Вы находитесь на странице: 1из 13

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. KARAKTERISASI SIMPLISIA

Simplisia yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman sambiloto yang berasal dari
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO&OT)
Tawangmangu. Bagian tanaman yang digunakan adalah daun, ranting, dan akar tanaman.
Sebelum digunakan sebagai bahan baku, tanaman ini dilakukan perlakuan pendahuluan yaitu
pengeringan dan penghalusan. Pengeringan dilakukan di bawah sinar matahari sampai daun
benar-benar kering, yang ditandai dengan pecahnya simplisia tersebut apabila diremas
menggunakan tangan. Setelah pengeringan, simplisia tersebut dihancurkan atau dihaluskan
menggunakan mesin penghalus (grinder). Grinder yang digunakan dalam penghalusan tersebut
dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Grinder

Simplisia yang sudah siap, dilakukan karakterisasi simplisia meliputi uji kadar abu total,
kadar sari larut air, dan kadar sari larut etanol. Karakterisasi tersebut merujuk pada Materia
Medika (1995) tanaman sambiloto. Karakterisasi ini bertujuan untuk mengetahui kualitas dari
simplisia tersebut. Hasil dari pengujian karakterisasi simplisia tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil karakterisasi simplisia sambiloto

Karakteristik Persen (%) Materia medika

Kadar abu total 18 ≤ 12%

Kadar sari larut air 19 ≥18%

Kadar sari larut etanol 13 ≥ 9,7%

Dari Tabel 3 dapat dilihat kadar abu total yang terkandung di dalam tanaman sambiloto
adalah sebesar 18%. Kadar abu ini menunjukkan kandungan mineral dalam bahan tersebut.
Mineral yang terkandung di dalam bahan terdiri dari 2 jenis garam, yaitu garam organik misalnya
asetat, pektat, malat, dan garam anorganik, misalnya karbonat, fosfat, sulfat, dan nitrat. Nilai
kadar abu total yang diperoleh tidak sesuai dengan ketentuan yang ada pada Materia Medika
(1995), dimana kadar abu total simplisia yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan obat
tradisional atau herbal terstandar harus ≤ 12% sedangkan hasil pengukuran menyatakan bahwa
kadar abu total sebesar 18%. Ketidaksesuaian ini terjadi akibat bahan yang digunakan merupakan
campuran antara daun, ranting dan akar. Selain itu, kandungan dan komposisi abu atau mineral
pada bahan juga tergantung dari jenis bahan dan cara pengabuannya.
Kadar sari larut air menunjukkan banyaknya senyawa-senyawa di dalam simplisia yang
terlarut di dalam air. Dari Tabel 6 dapat diketahui kadar sari yang larut dalam air sebesar 19%.
Nilai tersebut sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pada materia medika yaitu harus ≥18%.
Ini berarti simplisia layak untuk dijadikan bahan baku dalam pembuatan obat tradisional atau obat
herbal terstandar. Begitu juga dengan nilai kadar sari larut etanol, dimana hasil pengujian
menyatakan dalam simplisia tersebut terkandung kadar sari larut etanol sebesar 13%. Nilai
tersebut sesuai dengan yang ditetapkan di dalam materia medika, dimana kadar sari larut etanol
harus memiliki nilai ≥ 9,7%. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa simplisia tersebut memiliki
kandungan senyawa-senyawa (sari) yang layak untuk dilakukan ekstraksi.

4.2. PENENTUAN WASHING TIME

Washing time merupakan waktu yang dbutuhkan untuk proses pencucian senyawa-senyawa
yang ada di luar sel. Simplisia yang akan di ekstrak, sebelumnya telah dilakukan perlakuan
pendahuluan seperti dikeringkan dan dihaluskan. Proses tersebut dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel tanaman simplisia sehingga senyawa-senyawa yang terkandung di dalam
simplisia keluar dari sel. Pada proses pencucian ini pelarut mencuci atau melarutkan senyawa
yang ada dipermukaan atau di luar sel.
Washing time ditentukan dengan cara merendam simplisia di dalam pelarut (etanol 95%)
dengan nisbah pelarut dan simplisia 1:10 selama 5, 10, 20, 40 hingga 120 menit. Rendemen yang
diperoleh dari perendaman tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Rendemen washing time

Berdasarkan Gambar 7, dapat diketahui bahwa pada perendaman selama dua jam,
rendemen yang dihasilkan sudah mulai stabil. Waktu dua jam ini merupakan waktu yang cukup
untuk proses pencucian. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa proses ekstraksi
dibedakan menjadi dua fase yaitu fase pencucian (washing out) dan fase ekstraksi (difusi). Fase
washing out merupakan proses penarikan senyawa-senyawa yang terdapat di luar sel yang
merupakan akibat dari pecahnya dinding sel pada saat proses pengecilan ukuran sehingga
senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya pecah keluar sel.

