Вы находитесь на странице: 1из 27

FAHRUDDIN FAIZ

CINTA: GABRIEL MARCEL


THE BROKEN WORLD
 Setiap orang makin tergoda memandang diri sendiri—
dan lebih-lebih orang lain—sebagai kumpulan fungsi.
Identitas pribadi manusia makin lama makin
disejajarkan begitu saja dengan sederetan fungsi yang
dimilikinya.
 Kedudukan manusia sebagai seorang pribadi yang
otonom dan unik serta bernilai pada dirinya sendiri,
disisihkan, dilupakan dan akhirnya diingkari.
 Nilai dan harga diri manusia kini lebih banyak
ditentukan oleh kedudukan atau fungsinya dalam
masyarakat.
EKSISTENSI

• Kesadaran manusia akan eksistensinya itulah yang membuat manusia


ada. Ketika manusia sadar bahwa ia ada, maka ia adalah dirinya sendiri
dan bertindak penuh atas dirinya sendiri.
• Eksistensi manusia berada dalam dua kutub; antara berada dan tidak
berada. Memiliki tubuh tidak dapat dipastikan bahwa manusia berada,
karena itu hanyalah sisi materi manusia belaka. Manusia memiliki tubuh
(to have) bukan berarti ia berada dalam dirinya sendiri (to be).
• Hanya memiliki tubuh akan membuat seseorang terasing dengan dirinya
karena manusia akan terus menuruti nafsu yang mengarahkannya pada
dunia materi yang tidak abadi. Maka bukan untuk terus memiliki tubuh,
namun melampauinya dengan membuka diri.
BEING AND HAVING

• Banyak orang keliru memahami perbedaan


“being” dan “having”
• Saya memiliki harapan vs saya berharap
• Saya memiliki kepercayaan vs saya percaya
• Baik ‘being’ maupun ‘having’ memiliki konteksnya
sendiri untuk berhubungan dengan dunia di
sekeliling kita.
DUA MODEL REFLEKSI
• Refleksi pertama: subjek terpisah dari objek. Subjek menganalisis,
menguraikan objek. Subjek mendekati objek sebagai problem. Marcel
mengingatkan—janganlah sekali-kali semangat refleksi pertama
dipakai untuk meneropong pengalaman manusia yang konkret,
misalnya, tentang kehidupan, cinta, kebebasan, dan sebagainya.
Ketika yang lain diposisikan sebagai problem, muncul kecenderungan
kita untuk menganalisisnya, bahkan menguasainya.
• Refkesi kedua: subjek melihat yang lain dihinggapi rasa kekaguman
sehingga yang lain hadir sebagai misteri. Dalam mendekati misteri,
subjek dituntut terbuka untuk berpartisipasi. Pertemuan dua subjek
yang diresapi kekaguman yang mendalam akhirnya membuahkan
communion (persekutuan dan persatuan) sebagai puncak kehidupan.
PROBLEM DAN MISTERI

• Problem" berasal dari bahasa Yunani "pros" artinya "di depan",


dan "ballo" adalah "melemparkan", jadi "problem" adalah
sesuatu yang diperhadapkan kepada kita.
• "Problem" berasal dari luar diri kita, sedangkan "misteri"
berasal dari dalam diri kita.
• Problem bisa dipecahkan dengan logika, namun misteri tidak
bersifat obyektif sehingga tidak bisa dipecahkan.
• Misteri melibatkan diri dalam setiap hidup, namun bukan
untuk dipecahkan melainkah untuk dialami dan dipercaya.
 Hubungan “aku-dia”: Hubungan yang terjadi karena orang lain saya
pandang menurut aspek-aspek fungsionalnya. Dia, tampak bagi saya sebagai
dosen, mahasiswa, resepsionis hotel, sopir, dan sebagainya. Mereka saya
posisikan sebagai dia karena mereka bernilai sebatas pada atribut-atribut
fungsional yang mereka miliki dan dapat saya manipulasi sesuai dengan
kepentinganku. Mereka tampak bagi saya sebagai problem, yang bisa saya
analsis, kemudian saya manfaatkan sesuai dengan fungsi-fungsinya.
 Hubungan “aku-engkau”: Orang lain tampak bagi saya bukan sebagai
orang yang memiliki fungsi-fungsi tertentu—meskipun mereka tetap
memilikinya—melainkan lebih-lebih saya lihat sebagai misteri. Misteri tersebut
saya dekati dengan penuh kekaguman. Untuk memahami misteri itu, saya
harus menyediakan diri untuk terbuka agar dikenal oleh misteri itu. Pada
akhirnya nanti, dengan membuka diri kepada misteri itu, maka saya pun
dipersilahkan untuk mengenalnya. Untuk selanjutnya, saya bisa merasakan
engkau hadir dalam dalam horizon hidupku dan sebaliknya, saya boleh merasa
yakin, aku pun hadir dalam horizon hidupmu.
MENUJU KEPENUHAN HIDUP

