Вы находитесь на странице: 1из 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kultur jaringan
Kultur jaringan tanaman merupakan bagian suatu teknik perbanyakan
vegetatif nonkonvensional. Perbedaan teknik ini dibandingkan dengan teknik
perbanyakan vegetative konvensional biasanya terletak dalam situasi dan lokasi
yang berbeda. Penerapan teknik kultur jaringan tanaman mensyaratkan kondisi di
dalam ruangan (laboratorium) dan sifatnya aseptik (steril dari patogen). Bermuara
dalam kondisi yang aseptic, maka perlu dijelaskan bahwa segala aktifitas yang
berkaitan dengan jaringan harus dalam kondisi aseptik (Gunawan, L.W. 1995).
Selain peralatan kultur jaringan, media merupakan salah satu factor utama
dalam keberhasilan kultur. Media kultur jaringan tanaman harus berisi semua zat
yang diperlukan untuk menjamin pertumbuhan eksplan yang ditanam. Media kultur
jaringan memiliki karakteristik masing-masing. Artinya tidak semua media dapat
digunakan pada semua kultur tanaman. Karena beberapa media yang ada memiliki
perbedaan kandungan dan konsentrasi zat-zat yang diperlukan atau digunakan pada
kultur.
Media merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur jaringan.
Keberhasilan perbanyakan dan perkembangbiakan tanaman dengan metode kultur
jaringan secara umum sangat tergantung pada jenis media.
Keberhasilan kultur jaringan pada media dan zat pengatur tumbuh yang
digunakan. Media tanam memberikan pengaruh yang besar terhadap keberhasilan
kultur jaringan. Dalam media tanam kultur jaringan terdapat penambahan zat
pengatur tumbuh. Tanaman membutuhkan zat pengatur tumbuh alami (fitohormon)
untuk proses pertumbuhan, yaitu zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Zat
pengatur tumbuh berfungsi merangsang pertumbuhan, misalnya pertumbuhan akar,
tunas, perkecambahan, dan sebagainya (Hendaryono dan Wijayanti, 1994).

B. Tanaman Anggrek
Tanaman anggrek merupakan tanaman hias yang mempunyai 25.000 –
30.000 spesies di dunia (Kasutjianingati dan Irawan, 2013). Tanaman anggrek telah
menjadi tanaman industri bernilai tinggi di beberapa negara seperti Thailand,
Australia, Singapura, Malaysia dan Indonesia. Genus Dendrobium, Cymbidium,
Oncidium dan Phalaenopsis merupakan anggrek yang paling banyak diminati oleh
pasar global. Tanaman anggrek memiliki nilai ekonomis lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tanaman hias yang lain, baik sebagai bunga potong maupun
bunga pot. Keindahan dan kecantikan bunga anggrek membuat tanaman ini disebut
"Queen of Flower" (Kasutjianingati dan Irawan, 2013).
Anggrek termasuk ke dalam famili Orchidaceae yang berdasarkan sifat
hidupnya tergolong sebagai anggrek epifit, anggrek semi epifit maupun anggrek
tanah/terestrial. Epifit adalah jenis tanaman yang hidup dengan cara menempel
pada tanaman lain yang tidak merugikan bagi tanaman inang, akarnya menempel
dan memiliki akar udara yang digunakan untuk mencari makan (Surtinah dan
Mutryarny, 2013). Anggrek semi epifit adalah anggrek yang juga tidak merugikan
pohon/tanaman yang ditumpangi, hanya akar lekatnya berfungsi untuk mencari
makan seperti akar udara. Anggrek tanah adalah jenis anggrek yang hidup di atas
tanah (Kadir, A. 2007).
Bunga dari suku Orchidaceae tersusun dalam karangan bunga dengan jumlah
satu hingga banyak kuntum. Bunga anggrek memiliki empat bagian utama yaitu
sepal (daun kelopak), petal (daun mahkota), stamen (benang sari), dan pistil
(putik). Sepal anggrek berjumlah tiga buah, bagian atas disebut sepal dorsale,
sedangkan dua lainnya disebut sepal laterale (Prasetyo, 2009). Petal merupakan
perhiasan bunga yang memiliki bermacam-macam bentuk dan warna. Ketika masih
kuncup, petal terbungkus oleh sepal. Kedua petal yang paling atas mempunyai
bentuk yang sama, sedangkan petal ketiga yang terletak paling bawah termodifikasi
menjadi bibir atau labellum. Setiap jenis anggrek mempunyai bentuk labellum yang
berbeda. Labellum umumnya dijadikan sebagai karakter pembeda antara satu jenis
anggrek dengan jenis anggrek yang lain (Prasetyo, 2009).
Buah anggrek matang pada umur yang berbeda tergantung pada jenis
anggrek. Buah anggrek Dendrobium sp. matang dalam umur 3-4 bulan, anggrek.
C. Anggrek Dendrobium heterocarpum.

