Вы находитесь на странице: 1из 22

KEBENCANAN

Secara sederhana bencana geologi mengandung pengertian kejadian fisik


alam yang berasosiasi dengan kondisi geologi yang mengarah pada kerugian baik
ekonomi maupun jiwa manusia. Geologi menelaah segala sesuatu yang yang mencakup
gejala proses dan mekanisme ataupun sifat-sifat yang ditunjukan didalam permukaan
bumi dengan hubungan sebab akibat dalam (kulit) bumi.
Proses-proses geologi itu dapat terekspresikan sebagai tsunami, gelombang
karena badai, banjir, erosi pantai dan sedimentasi. Selain itu, ada satu proses geologi
yang umum terjadi di daerah pesisir yang tidak ada kaitannya dengan berbagai
fenomena yang telah disebutkan di atas, yaitu subsiden. Macam bencana yang terakhir
ini berkaitan dengan kondisi geologi daerah pesisir dan aktifitas manusia.
Proses geologi yang berhubungan dengan dinamika lantai samudera
diantaranya adalah longsor dasar laut yang berpotensi merusak dasar laut. Longsor
dasar laut yang berasosiasi dengan gempa bumi dapat memicu terjadinya tsunami yang
besar dengan dampak yang sangat merusak. Ada beberapa jenis longsor dasar laut yaitu
flow slide (longsor mengalir), mudflow (aliran lumpur) dan slump (nendatan). Flow
slide disebabkan oleh akumulasi bahan rombakan longsor yang mengalir dari lereng
atas ke bawah mengikuti lereng.
Jenis longsor ini biasanya muncul di sedimen lemah berupa pasiran dengan
pergerakan yang sangat cepat. Mudflow adalah longsor yang terjadi di daerah yang
mengalami pengendapan secara cepat. Bentuk longsor ini amat kompleks sehingga
mekanisme kejadiannya jarang bisa diketahui (Garrison and Sangrey. 1977). Slump
adalah pergerakan material tidak terkonsolidasi atau terkonsolidasi lemah di
permukaan retakan yang berotasi turun sepanjang bidang lengkung (Monroe and
Wicander, 1997). Slump bisa terjadi pada hampir semua daerah paparan benua
(continental shelf) yang memiliki gradien lereng cukup curam. Walau slump sering
bergerak lebih lambat daripada jenis longsor lain tapi potensi kerusakan yang
diakibatkannya lebih besar mengingat perpindahan materialnya di sepanjang bidang
luncur (failure surface) akan merusak tiap struktur buatan manusia (Garrison and
Sangrey 1977).
1. Sebaran Potensi Bencana Geologi di Laut
Daerah yang berpotensi dalam bencana geologi laut merupakan daerah yang
termasuk dalam kawasan Cincin Api Pasifik. Cincin Api Pasifik atau Lingkaran Api
Pasifik (Ring of Fire) adalah daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan
gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudra Pasifik. Daerah ini berbentuk
seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 km. Daerah ini juga sering
disebut sebagai sabuk gempa Pasifik.
Sekitar 90% dari gempa bumi yang terjadi dan 81% dari gempa bumi terbesar
terjadi di sepanjang di kawasan Cincin Api ini. Daerah gempa berikutnya (5-6% dari
seluruh gempa dan 17% dari gempa terbesar) adalah sabuk Alpide yang membentang
dari Jawa ke Sumatra, Himalaya, Mediterania hingga ke Atlantika. Negara-negara yang
termasuk dalam kawasan Cincin Api antara lain yaitu Selandia Baru, Indonesia,
Malaysia, Filipina, Jepang, Alaska, Colombia, California, Meksiko, Guatemala dan
Nikaragua.

Gambar 1. Peta Daerah Kawasan Cincin Api Pasifik


Bencana geologi dapat juga terjadi di berbagai tempat di permukaan bumi.
Meskipun demikian, macam-macam proses geologi atau bencana geologi yang terjadi
di suatu setting lingkungan sangat ditentukan oleh kondisi geologi dan geomofologi
yang ada di lingkungan tersebut. Sebagai contoh, macam-macam bencana geologi yang
dapat terjadi di daerah pegunungan tentu berbeda dengan macam-macam bencana
geologi yang dapat terjadi di daerah pesisir.
1.1.Tsunami
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa kawasan-kawasan pesisir Indonesia
yang sangat berpotensi terkena tsunami adalah:
1) Kawasan pesisir dari pulau-pulau yang menghadap ke Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia. Potensi sumber kejadian tsunami yang utama di kawasan-
kawasan itu adalah sistem penunjamanyang ada di hadapan kawasan-kawasan
pesisir itu
2) Kawasan pesisir dari pulau-pulau di kawasan Laut Banda. Di kawasan ini, tsunami
dapat berasal dari kawasan Busur Banda maupun berasal dari Samudera Pasifik
atau Samudera Hindia yang masuk ke kawasan itu
3) Kawasan pesisir pulau-pulau yang berhadapan dengan gunungapi bawah laut,
seperti kawasan pesisir di kedua sisi Selat Sunda yang mengelilingi Gunung
Krakatau

