Вы находитесь на странице: 1из 40

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

PORTOFOLIO

VARISELA

OLEH :

dr. Rosna Sahertian

Pembimbing:

dr. Nur Lily Achmadi

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RSUD ABEPURA, JAYAPURA

2018

1
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

SINDROMA NEFROTIK

A. Pendahuluan
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang
ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh
per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria,
hiperkoagulabilitas. Jika hanya terdapat proteinuria tanpa kehadiran manifestasi
klinis disebut nephrotic-range proteinuria. (1, 2)
Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik)
yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak
diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu, di antaranya
penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat,
reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi
ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas masif. (2, 3)
Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi
penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi
neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T
dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang
diperantarai sel T. (3)
Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua
gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN,
tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi
protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap
berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan
lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan
metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN.(4-6)

2
Umumnya pada SN, fungsi ginjal normal kecuali pada sebagian kasus
yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Pada beberapa episode SN
dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid,
tetapi sebagian lagi dapat berkembang menjadi kronik. Jika tidak terdiagnosa atau
tidak diterapi, sindrom ini dapat berakibat kerusakan pada glomeruli hingga
menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus hingga berakhir gagal ginjal.(1, 4)
Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik).
Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa
3/1000.000/tahun. Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati
lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat
diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang
dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50
tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. (2, 3)

B. Insidens
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%)
dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki ; perempuan= 2:1 sedangkan pada
masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1. (4)
Penelitian di Selandia Baru menemukan insidens sindrom nefrotik hampir
20 per 1 juta kasus pada anak-anak berusia dibawah 15 tahun. Pada populasi
tertentu, seperti di Finlandia atau Mennonite, sindrom nefrotik kongenital dapat
terjadi pada 1/10.000 atau 1/500 kelahiran. Berdasarkan ISKDC 84.5% dari
semua anak dengan sindrom nefrotik primer mempunyai gambaran histologik
sindrom nefrotik kelainan minimal, 9.5% glomerulosklerosis fokal, 2.5%
mesangial, 3.5% nefropati membranosa atau penyebab lainnya. (4)

C. Etiologi
Sindrom nefrotik disebabkan oleh banyak varian penyakit, seperti
kerusakan ginjal, terutama pada MBG (Membran Basal Glomerulus). Secara
langsung, dapat menyebabkan ekskresi protein abnormal dalam urin. Penyebab

3
paling sering pada anak-anak adalah minimal lesi, dan glomerulonefritis
membrane pada orang dewasa. (7)
Sebab yang pasti dari SN belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap
sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen antibody.
(8)
Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi :

1. Sindrom nefrotik bawaan


Diturunkan secara resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.
Resisten terhadap semua pengobatan, gejalanya adalah edema pada masa
neonatus. Prognosisnya buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-
bulan pertama kehidupannya.
2. Sindroma nefrotik sekunder
Dapat disebabkan oleh :
a. Malaria kuartana atau parasit lain
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematous diseminata, purpura anafilaktoid
c. Glumerulonefritis akut atau glumerulonefritis kronis dan thrombosis vena
renalis
d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan
lebah, air raksa
e. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrano-
proliferatif hipokomplementemik
3. Sindroma nefrotik idiopatik
Berdasarkan kelainan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal
dengan mikroskop biasa dan mikroskop electron. Churg membagi dalam 4
golongan yaitu : (8)
a. Kelainan minimal
b. Nefropati membranosa
c. Glumerulonefritis proliferatif
d. Glumerulosklerosis fokal segmental

Klasifikasi lain yaitu : (1)


1. Glomerulonefritis pimer
a. Glomerulonefritis lesi minimal (GNLM)
b. Glomerulosklerosis fokal (GSF)
c. Glomerulonefritis membranosa (GNMN)
d. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
e. Glomerulonefritis proliferatif lain
2. Glomerulonferitis sekunder akibat infeksi :

4
a. HIV e. Skistosomiasis
b. Hepatitis virus B dan C f. Tuberkulosis
c. Sifilis g. Lepra
d. Malaria

3. Keganasan
a. Adenokarsinoma paru
b. Limfoma Hodgkin
c. Mieloma multipel
d. Karsinoma ginjal
4. Penyakit jaringan penghubung
a. Lupus eritematosus sistemik
b. Artritits reumatoid
5. Efek obat dan toksin
a. NSAID
b. Preparat emas
c. Penisilinamin
d. Probenesid
e. Air raksa
f. Kaptopril
g. Heroin

5
6. Lain-lain
1) Diabetes melitus
2) Amiloidosis
3) Pre-eklamsia
4) Refluks vesikoureter
5) Sengatan lebah

GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam


kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis fokal (GSF), GN
membranosa(GNMN), GN membranoproliperatif (GNMP) merupakan kelainan
histopatologik yang sering ditemukan. Penyebab sekunder akibat infeksi yang paling sering
ditemukan misalnya pada GN pascainfeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat
obat misalnya obat NSAID atau preperat emas, dan akibat penyakit sistemik, misalnya pada
SLE dan diabetes melitus. (3)

D. PATOFISIOLOGI
Kelainan patogenetik yang mendasari SN adalah proteinuria, akibat dari kenaikan
permeabilitas dinding kapiler glomerulus, namun penyebab terjadinya proteinuria belum
diketahui benar. Dalam keadaan normal, membran basal glomerulus mempunyai mekanisme
penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan
ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier).
Pada sindrom nefrotik, kedua mekanisme penghalang tersebut terganggu. Hilangnya muatan
negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik
keluar menembus sawar kapiler glomerulus.(1, 3, 8)
Proteinuria sendiri dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran
molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar
terdiri dari molekul-molekul kecil seperti albumin, sedangkan pada proteinuria non-selektif
yang lolos keluar merupakan protein dengan molekul besar seperti imunoglobulin.
Selektivitas proteinuria sendiri ditentukan oleh keutuhan struktur membran basal glomerulus.
(1)

Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan membrana basalis glomerulus,


maka proteinuria dapat dijadikan sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat
kerusakan glomerulus. Jadi yang diukur adalah index selectivity of proteinuria (ISP). ISP
dapat ditentukan dengan mengukur rasio antara clearance IgG dan clearance trasnferin. (4)
ISP = Bila ISP <0,2 berarti ISP meninggi (Highly Selective Proteinuria) yang secara
klinik menunjukkan : (4)
1. Kerusakan glomerulus ringan
2. Respon terhadap kortikosteroid baik
Bila ISP >0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selectivity Proteinuria) yang secara klinik
menunjukkan : (4)
1. Kerusakan glomerulus berat
2. Tidak respon terhadap kortikosteroid

Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik terjadi melalui kehilangan yang banyak


melalui urin dan peningkatan katabolisme dari albumin yang difiltrasi, di tubulus proksimal.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasama, yang memungkinkan
transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial. Penurunan volume
intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal, mengaktifkan sistem renin angiotensin
aldosteron, yang merangsang absorbsi natrium di tubulus distal. Rasio sintesis albumin di hati
meningkat untuk mengatasi hal ini namun tidak mencapai level yang cukup untuk mencegah
hipoalbuminemia. Pada status SN, protein yang hilang biasanya melebihi 2 gram per 24 jam
dan terutama terdiri dari albumin. Umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun
dibawah 2,5 gr/dl. (1, 8)
Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus sehingga intake
berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan hipoproteine-mia. Diet tinggi protein
dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi
albumin melalui urin. (4)

Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill
menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser
dari intravaskular ke jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan
onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadilah hipovolemia, dan ginjal melakukan
kompensasi dengan merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas system renin-
angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti diuretik
hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang,
pekat dan kadar natrium rendah. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume
intravaskular tetapi retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan
dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirny amempercepat
ekstravasasi cairan ke ruang interstitial sehingga edema akan semakin berlanjut. (3, 4, 6)
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Penurunan kemampuan nefron distal untuk mengeksresi natrium sehingga terjadi retensi
natrium. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstrseluler meningkat sehingga
terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah
retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada
pasien SN.(6)

Hiperlipidemia
Disebut hiperkolesterolemia bila kadar kolesterol > 250 mg/100ml. akhir-akhir ini
disebut juga sebagai hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja yang meningkat tetapi
juga beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu adalah
kolesterol, low density lipoprotein (LDL), very low density lipoprotein (VLDL), dan
trigliserida. (4)
Hiperlipidemia terjadi sebagai akibat kelainan pada homeostasis lipoprotein yang
terjadi sebagai akibat peningkatan sintesis dan penurunan katabolisme. Akibat
hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-banyaknya.
Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL. (4)
Dalam keadaan normal, VLDL diubah menjadi LDL oleh lipoprotein lipase. Tetapi
pada SN akitifitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar
asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula
oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin.
(4)

Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan
pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status nefrosis,
hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. (3)

Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan plasminogen
activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen,
peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor
zimogen (faktor IX, XI). (2)

Lipiduri
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini berasal
dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeabel. (2)

Kerentanan terhadap infeksi


Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal, penurunan
sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi
bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia,
Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T.
Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis. (2)

E. Gambaran Klinis
Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, edema umumnya terlihat pada kedua
kelopak mata, yang nampak terutama waktu bangun tidur. Edema dapat menetap atau
bertambah, baik lambat ataupun cepat atau dapat hilang dan timbul kembali. Selama periode
ini edema preorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi, lambat laun edema
menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang
sebenarnya menjadi tambah nyata. Pada keadaan lebih lanjut lagi dapat timbul ascites,
pembengkakan skrotum atau labia dan bahkan efusi pleura. (4, 8)
Gangguan gastrointestinal sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN, diare
sering dialami pasien dalam keadaan edema yang massif dan keadaan ini rupanya tidak
berkaitan dengan infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus.
Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin
yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien nyeri di perut yang
kadang-kadang berat dapat terjadi, kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus
disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila komplikasi ini tidak
ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan karena edema
dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada kuadran kanan
atas abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat dengan beratnya edema. Pada keadaan
ascites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan prolap ani. (8)
Gangguan pernafasan oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi
pleura maka pernafasan sering tergangguu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. (8)
Tanda lain dari SN adalah hilangnya massa otot rangka, hipertensi, kuku
memperlihatkan pita-pita putih melintang (Muerchke’s Band) akibat hipoalbuminemia. (4)
Gangguan fungsi psikososial dapat ditemukan pada pasien SN, yang merupakan stres
non spesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan
merasa bersalah merupakan respon emosional tidak saja pada orangtua pasien, namun juga
dialami oleh anak sendiri. Perasaan-perasaan ini memerlukan diskusi penjelasan untuk
mengatasinya. Para dokter yang sadar dapat berusaha mendorong meningkatkan
perkembangan dan penyesuaian pasien dan keluarganya serta berusaha menolong mencegah
dan mengurangi komplikasi. (8)

F. Diagnosis
1) Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditanyakan tanda-tanda retensi cairan seperti bengkak di kedua
kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh, peningkatan berat badan, dan rasa penuh di
perut hingga dapat menyebabkan sesak. Tanyakan juga mengenai riwayat buang air kecil,
dalam 24 jam sudah berapa yang keluar, adakah oligouria. Keluhan lain juga dapat ditemukan
seperti urin berwarna kemerahan. Kemudian ditanyakan penyakit yang mengarah ke
penyebab penyakit ginjal seperti hipertensi. (1, 8)

2) Pemeriksaan fisik
Dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata (puffy eyelids), tungkai atau adanya
ascites atau edema skrotum atau labia. Kadang-kadang ditemukan., tanda-tanda hipertensi,
dan striae pada kulit akibat edema. (1, 8)

3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu diagnosis antara lain hitung darah
lengkap, kimia darah, penentuan kreatinin dan protein urin. Pada urinalisis ditemukan masif
proteinuria (3+ sampai 4+), glikosuria, sel-sel granular, sel hialin, dan sel-sel lemak. Biasanya
sedimen urin normal namun bila didapati hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) bisa
dicurigai adanya lesi glomerular (misal : sklerosis glomerulus fokal). Dari makroskopis, urin
tampak berbuih. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemi (<3 g/dl),
hiperkolesterolemia lebih dari 200 mg/dl. (1-3, 8)
Jika rasio protein urin terhadap kreatinin urin lebih dari 2, pasien dianggap menderita
sindrom nefrotik. Pasien anak yang kehilangan protein pada tingkat lebih atau setara dengan
50 mg/kg dalam 24 jam juga dianggap mengalami sindrom nefrotik. Pemeriksaan tambahan
seperti venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi
akibat hiperkoagula-bilitas. Pada SN primer, untuk menentukan jenis kelainan histopatologi
ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal. (1, 2)

G. Penatalaksanaan
Pada SN pertama kali sebaiknya dirawat di rumah sakit, dengan tujuan untuk
mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai
pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Pengobatan SN terdiri dari terapi umum
pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik
untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. (3, 8)
Terapi non spesifik:
a. Pengobatan untuk edema
1) Diet
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap
kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolism protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerulus. Jadi
cukup diberikan diit protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24jam. Bila
fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBBideal/hari + ekskresi
protein dalam urin/24 jam.(3, 8)
Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 ± 2 gram/hari. Menggu-nakan
garam secukupnya dalam makanan dan menghindari makanan yang diasinkan, hanya
diperlukan selama anak menderita edema. Diet rendah kolesterol < 600 mg/hari. Pembatasan
asupan cairan terutama pada penderita rawat inap 900 sampai 1200 ml/ hari. (3, 8)
Pengukuran berat badan dilakukan setiap hari untuk mengevaluasi edema dan
keseimbangan cairan harus dicatat. BB diharapkan turun 0,5-1 kg/hari.Bila perlu tirah baring,
terutama untuk orang tua dengan edema tungkai berat karena kemungkinan adanya
insufisiensi venous. (4)

