Вы находитесь на странице: 1из 21

TUGAS EPIDEMIOLOGI

ANALISIS EPIDEMIOLOGI TENTANG STROKE

OLEH :

RIKA FITRIA NINGSIH

NIM : 12211251

DOSEN PEMBIMBING

YANI MAIDELWITA, SKM, MM

PROGRAM STUDI D-III KEBIDANAN


STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
TAHUN AJARAN 2014/2015
A. TUBERCULOSIS
1.1 Pengertian
Tuberkulosis pulmoner adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang
parenkim paru, dengan agen infeksius utama Mycobacterium tuberculosis (Smeltzer &
Bare, 2001). Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh
darah (Price, 2001). Pemeriksaan radiologis dapat memperkuat diagnosis, karena lebih
95% infeksi primer terjadi di paru-paru maka secara rutin foto thorax harus dilakukan.
Ditemukannya kuman Mycobacterium tuberculosis dari kultur merupakan diagnostik
TBC yang positif, namun tidak mudah untuk menemukannya.

1.2 Klasifikasi TBC


Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi menjadi (Mansjoer, 2000) :
a. Tuberkulosis Paru BTA positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. 1
spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif.
b. Tuberkulosis Paru BTA negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TB Paru BTA negatif Rontgen Positif
dibagi berdasarkantingkat keparahaan TB Paru BTA Negatif Rontgen Positif dibagi
berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk
berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru
yang luas penderita buruk. Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya dibedakan menjadi (Mansjoer, 2000):
1. Kasus Baru
Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
2. Kambuh (Relaps)
Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
3. Pindahan (Transfer in)
Pindahan adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu
kabupaten lain dan kemudian pinah berobat ke kabupaten ini. Penderita
pindahan tersbut harus membawa surat rujukan/pindah.
4. Setelah lalai (Pengobatan setelah default/drop out)
Setelah lalai adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan,
dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian atang kembali berobat. Umumnya
penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
5. Lain-lain
a. Gagal
Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan atau lebih. Adalah penderita dengan hasil BTA negatif
Rontgen positif mmenjadi BTA positif pada akhir bulan ke pengobatan.
b. Kasus kronis
Kasus kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih
BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.

1.3 Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 μm dan tebal 0,3 – 0,6 μm dan
digolongkan dalam basil tahan asam (BTA). Bakteri Mycobacterium tuberculosa seperti
halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan
kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan
merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gibson,
2000).

1.4 Patofisiologi
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri
Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada
anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila
sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak
(terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar
melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat
menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran
pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh
yang paling sering terkena yaitu paru-paru (Smeltzer & Bare, 2001).
Saat Micobacterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan
segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui
serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui
pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan
dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan
menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat
sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap
dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan
tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel
bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-
paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang
yang telah memproduksi sputumdapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan
tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC.
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak
dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial
ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya
jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi
HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman
merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC.
Individu rentan yang menghirup basil tuberculosis dan terinfeksi. Bakteri
dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli untuk memperbanyak diri, basil juga
dipindahkan melalui sistem limfe dan pembuluh darah ke area paru lain dan bagian tubuh
lainnya. Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit
menelan banyak bakteri, limfosit specifik tuberculosis melisis basil dan jaringan normal,
sehingga mengakibatkan penumpukkan eksudat dalam alveoli dan menyebabkan
bronkopnemonia.
Massa jaringan paru / granuloma (gumpalan basil yang masih hidup dan yang
sudah mati) dikelilingi makrofag membentuk dinding protektif. Granuloma diubah
menjadi massa jaringan fibrosa, yang bagian sentralnya disebut komplek Ghon. Bahan
(bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat
mengalami kalsifikasi, memebentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa
perkembangan penyakit aktif. Individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan
atau respon inadekuat sistem imun, maupun karena infeksi ulang dan aktivasi bakteri
dorman. Dalam kasus ini tuberkel ghon memecah, melepaskan bahan seperti keju ke
bronki. Bakteri kemudian menyebar di udara, mengakibatkan penyebaran lebih lanjut.
Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak mengakibatkan bronkopneumonia lebih
lanjut (Smeltzer & Bare, 2001).

