Вы находитесь на странице: 1из 35

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) merupakan isu

global yang belakangan ini menjadi booming dan menjadi perhatian banyak negara

serta masyarakat internasional di dunia. Hal ini dikarenakan perdagangan narkoba

telah menjadi kejahatan transnasional yang merajalela, sehingga membahayakan

kehidupan manusia dan kejahatan ini menyerang usia produktif secara global.

Sebuah isu bisa dikatakan isu global jika memenuhi 4 indikator.

Pertama, isu tersebut memperoleh perhatian dari para elite pembuat

kebijakan dan sejumlah besar pemerintah, mencakup beberapa isu penting dan

pemerintah terlibat di dalam perdebatan publik mengenai isu tersebut. Kedua, isu

tersebut memperleh liputan secara terus-menerus dalam pers dunia, dalam surat

kabar dan majalah-majalah, siaran radio, dan tayangan televisi. Ketiga, isu tersebut

menjadi onjek dari studi, penelitian, perdebatan secara serius dan terus menerus

oleh kelompok-kelompok professional scholars, scientists, technical experts

diseluruh masyarakat internasional atau dunia. Keempat, isu tersebut nampak dalam

agenda atau perdebatan-perdebatan tentang agenda organisasi-organisasi

internasional1.

Isu perdagangan narkoba telah memenuhi empat indikator secara

keseluruhan. Indikator pertama adalah isu perdagangan narkoba telah menjadi

1
James E. Dougherty. 1981. “The Configuration of the Global System”, dalam Gavin Boyd and
Charles Pentland (eds.), Issues in Global Politics, London: The Free Press, hal. 6.

1
2

perhatian khusus dari pemerintah serta elit politik pembuat kebijakan seluruh dunia.

Pembuat kebijakan elit di dunia bahkan membuat regulasi khusus yang mengatur

perdagangan narkoba di kawasan nasionalnya, salah satu contohnya Indonesia.

Indikator kedua, perdagangan narkoba telah menjadi liputan secara terus menerus

oleh pers dunia. Berita-berita mengenai keberadaan kartel di Amerika Selatan,

mafia di Eropa Timur sering menjadi pemberitaan pers diseluruh dunia. Indikator

ketiga yang menjadikan perdagangan narkoba sebagai isu global kontemporer

adalah isu ini telah menjadi subjek studi dan penelitian-penelitian secara serius oleh

para ahli dan ilmuwan diseluruh dunia. Banyak penelitian yang membahas

mengenai maraknya perdagangan narkoba di seluruh dunia yang disertai dengan

informasi tentang bahaya yang dapat ditimbulkan oleh narkoba tersebut. indikator

keempat yang juga terakhir adalah perdagangan narkoba telah menjadi agenda

penting di organisasi-organisasi internasional. PBB yang merupakan organisasi

internasional terbesar, bahkan membuat badan khusus untuk mengawasi

perdagangan narkoba, yaitu United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC).

Oleh karena beberapa alasan di ataslah perdagangan narkoba bisa dikatakan sebagai

isu global kontemporer yang layak memperoleh perhatian khusus dari seluruh

negara di dunia.

Era globalisasi memberikan kemudahan akses bagi hampir seluruh aktivitas

lintas batas negara. hal inilah yang mendorong serta semakin memudahkan aktivitas

perdagangan narkoba saat ini. Di samping munculnya intervening variables, seperti

gerakan revolusioner maupun teorisme telah kehilangan pasokan dana yang berasal

dari berbagai sumber. Akibarnya, gerakan-gerakan ini kemudian mencari


3

pendanaan baru dengan berbisnis narkoba yang dianggap sebagai cara yang paling

signifikan untuk mencapai tujuan tersebut. Profitnya yang besar dan tidak

membutuhkan sarana operasional yang rumit, sehingga produsen bisa bisa meraup

keuntungan sangat banyak dengan memperdagangkan komoditas ini. Keuntungan

yang bisa dihasilkan dari kejahatan perdagangan narkoba mencapai US$ 500 Juta2.

Globalisasi menjadi salah satu pemicu dari peningkatan angka perdagangan

narkoba di seluruh dunia. Globalisasi yang menjadikan dunia seolah tanpa batas

membuat pergerakan barang dan jasa serta pertukaran informasi semakin mudah

dilakukan. Globalisasi juga mendorong sebuah negara untuk membuka pintu

perdagangan masuk secara besar-besaran. Akan tetapi, globalisasi yang terjadi

secara tidak terkontrol justru menjadi ancaman bagi sebuah negara. sebagai dampak

dari globalisasi, perdagangan narkoba telah mencapai level multinational. Beberapa

agen narkoba dunia seperti dari Kolombia, Meksiko, China dan negara lainnya

menjual narkoba ke negara seperti Amerika Serikat dan Indonesia. Kejahatan yang

semakin terorganisir ini membuat upaya pencegahan serta pemberantasan semakin

sulit karena perdagangan narkoba telah membentang di seluruh penjuru dunia.