2) Diuretik
Restriksi cairan diperlukan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretik
seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila diperlukan dikom-binasikan dengan spironolakton
(antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3 mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik
lebih lama dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan
natrium). Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema, biasanya disebabkan
oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin ≤ 1 gram/dl), dapat diberikan
infus albumin 20-25% dengan dosis 1 gram/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari
jaringan interstitial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. (8)
Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20
ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi
dekompensasi jantung. Bila diperlukan, albumin dan plasma dapat diberikan selang sehari
untuk memberikan kesempatan pergeseran dan mencegah overload cairan. Perlu diperhatikan
bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar albumin dalam darah, apabila
kadar albumin kurang dari 2 gr/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak dianjurkan karena
dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta muntahan bila ada,
harus dipantau secara berkala. (3, 8)

3) Pengobatan untuk proteinuria


Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk mengurangi
proteinuri digunakan terapi simptomatik. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
paling sering digunakan, cara kerjanya menghambat vasokonstriksi pada arteriol eferen, misal
kaptopril atau enalapril dosis rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu. ACEI
berfungsi untuk menurun-kan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan
konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal
yang ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga
tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal. (2-4)
Bisa juga diberikan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal indometasin
3x50mg. Obat antiinflamasi non-steroid dapat digunakan pada pasien nefropati membranosa
dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan sintesis prostaglandin. Hal ini
menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan tekanan kapiler glomerulus, area permukaan
filtrasi dan mengurangi proteinuria sampai 75%. Selain itu OAINS dapat mengurangi kadar
fibrinogen, fibrin-related antigenic dan mencegah agregasi trombosit. Namun demikian perlu
diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian
pasien. Obat ini tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit. (2)
Angiotensin receptor blocker (ARB) mempunyai efektivitas yang sama dengan ACEI,
dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan fibrosis interstisium,
menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja angiotensin II
lokal pada ginjal. Kombinasi ACEI dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih
besar pada glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja. (2, 4)

4) Koreksi hipoproteinemia
Untuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan peningkatan kadar
protein serum, tetapi pemberian diit tinggi protein selain sulit dipenuhi penderita (anoreksia)
juga terbukti meningkatkan ekskresi protein urin. Untuk penderita SN diberikan diit tinggi
kalori/karbohidrat (untuk memaksimalkan penggunaan protein yang dimakan) dan protein
cukup (0,8-1mg/ kgBB/hr). (4)

5) Terapi hiperlipidemia
Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN meningkatkan
resiko penyakit kardiovaskular, tetapi apa yang terjadi pada populasi umum perlu dipakai
sebagai pertimbangan untuk menurunkan kadar lipid pada penderita SN. Untuk mengatasi
hiperlipidemi dapat digunakan penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG Co-
A) reductase yang efektif menu-runkan kolesterol plasma. Obat golongan ini dikatakan
paling efektif dengan efek samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat menurunkan
secara bermakna kadar trigliserid dan sedikit menurunkan kadar kolesterol. (2, 4)
Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas yang meningkat
menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol menurunkan kadar kolesterol
total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal terhadap trigliserid. Asam nikotinat (niasin)
dapat menurunkan kolesterol dan lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil. (2)
Kolestiramin dan kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol total dan
kolesterol LDL, namun obat ini tidak dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di
usus yang memperburuk defisiensi vitamin D pada SN. (2)

6) Hiperkoagulabilitas
Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian anti-koagulasi jangka
panjang pada semua penderita SN guna mencegah terjadinya resiko thrombosis, tetapi bila
telah terjadi thrombosis atau emboli paru maka perlu dipertimbangkan antikoagulasi jangka
panjang, seperti warfarin. (4)

7) Pengobatan infeksi
Antibiotik yang tepat hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi sekunder. Di
beberapa negara, pasien SN dengan edema dan ascites diberikan antibiotik profilaksis dengan
penicilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai edema berkurang. Di Indonesia tidak
dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi perlu dipantau secara berkala, dan bila
ditemukan tanda-tanda infeksi segera diberikan antibiotik. (4, 8)

8) Pengobatan hipertensi
Bila terdapat hipertensi dapat diberikan ACEI, Non Dihydropiridin Calcium Channel
Blocker (CCB). Pemberian diuretik dan pembatasan diit garam juga ikut berperan dalam
pengelolaan hipertensi. (4)

Terapi Spesifik
Patogenesis sebagian besar penyakit glomerular dikaitkan dengan gangguan imun,
dengan demikian terapi spesifiknya adalah dengan pemberian imunosupresif. (4)
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang
memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain menemukan bahwa pada
lomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien memberi respon yang baik terhadap
steroid dengan remisi lengkap. Schieppati dan kawak menemukan bahwa pada kebanyakan
pasien nefropati membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih
baik untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka tidak
mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati jenis ini.
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya
prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi bertahap dan
dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangi. Regimen lain pada orang
dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1
mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi
diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah
kortikosteroid dihentikan.(2)
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi
parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam),
albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang.
Remisi parsial jika proteinuri <3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350
mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan hasil lab
tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan
kortikosteroid. (2)
Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati lesi
minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40%
pada glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek samping pemakaian
kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi,
diabetes melitus. (2)

1) Pengobatan Relaps
Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan
dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN yang mengalami proteinuria ≥
2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian prednison terlebih dahulu dicari
pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari,
dan bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥2+ disertai edema, maka
didiagnosis sebagai relaps. (8)
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat
penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps yang
terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam
beberapa golongan : (8)
a. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
b. Relaps jarang : jumlah relaps <2
c. Relaps sering : jumlah relaps ≥2 kali (40-50%)

2) Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid


Bila pasien telah dinyatakan sebagai SN relaps sering atau dependen steroid, setelah
mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating dengan
dosis yang diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/ kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis
threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Bila terjadi
relaps pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgBB alternating, tetapi <1,0>2. (8)
Cyclophosphamide biasa digunakan untuk penderita yang mengalami relaps setelah
steroid dihentikan (steroid-dependent) atau mengalami relaps >3 kali dalam setahun
(frequently relapsing) bisa diberikan cyclophosphamide 2mg/kgBB/hr selama 8-12 minggu.
Pada penggunaan cyclophosphamide perlu diwaspadai terjadinya efek samping berupa
infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi, malignansi. Chlorambucil digunakan dengan alasan
yang sama dengan cyclophosphamide. Dosis 0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu. (4)
Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian cyclophosphamide,
diberikan Cyclosporine A (CyA) dengan dosis awal 4-5 mg/kgBB/hari, di mana dosis
selanjutnya perlu disesuaikan dengan kadar CyA dalam darah. Pemberian berlangsung selama
1 tahun kemudian diturunkan perlahan-lahan. Mengingat CyA mempunyai efek nefrotoksik,
perlu memonitor fungsi ginjal. (4)
3) Pengobatan SN resisten steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Sebelum
pengobatan dimulai, pada pasien SNRS dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran
patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi anatomi tersebut mempengaruhi
prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan hasil yang lebih baik bila hasil biopsi ginjal
menunjukkan SNKM daripada GSFS. Dapat juga diberikan siklosporin, metilprednisolon,
(8)
dan obat imunosupresif lainnya.