1.5 Tanda dan Gejala


Gambaran klinis tuberculosis mungkin belum muncul pada infeksi awal dan
mungkin tidak akan pernah timbul bila tidak terjadi infeksi aktif. Bila timbul infeksi aktif
klien biasanya memperlihatkan gejala : batuk purulen produktif disertai nyeri dada,
demam (biasanya pagi hari), malaise, keringat malam, gejala flu, batuk darah, kelelahan,
hilang nafsu makan dan penurunan berat badan (Corwin, 2001).
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang
timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas
terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik
(Corwin, 2001).
a. Gejala sistemik/umum
1) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
2) Penurunan nafsu makan dan berat badan.
3) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
b. Gejala khusus
1) Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi",
suara nafas melemah yang disertai sesak.
2) Kalau ada cairan dirongga pleura(pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
3) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
4) Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis(radang selaput otak), gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

1.6 Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer & Bare (2001), penatalaksanaan TBC adalah :
a. Pengobatan
Tujuan terpenting dari tata laksana pengobatan tuberkulosis adalah eradikasi
cepat M. tuberculosis, mencegah resistensi, dan mencegah terjadinya komplikasi.
Jenis dan dosis OAT :
1) Isoniazid (H)
Isoniazid (dikenal dengan INH) bersifat bakterisid, efektif terhadap kuman
dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Efek
samping yang mungkin timbul berupa neuritis perifer, hepatitis rash, demam
Bila terjadi ikterus, pengobatan dapat dikurangi dosisnya atau dihentikan
sampai ikterus membaik. Efek samping ringan dapat berupa kesemutan, nyeri
otot, gatal-gatal. Pada keadaan ini pemberian INH dapat diteruskan sesuai
dosis.
2) Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dorman (persisten).
Efek samping rifampisinadalah hepatitis, mual, reaksi demam,
trombositopenia. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah atau jingga
pada air seni dan keringat, dan itu harus diberitahukan pada keluarga atau
penderita agar tidak menjadi cemas. Warna merah tersebut terjadi karena
proses metabolisme obat dan tidak berbahaya.
3) Pirazinamid (P)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Efek samping pirazinamid adalah hiperurikemia,
hepatitis, atralgia.
4) Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid, efek samping dari streptomisin adalah nefrotoksik dan
kerusakan nervus kranialis VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan
pendengaran.
5) Ethambutol (E)
Bersifat bakteriostatik, ethambutol dapat menyebabkan gangguan
penglihatan berupa berkurangnya ketajaman penglihatan, buta warna merah
dan hijau, maupun optic neuritis.
b. Pembedahan
Dilakukan jika pengobatan tidak berhasil, yaitu dengan mengangkat jaringan paru
yang rusak, tindakan ortopedi untuk memperbaiki kelainan tulang, bronkoskopi untuk
mengangkat polip granulomatosa tuberkulosis atau untuk reseksi bagian paru yang
rusak
c. Pencegahan
Menghindari kontak dengan orang yang terinfeksi basil tuberkulosis,
mempertahankan status kesehatan dengan asupan nutrisi adekuat, minum susu yang
telah dilakukan pasteurisasi, isolasi jika pada analisa sputum terdapat bakteri hingga
dilakukan pengobatan, pemberian imunisasi BCG untuk meningkatkan daya tahan
tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis virulen.
1.7 Pengobatan TB Paru
Pengobatan tuberculosis berdasarkan panduan OAT dan terdiri dari faseintensif dan
fase lanjutan (Crofton, 2005) adalah :
a. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Obat ini diberikan untuk:
1) Penderita baru TBC paru BTA positif
2) Penderita TBC paru BTA positif rontgen positif yang sakit berat
3) Penderita TBC ekstra paru berat
b. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Obat ini diberikan untuk:
1) Penderita kambuh (relaps)
2) Penderita gagal (failure)
3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)
c. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)
Obat ini diberikan untuk:
1) Penderita baru BTA positif dan rontgen positif sakit ringan
2) Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis
eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang), sendi
dan kelenjar adrenal.d. OAT sisipan (HRZE).

