Вы находитесь на странице: 1из 25

BAB I

PENDAHULUAN

Ikterik neonatorum dapat terjadi secara fisiologis maupun patologis. Ikterik


yang terjadi secara fisiologis umumnya menghilang dalam 2 minggu kehidupan.
Ikterik yang terus berlanjut dan progresif menandakan adanya suatu proses patologis
yang terjadi, salah satunya adalah kolestasis. Kolestasis neonatal merupakan kondisi
ikterik yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi. Insiden
kolestasis neonatal mencapai 1 dari 2500 bayi baru lahir, Dari berbagai etiologi yang
dapat mendasari kolestasis neonatal, atresia bilier merupakan penyebab tersering dari
terjadinya kolestasis, yakni sekitar 35%-41% dari seluruh kasus kolestasis neonatal.
Kejadian atresia bilier dilaporkan antara 1:8000 sampai 1:18000 kelahiran hidup .1,2
Atresia bilier merupakan kondisi yang ditandai dengan obstruksi dan
obliterasi fibrotik progresif saluran bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan
terjadinya hambatan aliran empedu.1,2,3 Penyebab asli atresia bilier belum diketahui
secara pasti. Beberapa teori mengatakan atresia bilier terjadi akibat proses inflamasi
yang terjadi secara terus menerus sehingga menyebabkan kerusakan progresif pada
duktus bilier ekstrahepatik.3 Gejala awal atresia bilier pada mulanya seringkali sulit
dibedakan dengan kondisi ikterus lainnya sehingga seringkali terjadi keterlambatan
diagnosis dan tatalaksana, padahal prosedur bedah untuk mengatasi atresia bilier
sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Keterlambatan penatalaksanaan atresia bilier
dapat menyebabkan kegagalan fungsi hati terminal.3
Atas dasar pentingnya diagnosis dini dan penatalaksanaan segera, penulis
tertarik untuk melakukan pembuatan laporan kasus mengenai atresia bilier.
Pembahasan tentang atresia bilier ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang
penegakan diagnosis dan langkah tatalaksana dalam mencegah terjadinya komplikasi
lebih lanjut dari atresia bilier.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTIFIKASI
Nama : By. AS
Umur / Tanggal Lahir : 1 bulan 4 hari (3 November 2018)
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Desa Tanjung Atap Barat
Suku Bangsa : Sumatera Selatan
Dikirim oleh : Datang sendiri
MRS : 06 Desember 2018 (22:35)

B. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dengan ibu kandung penderita, 06 Desember 2018 pukul 22.35
WIB)
Keluhan Utama : Badan kuning
Keluhan Tambahan : Perut kembung

Riwayat Perjalanan Penyakit


Ibu pasien mengeluh badan anaknya terlihat kuning sejak kisaran 2 hari
sebelum masuk rumah sakit, semakin lama semakin bertambah kuning. Kuning
awalnya dirasakan di kelopak mata, kemudian bertambah hingga ke seluruh
tubuh. Ibu os juga mengeluh perut anaknya terlihat semakin kembung sejak 1
minggu ini. Buang air besar tampak berwarna pucat sepertu dempul, frekuensi
kurang lebih 4 kali per hari, konsistensi lunak. Buang air kecil berwarna gelap
seperti teh, jumlah dan frekuensi biasa. Demam ada sejak sejak 1 minggu yang
lalu, demam dirasakan naik turun. Mimisan dan gusi berdarah disangkal. Batuk
dan pilek ada sejak 1 minggu yang lalu. Mual dan muntah disangkal. Os dibawa
ke dokter dan mendapat obat, namun tidak ada perbaikan.
Selama hamil, ibu os mengaku sehat, riwayat sakit kuning saat hamil
disangkal, riwayat makan makanan setengah matang disangkal, riwayat
memelihara kucing disangkal. Ibu os kontrol rutin ke bidan. Os dilahirkan dari ibu
G4P3A0, lahir cukup bulan melalui persalinan spontan di bidan, langsung
menangis kuat, berat lahir 4500 gram, panjang lahir ibu os lupa.