Drug trafficking mencakup tindakan kriminalitas yang bisa terjadi melintasi

batas negara ataupun kriminalitas yang berlevel internasional 3. Kejahatan

transnasional (transnational crime) pada dasarnya memiliki jaringan lintas negara,

tanpa adanya jaringan tersebut maka aktivitasnya akan sulit untuk dilakukan.

Transnational crime juga merupakan tindakan kriminal yang terjadi dalam

2
Chris Brown. 1997. Understanding International Relations. Basingstoke: MacMillan, hal. 228.
3
Neil Boister. 2003. “Transnational Criminal Law. European Journal of International Law.
4

ruanglingkup suatu negara namun dampaknya turut dirasakan oleh negara lain. bila

dilihat ruang lingkup peredaran narkoba, merupakan kejahatan yang sangat luas dan

melampaui batas suatu negara, bisa bergerak ke semua lapisan sosial ekonomi

masyarakat di dunia. Arus perdagangan narkoba semakin menguat pasca

berakhirnya perang dingin dan memasuki era globalisasi. Perdagangan narkoba

merupakan bentuk globalisasi organized crime4.

Menurut UNODC, narkoba merupakan perdagangan obat-obatan atau drugs

trafficking is a global illicit trade involving the cultivation, manufacture,

distribution and sale of substances which are subject to drug prohibition laws.

Berdasarkan pengertian ini, bahwa perdagangan narkoba bukan hanya terbatas pada

jual beli semata, namun mencakup penanaman, pengolahan, pendistribusian, serta

penjualan zat-zat yang dilarang oleh hukum secara global.

Isu drug trafficking sangat membahayakan jutaan jiwa menusia di seluruh

dunia mendorong negara-negara dan berbagai komunitas internasional untuk

bekerjasama dalam memberantas dan menghadapinya. Traktat-traktat bentuk

kerjasama telah dihasilkan oleh negara-negara dunia melalui konvensi Single

Convention on Narcotic Drugs pada tahun 1961 yang kemudian diamandemen pada

tahun 1972, Single Convention on Narcotic Drugs pada tahun 1971, dan selanjutnya

United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and

Psycotropic substances yang dilaksanakan pada tahun 1988 (UNODC). Selain itu,

negara-negara dunia, termasuk salah satunya Indonesia melalui Interpol juga telah

4
Kompasiana. Dependency Theory and Indonesia, 26 Juni 2009 dalam
(www.kompasiana.com/post/bisnis/2009/06/26/dependency-theory-and-indonesia), diakses 29
Mei 2016.
5

bekerjasama dalam mencegah masuknya narkoba ke dalam wilayah negara masing-

masing.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, maka penulis menarik

sebuah rumusan masalah: Bagaimana kejahatan perdagangan narkoba (drugs

trafficking) global yang masuk dan mempengaruhi Indonesia.

1.3 Tujuan Penelitian

Makalah ini ditulis untuk mengkaji bagaimana dampak kejahatan

perdagangan narkoba yang terjadi dalam sebuah negara mempengaruhi negara

lainnya dalam dunia internasional.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Untuk memberikan masukan terhadap studi hubungan internasional,

khususnya mengenai dampak dari kejahatan perdagangan narkoba secara

global terhadap suatu negara dalam hal ini Indonesia.

1.4.2 Manfaat Praktis

Memberikan masukan terhadap para pembuat kebijakan baik di tingkat

nasional mengenai upaya dalam meminimalisir dampak negatif bagi

Indonesia dari kejahatan perdagangan narkoba.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Narkoba

Narkotika dan bahan berbahaya atau biasa dikenal dengan istilah narkoba,

secara harfiah berasal dari bahasa Yunani dari kata narke, yang berarti beku,

lumpuh, kelenger, dan dungu5. Narkotika merujuk pada sesuatu yang bisa membuat

seseorang tidak sadarkan diri (fly). Dalam bahasa inggris narcotic lebih mengarah

kepada konteks yang artinya opium (candu). Menurut Undang-Undang Republik

Indonesia tahun 1997, narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal

dari tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang bisa menyebabkan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika sendiri terbagi ke dalam

tigas level, yaitu level I, II dan III di mana letak perbedaannya pada skala potensi

yang mengakibatkan ketergantungan dari mulai skala sangat tinggi. Level I berupa

opium, koka, Ganja, dan heroin, level II berupa morfina, fetanil, dan petidina, yang

terakhir level III berupa kodeina dan etil morfina6.