17
 
Fase berikutnya adalah fase ekstraksi (difusi). Pada fase difusi, pelarut menarik senyawa-
senyawa yang ada di dalam sel dengan cara menembus dinding sel terlebih dahulu. Pelarut dapat
masuk ke dalam sel karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan dalam sel dengan pelarut
yang mula-mula masih tanpa bahan aktif. Proses penarikan ini akan berlangsung sampai
terbentuknya suatu keseimbangan konsentrasi antara larutan di sebelah dalam dan di sebelah luar
sel. Mekanisme kedua fase tersebut digambarkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Mekanisme penarikan senyawa (List dan Schmidt, 2000)

4.3. EKSTRAKSI SAMBILOTO

Ekstraksi merupakan suatu usaha dalam penyarian senyawa tertentu dan memisahkannya
dari bahan yang dicari. Ekstraksi biasanya menggunakan cairan penyari yang disebut dengan
pelarut. Pelarut akan melarutkan senyawa yang memiliki kelarutan yang sama atau hampir sama
dengan kelarutan pelarut, ekstraksi tersebut biasa disebut dengan sebutan solvent extraction atau
ekstraksi menggunakan pelarut. Menurut Ansel (1989), ekstraksi adalah penarikan zat pokok yang
diinginkan dari bahan mentah obat dan menggunakan pelarut yang memiliki kelarutan sama
dengan zat yang akan ditarik.
Dalam penelitian ini digunakan empat metode yaitu maserasi, remaserasi, perkolasi, dan
reperkolasi. Keempat metode ini merupakan ekstraksi dingin atau ekstraksi yang tidak
menggunakan panas, sehingga tidak merusak senyawa yang terkandung di dalamnya. Metode
ekstraksi tersebut dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, daya
penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak
yang sempurna. Selain itu, metode ekstraksi juga dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat
dari bahan mentah obat, dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan
kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna (Ansel, 1989).
Pada ekstraksi tersebut, perlarut yang digunakan adalah etanol 95%. Pemilihan pelarut ini
berdasarkan beberapa sebab, antara lain kepolaran, toksisitas, dan penelitian-penilitian yang telah
dilakukan sebelumnya. Kumoro et al. (2009) menyatakan bahwa metanol merupakan pelarut yang
terbaik dalam ekstraksi diterpenoid lakton dari A. paniculata dalam hal rendemen dan komponen
yang dihasilkan tinggi, sedangkan etanol dan aseton juga merupakan pelarut yang mampu untuk
mengekstrak andrographolide, namun hasilnya lebih kecil. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat
pada Tabel 4.

18
 
Tabel 4. Pengaruh polaritas terhadap rendemen andrographolide dan
deoxyandrographolide

4.3.1. Maserasi

Maserasi merupakan ekstraksi dingin, dimana simplisia direndam di dalam pelarut,


dan dilakukan pengadukan atau pengocokan hingga pelarut menarik atau melarutkan
senyawa yang diinginkan secara maksimal. Menurut List dan Schmidt (2000), maserasi
dibedakan menjadi tiga jenis yaitu maserasi sederhana, maserasi kinetik, dan maserasi
dengan penggunaan tekanan. Maserasi sederhana merupakan metode ekstraksi yang
dilakukan dengan cara merendam simplisia di dalam pelarut dalam waktu tertentu yang
disertai atau tidak disertai pengadukan pada suhu ruang. Kinetika maserasi memikili
pengertian yang hampir sama dengan maserasi sederhana, namun pada kinetika maserasi
dilakukan pengadukan dengan kecepatan konstan. Pada maserasi bertekanan ekstraksi
dilakukan bukan pada tekanan ruang sehingga proses ekstraksi lebih efektif.
Pada penelitian ini, metode maserasi yang digunakan adalah maserasi kinetik, karena
maserasi dilakukan dengan menggunakan pengadukan yang konstan yaitu pada kecepatan
200 rpm. Pengadukan ini dilakukan menggunakan shaker. Gambaran proses maserasi
tersebut dapat dilihat pada Gambar 9.