Riwayat Penyakit Dahulu


Disangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga dan Lingkungan sekitar


Riwayat keluhan yang sama pada keluarga tidak ada

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Kehamilan
Perawatan Antenatal : Rutin periksa ke bidan
Penyakit Kehamilan : Tidak ada
Kelahiran (lahir dari ibu G4P3A0)
Tempat kelahiran : Klinik
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Pervaginam
Masa gestasi : Aterm usia gestasi 39 minggu
Keadaan bayi
 Berat badan lahir : 4500 gram
 Panjang badan lahir : ibu os lupa
 Lingkar kepala : ibu os lupa
 Langsung menangis : ya
 Nilai APGAR : ibu tidak tahu
 Kelainan bawaan : tidak ada
 Inisiasi Menyusu Dini : Ada
Kesan : riwayat kelahiran baik

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Pertumbuhan:
Berat badan lahir 4500 gram. Panjang badan ibu os lupa.
Berat badan sekarang 4575 gram. Tinggi badan 47 cm.
Perkembangan:
Pertumbuhan gigi pertama : belum ada
Psikomotor
 Tengkurap dan berbalik sendiri : belum bisa
 Duduk : belum bisa
 Merangkak : belum bisa
 Berdiri : belum bisa
 Berjalan : belum bisa
 Berbicara : belum bisa
 Membaca : belum bisa
Motorik halus : belum bisa
Sosial adaptif : belum bisa
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan usia.

Riwayat Makan
 ASI Eksklusif : Ya
 ASI : Ya
 Susu Formula : tidak ada
 Bubur susu : belum diberikan
 Nasi tim : belum diberikan
 Nasi biasa : belum diberikan
Kesan : Kualitas makanan baik

Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR
Vaksin I II III IV
HB0
BCG
DPT
HEPATITIS B
Hib
Polio
Campak
Kesan :
Imunisasi dasar : tidak diberikan
Imunisasi non-PPI : tidak diberikan

C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan: 06 Desember 2018
Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Nadi : 138 x/menit, reguler, isi dan tegangan: cukup
Pernapasan : 32 x/menit
Suhu : 37,7°c
SpO2 : 99%
Data Antropometri
Berat Badan : 4,575 kg
Tinggi Badan : 49 cm
Status Gizi : BB/U : 0 sd -2 SD
TB/U : 0 sd 2 SD
BB/TB : -2 SD

Keadaan Spesifik
 Kepala
Bentuk : Normocephali
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut, UUB sedikit cekung
Mata : Pupil bulat, isokor, reflek cahaya (+/+), konjungtiva anemis
(+), sklera ikterik (+), mata cekung (-), air mata kering (-).
Hidung : Sekret (-), napas cuping hidung (-)
Telinga : Sekret (-)
Mulut : Sianosis (-), edema (-), mukosa mulut kering (+)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
 Thorak
Paru-paru
- Inspeksi : statis, dinamis simetris, retraksi (-/-)
- Palpaasi : stem fremitus tidak dilakukan
- Perkusi : tidak dilakukan
- Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
Jantung
- Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus kordis teraba di ICS IV linea midklavikula sinistra
- Perkusi : tidak dilakukan
- Auskultasi : HR: 138 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal, murmur (-),
gallop (-)
 Abdomen
- Inspeksi : cembung/distensi (+)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : tegang, hepar dan lien sulit dinilai, turgor baik (cubitan kulit
perut kembali lambat < 2 detik)
- Perkusi : timpani
 Lipat paha : pembesaran KGB (-)
 Genitalia : tidak ada kelainan
 Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
Akral pucat -/- -/-
CRT <2 detik <2 detik
Oedem -/- -/-

Pemeriksaan Neurologis
Fungsi Motorik :
Tungkai Lengan
Pemeriksaan Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Cukup Cukup Cukup Cukup
Kekuatan +5 +5 +5 +5
Tonus Baik Baik Baik Baik
Klonus - -
Refleks fisiologis +N +N +N +N
Refleks patologis - - - -

Fungsi sensorik : belum dapat dinilai


Fungsi nervi kraniales : belum dapat dinilai
Gejala rangsang meningeal : kaku kuduk (-), Brudzinsky I, II (-), Kernig
sign (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Hasil
Jenis Pemeriksaan Rujukan
(06-12-2018)
HEMATOLOGI
Hemoglobin (Hb) 4,9 gr/dL 10,3-17,9/dL
Eritrosit (RBC) 1,57 x 106/uL 3.70-5,20 x 106/mm3
Leukosit (WBC) 12,2 x 103/uL 5,5-18,0 x 103/mm3
Hematokrit 14% 32-46%
Trombosit (Plt) 358 x 103/µL 229 – 553 x 103/µL
Hitung Jenis Leukosit 0,1/0,2/63,4/31,9/4,4 0-1/0-4/30-40/40-60/2-6
LED 47 0-10
MCV 89,2 70-86
MCH 31,2 24-32
MCHC 35 30-36
Golongan darah A A
rhesus + +
KIMIA DARAH
Bilirubin total 9,51 0,2-1 mg/dL
Bilirubin direk 9,15 0-0,30 mg/dL
Bilirubin indirek 0,36 0,1-1 mg/dL
SGOT 106 < 32 u/L
SGPT 57 < 33 u/L
Alkali fosfatase 68 35-105 u/L
Ureum darah 47,6 16,6-48,5 mg/dL
Gamma GT 233 5-36 u/L

