Вы находитесь на странице: 1из 19

KONSEP DAN TATA LAKSANA TRAUMA MUSKULOSKLETAL

A. KONTUSIO, STRAIN DAN SPRAIN


1. Kontusio
a. Definisi
Kontusio adalah cedera pada jaringan lunak, diakibatkan oleh
kekerasan tumpul (misalnya pukulan, tendangan, atau jatuh).
Terputusnya banyak pembuluh darah kecil yang terjadi mengakibatkan
perdarahan ke jaringan lunak (ekimosis,memar). Hematoma terjadi bila
perdarahan cukup banyaksampai terjadi timbunan darah (Smeltzer &
Bare, 2001, hal. 2355).
Kontusio merupakan istilah yang digunakan untuk cedera pada
jaringan lunak yang diakibatkan oleh kekerasan atau trauma tumpul
yang langsung mengenai jaringan, seperti pukulan, tendangan, atau
jatuh. Terputusnya beberapa pembuluh darah kecil mengakibatkan
perdarahan pada jaringan lunak (Muttaqin, 2008, hal. 69).
Kontusio adalah luka memar/hancur yang terjadi pada bagian yang
mengalami trauma (Gordon, 1996, hal. 227).
b. Etiologi
1) Benturan benda keras
2) Pukulan
3) Tendangan/jatuh
c. Manifestasi Klinis
1) Perdarahan pada daerah injury (echymosis) karena rupture
pembuluh darah kecil, juga berhubungan dengan fraktur
2) Nyeri, bengkak dan perubahan warna
3) Hiperkalemia mungkin terjadi pada kerusakan jaringan yang luas
dan kehilangan darah yang banyak (Smeltzer & Bare, 2001, hal.
2355).
d. Penatalaksanaan
Mengurangi /menghilangkan rasa tidak nyaman :
1) Tinggikan daerah injury
2) Berikan kompres dingin selama 24 jam pertama (20-30 menit
setiap pemberian) untuk vasokontriksi, menurunkan edema, dan
menurunkan rasa tidak nyaman.
3) Berikan kompres hangat disekitar area injury setelah 24 jam
pertama (20-30 menit) 4x sehari untuk melancnarkan sirkulasi dan
absorpsi
4) Lakukan pembalutan untuk mengontrol perdarahan dan bengkak
5) Kaji status neurovaskuler pada daerah extremitas setiap 4 jam bila
ada indikasi (Smeltzer & Bare, 2001).
Menurut (Wahid, 2013) penatalaksanaan pada cedera kontusio adalah
sebagai berikut :
1) Kompres dengan es selama 12-24 jam untuk menghentikan
pendarahan kapiler
2) Istirahat untuk mencegah cedera lebih lanjut dan mempercepat
pemulihan jaringan-jaringan lunak yang rusak
3) Hindari benturan di daerah cedera pada saat latihan.
e. Komplikasi
1) Syok
2) Hipertemi
3) Osteomyelitis

2. Strain
a. Definisi
Strains adalah kerusakan pada suatu bagian otot atau tendo karena
penggunaan yang berlebihan ataupun stress yang berlebihan. Strain
adalah bentuk cedera berupa penguluran atau kerobekan pada struktur
muskulo-tendinous (otot dan tendon) (Wahid, 2013, hal. 61).
Strains merupakan tarikan otot akibat penggunaan dan peregangan
yang berlebihan atau stress lokal yang berlebihan. Strain adalah
robekan mikroskopis tidak komplit dengan perdarahan dalam jaringan
(Muttaqin, 2008, hal. 69).
Menurut (Griffith Winter,1994). Dalam buku yang ditulis oleh Suratun
dkk. Strains adalah luka pada beberapa ligamen yang saling
berhubungan dan tetap pada tempatnya, sedangkan terkilir adalah
ligamen yang tertarik, sedangkan menurut (Black Joyce,1993) strains
adalah trauma yang mengenai otot atau tendon yang disebabkan oleh
kelebihan pemanasan atau kelebihan ekstensi (Suratun, Heryati,
Manurung, & Raenah, 2008, hal. 139).
b. Etiologi
Penyebab terjadinya strains yaitu:

1) Strains terjadi ketika otot terulur dan berkontraksi secara mendadak,


seperti pada pelari atau pelompat.
2) Adanya pergerakan yang terlalu cepat atau tidak disengaja serta
meliputi pukulan, tendangan, trauma, gerakan menjepit, dan
gerakan memutar.
3) Pada strains akut terjadi ketika otot terjulur dan berkontraksi secara
mendadak.
4) Strains kronik terjadi secara berkala oleh karena penggunaan
berlebihan atau tekanan berulang-ulang, menyebabkan terjadinya
tendonitis (peradangan pada tendon) (Wahid, 2013, hal. 63).
c. Klasifikasi Strains
1) Derajat I / Mild Strains ( Ringan)
Cedera akibat penggunaan yang berlebihan pada penguluran unit
muskulotendinous yang ringan berupa streching/kerobekan ringan pada
otot/ligament.
2) Derajat II / Moderat Strains (Sedang)
Cedera pada unit muskulotendinous akibat kontraksi yang berlebihan.
3) Derajat III / Severe ( Berat)
Adanya tekanan/penguluran mendadak yang cukup berat. Berupa
robekan penuh pada otot ligament yang menghasilkan ketidakstabilan
sendi. (Rasjad, 2007).
d. Manifestasi Klinis
1) Biasanya perdarahan dalam otot, bengkak, nyeri ketika kontraksi
2) Nyeri mendadak
3) Edema
4) Spasme otot
5) Haematoma (Wahid, 2013).
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaa strains ada dua cara yaitu : RICE (Rest-Ice-Compress-
Elevate) dan MSA (Movement-Strengh-Alternat activity).
RICE (Rest-Ice-Compress-Elevate) yaitu :
1) Istirahatkan pada bagian cedera,
2) Dinginkan selama 15 – 30 menit,
3) Balut pada bagian cedera dan
4) Tinggikan atau dinaikan pada bagian cedera.
MSA yaitu :
1) Gerakan sendi/otot sesuai (ROM)
2) Bila pembengkakan berkurang dan ROM dapat dilakukan dengan baik,
maka mulai latih kekuatan sendi dan otot
3) Selama fase penyembuhan dapat dilakukan latihan dengan tidak
membebani bagian yang cedera.
Derajat strain ada tiga:
1) Strain tingkat I (first degree)
Tidak perlu pertolongan/pengobatan, cedera pada tingkat ini cukup
diberikan istirahat saja karena akan sembuh dengan sendirinya.
2) Strains tingkat II (second degree)
Harus diberi pertolongan dengan metode RICE. Disamping itu harus
memberikan tindakan imobilisasi (suatu tindakan yang diberikan agar
bagian yang cedera tidak dapat digerakan) dengan cara balut tekan,
spalk maupun gibs. Biasanya istirahat selama 3-6 minggu.
3) Strain tingkat III (third degree)
Tetap melakukan metode RICE, sesuai dengan urutannya kemudian
dirujuk ke rumah sakit untuk dijahit/disambung kembali. (Wahid, 2013,
hal. 62)
f. Komplikasi
Strain yang berulang dapat menyebabkan tendonitis dan perioritis, dan
perubahan patologi adanya inflasi serta dapat mengganggu/robeknya
jaringan otot dan tendon dari intensitas ringan – berat tergantung tipe strain
yang di dapatkan. Strain dapat mengakibatkan patah tulang karena
robeknya ligament, membuat tulang menjadi kaku dan mudah patah bila
salah mobilisasi (Smeltzer & Bare, 2001).

