Вы находитесь на странице: 1из 79

PENGENDALIAN MUTU DALAM PROSES PEMBUATAN

MAKANAN ENTERAL DI RUMAH SAKIT DUSTIRA


KOTA CIMAHI, JAWA BARAT

HANNA TRIANA PUSPA HAPSARI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
i
PENGENDALIAN MUTU DALAM PROSES PEMBUATAN
MAKANAN ENTERAL DI RUMAH SAKIT DUSTIRA
KOTA CIMAHI, JAWA BARAT

HANNA TRIANA PUSPA HAPSARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUASIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ii
Judul : Pengendalian Mutu dalam Proses Pembuatan Makanan Enteral
di Rumah Sakit Dustira, Kota Cimahi, Jawa Barat
Nama : Hanna Triana Puspa Hapsari
NIM : I14096039

Menyetujui :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Rimbawan Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc


NIP. 19620406 198603 1 002 NIP. 19660527 199203 2 003

Mengetahui
Ketua Departemen Gizi Masyarakat,

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS


NIP. 19621218 198703 1 001

Tanggal Lulus :

iii
ABSTRACT

HANNA TRIANA PUSPA HAPSARI. Quality Control Process during Enteral


Feeding Production in Dustira Hospital, Cimahi, West Java. Under direction of
RIMBAWAN and CESILIA METI DWIRIANI.

The goal of this research is to analyze the quality control process for each
enteral feeding production step in Dustira Hospital. The design used in this
research was cross sectional. This research was taken place from October until
November 2011 in Dustira Hospital. The observation method use refered to
Permenkes No.1096/Menkes/PER/V1/2011. The results showed that 90% food
handler have good hygienic sanitation knowledge, but generally lacking in proper
behavior. The result also showed that based on physical and sanitation facilities,
the hospital is categorized as group B (total score 83.6%). Hygienic sanitation in
the enteral nutrition production process does not meet the requirement (88.5%).
Critical Control Point (CCP) was found in the processing step along with the risk
which have to be controlled, that are physical (hair), biological (Salmonella,
Shigella and Echericia colii), and cross contamination (food handler and utensil).

Key words: enteral feeding, quality control, hygiene sanitation

iv
RINGKASAN

HANNA TRIANA PUSPA HAPSARI. Pengendalian Mutu dalam Proses


Pembuatan Makanan Enteral di Rumah Sakit Dustira, Kota Cimahi, Jawa
Barat. Di bawah bimbingan RIMBAWAN dan CESILIA METI DWIRIANI.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis tindakan


pengendalian mutu pada tahapan produksi makanan enteral di Instalasi Gizi
Rumah Sakit Dustira Cimahi. Adapun tujuan khusus penelitian ini yaitu :
1) Mengetahui gambaran umum instalasi gizi dan rumah sakit, 2) Mengetahui
karakteristik dan tingkat pengetahuan higiene sanitasi penjamah makanan
enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira, 3) Mengetahui perilaku higiene
sanitasi penjamah makanan enteral, 4) Menganalisis kesesuaian fasilitas fisik
dan sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira berdasarkan ketentuan
Permenkes, 5) Menganalisis pelaksanaan higiene dan sanitasi makanan enteral
pada setiap tahapan produksi makanan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira,
dan 6) Mempelajari aplikasi HACCP plan dalam proses produksi makanan
enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian Cross sectional study.
Pengambilan data dilakukan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira, Kota Cimahi,
Jawa Barat. Penarikan sampel dilakukan secara purposive sampling. Sampel
dalam penelitian ini adalah penjamah makanan enteral bahan pangan pembuat
makanan enteral, dan makanan enteral yang disajikan. Jenis data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekuder.
Pengumpulan data primer diperoleh dari hasil observasi dan wawancara
menggunanakan alat bantu kuesioner. Data primer yang dikumpulkan meliputi
data pengetahuan higiene sanitasi penjamah, perilaku higiene sanitasi penjamah,
fasilitas fisik dan sanitasi, pelaksanaan higiene sanitasi pada tiap tahapan
produksi, angka kuman patogen, dan penerapan HACCP plan. Sedangkan data
sekunder meliputi gambaran umum Rumah Sakit Dustira dan hasil pemeriksaan
air.
Penjamah makanan enteral (70%) berjenis kelamin perempuan dan
sebanyak 80% memiliki umur sekitar 30-49 tahun. Tingkat pendidikan penjamah
makanan enteral sebagian besar (50%) tingkat pendidikannya yaitu SMA dan
sederajat dengan lama bekerja selama 7-11 tahun sebesar 37%. Penjamah
makanan enteral di instalasi gizi belum pernah diberikan pelatihan mengenai
higiene sanitasi. Sebagian besar (90%) penjamah makanan enteral memiliki
pengetahuan yang baik tentang higiene sanitasi.
Penjamah makanan enteral (20%) menggunakan sarung tangan saat
bekerja dan 70% menggunakan penutup kepala. Penjamah makanan enteral
tidak ada yang menggunakan masker pada saat pengolahan. Seluruh penjamah
menggunakan apron atau pakaian kerja khusus, dan sebanyak 40% penjamah
makanan enteral terutama penjamah wanita masih menggunakan perhiasan
pada saat mengolah makanan. Fasilitas fisik dan sanitasi di Instalasi Gizi sudah
memenuhi laik fasilitas fisik dan sanitasi dan termasuk dalam tingkat mutu
Golongan B berdasarkan persyaratan Peraturan Menteri Kesehatan no.
1096/Menkes/ PER/VI/2011 tentang persayaratan higiene sanitasi jasaboga yaitu
sebesar 83.6%.
Perencanaan menu makanan enteral bagi pasien di Rumah Sakit Dustira
tidak dibedakan berdasarkan kelas perawatan, namun berdasarkan kondisi
kesehatan masing-masing pasien. Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira melakukan
pengadaan bahan pangan melalui rekanan. Rekanan memasok bahan pangan
v
sesuai dengan kriteria mutu yang telah dibuat oleh instalasi gizi, baik jumlah,
mutu maupun kualitas. Kriteria mutu yang ditetapkan oleh instalasi gizi Rumah
Sakit Dustira adalah kategori umum yang biasa digunakan untuk ukuran rumah
tangga dan belum menunjukkan kualitas bahan makanan yang sebenarnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/
VI/2011, pelaksanaan higiene sanitasi pada tahap penyimpanan (87.5%), tahap
persiapan dan pengolahan (84%), tahap pewadahan (86.6%), belum memenuhi
syarat dengan skor minimal yaitu 90.2%. Pada tahap penerimaan bahan pangan
(93.3%), tahap pengangkutan (93.3%) sudah memenuhi syarat. Secara
keseluruhan upaya higiene sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira yaitu
sebesar 88.5%. Hasil uji mikrobiologi menunjukkan tidak terdapat mikroba
patogen seperti Salmonella, Shigella dan Escherichia coli pada makanan enteral
yang ditunjukkan dengan jumlah mikroba patogen <1 atau negatif.
Penerapan HACCP di Rumah Sakit Dustira pada penyelenggaraan
makanan enteral dilakukan mulai dari tahap pengadaan bahan makanan,
penerimaan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, persiapan bahan
makanan, pengolahan, pewadahan dan pendistribusian makanan enteral ke
pasien. Titik kendali kritis (CCP) pada proses produksi makanan enteral di
Instalasi Gizi RS Dustira yaitu pada tahap pengolahan dan resiko bahaya yang
harus dikendalikan adalah kontaminasi fisik (rambut), biologi (Salmonella,
Shigella, Escherichia coli) dan kontaminasi silang (penjamah makanan dan
peralatan).
Pengawasan sanitasi higiene pada penjamah yang terlibat dalam tahap
produksi harus diperhatikan. Pencegahan kontaminasi silang di gudang
penyimpanan harus lebih ditingkatkan. Selain itu, sistem FIFO yang diterapkan
sebaiknya dilengkapi dengan pencatatan tanggal masuk dan tanggal keluar
setiap bahan pangan. Sebaiknya penerapan HACCP dilakukan oleh Instalasi
Gizi RS Dustira sebagai suatu alat pengawasan, pengendalian dan prosedur
pengaturan untuk menjaga makanan tidak tercemar sebelum disajikan.

vi
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Pengendalian Mutu dalam Proses Pembuatan Makanan Enteral di Rumah Sakit
Dustira Kota Cimahi, Jawa Barat”. Penelitian skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Rimbawan dan Ibu Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc selaku
pembimbing yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan
pikirannya, memberikan arahan, masukan, kritikan dan dukungan kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Ir. Eddy Setyo Mudjajanto selaku penguji dan Ibu Tiurma Sinaga
B.Sc, M.FSA selaku dosen pemandu.
3. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS selaku dosen pembimbing akademik.
4. Kepala Rumah Sakit Dustira dan Kepala Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
yang telah memberikan izin penelitian.
5. Bapak dan Mama, serta keluargaku yang tercinta yang selalu memberikan
dukungan, doa dan motivasinya.
6. Ahli gizi di Rumah Sakit Dustira, teh Iren, Icank, teh Dede, teh Ceria, teh
Maretha, teh Efa, teh Elok, serta pegawai pengolahan yang telah
membantu penulis dalam proses pengambilan data.
7. Teman-teman seperjuangan (Indang, Mira, Widya, Epin, Lesipha, Uni, Lina,
dan Tata) terima kasih atas kebersamaannya dan rekan-rekan mahasiswa
alih jenis angkatan III yang telah membantu dengan memberikan saran dan
kritik dalam pembuatan skripsi ini.
8. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala
bantuan dan dukungan selama penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai taraf sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis
juga berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua.
Bogor, Maret 2012

Hanna T. P. Hapsari
vii
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 23 September 1988 di Bandung, Jawa


Barat. Penulis adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak
Machfudin dan Ibu Ida Kania Rufaedah. Penulis menyelesaikan pendidikan di
SDN Pasirkaliki 139, Bandung, Jawa Barat pada tahun 2000. Kemudian
melanjutkan pendidikan ke SMP Istiqomah, Bandung dan lulus pada tahun 2003.
Pendidikan selanjutnya ditempuh penulis di SMA Negeri 2 Bandung, Jawa Barat
dan lulus pada tahun 2006.
Penulis diterima di program Diploma Poltekkes Depkes Bandung Jurusan
Gizi pada tahun 2006 dan mendapatkan gelar Ahli Madya Gizi pada tahun 2009.
Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di Program
Penyelenggaraan Khusus S1 Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, kegiatan yang
dilakukan penulis antara lain melakukan kegiatan konsultasi gizi di Puskesmas
Warung Jambu Bogor bulan April tahun 2011, menjadi panitia Seminar Nasional
Gizi “Lebih Sehat, Muda, dan Menarik dengan Minuman Antioksidan dan Susu”
pada bulan Juni tahun 2011, serta menjadi peserta Seminar Nasional “Strategi
Swasembada Garam” pada bulan November 2011 dan Seminar Pangan dan Gizi
“Pangan dan Gizi Mewujudkan Generasi Sehat, Cerdas, dan Kuat Menuju
Indonesia Prima” pada bulan Januari 2012.

viii
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL................................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang............................................................................................ 1
Tujuan......................................................................................................... 3
Kegunaan Penelitian................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA
Penyelenggaraan Makanan ....................................................................... 4
Makanan Enteral......................................................................................... 4
Keamanan Pangan ..................................................................................... 5
Manajemen Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit............................ 6
HACCP .......................................................................................................11
Higiene Sanitasi..........................................................................................12
Fasilitas Fisik dan Sanitasi..........................................................................14
Pengetahuan ..............................................................................................16
KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................................18
METODE PENELITIAN
Desain, Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................20
Penarikan Sampel.......................................................................................20
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................................20
Pengolahan dan Analisis Data ....................................................................22
Batasan Istilah ............................................................................................26
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Rumah Sakit Dustira ..………………………………….….27
Gambaran Umum Pelayanan Gizi di Rumah Sakit Dustira..........................27
Karakteristik Sampel Penjamah Makanan Enteral.......................................28
Pengetahuan Higiene Sanitasi Penjamah ...................................................30
Perilaku Higiene Sanitasi Penjamah ...........................................................32
Fasilitas Fisik dan Sanitasi..........................................................................35
Penyelenggaraan Makanan Enteral di Instalasi Gizi ...................................40
Perencanaan Menu...............................................................................40
Pengadaan Bahan Makanan.................................................................42
Penerimaan Bahan Makanan................................................................43
Penyimpanan Bahan Makanan .............................................................45
Persiapan dan Pengolahan Makanan Enteral .......................................48
Pewadahan dan Pengemasan ..............................................................51
Pengangkutan (Distribusi).....................................................................52
Kualitas Makanan Enteral di Instalasi Gizi .................................................52
HACCP plan pada proses produksi makanan enteral ................................54
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan.................................................................................................59
Saran..........................................................................................................60
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................61
LAMPIRAN .......................................................................................................64
ix
DAFTAR TABEL
Halaman

1 Variabel, data dan cara pengumpulan data ……………………………….. 22


2 Variabel dan kategori pengukuran ………………………………………….. 23
3 Klasifikasi golongan berdasarkan pemeriksaan fasilitas fisik dan
sanitasi.………………………………………………………………………… 24
4 Tingkat mutu pelaksanaan higiene sanitasi makanan enteral di
Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira …………………………………………. 25
5 Sebaran sampel berdasarkan karakteristik penjamah makanan enteral
di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira …………………………………....... 29
6 Sebaran sampel penjamah makanan enteral berdasarkan jawaban
benar terhadap pertanyaan higiene sanitasi ……………………………… 30
7 Tingkat pengetahuan higiene sanitasi penjamah makanan enteral
di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira ……………………………………… 32
8 Fasilitas fisik dan sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira ……… 36
9 Formulasi menu makanan cair biasa …………………………………........ 41
10 Formulasi menu makanan cair diet khusus ……………………………….. 41
11 Spesifikasi mutu pada bahan pangan pembuat makanan enteral
di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira ……………………………………… 44
12 Kriteria mutu pada bahan pangan………………………………………….. 43
13 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap penerimaan
bahan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira………….. 45
14 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap penyimpanan
bahan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira……..…… 48
15 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap persiapan dan
pengolahan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira……. 50
16 Data pemeriksaan air di Instalasi Gizi pada bulan April 2011…………... 50
17 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap pewadahan
makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira……………..……. 51
18 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap pendistribusian
bahan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira…….…..... 52
19 Data pemeriksaan makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira..……… 53
20 HACCP pada proses produksi makanan enteral di Instalasi
Gizi Rumah Sakit Dustira ……………………………………………………. 55

x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Struktur Organisasi Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira..........................65
2. Denah Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.............................................66
3. Dokumentasi Penelitian………………………………………………………..67

xi
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pelayanan gizi rumah sakit (PGRS) adalah salah satu komponen sistem
pelayanan di rumah sakit dan merupakan kegiatan pelayanan gizi untuk
memenuhi kebutuhan pasien rawat inap, pasien rawat jalan dan karyawan rumah
sakit. Instalasi gizi sebagai unit PGRS melaksanakan empat kegiatan pokok
terdiri dari asuhan gizi pasien rawat inap (pelayanan gizi di instalasi rawat inap),
asuhan gizi pasien rawat jalan (konsultasi dan penyuluhan gizi),
penyelenggaraan makanan, penelitian dan pengembangan gizi (Depkes 2003).
Penyelenggaraan makanan di rumah sakit bertujuan agar penderita yang
dirawat memperoleh makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizinya serta
mempercepat proses penyembuhan, sehingga dalam proses persiapan,
pengolahan hingga distribusi makanan harus berada dalam kondisi aman untuk
dikonsumsi (Anom 2001). Selain itu, pasien juga berhak untuk mendapatkan diet
yang bermutu, yaitu sesuai dengan saran dari dokter/konsultan gizi dan aman,
tidak terkontaminasi bahaya yang dapat menyebabkan status kesehatan pasien
menjadi semakin buruk.
Salah satu kegiatan penyelenggaraan makanan di rumah sakit adalah
memproduksi makanan enteral. Makanan enteral merupakan metode
pemenuhan zat gizi menggunakan saluran pencernaan, baik secara alami
melalui mulut ataupun dengan bantuan alat (tube). Makanan enteral diberikan
pada pasien di rumah sakit terutama penderita sakit berat seperti pasien pasca
bedah, penderita kanker, malnutrisi, anoreksia, depresi berat, dan luka bakar,
karena umumnya penderita tidak dapat atau tidak mungkin makan secara oral
akibat kondisi penyakitnya. Apabila saluran cerna masih berfungsi, dukungan
makanan enteral diperlukan untuk meningkatkan sistem imun saluran cerna dan
dapat mencegah komplikasi yang timbul (Silberman & Eisenberg 1982).
Klasifikasi makanan enteral salah satunya dibuat di rumah sakit (hospital
made) (Tanra 1998). Makanan enteral yang dibuat di rumah sakit selain memiliki
kelebihan seperti harga lebih ekonomis, juga memiliki kekurangan yaitu higienitas
yang kurang terjamin, kurang praktis dan cara penyiapan serta cara penyajian
harus menurut standar yang baku.
Mikroorganisme serta tenaga pengolah menjadi salah satu faktor risiko
yang membuat higienitas makanan enteral kurang terjamin. Kerusakan makanan
enteral oleh mikroorganisme menyebabkan makanan tersebut kurang aman
2

untuk dikonsumsi terutama jika terkontaminasi oleh mikroba patogen. Bahan


pangan yang digunakan dalam proses pembuatan makanan enteral umumnya
merupakan makanan yang mudah rusak dan mudah tercemar bakteri. Selain itu,
tenaga pengolah makanan juga dapat menjadi sumber kontaminan bakteri
terbesar penyebab keracunan pada makanan dan carrier dari beberapa penyakit
(Jenie 2000). Pengetahuan tenaga pengolah mengenai higiene dan sanitasi
dapat mempengaruhi penerapan higiene dan sanitasi dalam pengolahan
makanan untuk terjaminnya keamanan pangan. Higiene dan sanitasi yang tidak
memadai dalam tahapan produksi dapat menimbulkan tumbuh dan
berkembangnya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan.
Menurut Afrienti (2002), pengawasan terhadap higiene dan sanitasi baru
ditekankan pada industri makanan dan minuman serta industri jasa boga
komersial, sedangkan pengawasan higiene dan sanitasi untuk penyelenggaraan
makanan di rumah sakit belum dilakukan sebagaimana mestinya. Oleh karena
itu, pengawasan higiene dan sanitasi di rumah sakit harus lebih ditekankan
karena konsumen yang dilayani adalah pasien yang relatif lebih rentan terhadap
infeksi penyakit yang ditularkan melalui makanan. Selain itu, pasien tidak selalu
dapat menentukan makanannya sendiri melainkan tergantung pada makanan
yang diberikan di rumah sakit. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem
pengendalian mutu yang dapat memberikan jaminan bahwa makanan yang
dikonsumsi aman bagi pasien.
Instalasi Gizi rumah sakit yang bertugas membuat makanan enteral
harus memiliki kepedulian dan tanggung jawab di sepanjang rantai pengolahan
makanan hingga akhirnya makanan disajikan kepada pasien. Konsep HACCP
dapat dijadikan acuan agar bisa mewujudkan hal itu. Berdasarkan uraian diatas,
sangatlah penting untuk dilakukan penelitian tentang sejauh mana tindakan
pengendalian mutu dan higiene sanitasi, tingkat pengetahuan higiene sanitasi
penjamah serta aplikasi Hazard Anaysis and Critical Control Point (HACCP) plan
dalam penyelenggaraan makanan enteral di rumah sakit. Tindakan pengendalian
mutu dan higiene sanitasi pada makanan enteral di Rumah Sakit Dustira belum
pernah dikaji sebelumnya.
Rumah Sakit Dustira merupakan salah satu rumah sakit yang
menerapkan pembuatan makanan enteral secara hospital made, selain itu
Rumah Sakit Dustira juga merupakan rumah sakit rujukan bagi anggota TNI.
Makanan yang disajikan harus aman agar dapat membantu pemulihan
3

kesehatan pasien, agar mereka dapat melakukan aktifitas seperti semula


sehingga diharapkan adanya peningkatan dan pencapaian status kesehatan
pasien.

Tujuan
Tujuan umum.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis tindakan
pengendalian mutu pada setiap tahapan produksi makanan enteral di Instalasi
Gizi Rumah Sakit Dustira Cimahi.
Tujuan khusus.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui gambaran umum instalasi gizi dan Rumah Sakit Dustira.
2. Mengetahui karakteristik dan tingkat pengetahuan higiene sanitasi
penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.
3. Mengetahui perilaku higiene sanitasi penjamah makanan enteral.
4. Menganalisis kesesuaian fasilitas fisik dan sanitasi di Instalasi Gizi
Rumah Sakit Dustira berdasarkan ketentuan Permenkes.
5. Menganalisis pelaksanaan higiene dan sanitasi makanan enteral pada
setiap tahapan produksi makanan di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.
6. Mempelajari aplikasi HACCP Plan dalam proses produksi makanan
enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.

Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan
informasi pelaksanaan upaya pengendalian mutu serta pelaksanaan sanitasi
higiene dalam penyelenggaraan makanan di rumah sakit sebagai upaya
mencegah adanya kontaminasi makanan yang dapat menyebabkan keracunan
makanan. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam
menentukan langkah-langkah atau kebijakan dalam pengawasan kualitas pangan
di rumah sakit, khususnya makanan enteral dan dapat digunakan untuk
perbaikan kualitas sehingga dapat memberikan jaminan keamanan dari makanan
yang disajikan.
4

TINJAUAN PUSTAKA

Penyelenggaraan Makanan
Penyelenggaraan makanan merupakan salah satu kegiatan pokok yang
ada di rumah sakit. Kegiatan ini meliputi kegiatan pengadaan makanan hingga
penyalurannya kepada pasien dengan mutu, jenis, dan jumlah yang sesuai
dengan rencana kebutuhan. Unit yang bertanggung jawab dalam melaksanakan
kegiatan tersebut adalah instalasi gizi (Depkes 2003).
Kegiatan pelayanan gizi memiliki tujuan yaitu untuk memberi terapi diet
yang sesuai dengan perubahan sikap dan untuk mencegah kambuhnya penyakit
pasien (Depkes 2003). Pengaturan makanan bagi orang sakit bukan merupakan
tindakan yang berdiri sendiri dan terpisah dari perawatan dan pengobatan.
Pengobatan, perawatan dan pengaturan makanan merupakan suatu kesatuan
dalam penyembuhan penyakit seperti juga dengan obat harus sesuai dengan
ketentuan yang diberikan (Moehyi 1999).

Makanan Enteral
Makanan enteral merupakan salah satu teknik pemberian makanan di
rumah sakit untuk pasien dengan sakit berat seperti pasien pasca bedah,
penderita kanker, malnutrisi, anoreksia, depresi berat, luka bakar, yang tidak
dapat makan secara oral dengan keadaan saluran gastrointestinal yang
berfungsi dengan baik. Pemberiannya dengan cara menggunakan sonde (Hill
2000).
Pemberian makanan enteral dini akan memberikan manfaat antara lain
memperkecil respon katabolik, mengurangi komplikasi infeksi, memperbaiki
toleransi pasien, mempertahankan respon imunologik, lebih fisiologis dan
memberikan sumber energi yang tepat bagi usus pada waktu sakit (Hartono
2000). Menurut Tanra (1998), makanan enteral memiliki beberapa syarat yang
harus dipenuhi, yaitu:
1. Memiliki kepadatan kalori tinggi. Kepadatan kalori yang ideal adalah 1kkal/ml
cairan.
2. Kandungan makanannya seimbang. Makanan enteral harus mengandung
semua komponen zat gizi esensial seperti protein, asam amino, lemak,
vitamin, mineral, dan trace elements lain yang memenuhi jumlah kebutuhan.
5

3. Memiliki osmolalitas yang sama dengan osmolalitas cairan tubuh.


Osmolalitas yang ideal untuk makanan enteral adalah 350-400 m Osmol
sesuai dengan osmolalitas cairan tubuh ekstraseluler.
4. Mudah diresorbsi. Bahan baku pembuat makanan enteral sebaiknya terdiri
dari komponen-komponen yang siap diabsorpsi atau paling tidak hanya
sedikit memerlukan kegiatan pencernaan untuk dapat diabsorpsi.
5. Tanpa atau kurang mengandung laktosa. Untuk menghindari intoleransi
laktosa sering terjadi pada penderita malnutrisi sebaiknya suatu makanan
enteral kurang atau tanpa mengandung laktosa atau paling tinggi kandungan
laktosanya hanya 0,5% dari total hidrat arangnya.
6. Bebas dari bahan-bahan yang dapat mengembang purin dan kolesterol.
Makanan enteral diklasifikasikan menjadi dua, yaitu makanan enteral
formula rumah sakit (hospital made) dan makanan enteral formula komersial
(commercial made). Rumah sakit yang membuat sendiri makanan enteral harus
memperhatikan faktor higiene dan cara penyiapan serta cara penyajian harus
menurut standar yang baku (Tanra 1998). Makanan enteral yang dibuat sendiri
oleh rumah sakit umumnya hanya bisa disimpan selama empat jam dalam
lemari es sehingga makanan tersebut harus segera diberikan setelah dibuat
(Hartono 2000).
Makanan enteral formula komersial terbuat dari bahan baku yang
diformulasikan seimbang, telah distandarisasi dan dikontrol serta kandungan
makanan yang seimbang antara protein, lemak, hidrat arang, vitamin dan mineral
sesuai dengan standar tertentu. Makanan enteral formula komersial dapat
disajikan setiap saat (Kurnia 2005).
Menurut Depkes (2002), ruangan tempat diproduksinya makanan enteral
hendaknya dalam ruangan khusus (ruangan berdinding kaca) yang bebas dari
mikroorganisme patogen, dan tidak dipakai untuk kegiatan lain. Semua peralatan
dan perlengkapan harus steril, dan tenaga penjamah makanan harus mempunyai
baju dan atribut khusus yang steril (tutup kepala, masker dan sarung tangan).

Keamanan Pangan
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,
baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan
atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan,
bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman (UU RI No.7 1996).
6

Mengingat definisi pangan menurut Undang-Undang No. 7 tahun 1996 yang


mempunyai cakupan yang luas, maka upaya untuk mencegah pangan dari
kemungkinan tercemar baik dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang
yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia
merupakan suatu keharusan.
FAO (1997) menjelaskan pengertian keamanan pangan sebagai jaminan
bahwa makanan tidak akan mengakibatkan bahaya bagi konsumen ketika itu
dipersiapkan atau dimakan menurut pemakaian yang dimaksudkan atau
dikehendaki. Menurut Hariyadi (2007), keamanan pangan merupakan prasyarat
bagi pangan yang bermutu dan bergizi baik. Tidak ada artinya berbicara citarasa
dan nilai gizi, atau pun mutu dan sifat fungsional yang bagus, tetapi produk
tersebut tidak aman dikonsumsi.
Cemaran mikrobiologis sering terjadi pada makanan yang dibuat secara
massal, dan setiap tahapan dalam proses tersebut memungkinkan mikroba
berkembang biak dan memperbanyak diri. Cemaran mikrobiologis dapat terjadi
akibat pemakaian alat untuk mengolah bahan pangan yang kurang bersih dan
lingkungan yang kurang terjaga kebersihannya (Hartono & Palupi 2006).
Terdapat kelompok yang lebih berisiko untuk terjangkit infeksi dan
intoksikasi bawaan makanan, yaitu orang yang rentan dengan alasan fisiologis
atau alasan lainnya lebih mudah terkena infeksi bawaan makanan. Kelompok
tersebut mencakup bayi dan anak-anak, lansia, ibu hamil, pasien malnutrisi,
pasien dengan penyakit utama (misalnya penyakit hati dan diabetes), dan pasien
gangguan kekebalan akibat mengalami infeksi atau pasien yang sedang
menjalani pengobatan (kanker) (Hartono & Palupi 2006).
Beberapa ketentuan perlu diperhatikan untuk memenuhi syarat mutu
keamanan pangan mulai dari penyiapan bahan baku, pengolahan, pengemasan,
penyimpanan, pengangkutan/pendistribusian sampai makanan tersebut siap
disajikan, salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan menekan atau
menghilangkan setiap mikroba yang tidak diharapkan kehadirannya dalam bahan
makanan (Supardi & Sukamto 1998).

Manajemen Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit


Penyelenggaraan makanan merupakan suatu sistem mencakup kegiatan
atau sub sistem penyusunan anggaran belanja makanan, perencanaan menu,
pembuatan taksiran bahan makanan, penyediaan atau pembelian bahan
makanan, penerimaan dan penyaluran bahan makanan, persiapan, pemasakan
7

makanan, penilaian dan distribusi makanan, pencatatan laporan dan evaluasi


yang dilaksanakan dalam rangka penyediaan makanan bagi kelompok
masyarakat di institusi (Depkes 2003).
Manajemen makanan institusi adalah penyediaan makanan bagi
konsumen dalam jumlah banyak, yang berada dalam kelompok masyarakat yang
terorganisir di institusi seperti perkantoran, perusahaan, pabrik industri, asrama,
rumah sakit, panti sosial, lembaga permasyarakatan (Depkes 2003). Tujuan
penyelenggaraan makanan institusi yaitu untuk : 1) Menghasilkan makanan yang
berkualitas baik, dipersiapkan dan dimasak dengan layak, 2) Pelayanan yang
cepat dan menyenangkan, 3) Menu seimbang dan bervariasi, 4) Harga layak,
serasi dengan pelayanan yang diberikan, 5) Standar kebersihan dan sanitasi
yang tinggi (Mukrie et al 1990).
Pengadaan Bahan Makanan.
Pengadaan bahan makanan dapat dilakukan dengan cara membeli
sendiri atau melalui pemasok bahan makanan. Pembelian bahan makanan
adalah proses penyediaan bahan makanan melalui prosedur dan ketentuan yang
berlaku, dalam upaya memenuhi kebutuhan bahan makanan untuk
penyelenggaraan makanan bagi banyak orang (Subandriyo 1993).
Produksi makanan yang berkualitas tergantung pada bahan baku yang
digunakan. Penggunaan bahan baku yang berkualitas rendah akan
menghasilkan produk makanan yang berkualitas rendah pula, sedangkan
makanan yang berkualitas tinggi berasal dari bahan baku yang berkualitas tinggi
(Wirakusumah 1999). Cara untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas
tinggi perlu memperhatikan mengenai jenis, jumlah, dan spesifikasinya (kualitas)
bahan baku yang dibeli. Selain itu, perlu diketahui pula mengenai karakteristik
pemasok, tempat pembelian, dan fungsi atau kegunaan bahan baku tersebut
dalam proses produksi (Keister 1990).
Standar kualitas bahan makanan merupakan daftar informasi mengenai
deskripsi bahan makanan yang meliputi penampilan, kualitas atau mutu
organoleptik, dan komposisi bahan makanan. Penentuan kualitas dapat berupa
grade atau kelas mutu, penampakan luar, varietas, bentuk/ukuran, dan kemasan
(Sambas 1991). Subandriyo (1993) menyatakan bahwa cara pembelian bahan
makanan yang tepat akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan
dana yang tersedia. Oleh karena itu, diperlukan suatu pedoman standar yang
8

dapat mengontrol proses pembelian sehingga mendapatkan kualitas bahan


seperti yang diharapkan.
Penerimaan.
Penerimaan bahan makanan adalah suatu proses kegiatan yang meliputi
pemeriksaan, penelitian, pencatatan, pengambilan keputusan dan pelaporan
spesifikasi bahan makanan menurut permintaan (Subandriyo 1993). Metode
pembelanjaan yang efisien membutuhkan prosedur penerimaan yang baik.
Penerimaan makanan pada penyelenggaraan makanan di institusi dipusatkan
pada suatu ruangan yang cukup besar dengan peralatan seperti timbangan dan
peti kemas (container untuk menampung bahan makanan). Bahan makanan
yang diterima ada yang segera digunakan tetapi ada juga yang disimpan terlebih
dahulu.
Penerimaan bahan makanan menurut Subandriyo (1993) harus
memperhatikan beberapa prinsip, yaitu :
1. Jumlah bahan makanan yang diterima harus sama dengan jumlah bahan
makanan yang tertulis dalam daftar permintaan dan fraktur pembelian.
2. Mutu bahan makanan harus sesuai dengan spesifikasi bahan makanan yang
ada dalam pedoman standar pembelian.
3. Harga bahan makanan yang tercantum pada fraktur pembelian harus sama
dengan harga yang tercantum pada saat penawaran.
Penanganan bahan makanan saat kegiatan penerimaan harus
memperharikan tindakan sanitasi dengan baik sehingga terjadinya kontaminasi
dapat dihindari. Petugas harus melakukan pemeriksaan dengan teliti terhadap
spesifikasi mutu, deskripsi bahan makanan, penimbangan dan pengukuran
bahan makanan (Sambas 1991).
Penyimpanan.
Penyimpanan bahan makanan adalah proses kegiatan yang menyangkut
pemasukan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan serta penyaluran
bahan makanan sesuai dengan permintaan untuk persiapan pemasukan bahan
makanan. Menurut Subandriyo (1993), tujuan penyimpanan bahan makanan
yaitu untuk : 1) Menjaga agar persediaan stok tidak kurang, 2) Dapat digunakan
sewaktu-waktu bila dipelukan, 3) Menjaga agar kondisi bahan makanan tidak
rusak atau hilang, dan 4) Menjaga kondisi bahan makanan tetap baik, tidak ada
perubahan tekstur, bau, warna, maupun rasa, dan terhindar dari hewan perusak.
9

Tempat penyimpanan bahan makanan harus selalu terpelihara dan dalam


keadaan bersih, terlindung dari debu, bahan kimia berbahaya, serangga dan
hewan lain (Depkes 2002). Menurut Sambas (1991) prinsip pengaturan
penyimpanan adalah setiap jenis makanan harus disimpan secara terpisah satu
dengan yang lainnya. Moehyi (1992) menambahkan bahwa bahan makanan
yang disimpan sebaiknya disusun dengan teratur, tidak bertumpuk-tumpuk agar
suhu penyimpanan tersebar merata pada seluruh bagian makanan. Semakin luas
permukaan bahan makanan, semakin merata temperature.
Suhu gudang penyimpanan harus dijaga tetap stabil untuk
mempertahankan kualitas bahan makanan. Sistematika penyimpanan dan
penyusunan bahan makanan menggunakan prinsip first in first out (FIFO), artinya
bahan makanan yang terlebih dahulu masuk harus keluar lebih dulu dengan
penyusunan menurut jenis dan frekuensi pemakaian (Fardiaz 1999).
Gudang penyimpanan harus memiliki konstruksi yang baik dan kokoh
untuk mencegah masuknya hama perusak, kering, dan mempunyai ventilasi
yang baik untuk menjaga sirkulasi udara. Sirkulasi udara yang cukup dapat
mengurangi kelembaban, menurunkan temperatur, dan mengurangi bau yang
tidak sedap. Penempatan wadah seperti kantong dan karton makanan dalam
ruang penyimpanan disusun bertumpuk di rak. Tinggi rak sebaiknya minimal 15
cm dari atas lantai dan berjarak lebih dari 5 cm dari dinding sehingga sirkulasi
udara dapat berjalan baik (Moehyi 1992).
Persiapan.
Persiapan merupakan kegiatan mempersiapkan bahan makanan dan
bumbu-bumbu sebelum dilakukan kegiatan pemasakan (Sambas 1991). Menurut
Subandriyo (1993), tujuan persiapan yaitu tersedianya bahan makanan serta
bumbu-bumbu yang sesuai dengan teknik persiapan bahan makanan dan
standar resep. Sebelum persiapan, bahan makanan dicuci bersih dengan air
mengalir. Pencucian dapat melarutkan kotoran yang mungkin masih ada.
Pengolahan.
Pengolahan makanan adalah proses membentuk dari bahan bahan
mentah menjadi makanan siap saji. Tujuan pengolahan adalah mengurangi atau
menghilangkan bahaya sampai ke titik aman, mencegah pertumbuhan mikroba
patogen, dan pembentukan bahan kimia beracun serta menjaga agar tidak terjadi
kontaminasi silang (Marriot 1999). Menurut Subandriyo (1993), tujuan dari
pengolahan makanan adalah untuk mempertahankan nilai gizi, meningkatkan
10

nilai cerna, meningkatkan dan mempertahankan warna, bau, rasa, keempukan,


dan penampakan makanan, serta bebas dari organisme yang berbahaya bagi
kesehatan.
Dalam pengolahan termasuk proses penyiapan bahan makanan dan alat
yang akan digunakan. Penyiapan makanan merupakan prosedur yang
melibatkan berbagai aktifitas dan diantaranya dipengaruhi oleh kebiasaan
kultural. Bukan hanya aktifitas itu sendiri yang mungkin membahayakan, seperti
memasak makanan setengah matang, memegang makanan pada suhu kamar
dan memegang makanan dengan tangan yang terkontaminasi tetapi urutan
penyiapan juga dapat menjadi faktor risiko yang dapat menyebabkan masuknya
kembali patogen ke dalam makanan (Hartono & Palupi 2006).
Permenkes (2011) menetapkan bahwa semua peralatan yang digunakan
untuk penanganan dan pengolahan produk pangan harus selalu diperhatikan
kebersihannya. Selain itu harus selalu berada pada keadaan bersih, bebas dari
karat, jamur, minyak/oli, cat yang terkelupas dan kotoran-kotoran yang lain (sisa-
sisa pengolahan sebelumnya).
Penyajian dan Pengemasan.
Pengemasan bahan pangan memegang peranan penting dalam
pengendalian dari kemungkinan kerusakan dan infeksi mikroorganisme terhadap
produk pangan. Bahaya terbesar dalam makanan masak adalah adanya
mikroorganisme patogen dalam makanan akibat terkontaminasi silang melalui
wadah maupun penjamah makanan. Setiap makanan masak harus mempunyai
wadah dan tempat yang terpisah untuk menekan kontaminasi silang. Pemisahan
didasarkan pada saat makanan diolah dan sesuai jenis makanan, selain itu
setiap wadah mempunyai tutup berventilasi yang dapat mengeluarkan uap
(Depkes 1996).
Kondisi pengemasan harus sedemikian rupa sehingga dapat menekan
kemungkinan kontaminasi bahaya mikroorganisme serendah mungkin.
Pengemasan yang baik dapat mencegah penularan bahan pangan oleh
mikroorganisme yang berbahaya bagi kesehatan konsumen (Supardi 1998).
Distribusi atau Pengangkutan.
Pengangkutan makanan merupakan salah satu titik rawan terhadap
kontaminasi sehingga diperlukan pengangkutan dan perlakuan yang hati-hati.
Prinsip makanan siap santap yang perlu diperhatikan adalah setiap makanan
mempunyai wadah yang berbeda dan harus mempunyai tutup serta ventilasi.
11

Menurut Anwar et al (1986), syarat-syarat pengangkutan makanan adalah


yang memenuhi aturan sanitasi sebagai berikut : 1) alat atau tempat pengangkut
harus bersih, 2) cara pengangkutan makanan harus benar dan tidak terjadi
pengotoran saat di angkut, 3) pengangkutan makanan yang langsung dapat
dimakan harus ditempatkan dalam suatu wadah yang tertutup, 4) pengangkutan
makanan yang yang melewati daerah atau tempat yang mudah terkontaminasi
harus dihindari, dan 5) cara pengangkutan makanan harus dilakukan dengan
mengambil jalan paling singkat.
HACCP
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) menurut Food and Drug
Administration (1997), merupakan sistem manajemen untuk mengurangi risiko
bahaya pada makanan pada setiap prosesnya sejak tahap produksi, distribusi,
pengolahan, penyajian, hingga konsumsi. Fardiaz (1994) mengemukakan bahwa
HACCP adalah suatu analisis yang dilakukan terhadap bahan, produk atau
proses untuk menentukan komponen, kondisi atau tahap proses yang harus
mendapatkan pengawasan yang ketat untuk menjamin bahwa produk pangan
yang dihasilkan aman dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Menurut Thaheer (2008), HACCP dapat diterapkan pada rantai produksi
makanan yang dapat dilakukan mulai dari pemilihan bahan makanan,
penyimpanan bahan makanan, persiapan bahan makanan, pengolahan, sampai
penyajian. Selain itu, HACCP dapat memberikan komponen penting dalam
sistem manajemen keamanan pangan maupun Good Manufacturing Practices
(GMP) dengan cara yang sistematis dan mudah diterapkan sehingga HACCP
dapat diterapkan dalam berbagai industri pangan dan seluruh rantai produksi.
Terdapat tujuh prinsip dalam sistem HACCP yang diungkapkan oleh
Winarno dan Surono (2002) yaitu :
Prinsip 1 :Analisis bahaya dan penetapan risiko yang berhubungan dengan
produk bahan mentah, pengolahan, distribusi, penjualan, persiapan,
dan konsumsi.
Prinsip 2 :Penetapan Critical Control Point (CCP) untuk mengendalikan bahaya
yang mungkin terjadi.
Prinsip 3 :Penetapan batas kritis yang harus dipenuhi untuk menjamin bahwa
setiap CCP terjamin.
Prinsip 4 :Penetapan prosedur untuk memantau CCP dengan cara pengujian
dan pengamatan.
12

Prinsip 5 :Penetapan tindakan koreksi yang harus dilakukan jika terjadi


penyimpangan selama pemantauan.
Prinsip 6 :Penetapan prosedur verifikasi untuk membuktikan bahwa sistem
HACCP telah berhasil.
Prinsip 7 :Pengembangan dokumentasi mengenai semua prosedur dan
pencatatan yang tepat untuk prinsip-prinsip ini dan penerapannya.
Tahapan keenam dan ketujuh dalam prinsip sistem HACCP tidak perlu
dilakukan bagi penyelenggaraan makanan berskala kecil atau menengah,
sedangkan tahap pertama sampai tahap kelima dapat dilakukan dengan cara
sederhana dan mudah dilakukan (Fardiaz 1994).

