Вы находитесь на странице: 1из 22

LAPORAN STUDI KASUS

PADA PENERIMA MANFAAT “SA”


DENGAN DISABILITAS INTELEKTUAL
BBRSPDI KARTINI DI TEMANGGUNG

Disusun Oleh :
Andi Saputro

P1337423716009

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG


PRODI DIV KEPERAWATAN MAGELANG
TAHUN 2019
BAB I
TINJAUAN TEORI

A. Teori secara Psikologis Disabilitas Intelektual


1. Definisi Disabilitas Intelektual
Disabilitas intelektual ditandai dengan gangguan fungsi kognitif secara
signifikan dan termasuk komponen yang berkaitan dengan fungsi mental dan
keterampilan fungsional suatu individu di lingkungan mereka. Orang dengan
disabilitas intelektual dapat belajar keterampilan baru tetapi lebih lambat
dibandingkan dengan orang normal. WHO (World Health Organization)
menggambarkan disabilitas intelektual sebagai gangguan yang ditandai oleh
adanya perkembangan mental yang tidak lengkap atau terhambat, terutama
karena penurunan fungsi pada setiap tahap perkembangan yang berkontribusi
terhadap keseluruhan tingkat kecerdasan, seperti kognitif, bahasa, motorik, dan
fungsi sosialisasi
Disabilitas merupakan kondisi yang menggambarkan adanya disfungsi
atau berkurangnya suatu fungsi yang secara objektif dapat diukur atau dilihat,
karena adanya kehilangan atau kelainan dari bagian tubuh atau organ seseorang
(Mangunsong, 2009).
Berkurangnya kapasitas untuk beraksi dalam cara tertentu. Menurut
Mangunsong (2009), adapun prinsip-prinsip yang harus diperhatikan sebagai
upaya pendampingan pada anak berkebutuhan khusus antara lain :
a. Tipe Kecacatan dan Tingkat Keparahan Anak Kadar atau tingkat keparahan
suatu kecacatan sama pentingnya dengan jenis kebutuhan khusus untuk
dipertimbangkan dalam perencanaan strategi pendampingan dan pengajaran
pada anak berkebutuhan khusus. Semakin parah atau semakin serius cacatnya,
semakin pasti si anak akan dididik dengan setting pendidikan khusus.
b. Tingkat Usia Anak Sudah seharusnya dalam pemilihan strategi
pendampingan diperhatikan tingkat perkembangan anak baik fisik maupun
psikis termasuk dalam hal ini tingkatan usia anak. Hal ini perlu diperhatikan
agar metode, alat, bahan dan strategi benar-benar sesuai dengan kondisi anak.
Jadi prinsip pendampingan pada anak berkebutuhan khusus sebaiknya
memperhatikan dua hal. Pertama adalah tipe kecacatan dan tingkat keparahan,
semakin serius cacat yang dialami anak maka semakin pasti anak akan dididik
dengan setting pendidikan khusus. Kedua adalah tingkat usia anak, suatu
metode, alat, bahan dan strategi benar-benar disesuaikan dengan kondisi
anak.
2. Klasifikasi Disabilitas Intelektual
a. Menurut Mangunsong (2009), kaum profesional juga mengklasifikasikan
anak disabilitas intelektual berdasarkan tingkat keparahan masalahnya. The
American Psychological Association (APA), membuat klasifikasi anak
disabilitas intelektual atau tunagrahita berdasarkan tingkat kecerdasan atau
skor IQ, yaitu :
Klasifikasi skor IQ menurut APA
Klasifikasi Rentangan IQ
Mild 55 70
Moderate 40 55
Severe 25 40

Profound Di bawah 25 Berdasarkan tabel di atas, terdapat beberapa klasifikasi


berdasarkan skor IQ menurut APA. Kategori mild berada pada rentang skor
IQ 55-70, kategori moderate berada pada rentang skor IQ 40-55, kategori
severe berada pada rentang skor IQ 25-40 dan kategori profound berada pada
rentang skor IQ di bawah 25.

b. Terdapat pula klasifikasi IQ menurut Weschler (dalam norma WPPSI), yang


tertera pada tabel.
Klasifikasi skor IQ menurut Weschler IQ Klasifikasi
>128 Very Superior
123-127 Superior
111-119 Bright normal (hight
Average)
91-110 Average
80-90 Dull normal(low average)
66-79 Boderline
Defectife
Mentality
<65