3. Sprain
a. Definisi
Sprain adalah cedera struktur ligamen di sekitar sendi, akibat gerakan
menjepit atau memutar. (Brunner & Suddarth. 2001. KMB. Edisi 8. Vol3.hal
2355. Jakarta:EGC)
Sprain adalah trauma pada ligamentum, struktur fibrosa yang memberikan
stabilitas sendi, akibat tenaga yang diberikan ke sendi dalam bidang
abnormal atau tenaga berlebihan dalam bidang gerakan
sendi.(Sabiston.1994.Buku Ajar Bedah. Bagian 2. Hal 370. Jakarta:EGC)
Sprain merupakan keadaan ruptura total atau parsial pada ligamen
penyangga yang mengelilingi sebuah sendi. (Kowalak, Jenifer P. 2011.
Patofisiologi. Hal 438. Jakarta:EGC)
Dari ketiga pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sprain adalah cedera
struktural ligamen akibat tenaga yang di berikan ke sendi abnormal, yang
juga merupakan keadaan ruptura total atau parsial pada ligamen.
b. Klasifikasi
Menurut ( Marilynn. J & Lee. J. 2011. Seri Panduan Praktis Keperawatan
Klinis. Hal 124. Jakarta : Erlangga) sprain dibagi menjadi :
1) Sprain derajat I (kerusakan minimal)
Nyeri tanpa pembengkakan, tidak ada memar, kisaran pembengkakan
aktif dan pasif, menimbulkan nyeri, prognosis baik tanpa adanya
kemungkinan instabilitas atau gangguan fungsi.
2) Sprain derajat II (kerusakan sedang)
Pembengkakan sedang dan memar, sangat nyeri, dengan nyeri tekan
yang lebih menyebar dibandingkan derajat I. Kisaran pergerakan sangat
nyeri dan tertahan, sendi mungkin tidak stabil, dan mungkin menimbulkan
gangguan fungsi.
3) Sprain derajat III (kerusakan kompit pada ligamen)
Pembengkakan hebat dan memar, instabilitas stuktural dengan
peningkatan kirasan gerak yang abnormal (akibat putusnya ligamen),
nyeri pada kisaran pergerakan pasif mungkin kurang dibandingkan
derajat yang lebihh rendah (serabut saraf sudah benar-benar rusak).
Hilangnya fungsi yang signifikan yang mungkin membutuhkan
pembedahan untuk mengembalikan fungsinya.
c. Etiologi
Menurut (Kowalak, Jenifer P. 2011. Patofisiologi. Hal 438. Jakarta:EGC)
penyebab sprain adalah tekanan ekternal berlebih : pemuntiran mendadak
dengan tenaga yang lebih kuat daripada kekuatan ligamen dengan
menimbulkan gerakan sendi di luar kisaran gerak (RPS) normal seperti
terglincir saat berlari atau melompat sehingga terjadi sprain
d. Patofisiologi
Adanya tekanan eksternal yang berlebih menyebabkan suatu masalah yang
disebut dengan sprain yang terutama terjadi pada ligamen. Ligamen akan
mengalami kerusakan serabut dari rusaknya serabut yang ringan maupun total
ligamen akan mengalami robek dan ligamen yang robek akan kehilangan
kemampuan stabilitasnya. Hal tersebut akan membuat pembuluh darah akan
terputus dan terjadilah edema ; sendi mengalami nyeri dan gerakan sendi
terasa sangat nyeri. Derajat disabilitas dan nyeri terus meningkat selama 2
sampai 3 jam setelah cedera akibat membengkaan dan pendarahan yang
terjadi maka menimbulkan masalah yang disebut dengan sprain.
e. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala mungkin timbul karena sprain meliputi :
1) Nyeri lokal (khususnya pada saat menggerakkan sendi)
2) Pembengkakan dan rasa hangat akibat inflamasi
3) Gangguan mobilitas akibat rasa nyeri (yang baru terjadi beberapa jam
setelah cedera)
4) Perubahan warna kulit akibat ekstravasasi darah ke dalam jaringan
sekitarnya.
f. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada kondisi ini meliputi:
1) Dislokasi berulang akibat ligamen yang ruptur tersebut tidak sembuh
dengan sempurna sehingga diperlukan pembedahan untuk
memperbaikinya (kadang-kadang).
2) Gangguan fungsi ligamen (jika terjadi tarikan otot yang kuat sebelum
sembuh dan tarikan tersebut menyebabkan regangan pada ligamen yang
ruptur, maka ligamen ini dapat sembuh dengan bentuk memanjang, yang
disertai pembentukan jaringan parut secara berlebihan)

B. DISLOKASI
1. Definisi
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.
Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau
terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (Wahid,
2013, hal. 74).
Dislokasi merupakan suatu kondisi terjadinya kehilangan hubungan yang
normal antara kedua permukaan sendi secara komplet atau lengkap
(Muttaqin, 2008, hal. 69).
2. Etiologi
Dislokasi disebabkan oleh :