Gambar 2. Penyebaran peristiwa tsunami di Indonesia periode 1990-2006


Tabel 1. Kejadian tsunami di Indonesia dalam periode 1990 – 2006

1.2. Gelombang Badai

Gelombang badai adalah sebutan untuk fenomena gelombang laut yang


terjadi karena tiupan angin badai yang ukurannya di atas ukuran gelombang normal,
yang melanda ke daratan. Di Indonesia, secara umum masyarakat menyebut fenomena
gelombang ini dengan gelombang pasang. Gelombang badai dapat menyebabkan air
laut naik ke daratan hingga mencapat jarak 200 meter ke dalam daratan dari tepi pantai.
Berbeda dengan tsunami yang terjadi karena gempa, longsoran bawah laut atau letusan
gunungapi bawah laut, fenomena gelombang badai ini terjadi menyusul terjadinya
badai atau tiupan angn yang sangat kencang di lautan (fenomena meteorologi), tinggi
gelombangnya dapat mencapai belasan meter di daerah dekat sumber angin, dan
gelombang terus berlangsung selama angin bertiup dan reda bersama dengan redanya
tiupan angin. Berkaitan dengan mekanisme pencetusannya, fenomena gelombang
badai ini hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu yang berkaitan dengan musim angin
tertentu dan hanya melanda lokasi-lokasi tertentu pula.
Gambar 3. Gelombang badai yang melanda Kepulauan Indonesia pada bulan Mei 2007.
Tanda Panah Besar (di Samudera Hindia) menunjukkan arah datang gelombang badai
dari Samudera Hindia, dan Tanda Panah Kecil (di Laut Jawa) menunjukkan gelombang
badai yang melanda wilayah pesisir Cirebon-Indramayu.