3. Karakteristik Berdasarkan Skor IQ


Adapun karakteristik anak disabilitas intelektual berdasarkan skor IQ, meliputi:
a. Anak dengan skor IQ 55-70 tergolong ringan atau mild, bila dilihat dari segi
pendidikan termasuk anak yang mampu didik. Anak-anak dengan disabilitas
intelektual masih bisa dididik di sekolah umum, meskipun sedikit lebih
rendah daripada anak-anak normal pada umumnya. Anak dengan disabilitas
intelektual tidak memperlihatkan kelainan fisik yang mencolok, walaupun
perkembangan fisiknya sedikit agak lambat daripada anak rata-rata dan
kurang dalam hal kekuatan, kecepatan, dan koordinasi, serta sering memiliki
masalah kesehatan. Rentang perhatian juga pendek sehingga sulit
berkonsentrasi dalam jangka waktu lama. Anak dengan disabilitas intelektual
terkadang mengalami frustrasi ketika diminta berfungsi secara sosial atau
akademis sesuai usia anak seperti menolak untuk melakukan tugas kelas.
Terkadang memperlihatkan rasa malu atau pendiam, namun hal ini dapat
berubah bila anak dengan disabilitas intelektual banyak diikutkan untuk
berinteraksi dengan anak lain (Henson & Aller dalam Mangunsong, 2309).
Di luar pendidikan, beberapa keterampilan dapat dilakukan tanpa selalu
mendapat pengawasan seperti keterampilan mengurus diri sendiri. Menurut
Harris (2006), anak dengan kategori mild termasuk mampu didik namun
masalah dalam penggunaan bahasa dan bicara dapat membatasi kemampuan
anak saat dewasa. Anak kemungkinan memperoleh keterampilan akademik
sampai kelas enam pada akhir tahun masa remaja. Selama masa dewasa, anak
dengan kategori mild hanya sedikit dapat mengembangkan kemampuan
sosial dan hidup mandiri. Kesulitan belajar anak jelas terlihat pada
kemampuan akademis.
b. Anak dengan skor IQ 40-55 termasuk sedang atau moderate, digolongkan
sebagai anak yang mampu latih untuk beberapa keterampilan tertentu. Jika
diberikan kesempatan pendidikan yang sesuai, anak dapat dididik untuk
melakukan pekerjaan yang membutuhkan kemampuan tertentu. Anak dapat
dilatih untuk mengurus dirinya serta dilatih beberapa kemampuan membaca
dan menulis sederhana. Apabila dipekerjakan, membutuhkan tempat kerja
yang terlindungi dan perlu pengawasan. Anak memiliki kekurangan dalam
kemampuan mengingat, menggeneralisasi, bahasa, konseptual, perseptual,
dan kreativitas sehingga perlu diberikan tugas yang sederhana, singkat,
relevan dan berurutan (Hanson & Aller dalam Mangunsong, 2009).
Seringkali anak memiliki koordinasi fisik yang buruk, mengalami
masalah di banyak situasi sosial dan menampakkan adanya gangguan pada
fungsi bicaranya. Menurut Harris (2006), anak disabilitas intelektual sedang
atau moderate mengalami hambatan pada koordinasi motorik. Ada juga
keterbatasan dalam prestasi akademik, perawatan diri dan keterampilan
sosial. Anak dengan kategori moderate umumnya membutuhkan
pengawasan yang konsisten dari orang lain.
c. Anak dengan skor IQ 25-40 tergolong berat atau severe, memperlihatkan
banyak masalah dan kesulitan meskipun di sekolah khusus. Anak
membutuhkan pelayanan yang terus menerus dan pengawasan yang teliti.
Dengan kata lain, tidak mampu mengurus diri sendiri tanpa bantuan orang
lain meskipun pada tugas-tugas sederhana. Jarang sekali dipekerjakan dan
sedikit sekali berinteraksi sosial (Lyen dalam Mangusong, 2009).
Anak mengalami gangguan bicara dan kelainan fisik lainnya seperti lidah
seringkali menjulur keluar bersamaan dengan keluarnya air liur. Kepala
sedikit lebih besar dari umumnya. Kondisi fisik lemah dan hanya bisa dilatih
keterampilan khusus selama kondisi fisik memungkinkan.
Menurut Harris (2006), sebagian besar anak dengan disabilitas intelektual
berat mengalami penurunan pada beberapa fungsi tertentu. Selama tahun-
tahun prasekolah, perkembangan motorik yang buruk dan kurang mampu
berkomunikasi dapat segera diketahui. Selama tahun-tahun usia sekolah,
bahasa verbal mungkin muncul dan keterampilan perawatan diri dapat
diajarkan. Pada saat dewasa, perlunya pengawasan untuk membantu anak
dalam menyelesaikan tugas.
d. Anak dengan skor IQ di bawah 25 tergolong sangat parah atau profound,
memiliki masalah yang sangat serius baik menyangkut kondisi fisik,
inteligensi serta program pendidikan yang tepat bagi anak. Umumnya
memperlihatkan kerusakan pada otak serta kelainan fisik yang nyata. Anak
dapat berjalan dan makan sendiri namun kemampuan berbicara dan
berbahasa sangat rendah serta interaksi sosial sangatlah terbatas (Lyen dalam
Mangunsong, 2009). Kelainan fisik lainnya dilihat pada kepala yang lebih
besar dan sering bergoyang-goyang. Penyesuaian diri sangat kurang dan
nampaknya membutuhkan pelayanan medis yang baik dan intensif.
Menurut Harris (2006), anak dengan disabilitas intelektual yang sangat
parah memiliki pemahaman terkait bahasa yang sangat terbatas untuk
memahami perintah sederhana dan membuat permintaan sederhana.