Sementara itu, World Health Organizations (WHO) mendefinisikan narkotika

merupakan zat padat, cair maupun yang dimasukkan ke dalam tubuh yang dapat

mengubah fungsi dan struktur secara fisik maupun psikis tidak termasuk makanan,

air dan oksigen yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi tubuh normal.

5
Wison Nadack. 1983. Korban Ganja dan Masalah Narkotika. Bandung: Indonesia Publishing
House, hal. 122.
6
Pemerintah DI Yogyakarta. 2004. Narkoba dan Permasalahannya. Yogyakarta.

6
7

2.2 Sejarah Narkoba

sejak awal peradaban manusia, narkoba atau yang biasa dikenal orang dngan

sebutan “candu” sudah digunakan sebagai salah satu obat terapi. Pada tahun 2000

SM bangsa Sumeria pertam sekali mengenal serbuk sari bunga Opion (opium), atau

candu atau yang biasa disebut “Hul Gill”, yang berarti obat yang menggembirakan

yang memiliki fungsi sebagai obat tidur atau obat penghilang rasa sakit saat dihirup.

Namun, filsuf dan ahli medis Hippocrates, Plinus, Theophratus, dan Dioscorides

menggunakannya sebagai bahan pengobatan, terutama ketika melakukan

pembedahan. Saat itu Hippocrates belum menemukan bahan aktif candu, namun

dia mengetahui manfaat dari candu yang sifatnya analgesik (pereda rasa sakit) dan

narkotik. Pada zaman dulu, candu masih dikonsumsi mentah, baru kemudia pada

tahun 1805 morfin mulai dikenal untuk pertama kalinya menggantikan candu

mentah (opium). Penggunaan candu yang berlebihan akan menyebabkan ketagihan

dan sesak. Candu mentah hanya digunakan untuk pengobatan sampai pada akhirnya

Ratu Elizabeth I menyadari kelebihan produksi opium dan membawanya ke

Inggris7.

Candu mulai dikenalkan di India dan Persia oleh Alexander the Great pada

330 SM. Pada saat itu orang India dan Persia menggunakan candu hanya dalam

jamuan makan dengan tujuan relaksasi. Belanda mulai menggunakan pipa

tembakau untuk menghisap candu pada tahun 1680. Sementara itu, penggunaan

7
Budi Winarno. 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS, hal. 400.
8

jarum suntuk baru dikenalkan oleh Dr. Alexander Wood dari Edinburgh yang

memudahkan orang dalam mengkonsumsi candu yang bahkan tiga kali lebih cepat

dari biasanya8.

Pada akhir abad ke-19 ahli kimia mulai mengubah struktur melekul morfin

menjadi obat yang kurang menyebabkan ketagihan. Pada tahun 1874 seorang

peneliti bernama C.R. Wright menemukan sintesis heroin (putaw) dengan

memanaskan morfin. Peredaran opium selama abad ke-19 semakin berkembang

pesat di Amerika Serikat dan mudah sekali ditemukan dalam bentuk tonikum dan

obat paten. Pada tahun 1878 kerajaan Inggris mengeluarkan undang-undang untuk

mengerem penggunaan dan impor opium secara bebas terutama dari China. Hal ini

sama juga seperti yang dilakukan oleh Amerika Serikat yang mengeluarkan

Undang-Undang Makanan dan Obat (Food and Drug Act) pada tahun 1906 dan

mereka pemerintah Amerika Serikat meminta kepada pihak farmasi memberikan

label yang jelas untuk setiap kandungan opium dalam obat yang mereka produksi.

Pada tahun 1923 Badan Obat Amerika Serikat (FDA) melarang penjualan semua

bahan narkotika terutama heroin, namun walau demikian para pecandu tetap

membelinya dari pasar gelap. Pada tahun 1970 Presiden Amerika Serikat yaitu

Richard Nixion menyatakan perang terhadap heroin (war on heroin)9.

8
Jangkar. “Sejarah Narkoba”, dalam (http://www.jangkar.org) diakses 29 Mei 2016.
9
Ibid.
9

2.3 Faktor Pendukung Transnational Drugs Trafficking

Globalisasi disebut-sebut sebagai faktor pendukung utama yang

menyebabkan perdagangan narkoba sehingga sampai pada saat ini semakin marak.