1.8 Penularan TB Paru


Sumber penularan menurut Smeltzer & Bare (2001) penderita TB Paru BTA (+) melalui :
a. Pernapasan / Udara
Percikan dahak yang keluar bila penderita batuk/ bersin tanpa menutup
mulut/ hidung dan terhirup oleh orang lain maka orang tersebut dapat terinfeksi,
tetapi tidak semua orang yang menghirup akan tertular penyakit TB Paru, pada
orang yang sehat, kuman tersebut biasanya menjadi tidak aktif dan orang itu tetap
sehat. TB Paru juga tidak ditularkan melalui : Peralatan makan, tempat tidur,
berjabat tangan, dll. Bila penderita sudah minum obat 1-2 minggu kuman menjadi
lemah sehingga virulensinya (keganasannya) sudah menurun dan kemungkinan
untuk menular semakin sedikit.
b. Daya Tahan Tubuh
Kondisi fisik yang lemah : kekurangan gizi, terkena penyakit tertentu,
pecandu obat, pengguna horman steroid akan mudah tertular kuman TB Paru.
c. Kontak
Makin erat kontak dalam waktu lama makan akan semakin besar resiko
tertular.
d. Kondisi Lingkungan
TB Paru adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman mycobacterium
tuberculosis yang penyebarannya dapat melalui udara sehingga kondisi
lingkungan yang buruk merupakan salah satu faktor yang dapat mempercepat
penularan TB Paru, selain itu disebabkan pula oleh kondisi sosio ekonomi,
kepadatan jumlah penduduk serta kondisi gizi yang buruk.

1.9 Komplikasi
Komplikasi penderita TB paru menurut Smeltzer & Bare (2001) adalah :
a. Pendarahan dari saluran pernafasan bagian bawah yang dapat mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
b. Penyebaran infeksi ke organ lain. Misalnya : otak, jantung persendian, ginjal aslinya.

1.10 Pencegahan TB paru


Menurut Mansjoer (2000) pencegahan TB Paru meliputi :
a. Menghentikan kebiasaan meludah disembarang tempat
b. Bila batuk / bersin mulut ditutup dengan tissue / sapu tangan
c. Membakar tissue selekas mungkin setelah digunakan
d. Menghindari kerumunan orang banyak / padat
e. Memanfaatkan sinar matahari langsung, yang dapat membunuh kuman TB dalam
waktu 5 menit
f. Menjemur alat tidur secara teratur dibawah sinar matahari
g. Sistem ventilasi (aliran udara) yang baik
h. Peningkatan gizi penderita
i. Pemberian vaksin BCG
j. Hidup sehat : makan makanan, istirahat yang cukup, olah raga teratur, hindari rokok,
alkohol, hindari stress.

2.1 Epidemiologi TB Paru


Menurut Bustan (2002), model segitiga epidemiologi menggambarkan interaksi tiga
komponen penyakit yaitu Manusia (Host), penyebab (Agent) dan lingkungan (Environment).
Untuk memprediksi penyakit, model ini menekankan perlunya analis dan pemahaman
masing-masing komponen. Penyakit dapat terjadi karena adanya ketidak seimbangan antar
ketiga komponen tersebut.