Perawatan diri, komunikasi, dan kemampuan motorik memerlukan pelatihan
dalam pengaturan yang terstruktur. Kelainan otak, cacat neurologis dan fisik
dapat memengaruhi keadaan anak secara umum seperti adanya gangguan
kejang dan gangguan penglihatan serta pendengaran. Jadi terdapat beberapa
karakteristik berdasarkan skor IQ, meliputi skor IQ 55-70 atau mild yang
memiliki karakteristik anak mampu dididik di sekolah umum, namun sedikit
lebih rendah daripada anak-anak normal pada umumnya.
1) Skor IQ 40-55 atau moderate dengan karakteristik anak mampu latih
untuk mengurus diri sendiri serta dilatih beberapa kemampuan membaca
dan menulis sederhana.
2) Skor IQ 25-40 atau severe dengan karakteristik mengalami kondisi fisik
yang lemah dan hanya bisa dilatih keterampilan khusus selama kondisi
fisik memungkinkan.
3) Skor IQ di bawah 25 atau profound dengan karakteristik anak yang
memiliki masalah sangat serius menyangkut kondisi fisik, inteligensi,
serta program pendidikan yang tepat bagi anak. Seringkali membutuhkan
pelayanan medis yang baik dan intensif.
4. Defisit Pada Disabilitas Intelektual
Menurut Hallahan & Kauffman (dalam Mangunsong, 2009) defisit yang
dialami anak tunagrahita atau disabilitas intelektual mencakup beberapa area
utama, yaitu :
a. Atensi atau perhatian.
Anak tunagrahita sering memusatkan perhatian pada benda yang salah
serta sulit mengalokasikan perhatian dengan tepat. Penelitian yang dilakukan
oleh Mulyadiprana dan Simanjuntak (2314), mengemukakan bahwa
intervensi atau perlakukan dengan media permainan kolase memberikan
pengaruh yang sangat besar terhadap kemampuan konsentrasi siswa
tunagrahita, hal ini menunjukkan bahwa media permainan kolase efektif
digunakan untuk meningkatkan kemampuan konsentrasi dalam proses
pembelajaran, sehingga siswa memperoleh hasil belajar yang baik.
b. Daya ingat.
Pada umumnya anak dengan disabilitas intelektual mengalami kesulitan
dalam mengingat suatu informasi. Seringkali masalah ingatan yang dialami
adalah yang berkaitan dengan working memory, yaitu kemampuan
menyimpan informasi tertentu dalam pikiran sementara melakukan tugas
kognitif lain. Menurut Abbeduto (2003), working memory merupakan sistem
kognitif yang bertanggung jawab untuk penyimpanan sementara dan
manipulasi informasi secara simultan. Anak dengan disabilitas intelektual
umumnya dicirikan oleh kapasitas working memory yang berada di bawah
rata-rata dan dapat membatasi kemampuan anak. Hal ini menunjukkan
bahwa anak dengan disabilitas intelektual memiliki hubungan antara
mekanisme memori dan pemahaman.
c. Perkembangan bahasa.
Secara umum anak tunagrahita mengikuti tahap-tahap perkembangan
bahasa yang sama dengan anak normal, tetapi perkembangan bahasa pada
umumnya terlambat muncul, lambat mengalami kemajuan dan berakhir pada
tingkat perkembangan yang lebih rendah. Anak mengalami masalah dalam
memahami dan menghasilkan bahasa. Penelitian yang dilakukan oleh
Febrisma (2313), menyatakan bahwa metode bermain peran dapat
meningkatkan kemampuan kosakata pada anak tunagrahita ringan kelas DV
di SLB Kartini Batam. Penggunaan metode bermain memiliki peran penting
dalam menstimulasi perkembangan bahasa anak serta dapat menarik
perhatian anak pada pelajaran.
d. Regulasi Diri.
Anak-anak dengan disabilitas intelektual mengalami kesulitan dalam
regulasi diri, yaitu kemampuan seseorang untuk mengatur tingkah lakunya
sendiri. Selain itu mengalami kesulitan dalam menentukan strategi regulasi
diri, seperti mengulang suatu materi serta mengalami kesulitan dalam
metakognisi yang berhubungan erat dengan kemampuan regulasi diri.
Metakognisi berarti kesadaran seseorang akan strategi apa yang dibutuhkan
untuk melakukan sebuah tugas, kemampuan merencanakan bagaimana
menggunakan strategi tersebut, serta mengevaluasi seberapa baik strategi
tersebut bekerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Ramawati, Allenidekania dan Besral
(2312), menyatakan bahwa kemampuan perawatan diri pada anak disabilitas
intelektual tergolong rendah dan masih membutuhkan bantuan di sebagian
besar area. Kemampuan perawatan diri dan regulasi diri membutuhkan
adanya bimbingan dan pelatihan yang berkesinambungan baik dari orangtua,
guru atau tenaga kesehatan. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi
kemampuan regulasi diri adalah faktor pendidikan orangtua, semakin tinggi
latar belakang pendidikan orangtua maka semakin baik keterampilan regulasi
diri anak. Faktor usia, dalam hal ini usia dapat membantu memprediksi waktu
yang tepat untuk mengajarkan dan melatih anak terkait keterampilan regulasi
diri. Faktor kelemahan motorik juga berpengaruh dalam keterampilan
regulasi diri pada anak dengan disabilitas intelektual karena berkaitan dengan
koordinasi gerakan, kontrol gerakan serta kesesuaian gerak.