• Agar hidupku dapat mencapai kepenuhan tertinggi dalam


persekutuan dan persatuan (communion) dengan orang lain, saya
harus sanggup melampaui keterlemparanku di dunia yang tidak
saya sadari, menuju taraf hidup yang tidak sekedar bersifat pra-
refleksif. Saya harus menuju ke tingkat kesadaran yang semakin
penuh. Dari hanya sekedar berada-dalam-sitausi (etre-en-
situation), menuju ke tingkat Ada.
• Menurut Marcel, peralihan itu berlangsung dalam tiga fase:
admiration (keheranan dan kekaguman), reflexion (refleksi) dan
exploration (eksplorasi). Dengan admiration, saya merasa heran
dan kagum atas realitasku, dengan reflexion, saya mulai berpikir
secara partisipatif, dan dengan exploration, saya memeluk
realitasku secara bebas.
Kehadiran baru bisa dirasakan bila AKU berjumpa dengan
ENGKAU. Persona dengan persona. Individu dengan individu.
Secara istimewa kehadiran terealisasi konkrit dalam makna cinta.
AKU dan ENGKAU mencapai level KITA.
Mencintai selalu mengandung keinginan (permohonan) kepada
sesama. Di dalam cinta AKU memohon kepada ENGKAU dan
ENGKAU kepada AKU. Jadi dari kedua belah pihak harus ada
kebersediaan. Baik untuk mendengarkan maupun menjawab.
Ada posisi setara.
AKU harus mau keluar dari egoisme dan membuka diri terhadap
kehadiran ENGKAU. Begitu pula sebaliknya.
LAWAN KEHADIRAN
• Kembali kepada egoisme masing-masing amat menodai arti
kehadiran—cinta atau makna KITA. Itu juga berarti kembali kepada
AKU dan DIA (bahwa orang lain di luar kita adalah objek dan bukan
subjek) bukan AKU dan ENGKAU.
• Dalam kehidupan sehari-hari yang kita alami, di rumah, di kantor, atau
dalam kehidupan sosial masyarakat, kita bisa merasakan–apakah
kehadiran kita sudah efektif atau belum. Sudah me-manusia-kan
manusia ataukah meng-objek-an manusia? Secara jujur, masing-
masing diri kita bisa mengukur. Apakah kita sebagai penonton,
pengamat, komentator, atau pemain. Ketika jarak mulai membentang,
meski hanya serambut, kehadiran—AKU dan ENGKAU—belumlah
menjadi KITA.
CINTA: SUATU PANGGILAN

 Cinta adalah suatu panggilan hidup eksistensial.


 Manusia tidak bisa menangkap yang lain sebagai objek bagi dirinya. Manusia lain adalah
sesama subjek yang juga memiliki tubuh dan pelampauan atasnya.
 manusia memiliki subjektivitas, namun hal itu juga tergantung pada subjek yang lain,
maka keterlibatan kepada yang lain untuk saling mengenal itu penting sebagai dasar
pengambilan keputusan. Kesediaan tersebut adalah suatu timbal-balik yang akan
menimbulkan kesetiaan untuk saling terlibat karena saling membuka diri atas semua
kebutuhan. Kesetiaan ini akan secara otomatis membuka diri pada realitas yang lebih
tinggi dan bebas hanya jika manusia merendahkan diri dan menyerahkannya pada
orang lain.
EMPAT KARAKTER CINTA
• Kerelaan (disposability)
• Sikap kesediaan untuk terbuka, membiarkan orang lain masuk dalam hubungan
denganku
• Penerimaan (receptivity)
• Memulai aktivitas dalam hubungan dengan mempersilahkan yang lain
memasuki duniaku atau menyediakan tempat dalam hatiku untuk yang lain.
• Keterlibatan (engagement)
• Sikap ikut ambil bagian yang lebih dalam dalam hubungan itu, memberikan
perhatian khusus terhadap perencanaan-perencanaan dan menanggapi
secara positif.
• Kesetiaan (fidelity)
• Kesedian terlibat bersama dengan segala resiko yang ada.
CINTA: FAKTA DAN EKSISTENSI