Peristiwa gelombang badai yang terbaru terjadi di Indonesia terjadi pada


pertengahan bulan Mei 2007 yang melanda kawasan pesisir Pulau Sumatera, Jawa, Bali
dan pulau-pulau Nusa Tenggara Barat dan Timur (BBC Indonesia, 2007; Antara,
2007), yang menghadap ke Samudera Hindia; dan gelombang badai yang melanda
kawasan pesisir utara Pulau Jawa di daerah Inderamayu – Cirebon (Kompas, 2007).
Peristiwa fenomena gelombang badai dapat disimpulkan bahwa:
1) Kawasan pesisir dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan pulau-pulau Nusa Tenggara
yang menghadap ke Samudera Hindia merupakan kawasan pesisir yang berpotensi
untuk terkena gelombang badai yang datang dari Samudera Hindia. Hal ini
berkaitan dengan kemungkinan terjadinya angin siklon di Samudera Hindia.
Memperhatikan kejadian terbaru dari gelombang badai yang terjadi, maka
gelombang badai di masa datang mungkin terjadi dalam bulan Mei.
2) Segmen pantai kawasan pesisir utara Pulau Jawa yang menghadap ke arah timur
adalah kawasan pesisir yang sangat berpotensi untuk terkena gelombang badai
yang terjadi pada saat Musim Timur berlangsung di bulan Mei.
Fenomena gelombang badai muncul berkaitan dengan fenomena meteorologi
berupa tiupan angin yang kemungkinan waktu terjadinya relatif teratur sepanjang tahun
sesuai dengan perubahan musim. Dengan demikian, prediksi atau peringatan dini
terjadinya gelombang badai lebih mudah dilakukan dari pada prediksi atau peringatan
dini tsunami. Mengenai sifat merusak dari gelombang badai ini, kemampuan merusak
dari gelombang badai memang kecil bila dibandingkan dengan tsunami seperti yang
melanda Propinsi Nagroe Aceh Darussalam pada 26 Desember 2004. Meskipun
demikian, untuk kondisi tertentu di suatu tempat tertentu, gelombang badai bisa cukup
kuat, seperti yang terjadi pada 11 Juni 2007 di Pantai Nobbys, Newcastle, Australia.
Gelombang badai yang terjadi di kawasan pesisir itu mampu mengkandaskan kapal
yang memuat batubara seberat 30.000 ton ke pantai (Media Indonesia, 2007).
1.3.Banjir
Banjir adalah fenomena alamiah yang umum terjadi di daerah pesisir.
Dibandingkan dengan tsunami dan gelombang badai, banjir tidak memberikan
kerusakan yang sedramatis kedua bencana itu dan jumlah korban jiwa yang dapat
ditimbulkan oleh bajir juga sangat kecil. Namun, seiring dengan meningkatnya
pembangunan fisik di daerah pesisir, kerugian finansial yang terjadi karena banjir juga
makin meningkat dari tahun ke tahun. Kerugian terjadi karena banjir terutama dalam
bentuk kerusakan barang yang tergenang air, rusaknya lahan pertanian dan tambak
karena tergenang, terhambatnya kegiatan perekonomian, biaya pemulihan setelah
banjir, dan biaya upaya penanggulangan banjir, atau biaya pemindahan infra struktur
dan pemukiman ke lokasi lain yang bebas banjir. Berdasarkan pada sumber air yang
menggenanginya, banjir di daerah pesisir dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
banjir yang terjadi karena meningkatnya debit aliran sungai, dan banjir karena pasang-
surut.
1.4.Banjir Luapan Sungai
Aliran air dan sedimen ke dalam aliran sungai berubah atau bervariasi sesuai
dengan ruang dan waktu. Aliran sungai dikatakan normal bila aliran itu terbatas di
bawah tebing salura sungai, tetapi kadang-kadang saluran sungai tidak dapat
menampungnya sehingga air sungai dan muatan sedimen melimpah ke daerah
sekitarnya. Daerah di sekitar aliran sungai besar umumnya adalah dataran banjir yang
terbentuk oleh sistem fluvial untuk mengakomodasi debit aliran sungai yang besar dan
jarang terjadi (Cooke dan Doornkamp, 1977). Di daerah hilir dari suatu sistem aliran
sungai, dataran banjir dapat juga merupakan dataran pantai. Sebagai contoh adalah di
kawasan pesisir utara Pulau Jawa, pesisir timur Pulau Sumatera dan pesisir selatan
Pulau Kalimantan.
Cooke dan Doornkamp (1977) menyebutkan bahwa karakteristik banjir tipe ini
ditentukan oleh tiga hal yaitu fenomena transien, karakter cekungan daerah aliran
sungai, dan tataguna lahan di daerah aliran sungai. Secara singkat, penjelasan dari tiga
hal itu adalah sebagai berikut:
1) Fenomena transien. Secara umum ada beberapa fenomena ini yang dapat
menyebabkan banjir, seperti mencarinya es atau salju di daerah empat musim, dan
curah hujan yang tinggi. Di daerah tropis seperti di Indonesia, curah hujan yang
tinggi adalah penyebab umum dari banjir di daratan pesisir. Di Indonesia secara
umum dikenal adanya musim kering, transisi, dan musim basah (Tapper, 2002).
Musim basah atau musim hujan bertepatan dengan bulan Desember sampai Maret.
Banyak kawasan pesisir di Indonesia mengalami banjir secara teratur pada bulan-
bulan itu.
2) Karakter Cekungan Daerah Aliran Sungai. Faktor ini, seperti kondisi fisik
cekungan, jaringan aliran sungai dan karakter saluran sungai, menentukan karakter
hidrografi banjir yang terjadi, seperti kecepatan aliran banjir dan lamanya genangan
banjir.
3) Tataguna Lahan. Hasil penelitian dari Leopold (1968 vide Cooke dan Doornkamp,
1977) menunjukkan pentingnya tataguna lahan dalam kaitannya dengan banjir yang
terjadi. Disebutkan bahwa membangun daerah pemukiman menyebabkan beberapa
konsekuensi, seperti aliran permukaan yang lebih cepat melalui atap, jalan, dan
saluran drainase daripada bila melalaui daerah bervegetasi. Ditambahkan bahwa di
daerah-daerah tertentu urbanisasi dapat meningkatkan ketinggian dan frekuensi
banjir, mengurangi waktu jeda, dan meningkatkan laju naik dan turunnya banjir. Di
Indonesia, kasus banjir di Kota Jakarta adalah salah satu contoh tentang bagaimana
perubahan tataguna lahan di daerah aliran sungai meningkatkan tinggi dan luas
genangan banjir.
Karakter penting dari banjir tipe ini adalah bahwa banjir datang secara teratur
pada setiap musim hujan, meskipun ketingggian dan luas genangan banjir berbeda
sepanjang tahun. Pada banjir tipe ini juga dikenal adanya karakter intensitas banjir yang
berulang secara periodik dalam interval waktu tertentu, sehingga dikenal adanya banjir
tahunan, 5, 10, 25, 50 atau bahkan banjir 100 tahunan sesuai dengan karakteristik
daerah. Beberapa contoh daerah banjir tipe ini di Pulau Jawa adalah di daerah Serang,
Jakarta, Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Semarang, Kudus, Bojonegoro, dan
Lamongan. Sementara itu, secara garis besar dapat disebutkan bahwa banjir jenis dapat
terjadi di kawasan pesisir timur Pulau Sumatera dan pesisir selatan Kalimantan.
1.5.Banjir Pasang-surut
Banjir pasang-surut adalah banjir yang terjadi karena naiknya air laut ke
daratan pada waktu air laut mengalami pasang. Genangan banjir ini segera surut bila
air laut surut. Dengan kata lain, naik dan turunnya genangan banjir tipe ini mengikuti
pola naik turunnya air laut karena pasang surut yang dipengaruhi oleh posisi astronomis
bumi, bulan dan matahari. Daerah pesisir yang digenangi oleh banjir ini adalah daerah
rawa-rawa pantai atau dataran rendah di tepi pantai. Salah satu karakter penting dari
daerah pesisir adalah kemudahan transportasi. Keadaan itu mendorong manusia untuk
tinggal di tepi pantai.
Populasi penduduk masih sedikit dan orang masih dapat memilih tempat
tinggal yang aman dari banjir. Perkembangan selanjutnya, ketika populasi penduduk
meningkat yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan lahan, maka orang-orang mulai
merambah ke daerah-daerah yang tidak aman, seperti membangun pemukiman di darah
rawa-rawa atau sangat dekat ke tepi pantai. Sejak saat itulah persoalan banjir ini
muncul. Contoh dari kasus seperti ini dapat kita lihat pada perkembangan Kota Jakarta
dan Semarang. Sekarang ini di kawasan pesisir utara Jawa Tengah seperti di wilayah
Kabupaten Tegal, Pemalang, Pekalongan dan Demak bajir pasang surut sudah menjadi
masalah kronis. Di kawasan tersebut tercatat genangan banjir mencapai ketinggian 20
hingga 1 m, dan lahan pertanian dan pertambakan, perkampungan, pelabuhan dan jalan
protokol (Media Indonesia Online, 2007).
1.6.Erosi Pantai
Erosi pantai adalah proses terkikisnya batuan penyusun pantai dan terangkut
ke tempat lain oleh aktifitas gelombang dan arus laut. Erosi pantai terjadi sebagai akibat
dari bersegernya perimbangan antara kekuatan-kekuatan asal darat dan laut yang
berinteraksi di pantai, di mana kekuatan asal laut lebih kuat daripada kekuatan asal
darat. Akibat dari erosi pantai adalah hilangnya lahan daratan pesisir pantai dan segala
sesuatu yang ada di atasnya, dan bergesernya garis pantai ke arah daratan. Kerugian
yang terjadi akibat dari erosi pantai dengan demikian sangat ditentukan oleh nilai dari
lahan dan segala sesuatu yang ada di atas lahan tersebut, seperti daerah pemukiman,
perkotaan, kawasan industri, lahan perkebunan.
Gelombang laut adalah faktor utama penyebab erosi pantai. Pukulan
gelombang yang kuat di pantai merupakan tenaga utama yang menyebabkan material
batuan penyusun pantai terlepas dan kemudian terbawa arus ke tempat lain. Di pihak
lain, pembentukan gelombang laut sangat ditentukan oleh tiupan angin. Oleh karena
itu, untuk menganalisis perubahan garis pantai karena erosi pantai data angin dan
gelombang penting untuk dianalisis. Pentingnya kedua faktor itu telah ditunjukkan oleh
King (1953) yang menganalisis perubahan garis pantai di Teluk Dresden, Inggris.
Pembentukan gelombang oleh tiupan angin ditentukan oleh tiga hal, yaitu
kuatnya tiupan angin, lamanya angin bertiup, dan panjangnya lintasan angin atau fetch.
Dari ketiga faktor tersebut, faktor kekuatan dan lamanya angin bertiup ditentukan oleh
karakteristik angin yang berlaku di suatu kawasan; sementara itu, faktor fetch adalah
faktor kondisi lingkungan fisik yang sangat ditentukan oleh konfigurasi daratan dan
lautan di suatu kawasan. Di Indonesia, secara umum kita mengenal adanya Musim
Barat dan Musim Timur. Pada Musim Barat angin dominan bertiup dari arah barat, dan
Musim Timur angin dari arah timur.
Secara umum, pada Musim Barat pantai-pantai yang menghadap ke arah
barat atau terbuka dari arah barat akan mengalami pukulan gelombang yang kuat bila
di hadapannya terdapat fetch yang cukup panjang, misalnya pantai barat Kalimantan
Barat, pantai barat Sulawesi Selatan, pantai barat Selat Sunda. Sebaliknya pada Musim
Timur pantai-pantai yang menghadap ke timur atau terbuka dari arah timur akan
mengalami pukulan gelombang yang kuat dan terdapat fetch yang cukup panjang di
arah timur, seperti pantai Cirebon dan Indramayu, pantai timur Lampung.
Pukulan gelombang yang timbul karena tiupan angin yang kehadirannya
berkaitan dengan musim, pantai-pantai di Kepulauan Indonesia juga mengalami
pukulan gelombang yang datang dari Samudera Hindia maupun Pasifik. Gelombang
yang datang dari Samudera Hindia akan memukul pantai Pulau Sumatera dan pulau-
pulau di sebelah baratnya, Pulau Jawa, Bali dan pulau-pulau Nusa Tenggara yang
menghadap ke Samudera Hindia. Sementara itu, gelombang yang datang dari
Samudera Pasifik mengenai pantai-pantai di Papua bagian utara, pantai timur Waigeo,
Halmahera, Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur. Dengan setting lingkungan yang
diapit oleh dua benua dan dua samudera, maka erosi pantai karena pukulan gelombang
laut yang datang dari kedua samudera dan karena angin musim adalah konsekuensi
logis yang harus diterima.