Hal ini terjadi karena globalisasi menciptakan ruang di mana negara tidak lagi

menjadi satu-satunya aktor dalam dunia internasional. Globalisasi telah membuat

kedudukan negara menjadi lemah dan batas antaregara menjadi tidak jelas. Dampak

yang ditimbulkan oleh globalisasi ini adalah sebagai akibat dari pesatnya

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang komunikasi dan

transfortasi yang menyebabkan negara seolah tanpa batas, dan dunia dengan semua

dimensi kehidupannya nampak menjadi satu. Hal ini membawa dampak interaksi

antara masyarakat di dunia menjadi lebih intens yang menyebabkan jalur

komunikasi antara satu tempat dengan tempat lainnya semakin masif. Fenomena ini

membawa juga pengaruh arah kehidupan masyarakat bangsa dan negara yang

semakin terinterdependensi. Semakin canggihnya sistem komunikasi dan

transfortasi telah mengakibatkan lajunya peredaran manusia maupun barang serta

jasa, termasuk di dalamnya perdagangan narkoba lintas batas negara.

Kawasan Asia Pasifik yang memiliki pertumbuhan ekonomi relatif baik jika

dibandingkan dengan negara-negara yang ada di Afrika dan Amerika Latin menjadi

sasaran empuk peredaran sindikat narkoba internasional. Perbedaan kkebijakan dan

penerapan hukum dalam penanganan narkoba di kawasan Asia Pasifik sering

dimanfaatkan oleh sindikat narkotika internasional untuk mengembangkan


10

jarngannya10. Oleh karena itu, perdagangan narkoba dapat berlangsung secara

sistematis dan terorganisir. Dengan memanfaatkan kelemahan hukum suatu

kawasan atau negara, sindikat perdagangan narkoba internasional berusaha

menjaga agar struktur yang demikian tetap menguntungkan bagi bisnis

perdagangan narkoba.

Selain itu, dengan belum selarasnya hubungan politik negara-negara di Asia

Pasifik membawa dampak kawasan ini menjadi rawan terhadap kejahatan berupa

penyelundupan narkotika, baik yang bersumber dari kawasan ini sendiri, mapun

yang berasal dari berbagai negara, antara lain seperti Amerika Serikat, Asia Selatan,

dan Asia Tenggara. Dibukanya pasar bebas Asia Tenggara (AFTA) tahun 2003,

telah digunakan dan dimanfaatkan oleh pelaku narkotika untuk mengembangkan

pengaruhnya, mengingat di dalam kawasan ini terdapat daerah segitig emas, yaitu

Laos, Myanmar dan Thailand yang merupakan wilayah penghasil dan produsen

narkoba terbsar di Asia Tenggara. Posisi ini mengakibatkan terbukanya jalur

peredaran sampai ke Asia Pasifik dan Asia Tenggara11. Kondisi politik dan

ekonomi yang belum stabil di Asia Tenggara menguntungkan bagi para sindikat

pengedar narkoba untuk meningatkan peredaran dan perdagangan narkotika di

kawasan ini karena di negara-negara tersebut masyarakatnya cenderung akan

melakukan apa saja untuk memperoleh uang.

10
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Upaya ASEAN dalam Mencapai Drugs Free ASEAN
2015. dalam (http://www.setkab.go.id/artikel-5850-.html) diakses 29 Mei 2016.
11
Ibid.
11

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Jaringan Perdagangan Narkoba Internasioal

Perdagangan narkoba berlevel internasional sudah terjadi sejak lama, dari

dulu hingga saat ini perdagangan ilegal ini dilakukan bahkan semakin luas hingga

sampai saat ini diera globalisasi. Jika pada masa lalu perdagangan narkoba terpusat

di benua Amerika, maka saat ini jaringan narkoba telah menyebar hingga ke Asia,

bahkan Afrika. Selain meluasnya pasar secara internasional, para aktor kejahatan

perdagangan narkoba ini semakin bertambah dan beragam masuk dalam berbagai

level kehidupan masyarakat. Hampir di setiap negara secara internasional terdapat

sindikat-sindikat yang secara diam-diam memperjualbelikan barang haram ini.

Masing-masing sindikat pun memiliki strategi yang bermacam-macam yang sering

membuat bingung aparat keamanan yang bertugas dalam memberantas

perdagangan ilegal dan berbahaya ini.

Narkoba sendiri memiliki banyak jenis, namun secara global hanya ada dua

jenis yang diperjualbelikan dalam jaringan perdagangan utama, yaitu heroin dan

kokain. Heroin merupakan jenis narkoba yang terbuat dari morfin dan biasanya

diperoleh dari getah opium. Opium, banyak ditemui di daerah Golden Crescent

(Afganistan, Iran, dan Pakistan) dan Golden Triangle (Myanmar, Laos, dan

Vietnam)12. Kedua kawasan inilah yang menjadi pusat persebaran heroin di dunia.

12
Zhang Yong-an. Asia, International Drug Trafficking and US-China Counternarcotics
Cooperation. dalam (http://www.brookings.edu/research/papers/202/02/drug-trafficking-zhang)
diakses 31 Mei 2016.