19
 
Gambar 9. Maserasi menggunakan shaker

Rendemen yang diperoleh dari maserasi ini berkisar antara 5,7 - 7,0 % (Lampiran 6).
Rendemen terendah terdapat pada waktu maserasi 4 jam, dan rendemen tertinggi terdapat
pada waktu maserasi 24 jam. Rata-rata rendemen yang diperoleh yaitu 6,4%. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin lama maserasi, maka rendemen yang dihasilkan pun semakin
tinggi. Hal tersebut digambarkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Rendemen hasil maserasi

Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa pada grafik tersebut cenderung naik.
Seharusnya, semakin lama waktu maserasi maka semakin tinggi rendemen yang dihasilkan.
Namun pada maserasi 12 dan 18 jam rendemen yang dihasilkan menurun. Hal ini
dikarenakan bahan yang digunakan merupakan campuran batang, daun, dan akar dimana tiap
bagian tanaman memiliki komposisi yang berbeda sehingga berpengaruh terhadap rendemen
yang dihasilkan. 

4.3.2. Remaserasi

Remaserasi pada prinsipnya hampir sama dengan maserasi, yaitu merendam simplisia
di dalam pelarut hingga waktu tertentu yang disertai dengan pengadukan atau pengocokan.
Namun ada sedikit perbedaan dimana pada remaserasi ini terjadi penggantian pelarut setelah
dimaserasi selama 2 jam. Penggunaan pelarut pada metode ini dua kali lipat bila
dibandingkan dengan metode maserasi. Karena hal tersebut mengacu pada literatur dimana
perbandingan antara simplisia dan pelarut yang digunakan adalah 1:10. Hal ini dilakukan
untuk menjaga kondisi ekstraksi agar tetap sama.
Rendemen yang dihasilkan pada metode ini berkisar antara antara 9,9 -11,9 %. Rata-
rata rendemen yang diperoleh yaitu sebesar 10,8 %. Rendemen terendah terdapat pada

20
 
remaserasi 4 jam dan tertinggi terdapat pada remaserasi 24 jam. Rendemen hasil remaserasi
dapat dilihat pada Gambar 11. 

 
Gambar 11. Rendemen hasil remaserasi

Dari Gambar 11, dapat dilihat bahwa grafik hasil remaserasi memiliki kecenderungan
yang hampir sama dengan grafik hasil maserasi, dimana grafik memiliki kecenderungan naik.
Hal ini mengindikasikan bahwa pelarut masih mampu untuk menarik senyawa setelah waktu
remaserasi 24 jam. Namun perbedaan lamanya waktu ekstraksi disini juga tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap rendemen yang dihasilkan sehingga akan percuma jika
ekstraksi dilakukan dalam waktu yang panjang.
Rendemen ekstrak hasil remaserasi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rendemen
ekstrak hasil maserasi. Hal ini dikarenakan pada saat remaserasi terdapat penggantian pelarut.
Dengan penggantian pelarut ini ada beberapa hal yang terjadi, antara lain jumlah pelarut yang
digunakan lebih banyak sehingga senyawa yang tertarik pun lebih banyak. Selain itu, karena
mengunakan pelarut baru maka gradient konsentrasi antara pelarut dan sel berbeda jauh,
sehingga mempermudah dalam penarikan senyawa-senyawa yanga ada di dalam sel.  