Gambar 4. Gambaran umum lokasi pantai yang mengalami erosi di Indonesia menurut
Diposaptono et al. (2001, dengan modifikasi). Garis pantai berwarna hitam tebal
mununjukkan lokasi pantai yang mengalami erosi.
Tabel 2. Lokasi erosi pantai di Indonesia yang dicatat oleh Departemen Pekerjaan
Umum dan diberitakan oleh Media Massa.

1.6.1. Sedimentasi
Proses sedimentasi terjadi di perairan daerah pesisir yang mendapat suplai
muatan sedimen yang tinggi dan memiliki kondisi lingkunganyang relatif terlindung
dari pukulan gelombang atau berenergi rendah, dan dangkal. Secara fisik di lapangan,
keberadaan proses sedimentasi dapat dilihat dari adanya gosong pasir di perairan atau
endapan lumpur yang meluas ke perairan. Dalam jangka panjang, sedimentasi terlihat
dari perubahan kedalaman perairan atau pertambahan daratan ke arah laut atau
pergeseran garis pantai ke arah laut.
Bagi daerah pesisir, terjadinya sedimentasi dapat menguntungkan dan dapat
pula merugikan. Dari sudut pandang pertambahan lahan daratan pesisir yang diperoleh
karena sedimentasi di pantai, maka sedimentasi di perairan pesisir bersifat
menguntungkan. Namun, bila dilihat dari sudut pandang bahwa sedimentasi di perairan
pesisir menyebabkan pendangkalan alur-alur pelayaran, kolam pelabuhan, muara
sungai, dan kanal-kanal di tepi pantai, maka sedimentasi bersifat merugikan. Salah satu
contoh yang paling nyata dari sedimentasi yang menguntungkan karena memberikan
lahan pantai yang luas adalah pertumbuhan Delta Ciujung-Cidurian di Kabupaten
Serang, Propinsi Banten (Setyawan, 2003).
Sedimentasi yang menimbulkan kerugian dapat dijumpai di wilayah pesisir
Cirebon. Hasil pengamatan lapangan pada tahun 2006 menunjukkan sedimentasi di
kawasan itu menyebabkan terjadinya pendangkalan di alur-alur sungai yang berfungsi
sebagai pelabuhan rakyat dan di kolam pelabuhan perikanan di daerah pesisir selatan,
dan kanal-kanal pengendali banjir di daerah Kapetakan pesisir barat. Pendangkalan
pelabuhan dan alur-alur sungai yang berfungsi sebagai pelabuhan menimbulkan
kerugian dalam bentuk timbulnya biaya perawatan alur atau pengerukan alur dan kolam
pelabuhan yang harus dilakukan secara rutin dan biaya pembangunan jetty yang jauh
menjorok ke laut.
Tingginya suplai muatan sedimen merupakan faktor utama penyebab
sedimentasi di perairan pesisir. Sebagaimana kita ketahui bahwa masuknya muatan
sedimen ke perairan pesisir terutama terjadi melalui aliran sungai. Oleh karena itu,
suplai muatan sedimen yang tinggi melalui aliran sungai sangat ditentukan oleh tingkat
erosi lahan yang terjadi dan kondisi tataguna lahan di Daerah Aliran Sungai, dan tingkat
curah hujan. Dengan demikian, sedimentasi di perairan pesisir dapat sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor alam maupun oleh aktifitas manusia.