11
12

Tahun 2010, perdagangan narkoba antara Afganistan dengan Asia Barat dan

Tengah mencapai lebih dari US$ 3 miliar13. Sementara dengan Myanmar dan

negara-negara bekas Uni Soviet lain bahkan bisa mencapai US$ 13 miliar14.

Myanmar, pada tahun 2006 ladang opium yang dimilikinya hanya 21.600 hektar,

namun pada tahun 2011 meningkat menjadi 43.600 hektar15, yang dari hasil ini

menyumbang 70 % persebaran heroin di China.

Dalam menyebarkan heroin, pelaku perdagangannya melakukan

penyebarannya melalui jalur darat. Bagi kawasan Golden Crescent, jalaur darat

melalui stasiun kereta api yang menjadi transit utama. Afganistan semakin

memperbanyak pembangunan transfortasinya. Terdapat sekitar 48 stasiun di

Afganistan dan negara-negara Asia Tengah dan Barat, hal ini jelas berdampak

dengan semakin mudahnya peredaran heroin di Eropa16. Selain karena dipengaruhi

oleh akses yang mudah, melalui stasiun kereta api kuantitas heroin yang bisa

diangkut akan lebih banyak. Arus peredaran narkoba juag didukung dengan adanya

jaringan Al-Qaeda di wilayah tersebut, yang dalam laporan juga terlibat dalam

penyelundupan barang haram ini17. Selain heroin, Al-Qaeda juga terlibat dalam

peredaran kokain.

13
Data dari IMF yang tercantum dalam laporan United Nations on Drugs and Crime (UNODC),
yang berjudul “Misuse of Licit Trade for Opiate Trafficking in Western and Central Asia, p. 11.
dalam (http://www.unodc.org/document/data-and-
analysis/studies/Opiate_Trafficking_and_Trade_Agreements_english_web.pdf.) diakses 31 Mei
2016.
14
United Nations of Drugs Crime. “Drug Trafficking”, dalam
(http://www.unodc.org/unodc/en/drug-trafficking/index.html) diakses 31 Mei 2016.
15
UNODC. 2009. Opium Poppy Cultivation in South-East Asia. Viena: UNODC. hal. 65.
16
UNESCAP. “Expert Group Meeting on Preparations for the Ministerial Conference on
Transport”. Bangkok, 14-15 July 2011.
17
UNODC. “The Transatlantic Cocaine Market”. Research Paper. dalam
(http://www.unodc.org/documents/dat-and-analysis/studies/transatlantic_cocaine_market.pdf)
13

Sementara itu, perdagangan kokain lebih mengutamakan jalur laut. Pengedar

kokain harus menyeberangi Samudra Atlantik hanya untuk mencapai Afrika.

Pengedar kokain biasanya menggunakan kapal-kapal induk yang bermuatan banyak

untuk mengangkut barang dagangan dari Amerika Latin menuju ke Afrika Barat.

Dari Afrika Barat ini selanjutnya kokain tersebut dialihkan ke kapal-kapal kecil dan

nantinya akan disebar ke Eropa18.

3.2 Struktur Internasional dan Drugs Trafficking

Perdagangan narkoba di dunia internasional telah menyebar ke berbagai

belahan dunia sebagai akibat dari adanyaa kemudahan dalam bertransaksi antara

konsumen dan produsen. Hasil riset yang dilakukan oleh Bovin menunjukkan

bahwa struktur internasional mempengaruhi jaringan perdagangan narkoba

internasional19. Struktur ekonomi dunia sendiri menciptakan kelas-kelas negara

yang di teorikan dalam perspektif sistem dunia (world system) sebagai negara-

negara inti dan negara periferi. Negara-negara inti adalah negara-negara maju,

sementara egara-negara periferi adalah negara-negara yang sdang berkembang.

Dalm hal ini, negara berkembang selalu berada di posisi yang paling lemah daripada

negara-negara maju dikarenakan negara berkembang memiliki keterbatasan dalam

banyak hal. Negara berkembang berusaha untuk menciptakan komoditas yang

dapat dijual dengan harga tinggi, tetapi dengan biaya produksi yang rendah. Hal ini

18
Ibid.
19
R. Bovin. “Drugs Trafficking Networks in the World Economy”. dalam
(http://www.erdr.org/texes/boivin-pdf) diakses 30 Mei 2016. hal. 4.
14

dilakukan oleh negara berkembang agar dapat mengimbangi perdagangan di negara

maju yang bisa menjual barang dengan harga tinggi di negara berkembang.