4.3.3. Perkolasi

Perkolasi selalu menggunakan pelarut yang baru dan merupakan proses yang
kontinyu. Hal yang sangat berpengaruh pada proses perkolasi adalah laju alir pelarut
melewati simplisia. Semakin cepat laju alir pelarut maka waktu kontak antara bahan dengan
pelarut semakin kecil, sehingga senyawa yang tertarik pun sedikit, dan sebaliknya. Laju alir
yang digunakan pada penelitian ini tergantung dari lama waktu ekstraksi, laju alir diatur
sedemikian rupa agar 100 ml pelarut habis pada waktu tersebut.
Sebelum perkolasi, simplisia dilakukan meserasi terlebih dahulu selama 2 jam untuk
proses pencucian. Selain untuk proses pencucian, perendaman tersebut juga membantu
mempermudah pelarut masuk ke dalam sel dengan cara membentuk suatu perlintasan melalui
pembengkakan. Pada saat pelarut baru membasahi simplisia, maka dengan mudah pelarut
tersebut masuk dan menarik senyawa-senyawa yang ada di dalamnya.
Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan ke dalam bejana
perkolator, tetapi dibasahi dan dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan penyari. Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada cairan penyari
memasuki seluruh pori-pori dalam simplisia sehingga mempermudah penyarian selanjutnya.
Untuk menentukan akhir perkolasi, dapat dilakukan pemeriksaan zat aktif secara kualitatif

21
 
pada perkolat terakhir. Untuk obat yang belum diketahui zat aktifnya, dapat dilakukan
penentuan dengan cara organoleptis seperti rasa, bau, warna dan bentuknya (Anonim, 1986).
Perkolasi ini memperoleh hasil rendemen yang berkisar sekitar 9,7 -10,8%. Rata-rata
rendemen yang diperoleh adalah 10,4%. Rendemen tersebut lebih tinggi bila dibandingkan
dengan rendemen hasil maserasi, namun lebih rendah jika dibandingkan dengan rendemen
hasil remaserasi. Hal ini terjadi karena pada perkolasi, kecepatan alir yang digunakan pada
saat perkolasi terlalu cepat sehingga waktu kontak antara pelarut dan simplisia kecil. Hal ini
menyebabkan pelarut akan tercuci keluar sebelum pelarut menarik senyawa-senyawa yang
ada di dalam sel secara sempurna atau bahkan pelarut akan tercuci ke luar sebelum pelarut
masuk ke dalam sel. Hasil rendemen perkolasi selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 12.  

Gambar 12. Rendemen hasil perkolasi

Dari gambar 12 ,dapat dilihat bahwa perbedaan waktu yang digunakan tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap rendemen yang dihasilkan. Grafik yang
ditunjukkan cenderung lurus membentuk garik horizontal. Hal ini berarti perbedaan laju alir
yang digunakan pada saat perkolasi selama 4 jam hingga 24 jam tidak memberikan
perbedaan terhadap rendemen yang dihasilkan.

4.3.4. Reperkolasi

Reperkolasi merupakan metode yang hampir sama dengan metode perkolasi, simplisia
tidak direndam di dalam pelarut namun dialirkan melalui simplisia. Perbedaan metode
reperkolasi dengan perkolasi antara lain pelarut yang digunakan pada reperkolasi tidak
menggunakan pelarut yang selalu baru. Pelarut yang telah melewati simplisia akan
disirkulasi kembali ke atas dan akan melewati simplisia kembali sehingga pelarut yang belum
sempurna dalam menarik senyawa-senyawa dalam sel akan digunakan kembali untuk
menarik senyawa tersebut. Pada reperkolasi, pelarut disirkulasi menggunakan pompa kecil
yang dihubungkan dengan selang kecil. Rangkaian alat perkolasi atau perkolator dapat
dilihat pada Gambar 13.

22
 
Gambar 13. Rangkaian perkolator

Pada perkolator diatas, kecepatan laju alir yang digunakan tidak dapat ditentukan, laju
alir tergantung pada ukuran pipa pada kolom perkolator dan kekuatan pompa yang
digunakan. Sama halnya dengan pekolasi, simplisia di maserasi terlebih dahulu selama 2 jam
sebelum dilakukan reperkolasi. Rendemen yang dihasilkan dari reperkolasi disajikan pada
Gambar 14.

