Вы находитесь на странице: 1из 10

MAKALAH

Pengantar Antropologi

Tentang:

“KEBUDAYAAN MUARO BUNGO”

Disusun oleh:

Arif Budiman
I1A118045

Dosen Pembimbing:
Denny Defrianti, S.Sos.,M.Pd

ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS JAMBI
2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah, karena berkat dan rahmat dan kurnia-
Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang “KEBUDAYAAN MUARO BUNGO”.
Adapun penyusunan makalah ini dimaksud untuk memenuhi tugas ibu Denny Defrianti kami
menyadari bahwa banyak kekurangan nya karena itu kritik dan saran yang membangun
senantiasa kami harapkan.

Dalam kesempatan ini, saya ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu dan teman
teman yang telah memberikan saya bimbingan dan semangat sehingga makalah ini dapat
diselesaikan. Semoga makalah ini bermanfaat.

Jambi, 26 Maret 2019

penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................... ii
BAB I: PENDAHULUAN
Latar Belakang ...........................................................
BAB II: PEMBAHASAN
Letak geografis Muaro Bungo ...................................
Kesenian khas Muaro Bungo .....................................
Perkawinan adat Muaro Bungo..................................
Agama ........................................................................
BAB III: PENUTUP
Kesimpulan ...............................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki beranekaragam kekayaan