e. Perkembangan sosial.
Anak tunagrahita cenderung sulit mendapat teman dan mempertahankan
pertemanan karena dua hal. Pertama, mulai usia pra sekolah anak tersebut
tidak tahu bagaimana memulai interaksi sosial dengan orang lain. Kedua,
bahkan ketika anak tidak sedang berusaha untuk berinteraksi dengan orang
lain, anak menampilkan tingkah laku yang membuat teman-temannya
menjauh seperti perhatian yang tidak fokus dan mengganggu. Penelitian
yang dilakukan oleh Sofinar (2012), menyatakan bahwa anak disabilitas
intelektual menunjukkan perilaku kurang baik dalam pergaulan terutama
dengan teman sekelas. Perilaku yang ditampilkan anak lebih banyak
dipengaruhi dari dalam diri anak akibat keterbatasan yang berkaitan dengan
tingkat inteligensi di bawah rata-rata.
f. Motivasi.
Anak seringkali memunculkan perasaan bahwa seberapapun besar usaha
yang dilakukan, pasti akan menunjukkan kegagalan. Akhirnya, anak akan
cenderung mudah putus asa ketika dihadapkan pada tugas yang menantang.
Penelitian yang dikemukakan oleh Santoso (2008), menyatakan bahwa buku
bergambar dapat meningkatkan minat baca pada anak usia dini. Buku
bergambar lebih memotivasi anak untuk belajar. Buku-buku bergambar
dimaksudkan untuk mendorong ke arah apresiasi dan kecintaan terhadap
buku, dapat melalui cerita secara verbal yang menarik.
g. Prestasi akademis.
Karena ada hubungan yang erat antara inteligensi dengan prestasi
seseorang, maka akan menghambat semua prestasi akademis dibandingkan
dengan anak-anak normal. Performa anak-anak dengan disabilitas intelektual
pada semua area kemampuan akademis berada di bawah rata-rata yang seusia
dengannya. Anak juga cenderung menjadi underachiever atau pencapaian
rendah yang berkaitan dengan harapan-harapan yang didasarkan pada tingkat
kecerdasan. Terdapat penelitian yang dilakukan oleh Selvarajan &
Vasanthagumar (2012), tentang pengaruh remedial teaching untuk
meningkatkan kompetensi anak yang mengalami pencapaian rendah di
sekolah. Program remedial tepat digunakan untuk mengatasi kelemahan anak
yang menunjukkan pencapaian rendah di sekolah.

