Вы находитесь на странице: 1из 7

ARTIKEL 1

Informalisasi Tenaga Kerja, Dampak Terhadap Buruh Perempuan dan Solusinya

Seiring dengan terjadinya kerapuhan kondisi ekonomi global, para pemilik modal banyak yang
membuat strategi untuk meminimalisir resiko bagi bisnis mereka. Salah satunya adalah dengan
mengadakannya fleksibilitas produksi & pasar buruh untuk menggantikan situasi pasar buruh yang
dianggap terlalu kaku dengan adanya campur tangan pemerintah, lengkap dengan segala peraturan
yang harus dilaksanakan dalam konteks ketenagakerjaan bisnis mereka. Hal tersebut dinamakan
sebagai informalisasi tenaga kerja, dengan mempekerjakan masyarakat secara lepas tanpa ikatan
kerja, yang menimbulkan permasalahan baru, yaitu hilangnya aspek perlindungan tenaga kerja.

Peluang untuk bekerja secara umum diterima sebagai cara untuk keluar dari kemiskinan. Sayangnya,
penggunaan hubungan kerja informal yang meningkat, justru mengancam keamanan dan keamanan
bekerja. Memiliki hubungan kerja informal, membuat para pekerja dianggap tidak layak untuk
menerima keuntungan yang sama dengan para pekerja yang bekerja dibawah hubungan yang
formal, walaupun pekerjaan yang dilaksanakan sama. Fenomena ini secara khusus mempengaruhi
pekerja perempuan yang tidak pernah dijuluki sebagai pencari nafkah keluarga, meskipun pada
umumnya, merekalah pencari nafkah tersebut.

Bertempat di Hotel Santika Gubeng, Surabaya, pada tanggal 29 November hingga 1 Desember 2016,
organisasi buruh Trade Union Right Centre (TURC), selaku lembaga pusat studi dan advokasi yang
fokus memberikan pendidikan dan pendampingan bagi serikat buruh, melakukan konferensi regional
berjudul “Women & Informalisation of Work.” Acara tersebut menjadi wadah untuk berbagi informasi
mengenai informalisasi pekerjaan yang dihadapi para buruh, serta permasalahan sosial-budaya yang
dihadapi buruh perempuan, pengelolaan buruh perempuan, dan juga antisipasi untuk menghadapi
fenomena informalisasi pekerjaan.

ARTIKEL 2
Cenderung Kaku, Menaker Ingin Reformasi Ekosistem Ketenagakerjaan

KOMPAS.com - Menteri Ketenagakerjaan ( Menaker) M. Hanif Dhakiri mengatakan, salah satu


problem utama dalam dunia ketenagakerjaan yakni ekosistem ketenagakerjaan yang kaku
dan rigid.

Karena itu diperlukan transformasi reformasi ketenagakerjaan di masa depan dari sebuah
ekosistem ketenagakerjaan yang kaku dan rigid itu menjadi ekosistem yang fleksibel

"Ekosistem fleksibel sangat diperlukan karena dunia industri sudah semakin fleksibel, " kata
Hanif Dhakiri seprti dalam keterangan tertulisnya.

Menaker sendiri mengatakan itu saat acara dialog interaktif Rapat Kerja dan Konsultasi
Nasional (Rakerkonas) Apindo ke-29, di Kota Batam, Kepulauan Riau, Selasa (2/4/2019).

Untuk itu, Menteri Hanif Dhakiri meminta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan
kalangan serikat kerja memberikan berbagai masukan guna memastikan agar ekosistem
ketenagakerjaan lebih fleksibel.

Lebih lanjut, Hanif Dhakiri menjelaskan kakunya ekosistem ketenagakerjaan akhirnya


membuat pertumbuhan investasi tidak sesuai harapan.
Sebab investasi yang selama ini datang cenderung padat modal. Padahal Indonesia butuh
investasi padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja dan pengangguran

Karenanya, Hanif Dhakiri meyakini bila ekosistem ketenagakerjaan diperbaiki dan


direformasi, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia jauh lebih tinggi dari sekarang. yakni 5
persen.