Dalam perspektif sistem dunia saat ini menganggap bahw fenomena tertentu

sebagai konsekuensi struktural dari sebuah sistem. Sebagai contoh, penggunaan

rute perdagangan yang sama untuk obat yang berbeda dapat dijelaskan oleh jarak

geografis antara sumber dan negara yang dituju. Negara-negara yang rentan dengan

perdagangan narkoba sekaligus sebagai produsen narkoba seperti Asia Tenggara,

Amerika Latin dan Afrika telah menciptakan struktur perdagangan “gelap” yang

baru semakin besar dan semakin terorganisir. Menurut laopran Uni Eropa, jaringan

pasar narkoba Eropa semakin kuat dan rumit. Narkoba jenis baru diciptakan,

pengedar menggunakan berbagai rute perdagangan dan jalur distribusi20. Eropa

berfungsi sebagai pasar dan tempat pertukaran produksi dan konsumsi narkoba,

demikian laporan yang disebutkan oleh Pusat Pengawasan Narkoba dan

Ketergantungan Narkoba (EMCDDA) dan Kepolisian Eropa (Europol). Pasar

narkoba di Eropa digambarkan sebagai pasar yang “semakin dinamis dan inovatif”.

Narkoba beredar di Eropa berasal dari seluruh dunia. Terlebih kokain yang

diproduksi di wilayah Andes : Kolombisa, Bolivia dan Peru. Masuk Eropa melalui

berbagai rute penyelundupan : Afrika, Karibia, Brazil dan Argentina. Sementara

heroin dipasok dari Afganistan, Pakistan dan Iran. Dengan demikian, perdagangan

20
Jennifer Fraczek. Perdagangan Narkoba di Eropa. Deutche Welle. dalam
(http://www.dw.de/perdagangan-narkoba-di-eropa/a-16568806) diakses 01 Juni 2016.
15

yang banyak (poli-trafficking) akan menjadi konsekuensi langsung dari sebuah

peluang transportasi, bukan strategi yang diencanakan dengan hati-hati21.

Banyaknya narkoba yang masuk dan diperdagangkan di Amerika Serikat dan

Eropa yang berasal dari Asia, Amerika Latin dan Afrika menunjukan adanya upaya

sindikat perdagangan narkoba di kawasan tersebut yang menganggap bahwa pasar

di negara-negara maju adalah pasar yang potensial bagi perdagangan barang

mereka. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika narkoba terus menerus diproduksi

dari negra-negar dunia ketiga. Dalam kasus ini, faktor ekonomi sangat

mempengaruhi terciptanya sistem perdagangan narkoba internasional yang

sistematis. Sebagai contoh, penyelundupan narkoba dan obat bius yang berasal dari

Amerika Latin ke Amerika Serikat terus meningkkat dengan angka penjualan yang

fantastis. Omzet miliaran dollar Amerika Serikat tampaknya menjadi pendorong

utama di balik semua perdagangan gelap yang bernilai US$ 13 miliar atau sekitar

Rp. 17 triliun (dengan kurs Rp. 9000,00) pertahun22. Dengan pendapatan yang

begitu besar membuat perdagangan narkoba ini diuntungkan dengan sistem

ekonomi dunia yang mengarah pada “perjuangan negara berkembang agar sejajar

dengan negara maju” dalam sistem ekonomi dan politik dunia23.

21
Boivin, Loc. Cit.
22
Pascal. S. Bin Saju. Mafia Amerika Latin: Kartel Menguat, Negara Tak Berdaya. Kompas.
Edisi 28 September 2010.
23
Winarno. Loc. Cit., hal. 408.
16

3.3 Perdagangan Narkoba di Indonesia

Di Indonesia, dalam sejarahnya penggunaan narkotika sebagai obat medis

sudah ada sejak zaman kolonial Belanda seiring dengan adanya penanaman opium

di Jawa Timur, serta beberapa opium yang dibeli dari India oleh pemerintah

kolonial Belanda. Namun, penyalahgunaan narkoba baru disadari pada tahun 1970-

an seiring dengan adanya upaya pemerintah Orde Baru untuk mencegah hal tersebut

dnegan mengeluarkan Inpres Nomor 6 Tahun 1971 tentang permasalahan nasional

yang kritikal24. Masalah penyalahgunaan narkoba pada era tersebut masih belum

begitu signifikan dan tidak ada kebijakan khusus dari pemerintahan Orde Baru

untuk mencegah maraknya penyalahgunaan perdagangan narkoba di Indonesia.

Pemerintahan Orde Baru menganggap bahwa masyarakat Indonesia yang

berlandaskan pada pancasila dan agama dapat mengontrol diri, serta menjaga diri

dari ancaman penyelahgunaan barang haram tersebut.

Kelengahan pemerintah Indonesia ini dimanfaatkan dengan baik oleh pelaku

kejahatan perdagangan narkoba untuk memasukkan narkoba ke wilayah Indonesia

secara ilegal. Pada akhirnya, seiring dengan krisis ekonomi dan keuangan yang

melanda Indonesia pada tahun 1997, penyalahgunaan narkoba semakin menjadi-

jadi dan tidak dapat dikontrol karena tidak ada badan khusus yang memiliki

wewenang untuk mencegah dan menangani masuknya narkoba ke Indonesia.

Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971 hanyaah sebagai pemberitahuan ancaman

24
Badan Narkotika Nasional (BNN). “Sejarah BNN”. dalam
(http://www.bnn.go.id/portal/index/php/konten/detail/bnn-pusat/profil/8005/sejarah-bnn)
diakses 02 Juni 2016.
17

narkoba di Indonesia tanpa adanya tindakan konkret untuk menangkalnya secara

berkelanjutan. Tentu hal ini berdampak pada kewalahannya pemerintah dalam

mencegah arus derasnya perdagangan narkoba di Indonesia.

a. Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia

Pada tahun 2011 menurut data dari BNN, jumlah penduduk Indonesia

yang positif menggunakan narkoba mencapai hingga 4.7 juta orang atau

sekitar 2.2 persen dari seluruh penduduk Indonesia usia 10-59 tahun. Sekitar

5.9 persen dari populasi masyarakat seluruh Indonesia pernah mencoba

narkoba minimal sekali dalam hidupnya25. Berikut tabel mengenai data

jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada tahun 2011.

Tabel 3.3.1 Jumlah Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia26

Pernah Setahun %Prevalen


Wilayah
Minimal Maksimal Minimal Maksimal Pernah Setahun
Sumatera 1,810,911 2,428,918 700,200 884,970 5.33 1.99
Jawa 6,472,695 8,741,979 2,482,187 3,129,078 6.76 2.49
Kalimantan 412,361 533,463 197,420 253,898 4.34 2.07
Sulawesi 525,534 655,757 222,919 272,911 4.33 1.82
Bali/NTB/NTT 318,127 402,424 128,620 157,139 3.52 1.39
Maluku/Papua 139,414 173,060 54,305 65,866 3.33 1.28

Total 9,679,042 12,935,601 3,784,652 4,763,862 5.90 2.23

Bila kita lihat dari jumlah data tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa

wilayah Jawa terjadi penyalahgunaan narkoba terbesar di Indonesia jika

dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya di seluruh Indonesia. Hal ini

terjadi dikarenakan mudahnya akses masuk narkoba ke Jawa, dibandingkan

25
BNN. “Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba
Di Indonesia Tahun 2011 (Kerugian Sosial Dan Ekonomi). dalam
(http://www.bnn.go.id/read/hasil_penelitian/10263/ringkasan-eksekutif-survey-nasional-
lahgun-narkoba-2011-kerugian-sosial-dan-ekonomi) diakses 02 Juni 2016.
26
Ibid.
18

ke wilayah-wilayah lainnya. Selain mudah secara akses, tingkat

perekonomian di Jawa lebih maju ketimbang wilayah lainnya di luar pulau

Jawa. Oleh karena itu, persebaran penyelahgunaan narkoba di Indonesia lebih

terpusat di Jawa.

Penyalahgunaan narkoba di Indonesia bisa dikatakan sudah memasuki

level darurat. Hal ini dikarenakan banyak anak muda yang berusia rata-rata

16 tahun sudah mencoba barang haram yang sangat berbahaya ini. Narkoba

jenis ganja adalah yang paling sering dikonsumsi oleh para perempuan, yaitu

sebanyak 87 persen, kemudian diikuti shabu sebanyak 57 persen, dan ekstasi

sebanyak 42 persen27. Maraknya anak-anak muda yang menkonsumsi

narkoba disebabkan oleh berbagai faktor, lemahnya kontrol dari keluarga

maupun lemahnya upaya yang dilakukan oleh aparat untuk menekn angka

perdagangan narkoba di Indonesia.

Penyalahgunaan narkoba dikalangan remaja tentu sangat

memprihatinkan karena besarnya dampak yang ditimbulkan baik secara

kesehatan, ekonomi, maupun sosial sangat merugikan bagi pemakai narkoba.

Penyakit-penyakit seperti HIV, hepatitis beresiko tertular bagi pengguna

narkoba yang menggunakan jarum suntuk secara bersama. Selain masalah

kesehatan, secara ekonomi tentunya para pengguna narkoba mengalami

kerugian akibat biaya konsumsi narkoba yang sangat mahal serta biaya

pengobatan. BNN merilis data mengenai kerugian yang ditimbulkan akibat

mengkonsumsi narkoba sebagai berikut.