1. Host
Pejamu (Host) adalah hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya penyakit TB Paru,
antara lain : umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, kebiasaan merokok, dan
sosial ekonomi.
a. Umur
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Variabel umur
berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru. Risiko untuk
mendapatkan tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal
terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga
dewasa memliki daya tahan terhadap tuberkulosis paru dengan baik.
Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau
kelompok menjelang usia tua. Infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara
bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya
mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB
Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Smith, 2004).
Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian TB Paru, yaitu :
1) Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita
2) Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan
pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan
pada wanita,
3) Puncak sedang pada usia lanjut.
Dalam perkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda. walau tetap
tidak berlaku pada golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan
grup sampel usia ini atau tidak terlindung dari resiko infeksi.

b. Jenis Kelamin
Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang
diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi.
Tuberculosis terutamamenyerang laki-laki. Jumlah penderita TB Paru laki-laki
hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita,
yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9% pada wanita. TB paru lebih banyak
terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian
besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya
TB paru (Smith, 2004)

c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan
seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan
pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup
maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan
sehat. Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap
jenis pekerjaannya (Smith, 2004).

d. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap
individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel
debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran
pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan
morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan
umumnya TB Paru (Smith, 2004).
e. Kebiasaan Merokok
Menurut Aditama (2002), perilaku merokok adalah aktivitas menghisap
atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau rokok. Seperti
halnya perilaku lain, perilaku merokok pun muncul karena adanya faktor
internal (faktor biologis dan faktor psikologis, seperti perilaku merokok
dilakukan untuk mengurangi stres) dan faktor eksternal (faktor lingkungan
sosial, seperti terpengaruh oleh teman sebaya).
Seseorang yang dikatakan perokok berat adalah bila mengkonsumsi rokok
lebih dari 21 batang perhari dan selang merokoknya lima menit setelah
bangun pagi. Perokok sedang menghabiskan 11-21 batang dan perokok ringan
menghabiskan rokok kurang dari 10 batang (Aditama, 2002).
Merokok merupakan penyebab utama penyakit paru-paru yang bersifat
kronis dan obstruktif, misalnya bronchitis dan empisema. Merokok juga
terkait dengan influenza dan radang paru-paru lainnya. Pada penderita asma,
merokok akan memperparah gejala asma sebab asap rokok akan lebih
menyempitkan saluran pernafasan. Selain itu efek merugikan dari merokok
dapat timbul pada masa remaja. Efek merugikan tersebut mencakup
meningkatnya kerentanan terhadap batuk kronis, produksi dahak dan serak
(Sitepoe, 2000).
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko
untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis
kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko
untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali (Sitepoe, 2000).

f. Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan
sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan
pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam
memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status
gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang
menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru. Jenis pekerjaan
seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang akan
mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi
makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi
terhadap kepemilikan rumah (Depkes, 2001).
Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan
mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan
kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang
kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB
Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang
kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan
sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru
(Depkes, 2001).

2. Agent
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 μm dan tebal 0,3 – 0,6 μm dan
digolongkan dalam basil tahan asam (BTA). Basil tuberkulosis berukuran sangat kecil
berbentuk batang tipis, agak bengkok, bergranular, berpasangan yang hanya dapat dilihat
dibawah mikroskop. Panjangnya 1- 4 mikron dan lebarnya antara 0,3-0,6 mikron. Basil
tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37°C dengan tingkat pH
optimal (pH 6,4-7,0). Untuk membelah dari 1-2 kuman membutuhkan waktu 14-20
jam.Kuman tuberkulosis terdiri dari lemak lebih dari 30% berat dinding kuman, asam
strearat, asam mikolik, mycosides, sulfolipid serta Cord factor dan protein terdiri dari
tuberkuloprotein (tuberkulin). TB Paru pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh
reaktivasi infeksi sebelumnya sedangkan pada anak-anak menunjukkan penularan aktif
Mycobacterium tuberculosis (Gibson, 2000).
Bakteri karakteristik alami dariagen TBC hampir bersifat resisten terhadap
disifektan kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering
untuk jangka waktu yang lama. Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal
sementara Mycobacterium tuberculosissangat tinggi. Patogenesis hampir rendah dan
daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi Host. Sifat resistensinya
merupakan problem serius yang sering muncul setelah penggunaan kemoterapi moderen,
sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan obat baru. Umumnya sumber
infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk transmisinya
bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi kongenital yang jarang
terjadi (Gibson, 2000).