Higiene dan Sanitasi Penjamah


Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada
usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang
tersebut berada. Sanitasi adalah pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan
fisik manusia yang berpengaruh buruk terhadap kesehatan jasmani, rohani, dan
sosial termasuk pengawasan terhadap makanan (Purnawijayanti 2001).
Proses produksi makanan dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang
meliputi persiapan, pengolahan dan penyajian makanan. Sanitasi meliputi
pengawasan mutu bahan makanan mentah, penyimpanan bahan, suplai air yang
baik, pencegahan kontaminasi makanan dari lingkungan, peralatan dan pekerja
pada semua tahapan proses (Purnawijayanti 2001).
Pegawai yang terlibat dalam penyelenggaraan makanan menjadi salah
satu penyebab terjadinya kontaminasi silang pada makanan. Selain itu, pegawai
dapat terjangkit penyakit melalui bagian tubuhnya, seperti kulit, mulut, rambut,
kuku dan lainnya. Bagian-bagian tersebut jika tidak terawat dengan baik dapat
menjadi tempat yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba.
Mikroba jika sudah berkembang biak di dalam tubuh akan mengancam
kesehatan tubuh. Tubuh yang tidak kuat memerangi mikroba, akan menjadi
lemah dan akhirnya menjadi sakit. Para pegawai yang terinfeksi mikroba dapat
mengkontaminasi makanan. Kontaminasi ini dapat dihindari bila pegawai dilatih
untuk menjaga higiene dan sanitasi personalia dengan baik (Jenie 2000).
Penggunaan Sarung Tangan.
Makanan dapat terkontaminasi oleh pekerja yang terinfeksi mikroba
patogen dengan cara memegangnya. Tangan pegawai yang telah tercemar
mikroorganisme patogen akan memindahkan mikroba tersebut ke pakaian atau
13

serbet yang bersentuhan dengan makanan atau tangan tersebut (Jennie 2000).
Sarung tangan dapat melindungi kontak makanan dengan bakteri pada tangan,
tetapi bakteri akan terakumulasi ketika tangan berkeringat dan berkembang biak
di tangan tertutup oleh sarung tangan untuk periode yang lama.
Penggunaan sarung tangan tidaklah penting dan tidak dianjurkan karena
mudah robek, mahal, dan mudah kotor. Sarung tangan yang robek menyebabkan
risiko kontaminasi yang lebih besar. Cara yang mudah untuk menghindari
kontaminasi dari tangan pegawai adalah dengan tidak memegang makanan
langsung dengan tangan, tetapi menggunakan sendok garpu atau alat pengambil
makanan lainnya (Moehyi 1992).
Kebiasaan Mencuci Tangan.
Mencuci tangan adalah salah satu tindakan sanitasi dengan
membersihkan tangan dan jari jemari dengan menggunakan air ataupun cairan
lainnya oleh penjamah dengan tujuan untuk menjadi bersih. Mencuci tangan
sebaiknya dilakukan sebelum dan setelah bekerja, setelah melepas sarung
tangan, sesudah menangani bahan makanan mentah/kotor atau terkontaminasi,
setelah dari kamar kecil, setelah tangan digunakan untuk menggaruk, batuk atau
bersin dan setelah makan atau merokok. Karyawan yang menangani bahan
makanan harus mencuci tangan sebelum menangani makanan masak, sehingga
tidak ada organisme patogen atau toksin yang dapat hidup didalamnya.
Menurut Jenie (2000), metode mencuci tangan yang baik adalah
menggunakan air hangat yang mengalir, diberi sabun dan digosok selama 15
detik. Selanjutnya dibilas dan dikeringkan dengan handuk kertas. Efektivitas
pencucian tangan dapat ditingkatkan dengan menggunakan antiseptik yang tepat
setelah pencucian.
Penutup Kepala.
Pegawai yang terlibat dalam tahap pengolahan harus menggunakan
penutup kepala. Rambut yang berasal dari kepala kadang-kadang terkontaminasi
oleh bakteri, tetapi bukan merupakan sumber kontaminasi utama mikroba pada
makanan. Kontaminasi dapat terjadi akibat kebiasaan pegawai yang menyisir
dan memegang rambut saat bekerja, sehingga mikroba pada rambut berpindah
ke tangan dan ke makanan yang sedang diolah (Jenie 2000).
Penutup Muka (Masker).
Penutup muka efektif dalam menahan kontaminasi yang berasal dari
udara, namun tidak nyaman dipakai. Mulut dan hidung yang terlalu lama ditutup
14

akan mengakumulasi mikroba pada keringat sekitar mulut dan hidung, sehingga
risiko kontaminasi makanan lebih besar pada pemakaian masker (Jenie 2000).
Apron dan Perhiasan.
Menurut Jenie (2000), pakaian khusus (apron) pegawai sebaiknya terbuat
dari bahan yang bersifat tidak mudah menyerap keringat. Pakaian yang bersifat
menyerap seperti kain wol dapat menimbun mikroorganisme dan bahan
makanan. Penggantian dan pencucian pakaian secara periodik akan mengurangi
risiko kontaminasi. Pakaian kerja yang bersih akan menjamin sanitasi dan
higiene pengolahan makanan, karena tidak terdapat debu atau kotoran yang
melekat pada pakaian yang secara tidak langsung dapat mencemari makanan
(Moehyi 1992).
Sebelum memasuki daerah pengolahan, pegawai harus melepaskan
perhiasan, seperti cincin, kalung, jam tangan atau anting. Sisa-sisa makanan
dapat menempel pada perhiasan sehingga mikroba dapat tumbuh dan berpindah
ke makanan (Sambas 1991). Tangan yang dilengkapi perhiasan akan sulit dicuci
sampai bersih karena adanya lekukan perhiasan dan permukaan kulit disekitar
perhiasan.
Kebiasaan Pegawai.
Kebiasaan pegawai seperti makan, merokok dan mengunyah selama
penanganan makanan akan memberikan peluang perpindahan organisme
dengan tangan dari bibir dan mulut pada makanan. Selain itu, mengunyah
tembakau dan merokok akan mendorong keluarnya ludah yang dapat
mengkontaminasi makanan (Jenie 2000).

Fasilitas Fisik dan Sanitasi


Fasilitas fisik merupakan sarana yang dapat membantu kelancaran
proses produksi bahan makanan menjadi makanan yang siap disajikan,
mencakup bangunan, ruangan, dan perabotan/peralatan yang ada dalam
ruangan. Fardiaz (1999) mengungkapkan fasilitas fisik dalam penyelenggaraan
makanan harus sesuai dengan fungsinya dan memerlukan desain khusus untuk
mencegah kontaminasi makanan, memudahkan pemeliharaan, pembersihan,
desinfektan, dan mencegah kontaminasi udara.
Konstruksi.
Bangunan untuk kegiatan pengolahan makanan harus memenuhi
persyaratan teknis konstruksi bangunan yang berlaku (Depkes 2002). Bangunan
yang digunakan untuk penyelenggaraan makanan harus berlangsung pada lantai
15

yang sama, sehingga dapat meminimalkan jarak antara tempat produksi hingga
tempat penyajian makanan. Desain bangunan berorientasi pada sanitasi,
keselamatan kerja, dan memperhatikan alur lalu lintas barang dan manusia, serta
harus menyesuaikan dengan fungsi alat yang digunakan (Wirakusumah 1999).
Lantai dan dinding.
Menurut Depkes (2002), lantai bangunan untuk penyelenggaraan
makanan permukaannya harus rapat air, halus, kelandaian cukup, tidak licin, dan
mudah dibersihkan. Bahan bangunan yang dianjurkan untuk lantai dapur antara
lain bata keras, teraso ataupun tegel (Subandriyo 1993). Dinding dapur
hendaknya halus, mudah dibersihkan, tahan terhadap cairan dan dapat
memantulkan cahaya yang cukup bagi ruangan (Subandriyo 1993). Dinding
sebaiknya terbuat dari bahan yang kuat, kering, tidak menyerap air, dipasang
rata tanpa celah atau retak. Permukaan dinding yang sering terkena percikan air
hendaknya diberi lapisan porselin agar tidak mudah ditumbuhi jamur atau
kapang. Tinggi porselin menurut Depkes (2002) minimal 2 m dari lantai sebagai
batas jangkauan tangan dalam posisi berdiri dan berwarna terang.
Langit-langit.
Langit-langit harus menutup seluruh atap bangunan dan dilengkapi
dengan peredam suara untuk bagian-bagian tertentu. Langit-langit dibuat dari
bahan asbes, triplek, ataupun bahan kayu lainnya. Warna langit-langit sebaiknya
memberikan pantulan cahaya. Tinggi langit-langit sekurang-kurangnya 2,4 m
diatas lantai. Kontruksi langit-langit harus dapat mencegah akumulasi debu dan
kondensat, tidak mudah terkelupas yang dapat menimbulkan partikel halus
(Depkes 2002).
Pencahayaan dan ventilasi.
Intensitas pencahayaan harus cukup untuk dapat melakukan
pemeriksaan dan pembersihan serta melakukan pekerjaan-pekerjaan secara
efektif. Intensitas pencahayaan sedikitnya 200 lux pada bidang kerja. Ventilasi
bertujuan untuk menjaga kenyamanan suhu dan kelembaban dalam ruangan,
mencegah udara dalam ruangan terlalu panas, mencegah kondensasi uap air
atau lemak pada lantai, dinding atau langit-langit, membuang bau, asap dan
pencemaran lainnya (Depkes 2002).
Tinggi ventilasi sekurang-kurangnya 1 m dari lantai. Ventilasi pada
bangunan tidak boleh terakumulasi debu dan dilengkapi dengan kawat kasa
untuk mencegah masuknya serangga (Subandriyo 1993). Kontrol suhu udara
16

juga dapat dilakukan dengan menggunakan sistem aliran udara (exhauster fan).
Mekanisme kerja exhauster fan harus diatur sehingga udara tidak mengalir dari
tempat kotor ke tempat bersih (Fardiaz 1999).
Pintu dan Jendela.
Seluruh pintu dan jendela pada bangunan yang dipergunakan untuk
pengolahan harus membuka ke arah luar. Pintu ruangan pengolahan harus dapat
menutup sendiri. Hal ini untuk memudahkan penyelamatan diri pada waktu
keadaan darurat (Depkes 2002).
Tempat Pencucian Peralatan dan cuci tangan.
Tempat pencucian terbuat dari bahan yang kuat, tidak berkarat, dan
mudah dibersihkan. Bak pencucian peralatan sedikitnya terdiri dari 3 bak pencuci
yaitu bak untuk merendam, bak menyabuni, dan bak untuk membilas (Depkes
2002). Tempat cuci tangan terpisah dari tempat cuci peralatan maupun bahan
makanan yang dilengkapi dengan kran, saluran pembuangan tertutup, bak
penampungan, sabun dan pengering. Jumlah tempat cuci tangan disesuaikan
dengan banyaknya karyawan. Sebuah tempat cuci tangan dipergunakan
maksimal 10 orang, dan terletak sedekat mungkin dengan tempat kerja (Depkes
2002).
Tempat Sampah.
Tempat sampah dibbuat dari bahan yang kuat, kedap air, dan tidak
mudah berkarat. Mempunyai tutup dan memakai kantong plastik khusus untuk
sisa bahan makanan dan makanan jadi yang cepat membusuk. Sampah yang
telah penuh segera dibuang dalam waktu 1x24 jam (Depkes 2002).

Pengetahuan Higiene Sanitasi


Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dimana sebagian besar dari
pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui indera mata dan telinga.
Pengetahuan sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak
disadari pengetahuan (Notoatmodjo 1993). Menurut Soekanto (1981),
pengetahuan merupakan kesan dalam pikiran manusia sebagai hasil
penggunaan panca indera.
Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku
seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan
mengenai objek tertentu. Pengetahuan higiene sanitasi yang memadai dapat
17

menimbulkan kecenderungan untuk menyetujui praktek-praktek yang menunjang


keamanan pangan. Pengetahuan diperoleh oleh seseorang melalui pendidikan
formal, informal dan non formal (Gaston 1999).
Pengetahuan higiene sanitasi yang diatur oleh Menteri Kesehatan no.
1096/Menkes/PER/VI/2011 bagi penjamah makanan terdiri dari enam pokok
bahasan, yaitu 1) bahan pencemar terhadap makanan yang meliputi rantai
perjalanan makanan, perkembangan bakteri pada makanan, cara bakteri
menyebabkan penyakit pada manusia, mengenal pencemar lain; 2) penyakit
bawaan makanan meliputi penyebab oleh mikroba, bahan kimia, zat toksin dan
zat alergi; 3) prinsip higiene sanitasi makanan yang meliputi sumber dan
penyebaran pencemar makanan, pemilihan, penyimpanan, pengolahan,
pengangkutan, penyajian, dan konsumsi, aspek higiene sanitasi makanan,
pegendalian waktu dan suhu makanan; 4) pencucian dan penyimpanan
peralatan pengolahan makanan yang meliputi peralatan masak memasak,
peralatan makan dan minum, sarana dan cara pencucian, bahan pencuci,
penyimpanan peralatan; 5) pemeliharaan kebersihan lingkungan meliputi air
bersih, pembuangan limbah dan sampah, pengendalian serangga dan tikus,
pemeliharaan dan pembersihan ruangan, fasilitas sanitasi; 6) higiene perorangan
yang meliputi sumber pencemar dari tubuh, pengamatan kesehatan,
pengetahuan, sikap dan perilaku sehat, serta alat pelindung diri/alat pelindung
pencemaran.
18

KERANGKA PEMIKIRAN

Kegiatan PGRS dilakukan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat


rumah sakit yaitu pasien rawat inap, pasien rawat jalan dan karyawan rumah
sakit. Peranan penyelenggaraan makanan di rumah sakit sangat penting.
Makanan enteral merupakan salah satu teknik pemberian makanan yang
diselenggarakan instalasi gizi di rumah sakit untuk pasien yang tidak dapat
makan secara oral dengan keadaan saluran gastrointestinal yang berfungsi
dengan baik. Makanan enteral diklasifikasikan menjadi dua yaitu hospital made
dan commercial made. Makanan enteral hospital made yang karakteristiknya
dibuat sendiri umumnya merupakan makanan yang mudah rusak. Kerusakan
oleh mikroorganisme menyebabkan makanan tersebut kurang aman untuk
dikonsumsi terutama jika terkontaminasi oleh mikroba patogen. Oleh karena itu,
pengendalian mutu makanan sangat penting dilakukan karena konsumen yang
dilayani adalah pasien yang relative lebih rentan terhadap penyakit yang
ditularkan melalui makanan.
Pelaksanaan pengendalian mutu pada penyelenggaraan makanan
dirumah sakit terutama dilakukan berdasarkan alur penyelenggaraan makanan
mulai dari pengadaan makanan, pengolahan, pewadahan hingga distribusi.
Faktor lain yang harus diperhatikan adalah fasilitas fisik dan sanitasi serta
perilaku higiene sanitasi penjamah. Perilaku higiene dan sanitasi penjamah
dipengaruhi oleh pengetahuan. Pengetahuan merupakan kesan yang ada dalam
pikiran manusia, dimana kesan tersebut merupakan hasil dari penggunaan
pancainderanya (Soekanto 2002). Pada proses penanganan bahan, pengolahan
dan penyajian makanan, penjamah makanan memiliki peranan yang penting.
Oleh karena itu, penjamah makanan seharusnya memiliki pengetahuan dan
keterampilan dalam praktek sanitasi yang baik dalam pengolahan dan penyajian
makanan hingga makanan yang disajikan dapat terjamin keamanannya. Dengan
dipenuhinya syarat-syarat tersebut diharapkan akan menghasilkan makanan
enteral yang berkualitas dan menjamin keamanan pangan.
19

Penyelenggaraan Makanan

Makanan Enteral

Hospital made Commercial made

Pengadaan Penerimaan Penyimpanan Persiapan Pewadahan


Bahan Bahan Bahan dan dan
Makanan Makanan Makanan Pengolahan Distribusi

Pengendalian
Fasilitas Fisik Perilaku Pengetahuan
Mutu
dan Sanitasi (HACCP) Sanitasi Sanitasi
Higiene Higiene
Penjamah Penjamah

Keamanan
Pangan

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian


Keterangan :

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti


20

METODE PENELITIAN

Desain, Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini menggunakan desain penelitian Cross sectional study, yaitu
data dikumpulkan pada satu waktu. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan
Oktober sampai November 2011 yang berlokasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit
Dustira Kota Cimahi. Rumah Sakit Dustira adalah salah satu rumah sakit yang
menerapkan pembuatan makanan enteral secara hospital made dan merupakan
rumah sakit rujukan bagi anggota TNI yang sakit.

Penarikan Sampel
Sampel dalam penelitian ini terdiri dari tiga, yaitu penjamah makanan
enteral, bahan pangan untuk membuat makanan enteral, dan jenis makanan
enteral terpilih. Penarikan contoh dilakukan secara purposive dengan kriteria
inklusi sebagai berikut : 1) Sampel penjamah makanan enteral yaitu penjamah
makanan yang terlibat dalam penyelenggaraan makanan enteral pada tahap
pengadaan bahan makanan hingga pendistribusian di Instalasi Gizi, meliputi
petugas di tahap pengadaan bahan makanan, petugas penerimaan bahan
makanan, petugas penyimpanan bahan makanan (gudang), petugas persiapan,
petugas pengolahan, petugas pewadahan dan petugas pendistribusian. 2)
Sampel bahan pangan diambil dengan kriteria inklusi yaitu bahan pangan yang
biasa digunakan untuk membuat makanan enteral meliputi tepung beras, tepung
susu, wortel, labu siam, bayam, melon, pepaya, semangka, gula, telur, dan
minyak atau margarin. 3) Sampel makanan enteral dipilih menggunakan kriteria
makanan enteral yang paling sering dan paling banyak disajikan kepada pasien
serta makanan enteral yang terbuat dari bahan yang berisiko tinggi
terkontaminasi mikroba seperti makanan enteral yang mengandung bahan
makanan telur dan susu.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner dan observasi
langsung. Data primer meliputi: 1) data karakteristik umum sampel penjamah
yang meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan, lama bekerja dan pengalaman
pelatihan sanitasi higiene, 2) data pengetahuan sampel penjamah makanan
enteral mengenai higiene sanitasi, 3) data perilaku higiene sanitasi penjamah
makanan enteral, 4) data fasilitas fisik dan sanitasi ruang penyelenggaraan
21

makanan enteral, 5) data pelaksanaan higiene sanitasi yang meliputi data


pelaksanaan higiene sanitasi pada tiap tahapan produksi, 6) hasil pemeriksaan
angka kuman patogen pada sampel makanan enteral, dan 7) data penerapan
HACCP pada tahapan produksi pembuatan makanan enteral.
Data karakteristik umum sampel penjamah makanan enteral meliputi
nama, jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, lama bekerja, dan pengalaman
mengikuti pelatihan sanitasi higiene diperoleh melalui wawancara menggunakan
kuesioner. Pengetahuan sampel penjamah, yang mengacu pada Peraturan
Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011, diperoleh melalui wawancara
menggunakan kuesioner, dengan pertanyaan mengenai bahan pencemar
makanan, penyakit bawaan makanan, prinsip higiene sanitasi makanan,
pencucian dan penyimpanan peralatan pengolahan makanan, pemeliharaan
kebersihan lingkungan, dan higiene perorangan .
Perilaku sanitasi higiene penjamah yang diteliti meliputi penggunaan
sarung tangan, kebiasaan mencuci tangan, penggunaan penutup kepala dan
mulut, penggunaan apron, serta kebiasaan penjamah saat mengolah seperti
mengobrol, menggunakan kosmetik dan menggunakan perhiasan diperoleh
dengan metode observasi langsung. Data fasilitas fisik dan sanitasi ruangan
penyelenggaraan makanan enteral diperoleh melalui metode observasi langsung
yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/
PER/VI/2011. Fasilitas fisik dan sanitasi yang diamati adalah kondisi konstruksi
bangunan, lantai, dinding, langit-langit, pencahayaan, ventilasi, pintu dan jendela,
tempat pencucian peralatan, tempat cuci tangan, dan tempat sampah.
Data pelaksanaan higiene sanitasi makanan enteral pada tiap tahapan
produksi, meliputi : 1) pengadaan bahan makanan, 2) penerimaan bahan
makanan, 3) penyimpanan bahan makanan, 4) pengolahan yang terdiri dari
persiapan dan pemasakan, dan 5) penyajian yang terdiri dari pewadahan dan
pendistribusian. Data tersebut dikumpulkan melalui observasi menggunakan
kuesioner yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/
PER/VI/2011.
Data hasil pemeriksaan mikroba pada makanan enteral diperoleh dengan
menghitung angka kuman patogen pada cawan yang mengandung makanan
enteral. Data penerapan HACCP diperoleh dengan cara observasi langsung
tahapan produksi pembuatan makanan enteral. Data tersebut dikumpulkan
22

dengan membuat HACCP plan yang meliputi CCP, risiko bahaya, cara
pengendalian, target, batas kritis, tindakan pemantauan, dan tindakan koreksi.
Data sekunder meliputi data hasil pemeriksaan kualitas air dan profil
umum Rumah Sakit Dustira yang diperoleh dari buku laporan tahunan Rumah
Sakit tahun 2011. Variabel, data dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1 Variabel, data dan cara pengumpulan data
No. Variabel Data Cara Pengumpulan
1. Gambaran umum Sejarah, struktur organisasi, jenis Data Sekunder dan
lokasi pelayanan observasi
2. Pengetahuan higiene Pengertian tentang bahan pencemar Wawancara menggunakan
sanitasi makanan, penyakit bawaan makanan, kuesioner yang mengacu
prinsip higiene sanitasi makanan, pada Peraturan Menteri
pencucian dan penyimpanan peralatan Kesehatan no.
pengolahan makanan, pemeliharaan 1096/Menkes/PER/VI/2011
kebersihan lingkungan, higiene
perorangan
3. Perilaku higiene Penggunaan sarung tangan, kebiasaan Observasi langsung
sanitasi penjamah mencuci tangan, penggunaan penutup
kepala dan mulut, penggunaan apron,
dan kebiasaan penjamah saat
pengolahan seperti mengobrol,
menggunakan kosmetik dan
penggunaan perhiasan.
4. Fasilitas fisik dan Keadaan konstruksi, lantai, dinding, Observasi menggunakan
sanitasi langit-langit, pencahayaan, ventilasi, kuesioner yang mengacu
pintu dan jendela, tempat pencucian pada Peraturan Menteri
peralatan, tempat cuci tangan, dan Kesehatan no.
tempat sampah. 1096/Menkes/PER/VI/2011
5. Pelaksanaan Pelaksanaan higiene sanitasi pada Observasi menggunakan
higiene sanitasi pada tahap pengadaan bahan makanan, kuesioner yang mengacu
tiap tahapan penerimaan bahan makanan, pada Peraturan Menteri
produksi penyimpanan bahan makanan, Kesehatan no.
pengolahan yang terdiri dari persiapan 1096/Menkes/PER/VI/2011
dan pemasakan, serta penyajian yang
terdiri dari pewadahan dan
pendistribusian.
6. Angka kuman Jumlah koloni mikroba pada cawan Standard plate count
patogen pada (SPC)
makanan enteral
7. Penerapan HACCP CCP, risiko bahaya, cara pengendalian, Observasi langsung
target, batas kritis, tindakan
pemantauan, dan tindakan koreksi.
8. Pemeriksaan air Mikrobiologi (total coliform), fisik (bau, Data Sekunder
kekeruhan, warna, zat terlarut), kimiawi
(Fe, F, CaCo3, Cl, Mn, Nitrat, nitrit, pH,
S, Deterjen, KMnO4, sisa klor)