5. Etiologi Disabilitas Intelektual


Menurut Hallahan & Kauffman (dalam Mangunsong, 2009) faktor-faktor
penyebab disabilitas intelektual dapat diklasifikasikan atas :
Faktor eksternal Adapun faktor penyebab dari luar, meliputi :
a. Kekurangan gizi pada ibu yang tidak menjaga pola makan yang sehat.
b. Keracunan atau efek substansi waktu ibu hamil yang bisa menimbulkan
kerusakan pada plasma inti.
c. Radiasi, misalnya nuklir.
d. Kerusakan pada otak waktu kelahiran, misalnya lahir karena alat bantu atau
pertolongan, lahir prematur.
e. Panas yang terlalu tinggi misalnya pernah sakit keras, thypus, cacar.
f. Infeksi pada ibu seperti rubella.
g. Gangguan pada otak, misalnya tumor otak, kekurangan oksigen dalam otak
atau anoxia, infeksi pada otak.
h. Gangguan fisiologis seperti down syndrome adalah gangguan genetik
menyebabkan perbedaan belajar dan ciri-ciri tertentu, cretinism adalah
kelainan hormonal karena kekurangan hormon tiroid.
i. Pengaruh lingkungan dan kebudayaan pada anak-anak yang dibesarkan di
lingkungan yang buruk seperti adanya penolakan, kurang stimulasi yang
ekstrem.
Faktor internal Faktor penyebab dari dalam bersumber dari faktor
keturunan yang dapat berupa gangguan pada plasma inti atau chromosome
abnormality. Menurut Harris (2006), faktor-faktor penyebab disabilitas
intelektual antara lain :
a. Faktor prenatal atau sebelum lahir, meliputi :
1) Gangguan pada kromosom
2) Gangguan pada sindrom
3) Gangguan metabolisme
4) Gangguan perkembangan pada formasi otak
5) Pengaruh lingkungan meliputi malnutrisi saat kehamilan, konsumsi
obat-obat terlarang atau bahan yang mengandung racun, penyakit saat
kehamilan seperti diabetes.

b. Faktor perinatal atau saat lahir, meliputi :


1) Berat badan lahir rendah atau prematur
2) Infeksi seperti meningitis dan gangguan pernafasan
c. Faktor postnatal atau pasca kelahiran, meliputi :
1) Cedera kepala
2) Infeksi virus seperti rubella
3) Gangguan degeneratif seperti rett sindrom
4) penyakit parkinson. Faktor
Penyebab disabilitas intelektual ada dua yaitu faktor eksternal dan faktor
internal. Faktor eksternal disebabkan karena faktor sebelum kelahiran seperti
malnutrisi saat hamil, keracunan atau konsumsi obat-obat yang berbahaya
untuk kandungan, terkena radiasi, mengidap penyakit tertentu, infeksi pada
ibu, gangguan fisiologis seperti gangguan genetik dan kelainan hormonal pada
anak dalam kandungan. Faktor saat kelahiran seperti gangguan pada otak yaitu
kekurangan oksigen dalam otak, berat badan lahir rendah, prematur. Faktor
pasca kelahiran seperti pengaruh lingkungan dan kebudayan yang buruk bagi
anak. Kedua adalah faktor internal yang bersumber dari faktor keturunan.

6. Patofisiologi
Disabilitas Intelektual merujuk pada keterbatasan nyata fungsi hidup
sehari-hari. Disabilitas Intelektual ini termasuk kelemahan atau
ketidakmampuan kognitif yang muncul pada masa kanak-kanak (sebelum usia
18 tahun) yang ditandai dengan fungsi kecerdasan di bawah normal (IQ 70
sampai 75 atau kurang) dan disertai keterbatasan-keterbatasan lain pada
sedikitnya dua area fungsi adaftif: berbicara dan berbahasa,
kemampuan/ketrampilan merawat diri, kerumahtanggaan, ketrampilan sosial,
penggunaan sarana-sarana komunitas, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan,
akademik fungsional, bersantai dan bekerja. Penyebab retardasi mental bisa
digolongkan kedalam prenatal, perinatal dan pasca natal. Diagnosis disabilitas
intelektual ditetapkan secara dini pada masa kanak-kanak.

7. Clinical Pathway

Prenatal
Disabilitas intelektual Perinatal
Pasca natal

Ketidakmampuan kognitif
(IQ <70-75)

Berbicara berbahasa ketrampilan merawat

Gangguan pertumbuhan Gangguan komunikasi Kurang perawatan


diri
Dan perkembangan

8. Komplikasi
a. Serebral palcy
b. Gangguan kejang
c. Gangguan kejiwaan
d. Gangguan konsentrasi /hiperaktif
e. Defisit komunikasi
f. Konstipasi

