Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
DISUSUNOLEH:
WARDATUL JANNAH
PROGRAM KHUSUS
2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan hidayah-
Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul,
“ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB) PADA PASIEN ASMA
BRONKIAL” sebagai bentuk tugas dari mata pelajaran bimbingan karir. Kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk makalah ini. Akhir kata,
semoga segala informasi yang terdapat di dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata pengantar......................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A Definisi
1. Pengertian ................................................................................
2. Etiologi ....................................................................................
3. Anatomi Fisiologi....................................................................
4. Patofisiologi ............................................................................
5. Klasifikasi ...............................................................................
6. Tanda dan Gejala.....................................................................
7. Komplikasi
8. penyebab .................................................................................
9. Pemeriksaan Diagnosis ...........................................................
10. Penatalaksanaan ......................................................................
B Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian ...............................................................................
2. Diagnosa Keperawatan ............................................................
3. Intervensi Keperawatan ...........................................................
4. Implementasi Keperawatan .....................................................
5. Evaluasi ...................................................................................
BAB III PENUTUP
1. Kesimpilan ..............................................................................
2. Saran ........................................................................................
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan kami kemukakan adalah :
1. Konsep teori Asma
2. Asuhan keperawatan Asma
C. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk menambah pemahaman klinis
asma bronkial khususnya dari segi diagnosis, pengenalanetiologi, faktor risiko,
patofisiologi, dan penatalaksanaan terkait kasus
1. Tujuan Umum
Penulis dapat menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan Asma
Tujuan Khusus
a Mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan Asma
b Mampu menentukan masalah atau diagnosa keperawatan pada
pasien dengan Asma
c Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan
Asma
d Mampu melakukan tindakan keperawatan pada pasien yang
mengalami Asma
e Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan Asm
a
f Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan
pasien secara baik dan benar.
D. Manfaat Penulisan
Dengan adanya makalah ini diharapkan agar kita dapat memahami tentang
“Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Asma”
.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Asma adalah suatu obstruktif jalan nafas yang reversible yang disebabkan
oleh:
4. Patofisiologi
Berkaitan dengan gangguan saluran pernapasan yang berupa peradangan
dan bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar
yakni asma ekstriksi dan asma intrinsik (Hadibroto & Alam, 2006).
Berdasarkan klasifikasi tersebut akan dijabarkan masing-masing dari
patofisiologinya.
a. Asma Ekstrinsik
Pada asma ekstrinsik alergen menimbulkan reaksi yang hebat pada
mukosa bronkus yang mengakibatkan konstriksi otot polos, hiperemia serta
sekresi lendir putih yang tebal. Mekanisme terjadinya reaksi ini telah
diketahui dengan baik, tetapi sangat rumit. Penderita yang telah
disensitisasi terhadap satu bentuk alergen yang spesifik, akan membuat
antibodi terhadap alergen yang dihirup itu. Antibodi ini merupakan
imunoglobin jenis IgE. Antibodi ini melekat pada permukaan sel mast pada
mukosa bronkus. Sel mast tersebut tidak lain daripada basofil yang kita
kenal pada hitung jenis leukosit. Bila satu molekul IgE yang terdapat pada
permukaan sel mast menangkap satu molekul alergen, sel mast tersebut
akan memisahkan diri dan melepaskan sejumlah bahan yang menyebabkan
konstriksi bronkus. Salah satu contoh yaitu histamin, contoh lain ialah
prostaglandin. Pada permukaan sel mast juga terdapat reseptor beta-2
adrenergik. Bila reseptor beta-2 dirangsang dengan obat anti asma
Salbutamol (beta-2 mimetik), maka pelepasan histamin akan terhalang.
Pada mukosa bronkus dan darah tepi terdapat sangat banyak eosinofil.
Adanya eosinofil dalam sputum dapat dengan mudah diperlihatkan. Dulu
fungsi eosinofil di dalam sputum tidak diketahui, tetapi baru-baru ini
diketahui bahwa dalam butir-butir granula eosinofil terdapat enzim yang
menghancurkan histamin dan prostaglandin. Jadi eosinofil memberikan
perlindungan terhadap serangan asma. Dengan demikian jelas bahwa kadar
IgE akan meninggi dalam darah tepi (Herdinsibuae dkk, 2005).
b. Asma Intrinsik
Terjadinya asma intrinsik sangat berbeda dengan asma ekstrinsik.