IMUNOSEROLOGI
CRP 99 <5 mg/L
Pemeriksaan Feses
Konvensional
Jenis Pemeriksaan Hasil
Rujukan Satuan
(06-12-2018)
Tinja
Makroskopik:
Warna Kuning pucat coklat
Konsistensi Lembek
Lendir Negatif
Mikroskopik: Negatif
amoeba Negatif Negatif /Lp
eritrosit 0-1 Negatif /Lp
leukosit 0-1 Negatif
telur cacing negatif Negatif
sisa makanan: negatif Negatif
amilum Negatif Negatif
lemak Negatif Negatif
serat Negatif Negatif

Radiologi
USG Abdomen, Hepar, dan Bilier
Temuan:
 Gambaran usus sangat prominen
 Hepar dan gall blader dalam batas normal
 Pankreas tidak tervisualisasi
 Tidak tampak adanya kelainan pada organ-organ abdomen lainnya yang
tervisualisasi.

E. DAFTAR MASALAH
1. Ikterik
2. Distensi abdomen
3. Anemia
F. DIAGNOSIS BANDING
1. Ikterik ec. suspek atresia bilier
2. Ikterik ec. suspek kista koledokus
3. Ikterik ec. suspek

G. DIAGNOSIS KERJA
Ikterik ec. Suspek atresia bilier

H. TATALAKSANA
TERAPI
 Transfusi PRC 2X50 cc
 Drip Paracetamol 3 x 50 mg

PEMERIKSAAN ANJURAN
 MRCP

Keluarga pasien menolak untuk dilakukan pemeriksaan dan penatalaksanaan


lebih lanjut. Keluarga pasien meminta agar pasien dipulangkan dan bersedia
mengisi surat keterangan pulang paksa.

I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanationam : dubia
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan fisiologi sistem bilier


Sistem bilier ekstrahepatik dibentuk oleh:
1. Vesica Fellea
Vesica fellea merupakan organ berbentuk buah pir yang dapat menyimpan
sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses pencernaan. Panjang
kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan berwarna hijau gelap yang
disebabkan warna cairan empedu yang dikandungnya. Secara anatomis, vesica
fellea terdiri atas fundus, corpus dan collum.4
2. Duktus Sistikus
Duktus sistikus merupakan lanjutan dari vesica fellea, terletak pada porta hepatis.
Panjangnya kira-kira 3 – 4 cm. Pada porta hepatis, duktus sistikus mulai dari
collum vesicae fellea, kemudian berjalan ke posterokaudal di sebelah kiri collum
vesicae fellea.4
3. Duktus Hepaticus
Duktus hepatikus berasal dari lobus dextra dan lobus sinistra hepar yang
kemudian bersatu membentuk duktus hepaticus communis pada porta hepatis
dekat pada processus papillaris lobus caudatus. Panjang duktus hepaticus
communis kurang lebih 3 cm. Duktus hepatikus akan bersatu dengan duktus
sistikus menjadi duktus choledochus.4
4. Duktus Koledokus
Duktus koledokus mempunyai panjang kira-kira 7 cm dibentuk oleh persatuan
duktus cysticus dengan duktus hepaticus communis pada porta hepatis. Dalam
perjalanannya, duktus koledokus bersatu dengan duktus pancreatikus Wirsungi
pada caput pancreatik membentuk ampulla, kemudian bermuara pada dinding
posterior pars descendens duodeni membentuk suatu tonjolan ke dalam lumen,
disebut papilla duodeni major.4