1.7.Subsiden

Subsiden adalah fenomena tanah yang terjadi karena pemadatan alamiah atau
beban di atasnya. Fenomena ini umum terjadi di daerah daratan pesisir yang terbentuk
melalui proses sedimentasi, baik melalui proses fluviatil maupun marin. Secara
alamiah, proses subsiden terjadi karena pemadatan alamiah dan di daerah-daerah baru
yang terbentuk oleh endapan baru, dan subsiden itu sendiri merupakan salah satu tahap
dari serangkaian proses pembentukan daratan melalui sedimentasi.
Subsiden karena beban terjadi di daerah-daerah rawa yang terbangun menjadi
daerah pemukiman atau perkotaan. Tekanan beban yang terjadi berasal dari berat
berbagai macam bangunan dan prasarana yang dibangun di atasnya. Di Indonesia
banyak kota dan daerah pemukiman yang berkembang di daerah pesisir. Pada awal
perkembangannya, kawasan kota maupun pemukiman berkembang di daerah yang
bukan rawa. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kegiatan sektoral di kota-kota
maupun daerah pemukiman telah membuat kawasan kota-kota maupun pemukiman
berkembang dan berekspansi ke daerah rawa-rawa di sekitarnya. Rawa-rawa ditimbun
dan kemudian berbagai bangunan fisik yang berat di bangun di atasnya, dan berbagai
aktifitas yang dengan beban berat juga terjadi di atasnya.
Pantai ditimbun untuk keperluan pengembangan pelabuhan, kawasan
perdagangan dan industri, pembangunan jalan utama, dan pengembangan pemukiman.
Beban berat yang diletakkan di atas endapan rawa telah menyebabkan terjadinya
subsiden. Dampak negatif yang paling nyata dari subsiden itu adalah bahwa kawasan
pengembangan tersebut mengalami genangan oleh banjir pasang surut. Selain itu,
berbagai bentuk kerusakan juga dapat kita lihat dengan mudah di kawasan yang
mengalami subsiden adalah:

1) Bangunan yang tampak lebih rendah dari pada jalan atau lahan disekitarnya. Dalam
banyak kasus, bangunan menjadi tidak dapat dimanfaatkan (ditinggalkan atau
dibongkar), atau lantainya ditinggikan sehingga langit-langitnya menjadi lebih
rendah daripada ukuran normal suatu bangunan.
2) Jalan-jalan yang dibuat dengan beton cor mengalami keretakan, sedang yang dibuat
dari aspal akan bergelombang
3) Selain kerusakan fisik bangunan dan jalan, dampak lain dari subsiden adalah biaya
untuk meninggikan jalan, pembuatan tanggul-tanggul dan operasional pompa air,
serta perbaikan prasarana kota yang rusak. Studi detil dampak dari subsiden
terhadap Kota Semarang telah dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002).
2. Tsunami
2.1.Pengertian tsunami
Tsunami, kata ini berasal dari Jepang, tsu berarti pelabuhan, nami berarti
gelombang. Tsunami dipergunakan untuk gelombang pasang yang memasuki
pelabuhan. Pada laut lepas misal terjadi gelombang pasang sebesar 8 m tetapi begitu
memasuki daerah pelabuhan yang menyempit tinggi gelombang pasang menjadi 30 m.
Tsunami biasa terjadi jika gempa bumi berada di dasar laut dengan pergerakan vertikal
yang cukup besar. Tsunami juga bisa terjadi jika terjadi letusan gunun gapi di laut atau
terjadi longsoran di laut.
2.2.Penyebab terjadinya tsunami
Tsunami terutama disebabkan oleh gempabumi di dasar laut. Tsunami yang
dipicu akibat tanah longsor di dasar laut, letusan gunungapi dasar laut, atau akibat
jatuhnya meteor jarang terjadi.
a. Gempa bumi
Secara umum gempabumi yang bisa menimbulkan tsunami adalah gempa
bumi tektonik yang terjadi di laut dan mempunayai karakteristik sebagai berikut :
1) Sumber gempabumi berada di laut
2) Kedalaman gempabumi dangkal, yakni kurang dari 60 km
3) Kekuatannya cukup besar, yakni di atas 6,0 SR
4) Tipe patahannya turun (normal fault) atau patahan naik (thrush fault)
Tsunami yang ditimbulkan oleh gempabumi biasanya menimbulkan
gelombang yang cukup besar, tergantung dari kekuatan gempanya dan besarnya area
patahan yang terjadi. Tsunami dapat dihasilkan oleh gangguan apapun yang dengan
cepat memindahkan suatu massa air yang sangat besar, seperti suatu gempabumi,
letusan vulkanik, batu bintang/meteor atau tanah longsor. Bagaimanapun juga,
penyebab yang paling umum terjadi adalah dari gempabumi di bawah permukaan laut.
Gempabumi kecil bisa saja menciptakan tsunami akibat dari adanya longsor di bawah
permukaan laut/lantai samudera yang mampu untuk membangkitkan tsunami
Tsunami dapat terbentuk manakala lantai samudera berubah bentuk secara vertikal dan
memindahkan air yang berada di atasnya. Dengan adanya pergerakan secara vertical
dari kulit bumi, kejadian ini biasa terjadi di daerah pertemuan lempeng yang disebut
subduksi. Gempa bumi di daerah subduksi ini biasanya sangat efektif untuk
menghasilkan gelombang tsunami dimana lempeng samudera slip di bawah lempeng
kontinen, proses ini disebut juga dengan subduksi.
b. Land slide (Tanah Longsor)
Land Slide/tanah longsor dengan volume tanah yang jatuh/turun cukup besar dan
terjadi di dasar Samudera, dapat mengakibatkan timbulnya Tsunami. Biasanya tsunami
yang terjadi tidak terlalu besar, jika dibandingkan dengan tsunami akaibat gempa bumi.
3. Gunung Berapi
Gunung berapi aktif yang berada di tengah laut, ketika meletus akan dapat
menimbulkan tsunami. Tsunami yang terjadi bisa kecil, bisa juga sangat besar,
tergantung dari besar kecilnya letusan gunung api tersebut. Ada banyak gunung api
yang berada ditengah laut di seluruh dunia. Untuk di Indonesia, yang paling terkenal
adalah letusan gunung Krakatau yang terletak di tengah laut sekitar Selat Sunda, yang
terjadi pada tahun 1883. Letusannya sangat dashyat, sehingga menimbulkna tsunami
yang sangat besar dan korban yang banyak, baik jiwa maupun harta benda. Dampak
dari bencana ini juga dirasakan kedashyatannya di negara lain. Tanah longsor di dalam
laut dalam, kadang-kadang dicetuskan oleh gempabumi yang besar seperti halnya
bangunan yang roboh akibat letusan vulkanik, mungkin juga dapat mengganggu kolom
air akibat dari sediment dan batuan yang bergerak di lantai samudera. Jika terjadi
letusan gunungapi dari dalam laut dapat juga menyebabkan tsunami karena kolom air
akan naik akibat dari letusan vulkanik yang cukup besar lalu membentuk suatu
tsunami. Contoh seperti yang terjadi di Gunung Krakatau.Gelombang terbentuk akibat
perpindahan massa air yang bergerak di bawah pengaruh gravitasi untuk mencapai
keseimbangan dan bergerak di lautan, seperti jika kita menjatuhkan batu di tengah
kolam akan terbentuk gelombang melingkar. Sekitar era tahun 1950 an ditemukan
tsunami yang lebih besar dibandingkan sebelumnya percaya atau tidak mungkin ini
disebabkan oleh tanah longsor, bahan peledak, aktifitas vulkanik dan peristiwa lainnya.
Gejala ini dengan cepat memindahkan volume air yang besar sebagai energi dari
material yang terbawa atau melakukan ekspansi energi yang ditransfer ke air sehingga
terjadi gerakan tanah. Tsunami disebabkan oleh mekanisme ini, tidak sama dengan
tsunami di lautan lepas yang disebabkan oleh beberapa gempabumi, biasanya
menghilang dengan cepat dan jarang sekali berpengaruh sampai ke pantai karena area
yang terpengaruh sangat kecil.Peristiwa ini dapat memberi kenaikan pada gelombang
kejut lokal yang bergerak cepat dan lebih besar (solitons), Seperti gerakan tanah yang
terjadi di Teluk Lituya memproduksi suatu gelombang dengan tinggi 50- 150 m dan
mencapai area pegunungan yang jaraknya 524 m. Bagaimanapun juga , suatu tanah
longsor yang besar dapat menghasilkan megatsunami yang mungkin berdampak pada
samudera.