Mungkin mula-mula akibat kepekaan yang berlebihan (hipersensitivitas)
dari serabut-serabut nervus vagus yang akan merangsang bahan-bahan
iritan di dalam bronkus dan menimbulkan batuk dan sekresi lendir melalui
satu refleks. Serabut-serabut vagus, demikian hipersensitifnya sehingga
langsung menimbulkan refleks konstriksi bronkus. Atropin bahan yang
menghambat vagus, sering dapat menolong kasus-kasus seperti ini. Selain
itu lendir yang sangat lengket akan disekresikan sehingga pada kasus-kasus
berat dapat menimbulkan sumbatan saluran napas yang hampir total,
sehingga berakibat timbulnya status asmatikus, kegagalan pernapasan dan
akhirnya kematian. Rangsangan yang paling penting untuk refleks ini ialah
infeksi saluran pernapasan oleh flu (common cold), adenovirus dan juga
oleh bakteri seperti hemophilus influenzae. Polusi udara oleh gas iritatif
asal industri, asap, serta udara dingin juga berperan, dengan demikian
merokok juga sangat merugikan (Herdinsibuae dkk, 2005).
c. Sel Inflamasi
Sel-sel inflamasi yang terlibat dalam patofisiologi asma terutama adalah sel
mast, limfosit, dan eosinofil.
1) Sel mast
Sel ini sudah lama dikaitkan dengan penyakit asma dan alergi, karena
ia dapat melepaskan berbagai mediator inflamasi, baik yang sudah
tersimpan atau baru disintesis, yang bertanggung-jawab terhadap beberapa
tanda asma dan alergi. Berbagai mediator tersebut antara lain adalah
histamine (yang disintesis dan disimpan di dalam granul sel dan dilepas
secara cepat ketika sel mast teraktivasi), prostaglandin PGD2 dan
leukotrien LTC4 (yang baru disintesis setelah ada aktivasi), dan sitokin
(yang disintesis dalam waktu yang lebih lambat dan berperan dalam reaksi
fase lambat). Sel mast diaktivasi oleh alergen melalui ikatan suatu alergen
dengan IgE yang telah melekat pada reseptornya (Fcereceptor) di
permukaan sel mast. Adanya ikatan cross-linking antara alergen dengan
IgE tersebut memicu serangkaian biokimia didalam Sel yang kemudian
menyebabkan terjadinya degranulasi sel mast. Degranulasi adalah
peristiwa pecahnya sel mast yang menyebabkan pelepasan berbagai
mediator inflamasi.
Sel mast terdapat pada lapisan epithelial saluran nafas, dan karenanya
dapat berespon terhadap allergen yang terhirup. Terdapatnya peningkatan
jumlah sel mast pada cairan bronkoalveolar pasien asma mengindasikan
bahwa sel ini terlibat dalam patofisiologi asma. Selain itu, pada pasien
asma yang dijumpai penigkatan kadar histamine dan triptase pada cairan
bronkoalveolarnya, yang diduga kuat berasal dari sel mast yang
terdegranulasi. Beberapa obat telah dikembangkan untuk menstabilkan sel
mast agar tidak mudah terdegranulasi. Peran sel mast pada reaksi alergi
fase lambat masih belum diketahui secara pasti. Namun,sel mast juga
mengandung faktor kemotatik yang dapat menarik eosinofil dan neutrofil
ke saluran nafas.
2) Limfosit
Peran limfosit dalam asma semakin banyak mendapat dukungan fakta,
antara lain dengan terdapatnya produk-produk limfosit yaitu sitokin pada
biopsy bronchial pasien asma. Selain itu, sel-sel limfosit juga dijumpai
pada cairan bronkoalveolar pasien asma pada reaksi fase lambat. Limfosit
sendiri terdiri dari dua tipe yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T
masih terbagi lagi menjadi dua subtipe yaitu Th1 dan Th2 (T helper 1 dan
T helper 2). Sel Th2 memproduksi berbagai sitokin yang berperan dalam
reaksi inflamasi sehingga disebut sitokin prainflamasi, seperti IL-3, IL-4,
IL-6, IL-9, dan IL-13. Sitokin-sitokin ini nampaknya berfungsi dalam
pertahanan tubuh terhadap pathogen ekstrasel. IL-4 dan IL-13 misalnya,
dia bekerja mengaktivasi sel limfosit B untuk memproduksi IgE, yang
nantinya akan menempel pada sel-sel inflamasi sehingga terjadi pelepasan
berbagai mediator inflamasi.