Gambar 1. Anatomi Vesica biliaris

3.2 Definisi Atresia Bilier


Atresia bilier merupakan suatu proses kolangiopati akibat obstruksi dan
obliterasi fibrotik dari saluran bilier sehingga menyebabkan terjadinya hambatan
dalam aliran empedu dan peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi. Atresia bilier
memiliki distribusi geografis yang luas dan terjadi pada 5000-18000 kelahiran hidup.5
Atresia bilier merupakan proses patologis yang paling sering menyebabkan terjadinya
penyakit hati terminal. Kerusakan hati akan terjadi secara progresif dan cepat
sehingga jika tidak ditatalaksana dengan segera dapat memicu perkembangan
hipertensi portal, kegagalan fungsi hepar, dan meningkatkan resiko kematian dalam 2
tahun pertama kehidupan.6 Atresia bilier juga menjadi penyebab utama dari
kebutuhan transplantasi hati pada anak-anak, yaitu sekitar 40-50% dari seluruh kasus
transplantasi hati.5,7
Pasien dengan atresia bilier dibagi menjadi 2 kelompok yaitu atresia bilier tipe
perinatal yang terjadi pada 65-90% kasus dan atresia bilier embrionik/fetal yang
terjadi pada 10-30% kasus.6,7,8 Pada atresia bilier tipe perinatal, gambaran klinis
ikterik umumnya muncul pada bayi usia 2-8 minggu. Gambaran klinis yang muncul
pada bayi yang sebelumnya sehat menandakan adanya proses patologis postnatal
yang menyebabkan terjadinya inflamasi, obstruksi fibrotik saluran empedu sehingga
berujung pada kerusakan saluran empedu.6 Pada atresia bilier tipe embrionik/fetal,
gejala klinis ikterik muncul saat usia bayi <2 minggu, bahkan sudah tampak pada saat
lahir. Atresia bilier tipe ini juga sering disertai dengan kelainan kongenital lainnya
seperti situs inversus, asplenia, double spleen, polisplenia, atau malrotasi usus.7,8,9

3.3 Etiopatogenesis
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan
bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom
trisomi 17,18 dan 21. Namun, beberapa penulis lain berpendapat bahwa atresia bilier terjadi
akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier.10 Pemeriksaan histologis pada saluran
empedu yang telah dieksisi dan pada pemeriksaan postmortem menunjukan bahwa lebih
banyak kasus atresia bilier yang terjadi akibat proses inflamasi dibandingkan dengan
kegagalan primer dari proses perkembangan embriologis.6
Proses inflamasi yang berkepanjangan menyebabkan duktus bilier
ekstrahepatik mengalami kerusakan secara progresif. Pada keadaan lanjut proses
inflamasi menyebar ke duktus bilier intrahepatik, sehingga akan mengalami
kerusakan yang progresif pula. Sisa jaringan fibrosis akibat peradangan
mengakibatkan sumbatan total pada sekurang-kurangnya satu bagian sistem bilier
ekstrahepatik. Duktus intrahepatik, yang memanjang hingga ke porta hepatis, pada
awalnya paten hingga beberapa minggu pertama kehidupan tetapi dapat rusak secara
progresif oleh karena serangan agen yang sama dengan yang merusak ductus
ekstrahepatik maupun akibat efek racun empedu yang tertahan lama dalam ductus
ekstrahepatik.11
Inflamasi aktif dan progresif yang terjadi pada penyakit atresia bilier merupakan
suatu lesi dapatan yang tidak melibatkan satu faktor etiologik saja. Namun agen
infeksius dianggap lebih memungkinkan menjadi penyebab utamanya, terutama pada
kelainan atresia yang terisolasi. Beberapa penelitian terbaru telah mengidentifikasi
peningkatan titer antibodi terhadap retrovirus tipe 3 pada pasien - pasien yang
mengalami atresia. Peningkatan itu terjadi pula pada rotavirus dan sitomegalovirus.6
Berikut beberapa faktor yang dinilai berperan terhadap etiopatogenesis terjadinya
atresia bilier.
1. Respon imunitas tubuh
Ditemukannya infiltrate mononuclear pada saluran empedu intrahepatik yang
mengalami gangguan dan pada epithelium bilier menjadi bukti adanya peran
respon imunitas terhadap atresia bilier. Meskipun mekanisme dan faktor
pencetus respon imun masih belum diketahui secara pasti, beberapa teori
menyatakan bahwa inisiasi antigen terhadap saluran empedu akan memicu
munculnya sel T limfosit oleh antigen presenting cells. Sel limfosit Th1 lalu
akan memicu inflamasi lebih lanjut dengan melepaskan sitokin proinflamasi
dan sel T sitotoksik yang berakibat pada kerusakan saluran empedu dan
parenkim hati. Teori ini didukung dengan adanya temuan berupa peningkatan
kadar limfosit (CD4+ dan CD8+), IL-2, interferon-γ, TNF-α, dan IL-12 pada
penderita atresia bilier dibandingkan dengan hepar normal dan penyakit
kolestasis lainnya.6
2. Infeksi virus
Terdapat banyak virus yang dinilai berperan dalam terjadinya atresia bilier,
namun beberapa penelitian lebih menekankan reovirus dan rotavirus sebagai
virus yang paling sering menyebabkan terjadinya atresia bilier. Beberapa
penelitian dilakukan dengan menginokulasikan reovirus tipe III ke dalam
hepar tikus yang dinilai mirip dengan hepar manusia. Hasil penelitian
menunjukkan timbulnya hepatitis, nekrosis epitel bilier intrahepatik dan
ekstrahepatik saluran empedu, diikuti dengan edema dan inflamasi saluran
empedu. Inokulasi reovirus yang berulang menyebabkan terjadinya fibrosis
saluran empedu ekstrahepatik, namun tidak disertai dengan progresi ke arah
obstruksi ireversibel. Di sisi lain, inokulasi rotavirus ke dalam hepar,
menyebabkan terjadinya inflamasi saluran bilier ekstrahepatik yang progresif
disertai dengan obliterasi fibrotik saluran bilier dan perubahan histologis
intrahepatik. Namun, upaya deteksi adanya reovirus dan rotavirus pada
pasien yang mengalami atresia bilier belum menunjukan hasil yang
signifikan sehingga peran infeksi virus dalam atresia bilier manusia dinilai
masih belum pasti.6
3. Faktor lingkungan
Beberapa faktor eksogen dinilai berperan terhadap terjadinya atresia bilier,
seperti penggunaan obat-obatan selama kehamilan (amfetamin dan alcohol),
mikotoksin, produk toksin agricultural, dan toksin industrial.Namun, belum
ada hasil yang signifikan terhadap peran faktor tersebut terhadap terjadinya
atresia bilier.
4. Kelainan vaskular
Saluran bilier menerima aliran darah secara eksklusif dari arteri. Adanya
gangguan aliran darah arteri dapat memicu terjadinya nekrosis dan
pembentukan obliterasi fibrotic dari saluran bilier ekstrahepatik. Beberapa
penelitian menunjukkan adanya hipertrofi arteri hepatik pada bayi dengan
atresia bilier. Penebalan arteri pada studi imaging penderita atresia bilier juga
memperkuat teori kelainan vaskuler terhadap terjadinya atresia bilier.6