"Empat dari 10 hambatan investasi di Indonesia bidang ketenagakerjaan, semuanya masuk


dalam ranah ekosistem ketenagakerjaan. Jadi kalau reformasi ketenagakerjaan kami lakukan,
pertumbuhan ekonominya akan lebih besar lagi, " ujarnya.

Jaga keseimbangan

Sementara itu, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang hadir dalam Rakerkonas tersebut meminta
Apindo untuk menjaga keseimbangan hubungan antara pekerja dan pengusaha.

Hal itu diperlukan mengingat keseimbangan hubungan tersebut merupakan kunci untuk
meningkatkan perekonomian Indonesia.

“Apindo harus menjaga keseimbangan antara pekerja, pengusaha dan pemerintah, karena
pemerintah berkepentingan dalam urusan pajak,” kata Wapres JK dalasambutan pembukaan
acara tersebut.

Lebih jauh Wapres JK menjelaskan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha
merupakan simbiosis mutualisme, sehingga kedua belah pihak harus dapat saling memajukan
satu sama lain.

"Kepentingan pengusaha dan kepentingan pekerja itu sama adalah memajukan usaha,
memajukan ekonomi, sehingga pengusaha dan juga pekerja dapat maju bersama,” kata JK.

Ketua Umum Apindo Hariyadi B. Sukamdani yang turut hadir di acara itu mengatakan,
Rakornas Apindo merupakan pertemuan tahunan untuk mencermati dan menyikapi
perkembangan dunia usaha. Terlebih masalah ketenagakerjaan serta hubungan industrial dan
perkembangan investasi.

"Dengan Rakerkonas ini para pelaku usaha diharapkan mampu bersinergi dengan pemerintah
untuk meningkatkan kinerja perekonomian di masing-masing daerahnya yang pada akhirnya
akan meningkatkan daya saing nasional," jelasnya.

Sebagai informasi, Rakornas bertemakan 'Meningkatkan Daya Saing melalui Reformasi


Ketenagakerjaan dan Output Produksi Nasional' diselenggarakan dari 1-3 April 2019.

Selain Menaker dan Wapres JK, acara tersebut juga dihadiri oleh Menko Perekonomian
Darmin Nasution, Menteri BUMN Rini Soemarno, Dirut BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto,
Gubernur Kepri Nurdin Basirun Ketum Apindo Hariyadi B Sukamdani dan Ketua Apindo
Kepulauan Riau, Cahya.
ARTIKEL 3

Menaker Dorong Inovasi Ketenagakerjaan Sesuai


Potensi Daerah
Menteri Ketenagakerjaan RI (Menaker) M. Hanif Dhakiri menyatakan, berbagai
inovasi dan kreativitas masyarakat sangat diperlukan untuk mendorong
pembangunan ketenagakerjaan. Namun begitu, berbagai inovasi dan kreativitas
tersebut hendaknya di sesuaikan dengan potensi daerah.

Hal ini disampaikan Menteri Hanif saat menjadi pembicara dalam acara Silaturahmi
Alumni Pondok Pesantren Al Fadlu Wal Fadhilah Kaliwungu, Kendal pada hari Senin
(30/4/2018).

Menurut Menteri Hanif, pondok pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan non
formal dengan santri yang datang dari berbagai daerah. Oleh karenanya, santri harus
membiasakan diri untuk berinovasi dan hidup kreatif. Agar kelak ketika pulang ke
daerah asal dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan masyarakat
daerah.

"Oleh karenanya, saya juga ingin mendorong kalau santri-santri melakukan inovasi,
maka basisnya adalah tempat dimana berada. Di desanya, di kampungnya, itu yang
harus diinovasi," kata Menteri Hanif.