3) Eosinofil
Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa eosinofil berkontribusi
terhadap patofisiologi penyakit alergi pada saluran nafas. Dijumpai adanya
kaitan yang erat antara keparahan asma dengan keberadaan eosinofil di
saluran nafas yang terinflamasi, sehiingga inflamasi pada asma atau alergi
sering disebut juga inflamasi eosinofilia. Eosinofil mengandung berbagai
protein granul seperti: major inflamasi eosinifilia (MBP), eosinophil
peroxidase(EPO), dan eosinophil cationic probasic protein (ECP), yang
dapat menyebabkan kerusakan epitelium saluran nafas, menyebabkan
hiperresponsivitas bronkus, sekresi mediatorbdari sel mast dan basofil,
serta secara langsung menyebabkan kontraksi otot polos saluran nafas
(Bussed an Reed, 1993). Selain itu, beberapa produk eosinofil seperti
LCT4, PAF, dan metabolit oksigen toksik dapat menambah keparahn
asma.
5. Klasifikasi Asma
Berkaitan dengan gangguan saluran pernapasan yang berupa peradangan dan
bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar,
seperti yang dianut banyak dokter ahli pulmonologi (penyakit paru-paru) dari
Inggris, yakni:
a. Asma Ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma yang paling umum, dan disebabkan
karena reaksi alergi penderitanya terhadap hal-hal tertentu (alergen), yang
tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap mereka yang sehat.
Kecenderungan alergi ini adalah “kelemahan keturunan”. Setiap orang dari
lahir memiliki sistem imunitas alami yang melindungi tubuhnya terhadap
serangan dari luar. Sistem ini bekerja dengan memproduksi antibodi.
Pada saat datang serangan, misalnya dari virus yang memasuki tubuh,
sistem ini akan menghimpun antibodi untuk menghadapi dan berusaha
menumpas sang penyerang. Dalam proses mempertahankan diri ini, gejala-
gejala permukaan yang mudah tampak adalah naiknya temperatur tubuh,
demam, perubahan warna kulit hingga timbul bercak-bercak, jaringan-
jaringan tertentu memproduksi lendir, dan sebagainya (Hadibroto & Alam,
2006).
b. Asma Intrinsik
Asma intrinsik tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari
alergen. Asma jenis ini disebabkan oleh stres, infeksi, dan kondisi
lingkungan seperti cuaca, kelembapan dan suhu tubuh. Asma intrinsik
biasanya berhubungan dengan menurunnya kondisi ketahanan tubuh,
terutama pada mereka yang memiliki riwayat kesehatan paru-paru yang
kurang baik, misalnya karena bronkitis dan radang paru-paru (pneumonia).
Penderita diabetes mellitus golongan lansia juga mudah terkena asma
intrinsik. Penderita asma jenis ini kebanyakan berusia di atas 30 tahun
(Hadibroto & Alam, 2006).
Namun penting dicatat, bahwa dalam prakteknya, asma adalah penyakit
yang kompleks, sehingga tidak selalu dimungkinkan untuk menentukan
secara tegas, golongan asma yang diderita seseorang. Sering indikasi asma
ekstrinsik dan intrinsik bersama-sama dideteksi ada pada satu orang.
Sebagai contoh, dalam kasus asma bronkial (termasuk jenis ekstrinsik)
yang kronis, pada saat menangani terjadinya serangan, dokter akan sering
mendiagnosa hadirnya faktor-faktor kecemasan dan rasa panik. Keduanya
adalah emosi yang sifatnya naluriah pada saat seseorang harus berjuang
agar bisa bernapas. Selanjutnya rasa cemas dan panik ini meneruskan
lingkaran setan dan memperparah gejala serangan. Juga akan tercatat,
bahwa bahan-bahan iritan (pengganggu) dari luar seperti asap rokok dan
hairspray akan memperparah kondisi penderita. Kesimpulannya adalah,
dari asal asma bronkial (termasuk asma ekstrinsik) akan terlihat juga
hadirnya faktor asma intrinsik.