Pengolahan dan Analisis Data


Data yang diperoleh dari proses wawancara menggunakan kuesioner dan
observasi diolah dan dianalisis secara deskriptif. Pengolahan data dilakukan
menggunakan program Microsoft Excel 2007. Variabel dan kategori pengukuran
dapat dilihat pada Tabel 2.
23

Tabel 2 Variabel dan kategori pengukuran


Data Kategori Pengukuran
Jenis kelamin 1. Laki-laki
2. Perempuan
Umur 1. 19-29 tahun
(Hardinsyah & Tambunan 2004) 2. 30-49 tahun
3. 50-64 tahun
Tingkat pendidikan 1. SD
2. SMP
3. SMA & sederajat
4. PT
Lama bekerja 1. 2-6 tahun
(Sugiono 2003) 2. 7-11 tahun
3. 12-16 tahun
4. 17-21 tahun
Pengalaman pelatihan sanitasi higiene 1. Belum pernah
2. Pernah
Pengetahuan higiene sanitasi 1. Kurang (<60%)
(Khomsan 2000) 2. Sedang (60% - 80%)
3. Tinggi (>80%)
Perilaku higiene sanitasi 1. Tidak melakukan
2. Melakukan
Fasilitas fisik dan sanitasi 1. Golongan A1 jika 65-70%
(Peraturan Menteri Kesehatan no. 2. Golongan A2 jika 70-74%
1096/Menkes/PER/VI/2011) 3. Golongan A3 jika 74-83%
4. Golongan B jika 83-92%
5. Golongan C jika 92-100%
Pelaksanaan higiene sanitasi pada tiap 1. Kurang memenuhi syarat (<90,2%)
tahapan produksi 2. Memenuhi syarat (≥ 90,2%)
(Peraturan Menteri Kesehatan no.
1096/Menkes/PER/VI/2011)
Angka kuman patogen pada makanan 1. Tidak aman jika jumlah koloni
entera positif (+)
(Peraturan Menteri Kesehatan no. 2. Aman jika jumlah koloni negatif (-)
1096/Menkes/PER/VI/2011)
HACCP 1. CCP
(Codex Alimentarius Commision) 2. Risiko bahaya
3. Cara pengendalian
4. Batas kritis
5. Tindakan pemantauan
6. Tindakan koreksi.
Data tingkat pengetahuan penjamah terdiri dari enam materi pokok yang
mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011
yang kemudian dikembangkan menjadi 24 pertanyaan yang diajukan melalui
kuesioner. Setiap pertanyaan diberi skor 1 untuk jawaban benar dan skor 0 untuk
jawaban salah. Selanjutnya dihitung jumlah skor setiap contoh dan skor rata-rata
serta dilihat persentase masing-masing aspek dari pengetahuan yang paling
tinggi dijawab dengan benar. Skor pengetahuan kemudian dikategorikan
berdasarkan kategori Khomsan (2000) yaitu baik jika skor >80%, sedang jika
skor 60-80%, dan kurang jika skor <60%.
24

Data perilaku sanitasi higiene penjamah yang meliputi penggunaan


sarung tangan, kebiasaan mencuci tangan, penggunaan penutup kepala dan
mulut, penggunaan sepatu khusus, penggunaan pakaian dan perhiasan, serta
kebiasaan penjamah dianalisis secara deskriptif kualitatif dan dilihat distribusi
frekuensinya. Data fasilitas fisik dan sanitasi ruangan penyelenggaraan makanan
enteral diolah secara deskriptif kualitatif yang mengacu pada Peraturan Menteri
Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011. Penilaian dilakukan menggunakan
variabel-variabel pengamatan yang diberi bobot. Tingkat mutu pelaksanaan
higiene dan sanitasi dihitung berdasarkan presentase dengan menggunakan
rumus:

Tingkat Mutu Pelaksanaan = Jumlah bobot nilai yang diperoleh X 100%


Sanitasi dan Higiene Jumlah bobot nilai tertinggi

Presentase yang diperoleh akan dinilai berdasarkan kategori. Data yang


telah dikategorikan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Klasifikasi
golongan berdasarkan pemeriksaan fasilitas fisik dan sanitasi disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi golongan berdasarkan pemeriksaan fasilitas fisik dan sanitasi
Golongan Skor
A1 65% - 70%
A2 70% - 74%
A3 74% - 83%
B 83% - 92%
C 92% - 100%
Data higiene sanitasi makanan pada tiap tahapan produksi diolah
berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan no.
1096/Menkes/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga dengan
memberikan skor penilaian. Penilaian dilakukan dengan menggunakan variabel-
variabel pengamatan yang diberi bobot. Tingkat mutu pelaksanaan sanitasi dan
higiene dihitung berdasarkan presentase dengan menggunakan rumus:

Tingkat Mutu Pelaksanaan = Jumlah bobot nilai yang diperoleh X 100%


Sanitasi dan Higiene Jumlah bobot nilai tertinggi

Presentase yang diperoleh akan dinilai berdasarkan kategori. Data yang


telah dikategorikan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Penilaian
higiene sanitasi untuk golongan rumah sakit termasuk kedalam golongan B,
dimana nilai minimum untuk memenuhi syarat adalah 90.2%. Kategori tingkat
mutu pelaksanaan higiene sanitasi disajikan pada Tabel 4.
25

Tabel 4 Tingkat mutu pelaksanaan higiene sanitasi makanan enteral di Instalasi


Gizi Rumah Sakit Dustira

Persentase Tingkat Mutu


<90.2% Belum memenuhi syarat
≥90.2% Memenuhi syarat

Pemberian bobot didasarkan pada titik rawan (kritis) dalam menimbulkan


kemungkinan kerusakan makanan yang mengacu pada Peraturan Menteri
Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011, sebagai berikut :
1. Nilai 0 dalam kisaran nilai 0-1 diberikan jika terdapat <50% persyaratan yang
dipenuhi, nilai 1 dari kisaran nilai 0-1 jika terdapat ≥50% variabel memenuhi
persyaratan.
2. Nilai 0 dalam kisaran nilai 0-2 diberikan jika tidak terdapat satu pun
persyaratan yang dipenuhi, nilai 1 dari kisaran nilai 0-2 diberikan jika
persyaratan yang dipenuhi adalah 50%, nilai 2 dari r kisaran nilai 0-2 diberikan
jika keseluruhan variabel memenuhi persyaratan.
3. Nilai 0 dalam kisaran nilai 0-3 diberikan jika tidak terdapat satu pun
persyaratan yang dipenuhi, nilai 1 dari kisaran nilai 0-3 diberikan jika
persyaratan yang dipenuhi adalah 33.3%, nilai 2 dari kisaran nilai 0-3
diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 66.6%, nilai 3 dari kisaran
nilai 0-3 diberikan jika keseluruhan variabel memenuhi persyaratan.
4. Nilai 0 dalam kisaran nilai 0-4 diberikan jika tidak terdapat satu pun
persyaratan yang dipenuhi, nilai 1 dari kisaran nilai 0-4 diberikan jika
persyaratan yang dipenuhi adalah 25%, nilai 2 dari kisaran nilai 0-4 diberikan
jika persyaratan yang dipenuhi adalah 50%, nilai 3 dari kisaran nilai 0-4
diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 75%, nilai 4 dari kisaran nilai
0-4 diberikan jika keseluruhan variabel memenuhi persyaratan.
5. Nilai 0 dalam kisaran nilai 0-5 diberikan jika tidak terdapat satu pun
persyaratan yang dipenuhi, nilai 1 dari kisaran nilai 0-5 diberikan jika
persyaratan yang dipenuhi adalah 20%, nilai 2 dari kisaran nilai 0-5 diberikan
jika persyaratan yang dipenuhi adalah 40%, nilai 3 dari kisaran nilai 0-5
diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 60%, nilai 4 dari kisaran nilai
0-5 diberikan jika persyaratan yang dipenuhi adalah 80%, nilai 5 dari kisaran
nilai 0-5 diberikan jika keseluruhan variabel memenuhi persyaratan.
Data angka kuman patogen dalam penelitian ini diolah secara manual
dengan menghitung jumlah koloni yang terdapat dalam cawan petri. Dari data
tersebut lalu dipersentasekan dengan kategori aman dan tidak aman yang
26

dikategorikan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/


PER/VI/2011 dan diolah secara deskriptif kualitatif. Kategori memenuhi syarat
bila jumlah Salmonella, Shigella dan Escherichia coli negative (-) sedangkan
kategori tidak memenuhi syarat bila Salmonella, Shigella dan Escherichia coli
positif (+).
Hasil data diaplikasikan dalam konsep HACCP Plan. HACCP Plan yang
disusun terdiri dari CCP, risiko bahaya, tindakan pencegahan, batas kritis,
tindakan pemantauan, dan tindakan koreksi.

Batasan Istilah
Makanan enteral adalah makanan cair yang diberikan kepada pasien yang
saluran pencernaannya masih berfungsi dengan baik melalui jalur hidung-
lambung (nasogastric route) atau hidung-usus (nasoduodenal route).
HACCP adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya
masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap
penanganan dan proses produksi.
Pengendalian mutu adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga bahan pangan
hingga menjadi makanan enteral tetap baik pada setiap tahapan produksi
meliputi tahap pengadaan bahan pangan, penerimaan bahan pangan,
penyimpanan bahan pangan, persiapan dan pengolahan bahan pangan,
pewadahan serta pendistribusian.
Higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor risiko terjadinya
kontaminasi terhadap makanan, baik yang berasal dari bahan makanan,
orang yang mengolah, tempat pengolahan dan peralatan yang digunakan
untuk mengolah agar aman dikonsumsi.
27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Rumah Sakit


Rumah Sakit Dustira merupakan rumah sakit rujukan tertinggi di wilayah
Kodam III Siliwangi. Rumah sakit menempati areal tanah seluas 14 Ha dengan
luas bangunan 54.481 m2. Rumah Sakit Dustira termasuk ke dalam tipe
pelayanan rumah sakit kelas B yang memiliki 17 ruang rawat inap dan 502
tempat tidur dengan kelas perawatan VIP, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Selain
itu, Rumah Sakit Dustira menyediakan pelayanan rawat jalan yang terdiri dari 17
poliklinik yang dibuka umum setiap hari. Pelayanan rawat inap ditujukan bagi
pasien rujukan dari gawat darurat maupun unit rawat jalan. Rumah Sakit Dustira
juga dilengkapi ruang UGD, ICU, kamar bedah, unit hemodialisa dan endoscopy.
Pelayanan yang diberikan Rumah Sakit Dustira didukung oleh beberapa instalasi
meliputi 1) Instalasi Rehab Medik, 2) Instalasi Radiologi, 3) Instalasi
Farmasi/Apotek, 4) Instalasi Penunjang Perawatan (Gizi), 5) Instalasi
Laboratorium Patologi Klinik, 6) Instalasi Pendidikan, dan 7) Instalasi
Laboratorium Forensik dan Kedokteran Kehakiman

Gambaran Umum Pelayanan Gizi di Rumah Sakit


Pelayanan gizi rumah sakit (PGRS) adalah salah satu komponen sistem
pelayanan di rumah sakit dan merupakan kegiatan pelayanan gizi untuk
memenuhi kebutuhan gizi masyarakat rumah sakit yaitu pasien rawat inap,
pasien rawat jalan dan karyawan rumah sakit. Pelayanan gizi bagi pasien rawat
inap merupakan terapi diit, sehingga makanan yang disajikan harus dapat
memenuhi kebutuhan gizi dan membantu proses penyembuhan pasien.
Sedangkan pelayanan gizi bagi pegawai berupa pemberian makanan yang dapat
memberikan tambahan zat gizi untuk meningkatkan kesehatan pegawai sehingga
pegawai dapat bekerja dengan baik. Instalasi Gizi di Rumah Sakit Dustira
merupakan instalasi penunjang perawatan (Jangwat).
Struktur Organisasi
Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira dikepalai oleh seorang kepala instalasi
yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Rumah Sakit. Kepala
Instalasi Gizi dibantu oleh lima orang penanggungjawab yang membawahi unit
produksi dan distribusi makanan, unit rawat inap, unit rawat jalan, unit penelitian
dan pengembangan (Litbang) dan bagian administrasi. Setiap penanggungjawab
28

membawahi pegawai yang bertugas di sub unit gizi. Struktur organisai sub unit
gizi dapat dilihat pada Lampiran 1.
Ketenagakerjaan
Pola ketenagaan Instalasi Gizi dalam melaksanakan tugasnya dipimpin
oleh seorang Kepala Instalasi Gizi. Tenaga kerja di Instalasi Gizi sebanyak 42
orang dengan perincian sebagai berikut : 3 orang petugas gudang, 2 orang
petugas buah, 4 orang pemasak snack, 13 orang pemasak menu utama, 5 orang
pemasak makanan diet dan makanan enteral, 5 orang pemasak makanan
pegawai, 9 orang ahli gizi, dan 1 orang petugas administrasi.
Sarana dan Prasarana
Instalasi Gizi terletak di bagian belakang gedung Rumah Sakit Dustira.
Pemilihan lokasi ini memudahkan proses produksi terutama saat penerimaan dan
pendistribusian makanan ke pasien. Selain itu, tidak mengganggu pasien dan
unit lainnya dengan suara-suara dan aroma makanan saat proses produksi
(Keitser, 1990). Ruang Instalasi Gizi terbagi menjadi beberapa ruangan yaitu
ruang penerimaan, gudang, ruang persiapan, ruang pengolahan, ruang
penyajian, ruang administrasi, ruang karyawan, dan toilet. Denah Instalasi Gizi
dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambaran Umum Jenis Makanan
Secara umum jenis makanan yang dilayani di Instalasi Gizi terdiri dari
makanan pegawai dan makanan pasien yaitu makanan makanan biasa,
makanan lunak, makanan saring, makanan cair, dan makanan diit. Menu diit
yang diberikan berupa menu diit Rendah Garam (RG), Diabetes Mellitus (DM),
Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP), Rendah Purin (RP) dan Rendah Protein.

Karakteristik Sampel Penjamah Makanan Enteral


Sampel penjamah dalam penelitian ini adalah penjamah yang menangani
proses pembuatan makanan enteral mulai dari tahap pengadaan bahan
makanan, penerimaan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan,
persiapan, pengolahan makanan enteral, pewadahan dan pengemasan serta
distribusi. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik penjamah makanan enteral
di Instalasi Gizi RS Dustira dapat dilihat pada Tabel 5.
Sampel penjamah makanan terdiri dari tiga orang laki-laki (30.0%) dan
tujuh orang perempuan (70.0%). Berdasarkan Tabel 5, lebih dari separuh sampel
penjamah (80.0%) berada pada usia 30-49 tahun dan sisanya (20.0%) berada
29

Tabel 5 Sebaran sampel berdasarkan karakteristik penjamah makanan enteral di


Instalasi Gizi RS Dustira
No Karakteristik Penjamah Jumlah
n %
1 Jenis Kelamin
a. Laki-laki 3 30.0
b. Perempuan 7 70.0
Jumlah 10 100.0
2 Umur (tahun)
a. 19-29 2 20.0
b. 30-49 8 80.0
c. 50-64 0 0.0
10 100.0
3 Pendidikan Terakhir
a. SD 1 10.0
b. SMP 4 40.0
c. SMA/SMK 5 50.0
Jumlah 10 100.0
4 Lama bekerja (tahun)
a. 2-6 2 20.0
b. 7-11 3 30.0
c. 12-16 4 40.0
d. 17-21 tahun 1 10.0
Jumlah 10 100.0
5 Pelatihan Sanitasi Higiene
a. Pernah 0 0.0
b. Belum pernah 10 100.0
Jumlah 10 100.0
pada usia 19-29 tahun. Usia termuda sampel penjamah adalah 26 tahun dan
tertua yaitu 47 tahun dengan rata-rata umur sekitar 35 tahun.
Tingkat pendidikan sampel penjamah makanan enteral dibagi menjadi
SD, SMP, SMA/SMK dan akademi/PT. Separuh sampel penjamah makanan
enteral (50.0%) memiliki tingkat pendidikan SMA/SMK, dan sebagian lainnya
adalah SD (10.0%) dan SMP (40.0%). Penjamah makanan seharusnya memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar mampu menangani pangan
secara higienis (Hartono 2006).
Lama bekerja dikategorikan menurut Sugiyono (2009) menjadi empat
berdasarkan interval kelas, yaitu 2-6 tahun, 7-11 tahun, 12-16 tahun, dan 17-21
tahun. Berdasarkan Tabel 5, sebanyak 25% penjamah makanan enteral bekerja
selama antara rentang 2-6 tahun dan 12-16 tahun. Sebanyak 37.0% bekerja
selama 7-11 tahun dan sisanya (13.0%) bekerja selama 17-21 tahun. Lama
bekerja tersingkat sampel penjamah adalah dua tahun dan terlama adalah 18
tahun.
Penjamah makanan enteral di instalasi gizi belum pernah diberikan
pelatihan mengenai higiene sanitasi. Pelatihan higiene sanitasi hanya diberikan
30

pada ahli gizi saja. Namun, ahli gizi memberikan pengetahuan yang mereka
dapat dari pelatihan kepada para penjamah makanan enteral sehingga secara
tidak langsung hal tersebut dapat meningkatkan pengetahuan mengenai higiene
sanitasi penjamah makanan enteral. Gunarsa S dan Gunarsa YS (2008)
menyatakan bahwa keterlibatan seseorang dalam proses pendidikan atau tingkat
pendidikan yang dicapainya akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola,
kerangka berpikir, persepsi dan pemahaman seseorang akan sesuatu. Selain itu,
Hartono (2006) menambahkan pendidikan bagi penjamah makanan mengenai
cara-cara penanganan makanan yang higienis merupakan unsur yang sangat
menentukan di dalam mencegah penyakit bawaan makanan.