Gambar 14. Rendemen hasil reperkolasi

Rendemen yang diperoleh pada metode reperkolasi berkisar antara 8,2 – 8,2 % dengan
rendemen rata-rata 9,1%. Rendemen hasil reperkolasi ini lebih kecil dibandingkan rendemen
hasil remaserasi dan reperkolasi namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan rendemen hasil
maserasi. Hal ini terjadi karena laju alir yang digunakan lebih cepat dari pada laju alir yang
digunakan pada saat perkolasi sehingga mengakibatkan waktu kontak antara pelarut dan
simplisia yang singkat. Waktu kontak yang kecil ini disebabkan penggunaan pompa untuk
mensirkulasi pelarut sehingga laju alir tidak dapat diatur. Berbeda halnya dengan perkolasi,
laju alir pelarut pada perkolasi dapat diatur sesuai dengan lamanya waktu yang digunakan
walaupun perbedaan waktu pada akhirnya tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap rendemen yang dihasilkan. Perbedaan waktu pada reperkolasi dimaksudkan untuk
memperbanyak sirkulasi pelarut yang melalui simplisia sehingga diharapkan dapat lebih
banyak melarutkan senyawa-senyawa yang ada di dalam sel.
Dari Gambar14, dapat dilihat bahwa terdapat titik puncak pada waktu reperkolasi 14
jam. Diatas 14 jam, rendemen turun kembali ke posisi yang setara dengan rendemen
sebelumya. Pada dasarnya rendemen yang dihasilkan tidak terlalu terpengaruh terhadap
perbedaan lamanya waktu reperkolasi. Titik puncak tersebut dapat disebabkan oleh kondisi
simplisia yang kurang seragam. Ketidakseragaman ini dikarenakan simplisia yang

23
 
digunakan berasal dari campuran daun, batang, dan akar tanaman sambiloto. Pada setiap
bagian tanaman memiliki kandungan senyawa yang berbeda, sehingga perbedaan rendemen
yang dihasilkan.

4.3.5. Perbandingan Rendemen

Dari keseluruhan metode yang telah dilakukan, rendemen yang diperoleh berkisar
antara 5,7 -11,9%. Rendemen terkecil terdapta pada metode meserasi dan tertinggi pada
metode remaserasi. Perbandingan rendemen dari keempat metode tersebut dapat dilihat pada
Gambar 15.

Gambar 15. Perbandingan rendemen empat metode ekstraksi

Berdasarkan Gambar 15, rendemen terendah terdapat pada metode maserasi, dan
tertinggi pada metode remaserasi. Kecilnya rendemen maserasi ini disebabkan karena pelarut
yang digunakan pada metode tersebut memang paling sedikit jumlah pelarutnya
dibandingkan dengan ketiga metode yang lain. Pada maserasi jumlah pelarut yang digunakan
adalah 100 ml, sedangkan pada remaserasi, perkolasi, dan reperkolasi jumlah pelarut yang
digunakan sebanyak 200 ml.
Metode remaserasi memiliki nilai rendemen yang tertinggi. Hal ini dikarenakan pada
metode remaserasi waktu kontak yang lama antara pelarut dan simplisia, sehingga pelarut
dapat lebih mudah masuk ke dalam sel dan menarik senyawa-senyawa secara maksimal tanpa
takut terjadinya wash out atau tercuci keluar. Adanya pengocokan juga sangat membantu
mempermudah pelarut dalam melarutkan senyawa-senyawa tersebut. Selain itu, juga karena
pelarut yang digunakan lebih banyak bila dibandingkan dengan metode maserasi. Secara
otomatis, molekul yang menarik senyawa yang ada dalam sel juga banyak.
Namun secara keseluruhan, perbedaan lama waktu ekstraksi tidak memberikan
pengaruh yang nyata atau signifikan terhadap rendemen yang dihasilkan. Rendemen yang
dihasilkan pada waktu ekstraksi 4 jam tidak jauh berbeda dengan rendemen yang dihasilkan
pada waktu ekstraksi 24 jam.

4.4. ANALISIS KADAR SENYAWA ANDROGRAPHOLIDE

Senyawa andrographolide merupakan senyawa aktif yang terdapat di dalam tanaman


sambiloto. Senyawa ini yang dipercaya dapat mengobati berbagai macam penyakit.
Andrographolide merupakan senyawa utama yang ada di dalam tanaman sambiloto dan tergolong
ke dalam kelompok trihidroxy lakton tak jenuh dengan rumus molekuler C20H30O5. Kadar