alam yang potensial dari Sabang sampai merauke. Berbagai macam etnis dengan budaya yang
unik dan khas serta berbagai peninggalan sejarah membuat Indonesia menjadi sebuah daerah
tujuan wisata yang sangat mempesona, khususnya Provinsi Jambi yang merupakan salah satu
daerah tujuan wisata yang memiliki keindahan alam yang sangat memikat serta yang tak kalah
pentingnya yaitu keanekaragaman budaya daerah yang dapat dijadikan sebagai modal utama
untuk mengembangkan sektor pariwisata.
khususnya kebudayaan Muaro Bungo yang memiliki ciri khas tersendiri diantara
kebudayaan yang dimiliki oleh daerah daerah lainnya yang ada di provinsi Jambi. Oleh sebab
itu, sudah selayaknya kebudayaan Muaro Bungo dikenal oleh seluruh masyarakat agar dapat
terus dilestarikan dan dijadikan sebagai salah satu objek wisata di Provinsi Jambi, khususnya di
Muaro Bungo itu sendiri
BAB II
PEMBAHASAN
1. Letak Geografis
Kabupaten Bungo adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jambi, Indonesia. Kabupaten ini
berasal dari hasil pemekaran Kabupaten Bungo Tebo pada tanggal 12 Oktober 1999. Luas
wilayahnya 4.659 km² (9,80% dari luas Provinsi Jambi) dengan populasi 303.135 jiwa (Sensus
Penduduk Tahun 2010).
Kabupaten ini beribukota di Muara Bungo. Sebelumnya merupakan pemekaran dari
Kabupaten Bungo Tebo. Kabupaten ini terdiri dari 17 kecamatan. Kabupaten ini memiliki
kekayaan alam yang melimpah di antaranya sektor perkebunan yang ditopang oleh karet dan
kelapa sawit dan sektor pertambangan ditopang oleh batubara. Selain itu Kabupaten Bungo juga
kaya akan emas yang tersebar hampir di seluruh wilayah Kabupaten Bungo.
2. Kesenian
Krinok artinya memangggil. Seni Krinok dilantunkan oleh orang yang beribo ati
(bersedih). Krinok dilantunkan di hutan, ladang dan sawah. Tujuan dilantunkan Seni
Krinok untuk memanggil Dewa. Dewa tersebut adalah Dewa Binun. Seni Krinok berasal
dari Dewa. Sebab Dewa sangat senang dengan orang yang bersedih. Krinok. Selain itu
Krinok sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka tepatnya pada masa praksara
tepatnya pada masa neolitikum. Pada masa neolitikum kesenian sangat berkembang. Di
Jambi sendiri Seni Krinok sebab sedangkan diluar jambi seperti seni memabatik, gemelan
dan wayang (Mansyur dan Noor, 2015 :106).
Menurut Karl Krinok dibawa oleh orang orang proto melayu yang berasal dari cina selatan.
Orang cina selatang yang datang ke Indonesia yaitu suku Annam. Orang Annam ini datang ke
Sumatra khususnya Jambi. Mereka mengenalkan tradisi mereka seperti menanam bambu,
berladang dan pantun bersahutan. Pantun bersahutan inilah yang disebut dengan Krinok.
Selain lagu bersahutan ini dinyanyikan diladang tujuanny untuk membangkitkan semangat
dalam bekerja ( Ja’far Rasuh, Tanpa Tahun : 52).
Seni Krinok Sebagai Tradisi Lisan
Seni Krinok merupakan tradisi lisan yang dimiliki masyarakat Rantau Pandan yang
diwariskan secara turun temurun dan dari mulut ke mulut sehingga masih bertahan hingga
saat ini. Menurut Jan Vansina dalam Kuntowijoyo (2003:25), Tradisi lisan (oral tradition)
sebagai oral testimony transmited verbally, from one generation to the next one or more. Tradisi
lisan adalah kesaksian lisan yang disampaikan secara verbal, dari satu generasi ke generasi
berikutnya atau lebih. Selain itu tradisi lisan mengandung kejadian nilai nilai moral,
keagamaan, adat istiadat, cerita cerita khayal, peribahasa, nyanyian dan mantra.
(Kuntowijoyo, 2003 : 25).
Pelestarian Seni Krinok
Upaya melestarikan Seni Krinok pemerintah Desa Rantau Pandan membentuk tim pengurus
Seni Krinok. Pengurus Krinok ini bertugas untuk melestarikan Seni Krinok dengan cara
latihan Krinok setiap minggu. Selain itu upaya yang dengan cara menampilkan Seni Krinok
pada saat pesta pernikahan dengan peraturan khusus dari pemerintahan Desa.
Hambatan Pelestarian Seni Krinok
Hambatan dalam pelestarian Seni Krinok tersebut masalah pendanaan karena tidak ada dana
khusus untuk Seni Krinok dari pemerintahan Desa.
Nilai-Nilai dalam Seni Krinok
Seni Krinok terkandung nilai-nilai didalamnya yang bisa diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kekeluargaan, nilai moral, nilai sejarah,
nilai budaya, nilai seni, nilai nasehat dan nilai keagamaan.
3. Perkawinan adat Muaro Bungo
Nikah kawin menurut adat Muaro Bungo, mempunyai arti ganda. Menikah adalah
menikahkan seorang gadis dengan seorang jejaka untuk berumah tangga, sedangkan kawin
adalah timbulnya hubungan kekerabatan antara kedua belah pihak keluarga penganten, dalam
pepatah adat disebutkan : Nikah di masjid Kawin di rumah tanggo Bauleh ndak panjang Besaku
ndak tebal Bekampuh ndak leba Upacara pernikahan adat Muaro Bungo terdiri dari beberapa
tahapan, dimulai dengan maso berkenalan, sisik siang, mengembang tando, mengantar serah
adat, nikah kawin, berelek berkenduri, hingga mengumpul tuo menutup lek. Semua rangkaian
upacara pernikahan tersebut diurus oleh keluarga kedua belah pihak. Waktu pelaksanaan
rangkaian upacara tidak ditentukan, tergantung kepada kesiapan kedua belah pihak untuk
melangkah dari satu tahapan ke tahap berikutnya.
a. Maso berkenalan Dalam adat Muaro Bungo, setiap insan yang akan hidup berumah
tangga haruslah saling mengenal sifat dan karakter masing-masing. Perkenalan ini
bertujuan agar kedua calon pengantin sudah saling mengenal tingkah-laku masing-
