Вы находитесь на странице: 1из 8

a.

Hiperglisolia pada pembuluh darah

Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostatis biokimiawi sel tersebut yang kemudian

berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik diabetes yang

meliputi beberapa jalur biokimiawi seperti jalur reduktase aldosa, jalur stress oksidatif

sitoplastik, jalur pleiotropik protein kinase C dan terbentuknya spesies glikosilasi lanjut

intraselular (Sudoyo, 2014).

Pada jalur reduktase aldosa diaktivasi oleh enzim reduktase aldosa menyebabkan

meningkatkan jalur poliol. Enzim reduktase aldosa mengubah glukosa menjadi sorbitol. Sorbitol

akan dioksidasi oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Sorbitol dan fruktosa tidak

terfosforilasi dan bersifat hidrofilik, sehingga terjadi akumulasi poliol intraselular, dan sel akan

kembang, bengkak akibat masuknya air ke dalam sel karena proses osmotik yang mengakibatkan

terjadinya kerusakan sel terkait.

Jalur pleiotropik protein kinase C terjadi sebagai akibat peningkatan diasilgliserol setelah

hiperglisolia. Peningkatan protein kinase C akan menyebabkan proliferasi sel otot polos dan juga

menyebabkan terbentuknya sitokin dan berpengaruh menurunkan aktivitas fibrinolisis. Segera

setelah terjadi aktivasi protein kinase C akan terjadi penurunan fungsi fibrinolisis dan kemudian

akan menyebabkan meningkatnya keadaan prokoagulasi yang menyebabkan kemungkinan

penyumbatan pembuluh darah. Penyumbatan pada pembuluh darah akan mengakibatkan

menurunkan aliran darah di pembuluh darah.

b. Hiperglisolia pada sel saraf

Penurutan aliran darah kesistem saraf akan menimbulkan gangguan metabolisme pada sel

saraf yang mengakibatkan proses demielinisasi sel saraf sehingga hantaran impuls terganggu.
Gangguan sistem saraf hampir sama dengan proses kelebihan glukosa pada sel endotel

pembuluh darah. Akumulasi sorbitol dan fruktosa menyebabkan keadaan hipertonik intraselular

sehingga mengakibatkan edem saraf. Akumulasi sorbitol dan fruktosa menghambat masuknya

mioinotisol sehingga memicu terbentuknya protein kinasae C dan akan mengganggu transduksi

sinyal saraf (Sudoyo, 2014).

Penimbunan sorbitol dan fruktosa serta terhambatnya mioinotisol dan penurunan aliran

darah, mengakibatkan perubahan biokimia sel saraf dan kegiatan metabolik terganggu sehingga

terjadinya neuropati diabetik (ND). ND dapat mengenai sistem saraf motorik, sensorik, maupun

otonom (Price & Wilson, 2006). Neuropati ototnom pada saraf simpatis mengakibatkan

pembuluh darah tidak mampu berdilatasi. Penurunan kemampuan dilatasi pembuluh darah

mengakibatkan penurunan aliran darah (Sudoyo, 2014).

1. Ankle Brachial Index (ABI)

Hiperglikemi kronis mengakibatkan kelompol sel non isulin dependent seperti sel endotel

pembuluh darah kebanjiran glukosa (hiperglisolia). Hiperglisolia kronik mengakibatkan

perubahan homeostatis biokimiawi intra sel sehingga sel endodel glukosa diubah menjadi zat

yang sangat didrofilik yaitu sorbitol dan fruktosa sehingga membran pembuluh darah menjadi

bengkak dan tebal (Sudoyo, 2014). Penimbunan sorbitol dan fruktosa dalam intima vaskular

mengakibatkan penyumbatan vaskular (Price & Wilson, 2006).

Kelainan pembuluh darah tersebut diperparah disertai dengan penurunan produksi Nitrous

Oksida (NO) sebagai akibat dari resistensi insulin. Berkurangnya NO mengakibatkan

kemampuan pembuluh darah dalam mencegah penempelan asam lemak dan trigliserida pada

dnding endotelium menurun sehingga pembuluh darah menjadi kaku (Sudoyo, 2014).
Kelainan dan kekakuan pembuluh darah dapat terjadi pada berbagai organ, termasuk

pembuluh darah perifer tungkai bawah (Sudoyo, 2014). Manifestasi gangguan pembuluh darah

pada tungkai bawah adalah penurunan suplai darah ke kaki. Penurunan suplai darah ke kaki

mengakibatkan tekanan darah sistolik pada kaki lebih rendah dibandingkan dengan daerah

brachial. Normalnya tekanan sistolik disemua ekstremitas sama. Tekanan sistole pada

pergelangan kaki sedikit lebih tinggi dibandingkan tangan. Jika terjadi sternosis yang signifikan,

tekanan darah sistolik di kaki akan menurun (Antono & Hamonangani, 2014).