Anggrek Dendrobium heterocarpum Lindl. merupakan anggrek alam, epifit,


tipe batang simpodial, memiliki umbi semu (pseudobulb). Bentuk daun lanset
dengan tepi rata, pucuk daun obliquely lobes, duduk daun berseling. Susunan bunga
bertandan (raceme), terletak pada buku (nodul), pembungaan tegak lurus (sub
erect), floral bract berbentuk bujur telur (Lokho and Kumar, 2012).
Menurut Dressier dan Dodson (2000), tumbuhan anggrek termasuk ke dalam
kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga dari sekian banyak
tumbuhan berbunga yang terdapat di alam ini.
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut:
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Orchidales
Famili : Orchidaceae
Genus : Dendrobium
Spesies : Dendrobium heterocarpum.

D. Hormon
Hormon adalah persenyawaan organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi
rendah mampu mendorong, mengubah bahkan menghambat pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Peranan hormon dalam kultur jaringan tanaman sangat
penting, yaitu untuk mengontrol organogenesis dan morfogenesis dalam
pembentukan dan perkembangan tunas dan akar serta pembentukan kalus. Terdapat
dua golongan hormon tanaman yang sering digunakan dalam kultur jaringan, yaitu
auksin dan sitokinin. Golongan auksin antara lain IAA (Indole Acetic Acid), NAA
(Naphtalene Acetic Acid), IBA (Indole Butiric Acid), 2.4-D (2.4-Dichlorophenoxy
Acetic Acid), Dicamba (3,6-Dicloro-o-Anisic Acid), dan Picloram (4-amino-3,5,6-
Tricloropicolinic Acid). Golongan sitokinin, yaitu BAP (Benzil Adenine Purin),
Kinetin (furfuril amino purin), dan Zeatin (Lestari, 2011). Sitokinin alami yang
paling banyak digunakan adalah Zeatin (4-hydroksi-3-memethyl-trans-2-
butenylaminopurin) dan 2-iP (N6-(2-isopentenyl) adenin). Biosintesis Zeatin terjadi
terutama di ujung akar dan di dalam biji yang sedang berkembang. Translokasi dari
Zeatin terutama melalui xilem (Salisbury and Ross, 1995).
Penggunaan hormon di dalam kultur jaringan tergantung pada pertumbuhan
jaringan tanaman yang diinginkan. Adanya salah satu hormon tertentu dapat
meningkatkan daya aktivitas hormon lainnya. Jenis dan konsentrasi hormon yang
tepat untuk masing-masing tanaman tidak sama karena tergantung pada genotipe
serta kondisi fisiologi jaringan tanaman (Lestari, 2011).
Sitokinin dalam hal ini berfungsi untuk merangsang tumbuhnya tunas-tunas
aksilar, sedangkan auksin berfungsi untuk merangsang pembentukan akar. Namun
sering pula dibutuhkan keduanya tergantung pada perbandingan atau ratio sitokinin
terhadap auksin atau sebaliknya. Kombinasi antara sitokinin dengan auksin dapat
memacu morfogenesis dalam pembentukan tunas. Penggunaan sitokinin dan auksin
dalam satu media dapat memacu proliferasi tunas karena adanya pengaruh
sinergisme antara hormon tersebut (Flick et al., 1993).
Sitokinin merupakan hormon yang digunakan dalam menginduksi
munculnya tunas. Induksi tunas terjadi melalui peristiwa diferensiasi sel yaitu sel
yang sudah mencapai volume akhirnya menjadi terspesialisasi dengan cara tertentu
(Salisbury dan Ross, 1995). Dalam pembentukan tunas dibutuhkan sitokinin yang
tinggi, namun juga membutuhkan auksin pada konsentrasi yang rendah.
Konsentrasi sitokinin yang lebih besar dari auksin akan memicu pertumbuhan tunas
sedangkan apabila konsentrasi sitokinin lebih kecil maka yang terbentuk adalah
kalus (Herawan dan Ismail, 2009). Sitokinin dapat dijumpai pada berbagai bahan
alami. Menurut Damiska et al. (2015), jagung merupakan salah satu bahan alami
yang mengandung sitokinin sehingga dapat membantu dalam merangsang
pembentukan tunas anggrek. Jagung merupakan bahan alami yang dapat dijadikan
sebagai alternatif pengaganti hormon sintetis karena lebih mudah diperoleh dan
harga yang terjangkau (Astarini et al., 2015).
Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk menginduksi kalus ialah
auksin dan sitokinin. Kombinasi zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam
medium merupakan faktor utama penentu keberhasilan kultur in vitro. Penambahan
2,4-D dalam media akan merangsang pembelahan dan pembesaran sel pada eksplan
sehingga memacu pembentukan dan pertumbuhan kalus serta meningkatkan
senyawa kimia alami flavonoid (Rahayu et al., 2003).
Zat pengatur tumbuh 2,4 D merupakan auksin yang paling umum digunakan
untuk menginduksi embriogenesis somatik. Selain auksin, pemberian zat pengatur
sitokinin juga berpengaruh terhadap terhadap diferensiasi sel dalam proses
embriogenesis somatik. Kinetin merupakan kelompok dari zat pengatur tumbuh
sitokinin
Menurut Gamborg dan Shyluk (1981) dalam Gunawan (1988), sel-sel
tanaman membutuhkan pH yang sedikit asam berkisar antara 5,5–5,8. Pengaturan
pH perlu diperhatikan, biasa dilakukan dengan dengan menggunakan NaOH (atau
kadang-kadang KOH) atau HCL pada waktu semua komponen sudah dicampurkan.
Pada praktikum yang telah di laksanakan dilakukan penambahan NaOH untuk
mencapai pH 5,8.
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, L.W. 1995. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor: Laboratorium