a. Cedera olah raga


Olah raga yang biasa menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki,
serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain
ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering
mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja
menangkap bola dari pemain lain.
b. Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga
Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya
menyebabkan dislokasi
c. Terjatuh
1) Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin
2) Tidak diketahui
3) Faktor predisposisi (pengaturan posisi)
4) Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir
5) Trauma akibat kecelakaan
6) Trauma akibat pembedahan ortopedi
d. Terjadi infeksi disekitar sendi (Wahid, 2013, hal. 76)
3. Klasifikasi
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Dislokasi kongenital
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan
b. Dislokasi patologik
Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. Misalnya tumor,
infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang
yang berkurang
c. Dislokasi traumatic
Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan
mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia), akibat oedema
(karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat
sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekelilingnya dan
mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, saraf, dan sistem vaskuler.
Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi :
a. Dislokasi Akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan
pembengkakan di sekitar sendi.
b. Dislokasi Berulang
Jika suatu trauma dislokasi pada sendi di ikuti oleh frekuensi dislokasi
yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi
berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint.
Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang/fraktur yang
disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena
kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan (Wahid, 2013, hal.
75).
4. Manifestasi Klinis
Nyeri terasa hebat, pasien menyokong lengan itu dengan tangan
sebelahnya dan segan menerima pemeriksaan apa saja, garis gambar lateral
bahu dapat rata dan kalau pasien tak terlalu berotot suatu tonjolan dapat
diraba tepat di bawah klavikula.
a. Nyeri
b. Perubahan kontur sendi
c. Perubahan panjang ekstremitas
d. Kehilangan mobilitas normal
e. Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi
f. Deformitas
g. Kekakuan (Wahid, 2013, hal. 77)
5. Penatalaksanaan
a. Dislokasi reduksi : dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan
anastesi jika dislokasi berat.
b. Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan ke
rongga sendi
c. Sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan
dijaga agar tetap dalam posisi stabil.
d. Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi halus
3-4 x sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi.
e. Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa
penyembuhan.
(Wahid, 2013, hal. 77)
6. Komplikasi
a. Komplikasi dini :
1) Cedera saraf : Saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat
mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang
mati rasa pada otot tersebut.
2) Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak
3) Fraktur dislokasi
b. Komplikasi lanjut :
1) Kekakuan sendi bahu : Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan
kekakuan sendi bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun.
Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi
abduksi.
2) Dislokasi yang berulang : Terjadi kalau labrum glenoid robek atau
kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid.
3) Kelemahan otot (Wahid, 2013, hal. 78).

C. FRAKTUR
1. Definisi fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang baik karena trauma, tekanan
maupun kelainan patologis. Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 2005). Sedangkan menurut
Smeltzer (2005) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang
ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres
yang lebih besar dari yang diabsorpsinya.

2. Penyebab fraktur
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
punter mendadak dan kontraksi otot yang ekstrim. Patah tulang
mempengaruhi jaringan sekitarnya mengakibatkan oedema jaringan lunak,
perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan
saraf dan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat
gaya yang disebabkan oleh fraktur atau gerakan fragmen tulang (Brunner &
Suddarth, 2005)
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur adalah :
a. Faktor ekstrinsik yaitu meliputi kecepatan dan durasi trauma yang
mengenai tulang, arah serta kekuatan tulang.
b. Faktor intrinsik yaitu meliputi kapasitas tulang mengabsorpsi energi
trauma, kelenturan, densitas serta kekuatan tulang.
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti
kecelakan mobil, olah raga atau karena jatuh. Jenis dan beratnya patah
tulang dipengaruhi oleh arah, kecepatan, kekuatan dari tenaga yang
melawan tulang, usia penderita dan kelenturan tulang. Tulang yang rapuh
karena osteoporosis dapat mengalami patah tulang.

3. Jenis Fraktur
Menurut Smeltzer (2005), jenis fraktur dapat dibagi menjadi :
a. Fraktur komplit
Patah pada seluruh garis tulang dan biasanya mengalami pergeseran
dari posisi normal.
b. Fraktur tidak komplit
Patah tulang yang terjadi pada sebagian garis tengah tulang.
c. Fraktur tertutup
Patah tulang yang tidak menyebabkan robekan pada kulit. Patah tulang
tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar.
d. Fraktur terbuka/fraktur komplikata
Patah tulang dengan luka pada pada kulit dan atau membran mukosa
sampai patahan tulang.
Fraktur terbuka di gradasi menjadi:
1) Grade I : fraktur terbuka dengan luka bersih kurang dari 1 cm
2) Grade II : fraktur dengan luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan
extensive sekitarnya.
3) Grade III : fraktur dengan kondisi luka mengalami kerusakan jaringan
lunak ekstensif dan sangat terkontaminasi.
Menurut Feldman (1999), fraktur terbuka grade III dibagi lagi menjadi:
a) Grade IIIA: terjadi kerusakan soft tissue pada bagian tulang yang
terbuka
b) Grade IIIB: trauma yang menyebabkan kerusakan periosteum
ekstensif dan membutuhkan teknik bedah plastik untuk menutupnya
c) Grade IIIC: fraktur terbuka termasuk rusaknya pembuluh darah besar
e. Jenis fraktur khusus
Menurut Smeltzer (2005), jenis fraktur yang khusus lain seperti:
1) Greenstick: salah satu sisi tulang patah dan sisi lainnya membengkok.
2) Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang
3) Oblik: garis patahan membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
4) Spiral: fraktur yang memuntir seputar batang tulang
5) Kominutif: tulang pecah menjadi beberapa bagian
6) Kompresif: tulang mengalami kompresi/penekanan pada bagian tulang
lainnya seperti (pada tulang belakang)
7) Depresif: fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (pada
tulang tengkorak)
8) Patologik: fraktur pada tulang yang berpenyakit seperti penyakit Paget,
Osteosarcoma.
9) Epifiseal: fraktur pada bagian epifiseal
f. Tipe fraktur ekstremitas atas
1) Fraktur collum humerus
2) Fraktur humerus
3) Fraktur suprakondiler humerus
4) Fraktur radius dan ulna (fraktur antebrachi)
5) Fraktur colles
6) Fraktur metacarpal
7) Fraktur phalang proksimal, medial, dan distal
g. Tipe fraktur ekstremitas bawah
1) Fraktur collum femur
2) Fraktur femur
3) Fraktur supra kondiler femur
4) Fraktur patella
5) Fraktur plateu tibia
6) Fraktur cruris
7) Fraktur ankle
8) Fraktur metatarsal
9) Fraktur phalang proksimal, medial dan distal