Menteri Hanif menambahkan, dunia saat berubah dengan cepat. Salah satunya
disebabkan oleh perkembangan teknologi dan informasi.

Oleh karenanya, bagi Menteri Hanif, inovasi dan kreativitas adalah kunci bagi santri
dan masyarakat secara umum untuk bisa bertahan di tengah perkembangan zaman.

"Nah tentu, saya sering sampaikan bahwa dasarnya tetap karakter, dasarnya tetap
akhlak, adab," tutur Menteri Hanif.

Untuk mendorong pengembangan potensi daerah melalui inovasi dan kreativitas


tersebut, Menaker berpesan agar kapasitas santri harus terus ditingkatkan.

"Oleh karena itu, kehadiran tempat-tempat pelatihan di pesantren juga menjadi


penting. Agar santri ini lebih kuat kewirausahaannya, dan bisa membantu masyarakat
desa keluar dari kemiskinan," ujar Menaker.

Menaker juga berpesan agar pesantren juga mengembangkan lembaga pelatihan


vokasi, baik yang dikembangkan secara mandiri maupun dikerjasamakan dengan
lembaga pelatihan lain.
Secara khusus, lembaga pelatihan, menurut Menaker, lebih mengakomodir
kebutuhan akan peningkatan skill dibandingkan lembaga pendidikan formal. Karena,
lembaga pelatihan memiliki karakteristik jangka waktu pelatihan yang lebih pendek
dibandingkan pendidikan formal.

Dengan begitu, tuntutan akan skill yang fleksibel dan responsif terhadap cepatnya
perubahan zaman dapat diakomodir melalui lembaga pelatihan.

"Dan di sini, pelatihan vokasi menjadi penting karena jangka pelatihannya pendek,"
paparnya.

ARTIKEL 4
TKA Dan Masalah Ketenagakerjaan Di Indonesia

Isu “serbuan” Tenaga Kerja Asing (TKA) kembali menjadi polemik di masyarakat. Berbagai
media gencar memberitakan terkait isu tersebut. Termutakhir, seperti dilansir Detik (27/04/18) Kepala
Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko mengaku menemukan ada ribuan tenaga kerja asal China
di Morowali. Sontak hal tersebut menjadi perhatian serius dari berbagai kalangan.

Perdebatan semakin memanas setelah pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 20 tahun 2018
yang membahas tentang TKA. Pihak yang kontra menganggap kebijakan tersebut menjadi karpet merah
masuknya TKA ke Indonesia. Sebagian pihak menganggap masuknya TKA ke Indonesia berbahaya
bagi kondisi ketenagakerjaan tanah air.

Argumentasi utamanya yaitu di Indonesia jumlah pengangguran masih tergolong tinggi lebih
dari 7 juta jiwa. Sehingga masuknya TKA dapat memperuncing persaingan dalam mendapatkan
pekerjaan. Dalam peringatan Mayday 2018 hari ini pun, ada beberapa serikat buruh yang menganggap
TKA sebagai isu utama.

Sebelumnya, DPR dengan reaktif ingin membentuk hak angket TKA. Seperti dilansir detik
news, pada Kamis (26/04/2018) Wakil Ketua DPRD Fadli Zon menggalang tanda tangan anggota DPR
untuk mendukung pansus TKA. Acara tanda tangan pansus angket TKA itu dihadiri Waketum Gerindra
Ferry Juliantono bersama Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Mereka
menganggap seakan-akan serbuan TKA sudah menjadi ancaman serius bagi bangsa, terlebih TKA asal
Tiongkok. Namun muncul pertanyaan, apakah isu TKA memang harus diwaspadai masyarakat
khususnya kaum buruh? Bagaimana seharusnya buruh menyikapi hal tersebut?