Perbandingan tekanan sistolik pada daerah ankle dengan brachial disebut dengan Ankle

Brachial Index (ABI) (Soewondo, 2013). ABI sangat berguna untuk mengetahui adanya penyakit

arteri perifer. Pada keadaan normal nilai ABI lebih besar dari satu (>1). Jika nilai ABI kurang

dari satu telah ada indikasi penurunan aliran darah ke kaki. Nilai ABI kurang dari 0,4

menunjukkan adanya iskemik berat (Antono & Hamonangani, 2014). ABI merupakan indikator

suplai darah ke kaki maka pengukuran ABI harus dilakukan secara rutin pada penderita DM

(Soewondo, 2013). Interpretasi nilai ABI dapat dikelompokkan menjadi empat. Empat kelompok

klasifikasi ABI disaikan pada tabel I.

Tabel 1.
Interpretasi Nilai ABI

No. Nilai ABI Interpretasi


1. 1,2 ≤ ABI < 1,4 Normal Tinggi
2. 1,0 ≤ ABI < 1,2 Normal
3. 0,9 ≤ ABI < 1,0 Batas Rendah
4. ABI < 0,9 Rendah
Sumber : Antono (2014)
Hasil penelitian terkait telah membuktikan bahwa ABI dapat ditingkatkan dengan beberapa

cara yaitu senam kaki, latihan rentang gerak sendi, pijat refleksi, exercise walking dan latihan

jasmani yang kesemuanya itu merupakan bagian dari aktivitas fisik secara umum.

Penelitian yang dilakukan Mangiwa (2017) menyatakan terdapat pengaruh dilakukannya

senam kaki terhadap nilai ABI p value 0,000 < 0,05. (Mangiwa et al., 2017). Penelitian terkait

dilakukan oleh Hijriana, Suza & Ariani (2016) menyatakan bahwa dengan melakukan

pergerakan sendi ektremitas bawah dapat meningkatkan nilai ABI dengan p = 0,000 < 0,05

(Hijriana et al., 2016).

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi ABI

Menurut Sacks (2002) dalam Laurel (2005), menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi nilai ABI yaitu kadar glukosa darah, terapi insulin, terapi diet aktivitas fisik, dan

usia.

1) Kadar Glukosa Darah

Kadar glukosa darah yang tinggi mempunyai dampak negatif yang luas bukan hanya pada

metabolisme karbohidrat, tetapi juga terhadap metabolisme protein dan lemak. Akibatnya

dapat terjadi aterosklerosis pada jaringan, terutama daerah perifer di tungkai. Glukosa darah

yang tinggi mempercepat proses aterosklerosis pada pembuluh-pembuluh darah besar seperti

aorta, arteri koroner, atau arteri yang memasok darah ke kaki dan otak. Akibatnya, risiko

serangan jantung dan stroke jauh lebih besar pada penderita diabetes daripada non-penderita

yang memiliki usia, ras, berat badan, dan jenis kelamin yang sama. Selain itu, sirkulasi darah

ke kaki juga terhambat (Wolf, 2008).

2) Terapi insulin
Gula darah dapat dikontrol dengan terapi insulin. Dengan terkontrolnya glukosa darah pada

penderita DM sehingga terhindar dari hiperglikemia. Hiperglikemia (tinggi kadar gula) yang

terus-menerus mengakibatkan sirkulasi darah terutama pada kaki menurun (Rehm, 2006).

3) Terapi diet

Dengan terapi diet yang sesuai dengan prinsip penatalaksanaan DM, maka kadar glukosa

akan dapat terkontrol sehingga tidak akan menimbulkan hiperglikemia pada penderita.