3. Mitigasi
Mitigasi didefinisikan sebagai "Upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak
dari bencana baik bencana alam, bencana ulah manusia maupun gabungan dari
keduanya dalam suatu negara atau masyarakat."
Ada empat hal penting dalam rnitigasi bencana, yaitu :
a) Tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana.
b) Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam
menghadapi bencana karena bermukim di daerah rawan bencana.
c) Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari serta mengetahui cara
penyelamatan diri jika bencana timbul
d) Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancarnan
bencana.
Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi
bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan.
Mitigasi bencana mencakup perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk
mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana
terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang.
Mitigasi berarti mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi
pengaruhpengaruh dari satu bahaya sebelum bencana itu terjadi. Istilah mitigasi
berlaku untuk cakupan yang luas dari aktivitas-aktivitas dan tindakantindakan
perlindungan yang mungkin diawali dari yang fisik, seperti membuat bangunanyang
lebih kuat sampai dengan prosedural, seperti teknik-teknik yang baku untuk
menggabungkan penilaian bahaya di dalam rencana penggunaan lahan.
Mitigasi meliputi segala tindakan yang mencegah bahaya, mengurangi
kemungkinan terjadinya bahaya dan mengurangi daya rusak suatu bahaya yang tidak
dapat dihindarkan. Mitigasi adalah dasar managemen situasi darurat.
Untuk mitigasi bahaya tsunami sangat diperlukan ketepatan dalam menilai
kondisi alam yang terancam, merancang dan menerapkan teknik peringatan bahaya dan
mempersiapkan daerah yang terancam untuk mengurangi dampak negatif dari bahaya
tersebut. Ketiga langkah penting tersebut adalah penilaian bahaya (hazard assessment),
peringatan (warning) dan persiapan (preparedness) adalah unsur utama model mitigasi.
Unsur kunci lainnya yang tidak terlibat langsung dalam mitigasi tetapi sangat
mendukung adalah
penelitian yang terkait (tsunami-related research).

3.1.Penyelamatan Diri Saat Terjadi Tsunami


Sebesar apapun bahaya tsunami, gelombang ini tidak datang setiap saat.
Janganlah ancaman bencana alam ini mengurangi kenyamanan menikmati pantai dan
lautan.
a) Jika berada di sekitar pantai, terasa ada guncangan gempabumi, air laut dekat
pantai surut secara tiba-tiba sehingga dasar laut terlihat, segeralah lari menuju ke
tempat yang tinggi (perbukitan atau bangunan tinggi) sambil memberitahukan
teman-teman yang lain.
b) Jika sedang berada di dalam perahu atau kapal di tengah laut serta mendengar
berita dari pantai telah terjadi tsunami, jangan mendekat ke pantai. Arahkan
perahu ke laut.
c) Jika gelombang pertama telah datang dan surut kembali, jangan segera turun ke
daerah yang rendah. Biasanya gelombang berikutnya akan menerjang.
d) Jika gelombang telah benar-benar mereda, lakukan pertolongan pertama pada
korban. Jika berada di sekitar pantai, terasa ada guncangan gempabumi, air laut
dekat pantai surut secara tiba-tiba sehingga dasar laut terlihat, segeralah lari
menuju ke tempat yang tinggi (perbukitan atau bangunan tinggi) sambil
memberitahukan teman-teman yang lain.
e) Jika sedang berada di dalam perahu atau kapal di tengah laut serta mendengar
berita dari pantai telah terjadi tsunami, jangan mendekat ke pantai. Arahkan
perahu ke laut.
f) Jika gelombang pertama telah datang dan surut kembali, jangan segera turun ke
daerah yang rendah. Biasanya gelombang berikutnya akan menerjang.
g) Jika gelombang telah benar-benar mereda, lakukan pertolongan pertama pada
korban.

3.2. Upaya Mitigasi Gempa Bumi


a) Membangun bangunan vital/strategis atau bangunan lainnya yang mengundang
konsentrasi banyak manusia di wilayah rawan gempabumi menggunakan
konstruksi yang tahan terhadap gempa.
b) Tidak membangun permukiman dan aktifitas penduduk diatas, pada atau
dibawah tebing
c) Tidak mendirikan bangunan diatas tanah timbunan yang tidak memenuhi tingkat
kepadatan yang sesuai dengan daya dukung tanah terhadap konstruksi bangunan
diatasnya
d) Pemetaan mikrozonasi di wilayah rawan gempa bumi
e) Perlu adanya RUTR dan RTRW yang dituangkan dalam peraturan daerah yang
berwawasan dan mempertimbangkan aspek kebencanaan sehingga prinsip
bangunan berkelanjutan dapat tercapai
f) Membangun kewaspadaan masyarakat dan pemerintah daerah melalui pelatihan
antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi gempa bumi.
g) Menyiapkan alur dan tempat evakuasi bencana
h) Menyelenggarakan pendidikan dini melalui jalur pendidikan formal dan non-
formal tentang gempa bumi dan bahayanya di wilayah rawan gempa bumi
i) Membangun alur dan tempat pengungsian serta bukit-bukit untuk menghindar
dari gelombang tsunami
3.3. Alat-Alat Pendeksi Bencana Tsunami
1. Accelerometer

Saat terjadi gempa bumi, seismometer yang dipasang di seluruh wilayah


Indonesia akan merekam dan mencatat gelombang gempa (baca juga : Alat Pencatat
Getaran Gempa Bumi). Terdapat lebih dari 600 seismometer yang terpasang dimana
500 buah diantaranya adalah jenis accelerometer sedangkan sisanya adalah broadband
seismometer (baca : Pengertian Seismometer). Keseluruhan alat tersebut
diklasifikasikan ke dalam sepuluh regional. Kesepuluh regional tersebut meliputi :

a) Regional Center 1 di Medan – Sumatera Utara


b) Regional Center 2 di Propinsi Banten
c) Regional Center 3 di Propinsi Jawa timur
d) Regional Center 4 di Propinsi Sulawesi selatan
e) Regional Center 5 di Jayapura – Papua
f) Regional Center 6 di Propinsi Sumatera barat
g) Regional Center 7 di Daerah Istimewa Yogyakarta
h) Regional Center 8 di Kupang – Pulau Timor
i) Regional Center 9 di Ambon
j) Regional Center 10 di Manado – Sulawesi utara
Jarak antara satu alat dengan yang lain dalam sebuah regional yakni sekitar
seratus kilometer. Dengan jarak tersebut, gelombang gempa akan terekam dalam waktu
beberapa detik saja. Data yang terekam kemudian dikirim menuju pusat melalui satelit
komunikasi VSAT. Kemudian akan dilakukan analisis terhadap data sehingga
diketahui titik pusat gempa (baca : Pengertian Hiposentrum). Ketika gempa yang
terjadi memenuhi kriteria tsunami, maka peringatan bencana tsunami akan
diumumkan.