Beberapa kalangan menganggap bahwa TKA tidak perlu dijadikan permasalahan. Pasalnya
jumlah TKA di Indonesia menurut data Kemenakertrans (2017) hanya sebanyak 85,9 ribu orang.
Sementara jumlah tenaga kerja Indonesia adalah 121 juta, itu artinya rasio TKA di Indonesia sebesar
0,07%.

Rasio tersebut terendah di kawasan ASEAN. Dibandingkan dengan Malaysia saja rasio TKA-
nya 12% dengan jumlah TKA 1,8 juta orang berbanding 15 juta tenaga kerja. Lalu jika dibandingkan
dengan Singapura di 2017 rasio TKA-nya mencapai 60,9% dengan jumlah TKA 1,4 juta orang dan
jumlah tenaga kerja 2,3 juta. Sementara rasio TKA Thailand 4,5%, Vietnam 0,14%. Rasio paling tinggi
menurut data MPS Census 2010 yaitu Qatar, yang rasio TKA-nya mencapai 94,5% dengan jumlah TKA
sebesar 1,2 juta orang dan tenaga kerja 1,3 juta orang. Lalu Uni Emirate Arab 96% dan Amerika Serikat
16,7%.

Di sisi lain, jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja ke luar negeri jumlahnya juga
fantastis. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, pada 2016 jumlah WNI yang berada di luar
negeri sebanyak 4,3 juta jiwa. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja migran. Tentu jumlah tersebut
selalu mengalam peningkatan setiap tahun. Pada 2017, menurut da BNP2TKI jumlah TKI di Malaysia
saja sebanyak 2,7 juta jiwa, Taiwan 248 ribu, Jepang 18 ribu, Hongkong 180 ribu, Korsel 42 ribu,
Singapura 160 ribu, dan yang berada di China sebesar 81 ribu TKI.

ARTIKEL 5

TRADE-OFF ANTARA PERLINDUNGAN TENAGA KERJA DAN PERLUASAN

KESEMPATAN KERJA

Perlunya kebijakan perlindungan tenaga kerja didasarkan pada kenyataan bahwa setiap pekerja
menghadapi berbagai risiko, baik di dalam maupun di luar pekerjaan. Risiko-risiko tersebut berpotensi
menurunkan tingkat kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Beberapa risiko pasar kerja (labor market
risks) yang utama adalah:

Risiko kehilangan pekerjaan (unemployment risks): Kehilangan pekerjaan dapat terjadi baik
karena faktor kinerja individu, kinerja perusahaan maupun karena faktor ekonomi makro. Kehilangan
pekerjaan akan berdampak secara langsung pada penurunan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Risiko kesehatan (health risks): Risiko kesehatan yang berdampak pada penurunan/kehilangan
sumber pendapatan dari seorang pekerja dapat terjadi baik pada saat sedang bekerja maupun di luar
pekerjaan.

Risiko penurunan upah riil (declining wage risks): Penurunan upah riil adalah penurunan daya
beli, sehingga secara langsung menurunkan tingkat kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Penurunan
upah riil dapat terjadi karena pemotongan tingkat upah atau karena laju inflasi yang lebih tinggi dari
kenaikan upah nominal.
Risiko usia lanjut (old-age risks): Dampak menjadi tua bagi seorang pekerja adalah
menurunnya tingkat produktivitas, dan kehilangan pekerjaan ketika kondisi fisik sebagai akibat faktor
usia tidak memungkinkan lagi bagi pekerja tersebut untuk bekerja. Ini berarti bahwa semakin tua
seorang pekerja akan menyebabkan risiko menurunnya/kehilangan pendapatan mereka.