9. Penatalaksanaan Medis
Terapi terbaik adalah pencegahan primer, sekunder dan tersier.
a. Pencegahan primer adalah tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan
atau menurunkan kondisi yang menyebabkan gangguan. Tindakan tersebut
termasuk pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
masyarakat umum, usaha terus menerus dari profesional bidang kesehatan
untuk menjaga dan memperbaharui kebijakan kesehatan masyarakat, aturan
untuk memberikan pelayanan kesehatan maternal dan anak yang optimal, dan
eredekasi gangguan yang diketahui disertai kerusakan system saraf pusat.
Konseling keluarga dan genetic dapat membantu.
b. Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mempersingkat perjalanan
penyakit.
c. Sedangkan pencegahan tersier bertujuan untuk menekan kecacatan yang
terjadi. Dalam pelaksanaanya kedua jenis pencegahan ini dilakukan
bersamaan, yang meliputi pendidikan untuk anak: terapi perilaku, kognitif
dan psikodinamika; pendidikan keluarga; dan intervensi farmakologi.
Pendidikan untuk anak harus merupakan program yang lengkap dan
mencakup latihan keterampilan adaptif, sosialn, dan kejuruan. Satu hal yang
penting dalam mendidik keluarga tentang cara meningkatkan kopetensi dan
harga diri sambil mempertahankan harapan yang realistic.
Untuk mengatasi perilaku agresif dan melukai diri sendiri dapat
digunakan naltrekson. Untuk gerakan motorik stereotopik dapat dipakai
antipsikotik seperti haloperidol dan klorpromazin. Perilaku kemarahan
eksplosif dapat diatasi dengan penghambat beta seperti propranolol dan
buspiron. Adapun untuk gangguan deficit atensi atau hiperktivitas dapat
digunakan metilpenidat.

LAPORAN PENDAHULUAN HIPERTENSI

1 PENGERTIAN HIPERTENSI

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal


tekanan darah daalam pembuluh darah arteri secara terus menerus lebih dari suatu
periode. Hal ini terjadi bila arteriole-arteriole konstriksi. Kontriksi arteriole
membuat darah sulit mengalir dan meningkatkan tekanan melawan dinding arteri.
Hipertensi menambah beban kerja jantung Dan arteri yang bila berlanjut dapat
menimbulkan kerusakan jantung dan pembuluh darah.

Hipertensi juga didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan
atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang terjadi pada seseorang klien pada
tiga kejadian terpisah (ignatavicus, 1994). Menurut WHO, batasan tekanan darah
yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg, sedangkan tekanan darah ≥
160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Tekanan darah diantara normotensi
dan hipertensi disebut borderline hypertension ( Garis batas hipertensi). Batasan
WHO tersebut tidak membedakan usia dan jenis kelamin.

Kaplan memberikan batasan hipertensi dengan memperhatikan usia dan jenis


kelamin (Soeparman,1999;205)

1. Pria berusia < 45 tahun, dikatakan hiertensi bila tekanan darah pada waktu
berbaring ≥130/90 mmHg.
2. Pria berusia > 45 tahun, dikatakan hipertensi bila tekananan darahnya >
145/95 mmHg.
3. Wanita, hipertensi bila tekanan darah ≥ 160/95 mmHg.

2. KLASIFIKASI HIPERTENSI
Table 7.1 klasifikasi hipertensi pada klien berusia ≥18 tahun oleh the joint National
Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High blood Preasure(1998)

Batasan tekanan darah (mmHg) Kategori


Diastolic
<85 Tekanan darah normal
85-89 Tekanan darah normal-tinggi
90-104 Hipertensi ringan
105-114 Hipertensi sedang
≥115 Hipertensi berat
Systolic,saat diastolic < 90 mmHg
<140 Tekanan darah normal
140-159 Garis batas hipertensi sistolik terisolasi
≥160 Hipertensi sistolik terisolasi

Sumber: ignatavicius D,1994

Tabel 7.2 Klasifikasi Hipertensi berdasarkan level tekanan darah


Tekanana darah sistolik dan diastolic
blood pressure (SBP dan DBP)
Normotensi <140 SBP dan <90 DBP
Hipertensi ringan 140-180 SBP atau 90-105 DBP
Subgroup: garis batas 140-160 SBP atau 90-105 DBP
Subgroup: garis batas 140-160 SBP dan < 90 DBP
Hipertensi sedang dan berat >180 SBP atau >105 DBP
Hipertensi sistolik terisolasi >140 SBP dan <90 DBP

Sumber: Guyton dan Hall,1997

1.NARASI ASKEP
Hipertensi biasanya menyerang laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita
pascamenopouse.