H. Komplikasi
1) Hiperkoagulasi
Pada sindrom nefrotik dihubungkan dengan meningkatnya kehilangan antitrombin III
melalui urin, perubahan aktivitas dan kadar protein C dan S, peningkatan sintesis fibrinogen
oleh hepar, dan peningkatan agregasi platelet. Keadaan-keadaan ini meningkatkan resiko
terjadinya thrombosis dan emboli spontan pada pasien. Emboli paru dan thrombosis vena
dalam sering terjadi pada pasien SN. (4)
Thrombosis vena renalis sering terjadi pada 30% pasien SN terutama pada
Glomerulonefritis membranosa (GNMN). Sekitar 10% pasien dengan thrombosis vena renalis
ini memberikan gejala nyeri pinggang atau abdomen, gross hematuria, dan gangguan fungsi
ginjal akut, tetapi kebanyakan pasien asimptomatik. Stroke dan infark miokard juga
merupakan komplikasi yang potensial terjadi akibat hiperkoagulasi. (4)
2) Infeksi sekunder
Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan penyebab kematian pada SN terutama oleh
organisme berkapsul (encapsulated organism). Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas
humoral, seluler, gangguan sistem komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin
sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang
meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam
sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas seluler. Hal ini dikaitkan
dengan keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan
normal, infeksi yang paling sering terutama infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus,
bronkopneumonia,TBC. (3, 4, 6)
Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit
ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak ditemukan
organisme apabila kelainan kulit dibiakan. (3)
3) Gangguan tubulus renalis
Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan
kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium dan
air ke ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan
menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam.(3)
4) Gagal ginjal akut
Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai
mekanisme. Penurunan volume plasma atau sepsis sering menyebabkan timbulnya nekrosis
tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah
terjadi edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubular ginjal yang
menyebabkan penurunan LFG. Sindrom nefrotik dapat progresi dan berkembang menjadi
penyakit ginjal tahap akhir. (3, 4)
5) Anemia
Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten
terhadap pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin
serum yangmenurun akibat proteinuria. (3)
6) Peritonitis
Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk perkembangan
kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia, E.coli. (3)
7) Gangguan keseimbangan hormon dan mineral
Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat
tiroid (TBG)dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin
umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria. (3)

8) Hipokalsemia
Disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan kalsium terikat,
tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Di samping itu pasien sering mengalami
hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan membaiknya proteinuria. Absorbsi
kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih besar daripada
pemasukan. Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium
dalam GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun
penyakit tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan. (3)
Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolism kalsium dan tulang pada
manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga
menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25(OH) 2D plasma juga ikut
menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal
pada SN umumnya normal maka osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang tak terkontrol
jarang dijumpai. Pada SN juga terjadi kehilangan hormone tiroid yang terikat protein
(thyroid-binding protein) melalui urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang
bebas dan hormon yang menstimulasi tiroksin (thyroxine-stimulating hormone) tetap normal
sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan. (9)
9) Hiperlipidemia dan Lipiduria
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar kolesterol
umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi.
Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein),
lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan
peningkatan VLDL (very low density lipoprotein). Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL
(intermediate-density lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL (high density
lipoprotein) cenderung normal atau rendah. (9)
10) Malnutrisi
Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama apabila disertai
proteinuria massif, asupan oral yang kurang akibat perfusi usus yang menurun, dan proses
katabolisme yang tinggi. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup
oleh gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa
otot sebesar 10-20% dari massa tubuh (lean body mass) tidak jarang dijumpai pada SN. (3, 4, 6)
11) Keseimbangan Nitrogen
Proteinuria massif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi
negatif. (9)

I. Prognosis
Prognosis makin baik jika dapat didiagnosis segera. Pengobatan segera dapat
mengurangi kerusakan glomerulus lebih lanjut akibat mekanisme kompen-sasi ginjal
maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik
terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps.(3)
Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya
terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal. Penyembuhan klinis
kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun dengan kortikosteroid. Prognosis
minimal lesion lebih baik daripada golongan lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang
(3)
dewasa, bahkan bagi mereka yang tergantung steroid.
Prognosis buruk pada glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN), kelainan
ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada
sindrom nefrotik. (3)

BAB II

CATATAN RIWAYAT PENYAKIT

IDENTITAS PENDERITA:

Nama : Tn. I. W

Tanggal lahir : 25 April 1993

Jenis kelamin : Laki-laki

Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 175 cm

Agama : Kristen

Alamat : BTN Puskopad Kamkey

Tanggal pemeriksaan : 23 Agustus 2018

I. SUBJEKTIF
ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA : Bengkak seluruh tubuh.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :

Pasien masuk dengan keluhan utama bengkak-bengkak pada kaki, perut dan wajah
yang dialami sejak kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Penderita awalnya
mengeluh bengkak pada kedua kelopak mata, lalu bengkak ke kaki dan perut. Bengkak pada
kemaluan tidak ada. Bengkak tidak disertai nyeri. Keluhan bengkak-bengkak yang sama
seperti sekarang pernah dialami pada bulan July tahun 2018. Tidak ada mual dan muntah.
Demam tidak ada. Riwayat demam tidak ada. Batuk tidak ada. Sesak ada. Buang air kecil
warna kuning biasa dan volumenya dirasakan berkurang sejak tiga hari terakhir ini. Buang air
besar biasa warna kuning kecoklatan, konsistensi kenyal, lendir (-), darah (-). Nafsu makan
baik.

Pasien pernah dirawat inap di RSUD Abepura 1 bulan yang lalu dengan keluhan yang
sama dan telah didiagnosa dengan sindrom nefrotik dan setelah keluar dari rumah sakit, pasien
rutin kontrol di poliklinik. Pasien mendapat terapi lima macam obat yaitu furosemide 40 mg
(1/2-0-0), AsparK (1 tablet sehari), simvastatin 20 mg (0-0-1) , sirup sucralfat (3xCI), dan
omeprazole (2 capsul sekali sehari). Pada tanggal 23 Agustus 2018 pasien kontrol ke poli
penyakit dalam dengan keluhan bengkak-bengkak di seluruh tubuh, sesak, dan sulit tidur, dan
pasien dirujuk ke IGD untuk MRS.

Riwayat penyakit dahulu seperti penyakit ginjal (+), rheumatoid arthritis (+) pada
bulan february 2018, sindroma nefrotik (+), penyakit lain seperti diabetes mellitus, kanker,
lupus disangkal. Riwayat sakit kuning disangkal. Sejak kecil pasien jarang minum air putih
dan lebih suka minum minuman bersoda seperti coca cola, fanta, dan sprite. Riwayat penyakit
infeksi lain seperti malaria, tuberkulosis dan lain-lain juga disangkal.