3. Environment
Pada umumnya, lingkungan rumah yang buruk (tidak memenuhi syarat kesehatan)
akan berpengaruh pada penyebaran penyakit menular termasuk penyakit TB. Berikut ini
akan diuraikan mengenai lingkungan rumah yang berpengaruh terhadap kejadian TB :
a. Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara.
Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu (Keman, 2005):
1) Kelembaban absolut, yaitu berat uap air per unit volume udara.
2) Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara pada
suatu temperatur terhadap banyaknya uap air pada saat udara jenuh
dengan uap air pada temperatur tersebut.
Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan
menggunakan hygrometer.Menurut indikator pengawasan perumahan,
kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah
adalah 40-60 % dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat
kesehatan adalah < 40 % atau > 60 %. Rumah yang tidak memiliki
kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh
bagi penghuninya.
Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia
dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh
melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan
membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam
menghadang mikroorganisme.
Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas
akan berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya
untuk istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak
menyenangkan dan pada orang-orang tertentu dapat menimbulkan
alergi. Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam rumah akan
mempermudah berkembangbiaknya mikroorganisme antara lain bakteri
spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke
dalam tubuh melalui udara ,selain itu kelembaban yang tinggi dapat
menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering seingga kurang
efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang
meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-baktri
mycobacterium tuberculosa seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh
dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air
membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal yang
essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri
(Keman, 2005).
b. Ventilasi Rumah
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang
menyenangkan dan menyehatkan manusia (Lubis, 2002). Berdasarkan
kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:
1) Ventilasi alam.
Ventilasi alam berdasakan pada tiga kekuatan, yaitu: daya difusi
dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara karena
perubahan temperatur. Ventilasi alam ini mengandalkan pergerakan
udara bebas (angin), temperatur udara dan kelembabannya. Selain
melalui jendela, pintu dan lubang angin, maka ventilasi pun dapat
diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding
ruangan, atap dan lantai.
2) Ventilasi buatan
Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan
menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut
diantarana adalah kipas angin, exhauster dan AC (air conditioner).
Persyaratan ventilasi yang baik menurut Lubis (2002) adalah :
1) Luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai
ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat
dibuka dan ditutup) minimal 5 % dari luas lantai. Jumlah
keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan.
2) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari
sampah atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain.
3) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan
menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding.
Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barang-barang
besar, misalnya lemari, dinding, sekat dan lain-lain.
Luas ventilasi rumah yang < 10 % dari luas lantai (tidak memenuhi syarat
kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya
konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak
cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang
tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-
bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis (Notoatmodjo, 2003).
Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situ selaluterjadi
aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
Luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangngya
proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya
kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap
bersama udara pernafasan (Notoatmodjo, 2003).