2. PENYEBAB
Berdasarkan penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan
1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer
Merupakan hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya. Faktornya adalah
 Genetic ;
individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi, berisiko lebih
tinggi untuk mendapatkan penyakit ini ketimbang mereka yang tidak.
 Jenis kelamin dan usia
 Diet
konsumsi diet tinggi garam atau kandungan lemak, secara langsung berkaitan
dengan berkembangnya penyakit hipertensi
 Berat badan
 Gaya hidup
2. Hipertensi sekunder
Merupakan 10% dari seluruh kasus hipertensi. Hipertensi sekunder adalah
peningkatan tekanan darah karena suatu kondisi fisik yang ada sebelumnya.
Faktornya adalah:
 Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen)
Oral kontrasepsi yang berisi estrogen dapat menyebabkan hipertensi melalui
mekanisme Renin-aldosteron-mediated volume expansion . dengan penghentian
oral kontrasepsi, tekanan darah normal kembali setelah beberapa bulan.
 Penyakit parenkim dan vascular ginjal
Merupakan penyebab utama hipertensi sekunder. Hipertensi renovaskular
berhubungan dengan penyempitan satu atau lebih arteri besar yang secara
langsung membawa darah ke ginjal. Sekitar 90% lesi arteri renal pada klien
dengan hipertensi disebabkan oleh aterosklerosis atau fibrous dysplasia (
pertumbuhan abnormal jaringan fibrous) . penyakit parenkim ginjal terkait
dengan infeksi, inflamasi, dan perubahan struktur, serta fungsi ginjal.
 Gangguan endokrin
Disfungsi medulla adrenal atau korteks adrenal dapat menyebabkan hipertensi
sekunder. Adrenal-mediated hypertension disebabkan kelebihan primer
aldosterone, kortisol, dan katekolamin. Pada aldosteronisme primer, kelebihan
aldosterone menyebabkan hipertensi dan hypokalemia. Aldosteronisme primer
biasanya timbul dari benign adenoma dan meningkatkan sekresi katekolamin
yang berlebihan. Pada Sindrom Cushing, kelebihan glukokortikoid yang dieksresi
dari korteks adrenal. Sindrom Cushing’s mungkin disebabkan oleh hiperplasi
adrenokortikal atau adenoma adrenokortikal
 Coarctation aorta
Merupakan penyempitan aorta kongenital yang mungkin terjadi beberapa tingkat
pada aorta torasik atau aorta abdominal. Penyempitan ini menghambat aliran
darah melalui lengkung aorta dan mengakibatkan peningkatan tekanan darah di
atas area kontriksi.
 Neurogenic ; tumor otak, encephalitis, dan gangguan psikiatrik.
 Kehamilan
 Luka bakar
 Peningkatan volume intravascular
 Merokok
Nikotin dalam rokok merangsang pelepasan katekolamin. Peningkatan
katekolamin menyebabkan iritabilitas miokardial, peningkatan denyut jantung,
dan menyebabkan vasokontriksi, yang mana pada akhirnya meningkatkan
tekanan darah.
 Kegemukan
 Stress