3.4 Klasifikasi
Berdasarkan letak terjadinya sumbatan, atresia bilier diklasifikasikan menjadi 4
tipe, sebagai berikut.
Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :
Klasifikasi Penjelasan Gambar
I Atresia (sebagian atau
total) duktus bilier
komunis, namun segmen
proksimal paten.

IIa Obliterasi pada duktus


hepatikus komunis. Duktus
bilier komunis, duktus
cystikus, dan kandung
empedu semuanya normal.

IIb Obliterasi pada duktus


bilier komunis, duktus
hepatikus komunis,duktus
cystikus. Kandung empedu
normal.
III Semua sistem duktus bilier
ekstrahepatik mengalami
obliterasi sampai ke hilus.

Gambar 2. Gambaran klasifikasi Atresia Bilier menurut Kasai.

3.5 Diagnosis
3.5.1 Gambaran Klinis
Anamnesis
Gejala utamanya pada pasien atresia bilier antara lain ikterus yang
bisa muncul segera atau beberapa minggu setelah lahir, urin yang
menyerupai teh pekat dan feses warna dempul, serta kadang disertai dengan
hepatomegali. Pada atresia bilier tipe embrionik/fetal dapat ditemukan juga
adanya kelainan kongenital lainnya, seperti asplenia, polisplenia, malrotasi
usus, hingga kelainan jantung kongenital.6 Pada kebanyakan kasus, atresia
bilier ditemukan pada bayi yang aterm, meskipun insidens yang lebih tinggi
lagi ditemukan pada yang BBLR (bayi berat lahir rendah). Nafsu makan,
pertumbuhan dan pertambahan berat badan biasanya normal.11,12,13

Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisik tidak dapat mengidentifikasi semua kasus Atresia
Bilier. Tidak ada temuan patognomonik yang dapat digunakan untuk
mendiagnosisnya. Beberapa tanda klinis yang dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisik atresia bilier, antara lain:4,14
 Hepatomegali dapat ditemukan lebih dahulu pada palpasi abdomen.
Splenomegali juga dapat ditemukan, dan apabila sudah ada
splenomegali, maka kita dapat mencurigai telah terjadi sirosis
dengan hipertensi portal.
 Ikterus yang memanjang pada neonatus, lebih dari 2 minggu
 Pada pasien dengan sindrom asplenia, dapat ditemukan garis tengah
hepar pada palpasi di area epigastrium.
 Ada kemungkinan terjadi kelainan kongenital lain seperti penyakit
jantung bawaan, terutama apabila ditemukan bising jantung pada
pemeriksaan auskultasi.