II. OBJEKTIF
1. Keadaan umum : Sakit sedang
Gizi : Baik

Kesadaran : Kompos mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)

Berat badan : 60 kg Tinggi badan : 150 cm

IMT : 21

2. Tanda vital : Tensi : 120/80 mmHg

Nadi : 72 kali/menit

Pernapasan : 40 kali/menit Tipe: Vesikuler

Suhu : 36,6o C, SpO2 93%

Kepala :

Ekspresi: Normal, tidak nyeri

Deformitas: Tidak ada

Simetris muka: Simetris kiri sama dengan kanan

Rambut: Hitam, tebal, sukar dicabut

Mata :

Eksoptalmus/Enoptalmus : Tidak ada

Gerakan bola mata: Dalam batas normal

Tekanan bola mata: Dalam batas normal

Kelopak mata: Edema palpebra (+/+)

Konjungtiva : Anemis (+/+)

Sklera : Ikterik (-/-)

Kornea : Normal, jernih

Pupil : Diameter: 2,5 mm/2,5 mm

Simetris: isokor, normal

Reflek cahaya : +/+


Telinga :

Pendengaran dalam batas normal

Nyeri tekan di prosesus mastoideus tidak ada

Sekret tidak ada

Hidung :

Bentuk: simetris

Perdarahan : tidak ada

Sekret : tidak ada

Mulut :

Bibir: Mukosa bibir basah, sianosis tidak ada

Gusi: Tidak mudah berdarah, pembengkakan tidak ada

Lidah : Bentuk normal, warna kemerahan, hiperemis tidak ada, kotor tidak ada,
kandidiasis tidak ada, tremor tidak ada

Leher :

Pembesaran kelenjar getah bening : tidak ada

Pembesaran kelenjar gondok: tidak ada

Pembuluh darah : Pulsasi arteri karotis tidak terlihat

Kaku kuduk : Tidak ada

1. Dada :
a. Dinding dada :
 Inspeksi : Sesak ada, frekuensi pernapasan 24 kali per menit, simetris kiri
dan kanan, permukaan dada tidak ada kelainan, petechi tidak ada, retraksi
dan penggunaan otot bantu pernapasan tidak ada, iga dan sela iga tidak ada
kelainan, fossa jugularis, intra dan supra clavicularis intak tidak ada
kelainan, pernapasan thorakal.
 Bentuk : Normothorax
 Pembuluh darah : Tidak tampak
 Buah dada : Simetris kiri dan kanan, gynecomasti tidak ada
 Sela iga : Tidak ada kelainan
 Lain-lain : Tidak ada
b. Paru :
 Palpasi : Fremitus raba/vokal menurun di basal paru kanan, nyeri tekan
tidak ada.
 Perkusi :
Paru kiri : Pekak setinggi ICS IX-X
Paru kanan : Pekak setinggi ICS IX-X
Batas paru hepar : Batas paru hepar ICS VI kanan
Batas paru belakang kanan : Setinggi vertebra thorakal IX
Batas paru belakang kiri : Setinggi vertebra thorakal IX
 Auskultasi :
Bunyi pernapasan : Vesikuler, menurun di basal dextra et sinistra
Bunyi tambahan : Tidak ada. Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
c. Jantung :
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, massa tidak ada, nyeri tekan tidak ada
 Perkusi : Pekak relatif ada, batas jantung kanan relatif pada linea sternalis
kanan, batas jantung kanan absolut pada linea sternalis kiri, batas jantung kiri
relatif pada sela iga 5 linea medioclavicularis kiri.
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni reguler, bunyi tambahan/murmur
tidak ada, gallop tidak ada. Frekuensi jantung 88 x/menit.

d. Abdomen
 Inspeksi : Bentuk cembung, stria tidak ada, ascites ada
 Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak ada
 Hati : Tidak teraba
 Limpa : Tidak teraba
 Ginjal : Tidak teraba
 Lain-lain : Tidak ada
 Perkusi : Pekak, shifting dullness (+)
 Auskultasi : Peristaltik ada kesan normaL
e. Alat kelamin
 Edema skrotum tidak ada.
f. Anus dan rectum
 Tidak ada kelainan
g. Punggung
 Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tidak ada
 Nyeri ketok : Tidak ada
 Lain-lain : Tidak ada
h. Ekstremitas
 Akral hangat, sianosis tidak ada, edema (+/+)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


FOTO THORAX PA

Kesan:
Efusi pleura Dextra

IV. ASSESMENT
Sindrom Nefrotik

Efusi Pleura Dextra

V. PENATALAKSANAAN
 IVFD NS 0,9% 8 tpm
 O2 Masker NRM 8-10 lpm
 Inj. Furosemid 1 ampl/12 jam/IV
 Inj. Metil prednison 125 mg ½ ampl/12 jam/IV
 Inj. Omeprazole 1 vial/24jam/IV
 Tab. Valsartan 80 mg (1x1/2 tab)/PO
 Caps. Omeprazole 1 x 30 mg/PO
 Tab. Simvastatin 1 x 10 mg/PO
 Pasang kateter.
VI. USULAN PEMERIKSAAN
 DL,UL,HbsAg,KDL,Faal Hati,RFT,Albumin
 USG Abdomen

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam

Quo ad sanationam : Dubia ad bonam


FOLLOW UP

Pemeriksaan Tanggal
24/08/18 25/08/18 26/08/18 27/08/18 28/8/2018
S Sesak (+), Sesak napas (+) , Sesak napas Sesak napas (+) Sesak napas
Kelopak mata, Kelopak mata, (+) , Bengkak (+) (+) , Bengkak
perut, dan perut dan tungkai Bengkak (+) (+)
Keluhan tungkai bengkak (+), Nyeri
bengkak (+) ulu hati (+).
Nyeri ulu hati
(+)
O KU Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
Kesadaran Composmentis Composmentis Composmentis Composmentis Composmentis
Tanda TD 130/80 TD 100/70 mmHg TD 140/90 TD 160/100 TD 150/100
Vital mmHg N 80x/m mmHg mmHg mmHg
N 72x/m RR 29x/m N 88 x/m N 75 x/m N 75 x/m
RR 26x/m Suhu 36,2 C RR 22 x/m RR 22 x/m RR 20x/m
Suhu 35,6 C SpO2 98% Suhu 36,8 C Suhu 36,5 C Suhu 36,5 C
SpO2 98% SpO2 98% SpO2 98% SpO2 98%

Mata CA +/+ CA +/+ CA +/+ CA +/+ CA +/+


edema edema palpebra +/ edema edema edema
palpebra +/+ + palpebra +/+ palpebra +/+ palpebra +/+
(berkurang) (berkurang) (berkurang)
Abdomen BU +, BU +, cembung BU +, BU +, BU +, cembung
cembung, Perkusi : redup cembung cembung Perkusi : redup
Perkusi : redup Shifting Perkusi : Perkusi :
Shifting dullness (+/+) redup redup
dullness (+/+)
NT Epigastrium
(+)
Extremitas edema +/+ Edema +/+ edema +/+ edema +/+ edema +/+
(berkurang) (berkurang) (berkurang)
- - - DARAH Profil Lipid:
LENGKAP 27/8/18
24/8/18: CHOL 356
HB: 6,5 g/dL mg/dL
RBC: 2,86 TRIG 181.64
HCT: 18,9 % mg/dL
MCV: 66,1 HDL 65 mg/dL
MCH: 22,7 LDL 254 mg/dL
MCHC: 34,4 Hasil USG:
WBC: 10,28 -Menyokong
PLT: 619+ CKD st IV-V
DDR: Negatif Ginjal Bilateral
HbsAg: Non - Asites
Reaktif - Cholecystitis
Asam Urat : kronis
7,6 - Proses
Cr : 2,67 Inflamasi Hepar
LFG : 37,76 -