Pengetahuan penjamah
Menurut Soekanto (2002), pengetahuan merupakan kesan dalam pikiran
manusia sebagai hasil penggunaan panca indera. Pengetahuan diperoleh oleh
seseorang melalui pendidikan formal dan informal. Pengetahuan higiene sanitasi
penjamah berdasarkan jawaban benar terhadap pertanyaan higiene sanitasi
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Sebaran sampel penjamah makanan enteral berdasarkan jawaban benar
terhadap pertanyaan higiene sanitasi
No. Materi Pengetahuan Persentase (%) Kategori
1. Bahan pencemar makanan 75.0 Sedang
2. Penyakit bawaan makanan 95.0 Tinggi
3. Prinsip higiene sanitasi makanan 77.5 Sedang
4. Pencucian dan penyimpanan peralatan 90.0 Tinggi
pengolahan makanan
5. Pemeliharaan kebersihan lingkungan 92.5 Tinggi
6. Higiene perorangan 90.0 Tinggi

Berdasarkan Tabel 6, sebanyak 75.0% penjamah makanan enteral


mampu menjawab dengan benar pertanyaan mengenai bahan pencemar
makanan. Makanan dapat menjadi tidak aman bila terdapat kontaminasi pada
makanan tersebut. Menurut Gaman dan Sherrington (1993), terdapat tiga
penyebab pangan menjadi tidak aman yaitu keracunan karena kimiawi
(pestisida), fisik (rambut dan batu), dan biologi (bakteri, virus, jamur). Pentingnya
penjamah mengetahui bahan pencemar makanan dengan tujuan untuk
meminimalisasi kontaminasi makanan.
Pada pertanyaan-pertanyaan mengenai penyakit bawaan makanan,
penjamah makanan enteral sebanyak 95.0% mampu menjawab dengan benar.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penjamah makanan enteral
31

telah memahami tentang penyakit bawaan makanan. Bahan makanan yang telah
terkontaminasi akan menyebabkan perubahan rasa, warna, aroma, dan tekstur.
Penjamah makanan enteral harus mengetahui keadaan bahan makanan yang
baik dan terkontaminasi untuk meningkatkan kualitas mutu makanan, karena
konsumen yang dilayani adalah pasien yang tergolong dalam kelompok rentan
dan lebih berisiko untuk terjangkit infeksi dan intoksikasi bawaan makanan.
Penjamah makanan enteral sebanyak 77.5% mampu menjawab dengan
benar dan memahami pertanyaan mengenai prinsip higiene sanitasi makanan.
Prinsip sanitasi dan higiene makanan sangat penting untuk diterapkan dengan
tujuan untuk menghindari makanan menjadi tidak aman. Menurut Depkes (2004),
prinsip higiene sanitasi makanan adalah pengendalian terhadap empat factor
yaitu, tempat, peralatan, orang dan bahan makanan. Selain itu terdapat empat
prinsip sanitasi makanan yaitu : 1) pemilihan bahan makanan, 2) penyimpanan
bahan makanan, 3) pengolahan makanan, dan 4) penyimpanan makanan masak.
Berdasarkan Tabel 6, sebanyak 90.0% penjamah makanan enteral
mampu menjawab dengan benar pertanyaan mengenai pencucian dan
penyimpanan peralatan pengolahan makanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sebagian besar penjamah makanan enteral mampu memahami pencucian dan
penyimpanan peralatan pengolahan makanan yang baik dan benar. Bila
penjamah tidak melakukan pencucian dan penyimpanan peralatan dengan
benar, peralatan tersebut dapat menjadi sumber pencemar makanan.
Penyimpanan peralatan yang telah dibersihkan sebaiknya disimpan di tempat
yang tepat untuk menghindari pencemaran, karena peralatan yang dipakai untuk
mengolah makanan bila penanganannya tidak sesuai dapat menjadi sumber
pencemaran makanan (Moehyi 1992).
Sebanyak 92.5% penjamah makanan enteral dapat menjawab dengan
benar pertanyaan-pertanyaan mengenai pemeliharaan kebersihan lingkungan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penjamah memahami
pentingnya pemeliharaan kebersihan lingkungan. Pemeliharaan kebersihan
lingkungan meliputi frekuensi pembuangan sampah, fasilitas sanitasi yang harus
dimiliki tempat penyelnggaraan makanan, upaya pengendalian hama, dan
keadaan air bersih. Pentingnya mengetahui tentang pemeliharaan kebersihan
lingkungan yaitu untuk mendukung terciptanya lingkungan yang bersih dan aman
dalam penyelenggaraan produksi makanan.
32

Pada pertanyaan-pertanyaan mengenai higiene perorangan, sebanyak


90.0% penjamah makanan enteral mampu menjawab dengan benar. Hal
tersebut menunjukkan bahwa penjamah makanan enteral memahami pentingnya
kebersihan diri, penggunaan baju khusus, penutup kepala dan tidak memakai
perhiasan, serta kebiasaan yang tidak boleh dilakukan saat sedang mengolah
makanan. Pentingnya personal higiene adalah untuk menghindari penularan
penyakit yang berasal dari tubuh penjamah. Menurut Jennie (2000), penjamah
yang terlibat dalam penyelenggaraan makanan menjadi salah satu penyebab
terjadinya kontaminasi silang pada makanan.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada penjamah makanan
enteral kemudian diberi skor dan dikelompokkan menjadi ketegori rendah,
sedang dan tinggi. Pengkategorian pengetahuan ini didasarkan pada Khomsan
(2000), yakni baik atau tinggi dengan skor >80.0%, sedang dengan skor 60.0%
hingga 80.0%, dan kurang dengan skor <60.0%. Tingkat pengetahuan higiene
sanitasi penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira disajikan pada
Tabel 7.
Tabel 7 Tingkat pengetahuan higiene sanitasi penjamah makanan enteral di
Instalasi Gizi RS Dustira
Tingkat pengetahuan Jumlah
n %
Kurang (<60.0%) 0 0.0
Sedang (60.0%-80.0%) 1 10.0
Baik (>80.0%) 9 90.0
Total 10 100.0

Berdasarkan Tabel 7, sebagian besar (90.0%) sampel penjamah


makanan enteral sudah memiliki pengetahuan yang baik dan hanya 10.0% yang
memiliki tingkat pengetahuan sedang. Menurut Soekanto (2002) tingkat
pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang kerana
berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan mengenai objek
tertentu.
Perilaku Higiene Sanitasi Penjamah
Pegawai yang terlibat dalam penyelenggaraan makanan dapat menjadi
salah satu faktor risiko penyebab terjadinya kontaminasi silang pada makanan.
Pegawai dapat terjangkit penyakit melalui bagian tubuhnya, seperti: kulit, mulut,
rambut, kuku dan lainnya. Bagian-bagian tersebut jika tidak terawat dengan baik
dan kotor merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan dan
perkembangbiakan mikroba. Mikroba jika sudah berkembang biak di dalam tubuh
33

akan mengancam kesehatan tubuh. Tubuh yang tidak kuat memerangi mikroba,
akan menjadi lemah dan akhirnya menjadi sakit. Penularan penyakit juga dapat
terjadi melalui bagian-bagian tubuh tersebut. Para pegawai yang terinfeksi
patogen dapat mengkontaminasi makanan. Kontaminasi ini dapat dihindari bila
pegawai dilatih untuk menjaga higiene dan sanitasi personalia dengan baik
(Jenie 2000).
Penggunaan apron.
Berdasarkan hasil pengamatan, seluruh penjamah menggunakan apron
atau pakaian kerja khusus. Apron yang digunakan penjamah terbuat dari bahan
katun dan berbentuk celemek. Apron hanya dipakai di Instalasi Gizi sehingga
dapat mencegah kontaminasi debu dari luar Instalasi Gizi. Pencucian apron tidak
dilakukan secara periodik. Apron tersebut dicuci bila sudah terlihat kotor. Menurut
Moehyi (1992), penggantian dan pencucian apron secara periodik akan
mengurangi risiko kontaminasi. Selain itu, apron yang bersih akan menjamin
higiene dan sanitasi pengolahan makanan, karena tidak terdapat debu atau
kotoran yang melekat pada pakaian yang secara tidak langsung dapat
mencemari makanan.
Penggunaan penutup rambut
Penjamah yang menggunakan penutup rambut sebanyak 70.0%. Penutup
kepala yang digunakan adalah jilbab dan topi (hair net) yang tidak menutupi
rambut secara keseluruhan, sehingga masih memungkinkan jatuhnya rambut ke
makanan. Rambut yang berasal dari kepala terkadang terkontaminasi oleh
bakteri seperti Staphylococcus aureus dan bakteri lainnya, tetapi bukan
merupakan sumber kontaminasi utama mikroba pada makanan (Jennie 2000).
Rambut yang jatuh dalam makanan enteral merupakan jenis kontaminan fisik
yang akan menurunkan kualitas makanan dan citra Instalasi Gizi.
Penggunaan sepatu kedap air
Penjamah makanan enteral di Instalasi Gizi tidak menggunakan sepatu
kedap air, mereka lebih memilih menggunakan sandal karet dengan alasan lebih
nyaman dan lebih memudahkan untuk bergerak pada saat bekerja. Sandal yang
mereka gunakan khusus untuk digunakan di Instalasi Gizi. Tempat
penyimpanannya di loker khusus karyawan. Hal tersebut tidak sejalan dengan
peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan (2011), bahwa atribut yang
sebaiknya digunakan saat mengolah makanan adalah penutup kepala, apron
34

dan sepatu karet. Atribut tersebut sebaiknya digunakan untuk melindungi


pencemaran terhadap makanan.
Penggunaan sarung tangan
Sebanyak 80.0% penjamah makanan enteral tidak menggunakan sarung
tangan saat bekerja. Penjamah yang menggunakan sarung tangan adalah
penjamah di bagian persiapan terutama penjamah yang menangani persiapan
buah. Hal ini menunjukkan masih kurangnya kesadaran penjamah akan
pentingnya menghindari kontaminasi dari tangan ke makanan. Tangan pegawai
yang telah tercemar mikroorganisme patogen akan memindahkan mikroba
tersebut ke pakaian atau serbet yang bersentuhan dengan makanan atau tangan
tersebut (Jennie 2000).
Kontaminasi dari tangan penjamah dapat dicegah dengan penggunaan
sarung tangan. Instalasi Gizi menyediakan sarung tangan dispossable dalam
jumlah yang cukup untuk seluruh pegawai, tetapi sarung tangan ini tidak
digunakan dengan baik oleh penjamah. Menurut Moehyi (1992), cara lain untuk
menghindari kontaminasi dari tangan pegawai adalah dengan tidak memegang
makanan langsung dengan tangan, tetapi menggunakan sendok garpu atau alat
pengambil makanan lainnya.
Kebiasaan mencuci tangan
Seluruh penjamah selalu mencuci tangan setiap akan melakukan
pekerjaan, setelah keluar dari toilet, pada saat tangan kotor, dan setelah
menangani bahan makanan. Namun, penjamah tidak mencuci tangan ketika
beralih menangani bahan makanan lain seperti pada saat persiapan dan
pengolahan. Keenganan untuk mencuci tangan karena dirasakan memakan
waktu dan merasa bahwa tangan sudah besih. Pegawai yang menangani bahan
makanan harus mencuci tangan sebelum menangani makanan masak, sehingga
tidak ada organisme patogen yang dapat hidup didalamnya (Jennie 2000). Selain
itu menurut Arisman (2009) tangan perlu dicuci karena ribuan jasad renik, baik
flora normal maupun cemaran, menempel di tempat tersebut dan mudah sekali
berpindah ke makanan yang tersentuh.
Kendala yang dihadapi untuk menghindari kontaminasi dari tangan
pegawai adalah tidak disediakannya fasilitas cuci tangan yang memadai
terutama sabun dan lap pengering, sehingga tangan pegawai yang sudah dicuci
masih berisiko mengandung mikroba dan akan mengkontaminasi makanan.
35

Pencucian yang baik menurut Fardiaz (1999) adalah dengan membasahi


tangan di bawah air hangat yang mengalir, tangan diberi sabun dan digosok
selama 15 detik, kemudian dibilas dan dikeringkan dengan handuk kertas.
Penggunaan penutup muka (masker)
Masker dapat menahan kontaminasi dari mulut dan hidung. Berdasarkan
hasil pengamatan, tidak ada pegawai yang menggunakan masker pada saat
pengolahan makanan enteral. Hal tersebut dikarenakan pihak Instalasi Gizi tidak
menyediakan masker untuk digunakan penjamah pada saat proses produksi.
Menurut Jennie (2000), mulut dan hidung merupakan media yang baik
untuk pertumbuhan mikroba terutama pada saat berkeringat. Mikroba ini dapat
mengkontaminasi makanan melalui udara. Penggunaan masker dapat
meningkatkan pertumbuhan mikroba. Udara akan menjadi lebih pengap atau
panas saat penggunaan masker, sehingga terjadi pengeluaran keringat yang
lebih banyak. Hal tersebut dapat diantisipasi dengan mengurangi kebiasaan
berbicara, tertawa dan memegang muka saat bekerja (Marriot 1997).
Perilaku saat bekerja
Perilaku saat bekerja yang sering dilakukan penjamah adalah berbicara
saat bekerja. Berbicara saat bekerja memungkinkan jatuhnya air liur dan kotoran
lain dari mulut ke bahan makanan yang dipersiapkan (Jennie 2000). Selain itu
penggunaan perhiasan dan kosmetik pada pegawai wanita masih dilakukan.
Sebanyak 40.0% penjamah makanan enteral terutama penjamah wanita masih
menggunakan perhiasan pada saat mengolah makanan. Perhiasan yang sering
dipergunakan adalah cincin. Tangan yang dilengkapi perhiasan akan sulit dicuci
sampai bersih karena adanya lekukan perhiasan dan permukaan kulit disekitar
perhiasan. Sisa-sisa makanan dapat menempel pada perhiasan sehingga
mikroba dapat tumbuh dan berpindah ke makanan (Sambas 1991). Perhiasan
tidak boleh digunakan saat menangani makanan karena dikawatirkan masuk dan
jatuh dalam makanan tanpa dapat dicegah dan disadari, hal tersebut dapat
mencemari makanan (Depkes 2002).
Fasilitas Fisik dan Sanitasi
Fasilitas fisik dan sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
diobservasi berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/
PER/VI/2011 yang diukur berdasarkan jumlah skor dan kategori. Hasil observasi
terhadap fasilitas fisik dan sanitasi Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira dapat
dilihat pada Tabel 8.
36

Tabel 8 Fasilitas Fisik dan Sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
No. Fasilitas Fisik dan Sanitasi Bobot Nilai Skor
(%)
1 Halaman bersih, rapi, kering, dan berjarak sedikitnya 500 1 1 100
meter dari sarang lalat/tempat pembuangan sampah,
serta tidak tercium bau busuk atau tidak sedap yang
berasal dari sumber pencemaran
2 Konstruksi bangunan kuat, aman, terpelihara, bersih dan 1 1 100
bebas dari barang-barang yang tidak berguna atau
barang sisa
3 Lantai kedap air, rata, tidak licin, tidak retak, terpelihara, 1 1 100
dan mudah dibersihkan
4 Dinding dan langit-langit dibuat dengan baik, terpelihara 1 1 100
dan bebas dari debu
5 Bagian dinding yang kena percikan air dilapisi bahan 1 1 100
kedap air setinggi 2 meter dari lantai
6 Pintu dan jendela dibuat dengan baik dan kuat. Pintu 1 1 100
dibuat menutup sendiri, membuka kedua arah, dan
dipasang alat penahan lalat dan bau. Pintu dapur
membuka kearah luar
7 Pencahayaan sesuai dengan kebutuhan dan tidak 1 1 100
menimbulkan bayangan. Kuat cahaya sedikitnya 10 fc
pada bidang kerja.
8 Ruang pengolahan maupun peralatan dilengkapi ventilasi 1 1 100
yang baik sehingga terjadi sirkulasi udara dan tidak
pengap
9 Sumber air bersih aman, jumlah cukup dan bertekanan 5 4 80
10 Pembuangan air limbah dari dapur, kamar mandi, WC 1 1 100
dan saluran air hujan lancer, baik dan tidak menggenang
11 Jumlah fasilitas cuci tangan dan toilet cukup, tersedia 3 3 100
sabun, nyaman dipakai dan mudah dibersihkan
12 Tersedia tempat sampah yang cukup, bertutup, anti lalat, 2 1 50
kecoa, tikus dan dilapisi kantong plastic yang selalu
diangka setiap kali penuh
13 Tersedia luas lantai yang cukup untuk pekerja pada 1 1 100
bangunan, dan terpisah dengan tempat tidur atau tempat
mencuci pakaian
14 Perlindungan terhadap serangga, tikus, hewan 4 3 75
peliharaan, dan hewan pengganggu lainnya
15 Ruangan bersih dari barang yang tidak berguna. Barang 1 0 0
tersebut disimpan rapi di gudang
16 Pertemuan sudut lantai dan dinding lengkung (konus) 1 0 0

17 Ruang pengolahan tidak dipakai sebagai ruang tidur 1 1 100

18 Alat pembuangan asap dilengkapi filter (penyaring) 1 1 100

Jumlah 23 17 83,6
Berdasarkan Tabel 8, setelah dilakukan penilaian, skor yang didapat
adalah 83.6%. Total skor sebesar 83.6% berada dalam kisaran 83%-92%.
Artinya, rumah sakit secara umum laik fasilitas fisik dan sanitasi dengan tingkat
mutu golongan B berdasarkan Permenkes no. 1096/Menkes/PER/VI/2011.
37

Lokasi.
Bangunan Instalasi Gizi tidak berdekatan dengan sumber pencemaran
seperti tempat sampah umum, WC umum, dan sumber pencemaran lainnya
sehingga tidak tercium bau busuk. Selain itu, halaman Instalasi Gizi terlihat
bersih, tidak bersemak, dan tidak banyak lalat. Hal tersebut sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan (2011).
Keadaan konstruksi.
Bangunan Instalasi Gizi terletak di bagian belakang gedung Rumah Sakit
Dustira. Pemilihan lokasi di belakang gedung Rumah Sakit akan memudahkan
proses penerimaan bahan makanan maupun distribusi makanan ke pasien.
Bangunan dibagi menjadi beberapa ruangan yang didesain sedemikian rupa
sehingga arus kerja dan lalu lintas pegawai lancar dan teratur. Di beberapa
ruangan terdapat barang-barang yang tidak berguna seperti tumpukan kardus
dan plastik bekas. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (2011), ruangan harus
bersih dari barang yang tidak berguna, karena dapat mengundang serangga atau
hewan pengerat.
Lantai dan dinding
Lantai ruang instalasi gizi tidak licin dan mudah dibersihkan, namun ada
beberapa lantai yang retak dan bolong sehingga memungkinkan adanya
timbunan kotoran di sela-sela lantai yang retak tersebut. Seharusnya lantai
dibuat kuat, tidak mudah rusak, permukaan lantai harus dibuat kedap air dan
tidak ada retakan dan sambungan, tidak licin dan tahan terhadap pembersihan,
jika terdapat retakan dan sambungan harus segera diperbaiki (Depkes 2002).
Jadwal pembersihan lantai selalu dilakukan setiap hari dan setiap lantai kotor.
Kegiatan pembersihan yang biasa dilakukan yaitu menyapu sampah-sampah
yang berserakan dan mengepel genangan air atau kotoran yang menempel.
Dinding pengolahan makanan enteral yang selalu terkena percikan air
menggunakan porselen dengan tinggi 2 m dan warnanya memantulkan cahaya.
Lapisan porselen tidak mudah kotor bila terkena asap atau debu dan mudah
dibersihkan. Sudut antara dinding dengan lantai tidak berbentuk lengkung
(conus). Hal tersebut dapat menimbulkan risiko tertimbunnya debu diantara
sudut-sudut tersebut. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (2011) sudut
dinding dengan lantai berbentuk lengkung dimaksudkan untuk memudahkan
dalam pembersihan dan agar tidak menyimpan debu atau kotoran.
38

Langit-langit.
Bidang langit-langit di Instalasi Gizi menutupi seluruh atap bangunan dan
terbuat dari bahan yang permukaannya rata serta mudah dibersihkan. Tinggi
langit-langit >2,4m di atas lantai, kondisi langit-langit tidak mudah mengelupas
namun agak sedikit kotor. Pembersihan langit-langit dilakukan setiap 1 bulan
sekali. Menurut Permenkes (2011), langit-langit harus menutup seluruh atap
bangunan, serta tinggi langit-langit minimal 2,4 meter di atas lantai.
Pintu dan jendela.
Pintu di Instalasi Gizi mengarah ke luar. Pada saat proses pengolahan
berlangsung, pintu selalu terbuka lebar dan tidak pernah ditutup. Hal ini bertujuan
agar cahaya matahari dapat masuk ke dalam ruangan pengolahan. Namun, hal
tersebut dapat meningkatkan risiko debu yang berada di luar ruangan dan
serangga (lalat) atau hewan lain dapat masuk dengan bebas ke ruang
pengolahan. Jendela di bangunan Instalasi Gizi tidak dilengkapi dengan kawat
kasa (anti serangga). Jadwal pembersihan jendela dilakukan setiap hari pada
saat pengolahan berlangsung.
Depkes (2002) menyatakan bahwa seluruh pintu dan jendela pada
bangunan yang dipergunakan untuk pengolahan harus membuka ke arah luar.
Pintu ruangan pengolahan harus dapat menutup sendiri. Hal ini untuk
memudahkan penyelamatan diri pada waktu keadaan darurat.
Pencahayaan dan ventilasi.
Pencahayaan di ruang pengolahan cukup terang dan tidak menimbulkan
bayangan. Pencahayaan di ruang pengolahan lebih mengutamakan cahaya yang
berasal dari luar ruangan (cahaya matahari) karena pintu yang terbuka lebar.
Sedangkan pencahayaan di ruangan lain cukup terang karena dibantu oleh
lampu. Ruangan Instalasi Gizi memiliki ventilasi yang menjamin peredaran udara
dengan baik. Terdapat exhausher fan di ruang pengolahan yang berfungsi untuk
menjaga alur udara tetap baik dan menghilangkan asap atau debu yang masuk
ke ruangan. Menurut Subandriyo (1993), tinggi ventilasi sekurang-kurangnya 1 m
dari lantai. Ventilasi pada bangunan tidak boleh terakumulasi debu dan
dilengkapi dengan kawat kasa untuk mencegah masuknya serangga. Selain itu
Fardiaz (1999) menambahkan, kontrol suhu udara juga dapat dilakukan dengan
menggunakan sistem aliran udara (exhauster fan). Mekanisme kerja exhauster
fan harus diatur sehingga udara tidak mengalir dari tempat kotor ke tempat
bersih.
39