2. GPS dan Tide Gauge

BMKG juga memasang alat berupa GPS geodetik dan tide gauge di seluruh
penjuru Indonesia sehingga membentuk jaringan GPS dan tide gauge. GPS geodetik
difungsikan untuk tujuan mitigasi gempa bumi (baca : Cara Melakukan Mitigasi
Gempa Bumi). Sedangkan tide gauge bertujuan untuk mendeteksi pasang surutnya air
laut pasca terjadinya gempa bumi (baca juga : Macam- Macam Gempa Bumi).
Tide gauge memang sebuah alat ukur yang digunakan untuk mengetahui
perubahan permukaan laut, baik secara mekanik maupun secara otomatis. Alat ini
memiliki komponen pressure, sensor radar dan sensor pelampung. Tide gauge paling
ideal dipasang di dekat titik lempeng di tengah laut yang tenang. Namun pada
kenyataannya, alat ini sering dipasang di zona laut tenang meski tidak dekat dengan
titik lempeng (baca : Pengertian Tektonik Lempeng). Hal itu dikarena mahalnya biaya
pemasangan.
Setidaknya ada sejumlah 40 GPS dan 80 tide gauge yang rencananya akan
dipasang dan dikontrol oleh Bakosurtanal. Kegunaan kedua alat tersebut adalah untuk
mengamati gerakan lempeng bumi. Data arah gerakan lempeng bumi diiperlukan untuk
memprediksi daerah- daerah yang rawan gempa di masa selanjutnya. Data yang
diperoleh akan dikirim secara langsung ke BMKG pusat menggunakan VSAT.
3. Buoy

Buoy adalah sebuah alat yang berfungsi sebagai penanda yang dipasang di laut.
Pada awalnya buoy dipasang untuk aktivitas bongkar muat kapal laut. Namun, alat ini
kemudian juga difungsikan untuk mengamati tsunami yang mungkin terjadi di kawasan
tersebut (baca : Ciri Ciri akan Terjadi Tsunami). Buoy memiliki pemberat yang disebut
sinker. Sinker ini terhubung dengan buoy menggunakan rantai yang panjangnya dua
kali kedalaman laut yang dipasang buoy. Pada umumnya, buoy memiliki warna terang
seperti warna kuning agar mudah dikenali dan tidak tertabrak oleh kapal.
Indonesia melalui BPPT sudahmemasang beberapa buoy di SamuderaHindia.
Pemasangan buoy ini merupakan kerjasama antara Indonesia dan Jerman. Akan tetapi
ada saja buoy yang letaknya berubah akibat terbawa arus laut. Buoy tersebut terbawa
arus laut karena terputusnya rantai atau sinker yang menghubungkan pemberat dengan
buoy. Beberapa buoy yang ada di perairan Indonesia juga merupakan hasil kerjasama
antara Indonesia dengan WaveScan Malaysia, GITEWS Jerman dan DART Buoy
Amerika Serikat.

4. Sistem Komunikasi Accelerometer, GPS, Tide Gauge dan Buoy


Seperti yang telah dijelaskan bahwa masing- masing alat menghasilkan data.
Lalu bagaimana data tersebut bisa sampai ke tangan para analis? Keseluruhan alat yang
dikelola BMKG tersebut mengirimkan data ke BMKG pusat melalui sistem
komunikasi yang canggih. Sistem ini menggunakan komunikasi VSAT. Terdapat tiga
tipe VSAT yaitu sistem LIBRA, sistem Provider dan sistem Reftec.
Sebelum sampai di telinga masyarakat, informasi yang diolah dari data berbagai alat
pendeteksi tsunami itu telah melalui beberapa tahap.
a) Tahap pertama, data yang diterima dari accelerometer, GPS, tide gauge dan buoy
akan dianalisis oleh BMKG dan disimpan di database tsunami.
b) Tahap kedua, selain disimpan di database, data sudah berupa informasi lalu
diteruskan ke provider jaringan komunikasi Indonesia, kepada media cetak dan
elektronik, serta diteruskan ke instansi pemerintahan (pemerintah daerah provinsi
dan kabupaten) dan instansi lain seperti BNPB, POLRI, TNI, Kominfo.
c) Tahap ketiga, informasi yang telah sampai ke beberapa pihak tersebut langsung
diberitahukan ke masyarakat luas terutama masyarakat pesisir pantai (baca
: Abrasi Pantai). Pemerintah daerah (PEMDA) juga berkewajiban membunyikan
sirine tanda bahaya tsunami.
d) Sistem komunikasi tersebut sudah tersusun begitu rapi dan sistematis. Tinggal
bagaimana pelaksanaannya. Jika masyarakat sudah dilatih untuk menghadapi
bencana tsunami serta pemerintah yang berwenang cepat tanggap terhadap
bencana, maka kerusakan dan jatuhnya korban jiwa dapat diminimalisir.

Вам также может понравиться