3.5.2 Pemeriksaan Laboratorium


Semua kondisi ikterik yang memanjang perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium, terutama kadar bilirubin, untuk mengetahui apakah
penyebab dari ikterik yang terjadi. Adanya peningkatan kadar serum
bilirubin terkonjugasi > 1 mg/dL dengan kadar total bilirubin <5 mg/dL,
atau fraksi bilirubin terkonjugasi > 20% dari total, bili kadar bilirbun total
> 5 mg/dL mengindikasikan adanya kolestasis neonatal.1
Selain kadar bilirubin, pemeriksaan hematologi lainnya perlu
dilakukan untuk mengetahui kondisi dan adanya komplikasi.
Pemeriksaan hematologi tersebut meliputi jumlah retikulosit, parameter
koagulasi, parameter hemolisis, lipase, glukosa, dan ammonia.1
Pemeriksaan kadar transaminasi dan alkaline phosphatase juga dilakukan
pada pasien yang dicurigai mengalami kolestasis. Namun, pemeriksaan
biokimia tersebut dinilai kurang dapat membedakan secara akurat antara
atresia bilier dengan penyebab kolestasis lain pada neonatus.
Pemeriksaan γ-glutamyltranspeptidase (GGTP) dapat dilakukan untuk
membedakan penyebab kolestasis yang terjadi. GGTP merupakan protein
membrane integral pada kanalikuli bilier. GGTP mengalami peningkatan
pada semua kondisi yang berkaitan dengan obstruksi bilier. Adanya
peningkatan kadar GGTP mengindikasikan adanya atresia bilier,
sedangkan penurunan kadar atau nilai normal dari GGTP
mengindikasikan bahwa kolestasis disebabkan oleh faktor lain seperti
kolestasis familial progresif atay gangguan sintesis asam empedu.6,11
Kadar GGTP juga dapat menjadi faktor pembeda antara ikterik yang
disebabkan oleh atresia bilier dan hepatitis kongenital.14
Riwayat kehamilan, riwayat neonates, dan hasil pemeriksaan fisik
dapat dijadikan rujukan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium
lanjutan untuk mendeteksi adanya penyebab lain kolestasis seperti
defisiensi α1-antitripsin, kolestasis familial, fibrosis sistikus, ataupun
sindroma Allagile.6