Tempat pencucian.
Tempat pencucian alat kadang suka digabung dengan pencucian bahan
makanan, begitu juga sebaliknya. Tempat pencucian alat berbentuk wastafel dan
keadaannya agak berkarat. Tempat pencucian alat ada di ruang persiapan dan di
ruang pengolahan. Menurut Jennie (2000) dalam pengolahan pangan, wadah
dan alat pengolahan yang kotor serta mengandung mikroba merupakan salah
satu sumber kontaminasi. Mencuci peralatan menjadi bersih dapat menghindari
peluang terjadinya kontaminan.
Instalasi gizi memiliki tempat cuci tangan bagi pegawai, namun fasilitas
cuci tangan tersebut rusak sehingga pegawai mencuci tangan dimana saja,
terutama ditempat pencucian bahan makanan atau tempat pencucian alat. Di
tempat pencucian alat atau bahan makanan tidak ditemukan fasilitas cuci tangan
seperti lap kering untuk mengeringkan tangan. Tidak adanya lap pengering akan
menghambat pegawai untuk mencuci tangan dengan baik, maka tangan yang
digunakan untuk mengolah tidak terjamin bersih dan bebas dari mikroba dan
kotoran yang menempel. Tempat pencucian di Instalasi Gizi tidak dilengkapi
dengan saluran air panas. Idealnya tempat cuci tangan terpisah dari tempat cuci
peralatan maupun bahan makanan dilengkapi dengan air mengalir dan sabun,
saluran pembuangannya tertutup, bak penampung air dan alat pengering.
Sumber air bersih.
Sistem penyediaan air bersih di Instalasi Gizi berasal dari sumur,
sehingga dilakukan pemeriksaan kualitas air bersih setiap enam bulan sekali
untuk mengetahui kualitas air yang digunakan dan kemungkinan terjadinya
kontaminasi dari air. Air bersih di Instalasi Gizi cukup untuk seluruh kegiatan
penyelenggaraan makanan. Kualitas air bersih berdasarkan kategori uji fisik dan
kimia sudah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan yang berlaku,
namun belum memenuhi syarat untuk kategori mikrobiologi. Pemasakan atau
perebusan air yang akan digunakan untuk pengolahan dapat meminimalisasi
atau menghilangkan mikroba yang ada pada air tersebut.
Tempat sampah.
Sarana tempat sampah yang digunakan di Instalasi Gizi kurang
memenuhi syarat. Tempat sampah yang ada di instalasi gizi berjumlah tiga
buah. Berdasarkan hasil pengamatan tempat sampah tidak dipisahkan antara
sampah basah (organic) dan sampah kering (anorganic). Tempat sampah terlihat
agak kotor dan kondisinya tidak tertutup. Kondisi tempat sampah yang terbuka
40

akan mengkontaminasi makanan melalui debu dan kotoran dari tempat sampah
yang terbawa udara. Debu dan kotoran tersebut mengandung mikroba dari
sampah di dalamnya. Menurut Depkes (2000), seharusnya tempat sampah
mempunyai tutup dan dilapisi plastik sehingga mudah dibersihkan dan tidak
mengkontaminasi makanan serta terlindung dari serangga serta hewan lainnya.
Jadwal pembuangan sampah dilakukan setiap hari dan saat tempat sampah
sudah penuh.

Penyelenggaraan Makanan Enteral di Instalasi Gizi RS Dustira


Makanan enteral diproduksi oleh Instalasi Gizi Rumah Sakit diberikan
untuk pasien rawat inap yang tidak dapat mengkonsumsi makanan secara oral
dengan optimal. Penyelenggaraan makanan enteral di instalasi gizi melalui
beberapa tahapan produksi yang meliputi tahap-tahap sebagai berikut :
1) Perencanaan menu, 2) Pengadaan bahan makanan, 3) Penerimaan bahan
makanan, 4) Penyimpanan bahan makanan, 5) Persiapan dan pengolahan, 6)
Pewadahan, dan 7) Distribusi.
Perencanaan menu.
Perencanaan menu makanan enteral bagi pasien di Rumah Sakit Dustira
tidak dibedakan berdasarkan kelas perawatan, namun berdasarkan kondisi
kesehatan masing-masing pasien. Tatalaksana makanan enteral disesuaikan
dengan kondisi kesehatan dan status gizi pasien. Standar porsi yang diberikan
kepada pasien sesuai dengan kebutuhan gizi dan kondisi kesehatan tiap pasien.
Jenis menu makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira yaitu
untuk pasien dengan penyakit DM dan komplikasinya, ginjal dan komplikasinya,
jantung dan komplikasinya, hati, ODHA, gastritis, pasca operasi, dan stroke.
Perencanaan formulasi menu makanan enteral bagi pasien yang memerlukan
terapi diit khusus, seperti salah satunya diit diabetes mellitus (DM) yang
membedakan hanya penggunaan bahan pangan seperti gula dan susu. Pasien
DM akan diberikan bahan makanan khusus seperti susu dan gula khusus untuk
penyakit DM.
Menu makanan enteral terbagi menjadi dua, meliputi makanan enteral
diet khusus yaitu makanan enteral untuk pasien yang diberikan terapi diit khusus
seperti DM, ginjal, jantung dan lain-lain, serta makanan enteral biasa yaitu
makanan enteral untuk pasien yang tidak diberikan terapi diit khusus seperti
pasien luka bakar dan pasca operasi. Beberapa formulasi makanan cair biasa
dan makanan cair diet khusus disajikan pada Tabel 9 dan Tabel 10.
41

Tabel 9 Formulasi Menu Makanan Cair Biasa


Bahan Pangan URT Perkiraan Berat Kandungan Zat Gizi (kal)
Tepung beras 12 sdm 75 gr 263
Telur ayam 1 btr 55 gr 75
Putih telur 2 btr 70 gr 100
Susu full cream 9 sdm 45 gr 225
Gula 7 sdm 90 gr 350
Margarine 1.5 sdt 7.5 gr 75
Air 1000 ml 1000 ml -
Sumber : Resep makanan cair biasa Instalasi Gizi RS Dustira

Tabel 10 Formulasi Menu Makanan Cair Diet Khusus


Jantung (2100 kkal) Ginjal (1250 kkal) DM (1400 kkal)
pemberian @140 ml (10x) pemberian @200 ml (6x) pemberian @250 ml (6x)
Bahan
1 ml = 1.5 kal 1 ml = 1 kal 1 ml = 1 kal
Pangan
URT Perkiraan Kandungan URT Perkiraan Kandungan URT Perkiraan Kandungan
Berat Energi (kkal) Berat Energi (kkal) Berat Energi (kkal)
Tepung beras 24 sdm 150 gr 525 30 sdm 187.5 gr 656 28 sdm 175 gr 613
Telur ayam 3 btr 165 gr 300 2 btr 110 gr 150 2 btr 110 gr 150
Putih telur 2 btr 70 gr 100 2 btr 70 gr 100 3 btr 105 gr 150
Susu 9 sdm 45 gr 225 9 sdm 45 gr 225 12 sdm 60 gr 300
Buah 4 ptg bsr 400 200 1 ptg bsr 150 gr 50 - - -
Sayur 2 gls 200 50 - - - 1 gls 100 gr 25
Gula 7.5 sdm 100 gr 384 2 sdm 26 gr 100 - - -
Margarine 5 sdt 25 gr 250 2 sdt 10 gr 100 3 sdt 15 gr 150
Air 1400 ml 1400 ml - 1250 ml 1250 ml - 1400 ml 1400 ml -
Sumber : Resep makanan cair diet khusus Instalasi Gizi RS Dustira

41
42

Tabel 9 dan 10 menunjukkan bahwa formulasi menu makanan enteral


yang ditetapkan oleh Instalasi Gizi disesuaikan dengan kebutuhan gizi masing-
masing pasien. Contohnya pasien dengan diit ginjal yang kebutuhan gizinya
sekitar 1250 kkal, maka pasien akan diberikan makanan enteral dengan volume
± 1250 ml untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Tanra (1998) menyatakan bahwa
salah satu syarat makanan enteral yang harus dipenuhi adalah memiliki
kepadatan kalori yang tinggi. Kepadatan kalori yang ideal adalah 1 kkal/ml cairan
dan Hartono (2000) menambahkan, 1 ml makanan enteral umumnya dibuat
setara dengan 1 kalori. Selain itu, ahli gizi juga mempertimbangkan jika asupan
cairan pasien harus dibatasi maka formula 1,5 atau 2 kkal/ml akan diberikan.
Contohnya pada pasien dengan penyakit jantung yang asupan cairannya harus
dibatasi, maka ahli gizi membuat formula sesuai dengan kebutuhan gizi pasien
yaitu 2100 kkal dengan volume cairan sebanyak 1400 ml. Hal tersebut
menunjukkan bahwa setiap 1 ml makanan enteral mengandung 1.5 kkal. Thaha
(1998) mengemukakan bahwa formula standar untuk kebanyakan pasien adalah
1 kkal/ml, namun jika cairan harus dibatasi maka lebih cocok diberikan formula
1.5 atau 2 kkal/ml.
Pengadaan bahan pangan.
Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira melakukan pengadaan bahan pangan
melalui rekanan. Rekanan memasok bahan pangan sesuai dengan kriteria mutu
yang telah dibuat oleh instalasi gizi, baik jumlah, mutu maupun kualitas.
Umumnya setiap penyelenggaraan makanan di rumah sakit selalu menetapkan
kriteria mutu bahan makanan yang dibuat oleh instalasi gizi. Hal ini bertujuan
untuk memperoleh mutu yang baik. Kriteria mutu antara lain segar, utuh, tidak
rusak, wadah/kemasan asli, terdaftar, dan tidak kadaluarsa. Bahan pangan
pembuat makanan enteral seperti sayur dan buah dipasok setiap hari, telur
dipasok setiap tiga hari sekali, sedangkan susu, margarin dan gula dipasok
setiap 15 hari sekali.
Kriteria mutu yang ditetapkan oleh instalasi gizi Rumah Sakit Dustira
adalah kategori umum yang biasa digunakan untuk ukuran rumah tangga dan
belum menunjukkan kualitas bahan makanan yang sebenarnya. Menurut Keister
(1990), spesifikasi tersebut kurang tepat bila digunakan untuk penyelenggaraan
makanan institusi karena tidak mendefinisikan secara lengkap kriteria mutu tiap
bahan makanan, terutama mengenai mutu organoleptik dan ciri fisik. Kriteria
43

mutu yang ditetapkan Instalasi Gizi untuk kelompok bahan makanan pembuat
makanan enteral dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Spesifikasi mutu pada bahan pangan pembuat makanan enteral di
Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
Bahan makanan Spesifikasi Satuan
Beras Tidak berkutu, bersih, tidak ada kerikil Kg
Telur ayam Segar, kulit bersih, ±15-16 btr/kg, tidak busuk, warna Kg
coklat muda.
Susu Kemasan @400 gram, tidak kadaluarsa, tidak penyok, Dus
tidak apek
Gula Kering, putih, bersih, dalam negeri. Isi @49-50 kg per Kg
karung, karung bukan bekas pupuk atau bahan kimia
lainnya, local, halus.
Margarine Berasal dari tumbuhan, murni berkualitas baik, izin Kg
depkes, kemasan 200 gr/kemasan
Papaya Segar, tua, manis, warna merah jingga, tidak busuk, Kg
tidak bonyok, bentuk beraturan, minimal 2 kg/buah
Melon Masak, manis, tua harum, min 2 kg/buah, tidak busuk, Kg
tidak bonyok, utuh
Wortel Segar, muda, bersih, tanpa batang, daun dan akar ±8- Kg
10 bh/kg
Bayam Segar, muda, bersih tidak berakar, batang ± 5 cm, Kg
tidak berbulu.
Labu siam Segar, muda, bersih, tidak berulat Kg
Sumber : Spesifikasi bahan makanan Instalasi Gizi RS Dustira
Tabel 11 menunjukkan kriteria mutu untuk sayur dan buah tidak
mendefinisikan secara lengkap mengenai aspek mutu. Menurut Muchtadi dan
Sugiyono (1992) sayuran yang baik dapat diketahui dengan memperhatikan mutu
organoleptik seperti warna aroma tekstur. Sayuran yang segar akan berwarna
hijau atau orange cerah, tidak ada luka, cacat, atau noda, dan tidak berair.
Instalasi gizi tidak menetapkan spesifikasi untuk tepung beras karena tidak
memesan dari rekanan. Tepung beras yang digunakan oleh Instalasi gizi adalah
tepung beras hasil gilingan dari butiran beras yang dibuat menjadi tepung.
Kriteria umum mutu yang baik untuk bahan pangan disajikan pada Tabel 12.
Penerimaan Bahan Pangan.
Tahap penerimaan bahan pangan adalah suatu proses kegiatan yang
meliputi pemeriksaan, penelitian, pencatatan, pengambilan keputusan dan
pelaporan spesifikasi bahan makanan menurut permintaan (Subandriyo 1993).
Kegiatan penerimaan bahan pangan dilakukan di ruangan penerimaan oleh
petugas penerimaan yang merangkap sebagai petugas gudang, tidak ada tim
atau bagian khusus yang menangani proses penerimaan. Kondisi yang ideal
adalah menempatkan orang yang memiliki pengetahuan mengenai kualitas
bahan pangan karena kegiatan ini berkaian dengan pemeriksaan kesesuaian
44

Tabel 12 Kriteria umum mutu pada bahan pangan


Bahan makanan Kriteria mutu
Beras Warna agak putih dan sedikit mengkilat, butiran-butiran biji beras
tampak utuh dan tidak banyak yang patah, tidak mengeluarkan bau
yang tidak wajar, bersih dari berbagai kotoran, seperti debu, ulat
atau kutu beras, dan pasir.
Tepung beras Butiran kering, tidak lembab/basah, bersih dari berbagai kotoran
seperti kutu/serangga dan kerikil.
Telur ayam Kulit telur masih utuh dan tidak retak, jika dilihat di sinar terang,
telur tampak jernih, tenggelam jika dimasukkan ke dalam air, tidak
berbunyi jika digoyang-goyang, kuning telur masih bulat dan
terletak di tengah-tengah, tidak mengeluarkan bau yang tidak
sedap.
Tepung susu Butiran kering, tidak lembab/basah, aroma khas, tidak ada kutu
(komersial) atau serangga, tidak kadaluarsa, memiliki label dan merk, terdaftar
dan mempunyai nomor daftar, kemasan tidak rusak.
Gula pasir Kering, putih, tidak lembab, tidak ada serangga, warna mengkilap,
rasa manis
Margarine Kemasan utuh, berisi penuh, tidak ada bagian yang dimakan
serangga, tidak kadaluarsa, warna kuning mengkilap, memiliki label
dan merk, terdaftar dan mempunyai nomor daftar.
Papaya Warna sesuai warna bawaan, tidak ada warna tambahan, kulit utuh,
tidak rusak/busuk, bersih, warna daging merah jingga, beraroma
khas, tekstur lunak.
Melon Bentuk bulat, kulit utuh, tidak rusak/cacat, bersih, matang, manis
Wortel Warna orange cerah, tidak ada noda hitam, bersih, tekstur agak
keras/tidak lunak, tidak berair
Bayam Warna hijau cerah, tidak ada bagian yang terpotong yang berwarna
coklat, tidak ada yang busuk atau rusak, utuh, tidak layu, tidak
berair, bersih, tidak berulat.
Labu siam Warna hijau, tidak ada bagian yang luka/berlubang, bersih, tidak
lunak, tidak berulat, tidak berair, segar
Sumber : Muchtadi & Sugiyono (1992), Permenkes (2011)

bahan pangan yang diterima dengan yang dipesan. Kegiatan penerimaan yang
dilakukan berupa pemeriksaan surat jalan yang berisi jenis dan jumlah bahan
yang dipesan, jenis dan jumlah bahan yang dikirim, serta spesifikasi mutu setiap
bahan yang harus dipenuhi.
Peralatan yang tersedia di ruang penerimaan yaitu timbangan.
Timbangan digunakan untuk memeriksa kesesuaian berat bahan makanan yang
dipesan dengan berat bahan makanan yang diterima.
Telur yang diterima, diperiksa secara seksama oleh petugas penerima
bahan pangan dengan aspek yang di lihat yaitu keutuhan telur, kesegaran telur,
dan jumlah yang dipesan. Pengendalian mutu yang dilakukan oleh petugas
penerima untuk bahan pangan telur yaitu dengan memeriksa secara seksama
kesegaran telur, bila ada telur yang busuk akan segera di buang dan segera
meminta ganti kepada rekanan. Penerimaan bahan makanan kemasan seperti
susu, gula, dan margarine diterima setiap 15 hari sekali, dan pemeriksaan
45

dilakukan dengan memeriksa label atau kemasan yang digunakan, tanggal


kadaluarsa, keutuhan serta jumlah yang dipesan. Pengendalian mutu yang
dilakukan adalah meminta bahan pangan pengganti bila ditemukan bahan
pangan yang tidak layak pakai.
Penerimaan sayuran dan buah-buahan dilakukan dengan cara ditimbang
dan dicatat terlebih dahulu, namun karena tidak ada meja penerimaan sehingga
sayuran dan buah yang telah ditimbang diletakkan di lantai begitu saja.
Pemeriksaan sayur dan buah yang diperhatikan adalah kesesuaian jenis, jumlah
dan berat yang telah dipesan. Kesegaran dan keutuhan sayur dan buah kurang
diperhatikan.
Pemasok bahan makanan tidak memperhatikan suhu dalam alat angkut
maupun wadah yang digunakan saat pengiriman dari tempat pemasok ke
Instalasi Gizi, sehingga mengakibatkan perubahan struktur dan fisiologis yang
ditunjukkan dengan beberapa sayuran yang layu. Sayuran yang layu tidak
dikembalikan kepada pemasok, namun pengendalian mutu yang dilakukan oleh
petugas pada sayuran dilakukan pada saat tahap persiapan yaitu dengan cara
memilih bagian sayuran yang masih segar dan dapat dimakan.
Wadah yang digunakan oleh pemasok hanya berupa plastik. Sebaiknya
wadah yang digunakan dapat menjaga suhu dan keutuhan bahan pangan yang
akan digunakan serta dapat mencegah kontaminasi dari bahan pangan lain
ataupun dari hewan seperti serangga, maupun hama. Tabel 13 menunjukkan
hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap penerimaan bahan makanan
enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira. Berdasarkan Tabel 13, higiene
sanitasi pada tahap penerimaan bahan pangan sudah memenuhi syarat menurut
Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011, yaitu 93.3%.
Tabel 13 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap penerimaan bahan
makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
No. Penerimaan Kisaran Nilai Skor (%)
Nilai* Pengamatan
1. Bahan dan keutuhannya 0–5 4 80.0
2. Tenaga penanggung jawab 0–5 5 100.0
3. Peralatan 0–2 2 100.0
Jumlah 12 10 93.3
*) Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011
Penyimpanan bahan pangan.
Menurut Mukrie (1990), tujuan penyimpanan adalah mempertahankan
mutu, melindungi bahan makanan, melayani kebutuhan bahan makanan dalam
macam dan jumlah dengan mutu dan waktu yang tepat serta untuk menyediakan
46

persediaan bahan makanan dalam macam, jumlah, dan mutu yang memadai.
Menurut Moehyi (1992), penyimpanan bahan makanan harus dipisahkan
menurut jenisnya. Di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira, penyimpanan bahan
makanan untuk membuat makanan enteral tersimpan dalam tiga gudang, yaitu
gudang kering, gudang basah dan gudang harian.
Gudang kering. Beras, tepung beras, gula pasir dan mentega disimpan
di gudang kering. Di gudang kering bahan pangan diletakkan dilantai dan tidak
terdapat rak penyimpanan. Gudang kering juga sering digunakan untuk
menyimpan bahan pangan seperti pisang. Pisang adalah buah yang mudah
busuk karena kadar airnya yang cukup tinggi. Penempatan buah pisang di
gudang kering dapat menimbulkan kontaminasi silang pada bahan pangan kering
lain, seperti tepung-tepungan. Penempatan buah pisang di gudang kering akan
membuat tekstur tepung menjadi lembab. Tepung yang lembab akan mudah
untuk ditumbuhi oleh jamur dan kapang. Selain itu, terdapat banyak kardus-
kardus kosong serta plastik bekas berserakan. Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan (2011), ruangan harus bersih dari barang yang tidak berguna, karena
dapat mengundang serangga atau hewan pengerat.
Pemasukan bahan makanan dicatat dan dilaporkan setiap bulan. Gudang
selalu dikunci pada saat tidak ada kegiatan dan dibuka pada waktu-waktu
tertentu. Pegawai yang keluar masuk gudang hanya pegawai yang telah
ditentukan. Pencahayaan di gudang bahan makanan kering cukup terang.
Keadaan lantai cukup bersih, namun terdapat banyak kardus-kardus kosong
serta plastik bekas berserakan.
Gudang basah. Gudang basah digunakan untuk menyimpan bahan
pangan yang tidak tahan lama serta mudah busuk seperti hewani, sayur dan
buah. Gudang basah memiliki tiga jenis tempat penyimpanan yaitu freezer, chiler
dan rak terbuka. Namun untuk bahan pangan pembuat makanan enteral yang
digunakan hanya chiller dan rak terbuka. Sayur dan buah disimpan di chiller
dengan suhu 120C, adapula beberapa buah yang disimpan di rak terbuka. Buah
yang telah dipotong dan disimpan di rak terbuka dikemas dengan menggunakan
plastik wrapping. Selain itu, telur juga disimpan di rak terbuka. Telur disimpan
digudang penyimpanan paling lama 2 hari. Telur akan mengalami kerusakan jika
tidak disimpan pada suhu rendah atau refrigerator, tetapi Syarief dan Halid
(1992) menyatakan bahwa telur yang disimpan pada suhu kamar (25-290C)
47

