 persen, dan 118 persen dari tahun 2014 ke 2017. Di sisi lain,
anggaran untuk subsidi BBM mengalami penurunan sebesar 77 persen.
Strategi anggaran pemerintah dapat dikatakan sebagai keputusan yang baik untuk
peningkatan produktivitas dan standar hidup. Sesuai dengan argumen teori ekonomi makro klasik,
pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan adalah pertumbuhan yang disertai dengan
peningkatan standar hidup yang dihasilkan dari peningkatan produktivitas. Produktivitas sangat
ditentukan oleh pertumbuhan infrastruktur dan kualitas sumber daya manusia. Dengan
mengalokasi sebagian besar anggaran untuk sektor infrastruktur, pendidikan dan kesehatan,
Jokowi berada di jalur yang benar untuk meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktivitas
yang memicu pertumbuhan ekonomi akan membawa Indonesia ke posisi utang yang semakin
membaik. Lalu apa? Akumulasi utang pemerintah Indonesia memang satu hal yang perlu disikapi
dengan cermat. Pengalaman Yunani telah memberikan pelajaran bagi negara-negara untuk
mengevaluasi kembali pendekatan mereka terhadap manajemen utang. Namun, kami tidak melihat
masalah utang Indonesia sebagai isu ekonomi yang mengancam. Di masa menjelang pemilihan
presiden, persoalan utang Indonesia sepertinya dibesar-besarkan dan dipolitisasi. Rasio utang
terhadap PDB Indonesia masih dalam batas yang dapat dikendalikan. Indonesia juga bergerak ke
arah yang benar dalam penggunaan utangnya secara efektif. Tiga lembaga internasional pemberi
peringkat kredit dalam hal ini sepakat dengan analisa tersebut. Peringkat credit rating Indonesia
baru-baru ini mengalami kenaikan. Tentu saja masih ada ruang perbaikan di berbagai hal yang
lain. Indonesia masih harus terus berjuang untuk menaikkan pendapatan perpajakan,
meningkatkan efisiensi birokrasi, dan memerangi korupsi

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Utang Indonesia Melonjak, Perlukah Kita
Khawatir?", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/02/140323026/utang-indonesia-
melonjak-perlukah-kita-khawatir.

Editor : Bambang Priyo Jatmiko

Вам также может понравиться