3.5.3 Pemeriksaan Radiologis


 Ultrasonography / Color Doppler Ultrasonography
Kecurigaan adanya kolestasis neonatal perlu dikonfirmasi dengan
pemeriksaan ultrasonografi sebagai pemeriksaan awal yang bersifat
noninvasif. USG abdomen dilakukan untuk menilai faktor penyebab
obstruksi pada kolestasis seperti kista koledokus atau batu empedu.14
Pada atresia bilier, pemeriksaan USG dapat menunjukkan ketiadaan
kantung empedu dan tidak berdilatasinya jalur bilier. USG preprandial
dan post prandial dilakukan untuk mendemonstrasikan kontraksi
fisiologis kantung empedu. Adanya struktur ekhogenik triangular pada
periportal pada hilum hepar yang disebut triangular cord sign dapat
ditemui pada kasus atresia bilier. Sayangnya, sensitifitas dan
spesifisitas temuan ini, bahkan untuk di pusat pemeriksaan yang
berpengalaman, tidak mencapai 80%. Selain itu, pemeriksaan
sonografi bersifat operator-dependent. Karena alasan ini, USG
dianggap tidak menunjang untuk mengevaluasi atresia bilier.14,15
 Hepatobiliary scintiscanning (HSS)
Hepatobiliary scintigraphy selama beberapa tahun digunakan sebagai
modalitas untuk mendiagnosis atresia bilier.13 Sensitivitas dari
scintigraphy untuk mendiagnosis atresia bilier terlihat cukup tinggi
dari 2 retrospektif yaitu 83% sampai 100%. Akan tetapi spesifitas dari
modalitas in sedikit berkurang yakni sekitar 33% sampai 80%. Jika
ekskresi dari radiotracer terlihat/keluar maka diagnosis atresia bilier
dapat dikeluarkan. Namun jika radiotracer tidak terlihat dalam 24 jam
ataupun setelahnya (seperti gambar dibawah ini), dapat dicurigai
atresia bilier.6
 Magnetic Resonance Cholangiography (MRC)
MRCP adalah modalitas pencitraan sangat handal invasif untuk
diagnosis atresia bilier Saluran empedu extrahepatic termasuk
kandung empedu, saluran kistik, saluran empedu umum, dan saluran
hepatik umum divisualisasikan. Saluran empedu extrahepatic, kecuali
kandung empedu, tidak digambarkan. MRCP memiliki akurasi 98%,
sensitivitas 100% dan spesifisitas 96%, untuk diagnosis atresia bilier
sebagai penyebab ikterus kolestasis.1,14
 Cholangiography Intraoperatif
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan standar emas dengan tingkat
akurasi 100% yang dapat menunjukan adanya kelainan anatomis
traktus biliaris. Pemeriksaan ini dilakukan ketika pemeriksaan
radiologi lain gagal menunjukkan hasil yang adekuat. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan metode memasukkan kontras radioopak ke dalam
saluran empedu lalu kemudian difoto X-Ray ketika laparotomi
eksploratif dilaksanakan. Diagnosis atresia bilier dapat ditegakkan
apabila kontras tidak mengisi saluran bilier. Jika tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan kolangiogram intraoperatif, maka biopsy
hepar dilakukan kemudian luka operasi ditutup.2,10,14

3.6 Diagnosis Banding


 Kista koledokus
 Massa (neoplasma, batu)
 Hepatitis neonatal idiopatik
 Dysplasia arteriohepatik (sindrom Alagille)
 Penyakit caroli ( pelebaran kistik pada duktus intrahepatik)
 Hepatitis

3.7 Penatalaksanaan
3.7.1 Terapi medikamentosa
Adapun tujuan utama pemberian terapi medikamentosa pada penderita
atresia bilier adalah untuk melindungi hati dari zat toksik dengan
memberikan Asam ursodeoksikolat, 8-12mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis
peroral. Asam ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap
asam litokolat yang hepatotoksik.

3.7.2 Terapi Bedah


Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan, maka segera dilakukan
intervensi bedah Kasai portoenterostomi. Pembedahan ini merupakan lini
utama dalam menatalaksana atresia bilier. Tujuan dari bedah Kasai ialah
untuk mengalirkan asam empedu dari hepar menuju usus. Pembedahan akan
berhasil jika dilakukan sebelum bayi berusia 8 minggu.
Keluaran hasil operasi Kasai dievaluasi dengan hilangnya gejala ikterik
dan penurunan kadan bilirubin <2 mg/dL dalam 3 bulan. Ada banyak faktor
yang mempengaruhi keberhasilan dari operasi Kasai. Pada atresia bilier tipe
3, prognosis setelah dilakukan operasi Kasai biasanya buruk mengingat
atresia bukan hanya terjadi pada saluran ekstrahepatik, melainkan juga pada
duktus hilus hepar. Prognosis juga lebih buruk pada atresia bilier tipe
fetal/embrional. Gambaran histologist seperti malformasi lempeng duktus,
dilatasi kistik sistem bilier intrahepatik, dan pembentukan kumpulan asam
empedu juga memberikan prognosis yang buruk meski telah dilakukan
operasi Kasai. Usia pasien saat dilakukan operasi Kasai juga memegang
peranan penting dalam tingkat keberhasilan operasi. Studi penelitian di
Jepang menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan semakin baik apabila
dilakukan sebelum usia 30 hari, dan semakin memburuk apabila dilakukan
setelah usia >90 hari.14
Prosedur Kasai tidak bisa dilakukan pada semua pasien. Terdapat
beberapa kontraindikasi untuk dilakukannya prosedur Kasar seperti
gangguan koagulopati yang tak bisa dikoreksi, kadar albumin yang rendah,
ascites, dan hipertensi portal. Operasi Kasai memiliki tingkat mortalitas dan
morbiditas yang tinggi pada kelompok pasien ini.14
Jika hepar sudah tidak berfungsi lagi, maka satu-satunya pilihan
pengobatan adalah pencangkokkan atau transplantasi hepar. Transplantasi
hepar memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia bilier dan
kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam
beberapa tahun terakhir. Transplantasi hepar diindikasikan untuk dilakukan
dalam beberapa kondisi, seperti:
1. Diagnosis atresia bilier yang terlambat. Pasien pada tipe ini umumnya
datang dalam usia 1 tahun dengan ikterik disertai dengan sirosis hepatis.
Pasien yang sudah mengalami sirosis sulit untuk dilakukan operasi
Kasai karena dapat menimbulkan dekompensasi hepar. 14
2. Pasien yang mengalami kegagalan fungsi sintesis meski sudah dilakukan
prosedur Kasai.14
3. Gagal tumbuh. Anak-anak dengan gangguan aliran empedu meski sudah
dilakukan prosedur Kasai akan berkomplikasi pada malabsorbsi dan
malnutrisi energi protein sehingga menyebabkan terjadinya gagal
tumbuh dan kembang. Selain itu, defisiensi zat-zat biokimia dan nutrisi
seperti vitamin, besi, dan zinc juga dapat terjadi.
4. Pasien yang telah mengalami perbaikan pasca operasi Kasai, namun
mengalami episode kolangitis berulang, hipertensi portal, dan sindrom
hepatopulmonar. Kolangitis berulang dapat meningkatkan resiko
kegagalan hepar hingga 3,5 kali lipat. Transplantasi hepar dapat
dipikirkan apabila kolangitis masih terjadi meski sudah mendapatkan
terapi intravena yang adekuat, sepsis yang mengancam nyawa, dan
gangguang kualitas hidup akibat hospitalisasi berulang.14