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal dan perubahan
warna (Smeltzer,2005).
a. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang
diimobilisasi.
b. Pergeseran fragmen tulang menyebabkan deformitas tulang yang bisa
diketahui dengan membandingkan dengan bagian yang normal.
c. Pemendekan tulang yang disebabkan karena kontraksi otot yang melekat
diatas maupun dibawah tempat fraktur.
d. Pada pemeriksaan palpasi ditemukan adanya krepitasi akibat gesekan
antara fragmen satu dengan yang lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar
X. Setelah mengalami cedera, pasien akan mengalami kebingungan dan
tidak menyadari adanya fraktur, serta berusaha berjalan dengan tungkai
yang patah (Brunner & Suddarth, 2005). Nyeri berhubungan dengan fraktur
sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan antar
fragmen tulang dan sendi disekitar fraktur.

5. Penatalaksanaan Kedaruratan
Menurut Brunner & Suddarth (2005) selama pengkajian primer dan
resusitasi, sangat penting untuk mengontrol perdarahan yang diakibatkan
oleh trauma muskuloskeletal. Perdarahan dari patah tulang panjang dapat
menjadi penyebab terjadinya syok hipovolemik. Pasien dievaluasi dengan
seksama dan lengkap. Ekstremitas sebisa mungkin jangan digerakkan untuk
mencegah kerusakan soft tissue pada area yang cedera.

6. Prinsip Penanganan Fraktur


Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian
fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi.
a. Reduksi fraktur
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran
dan rotasi anatomis. Reduksi bisa dilakukan secara tertutup, terbuka dan
traksi tergantung pada sifat fraktur namun prinsip yang mendasarinya
tetap sama.
1) Reduksi tertutup
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang
kembali keposisinya dengan manipulasi dan traksi manual
2) Reduksi terbuka
Reduksi terbuka dilakukan pada fraktur yang memerlukan pendekatan
bedah dengan menggunakan alat fiksasi interna dalam bentuk pin,
kawat, plat sekrew digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang
dalam posisinya sampai penyembuhan solid terjadi.
3) Traksi
Traksi digunakan untuk reduksi dan imobilisasi. Menurut Brunner &
Suddarth (2005), traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian
tubuh untuk meminimalisasi spasme otot, mereduksi, mensejajarkan,
serta mengurangi deformitas. Jenis – jenis traksi meliputi:
a) Traksi kulit : Buck traction, Russel traction, Dunlop traction
b) Traksi skelet: traksi skelet dipasang langsung pada tulang dengan
menggunakan pin metal atau kawat. Beban yang digunakan pada
traksi skeletal 7 kilogram sampai 12 kilogram untuk mencapai efek
traksi.
b. Imobilisasi fraktur
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau
eksterna. Fiksasi eksterna dapat menggunakan pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu pin dan teknik gips. Fiksator interna dengan implant logam.
c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Latihan otot dilakukan untuk meminimalkan atrofi dan meningkatkan
peredaran darah. Partisipasi dalam aktifitas sehari-hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.