24
 
andrograpolide inilah yang dijadikan parameter spesifik selain rendemen hasil masing-masing
metode.
Kadar andrographolide ditentukan dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT) atau biasa disebut dengan istilah High Performance Liquid Chromatography (HPLC).
Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan sistem pemisahan dengan kecepatan dan
efisiensi yang tinggi. Hal ini karena didukung oleh kemajuan dalam teknologi kolom, sistem
pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitif dan beragam. KCKT mampu menganalisa
berbagai cuplikan secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun
campuran (Ditjen POM, 1995).
Penentuan kadar andrographolide ini dihitung menggunakan metode luas puncak.
Prosedur penentuan luas puncak serupa dengan tinggi puncak. Suatu teknik untuk mengukur luas
puncak adalah dengan mengukur luas puncak sebagai hasil kali tinggi puncak dan lebar pada
setengah tinggi (W1/2). Teknik ini hanya dapat digunakan untuk kromatografi yang simetris atau
yang mempunyai bentuk serupa (Johnson dan Stevenson, 1991).
Kadar andrographolide ditentukan berdasarkan luas puncak atau peak. Luas peak ini
diperoleh dengan cara membandingkan antara peak standar dengan peak sampel. Data yang
diperoleh dari hasil analisis HPLC diubah kedalam bentuk persamaan regresi linier (Lampiran10).
Analisa kualitatif dilihat dari pola kromatogram andrographolide. Pola kromatogram
andrographolide diketahui berdasarkan kemiripan waktu retensi dan spektrum UV antara
senyawa standar dan sample ekstrak. Perbandingan waktu retensi dan spectrum UV dapat dilihat
pada Gambar 16, 17 dan selengkapnya ada pada Lampiran 13.
A-300

K-2800 [1]
Andrographolide
500 500
Name
RetentionTime
(a)
400 400

andrographolide
300 300
mAU

mAU

200 200
49.0
49.5

100 100
39.9
26.6
2.0
1.3
2.9

0 0
23.5

0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 22.5 25.0 27.5 30.0 32.5 35.0 37.5 40.0 42.5 45.0 47.5 50.0 52.5 55.0
Minutes

RP 16

K-2800 [1]
Sambiloto
Name
250 250
Retention Time

(b)
200 200

andrographolide
150 150
mAU

mAU
29.7

100 100
52.6
51.2
49.6
50.7
40.5
39.9
41.3

44.1
42.5
25.0

33.4
24.6

34.1
34.5
25.6
26.3
27.0
26.6

32.0

50 50
27.7
17.1
15.8
14.7

18.8
19.4

21.6
20.3
18.0
1.4
2.0

10.5
0.4

3.0

5.5
6.6
8.3
4.7

0 0
23.5

0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 22.5 25.0 27.5 30.0 32.5 35.0 37.5 40.0 42.5 45.0 47.5 50.0 52.5 55.0
Minutes

Gambar 16. Analisa kualitatif ekstrak yang mengandung andrographolide


pada waktu retensi 23,5 menit.
(a) Senyawa standar andrographolide
(b) Ekstrak sambiloto

25
 
Spektrum UV-Vis Andrograpolide

(a)
500 500

400 400

224
300 300
mAU

mAU
200 200

100 100

334

397
369

380

391
0 0

200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320 330 340 350 360 370 380 390 400
nm

Spektrum UV-Vis Sampel Sambiloto P 18

500 500

400
(b) 400

300 300
224
mAU

mAU
200 200

100 100

323

382

385

395
0 0

200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300 310 320 330 340 350 360 370 380 390 400
nm

Gambar 17. Spectrum UV


(a) Senyawa standar andrographolide
(b) Sample ekstrak

Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa pada kromatogram senyawa standar,
andrographolide memiliki waktu retensi 23,5 sehingga pada kromatogram sampel waktu retensi
23,5 dapat disimpulkan bahwa senyawa tersebut adalah andrographolide karena memiliki retensi
waktu yang mirip. Dari gambar tersebut juga diperoleh waktu retensi lain, ini berarti terdapat
banyak senyawa lain yang terkandung didalam ekstrak tersebut. Perbandingan kadar
andrographolide hasil analisis HPLC pada masing-masing metode dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Perbandingan kadar andrographolide

Berdasarkan Gambar 18, diketahui bahwa kadar andrographolide tertinggi dperoleh dengan
metode perkolasi pada lama waktu ekstraksi 24 jam yaitu 23,5 % sedangkan kadar terendah
terdapat pada metode remaserasi selama 8 jam yaitu 3,7%. Jika dilihat dari grafik tersebut, kadar

26
 
andrographolide yang diperoleh tidak menentu. Hal ini dikarenakan bahan yang digunakan untuk
bahan baku tidak seragam atau merupakan campuran bagian daun, batang, dan akar. Setiap bagian
tanaman mengadung senyawa andrographolide dengan kadar berbeda-beda. Menurut Panday dan
Mandal (2009), kandungan andrographolide masing-masing bagian tanaman dipresentasikan pada
Gambar 19.