masih berada dalam kondisi yang baik dan aman dikonsumsi dalam jangka
waktu satu hari.
Gudang harian. Gudang harian merupakan gudang untuk menyimpan
bahan kemasan atau alat makan disposable, makanan diet khusus, dan bahan
makanan kering yang tidak habis pakai seperti susu, agar-agar, tepung maizena,
dan lainnya. Gudang harian berupa lemari kaca tertutup yang terdapat dalam
ruangan komputer. Pengeluaran bahan pangan di gudang harian sudah
menggunakan sistem first in fist out (FIFO). Sistematika penyimpanan dan
penyusunan bahan makanan menggunakan prinsip FIFO, artinya bahan
makanan yang terlebih dahulu masuk dan yang mendekati masa kadaluarsa
harus keluar lebih dulu dengan penyusunan menurut jenis dan frekuensi
pemakaian (Fardiaz 1999). Hasil pengamatan menunjukkan tidak adanya kode,
tanggal masuk, maupun tanggal kadaluarsa pada bahan yang disimpan, sistem
yang digunakan hanya memindahkan bahan makanan yang lama ke depan dan
menyimpanan bahan makanan yang baru di belakang.
Penyimpanan bahan makanan di lemari penyimpanan gudang harian
sudah perjenis bahan makanan, namun dikarenakan terlalu banyak bahan
makanan yang disimpan dalam lemari sehingga terdapat bahan makanan yang
tertutup atau terhalangi oleh bahan makanan lain yang berbeda jenis, seperti
penempatan susu komersial terhalangi oleh bahan pangan kemasan (tepung
maizena atau coklat bubuk). Hal tersebut dapat menyebabkan kegagalan dalam
sistem FIFO yang mereka gunakan. Lemari penyimpanan berjarak kurang dari 2
cm dari dinding, dan berjarak kurang dari 15 cm dari lantai. Menurut Moehyi
(1992), tinggi rak sebaiknya berjarak 5 cm dari dinding dan minimal 15 cm dari
atas lantai sehingga sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik. Hasil
pengamatan higiene sanitasi pada tahap penyimpanan bahan makanan enteral
di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira disajikan pada Tabel 14.
Berdasarkan Tabel 14, higiene sanitasi pada tahap penyimpanan bahan
pangan belum memenuhi syarat menurut Peraturan Menteri Kesehatan no.
1096/Menkes/PER/VI/2011, yaitu 85.0%. Berdasarkan pengamatan di gudang
harian banyak terdapat kardus yang tidak terpakai dan disimpan di bawah meja.
Hal ini dapat menjadi peluang bagi hewan seperti serangga atau hewan pengerat
untuk berkembang biak. Berdasarkan pengamatan terdapat serangga seperti
kecoa dan laba-laba di gudang harian. Menurut Depkes (2002), tempat
48

penyimpanan bahan makanan harus selalu terpelihara dan dalam keadaan


bersih, terlindung dari debu, bahan kimia berbahaya, serangga dan hewan lain.
Tabel 14 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap penyimpanan bahan
makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
No. Penyimpanan Kisaran Nilai Skor (%)
Nilai* Pengamatan
1. Suhu dan waktu penyimpanan 0–5 5 100.0
2. Tempat untuk menyimpan makanan 0–2 2 100.0
3. Pencegahan kontaminasi silang 0–5 2 40.0
4. Fasilitas fisik dan sanitasi 0–1 1 100.0
Jumlah 13 11 85.0
*) Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011
Persiapan dan pengolahan makanan.
Proses pengolahan makanan enteral terdiri dari proses persiapan dan
pemasakan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan yaitu mencuci alat
yang akan digunakan dengan sabun cuci. Menurut Subandriyo (1993), pencucian
dapat melarutkan kotoran yang mungkin masih ada. Tahap persiapan lainnya
yaitu menggiling beras dengan alat penggilingan untuk menghasilkan tepung
beras, pencucian dan pemotongan sayur dan buah. Pengamatan menunjukkan
bahwa beberapa sayur tidak dicuci terlebih dahulu sebelum dipotong. Pencucian
sayur dilakukan setelah dipotong dengan menggunakan air mengalir. Hal ini akan
menyebabkan kehilangan sejumlah zat gizi.
Pengamatan pada proses persiapan menunjukkan kemungkinan
terjadinya kontaminasi silang yang berasal dari alat persiapan dan penjamah.
Alat persiapan yang akan digunakan tidak dibersihkan terlebih dahulu, selain itu
alat digunakan secara bergantian untuk berbagai jenis bahan pangan tanpa
dicuci kembali. Kontaminasi silang yang berasal dari penjamah adalah penjamah
tidak mencuci tangan terlebih dahulu sebelum persiapan serta tidak
menggunakan sarung tangan. Hal ini akan memungkinkan berpindahnya kotoran
maupun mikroba yang menempel pada tangan berpindah ke bahan pangan atau
timbulnya kontaminasi silang antar bahan makanan dengan perantara tangan
penjamah.
Pembuatan makanan enteral dilakukan satu kali untuk memenuhi
frekuensi pemberian makanan enteral setiap hari, dan dilaksanakan oleh
penjamah makanan cair yang bertugas pada pagi hari.
Tahap pengolahan makanan enteral terdiri dari beberapa tahapan.
Pembuatan makanan enteral biasa di instalasi gizi yaitu dengan telur direbus
hingga matang ± 7 menit pada suhu 100ºC, setelah itu tepung beras di rebus
49

menggunakan air hingga mengental dan menjadi bubur tepung beras.


Selanjutnya semua bahan seperti telur rebus yang telah dikupas, bubur tepung
beras, susu bubuk, gula pasir, dan margarine dimasukkan kedalam blender
kemudian ditambahkan air panas selanjutnya diblender hingga halus. Berbeda
dengan makanan enteral biasa, makanan enteral diet khusus dibuat dengan
beberapa tahapan. Pertama mengukus sayuran ±10 menit kemudian sayuran
yang telah dikukus diblender dengan buah yang telah dipotong selanjutnya
disaring. Kemudian dicampur dengan bahan pangan lainnya seperti telur, susu,
gula, margarine dan tepung beras hingga homogen. Setelah tercampur rata,
dimasak dengan api kecil hingga mendidih. Pemasakan sayuran secara
berulang-ulang dapat menghilangkan kandungan gizinya, terutama vitamin dan
mineral.
Berdasarkan hasil pengamatan, penjamah menakar bahan pangan
dengan ukuran yang tidak standar atau hanya menggunakan estimasi. Tidak
adanya standar porsi dapat mempengaruhi pemberian makanan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan gizi pasien. Menurut Hardjodisastro, Syam dan
Sukrisman (2006), prinsip yang harus diperhatikan dalam pemberian makan
enteral adalah kebutuhan gizinya harus tercukupi dan sesuai. Hal ini dikarenakan
kurangnya pengawasan terhadap petugas yang melakukan pemasakan makanan
enteral.
Higiene sanitasi penjamah menunjukkan hasil yang belum sesuai dengan
yang dianjurkan, yaitu pada kategori perilaku berbicara atau mengobrol saat
bekerja tanpa menggunakan masker, penggunaan sarung tangan dan periode
pencucian apron. Berbicara saat bekerja memungkinkan jatuhnya air liur dan
kotoran lain dari mulut ke bahan makanan yang dipersiapkan (Jenie 2000).
Alasan pejamah tidak menggunakan sarung tangan saat pengolahan adalah
tidak nyaman. Tangan pegawai yang telah tercemar mikroorganisme patogen
akan memindahkan mikroba tersebut ke pakaian atau serbet yang bersentuhan
dengan makanan atau tangan tersebut (Jennie 2000). Tabel 15 menunjukkan
hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap persiapan dan pengolahan
makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira. Berdasarkan Tabel 15,
higiene sanitasi pada tahap persiapan dan pengolahan belum memenuhi syarat
menurut Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011, yaitu
84.0%.
50

Tabel 15 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap persiapan dan


pengolahan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
No. Persiapan dan Pengolahan Kisaran Nilai Skor (%)
makanan Nilai* Pengamatan
1. Peralatan yang digunakan 0–5 5 100.0
2. Pencucian 0–5 3 60.0
3. Pengaturan suhu dan waktu 0–5 5 100.0
4. Tenaga pengolah 0–5 3 60.0
5. Fasilitas fisik dan sanitasi 0–1 1 100.0
Jumlah 21 17 84.0
*) Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011
Sistem penyediaan air bersih pada Instalasi Gizi berasal dari sumur,
sehingga dilakukan pemeriksaan kualitas air bersih setiap enam bulan sekali
untuk mengetahui kualitas air yang digunakan dan kemungkinan terjadinya
kontaminasi dari air. Data pemeriksaan air di Instalasi Gizi pada April 2011
disajikan pada Tabel 16.
Tabel16 Data pemeriksaan air di Instalasi Gizi pada April 2011
N Hasil Batas
Parameter Metode Satuan
o Pemeriksaan Maksimum
Fisik
1 Bau Organoleptis mg/L Tidak berbau Tidak berbau
Zat Padat Terlarut
2 (TDS) Elektrometri FAU 220 1500
3 Kekeruhan Tubidimetri skala TCU 6,04 25
4 Warna spektrofotometri 24 50
Kimia Anorganik
5 Besi AAS mg/L 0,50 1,0
6 Fluorida spektrofotometri mg/L 0,04 1,5
7 Kesadahan CaCo3 Titrimetri mg/L 63,68 500
8 Klorida Titrimetri mg/L 2,98 600
9 Mangan AAS mg/L <LD (0,0046) 0,5
10 Nitrat, sebagai N spektrofotometri mg/L 0,01 10
11 Nitrit, sebagai N spektrofotometri mg/L 0,00 1,0
12 pH Elektrometri - 7,71 6,5-9,0
13 Sulfat spektrofotometri mg/L 6,41 400
Kimia Organik
14 Detergent spektrofotometri mg/L 0,00 0,5
Zat Organik
15 (KMnO4) Titrimetri mg/L 0,43 10
16 Sisa klor spektrofotometri mm 0,00 0,2-0,5
Mikrobiologi
Air pipaan : 10
17 Total coliform Tabung ganda MPN/100 ml 350 Bukan air pipaan :
50

Hasil pemeriksaan mutu air pada bulan April 2011 di Instalasi Gizi RS
Dustira menunjukkan bahwa air telah memenuhi baku mutu air bersih dari uji fisik
dan kimia sesuai dengan peraturan Depkes, sedangkan hasil uji mikrobiologi
tidak memenuhi baku mutu air bersih Depkes. Hasil pemeriksaan tersebut
menunjukkan adanya mikroba coliform pada air. Pengendalian mutu yang
51

mereka lakukan pada hasil pemeriksaan mikrobiologi adalah dengan merebus air
yang akan digunakan untuk pengolahan hingga dapat meminimalisasi total
coliform yang terkandung dalam air tersebut.

Pewadahan makanan enteral.


Makanan enteral yang telah diolah segera diporsi dan disajikan dalam
wadah yang berupa gelas plastik disposable yang berukuran 200 ml. Pemorsian
makanan enteral biasa dilakukan dengan cara menuangkan langsung kedalam
gelas saji. Sedangkan pemorsian bahan makanan enteral diet khusus diporsi
dengan menggunakan spuit. Berdasarkan pengamatan, makanan enteral yang
sudah diporsi tidak segera di tutup, namun dibiarkan dahulu hingga beberapa
menit untuk menghilangkan uap panas. Setelah uap panasnya hilang, makanan
enteral di bungkus dengan plastik wrap (wrapping).
Berdasarkan hasil pengamatan, higiene sanitasi penjamah menunjukkan
hasil yang belum sesuai dengan yang dianjurkan, yaitu pada kategori kebiasaan,
mengobrol tanpa menggunakan masker dan menggunakan penutup kepala yang
tidak menutup rambut secara keseluruhan. Menurut Jenie (2000), pada saat
berbicara memungkinkan jatuhnya air liur dan kotoran lain dari mulut ke makanan
yang telah siap disajikan, padahal makanan masak merupakan titik rawan,
karena makanan sudah bebas bakteri patogen dan tidak lagi dipanaskan. Tabel
17 menunjukkan hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap pewadahan
makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.
Tabel 17 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap pewadahan makanan
enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
No. Pewadahan Kisaran Nilai Skor (%)
Nilai* Pengamatan
1. Keadaan makanan saat penyajian 0–5 5 100.0
2. Peralatan penyajian 0–2 2 100.0
3. Tenaga penyaji makanan 0–5 3 60.0
Jumlah 12 9 86.7
*) Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011
Penggunaan penutup kepala yang tidak menutupi rambut secara
keseluruhan dapat memungkinkan jatuhnya rambut ke makanan. Rambut dapat
membawa mikroorganisme Staphylococcus aureus. Jika rambut rontok atau jatuh
akan mengkontaminasi makanan dan merusak penampilan makanan.
Berdasarkan Tabel 17, higiene sanitasi pada tahap penyimpanan bahan pangan
belum memenuhi syarat menurut Peraturan Menteri Kesehatan no.
1096/Menkes/PER/VI/2011, yaitu 86.7%.
52

Pengangkutan (distribusi)
Makanan enteral yang siap disajikan diletakkan dalam baki dan diantar ke
pasien dengan menggunakan trolley tertutup. Keadaan trolley cukup baik, kuat
dan bersih. Jadwal pembersihan trolley dilakukan seminggu sekali. Depkes
(2000) menyatakan pendistribusian dengan menggunakan trolley tertutup serta
peralatan yang dipakai selalu terjaga dapat menghindari pencemaran terhadap
makanan yang disajikan.
Tenaga pendistribusian makanan bekerjasama dengan petugas yang ada
pada masing-masing ruangan. Berdasarkan hasil pengamatan, penjamah di
bagian pendistribusian berbicara dan mengobrol saat mendistribusikan makanan
enteral ke trolley. Tabel 18 menunjukkan hasil pengamatan higiene sanitasi pada
tahap pengangkutan makanan enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira.
Berdasarkan Tabel 18, higiene sanitasi pada tahap penyimpanan bahan pangan
sudah memenuhi syarat menurut Peraturan Menteri Kesehatan no.
1096/Menkes/PER/VI/2011, yaitu 93.3%.
Tabel 18 Hasil pengamatan higiene sanitasi pada tahap pengangkutan makanan
enteral di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira
No. Pengangkutan Kisaran Nilai Skor (%)
Nilai* Pengamatan
1. Wadah atau alat pembawa 0–2 2 100.0
2. Kendaraan yang digunakan 0–2 2 100.0
3. Tenaga yang membawa makanan 0–5 4 80.0
Jumlah 9 8 93.3
*) Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011
Kualitas Makanan Enteral di Instalasi Gizi RS Dustira
Makanan enteral diproduksi satu kali untuk memenuhi frekuensi
pemberian makanan enteral setiap hari. Makanan enteral yang telah diproduksi
pada pagi hari, sebagian akan diporsi dan disajikan kepada pasien dan sisanya
dimasukkan ke dalam refrigerator untuk digunakan pada periode makan
berikutnya. Pada periode makan berikutnya, makanan enteral dipanaskan
terlebih dahulu sebelum disajikan. Menurut Hartono (2000), makanan enteral
yang disimpan dilemari es harus dibiarkan pada suhu ruangan dahulu sebelum
diberikan kepada pasien. Suhu makanan enteral hanya sedikit pengaruhnya atas
molalitas lambung dan tidak mempengaruhi waktu transit. Pemanasan makanan
enteral hingga mencapai suhu tubuh dapat mempermudah pertumbuhan bakteri
mengingat makanan enteral merupakan media kultur yang baik.
53

Salah satu syarat mutu makanan enteral yaitu memiliki kepadatan kalori
yang tinggi. Instalasi gizi membuat formula makanan enteral sesuai dengan
kondisi pasien. Hal tersebut dapat dilihat dari setiap 1 ml makanan enteral setara
dengan 1 kkal, atau bila ada pembatasan cairan maka setiap 1 ml makanan
enteral setara dengan 1.5 atau 2 kkal.
Makanan enteral yang diproduksi oleh Instalasi Gizi RS Dustira
mengandung komponen zat gizi esensial seperti protein, asam amino, lemak,
vitamin, mineral dan trace elements. Hal tersebut dapat dilihat dari bahan pangan
pembuat makanan enteral, antara lain tepung beras, telur, susu, margarin, sayur,
buah. Bahan baku makanan enteral terdiri dari komponen yang siap diabsorpsi
atau paling tidak hanya sedikit memerlukan kegiatan pencernaan untuk dapat
diabsorpsi seperti tepung beras, telur, gula, margarine, dan susu. Selain itu
bahan baku makanan enteral di Instalasi Gizi tidak ada yang mengandung purin.
Pemeriksaan mutu makanan enteral dilihat dari segi fisik dan
mikrobiologi. Makanan enteral yang diamati adalah makanan enteral biasa dan
makanan enteral diet khusus yang sudah siap disajikan kepada pasien.
Pemeriksaan sampel makanan enteral secara fisik dilakukan dengan cara
menuangkan sampel makanan cair ke tempat yang datar untuk melihat
teksturnya, sedangkan untuk melihat konsistensinya, makanan enteral
dimasukkan melalui sonde dan dilihat kelancaran alirannya.
Pemeriksaan sampel makanan enteral untuk melihat jumlah mikroba
dilakukan di salah satu perusahaan farmasi di Bandung. Selama perjalanan
makanan enteral dari rumah sakit ke laboratorium, sampel makanan enteral yang
diambil kemudian disimpan dalam box yang berisi es batu, menurut FDA (Food
and Drug Admistration) makanan yang akan dianalisa dapat disimpan pada suhu
0-40C tidak lebih dari 36 jam. Pemeriksaan mikroba Salmonella dan Shigella
menggunakan media agar Salmonella – Shigella (SSA), sedangkan untuk
mikroba Escherichia coli menggunakan media agar darah. Data pemeriksaan
makanan enteral di Instalasi Gizi dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Data pemeriksaan makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira
Parameter Hasil pemeriksaan
Fisik Konsistensi encer, tidak terdapat gumpalan.
Mikroba patogen
- Salmonella Negative (-)
- Shigella Negative (-)
- Eschericia coli Negative (-)
54

Hasil pemeriksaan fisik makanan enteral menunjukkan konsistensi encer,


dan tidak terdapat gumpalan. Hasil uji mikrobiologi menunjukkan tidak terdapat
mikroba patogen seperti Salmonella, Shigella dan Escherichia coli pada kedua
sampel makanan enteral yang ditunjukkan dengan jumlah mikroba patogen <1
atau negatif.
HACCP Plan pada Proses Produksi Makanan enteral
HACCP pada penyelenggaraan makanan enteral di Rumah Sakit Dustira
belum dilaksanakan pada setiap pengendalian mutunya. Namun, pengendalian
mutu yang selama ini dilakukan dapat dikatakan secara tidak langsung telah
menerapkan prinsip-prinsip HACCP, namun penanganannya belum maksimal,
belum secara benar dan tepat menerapkan HACCP sesuai dengan kondisi yang
disyaratkan.
Pada penelitian ini akan dicoba untuk menerapkan konsep HACCP
terhadap keseluruhan tahapan produksi secara umum. HACCP plan dibentuk
dalam tabel yang terdiri dari Critical Control Point (CCP), risiko bahaya, tindakan
pencegahan, batas kritis, prosedur pemantauan, dan tindakan koreksi.
Penerapan HACCP di Rumah Sakit Dustira pada penyelenggaraan makanan
enteral dilakukan mulai dari tahap pengadaan bahan makanan, penerimaan
bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, persiapan bahan makanan,
pengolahan, pewadahan dan pendistribusian makanan enteral ke pasien.
HACCP plan dapat dilihat pada Tabel 20.
Berdasarkan Tabel 20, dapat diketahui bahwa CCP pada proses produksi
makanan di Instalasi Gizi ada pada tahap pengolahan. Pada tahap pengolahan,
titik kritis yang harus dikendalikan adalah suhu dan waktu pemasakan. Suhu dan
waktu pemasakan yang tidak tepat dapat memungkinkan pertumbuhan mikroba
thermotrof (mikroba tahan panas). Selain itu, pengendalian juga perlu dilakukan
berkaitan dengan prosedur kerja dan higiene penjamah, terutama tenaga
pengolah. Prosedur kerja yang tidak sesuai dengan Standard Operating
Procedure (SOP) dan higiene penjamah yang kurang baik dapat menimbulkan
kontaminasi silang ke dalam makanan yang diolah.
55

