Вы находитесь на странице: 1из 5

Teori Yang Digunakan dalam Kasus ini

1. Teori Gestalt
Membantu klien untuk selalu tegar dan kuat dalam menghadapi segala masalah yang
dihadapinya.

Klien : “Assalamualaikum. Selamat siang.” (Memberi salam)


Konselor: “Walaikumsalam. Iya, selamat siang juga.” (Tersenyum)
Klien: “Benar, ini dengan Bapak Anton Endrianto, konselor yang buka
praktek di sini?“
Konselor: “Iya, saya sendiri. Apakah ini dengan Saudara Jatnika Pinanjung, yang
kemarin telah membuat janji dengan sekretaris saya untuk konsultasi
dengan saya?”
Klien : “Iya, Pak, benar!”
Konselor: “Oh, iya, silahkan duduk! Emm, ada yang bisa saya bantu?”
Klien : “Iya, Pak, saya sedang ada masalah. Saya tidak bisa memecahkannya.”
Konselor: “Bisa diceritakan, apa masalah Anda?”
Klien: “Jadi begini Pak, akhir-akhir ini Ayah dan Ibu saya sering sekali
bertengkar, semenjak Ayah saya mempunyai pekerjaan sampingan di
sebuah Produk Obat Multilevel. Pekerjaan tetap Ayah saya adalah
sebagai karyawan swasta disebuah PT Perkebunan. Karena merasa
masih sering mempunyai waktu luang dan dirasa pekerjaannya
tersebut ringan, maka Ayah memutuskan mencari pekerjaan
sampingan, yaa... sekedar untuk mengisi waktu luang. Nah, dia
akhirnya dapat pekerjaan sampingan di produk obat multilevel.
Setelah mendapat pekerjaan sampingan itulah, kata Ibu, Ayah
selingkuh.” (tertunduk sedih)
Konselor: “Saya bisa merasakan apa yang Anda rasakan. (Empati) Tapi
bagaimana bisa Ibu Anda beranggapan kalau Ayah Anda selingkuh?
Apakah ada bukti atas tuduhan tersebut?”
Klien: “Ada Pak, Ibu saya pernah membaca SMS tidak wajar di handphone
Ayah. Nah, dari situlah Ibu saya sering marah-marah dan akhirnya
bertengkar dengan Ayah. Saya pusing sekali Bu, setiap melihat Ibu
marah-marah.”
Konselor: “Ooh, begitu yaa!(Paraphrasing) Emm, tadi Anda bilang bahwa Ibu
Anda pernah membaca SMS tidak wajar di handphone Ayah Anda.
Bisa diceritakan seperti apa bentuk SMS-nya?” (Eksplorasi)
Klien: “Saya kurang tahu Pak, karena Ibu saya tidak pernah memperlihatkan
SMS di handphone Ayah itu. Tapi yang jelas, SMS itu yang sering
membuat Ibu saya marah-marah.”
Konselor: “Oo, jadi Mas Jatnika tidak tahu ya! Seperti apa bentuk SMS tersebut?
(Paraphrasing) Ehem... tidakkah ada hal lain yang bisa membuat Ibu
Anda marah-marah, selain hanya karena SMS?”
Klien: “Iya, ada Pak.”
Konselor: “Apa itu? Bisa Mas Jatnika ceritakan?” (Clarifying)
Klien: “Baiklah. Ayah saya sering sekali pulang malam, dan dia sangat sibuk.
Jarang bisa kumpul-kumpul ataupun makan bersama keluarga.
Padahal sebelumnya, sebelum Ayah mempunyai pekerjaan sampingan
itu, Ayah tidak pernah sibuk, apalagi sampai pulang malam. Hal itu
yang menambah keyakinan Ibu saya kalau Ayah benar selingkuh.”
Konselor: “Apakah tuduhan Ibu Anda tersebut sudah pernah dibicarakan dengan
Ayah Anda? Lalu bagaimana tanggapan Ayah Anda?” (Eksplorasi)
Klien: “Sudah Pak, tapi Ayah santai saja tanggapannya. Dia bilang tuduhan
Ibu itu salah. Soal SMS, itu hanya SMS dari rekan kerjanya yang
menanyakan tentang pekerjaan. Terus, kalau sering pulang malam, itu
memang karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Tapi Ibu
saya tidak percaya dengan penjelasan Ayah saya tersebut. Ibu bilang,
itu semua hanya alasan Ayah saja.”
Konselor: “Apakah Ibu Mas jatnika tidak mencari bukti lain untuk memperkuat
tuduhannya tersebut? Atau mengkin Anda sendiri yang mencari bukti
itu?”
Klien: “Iya Pak. Pernah suatu malam ketika Ibu saya sudah tidur, saya pernah
memergoki Ayah menelpon seseorang. Awalnya saya pikir Ayah
sedang menelpon Om Yusuf, teman kerja Ayah di kantor PT. Karena
biasanya yang sering ditelpon Ayah tentang pekerjaan adalah Om
Yusuf itu. Tapi kok kali ini ada yang lain. Sekilas terdengar suara
wanita di suara handphone tersebut. Memang waktu Ayah saya
sedang menelpon tidak di speaker, tapi karena waktu itu sudah cukup
malam, jadi sedikit terdengar suara wanita itu, walaupun tidak terlalu
jelas.” (Sedih)
Konselor: “Lalu, apa yang Anda dengar dari pembicaraan itu?” (Eksplorasi)
Klien: “Saya mendengar ada percakapan tidak wajar antara Ayah dengan
wanita itu.”