Hiperglikemia dapat merusak fungsi endotel pada pembuluh darah sehingga memperngaruhi

sirkulasi darah. Tingginya kadar glukosa darah dipengaruhi oleh tingginya asupan energi

dari makanan (Soegondo, 2007).

4) Aktivitas fisik

Latihan jasmani dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi risiko

kardiovaskuler. Dengan peningkatan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki

pemakaian insulin akan menurunkan kadar glukosa. Selain itu sirkulasi darah dan tonus otot

juga diperbaiki dengan berolah raga (Hoe, 2012).

5) Usia

Bertambahnya usia menyebabkan risiko diabetes dan penyakit jantung semakin meningkat.

Kelompok usia menjadi faktor risiko diabetes adalah usia lebih atau sama dengan 40 tahun.

Pravelensi Peripheral Artery Disease (PAD) meningkat dengan bertambahnya usia sekitar

20% penderita di atas usia 70 tahun menderita penyakit ini. Setelah 5 sampai 10 tahun

menderita penyakit ini, sepertiga pasien akan mengeluh nyeri intermittent claudication,

kurang dari 20% memerlukan tindakan pembedahan vaskuler dan kurang dari 10%

memerlukan amputasi (Sacks, 2002 dalam Laurel, 2005).


1. Nilai MET dan Formula Untuk Perhitungan MET-menit

Tabel 2.
Nilai MET dan Formula untuk Perhitungan MET-menit

No. Aktivitas Nilai MET


1. Aktivitas fisik yang berhubungan dengan pekerjaan
a. Berjalan di tempat kerja (ringan) 3,3
b. Aktivitas sedang di tempat kerja 4,0
c. Aktivitas kuat di tempat kerja 8,0
Jumlah aktivitas di tempat kerja (MET-menit/minggu) = jumlah skor
berjalan + aktivitas intensitas sedang di tempat kerja + aktivitas
intensitas berat di tempat kerja.
2. Aktivitas fisik yang berhubungan dengan transportasi
a. Berjalan untuk transportasi 3,3
b. Bersepeda untuk transportasi 6,0
Jumlah aktivitas fisik untuk transportasi (MET-menit/minggu) =
jumlah skor berjalan + bersepeda untuk transportasi
3. Kegiatan rumah tangga dan mengurus kebuh
a. Aktivitas yang sangat kuat 5,5
(Catatan : nilai MET 5,5 menunjukkan bahwa
mengurus kebun yang kuat harus dianggap
sebagai aktivitas intensitas sedang untuk
penilaian dan menghitung total aktivitas intensitas
sedang) 4,0
b. Aktivitas kuat mengurus kebun 3,0
c. Aktivitas sedang melakukan pekerjaan rumah
tangga
Jumlah pekerjaan rumah tangga dan mengurus kebun (MET-
menit/minggu) = jumlh aktivitas kuar mengurus halaman + aktivitas
sedang mengurus halaman + aktivitas sedang dalam pekerjaan rumah
4. Aktivitas fisik di waktu luang
a. Berjalan santai (ringan) 3,3
b. Aktivitas sedang saat waktu luang 4,0
c. Aktivitas kuat dalam waktu luang 8,0
Jumlah waktu luang (MET-menit/minggu) = jumlah berjalan santai +
aktivitas sedang waktu luang + aktivitas kuat dalam waktu luang
Sumber : IPAQ (2005)
Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap

konsep lainnya dari masalah yang ingin diteliti (Setiadi, 2013). Adapun kerangka konsep dari

penelitian ini dijabarkan sebagai berikut :

Pasien DM Penatakansanaan DM :
Tipe 2
1. Edukasi
2. Nutrisi
Aktivitas Fisik 3. Aktivitas fisik
4. Farmakologi

1. Peningkatan kepekaan
reseptor insulin otot Kadar Glukosa darah
2. Penambahan reseptop pasien DM Tipe 2
insulin otot
3. Mencegah resistensi insulin

Faktor yang
mempengaruhi nilai ABI :

 Kadar glukosa darah


 Terapi insulin Mempengaruhi
 Terapi diet nilai ABI
 Aktivitas fisik
 Usia

Gambar 1. Kerangka Konsep Hubungan Tingkat Aktivitas Fisik dengan Nilai Ankle Brachial
Index (ABI) Pada Pasien DM Tipe 2
Keterangan :

: yang diteliti

: yang tidak diteliti

: alur pikir

Вам также может понравиться