Вы находитесь на странице: 1из 4

Nama : Rizqi Gilang Pratama

NIM : 155110800111001
Program Studi / Fakultas : Antropologi / Fakultas Ilmu Budaya

Masyarakat Boti Adat: Sang Penjaga Tradisi yang Takluk Oleh Pariwisata

Suku Boti merupakan salah satu suku di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS),
Provinsi Nusa Tenggara Timur yang masih memegang teguh tradisi nenek moyangnya. Suku
Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu. Secara administratif kini
menjadi desa Boti kecamatan Kie. Karena letaknya yang sulit dicapai di tengah pegunungan,
desa Boti seakan tertutup dari peradaban modern dan perkembangan zaman. Kehidupan sehari-
hari suku boti masih sangat tradisional dan jauh dari peradaban kehidupan sekarang yang serba
modern.

Masyarakat Boti terbagi menjadi dua komunitas masyarakat, yang mana ada masyarakat
Boti luar (masyarakat Boti yang menerima kemajuan peradaban) dan masyarakat Boti adat
(masyarakat Boti yang masih memegang teguh adat istiadat suku Boti). Melalui pembagian atas
Boti tersebut membuat kepemimpinan di desa Boti terbagi menjadi dua, pemimpin secara
administrasi dan pemimpin secara kultural. Kepala desa menjadi pemimpin administrasi di desa
yang berkaitan dengan urusan pemerintahan. Sedangkan Bapa Raja, bisa dibilang kepala suku,
memimpin secara kultural masyarakat Boti. Namun kenyataannya secara keseluruhan seluruh
masyarakat Boti lebih tunduk terhadap Bapa Raja dibanding Kepala desa.

Bapa Raja Boti, Usif Nama Benu, menggantikan ayahnya, Usif Nune Benu yang wafat
pada bulan Maret 2005. Usif adalah sebutan atau gelar yang diberikan Suku Boti terhadap raja
mereka yang juga merupakan pemimpin kultural warga Boti. Sejak meninggalnya Usif Nune
Benu, orang Boti menjalani masa berkabung, karena itu selama tiga tahun lamanya orang Boti
tidak mengadakan pesta-pesta adat. Menurut sang Raja baru, Usif Nama Benu, biasanya mereka
mengadakan kegiatan pesta adat seusai panen namun selama masa berkabung ini ditiadakan
untuk menghormati sang ayah Usif Nune Benu. Masyarakat Suku Boti berkabung selama 3 tahun
setelah wafatnya Raja Boti Usif Nune Benu pada bulan Maret 2005. Suku Boti dikenal sangat
memegang teguh keyakinan dan kepercayaan mereka yang disebut Halaika. Silansir dari
delegasi.com masyarakat Boti adat percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis Neno.
Uis Pah sebagai mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam
semesta beserta isinya termasuk manusia. Sedangkan Uis Neno sebagai papa atau bapak yang
merupakan penguasa alam baka yang akan menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka
berdasarkan perbuatannya di dunia.

Menurut falsafah hidup orang Boti, manusia akan selamat dan sejahtera bila merawat dan
melestarikan lingkungan hidup. Dalam kehidupan keseharian mereka segala sesuatu mereka
dapatkan dari alam seperti halnya keperluan sandang yang dibuat dari benang kapas dan pewarna
yang mereka dapatkan dari tumbuhan di lingkungan sekitar mereka. Dalam kehidupan sehari-
hari ada pembagian tugas yang jelas antara kaum lelaki dan perempuan. Para lelaki bertugas
mengurusi permasalahan di luar rumah, seperti berkebun, dan berburu. Sementara urusan rumah
tangga, diserahkan kepada kaum perempuan. Meskipun pembagian peran ini biasa dijumpai
dalam sistem kekerabatan, ada satu hal yang membuat warga Boti agak berbeda, mereka
menganut monogami atau hanya beristri satu. Seorang lelaki Boti yang sudah menikah, dilarang
memotong rambutnya. Sehingga bila rambut mereka semakin panjang, mereka akan
menggelungnya seperti konde. Bila kepercayaan dan aturan adat Boti dilanggar, maka akan
dikenakan sanksi, tidak akan diakui sebagai penganut kepercayaan Halaika, berarti harus keluar
dari komunitas suku Boti, sebagaimana yang terjadi pada putra sulung Laka Benu, kakak dari
Raja Usif Nama Benu. Laka Benu yang seharusnya menjadi putra mahkota, memeluk agama
Kristen sehingga ia harus meninggalkan komunitas Boti Adat (Jayanti, 2015).

Menurut Molo Benu, yang juga merupakan adik dari Usif Nama Benu, untuk dapat terus
menjaga dan menjalankan adat dan kepercayaan mereka, anak-anak dalam satu keluarga dibagi
dua, separuh dari anak-anak mereka diperbolehkan bersekolah sementara yang lainnya tidak
diperkenankan bersekolah dengan tujuan agar dapat teguh memegang adat tradisi mereka. Aturan
pendidikan bagi anak-anak Boti bertujuan agar tercipta keseimbangan antara kehidupan masa
sekarang dengan kehidupan berdasarkan adat dan tradisi yang sudah diwariskan oleh leluhur
mereka. Banyak kaum tua Boti yang tidak lancar bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia
termasuk sang raja. Sehari-hari mereka menggunakan bahasa daerah Dawan. Namun demikian
bahasa bukan halangan bagi warga Boti untuk menyambut tamu-tamu mereka yang datang ke
desa mereka. Keramahan dan senyum hangat mereka rasanya sudah lebih dari cukup sebagai
media komunikasi, simbol keterbukaan mereka terhadap para pengunjung yang ingin merasakan
kedamaian dan kesahajaan di Desa Boti.