Demikian pula, seseorang yang punya sejarah bronkitis di masa kanak-
kanak sering tumbuh menjadi orang dewasa yang cenderung menderita
asma yang alergik, sebagai akibat kelemahan bawaan dari masa kanak-
kanaknya (Hadibroto & Alam, 2006).
Klasifikasi tingkat penyakit asma dapat dibagi berdasarkan frekuensi
kemunculan gejala (Hadibroto & Alam, 2006).
a. Intermitten, yaitu sering tanpa gejala atau munculnya kurang dari 1
kali dalam seminggu dan gejala asma malam kurang dari 2 kali dalam
sebulan. Jika seperti itu yang terjadi, berarti faal (fungsi) paru masih
baik.
b. Persisten ringan, yaitu gejala asma lebih dari 1 kali dalam seminggu
dan serangannya sampai mengganggu aktivitas, termasuk tidur. Gejala
asma malam lebih dari 2 kali dalam sebulan. Semua ini membuat faal
paru realatif menurun.
c. Persisten sedang, yaitu asma terjadi setiap hari dan serangan sudah
mengganggu aktivitas, serta terjadinya 1-2 kali seminggu. Gejala asma
malam lebih dari 1-2 kali seminggu. Gejala asma malam lebih dari 1
kali dalam seminggu. Faal paru menurun.
d. Persisten berat, gejala asma terjadi terus-menerus dan serangan sering
terjadi. Gejala asma malam terjadi hampir setiap malam. Akibatnya
faal paru sangat menurun.
e. Klasifikasi tingkat penyakit asma berdasarkan berat ringannya gejala
(Hadibroto & Alam, 2006):
f. Asma akut ringan, dengan gejala: rasa berat di dada, batuk kering
ataupun berdahak, gangguan tidur malam karena batuk atau sesak
napas, mengi tidak ada atau mengi ringan, APE (Arus Puncak
Aspirasi) kurang dari 80%.
g. Serangan asma akut sedang, dengan gejala: sesak dengan mengi agak
nyaring, batuk kering/berdahak, aktivitas terganggu, APE antara 50-
80%.
h. Serangan asma akut berat, dengan gejala: sesak sekali, sukar berbicara
dan kalimat terputus-putus, tidak bisa barbaring, posisi harus setengan
duduk agar dapat bernapas, APE kurang dari 50%.
6. Manifestasi Klinis
a. Tanda
Sebelum muncul suatu episode serangan asma pada penderita,
biasanya akan ditemukan tanda-tanda awal datangnya asma. Tanda-tanda
awal datangnya asma memiliki sifat-sifat sebagai berikut, yaitu sifatnya
unik untuk setiap individu, pada individu yang sama, tanda-tanda
peringatan awal bisa sama, hampir sama, atau sama sekali berbeda pada
setiap episode serangan dan tanda peringatan awal yang paling bisa
diandalkan adalah penurunan dari angka prestasi penggunaan “Preak Flow
Meter”.
Beberapa contoh tanda peringatan awal (Hadibroto & Alam, 2006)
adalah perubahan dalam pola pernapasan, bersin-bersin, perubahan suasana
hati (moodiness), hidung mampat, batuk, gatal-gatal pada tenggorokan,
merasa capai, lingkaran hitam dibawah mata, susah tidur, turunnya
toleransi tubuh terhadap kegiatan olahraga dan kecenderungan penurunan
prestasi dalam penggunaan Preak Flow Meter.
b. Gejala
1) Gejala Asma Umum
Perubahan saluran napas yang terjadi pada asma menyebabkan
dibutuhkannya usaha yang jauh lebih keras untuk memasukkan dan
mengeluarkan udara dari paru-paru. Hal tersebut dapat memunculkan
gejala yaitu:
- sesak napas/sulit bernapas,
- sesak dada,
- mengi/napas berbunyi (wheezing) dan
- batuk (lebih sering terjadi pada anak daripada orang dewasa).