Kultur Jaringan Tumbuhan, Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian
Bogor.
Hendaryono, D., P,. S. dan A. Wijayanti. 1994. Teknik Kultur Jaringan
(Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif
Modern). Yogyakarta: Kanisius.
Kadir, A. 2007. Induksi dan Perbanyakan Populasi Kalus, Regenerasi Tanaman
serta Uji Respon Kalus terhadap Konsentrasi PEG dan Dosis Iradiasi Sinar
Gamma. Jurnal-jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. Vol. 9 (1).
Kasutjianingati dan Irawan, R. 2013. Media alternative perbanyakan in-vitro
anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) . Jurnal agroteknos . 184-189(3).
Prasetyo, Cahyo H. 2009. Teknik Kultur Jaringan Anggrek Dendrobium Sp. di
Pembudidayaan Anggrek Widorokandang Yogyakarta. Skripsi. Surakarta :
Fakultas Pertanian UNS.
Dressler R. dan C. Dodson. 2000. Classification and phylogeny in Orchidaceae.
Annal of the Missouri Botanic Garden 47: 25-67.15
Salisbury, Frank B dan Cleon W Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. Bandung:
ITB.
Lestari, Endang. G. 2011. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perbanyakan
Tanaman melalui Kultur Jaringan. Jurnal AgroBiogen 7 (1).
Flick, C.E., D.A. Evans, and W.R. Sharp. 1993. Organogenesis. In D.A. Evans,
W.R. Sharp, P.V. Amirato, and T. Yamada (eds.) Handbook of Plant Cell
Culture Collier Macmillan. London: Publisher London. p. 13-81.
Astarini, I. A., Griffiths, P. D., Defiani, M. R., dan Suriani, N. L. 2012. Targeting
Broccoli Varieties to Expland Production Regions In Indonesia. Laporan
Penelitian Hibah Kerjasama Luar Negeri. Denpasar: Jurusan Biologi,
Universitas Udayana.
Parhusip JN, Jenie BSL, Rahayu WP, Yasni S. Pengaruh Ekstrak Andaliman
(Zanthoxyllum acanthopodium DC) terhadap Permeabilitas dan
Hidrofobisitas Bacillus cereus. Jurnal Teknologi dan Pangan; 2005: 16(1):
24-30.
Gamborg, O. L. and J. P. Shyluk, 1981. Nutrition Media and Charactristics of Plant
Cell and Tissue Culture dalam Thorpe, Plant Tissue Culture, Methodes and
Applications. New York: Agriculture Academic Press.

Вам также может понравиться