Gambar 19. Persentase kandungan andrographolide pada tiap bagian tanaman sambiloto

Kandungan senyawa andrographolide tertinggi terdapat pada bagian daunnya yaitu sebesar
2,35%, kandungan terbanyak kedua terdapat pada bagian akar yaitu sebesar 0,52% dan terendah
terdapat pada batang yaitu 0,35%.

4.5. ANALISIS STATISTIK

Perhitungan ANOVA ini dilakukan dengan menggunakan Statistical Analisys Software


(SAS). Dengan menggunakan 2 faktor, dimana faktor 1 adalah perbedaan waktu dan faktor kedua
adalah perbedaan metode. Hasil perhitungan ANOVA terdapat pada Lampiran 14.
Dari hasil perhitungan tersebut, diketahui bahwa faktor 1 yaitu perbedaan metode memiliki
nilai p value lebih kecil dari nilai alpha sehingga tolak H0, artinya perbedaan metode ekstraksi
(maserasi, remaserasi, perkolasi, reperkolasi) berpengaruh secara nyata terhadap besarnya
rendemen ekstrak yang dihasilkan. Namun pada faktor 2 yaitu perbedaan lama ekstraksi, nilai p
value lebih besar dari nilai alpha maka terima H0, yang artinya perbedaan lama ekstraksi tidak
berpengaruh secara nyata terhadap besarnya rendemen yang dihasilkan.
Dari hasil tersebut, perlu dilakukan uji lanjut untuk mengetahui lebih rinci lagi bagian mana
yang berpengaruh secara nyata. Uji lanjut ini menggunakan uji Duncan. Hasil dari perhitungan
Uji Duncan menyatakan bahwa pada metode remaserasi dan maserasi lamanya waktu ekstraksi
memiliki pengaruh yang berbeda antara metode satu dengan yang lainnya, sedangkan pada metode
perkolasi dan reperkolasi lama waktu ekstraksi tidak memiliki pengaruh yang berbeda terhadap
rendemen tiap metode.
Uji Duncan untuk melihat korelasi perbedaan metode terhadap rendemen menyatakan
bahwa perbedaan metode tidak berpengaruh nyata atau signifikan terhadap besarnya rendemen
yang dihasilkan pada tiap lamanya waktu ekstraksi yang digunakan. Rendemen yang dihasilkan
pada lama waktu ekstraksi 4 jam tidak berbeda secara nyata dengan rendemen yang dihasilkan
pada lama waktu ekstraksi 24 jam, dan lama waktu ekstraksi yang lainnya. Sehingga berdasarkan
uji Duncan tersebut ekstraksi sebaiknya dilakukan hanya dalam waktu 4 jam saja.
Selanjutnya analisis statistik guna mengetahui korelasi antara perbedaan lama waktu
ekstraksi terhadap kadar andrographolide digunakan uji kruskal walis. Hasil dari uji kruskal

27
 
meyatakan bahwa nilai p value (0,47) lebih besar dari nilai alpha (0,05) maka terima H0 artinya
kadar andrographolide tidak berbeda nyata dengan yang lainnya. Dengan kata lain bahwa
perbedaan lama waktu ekstraksi dan perbedaan metode ekstraksi yang digunakan ridak
berpengaruh secara signifikan terhadap rendemen yang dihasilkan.
Dari uji statistik yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa perbedaan lama waktu
ekstraksi memiliki pengaruh yang nyata terhadap rendemen yang dihasilkan. Pada metode
perkolasi perbedaan lama waktu ekstraksi memilki pengaruh yang sama dengan metode
reperkolasi, namun berbeda pengaruhnya dengan metode maserasi dan remaserasi. Untuk
perbedaan metode, tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap rendemen yang dihasilkan
pada tiap lama waktu ekstraksi masing-masing metode. Berdasarkan hasil uji kruskal walis, kadar
andrographolide yang dihasilkan tidak dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan lama waktu
ekstraksi dan perbedaan jenis metode yang digunakan.

28
 

Вам также может понравиться