c. Suhu Rumah
Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan
derajat tertentu. Suhu udara dibedakan menurut Walton (2001), dibedakan
menjdi:
1) Suhu kering, yaitu suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu
ruangan setelah diadaptasikan selama kurang lebih sepuluh menit,
umumnya suhu kering antara 24 – 34 ºC.
2) Suhu basah, yaitu suhu yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh
oleh uap air, umumnya lebih rendah daripada suhu kering, yaitu antara
20-25 ºC. Secara umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan
termometer ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan,
suhu rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah antara 20-25 ºC,
dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 ºC
atau > 25 ºC.
Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi penguninya.
Menurut Walton (2001), suhu berperan penting dalam metabolisme
tubuh, konsumsi oksigen dan tekanan darah. Suhu rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan kehilangan panas
tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan dengan suhu
lingkungan melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini akan
menurunkan vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi untuk terkena
infeksi terutama infeksi saluran nafas oleh agen yang menular.
Sedangkan menurut Goul & Brooker (2003), bakteri
mycobacterium tuberculosa memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi
di dalam rentang ini terdapat suatu suhu optimum saat mereka tumbuh
pesat. Mycobacterium tuberculosa merupakan bakteri mesofilik yang
tumbuh subur dalam rentang 25-40 º C, akan tetapi akan tumbuh
secara optimal pada suhu 31-37 º C.
d. Pencahayaan Rumah
Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber
dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk
masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genting
kaca (Notoatmodjo, 2003). Cahaya berdasarkan sumbernya dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu:
1) Cahaya Alamiah
Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena
dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya
kuman TBC. Oleh karena itu, rumah yang cukup sehat seyogyanya
harus mempunyai jalan masuk yang cukup jendela), luasnya sekurang-
kurangnya 15%-20%. Perlu diperhatikan agar sinar matahari dapat
langsung ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain.
Fungsi jendela disini selain sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuk
cahaya. Selain itu jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan
dengan genteng kaca (Notoatmodjo, 2003).
2) Cahaya Buatan
Cahaya buatan yaitu cahaya yang menggunakan sumber cahaya
yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan lain-
lain. Kualitas dari cahaya buatan tergantung dari terangnya sumber
cahaya (brightness of the source).Pencahayaan buatan bisa terjadi
dengan 3 cara, yaitu direct, indirect, semi direct atau general diffusing.
Secara umum pengukuran pencahayaan terhadap sinar matahari adalah
dengan menggunakan lux meter, yang diukur ditengah-tengah
ruangan, pada tempat setinggi < 84 cm dari lantai, dengan ketentuan
tidak memenuhi syarat kesehatan bila < 50 lux atau > 300 lux, dan
memenuhi syarat kesehatan bila pencahayaan rumah antara 50-300
lux.
Menurut Notoatmodjo (2003), cahaya matahari mempunyai sifat
membunuh bakteri, terutama kuman mycobacterium tuberculosa.
Kuman tuberkulosa hanya dapat mati oleh sinar matahari langsung.
Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang buruk sangat
berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis. Kuman tuberkulosis dapat
bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar
matahari sampai bertahun-tahun lamanua, dan mati bila terkena sinar
matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api. Kuman mycobacterium
tuberculosaakan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar matahari; oleh
tinctura iodii selama 5 menit dan juga oleh ethanol 80% dalam waktu
2-10 menit serta mati oleh fenol 5% dalam waktu 24 jam. Rumah yang
tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko menderita tuberkulosis
3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari.

e. Kepadatan Penghuni Rumah


Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan
jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan
hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas
minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan
fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 8 m²/orang.
Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m²/orang. Kamar tidur sebaiknya
tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun.
Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis
sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya (Lubis, 2002).
Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan
ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat
kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni
8 m²/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila
diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni 8 m²/orang
(Lubis, 2002).
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh
bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah
penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak
sehat karena disamping menyebabakan kurangnya konsumsi oksigen, juga
bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama
tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain
(Notoatmodjo, 2003).
Menurut penelitian Atmosukarto (2000), didapatkan data bahwa :
1) rumah tangga yang penderita mempunyai kebiasaan tidur dengan
balita mempunyai resiko terkena TB 2,8 kali dibanding dengan yang
tidur terpisah; 2) Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga
penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat
menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya; 3) besar resiko
terjadinya penularan untuk tangga dengan penderita lebih dari 1 orang
adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita
TB.
DAFTAR PUSTAKA

Heru Adi Sutomo,dkk. 2010. Epidemiologi Kebidanan. Yogyakarta. Fitramaya.

Marilynn E, Doengoes, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta, EGC,

2000

Sudoyo, Setiyohardi, Alwi, Simadibrata, Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Jilid

II. Edisi IV. Jakarta: FKUI , 2006.

Shinta Sunaryati. 2011. 14 Penyakit Paling Sering Menyerang Dan Sangat Mematikan.

Jogjakarta : Flashbooks.

Вам также может понравиться