Tabel 20 HACCP pada proses produksi makanan enteral di Instalasi Gizi RS


Dustira
Hasil Risiko Cara Prosedur Tindakan
CCP Batas Kritis
Pengamatan Bahaya Pengendalian Pemantauan Koreksi
Mutu bahan Spesifikasi Spesifikasi Membuat menolak
pangan yang mutu bahan mutu setiap daftar rekanan bahan
Spsesifikasi mutu dipesan pangan lebih bahan yang dapat pangan yang
bahan pangan rendah lengkap pangan memberikan tidak sesuai
yang ditetapkan kurang jelas jaminan mutu standar
Pengadaan merupakan Pemilihan Memilih
bahan kategori umum lebih teliti pemasok
makanan yang biasa terhadap yang dapat
digunakan untuk pemasok yang memberikan
ukuran rumah dapat jaminan
tangga memberikan mutu
jaminan mutu
pangan
Bahan Pemantauan Bahan Inspeksi Dibuang
pangan yang mutu bahan pangan yang proses atau tidak
diterima pangan sesuai diterima penerimaan digunakan
Sebagian bahan bermutu standar yang kadaluarsa, bahan pangan serta
Penerimaan pangan seperti rendah telah rusak atau dan inspeksi meminta
bahan sayuran yang ditetapkan busuk label bahan penggantian
makanan sudah agak layu Sortasi pangan bahan yang
tetap diterima sama atau
bahan yang
bernilai
sama
Kontaminasi Pencucian Masih Inspeksi hasil Dicuci ulang
Bahan pangan
fisik (kotoran/ bahan pangan terdapat pencucian
yang telah
jerami, debu, sebelum kotoran pada
diterima langsung
hama) disimpan bahan
di simpan
pangan
Kontaminasi Penyimpanan Penyimpan- Pemantauan Sistem
Bahan pangan silang bahan pangan an bahan sistem penyimpan-
tidak ditempatkan perjenis bahan pangan tidak penyimpanan annya ditata
sesuai dengan pangan disimpan bahan pangan ulang
jenisnya, seperti (gudang sesuai dengan
buah pisang basah, dengan jenis memberikan
ditempatkan di kering/harian) bahan tempat
gudang kering makanannya terpisah
bersama dengan sendiri untuk
tepung-tepungan masing-
Penyimpan- dan beras. masing jenis
an bahan pangan
makanan Menghambat Kondisi Rak Pemantauan Menggeser
aliran udara gudang penyimpanan jarak rak ke rak hingga
dan penyimpanan kurang dari 5 dindig sesuai
Rak penyimpanan
membuat harus tertutup, cm dari maupun ke dengan
berjarak <5 cm
udara dalam berventilasi dinding dan lantai standar yang
dari dinding dan
makanan baik, sirkulasi kurang 15 cm berlaku
<15 cm dari lantai
menjadi udara lancar dari lantai,
lembab. SOP
penyimpanan
Kegagalan Dilakukan Pencatatan Pemantauan Mencatat
dalam sistem pencatatan tidak pencatatan ulang barang
Sistem FIFO tidak FIFO seperti tanggal dilakukan setiap hari yang masuk
menggunakan masuk, atau keluar
pencatatan tanggal keluar, gudang
tanggal penyimpan-
kadaluarsa an
56

Tabel 20 (lanjutan)

Hasil Risiko Cara Prosedur Tindakan


CCP Batas Kritis
Pengamatan Bahaya Pengendalian Pemantauan Koreksi
Kontaminasi Sanitasi Gudang Inspeksi Tempat
Di gudang fisik (hama) gudang masih terlihat kebersihan penyimpan-
terdapat barang- penyimpanan kotor gudang an segera
barang yang tidak secara berkala dibersihkan
digunakan, (setiap hari) ulang
seperti dus-dus
bekas, dan
plastik yang
Penyimpan- sudah tidak
an bahan digunakan
pangan
Kontaminasi Kondisi Kemasan Pemantauan Menutup
Bahan pangan
silang penyimpanan tidak tertutup kondisi ulang
disusun secara
bahan pangan rapat kemasan
bertumpuk dan
dikemas
beberapa bahan
tertutup, tidak
pangan kemasan
bertumpuk-
tidak ditutup
tumpuk, bebas
dengan baik
hama
Kontaminasi Pencucian, Masih Inspeksi hasil Dicuci ulang
fisik (kotoran/ pengupasan, terdapat pencucian serta bahan
jerami, pemotongan kotoran/jera pangan tidak
Masih terdapat
bagian bahan pangan mi, bagian digunakan
kotoran yang
tanaman tanaman bila masih
berasal dari
yang yang rusak ada bagian
bahan baku
rusak/busuk, atau busuk yang terkon-
(bahan pangan)
hama) serta hama taminasi
setelah
pencucian
Kontaminasi Sanitasi alat Pencucian Inspeksi suhu Dicuci ulang
Alat persiapan silang (alat sebelum dan alat air dan hasil
yang digunakan persiapan setelah persiapan pencucian
tidak dibersihkan dan digunakan dengan air
terlebih dahulu penjamah) <82⁰C dan
dan alat
tidak
persiapan yang
menggunaka
digunakan secara
n bahan
Persiapan bergantian untuk
sanitazer
bahan berbagai jenis
makanan bahan pangan
tanpa dicuci
terlebih dahulu
Higiene Penjamah Inspeksi cara Penjamah
penjamah tidak kerja tidak
mencuci penjamah diijinkan
tangan bekerja jika
sebelum dan sakit
Penjamah tidak sesudah
mencuci tangan persiapan
saat akan serta saat
berpindah berganti
menangani bahan menangani
pangan lain, bahan lain,
penjamah
sakit
57

Tabel 20 (Lanjutan)

Hasil Risiko Cara Prosedur Tindakan


CCP Batas Kritis
Pengamatan Bahaya Pengendalian Pemantauan Koreksi
30% penjamah Kontaminasi Penjamah penjamah Inspeksi cara Penjamah
menggunakan fisik (rambut) menggunakan tidak kerja dianjurkan
penutup kepala atribut kerja mengguna- penjamah mengguna-
namun tidak kan penutup kan penutup
menutupi rambut kepala kepala
secara hingga hingga
keseluruhan menutupi menutupi
rambut rambut
secara secara
keseluruhan keseluruhan
Kontaminasi Pemasakan Suhu Pemantauan Diproses
biologi (E. pemasakan suhu dan ulang
Pengolahan
coli, <85⁰C waktu waktu
bahan pangan
Salmonella, proses pemasakan
tidak dimasak
Shigella, kurang dari
sempurna
Staphylococc 30 menit
us aureus)
Pengolahan
Kontaminasi Sanitasi alat Alat tidak Inspeksi Dicuci ulang
bahan Beberapa alat
silang (alat pengolahan dicuci dan pencucian alat
makanan yang akan
persiapan dan ruang tidak
digunakan tidak
dan pengolahan didesinfeksi
dicuci terlebih
penjamah) sebelum
dahulu
digunakan
80% penjamah Higiene Penjamah Pemeriksaan Penjamah
tidak penjamah tidak kesehatan dianjurkan
menggunakan mencuci dan mengguna-
sarung tangan tangan kebersihan kan sarung
saat memegang sebelum dan penjamah tangan
bahan pangan sesudah
seperti buah, persiapan
penjamah tidak serta saat
mencuci tangan berganti
saat akan menangani
berpindah bahan lain
menangani bahan
pangan lain,
Kontaminasi Makanan Makanan Pemantauan Di proses
ulang dari enteral enteral di proses dan ulang
Makanan enteral
uap air didinginkan tutup cara kerja
yang telah diporsi
dahulu sebelum uap
bersuhu ±80⁰C
sebelum di panasnya
tutup hilang
Kontaminasi Higiene Penjamah Inspeksi cara Pengawasan
70% penjamah silang penjamah mengobrol kerja pada saat
berbicara saat (penjamah) saat penjamah proses
proses pewadahan, pewadahan
Pewadahan penjamah dan
pewadahan
Pewadahan sakit pengemasan
30% penjamah Kontaminasi Penjamah penjamah Inspeksi cara Penjamah
menggunakan fisik (rambut) menggunakan tidak kerja dianjurkan
penutup kepala atribut kerja mengguna- penjamah mengguna-
namun tidak kan penutup kan penutup
menutupi rambut kepala kepala
secara hingga hingga
keseluruhan menutupi menutupi
rambut rambut
secara secara
keseluruhan keseluruhan
58

Tabel 20 (Lanjutan)
Hasil Risiko Cara Prosedur Tindakan
CCP Batas Kritis
Pengamatan Bahaya Pengendalian Pemantauan Koreksi
Kontaminasi Sanitasi alat Alat angkut Pengontrolan Pembersih-
Trolley fisik (debu angkut yang alat angkut an ulang alat
Pendistri-
dibersihkan satu dan kotoran sebelum digunakan angkut
busian
minggu sekali yang digunakan kotor
menempel)
59

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Penjamah makanan enteral di instalasi gizi belum pernah diberikan
pelatihan mengenai higiene sanitasi. Sebagian besar (90%) penjamah makanan
enteral memiliki pengetahuan yang baik tentang higiene sanitasi. Perilaku higiene
sanitasi penjamah makanan enteral secara umum kurang baik, hal tersebut
dikarenakan masih terdapatnya perilaku-perilaku penjamah makanan enteral
yang tidak higienis.
Fasilitas fisik dan sanitasi di Instalasi Gizi sudah memenuhi laik fasilitas
fisik dan sanitasi dan termasuk dalam tingkat mutu Golongan B berdasarkan
persyaratan Peraturan Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/ PER/VI/2011
tentang persayaratan higiene sanitasi jasaboga yaitu sebesar 83.6%. Tahap
pengadaan bahan pangan di Instalasi Gizi masih kurang dalam penetapan
spesifikasi mutu. Spesifikasi yang ditetapkan oleh pihak Instalasi gizi masih
merupakan kategori umum yang biasa digunakan untuk ukuran rumah tangga
dan belum menunjukkan kualitas bahan pangan yang sebenarnya.
Tahap penerimaan sudah memenuhi syarat upaya higiene sanitasi
(93.3%) berdasarkan Permenkes no.1096/Menkes/PER/VI/2011. Hasil
pengamatan pada tahap penyimpanan secara keseluruhan pada tiap tempat
masih belum memenuhi syarat (85.0%) terutama pada upaya pencegahan
kontaminasi silang dan sistem FIFO. Hasil pengamatan saat persiapan dan
pengolahan makanan enteral menunjukkan belum memenuhi syarat higiene
sanitasi (84%) berdasarkan Permenkes no. 1096/Menkes/PER/VI/2011, terutama
pada higiene personal penjamah yang terlibat, begitu pula upaya higiene sanitasi
pada tahap pewadahan belum memenuhi syarat higiene sanitasi (86.7%). Tahap
pendistribusian sudah memenuhi syarat upaya higiene sanitasi (93.3%).
Secara keseluruhan upaya higiene sanitasi di Instalasi Gizi Rumah Sakit
Dustira yaitu sebesar 88.5%. Berdasarkan Permenkes no. 1096/Menkes/
PER/VI/2011 tentang persyaratan higiene sanitasi jasaboga golongan B
(pelayanan kesehatan) termasuk kategori kurang memenuhi syarat. Titik kendali
kritis (CCP) pada proses produksi makanan enteral di Instalasi Gizi RS Dustira
yaitu pada tahap pengolahan dan risiko bahaya yang harus dikendalikan adalah
kontaminasi fisik (rambut), biologi (salmonella, shigella, e.coli) dan kontaminasi
silang (alat dan penjamah).
60

Saran
Pengawasan personal higiene pada penjamah yang terlibat dalam tahap
produksi harus diperhatikan. Pengawasan dapat dilakukan dengan cara
koordinator setiap unit mendampingi dan memberikan arahan pada penjamah
makanan saat produksi berlangsung. Pencegahan kontaminasi silang di gudang
penyimpanan harus lebih ditingkatkan. Selain itu, sistem FIFO yang diterapkan
sebaiknya dilengkapi dengan pencatatan tanggal masuk dan tanggal keluar
setiap bahan pangan. Sebaiknya penerapan HACCP dilakukan oleh Instalasi Gizi
RS Dustira sebagai suatu alat pengawasan, pengendalian dan prosedur
pengaturan untuk menjaga makanan tidak tercemar sebelum disajikan.
61

DAFTAR PUSTAKA

Afrienti. 2002. Higiene Sanitasi Penyelenggaraan Makanan di Instalasi Gizi


Rumah Sakit Jiwa Pekanbaru dan Rumah Sakit Jiwa Ibnu Sina Pekanbaru
[skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, IPB,
Bogor.

Anom A. 2001. Penerapan Sistem HACCP pada Penyelenggaraan Makanan di


Rumah Sakit, Buletin Bina Dinkes edisi no 40.

Anwar H., et al. 1986. Sanitasi Makanan dan Minuman pada Institusi Pendidikan
Tenaga Sanitasi. Jakarta : Depkes RI.

Ariesman. 2009. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Undang-


Undang No 7 tahun 1996 tentang pangan. BPOM. Jakarta.

Depkes RI. 1996. Modul Pelatihan Penyehatan Makanan dan Minuman bagi
Petugas Puskesmas. Jakarta : Depkes RI.

_________. 2002. Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia. Jakarta: Depkes


RI.

_________. 2003. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.

[FAO] Food and Drug Admistration. 1997. Basic Texts on Food Hygiene. Rome,
Italy.

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Makanan Jilid 1. Jakarta : Gramedia.

_______. 1994. Pengendalian Keamanan dan Penerapan HACCP dalam


Perusahaan Jasa Boga. Bulletin Teknologi dan Industri Pangan. 5(3).
71-78.

Fardiaz D. 1999. Praktek Pengolahan Pangan yang Baik. Di dalam : Hardinsyah


dan Rimbawan, editor. Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan.
Jakarta : PAPTI, PERGIZI Pangan, PDGMI, Persagi, dan proyek CHN III
komponen dikti.

Gaman P.,& Sherrington 1993. Pengantar Ilmu Pangan, Makanan dan


Mikrobiologi. Yogyakarta : Gajah Mada Universy Press.

Gaston G. 1999. Cleaning And Disinfecting System. Di dalam N. Chesworth,


editor. Food Hygiene Auditing. Maryland : Aspen Publication.

Gunarsa S. & Y.S. Gunarsa. 1991. Psikologi Praktis : Anak, Remaja dan
Keluarga. Bpk Gunung Mulia, Jakarta.

Hardjodisastro, D., Syam AF, Sukrisman L. 2006. Dukungan Nutrisi pada Kasus
Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, FKUI.
62

Hardinsyah & Tambunan V. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan
Serat Makanan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII.
Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: LIPI.

Hariyadi P. 2007. Pangan dan Daya Saing Bangsa. Di dalam: Purwiyatno


Hariyadi, editor. Upaya Peningkatan Kemanan, Mutu, dan Gizi Pangan
Melalui Ilmu dan Teknologi. Seafast Center IPB. Bogor.

Hartono. 2000. Asuhan Makanan Rumah Sakit. Yogyakarta : Buku Kedokteran


EGC.

Hartono A., & W. Palupi. 2006. Penyakit Bawaan Makanan: Fokus Pendidikan
Kesehatan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC,

Hill G.L, 2000. Makanan Enteral. Di dalam Darmawan, editor. Buku Ajar
Makanan Bedah. Jakarta : Gramedia.

Jenie B.S.L. 1995. Sanitasi dalam Industri Jasa Boga. Laporan Akhir Kursus
Mikrobiologi Makanan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi,
IPB.

__________. 2000. Sanitasi dan Higiene pada Pengolahan Pangan. Di dalam


Hardinsyah dan Rimbawan, editor. Analisis Bahaya dan Pencegahan
Keracunan Pangan. Jakarta : PAPTI, PERGIZI Pangan, PDGMI, Persagi,
dan proyek CHN III komponen dikti.

Keitser D.C. 1990. Food and Beverage Control (2nd ed). USA : Prentice hall.

Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Diktat Departemen


Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor.

Kurnia N. 2005. Nutrisi. www.husada.co.id [9 September 2011]

Marriot N.G. 1999. Principle of Food Sanitation : 4 th edition. Maryland : Aspen


Publication.

Moehyi S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi Jasa Boga. Jakarta :


Bharatara.

________. 1999. Pengaruh Makanan dan Diet untuk Penyembuhan Penyakit.


Jakarta : Gramedia.

Muchtadi T.R dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

Mukrie N.A., A.B. Ginting, I. Ngadiarti, A. Hendrorini, N. Budiarti, & Tugiman.


1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar. Proyek Pengembangan
Pendidikan Tenaga Gizi Pusat Bekerjasama dengan Akademi Gizi
Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Notoatmodjo S. 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rieka cipta.


63

[Permenkes] Peraturan Menteri Kesehatan. 2011. Peraturan Menteri Kesehatan


RI no. 1096/Menkes/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasa Boga.

Purnawijayanti H.A. 2001. Sanitasi Higiene dan Keselamatan Kerja dalam


Pengolahan Makanan. Yogyakarta : Kanisius.

Sambas E. S. 1991. Manajemen Makanan dan Gizi Institusi. Bogor : Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi IPB.

Siagian C. M. 1998. Dukungan Nutrisi Enteral dan Sistem Imun Saluran Cerna,
dalam Daldiyono dan Thaha A.R., Kapita Selekta Makanan Klinik,
Perhimpunan Makanan Enteral dan Parentral Indonesia (PERNEPARI),
Jakarta.

Silberman H & D. Eisenberg. 1982. Parenteral and Enteral Nutrition for The
Hospitalized Patient. USA : Prentice Hall. Inc.

Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : UI press.

Subandriyo V.U. 1993. Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit [Diktat].


Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. IPB. Bogor.

_________. 1994. Sanitasi dan Keselamatan Kerja pada Usaha Jasa Boga.
[Diktat]. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. IPB.
Bogor.

Sugiyono. 2009. Statistika untuk penelitian. Bandung : CV. Alfabeta

Supardi I. & Sukamto. 1998. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan


Pangan. Cimahi : Alumni.

Syarief R & H. Halid. 1992. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Antar


Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

Tanra A. H. 1998. Dasar-dasar Makanan Enteral, dalam Daldiyono dan Thaha


A.R., Kapita Selekta Makanan Klinik, Perhimpunan Makanan Enteral dan
Parentral Indonesia (PERNEPARI), Jakarta.

Thaha, A. R. 1998. Aspek Gizi Nutrisi Enteral, dalam Daldiyono dan Thaha A.R.,
Kapita Selekta Makanan Klinik, Perhimpunan Makanan Enteral dan
Parentral Indonesia (PERNEPARI), Jakarta.

Thaheer, H. 2008. Sistem Manajemen HACCP. Bogor : Bumi Aksara.

Winarno, F.G. & Surono. 2002. HACCP dan Penerapannya dalam Industri
Pangan. Bogor : M-Brio.

Wirakusumah, E.S. 1999. Pengendalian Mutu dan Keamanan Makanan Massal.


Makalah Disajikan dalam Pelatihan Pengendalian Mutu dan Keamanan
Pangan bagi Staf pengajar, Bogor.
64

LAMPIRAN
Lampiran 1 Struktur Organisasi Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira

KARUMKIT
WAKARUMKIT

KA INSTALASI GIZI

PELAKSANA
ADMINISTRASI

KEPALA UNIT PRODUKSI DAN KEPALA UNIT KEPALA UNIT KEPALA UNIT
DISTRIBUSI MAKANAN GIZI WATNAP GIZI WATLAN LITBANG

KABAG PRODUKSI DAN KABAG GUDANG KABAG GIZI


DISTRIBUSI MAKANAN MAKANAN WATNAP

PELAKSANA PENGOLAH PELAKSANA PENYAJI


MAKANAN GUDANG

65
66

Lampiran 2 Denah Instalasi Gizi Rumah Sakit Dustira

Keterangan :

A = R. Penerimaan G = Gudang harian N = Loker karyawan


B = Gudang basah H = Dapur susu O = R. Kepala Instalasi Gizi
C = R. Pengolahan I = R. Pengolahan makanan cair P = R. Pengolahan makanan karyawan
D = R. Distribusi J = Toilet Q = R. Pengolahan nasi
E = Tempat pencucian K = Tempat sampah R = R. Peralatan
F = R. Persiapan M = Gudang kering
67
Lampiran 3 Dokumentasi penelitian

Proses Penerimaan

Gudang Basah Gudang Kering Gudang Harian

Proses Penyimpanan

Proses Persiapan
Lampiran 3 (Lanjutan) 68

Proses Pengolahan

Proses Pewadahan

Proses Pendistribusian Makanan Enteral

Вам также может понравиться