Tidak semua orang akan mengalami gejala-gelaja tersebut. Beberapa
orang dapat mengalaminya dari waktu ke waktu, dan beberapa orang
lainya selalu mengalaminya sepanjang hidupnya. Gelaja asma seringkali
memburuk pada malam hari atau setelah mengalami kontak dengan
pemicu asma (Bull & Price, 2007). Selain itu, angka performa penggunaan
Preak Flow Meter menunjukkan rating yang termasuk “hati-hati” atau
“bahaya” (biasanya antara 50% sampai 80% dari penunjuk performa
terbaik individu) (Hadibroto & Alam, 2006).
2) Gejala Asma Berat
Gejala asma berat (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut yaitu:
- serangan batuk yang hebat,
- napas berat “ngik-ngik”,
- tersengal-sengal, sesak dada,
- susah bicara dan berkonsentrasi,
- jalan sedikit menyebabkan napas tersengal-sengal,
- napas menjadi dangkal dan cepat atau lambat dibanding biasanya,
- pundak membungkuk,
- lubang hidung mengembang dengan setiap tarikan napas,
- daerah leher dan di antara atau di bawah tulang rusuk melesak ke
dalam, bersama tarikan napas, bayangan abu-abu atau membiru pada
kulit,
- bermula dari daerah sekitar mulut (sianosis), serta angka performa
penggunaan Preak Flow Meter dalam wilayah berbahaya (biasanya di
bawah 50% dari performa terbaik individu).
a. Tingkat I
1) Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan
fungsi paru.
2) Timbul bila ada faktor pencetus baik didapat alamiah maupun
dengan test provokasi bronkial di laboratorium
b. Tingkat II
1) Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru
menunjukkan adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas
2) Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.
c. Tingkat III
1) Tanpa keluhan
2) Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya
obstruksi jalan nafas.
3) Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah
diserang kembali.
d. Tingkat IV
1) Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi
wheezing.
2) Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda
obstruksi jalan nafas.
e. Tingkat V
1) Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa
serangan asma akut yang berat bersifat refrator sementara
terhadap pengobatan yang lazim dipakai.
2) Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas
yang reversibel.
3) Pada asma yang berat dapat timbul gejala seperti : Kontraksi
otot-otot pernafasan, sianosis, gangguan kesadaran, penderita
tampak letih, takikardi.
7. Komplikasi Asma
Penyakit asma yang tidak ditangani dengan baik lambat-laun akan berakibat
pada terjadinya komplikasi (Mansjoer, 2008) dimana dapat menyebabkan
beberapa penyakit sebagai berikut yaitu, terjadinya pneumotorak,
pneumomediastinum, emfisema subkutis, aspergilosis, atelektasis, gagal napas,
bronkitis, fraktur iga, dan bronkopulmonar alergik.
8. Penyebab (inducer)
Yang mengakibatkan peradangan (inflammation) pada saluran pernapasan.
Umumnya penyebab (inducer) asma adalah alergen, yang tampil dalam bentuk
ingestan dimana alergen masuk ke tubuh melalui mulut (dimakan/diminum)
terutama makanan dan obat-obatan. Selain itu, bisa juga dalam bentuk inhalan
yaitu alergen yang masuk ke tubuh melalui hidung atau mulut. Jenis alergen
inhalan yang utama adalah tepung sari (serbuk) bunga, tanaman, pohon, tungau,
serpihan dan kotoran binatang, serta jamur. Bentuk lainnya yaitu kontak
langsung dengan kulit seperti memakai perhiasan, logam dan jam tangan.
Beberapa faktor orang memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk
menyandang asma dibandingkan orang lain (Bull & Price, 2007), di antaranya
memiliki riwayat asma atau alergi lainnya dalam keluarga (keturunan) karena
asma dapat diwariskan-diturunkan dari satu anggota keluarga ke anggota
keluarga berikutnya. Beberapa faktor genetik (keturunan) dapat mempengaruhi
perkembangan asma. Jika salah satu orangtua menyandang asma, peluang
berkembangnya asma pada anak-anaknya sekitar dua kali dibandingkan anak-
anak yang orangtuanya tidak menyandang asma. Merokok ketika hamil dimana
asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat
diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
Baik perokok aktif maupun pasif semasa kanak-kanan. Selain itu pilek atau
infeksi virus dan terpapar iritan di tempat kerja juga dapat mengakibatkan
peradangan (inflammation) pada saluran pernapasan yang berakibat pada
terjadinya serangan asma (Ayres, 2003).