 Marcel memberikan distingsi antara mencintai sebagai sebuah fakta objektif dan
cinta sebagai sebuah aktivitas eksistensial. Cinta sebagai sebuah kegiatan eksistensial
berarti, cinta adalah suatu “proses gerakan batin yang tidak kelihatan”.
 Sementara itu, sebagai sebuah fakta objektif mencintai berarti mencintai telah
terjadi, kelihatan, dan bisa diamati. Karena itu, cinta bisa ditempatkan dalam kategori
ruang dan waktu dan bisa dideskripsikan.
 Memandang cinta sebagai sebagai fakta berarti kita melihat cinta sebagai problem
karena jika kita hanya mencintai karena apa yang kelihatan, dia ganteng, dia kaya, dia
cantik, dia sexy, dan lain-lain. Maka jika kegantengan, kekayaan, kecantikan itu hilang
maka cintapun ikut lenyap. Sedangkan apabila cinta dipahami sebagai suatu aktivitas
eksistensial, cinta akan menjadi misteri. Kita mencintai dengan hati, mencintai dari
kekurangan, selalu hadir, terbuka, bersedia untuk selalu setia.
CREATIVE FIDELITY

• Bagaimana kita bisa selalu “disposable” sepanjang waktu? Bagaimana kita bisa
memberikan jaminan terhadap ‘kepercayaan’ kita kepada seseorang? Jawabannya:
Creative-fidelity.
• Creative fidelity, berarti satu komitmen untuk melakukan tindakan yang mampu
mendekatkan satu subyek dengan subyek yang lain, sambal tetap menghargai diri
sendiri.
• Melakukan hal ini secara kontinyu (aspek fidelity) merupakan bagian paling penting
dalam dorongan ‘kreatif’ ini, karena tanpa hal itu, kreatifitas bisa membuahkan
kebalikannya, kreatifitas yang merusak.
• Kunci untuk melakukannya: HARAPAN.
HARAPAN
Berbeda dengan ketakutan dan keinginan yang sifatnya reaktif/antisipatif terhadap
satu obyek.
Esensi dari harapan bukanlah “to hope that X”, namun hanya “to hope” saja
Orang yang berharap tidak menganggap situasi saat ini sebagai final; meskipun
demikian ia tidak membayangkan/menargetkan situasi tertentu untuk dituju. Kalau
aku berharap penyakitku sembuh oleh proses operasi tertentu, sangat mungkin
harapanku tidak terpenuhi. Namun kalau aku hanya berharap saja, tanpa menyebut
keinginan atau ketidakinginan tertentu, tidak ada yang dapat menggoncangkan
harapanku itu.
“Hope consists in asserting that there is at the heart of
being, beyond all data, beyond all inventories and all
calculations, a mysterious principle which is in
connivance with me.”

— Gabriel Marcel
KEBEBASAN

 Kebebasan Negatif: “Tiadanya apapun yang berjenis


alienasi dari diri seseorang”
 Kebebasan Positive: “Motif dari tindakanku berada
dalam batas apa yang kuanggap kuasa diriku”
 Kebebasan berarti selalu mengenai kemungkinan-
kemungkinan diri yang dipahami dalam batas-batas
hubungannya dengan orang lain.
KENYATAAN ABSOLUT TRANSENDEN
• Marcel membedakan antara “anti-theists” and “atheists”. Atheist: Orang
yang tidak percaya Tuhan, Anti-theist: Orang yang tidak ingin percaya
Tuhan.
• Bukti adanya realitas absolut transenden: ada seperangkat pengalaman
manusia yang menunjukkan adanya Tuhan (KAMU yang absolut).
Pengalaman-pengalaman ini hadir dalam diri sebagian besar manusia,
meskipun banyak yang tidak menghubungkannya dengan pengalaman
keagamaan atau Tuhan.
• Semua pengalaman yang dijelaskan di atas: kesetiaan, harapan,
kehadiran dan intersubyektifitas, yang semuanya membutuhkan
komitmen namun tidak dapat dijelaskan dengan istilah-istilah obyektif,
meskipun sifatnya juga nyata, penjelasan terbaiknya adalah hal-hal
tersebut dipahami sebagai berhubungan dengan realitas absolut
transenden.

Вам также может понравиться