Tradisi dan kehidupan suku Boti inilah yang membuat daya tarik wisata yang bernilai
luar biasa dimana sering di kunjungi baik dari wisatawan lokal dan wisatawan luar negeri
maupun dari media cetak atau media elektronik yang ingin meliput kehidupan dan tradisi budaya
yang masih tradisional yang turun temurun dari nenek moyangnya dan kepercayaan asli orang
Timor yaitu animisme. Tempat suku Boti berjarak ± 40 km dari kota Soe dan dapat ditempuh ±
50 s/d 60 menit dengan menggunakan rental mobil, angkutan pedesaan maupun motor ojek.

Banyak hal yang berubah sejak masyarakat Boti adat dibuka untuk pariwisata. Menurut
analisis penulis berdasarkan pengalaman yang ada dan membandingkan dengan cerita dari
masyarakat Boti adat dahulu aturan adat sangat ketat terkait hubungan masyarakat Boti dengan
masyarakat di luar Boti. Masyarakat Boti khususnya masyarakat Boti adat sangat tertutup akan
kemajuan peradaban dan hal ini menjadi berbeda ketika pariwisata masuk. Banyak wisatawan
yang datang juga merupakan agen-agen pembangunan untuk meretas pendidikan masyarakat
pedalaman, penyuluh kesehatan dan pemerhati budaya. Namun masing-masing dari mereka
membawa bekal yang secara tidak sadar dilakukan oleh masyarakat Boti ada yang tertutup. Salah
satunya adalah masalah pendidikan sama seperti halnya kakak dari Usif Nama Benu yang
menganut kristen dan dikeluarkan dari Boti adat. Harusnya pendidikan menjadi hal yang
dilarang, namun sejak perkembangan pariwisata di desa Boti khususnya Boti adat pendidikan
menjadi kewajiban lain. Meski tetap ada konsekuensi yang dianut yaitu dalam komunitas Boti
adat yang hanya terdiri dari 77 kepala keluarga dan masing-masing kepala keluarga membagi
anaknya untuk ada yang keluar agar mengenyam pendidikan. Sehingga anak-anak yang
melanjutkan pendidikan harus ikut keluarganya yang berada di luar komunitas Boti adat, namun
masih di kawasan desa Boti.

Perubahan sosial ini menurut penulis akan mengancam masyarakat Boti itu sendiri
seiring dengan berjalannya waktu. Hal tersebut akan membuat kecemburuan dari anak-anak Boti
adat yang sekolah dan tidak sehingga ini bisa menjadi bom waktu untuk kemudian hari. Melalui
pendidikan juga masyarakat Boti adat yang sebelumnya hanya menggunakan bahasa dawan
dalam berkomunikasi. Banyaknya juga kunjungan dari masyarakat lokal yang tidak membawa
guide ke Boti membuat sebagian dari mereka ada yang bisa berbahasa Indonesia untuk
menyambut wisatawan tersebut.

Perubahan lain adalah adanya homestay yang disediakan bagi wisatawan yang ingin
berkunjung lebih dari satu hari. Uniknya homestay distandarisasi lebih tinggi dari tempat tinggal
mereka, terdapat lampu yang dicharge setiap seminggu sekali dan selalu tersedia air bersih di
kamar mandi. Hal ini sangat berbanding dengan mereka, terutama dalam pengadaan lampu dan
air bersih. Hal ini membuat mereka harus berkunjung ke pasar minggu setiap minggunya, yang
diadakan setiap hari Jumat untuk mengisi baterai lampu melalui pengisian dengan charger
tenaga diesel. Selain itu air bersih yang melimpah untuk wisatawan membuat perempuan Boti
adat harus berusaha ekstra untuk mencari air dan kebutuhan air mereka akan menjadi lebih
banyak karena adanya wisatawan.

Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Boti menurut penulis terjadi untuk
menyeseuaikan diri dengan standar dan kebutuhan wisatawan. Perbedaan fasilitas antara
wisatawan dan warga lokal Boti adat menjadi hal lucu yang sangat kontas dapat disaksikan di
malam hari berdasarkan pengalaman penulis ketika bermalam di Boti adat. Masyarakat Boti adat
tidak sadar bahwa apa yang telah mereka jaga selama ini, adat istiadat, mulai terusik dengan
apriwisata. Mereka memang tegas menolak bantuan apapun dari pemerintah, namun mereka
terlena dengan pariwisata yang terkadang wisatawan pun merupakan agen-agen pemerintah
dalam melancarkan usahanya. Masyarakat Boti adat yang dahulu bertransaksi dengan barter
terhadap masyarakat lain di sekitar mereka kini harus menggunakan uang yang didapat dari
wisatawan dan menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan wisatawan juga. Lalu mereka dapat
apa dari pariwisata? Hanya dapat nama masyarakat Boti yang lebih dikenal luas dan adat istiadat
yang setiap harinya seperti kijang ditodong senapan, adat istiadat yang terancam keberadaannya
dengan pariwisata.

Refrensi

Delegasi Online. 2017. Mengenal Suku Boti di TTS- Nusa Tenggara Timur. www.delegasi.com
Diakses pada 10 desmber 2018 pukul 20.13 WIB.

Jayanti, I Gusti Ngurah. 2015. Budaya Boti dan Eksistensinya di Era Kekinian. Jurnal Penelitian
Sejarah dan Nilai Tradisional Volume 22 (145 – 160).

Вам также может понравиться