Risiko-risiko tersebut dapat bersifat individual pekerja ataupun melibatkan banyak pekerja.
Munculnya risiko-risiko tersebut dapat berkaitan dengan kondisi individu, kondisi mikro perusahaan
ataupun kondisi perekonomian secara makro yang tidak menguntungkan. Oleh karenanya, tujuan dari
kebijakan perlindungan tenaga kerja adalah untuk meminimalkan dampak negatif dari berbagai risiko
pasar kerja terhadap kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Secara garis besar, kebijakan perlindungan pekerja dapat dikelompokkan ke dalam pengaturan
hubungan pekerjaan (employment relations) dan penyediaan jaminan sosial (social security).Kebijakan
hubungan pekerjaan atau hubungan industrial umumnya mencakup pengaturan dan syarat- syarat
hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja, mulai dari rekrutmen, interaksi selama masa kerja,
sampai dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Bentuk-bentuk jaminan sosial umumnya terdiri dari
tabungan wajib hari tua (provident fund), asuransi kesehatan (health insurance), asuransi kematian (life
insurance), kompensasi atau asuransi kecelakaan kerja (work accident insurance), pesangon untuk
pemutusan hubungan kerja atau asuransi pengangguran (unemployment insurance), dan lain-lain.

Biaya-biaya yang timbul sebagai akibat kebijakan perlindungan tenaga kerja baik dari sisi
pengaturan hubungan kerja maupun penyediaan jaminan sosial, ditanggung sepenuhnya atau sebagian
besar oleh pemberi kerja. Oleh karenanya, dilihat dari sudut pandang pemberi kerja penerapan
kebijakan ini menambah terhadap total biaya tenaga kerja (labor costs).

Sebagai akibat dari hal ini, apabila kebijakan pelindungan pekerja terlalu berlebihan maka dapat
timbul dampak negatif yang tidak diinginkan. Dari sudut pandang pemberi kerja, meningkatnya total
biaya tenaga kerja yang terlalu besar dapat menjadi hambatan (disincentive) terhadap penciptaan
kesempatan kerja. Sebaliknya bagi pekerja, kebijakan pelindungan pekerja yang terlalu berlebihan
dapat menjadi hambatan untuk bekerja. Bagi perekonomian secara makro, hal ini dapat menciptakan
kekakuan (inflexibility) dalam pasar kerja.

Berbagai fakta di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan perlindungan tenaga kerja
yang berlebihan dapat berdampak negatif terhadap kesempatan kerja (Suharyadi,2003). Di negara-
negara Eropa Barat, penerapan kebijakan pemberian tunjangan pengangguran yang relatif tinggi
(generous) telah berdampak pada tingginya tingkat pengangguran. Di Bangladesh, kebijakan yang
melarang pekerja anak di bawah usia 15 tahun, berdampak pada pemecatan pekerja anak secara besar-
besaran yang justru menyebabkan anak-anak ini terpaksa menjadi anak-anak jalanan dan berubah
profesi menjadi pengemis atau pekerja seks komersial. Demikian juga, larangan bagi pemberi kerja
untuk merekrut pekerja yang bukan anggota serikat pekerja di sektor pelabuhan di Australia
menyebabkan pasar kerja di sektor ini menjadi bersifat monopsonistik sehingga efisiensi sektor secara
keseluruhan menjadi rendah. Studi pada skala makro pada 48 negara juga menunjukkan fakta adanya
hubungan negatif antara banyaknya kebijakan perlindungan tenaga kerja dengan pertumbuhan
kesempatan kerja dan kenaikan upah riil.

Oleh karena itu, pembuatan kebijakan perlindungan pekerja perlu didasarkan pada kebutuhan
riil pekerja terhadap perlindungan, dengan memperhitungkan seberapa besar dan siapa yang akan
menanggung biaya kebijakan yang dibuat, dan memperhatikan kondisi perekonomian secara
keseluruhan. Di samping itu, perlu pula diperhatikan agar kebijakan perlindungan pekerja yang dibuat
tidak memperbesar diskriminasi antara pekerja yang terlindungi (pekerja sektor formal) dan pekerja
yang tidak terlindungi (pekerja sektor informal) oleh kebijakan tersebut.

Вам также может понравиться