7. Perawatan Pasien Dengan Fraktur Tertutup


Pasien dengan fraktur tertutup harus diusahakan untuk kembali kepada
aktifitas biasa sesegera mungkin. Penyembuhan fraktur dan pengembalian
kekuatan penuh dan mobilitas memerlukan waktu berbulan-bulan. Pasien
diajari mengontrol pembengkakan dan nyeri, mereka didorong untuk aktif
dalam batas imoblisasi fraktur, pengajaran pasien meliputi perawatan diri,
informasi obat-obatan, pemantauan kemungkinan potensial masalah, dan
perlunya supervisi perawatan kesehatan.

8. Perawatan Pasien Dengan Fraktur Terbuka


Pada fraktur terbuka (yang berhubungan luka terbuka memanjang sampai
ke permukaan kulit dan ke daerah cedera tulang) terdapat resiko infeksi-
osteomielitis, gas gangren, dan tetanus. Tujuan penanganan adalah untuk
meminimalkan kemungkinan infeksi luka, jaringan lunak da tulang untuk
mempercepat penyembuhan jaringan lunak dan tulang. Pasien dibawa ke
ruang operasi, dilakukan usapan luka, pengangkatan fragmen tulang mati
atau mungkin graft tulang
9. Komplikasi Faktur
Komplikasi fraktur menurut Brunner & Suddarth (2005) dibagi menjadi 2
yaitu:
a. Komplikasi awal
1) Syok
Syok hipovolemik akibat dari perdarahan karena tulang merupakan
organ yang sangat vaskuler maka dapat terjadi perdarahan yang
sangat besar sebagai akibat dari trauma khususnya pada fraktur
femur dan fraktur pelvis.
2) Emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam darah
karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler dan
katekolamin yang dilepaskan memobilisasi asam lemak kedalam
aliran darah. Globula lemak ini bergabung dengan trombosit
membentuk emboli yang dapat menyumbat pembuluh darah kecil
yang memasok darah ke otak, paru paru, ginjal dan organ lainnya.
3) Compartment Syndrome
Compartment syndrome merupakan masalah yang terjadi saat perfusi
jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan
oleh karena penurunan ukuran fasia yang membungkus otot terlalu
ketat, balutan yang terlalu ketat dan peningkatan isi kompartemen
karena perdarahan atau edema.
4) Komplikasi awal lainnya seperti infeksi, tromboemboli dan koagulopati
intravaskular.
b. Komplikasi lambat
1) Delayed union, malunion, nonunion
Penyatuan terlambat (delayed union) terjadi bila penyembuhan tidak
terjadi dengan kecepatan normal berhubungan dengan infeksi dan
distraksi (tarikan) dari fragmen tulang. Tarikan fragmen tulang juga
dapat menyebabkan kesalahan bentuk dari penyatuan tulang
(malunion). Tidak adanya penyatuan (nonunion) terjadi karena
kegagalan penyatuan ujung ujung dari patahan tulang.
2) Nekrosis avaskular tulang
Nekrosis avaskular terjadi bila tulang kekurangan asupan darah dan
mati. Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti
dengan tulang yang baru. Sinar-X menunjukkan kehilangan kalsium
dan kolaps struktural.
3) Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Alat fiksasi interna diangkat setelah terjadi penyatuan tulang namun
pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai
menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator
terjadinya masalah. Masalah tersebut meliputi kegagalan mekanis dari
pemasangan dan stabilisasi yang tidak memadai, kegagalan material,
berkaratnya alat, respon alergi terhadap logam yang digunakan dan
remodeling osteoporotic disekitar alat.
DAFTAR PUSTAKA

Dock, E. (2012, Agustus 7). Dislocations. Retrieved Maret 12, 2015, from
http://www.healthline.com/health/dislocation#Overview1

Gordon, .. (1996). Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC.

Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal.


Jakarta: EGC.

pujo.S, t. a. (n.d.). trauma tendon. www.acedemia.edu/4456938/trauma-tendon .

Rasjad, C. (2007). Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yasrif Watampone.

ruptur-tendon-achiles.pdf. (2014, jun,10). https://www.scribd.com/doc.../144456345-


ruptur-tendon-achiles-pdf .

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Jakarta: EGC.

Suratun, Heryati, Manurung, S., & Raenah, E. (2008). Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.

Wahid, A. (2013). Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal.


Jakarta: Sagung Seto.

Wilkinson, J. M., & Ahern, N. R. (2011). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Nanda Nic
Noc. Jakarta: EGC.

Вам также может понравиться