3. PATOFISIOLOGI

hipertensi
aterosklerosis Peningkatan
afterload

Sclerosis koroner Peningkatan tekanan


dinding ventrikel

Hipo sistole Hipertrofi


ventrikel kiri

Penurunan Peningkatan
stroke volume kerja jantung

Penurunan suplai Dekompensasi


oksigen miokard kordis
Peningkatan
Iskemia miokard
kebutuhan oksigen
miokard

Calcium influx
berlebihan kardiomegali

Penyakit jantung Congestive


iskemia heart failure

4. PENJELASAN PATOFISIOLOGI
Tekanan arteri sistemik adalah hasil dari perkalian cardiac output (curah jantung)
dengan total tahanan perifer. Cardiac output (curah jantung) diperoleh dari perkalian
antara stroke volume dengan heart rate (denyut jantung). Pengaturan tahanan perifer
dipertahankan oleh system saraf otonom dan sirkulasi hormone. Empat system
control yang berperan dalam mempertahankan tekanan darah antara lain system
baroreseptor arteri, pengaturan volume cairan tubuh , system renin angiotensin dan
autoregulasi vascular.
Baroreseptor arteri terutama ditemukan di sinus carotid, tapi juga dalam aorta dan
dinding ventrikel kiri. Baroreseptor ini memonitor derajat tekanan arteri.Sistem
baroreseptor meniadakan peningkatan tekanan arteri melalui mekanisme
perlambatan jantung oleh respon vagal (stimulasi parasimpatis) dan vasodilatasi
dengan penurunan tonus simpatis. Oleh karena itu, reflex control sirkulasi
meningkatkan tekanan arteri sistemik bila tekanan baroreseptor turun dan
menurunkan tekanan arteri sistemik bila tekanan baroreseptor meningkat. Alasan
pasti mengapa control ini gagal pada hipertensi belum diketahui . Hal ini ditujukan
untuk menaikkan re-setting sensitivitas baroreseptor sehingga tekanan meningkat
secara tidak adekuat, sekalipun penurunan tekanan tidak ada.
Perubahan volume cairan mempengaruhi tekanan arteri sistemik. Bila tubuh
mengalami kelebihan garam dan air, tekanan darah meningkat melalui mekanisme
fisiologi kompleks yang mengubah aliran balik vena ke jantung dan mengakibatkan
peningkatan curah jantung . bila ginjal berfungsi secara adekuat , peningkatan
tekanan arteri mengakibatkan diuresis dan penurunan tekanan darah . kondisi
patologis yang mengubah ambang tekanan pada ginjal dalam mengekskresikan
garam dan air akan meningkatkan tekanan arteri sitemik.
Renin dan angiotensin memegang peranan dalam pengaturan tekanan darah.
Ginjal memproduksi renin yaitu suatu enzim yang bertindak pada substrat protein
plasma untuk memisahkan angiotensin I, yang kemudian diubah oleh converting
enzyme dalam paru menjadi bentuk angiotensin II kemudian menjadi angiotensin III.
Angiotensin II dan III mempunyai aksi vasokonstriktor yang kuat pada pembuluh
darah dan merupakan mekanisme control terhadap pelepasan aldosterone.
Aldosterone sangat bermakna dalam hipertensi terutama pada aldoteronisme primer.
Melalui peningkatan aktivitas system saraf simpatis, angiotensin II dan III juga
mempunyai efek inhibiting atau penghambatan pada ekskresi garam (Natrium)
dengan akibat peningkatan tekanan darah.
Sekresi renin yang tidak tepat diduga sebagai penyebab meningkatnya tahanan
perifer vascular pada hipertensi esensial. Pada tekanan darah tinggi, kadar renin harus
diturunkan karena peningkatan tekanan arteriolar renal mungkin menghambat sekresi
renin. Namun demikian, sebagian besar orang dengan hipertensi esensial mempunyai
kadar renin normal.
Peningkatan tekanan darah terus-menerus pada klien hipertensi esensial akan
mengakibatkan kerusakan pembuluh darah pada orgam-organ vital. Hipertensi
esensial mengakibatkan hyperplasia medial (penebalan) arteriol-arteriol. Karena
pembuluh darah menebal, maka perfusi jaringan menurun dan mengakibatkan
kerusakan organ tubuh. Hal ini menyebabkan infark miokard,stroke,gagal jantung,
dan gagal ginjal.
Autoregulasi vascular merupakan mekanisme lain yang terlibat dalam hipertensi
. autoregulasi vascular adalah suatu proses yang mempertahankan perfusi jaringan
dalam tubuh relative konstan . jika aliran berubah,proses-proses autoregulasi akan
menurunkan tahanan vascular dan mengakibatkan pengurangan aliran, sebaliknya
akan meningkatkan tahanan vascular sebagai akibat dari peningkatan aliran.
Autoregulasi vascular Nampak menjadi mekanisme penting dalam menimbulkan
hipertensi berkaitan dengan overload garam dan air.
Hipertensi maligna adalah tipe hipertensi berat yang berkembang secara
progresif. Seseorang dengan hipertensi maligna biasanya memiliki gejala-gejala
morning headache, pengihatan kabur,dan sesak nafas atau dyspnea, dan atau gejala
uremia. Tekanan darah diastolic >115 mmHg , dengan rentan tekanan diastolic antara
130-170 mmHg. Hipertensi maligna meningkatkan resiko gagal ginjal, gagal jantung
kiri dan stroke.
Gejala
Biasanya tanpa gejala atau tanda-tanda peringatan untuk hipertensi dan sering
disebut “silent killer”. Pada kasus hipertensi berat, gejala yang dialami klien antara
lain : sakit kepala (rasa berat di tengkuk), palpitasi, kelelahan, nausea, vomiting,
ansietas, keringat berlebihan, tremor otot, nyeri dada, epistaksis, pandangan kabur
atau ganda, tinnitus (telinga berdering), serta kesulitan tidur.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pengukuran tekanan darah (tensi)

6. PERSIAPAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Jelaskan tentang prosedur yang akan dilakukan kepada pasien.
2. Lakukan pengukuran tekanan darah kepada pasien
DAFTAR PUSTAKA

Alimin, Z. Dkk.2313. Pnedidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jurusan Pendidikan


Khusus, FIP UPI.

Carpenito, Lynda Juall.2300.Buku Saku Diangnosa Keperawatan.Jakarta:EGC

Haris, Abdul.2306, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.Bandung: Alfabeta.

Magungong, Frieda.(2309). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (1st


ed). Depok: LPSP3 UI.

Udjianti, Wajan Juni.2011.Keperawatan Kardiovaskular.Jakarta:Salemba Medika.

Ardiansyah, Muhamad.2012.Medikal Bedah Untuk Mahasiswa.Jogjakarta:DIVA press.

Вам также может понравиться