masing, sehingga dapat menyesuaikan diri. Perkenalan tersebut terjadi dalam suatu
tradisi yang disebut bertandang. Dalam proses ini pemuda berkunjung ke rumah si
gadis dengan tatacara yang telah ditentukan adat. Saat bertandang si pemuda tidak
langsung berbicara dengan si gadis, tetapi ibu si gadislah yang melayani kedatangan
pemuda tersebut dan berbicara dengan cara berbalas pantun.
b. Sisik Siang Oleh karena perkawinan akan mengikat ninik mamak (pimpinan kaum)
kedua belah pihak, maka haruslah diadakan sisik siang. Dalam tahapan ini utusan dari
pihak keluarga laki-laki mendatangi keluarga perempuan untuk mengetahui apakah si
gadis sudah menjadi kundangan (tunangan) orang. Jika sudah maka tahapan tersebut
berhenti sampai di situ, dan jika belum akan dilanjutkan ke tahap sirih tanyo pinang
tanyo.
c. Sirih tanyo pinang tanyo Dalam tahapan ini utusan ninik mamak pihak laki-laki
mengantarkan seperangkat barang sebagai tanda bahwa si gadis dan bujang resmi
bertunangan. Kelengkapan yang diantarkan terdiri dari senampan sirih, dan pakaian
laki-laki (baju, kopiah, kain sarung). Utusan ninik mamak keluarga laki-laki ini
diterima oleh induk bapak (orang tua) si gadis. Orang tua si gadis menjawab dengan
pepatah adat yang intinya mengatakan bahwa si gadis memang anak kandung
mereka,mereka yang membesarkan, namun urusan pernikahan ini tidak dapat mereka
putuskan sendiri. Pinangan ini akan mereka rundingkan dengan ninik mamak mereka.
d. Mengembang Tando Pada hari yang telah ditetapkan berkumpullah keluarga dan ninik
mamak dari kedua belah pihak yang disaksikan oleh Batin (kepala dusun). Setelah
semuanya berkumpul, maka tando diserahkan kepada Batin oleh keluarga perempuan.
Dalam tahapan ini ditetapkan tingkatan mengisi adat menuang lembago (jenis
hantaran/serahan laki-laki kepada keluarga perempuan) yang harus ditanggung oleh
pihak laki-laki. Penentuan besar/tingkatan serahan tersebut tergantung pada
kemampuan ekonomi keluarga laki-laki. Berdasarkan adar Muaro Bungo, ada tiga
tingkatan serah lembago yaitu : yang diatas, terdiri dari seekor kerbau, beras seratus
gantang, kelapa seratus ikat (satu ikat dua buah kelapa), lengkap dengan bumbu dapur.
Yang di tengah, terdiri dari seekor kambing, beras 20 gantang, kelapa 20 ikat, lengkap
dengan bumbu dapur. Yang di bawah, terdiri dari seekor ayam, beras dua gantang,
kelapa dua ikat, lengkap dengan bumbu.
e. Mengantar serah Adat Lembago Setelah tando diterima pihak perempuan dan
tingkatan mengisi lembago telah ditetapkan, tahap selanjutnya adalah mengantar serah
yang dilakukan oleh keluarga laki-laki. Serah yang diantarkan harus sesuai dengan
serah yang disepakti sewaktu mengembang tando, sebagaimana pepatah adat berbunyi
: Kato dulu kato betepat, kato kudian idak becari. Artinya kedua belah pihak wajib
menepati janji yang telah dibuat ninik mamak sebelumnya.
f. Nikah Kawin Pernikahan biasanya dilangsungkan di mesjid yang ada di dekat rumah
mempelai perempuan. Setelah akad nikah dilaksanakan (ijab kabul) mempelai laki-laki
menyerahkan mas kawin kepada isterinya, dan kemudian keduanya langsung mengatur
sembah kepada orang tua mereka. Acara pernikahan ditutup dengan nasehat
pernikahan dari penghulu dan dari salah seorang ninik mamak dari keluarga
perempuan.
g. Berelek berkenduri (pesta perkawinan) Dalam tahap ini acara yang utama adalah
duduk bersanding kedua mempelai di pelaminan. Adapun urutan kegiatan sebagai
berikut : - Sebelum duduk bersanding, dari pihak perempuan menjemput mempelai
laki-laki ke depan halaman rumah, dengan mengenakan pakaian adat. - Mempelai laki-
laki diiringi bersama-sama dengan alat musik tradisional. - Sesampainya di depan
pintu masuk rumah tempat pesta diadakan, mempelai laki-laki disambut dengan
pencak silat. - Prosesi beulu bejawat, yaitu penyampaian kata pengantar dari pihak
laki-laki dan diwajab oleh pihak perempuan. Kata pengantar dan jawaban tersebut
disampaikan dalam bentuk pepatah / seloko adat. - Pihak perempuan menjemput
mempelai laki-laki untuk memasuki rumah, dan kedua mempelai bersanding di
pelaminan menunggu para undangan memberikan ucapan selamat. Kedua mempelai
bersanding sampai acara selesai pada sore harinya.
h. Mengumpul Tuo Menutup Lek Acara terakhir dari rangkaian upacara perkawinan adat
Muaro Bungo adalah pengumpulan panitia pesta atau disebut juga acara menutup lek.
Acara ini biasanya dilaksanakan sehari setelah kenduri / pesta selesai dilaksanakan.
Acara ini bertujuan untuk meminta maaf atas bantuan yang telah diberikan selama lek
(pesta) berlangsung. Acara ini ditutup dengan acara betunjuk beaja yaitu penyampaian
nasehat kepada penganten baru, dan dengan demikian berakhirlah rangkaian upacara
pernikahan adat Muaro Bungo.
4. Agama
Data BPS Provinsi Jambi Tahun 2008. Sebagian besar penduduk beragama Islam
yaitu 259.535 (98,6%) dan selebihnya beragama Kristen Protestan (1.842) , Katolik
(1.000), Hindu (121) dan Budha (658).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Suku Melayu adalah penduduk asli Kabupaten Bungo, mereka menetap di
sepanjang aliran sungai yang ada di Kabupaten Bungo seperti di sepanjang aliran
Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan dan Batang Pelepat. Selain itu di
Kabupaten Bungo juga terdapat suku-suku pendatang seperti dari Minang, Jawa, Batak,
Tionghoa, Arab, India, dll.

Вам также может понравиться