Aspek-aspek potensi risiko kemunculan penyakit asma (Widjadja, 2009),
antara lain aspek genetik, kemungkinan alergi dan saluran napas yang memang
mudah terserang.
9. Penatalaksanaan
Prinsip umum dalam pengobatan pada asma bronhiale :
a. Menghilangkan obstruksi jalan nafas
b. Mengenal dan menghindari faktor yang dapat menimbulkan serangan
asma.
c. Memberi penerangan kepada penderita atau keluarga dalam cara
pengobatan maupun penjelasan penyakit.
Penatalaksanaan asma dapat dibagi atas :
1) Pengobatan dengan obat-obatan seperti
- Beta agonist (beta adrenergik agent)
- Methylxanlines (enphy bronkodilator)
- Anti kolinergik (bronkodilator)
- Kortikosteroid
- Mast cell inhibitor (lewat inhalasi)
2) Tindakan yang spesifik tergantung dari penyakitnya, misalnya :
- Oksigen 4-6 liter/menit.
- Agonis B2 (salbutamol 5 mg atau veneteror 2,5 mg atau terbutalin
10 mg) inhalasi nabulezer dan pemberiannya dapat di ulang setiap
30 menit-1 jam. Pemberian agonis B2 mg atau terbutalin 0,25 mg
dalam larutan dextrose 5% diberikan perlahan.
- Aminofilin bolus IV 5-6 mg/kg BB, jika sudah menggunakan obat
ini dalam 12 jam.
- Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg itu jika tidak ada respon
segera atau klien sedang menggunakan steroid oral atau dalam
serangan sangat berat.
10. Pemeriksaan Penunjang
a. Test Diagnostik
1) Foto Thoraks
Pemeriksaan ini terutama dilakukan untuk melihat hal – hal yang ikut
memperburuk atau komplikasi asma akut yang perlu juga mendapat
penangan seperti atelektasis, pneumonia, dan pneumothoraks. Pada
serangan asma berat gambaran radiologis thoraks memperlihatkan suatu
hiperlusensi, pelebaran ruang interkostal dan diagfragma yang meurun.
Semua gambaran ini akan hilang seiring dengan hilangnya serangan
asma tersebut.
2) EKG
Elektrokardiografi (EKG) : Tanda – tanda abnormalitas sementara dan
refersible setelah terjadi perbaikanklinis adalah gelombang P meninggi (
P pulmonal ), takikardi dengan atau tanpa aritmea supraventrikuler, tanda
– tanda hipertrofi ventrikel kanan dan defiasi aksis ke kanan.
3) Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menyingkirkan adanya proses
patologik diparu atau komplikasi asthma seperti pneumothorak,
pneumomediastinum, atelektosis dan lain – lain.
b. Test Laboratorium
1) Analisa Gas Darah dilakukan jika pasien tidak mampu melakukan
maneuver fungsi pernapasan karena obstruksi berat atau keletihan, atau
bila pasien tidak berespon terhadap tindakan. Respirasi alkalosis ( CO2
rendah ) adalah temuan yang paling umum pada pasien asmatik.
Peningkatan PCO2 ( ke kadar normal atau kadar yang menandakan
respirasi asidosis ) seringkali merupakan tanda bahaya serangan gagal
napas. Adanya hipoksia berat, PaO2 < 60 mmHg serta nilai pH darah
rendah.
2) Sputum.
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan Asma yang
berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan
transudasi dari adema mukasa, sehingga terlepaslah sekelompok sel –
sel epitel dari perlekatannya. Peawarnaan gram penting untuk melihat
adanya bakteri, diikuti kultur dan uji resistensi terhadap beberapa
antibiotik.
3) Pemeriksaan darah rutin dan kimia.
Jumlah sel leukosit lebih dari 15.000 terjadi karena adanya infeksi.
SGOT dan SGPT meningkat disebabkan karena kerusakkan hati
akibat hipoksia atau hiperkapnea.
4) Sel eosinophil
Pada penderita status asthmatikus sel eosinofil dapat mencapai 1000 –
1500 /mm3 baik asthma Intrinsik ataupun extrinsik, sedangkan hitung
sel eosinofil normal antara 100-200/mm3. Perbaikan fungsi paru
disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan pengobatan
telah tepat.
c. Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
d. Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi
udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
e. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
f. Peak Flow Meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat
tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru.
Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau
PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM karena PFM tidak
begitu sensitif dibanding FEV. Untuk diagnosis obstruksi saluran napas,
PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk
pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam
diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
g. X-ray Dada/Thorax
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.
h. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari
faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat
dilakukan (pada dermographism).
i. Petanda Inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis
dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-
kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru,
pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang
dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan
hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP)
dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan
transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau
sulit dilakukan di luar riset.
Web of Caution (WOC) secara Teorits
B. Konsep Dasar Keperawetan
1. Pengkajian
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
- Klien mengeluh sesak nafas, batuk, lendir susah keluar
- Mengeluh mudah lelah dan pusing
- Data penggunaan obat
- Klien mengenal/tidak mengenal penyebab serangan
b. Pola nutrisi metabolik
- Mual, muntah, tidak nafsu makan
- Menunjukan tanda dehidrasi, membran mukosa kering
- Cyanosis, banyak keringat
c. Pola aktivitas dan latihan
- Aktivitas terbatas karena adanya wheezing dan sesak nafas
- Kebiasaan merokok
- Batuk dan lendir yang sulit dikeluarkan
- Menggunakan otot-otot tambahan saat inspirasi
d. Pola tidur dan istirahat
- Keluhan kurang tidur
- Lelah akibat serangan sesak nafas dan batuk
e. Pola persepsi dan konsep diri
- Klien kemungkinan dapat mengungkapkan strategi mengatasi serangan,
tetapi tidak mampu mengatasi jika serangan datang.
f. Pola kognitif dan persepsi sensori
- Sejauh mana pengetahuan klien tentang penyakitnya
- Kemampuan mengatasi masalah
- Melemahnya proses berfikir
g. Pola peran dan hubungan dengan sesama
- Terganggunya peran akibat serangan
- Merasa malu bila terjadi serangan
h. Pola seksualitas dan reproduksi
- Menurunnya libido
i. Mekanisme dan toleransi terhadap stress
- Mengingkari
- Marah
- Putus asa
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan suplai oksigen berkurang
(bronkospasme)
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen
(bronkuspasme)
c. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuat imunitas
d. Kurangnya pengetahuan tentang perawatan diri berhubungan dengan
kurangnya informasi tentang penyakit dan pencegahan.
3. Intervensi Keperawatan
4. Implementasi
Pelaksanaankeperawatanadalah pemberian asuhan keperawatan yang
dilakukan secara langsung kepada pasien. Kemampuan yang harus dimiliki
perawat pada tahap implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif,
kemampuan untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling membantu,
kemampuan tekhnik psikomotor, kemampuan melakukan observasi sistematis,
kemampuan memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi dan
evaluasi. Tahap pelaksanaan keperawatan meliputi: fase persiapan (preparation),
tindakan dan dokumentasi.
Dalam melaksanakan tindakan keperawatan pada orang dewasa. Kemampuan
perawat dalam berkomunikasi sangat diperlukan. Disamping itu harus
memperhatikan dampak hospitalisasi bagi pasien.
5. Evaluasi Keperawatan
a) Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil
tindakan keperawatan. Evaluasi ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencanan keperawatan guna menilai keefektifan
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi
formatif ini meliputi empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP,
yakni Subjektif (data berupa keluhan klien), Objektif (data hasil
pemeriksaan), Analisa data (perbandingan data dengan teori), dan Planning
(perencanaan).
b) Evaluasi Sumatif
Evaluasi Sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktifitas
proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan
menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan.
Metode yang dapat digunakan pada evaluasi jenis ini adalah melakukan
wawancara pada akhir layanan, menanyakan respon pasien dan keluarga
terkait layanan keperawatan, mengadakan pertemuan pada akhir pelayanan.
Daftar Pustaka
Asih, Niluh Gede Yasmin. (2003). Keperawatan Medikal Bedah: Klien
dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Ayres, Jon. (2003). Asma. Jakarta: PT Dian Rakyat
Bull, Eleanor & David Price. (2007). Simple Guide Asma. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Hartanti, Vien. (2003). Jadi Dokter di Rumah Sendiri dengan Terapi Herbal
dan Pijat. Jakarta: Pustaka Anggrek
Herdinsibuae, W dkk. (2005). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: PT Rineka Cipta
Media Aesculapius