A Sindrom Sindrom SindromNefr Sindrom Sindrom


Nefrotik Nefrotik otik Nefrotik Nefrotik
Efusi pleura Efusi pleura Efusi pleura Efusi pleura Efusi pleura (D)
(D) (D) (D) (D) CKD std III
Hipertensi Stg Hipertensi Stg Hipertensi CKD Std III Anemia e.c
II (Perbaikan) II (Perbaikan) Stg II Anemia e.c penyakit kronis
(Perbaikan) penyakit Hipertensi Stg II
kronis (Perbaikan)
Hipertensi Hiperurisemia
Stg II Hipercholesterol
(Perbaikan)
Hiperurisemi
a
Hipoalbumin

P -IVFD Nacl -IVFD Nacl - IVFD Nacl - IVFD Nacl - I VFD Nacl
0,9% 8 tpm 0,9% 8 tpm 0,9% 8 tpm 0,9% 8 tpm 0,9% 8 tpm
- Nacl 3 tpm - Nacl 3 tpm - Nacl 3 tpm - Nacl 3 tpm - Nacl 3 tpm
-Inj. -Inj. Furosemide -Inj. -Inj. -Inj. Furosemide 1
Furosemide 1 1 ampl/8 jam/IV Furosemide 1 Furosemide 1 ampl/8 jam/IV
ampl/8 jam/IV -Inj. MP 125 ampl/8 jam/IV ampl/8 jam/IV -Inj. MP 62,5
-Inj. MP 125 mg, ½ ampl/12 -Inj. MP 125 -Inj. MP 62,5 mg/12 jam/IV
mg, ½ ampl/12 jam/IV mg, ½ mg/12 jam/IV -Inj. OMZ 1
jam/IV -Inj. OMZ 1 ampl/12 -Inj. OMZ 1 vial/24 jam/IV
-Inj. OMZ 1 vial/24 jam/IV jam/IV vial/24 jam/IV - Tab.
vial/24 jam/IV -Inj. OMZ 1 - Tab. Spirinolakton
vial/24 jam/IV Spirinolakton 50mg 1-0-0
50mg 1-0-0 - Tab aspar K
- Tab aspar K 1x1tab
1x1tab - Tab Allopurinol
- Tab 1x100 mg
Allopurinol - Tab. Valsartan
1x100 mg 40 mg 1x1 tab
- Tab. - Tab Simvastatin
Valsartan 40 10mg 0-0-1
mg 1x1 tab - Tab. Asam Folat
- Tab. Asam 2 x 1 tab
Folat 2 x 1 - Onoiwa 3x2
tab. caps
Pro:
Cek Profil
Lipid
USG
Abdomen

Pemeriksaan Tanggal

29/08/18 30/08/18 31/08/18 01/09/18 02/8/2018

S Sesak (+)< Sesak (+) < Sesak (+) << Sesak (+) << Sesak (+) <<
Keluhan Bengkak (+) < Bengkak (+) < Bengkak (+) Bengkak (+) Bengkak (+) <<
<< <<
O KU Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang

Kesadaran Composmentis Composmentis Composmentis Composmentis Composmentis


Tanda TD 150/100 TD 140/110 TD TD 130/80 TD 120/80mmHg
Vital mmHg mmHg 130/80mmHg mmHg N 80x/m
N 76x/m N 80x/m N 80x/m N 83x/m RR 21x/m
RR 20x/m RR 22x/m RR 20x/m RR 20x/m Suhu 36,3 C
Suhu 36,6 C Suhu 36,2 C Suhu 37,2 C Suhu 36,6 C SpO2 98%
SpO2 98% SpO2 98% SpO2 98% SpO2 98%
Mata CA +/+ CA +/+ CA +/+ CA +/+ CA +/+
edema edema edema edema edema palpebra
palpebra +/+ palpebra +/+ palpebra -/- palpebra -/- -/-
<<< <<<
Abdomen BU +, BU +, cembung BU +, BU +, BU +, cembung
cembung, Perkusi : redup cembung cembung Perkusi : redup
Perkusi : redup NT (-) Perkusi : Perkusi : NT (-)
NT (-) redup redup
NT (-) NT (-)
Extremitas Akral Hangat Akral Hangat Akral Hangat Akral Hangat Akral Hangat
CRT <2, edema CRT <2, edema CRT <2, CRT <2, CRT <2, edema
pretibial +/+ < pretibial +/+<< edema edema pretibial +/+
pretibial +/+ pretibial +/+ (berkurang) <<<
(berkurang) (berkurang)<
<< <
A Sindrom Sindrom Sindrom Sindrom Sindrom
Nefrotik Nefrotik Nefrotik Nefrotik Nefrotik
Efusi pleura Efusi pleura Efusi pleura Efusi pleura Efusi pleura (D)
(D) (D) (D) (D) Anemia e.c
Anemia e.c Anemia e.c Anemia e.c Anemia e.c Penyakit Kronis
Penyakit Penyakit Penyakit Penyakit CKD stg. III
Kronis Kronis Kronis Kronis Hipertensi Stg II
CKD stg. III CKD stg. III CKD stg. III CKD stg. III (Perbaikan)
Hipertensi Stg Hipertensi Stg Hipertensi Hipertensi
II (Perbaikan) II (Perbaikan) Stg II Stg II
(Perbaikan)a (Perbaikan)
P - IVFD Nacl - IVFD Nacl - IVFD Nacl - IVFD Nacl - IVFD Nacl 0,9%
0,9% 8 tpm 0,9% 8 tpm 0,9% 8 tpm 0,9% 8 tpm 8 tpm
- Nacl 3 tpm - Nacl 3 tpm - Nacl 3 tpm - Nacl 3 tpm - Nacl 3 tpm
-Inj. -Inj. Furosemide -Inj. -Inj. -Inj. Furosemide 1
Furosemide 1 1 ampl/8 jam/IV Furosemide 1 Furosemide 1 ampl/8 jam/IV
ampl/8 jam/IV -Inj. MP 62,5 ampl/8 jam/IV ampl/8 jam/IV -Inj. MP 62,5
-Inj. MP 62,5 mg/12 jam/IV -Inj. MP 62,5 -Inj. MP 62,5 mg/12 jam/IV
mg/12 jam/IV -Inj. OMZ 1 mg/12 jam/IV mg/12 jam/IV -Inj. OMZ 1
-Inj. OMZ 1 vial/24 jam/IV -Inj. OMZ 1 -Inj. OMZ 1 vial/24 jam/IV
vial/24 jam/IV - Tab. vial/24 jam/IV vial/24 jam/IV - Tab.
- Tab. Spirinolakton - Tab. - Tab. Spirinolakton
Spirinolakton 50mg 1-0-0 Spirinolakton Spirinolakton 50mg 1-0-0
50mg 1-0-0 - Tab aspar K 50mg 1-0-0 50mg 1-0-0 - Tab aspar K
- Tab aspar K 300mg , 1x1tab - Tab aspar K - Tab aspar K 300mg , 1x1tab
300mg , 1x1tab - Tab 300mg , 300mg , - Tab Allopurinol
- Tab Allopurinol 1x1tab 1x1tab 1x100 mg
Allopurinol 1x100 mg - Tab - Tab - Tab. Valsartan
1x100 mg - Tab. Valsartan Allopurinol Allopurinol 40 mg 1x1 tab
- Tab. Valsartan 40 mg 1x1 tab 1x100 mg 1x100 mg - Tab Simvastatin
40 mg 1x1 tab - Tab - Tab. - Tab. 10mg 0-0-1
- Tab Simvastatin Valsartan 40 Valsartan 40 - Tab. Asam Folat
Simvastatin 10mg 0-0-1 mg 1x1 tab mg 1x1 tab 2 x 1 tab
10mg 0-0-1 - Tab. Asam - Tab - Tab - Ono Iwa 3xII
- Tab. Asam Folat 2 x 1 tab Simvastatin Simvastatin caps
Folat 2 x 1 tab - Ono Iwa 3xII 10mg 0-0-1 10mg 0-0-1 - Transfusi PRC
- Ono Iwa 3xII caps - Tab. Asam - Tab. Asam 1 Kolf/24 jam ke-
caps Folat 2 x 1 tab Folat 2 x 1 tab 2
- Ono Iwa 3xII - Ono Iwa 3xII
caps caps
Pro: - Transfusi
Transfusi PRC 1
PRC 1 Kolf/24 jam
Kolf/24 jam, ke-1