Gambar. Type 4: hepatic portoenterostomy (Kasai’s procedure).

3.8 Prognosis
Sebelum ditemukan transplantasi hati sebagai terapi pilihan pada anak dengan
penyakit hati stadium akhir, angka kelangsungan hidup jangka panjang pada anak
penderita atresia bilier yang telah mengalami portoenterostomi adalah 47-60%
dalam 5 tahun dan 25-35% dalam 10 tahun.11,13,15
Sepertiga dari semua pasien yang telah melakukan operasi portoenterotomy ,
mengalami gangguan aliran empedu setelah mendapat terapi bedah, sehingga
anak-anak ini terpaksa menderita komplikasi sirosis hepatis pada beberapa tahun
pertama kehidupan mereka meskipun operasi Kasai sudah dilakukan. Komplikasi
yang dapat terjadi setelah portoenterostomi antara lain kolangitis (50%) dan
hipertensi portal (>60%).11,13

Dapus:
1. NEONATAL CHOLESTASIS (FPED)
2. PERAN OP KASAI
3. ATRESIA BILIER. JULINAR
4. Sjamsul, A. Deteksi dini kolestasis neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu
kesehatan anak FK UNAIR. Surabaya. 2006. Available from;// www.
Pediatrik.com/pkb/20060220ena504.pkb. pdf
5. Recent advances in pathogenesis
6. Biliary atresia. A multidisciplinary approach (arpa)
7. Biliary atresia: will blocking inflammation (nihms 610997).
8. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. Biliary Atresia.
USA : 2012. Available from : url :
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/atresia/BiliaryAtresia.pdf
9. Cincinnati Children’s Hospital Medical Center. Biliary Atresia. 2010. Available from
: url : http://www.cincinnatichildrens.org/svc/alpha/l/liver/diseases/biliary.htm
10. Parlin Ringoringo. Atresia Bilier. Ilmu Kesahatan Anak, FKUI, RSCM, Jakarta.
Available from : url :
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15AtresiaBilier086.pdf/15AtresiaBilier086.htm
l
11. Shneider BL, Brown MB, Haber B, Whitington PF, Schwartz K, Squires R,
dkk. A multicenter study of the outcome of biliary atresia in the United States,
1997 to 2000. J Pediatr 2006;148:467-74.
12. Serinet M, Wildhaber BE, Broué P, Lachaux A, Sarles J, Jacquemin E, dkk.
Impact of age at Kasai operation on its results in late childhood and
adolescence: A rational basis for biliary atresia screening. Pediatrics
2009;123:1280-6.
13. Hung P, Chen C, Chen W, Lai H, Hsu W, Lee P, dkk. Long-term prognosis of
patients with biliary atresia:A 25 year summary. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2006;42:190-5.
14. RECENT TRENDS
15. Medscape

Вам также может понравиться