Konselor: “Percakapan tidak wajar?”
Klien: “iya”
Konselor: “Lalu...” (Minimal Encouragement)
Klien: “Mereka membuat janji.”
Konselor: Janji? Bisa Anda lebih perjelas lagi, janji seperti apa yang mereka
buat?” (Clarifying)
Klien: “Mereka membuat janji ketemuan dan jalan. Tapi saya tidak begitu
tahu dimana mereka akan ketemuan. Yang jelas besok mereka akan
ketemuan.”
Konselor: “Terus?” (Minimal Encouragement)
Klien: “Dan benar, ketika pagi harinya, pagi-pagi sekali Ayah saya sudah
bersiap-siap. Ketika ditanya Ibu, katanya hari ini banyak kerjaan. Jadi
harus berangkat cepat.”
Konselor: “Apakah Anda diam saja? Tidak terpikirkah oleh Anda untuk
mengikuti perginya Ayah Anda tersebut?” (Konfrontasi)
Klien: “Yang pasti ada Pak, tapi keadaan tidak mendukung. Saya urungkan
niat saya tersebut. Saya hanya memantau perkembangan keadaan
selanjutnya.”
Konselor: “Lalu... (Minimal Encouragement) Bagaimana selanjutnya?”
Klien: “Hari itu Ayah saya pulang malam, saya sangat yakin kalau memang
Ayah saya ketemuan dengan wanita tersebut.”
Konselor: “Apakah Anda tahu, siapa wanita itu?”(Eksplorasi)
Klien: “Wanita itu adalah teman kerjanya Ayah di produk obat multilevel itu.
Nah, yang jadi masalah, bagaimana Saya bisa membuat Ayah Saya
mengakui perbuatannya kalau memang benar dia selingkuh. Kalaupun
tidak selingkuh, setidaknya dia sadar kalau perbuatannya itu salah dan
tidak pantas dia lakukan mengingat statusnya sudah berkeluarga.
Tidak pantaslah dia ketemuan dengan wanita seperti itu. Lalu, apa
yang harus saya lakukan Pak? Pernah terpikir untuk menegur Ayah.
Tapi saya takut..!” (Tertunduk)
Konselor: “Jadi setelah kita berdiskusi beberapa waktu, alangkah baiknya jika
kita simpulkan terlebih dahulu pembicaraan kita, biar lebih jelas hasil
pembicaraan kita ini. Dari topik pembicaraan kita tadi, kita sudah
sampai pada dua hal. Pertama, Anda ingin benar-benar memastikan
apakah Ayah Anda selingkuh atau tidak, sekaligus untuk mencari
bukti atas tuduhan Ibu Anda selama ini. Kedua, Anda ingin
mengingatkan kalau perbuatan Ayah Anda itu salah dan tidak pantas
dilakukan, tapi Anda belum ada keberanian untuk mengatakannya.
Nah, apa yang membuat Anda takut untuk menyampaikan hal itu
kepada Ayah Anda?” (Summarizing)
Klien: “Takut Ayah marah.”
Konselor: “Kenapa harus takut. Lalu, apakah Mas Jatnika terus akan
membiarkan Ayah Mas Jatnika seperti itu?” (Konfrontasi)
Klien: “Tidaklah , saya pasti akan mengingatkan Ayah. Tapi saya harus
mencari waktu yang tepat untuk membicarakan semuanya.”
Konselor: “Bagus, saya setuju dengan Anda. (Memberi dukungan)
Klien: “Tapi Pak, bagaimana kalau Ayah saya marah ketika saya
mengingatkannya?” (Cemas)
Konselor: “Itu semua tergantung pada Anda. Gunakanlah kata-kata yang sopan
dan halus! Jangan sampai memancing emosinya!. Ingatkan pelan-
pelan, jangan seperti menggurui! Tetap hargai pendapatnya, jangan
dibantah!” (Memberi nasihat)
Klien: “Iya, saya akan mencobanya.”
Konselor: “Baiklah kalau begitu. Dari pembicaraan kita awal hingga sekarang,
kita bisa menyimpulkan bahwa, mulai sekarang Anda tidak akan takut
lagi untuk mengingatkan kepada Ayah Anda kalau perbuatannya itu
salah. Lalu, Anda akan mencoba berbicara kepada Ayah Anda untuk
mengingatkan kekeliruannya tersebut. Benar begitu kan?”
(Menyimpulkan)
Klien: “Benar sekali, Bu. Terimakasih ya Bu, atas masukan dan nasehatnya.
saya merasa ada solusi untuk masalah saya setelah saya konsultasi
dengan ibu.”
Konselor: “Iya, sama-sama. Bukan saya yang memberi solusi, tapi Anda sendiri.
Anda hebat! Saya salut dengan Anda. Karena Anda yang semuda ini
sudah bisa berpikir dewasa dalam menghadapi masalah. Semoga dapat
cepat selesai ya masalahnya!” (Memberi pujian)
Klien: “Oya Pak, bagaimana kalau kita adakan pertemuan lagi setelah saya
berbicara dengan Ayah.?”
Konselor: “Ooh, tentu saja boleh kalau memang Mas Jatnika maunya seperti
itu.”
Kien; “iya, Pak. Sekali lagi terimakasih. Baiklah, saya pamit dulu.
Assalamualaikum.” (Menjabat tangan konselor, dan beranjak)
Konselor: “Walaikumsalam. Saya tunggu kedatangan Anda kembali.”
(Menyambut jabatan tangan klien sambil tersenyum.)

Вам также может понравиться