tgl 03 September 2018

S Bengkak <<<, Sesak (-), Nyeri ulu hati (-), Pasien minta pulang

0 KU : sedang, Kes: CM

TTV : TD 120/80 mmHg , N 80x/m , RR 20x/m , Suhu


36,3 C, SpO2 98%
Kepala : Normocephal
Mata : SI -/- , CA +/+ minimal, edema palpebra -/-
Thorax : Simetris, retraksi –
Cor : S1S2 reguler, Murmur -/- , Gallop -/-
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : BU +, cembung, Perkusi : redup,, NT (-)
Extremitas : Akral Hangat, CRT <2, edema pretibial +/+
(berkurang) <<<
A Sindrom Nefrotik
Efusi pleura (D)
Anemia e.c Penyakit Kronik
CKD stg. III
Hipertensi Stg II (Perbaikan)

p AFF Infus

AFF Kateter

Tab. Metil Prednison 8 mg – 8 mg – 8 mg /PO

Caps. Omeprazole 1 x 20 mg /PO

Tab. Furosemide 4 mg - 0 – 0 /PO

Tab. Amlodipin 0 - 0 - 10 mg /PO

Tab. Spirinolakton 25 mg -25 mg – 0 /PO

Tab. Simvastatin 0 - 0 -10 mg /PO

Tab. Asam Folat 2 x 1 tab /PO

Caps. Ono Iwa 2 x 1 caps /PO

Pasien boleh pulang

Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein

Kontrol ke poli penyakit dalam


PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium

Tanggal 24 Agustus 2018

Hb 6,5 g/dl

Rbc 2.86 x 106 / uL

Hematokrit 18.9 %

MCV 66,1 fL

MCH 22.7 pg

MCHC 34.4 g/dL

Leukosit 10.280 uL

Platelet 619.000uL

DDR Negatif

GDS 92 mg/dl

SGOT 55 mg/dl

SGPT 47 mg/dl

Albumin 2.3 g/dl

Globulin 2,75 g/dL

HbsAg Non Reaktif

Creatinin 2,67 mg/dL

Asam Urat 7,62 mg/dL

Ureum 106,25 mg/Dl


Tanggal 27 Agustus 2018 -

TG 181,64 mg/dL

CHOL 365 mg/dL

HDL 65 mg/dL

LDL 254 mg/dL

Kesan : Anemia Mikrositik Hipokromik

Trombositosis relatif

Hipoalbumin

Hiperurisemia

Hiperkolesterolemia

PEMERIKSAAN URINALISIS LENGKAP


MAKRO

Warna Kuning keruh

pH 1.0

Berat jenis 5.0

Protein +++

Reduksi Negatif

Leukosit esterase Negatif

Bilirubin ++

Urobilinogen Negatif

Keton Negatif

Nitrit Negatif

Blood ++++

MIKRO

Leukosit +3

Eritrosit +4

Epitel +1

Silinder granul +1

Kristal Tidak ditemukan

Bakteri Tidak ditemukan

Jamur Tidak ditemukan

Pemeriksaan Radiologis
USG ABDOMEN
Tanggal 27/8/2018

Kesan :

- Menyokong CKD Std IV-V Ginjal Bilateral


- Asites
- Cholecystitis kronis
- Proses Inflamasi Hepar

FOTO THORAX PA

Kesan :
Efusi pleura Dextra Minimal

BAB III

PEMBAHASAN
Pada pasien ini didiagnosis sindroma nefrotik di dapat dari anamnesa, pemeriksaan fisik
adanya edema seluruh tubuh, dan ditunjang dengan pemeriksaan lab dimana terdapat Proteinuria
masif +++, Hipoalbumin (Albumin 2,3 ), hiperlipidemia .

Sindrom nefrotik adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif
(lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl),
edema, hiperlipidemia, lipiduria, dan hiperkoagulabilitas (Sindrom nefrotik selalu disebabkan
oleh penyakit glomerolus dengan albuminuria berat (>3–3.5 g/hari)

Selain edema, pasien juga mengeluh nyeri dada dan sesak. Hal ini karena pleura yang
ditegakkan dari hasil pemeriksaan radiologi Foto Thorax yang mendapatkan adanya efusi pleura
dextra. Efusi pleura pada sindrom nefrotik dikenal sebagai efusi pleura transudat yang terjadi
apabila hubungan normal antara tekanan hidrostatik kapiler dan koloid osmotik terganggu
sehingga terbentuk cairan pleura yang melebihi reabsorbsi pleura. Efusi pleura pada sindrom
nefrotik umumnya dengan konsentrasi protein yang rendah. Penyebab terbentuknya efusi pleura
pada sindrom nefrotik adalah karena penurunan kadar albumin plasma yang mengakibatkan
penurunan tekanan onkotik plasma. Tekanan hidrostatik pada sindrom nefrotik umumnya
meningkat akibat daripada hipervolumia karena adanya retensi garam (natrium) yang
memperberat efusi.

Etiologi

Etiologi sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi :

a. Glomerulonefritis primer dengan sebab tidak diketahui


(idiopatik) dengan berbagai macam kelainan histopatologi, meliputi:
o Glomerulonefritis lesi minimal
o Glomerulosklerosis fokal
o Glomerulonefritis membranosa
o Glomerulonefritis membranoproliferatif
o Glomerulonefritis proliferatif lain
b. Glomerulonefritis sekunder akibat:
o Infeksi, seperti infeksi HIV, hapatitis virus B dan
C, sifilis, malaria, skistosoma, tuberkulosis, dan lepra.
o Keganasan, seperti adenokarsinoma paru,
payudara, kolon, limfoma Hodgkin, mieloma multipel, dan karsinoma ginjal.
o Penyakit jaringan penghubung, seperti pada lupus
eritematosus sistemik, artritis reumatoid, MCTD (mixed connective tissue disease)
o Efek obat dan toksin, seperti obat antiinflamasi
non-steroid, preparat emas, penisilinamin, probenesid, air raksa, kaptopril, dan heroin.
o Lain-lain, meliputi diabetes melitus, amiloidosis,
pre-eklamsia, rejeksi alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.
Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab sindrom
nefrotik. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio
neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien sindrom
nefrotik yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T. Etiologi pada pasien ini
disebabkan karena penyakit Gromerulonefritis Kronik.

C. Manifestasi Klinis Pada pasien ini


 Proteinuria (Proteinuria +++)
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan
glomerolus. Dalam keadaan nomal membran basal glomerolus mempunyai mekanisme penghalang
untuk mencegah kebocoran protein.

 Hipoalbuminemia (Albumin 2,3 )


Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati, dan
kehilangan albumin melalui urin . Pada sindrom nefrotik, hipoalbuminemia disebabkan oleh
hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di
hati biasanya meningkat sebagai usaha kompensasi (namun tidak memadai untuk mengganti
kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun

 Edema seluruh badan


Edema pada sindrom nefrotik dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma
sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat
penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia. Ginjal
melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini
akan memperbaiki volume intravaskuler, tetapi juga mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia
sehingga edema semakin berlanjut.

 Hiperlipidemi (Chol 356, LDL 254, TG 181,64)


Kadar kolesterol umumnya meningkat, sedangkan trigliserida bervariasi dari normal sampai
sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL. Kadar trigliserid yang
tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL. Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate
density lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL cenderung normal atau rendah.

Keadaan ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di
perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein
dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan
penurunan tekanan onkotik.

 Gangguan fungsi ginjal


Pasien sindrom nefrotik mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui
berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan/atau sepsis sering menyebabkan timbulnya
nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah
terjadinya edema internal yang menyebabkan terjadinya kompresi pada tubulus ginjal.

 Komplikasi lain pada sindrom nefrotik


Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada sindrom nefrotik dewasa terutama apabila disertai
proteinuria masif, asupan oral yang kurang, dan proses katabolisme yang tinggi. Hipertensi
ditemukan sebagai komplikasi sindrom nefrotik terutama dikaitkan dengan retensi natrium dan air .

D. Pemeriksaan
1. Anamnesis
Perlu diperhatikan masalah penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit
sistemik lain. Pada pasien ini memiliki riwayat penyakit Ginjal, rheumatoid arthritis, dan sindome
nefrotik.

2. Pemeriksaan fisik
Terdapat edema anasarka. Tidak jarang mata tertutup akibat edema pada kelopak mata.

3. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan urin, meliputi protein urin, urinalisis, hamaturia, dipstick urin, berat
jenis urin, dan pemeriksaan sedimen.
 Pemeriksaan darah, meliputi kadar albumin dalam serum, kolesterol serum,
trigliserid, hemoglobin, hematokrit.
E. Diagnosis
1. Diagnosis pada pasien ini sindrom nefrotik dibuat berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan laboratorium berupa proteinuria masif (>3,5 g/1,73 m 2 luas permukaan
tubuh/hari), hipoalbuminemia (<3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria dan
hiperkoagulabilitas.
2. Diagnosis pada pasien ini CKD Stad III didapat dengan hasil pemeriksaan Kreatinin
2,67 dan perhitungan LFG dimana mendapatkan hasil 37,76, serta ditunjang dengan
pemeriksaan USG abdomen menyokong CKD.
3. Diagnosis pada pasien ini dengan Efusi Pleura berdasarkan, klinis sesak, ditunjang
dengan hasil pemeriksaan foto thorak dengan gambaran efusi minimal di pleura
dextra yg diberbabkan karena hipoalbumin.
4. Diagnosis pada pasien ini dengan Hipertensi stag II berdasarka hasil pemeriksaan TD
160/100mmHg, dimana pada beberapa kasus sindroma nefrotik kadang juga terdapat
hipertensi.
5. Diagnosis pasien ini dengan Anemia e.c Penyakit Kronis dapat dari tanda klinis,
pemeriksaan fisik conjungtiva anemis +/+, dan hasil pemeriksaan lab Hb 6,5.
F. Penatalaksanaan
Pengobatan sindrom nefrotik terdiri dari pengobatan spesifik terhadap penyakit dasar dan
pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema, dan mengobati
komplikasi.

1. Non-medikamentosa
Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko komplikasi
yang ditimbulkan. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1,0 g/kgBB/hari. Pada pasien dengan
diet protein 0,6 g/kgBB/hari ditambah dengan jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuri
hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin darah meningkat, dan kadar fibrinogen
menurun. Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-2 gram natrium/hari)
disertai diuretik dan tirah baring.
Pada pasien ini diberikan diet putih telur 2 buah/hari, rendah garam.
2. Medikamentosa
 Kortikosteroid
Regimen penggunaan kortikosteroid pada sindrom nefrotik bermacam-macam, di
antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali .
 Diuretik
Untuk mengurangi edema diberikan diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan
tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic (spironolakton).
Pasien ini diberikan obat furosemide 1 ampl/8 jam, dan spirinolakton 1 x 50 mg pagi hari

 Penurun Lemak
Pasien ini diberikan obat simvastatin 1x10 mg, Dislipidemia pada sindrom nefrotik
belum secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler, tetapi bukti klinik
dalam populasi menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak
golongan statin seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol
LDL, trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.

 Penurun Purin
Pasien ini diberikan obat allopurinol 1 x 100mg berdasarkan hasil pemeriksaan dimana hasil
asam urat pada pasien ini 7,62 g/dL.

 Penurun Tekanan Darah


Pasien ini diberikan obat penurun tekana darah Amlodipin 1 x 10 mg karena
peningkatan tekanan darah 160/100 mmHg, pada beberapa kasus sindroma nefrotik
kadang terdapat hipertensi.
 Transfusi PRC
Pasien ini diberikan transfusi PRC 250cc/24 jam di dapat dri klinis, conjungtiva
anemis, dan hasil pemeriksaan lab dimana Hb 6,5 g/Dl, pasien ini mendapatkan
transfusi PRC 2 kolf.
 Penambah Albumin
Pada pasien ini untuk memperbaiki penurunan albumin, diberikan capsul Onoiwa 3x2
caps/hari selain dengan diet tinggi protein 2 butir telur/hari.
I. Prognosis
Mortalitas dan prognosis pasien dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan etiologi,
berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responnya terhadap
pengobatan, pada pasien ini prognosis nya dubia ad bonam disebabkan karena terkontrol dan
cepat tertangani keadaan pasien sejak awal datang sampai pasien keluarg rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

Вам также может понравиться