27
Ibid.
19

Tabel 3.3.2 Total Kerugian Biaya Ekonommi Akibat Penyalahgunaan

Narkoba di Indonesia (Dalam Jutaan Rupiah)

No. Komponen Kerugian Ekonomi 2008 2011


1 Konsumsi Narkoba 15.376.071 17.542.841
2 Pengobatan Sakit 7.747.243 6.684.177
3 Overdosis 22.124 204.934
4 Detok dan Rehabilitasi 1.094.519 1.336.956
5 Pengobatan Sendiri 19.688 911.357
6 Kecelakaan 323.220 2.835.586
7 Urusan dengan Penegak Hukum 882.602 11.019.744
8 Penjara 839.813 2.923.736
9 Aktivitas Terganggu 188.705 1.00.678

Total Biaya Private 26.489.986 44.462.011

Selain mengenai biaya ekonomi yang terbuang sia-sia, ada juga biaya

sosial yang menjadi kosekuensi dari penyalahgunaan narkoba. Biaya yang

terbuang akibat loss productivity selama mengonsumsi narkoba menjadi

parameter dalam survei yang dilakukan oleh BNN. Total biaya yang

mencapai Rp 3.8 triliun28 mencerminkan bahwa penyalahgunaan narkoba

sangat merugikan baik bagi ekonomi serta sosial masyarakat Indonesia.

b. Peredaran Narkoba di Indonesia

Peredaran narkoba yang masuk ke Indonesia berasal dari jaringan yang

hampir ada di seluruh dunia dan terutama berasal dari Amerika Selatan.

Narkoba jenis shabu atau ampethamine banyak yang beredar di Indonesia

berasal dari wilayah Eropa Timur dan Eropa Barat, seperti dari Polandia,

28
Ibid., hal. 34.
20

Belanda, China dan Myanmar. Sementara ganja, Indonesia memperoleh

suplainya dari Kolombia, Afganistan, dan juga dari Jamaika. Sedangkan

kokain, mayoritas sumbernya berasal dari sumber narkoba yang ada di

Kolombia yang memiliki lahan koka yag nantinya diolah menjadi kokain.

Heroin sendiri masuk ke Indonesia adalah berasal dari perkebunan opium

yang banyak berasal dari Afganistan dan Myanmar yang merupakan negara

pembuat bahan asar heroin. Selain yang telah disebutkan di atas banyaak lagi

jenis narkoba yang masuk ke Indonesia namun kapasitas jumlahnya tidak

sebanyak shabu, ganja, kokain dan heroin29.

Seiring dengan perkembangan teknologi saat ini yang hampir masuk

keseluruh sendi kehidupan, Indonesia sekitar satu dekade lalu masih belum

mampu memproduksi obat-obatan terlarang tersebut. Namun, berbeda bila

kita lihat saat ini, Indonesia telah menjadi salah satu negara sebagai produsen

narkoba. Hal ini bukan hanya omongan belaka tanpa bukti nyata,

terbongkarnya pabrik-pabrik pembuatan narkoba di Indonesia, terutama

narkoba jenis alat suntuk seperi shabu, dari hari ke hari semakin bertambah

kasusnya. Pada tahun 2006, secara keseluruhan ada 12 kasus pembongkaran

pabrik narkoba, sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 25 kasus30.

29
BNN. “Jalur Peredaran Gelap”. dalam
(http://www.bnn.go.id/portalbru/portal/konten.php?nama=jalur&opjalur&mn=3&smn=b)
diakses pada 06 Juni 2016.
30
BNN. “Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia Tahun 2011”.
dalam (http://www.bnn.go.id/portl/uploads/post/2012/05/29/20120529145842-10263.pdf.)
diakses 06 Juni 2016.
21

c. Upaya Indonesia Mencegah dan Memberantas Narkoba

Permasalahan mengenai narkoba, pertama kali muncul di Indonesia

pada tahun 1971, setelah pemerintah orde baru mengeluarkan sebuah

Instruksi Presiden Nomor 6. Dalam Inpres tersebut berisi mengenai

penanggulangan 6 masalah nasional, salah satunya adalah masalah

penyalahgunaan narkoba. Sebagai sebuah kelanjutan dari Inpres ini, Badan

Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN) membentuk Badan Koordinasi

Pelaksana (Bakolak). Inpres tahun 1971 yang memiliki fungsi menjalankan

Inpres tersebut, termasuk penanggulangan penyalahgunaan narkoba di

Indonesia, namun Bakolak sendiri tidak efisien karena tidak memiliki

wewenang operasional dan tidak memiliki alokasi dana dari APBN31. Hal ini

sangat disayangkan karena potensi perdagangan narkoba yang begitu besar

mengancam Indonesia akibat dari derasnya arus globalisasi.

Kelengahan pemerintah dalam menghadapi, menangani serta

mengantisipasi narkoba di Indonesia baru terasa pasca munculnya krisis

ekonomi dan keuangan yang mengguncang Indonesia pada tahun 1997.

Pemakaian narkoba terus meningkat hingga pada akhirnya pemerintah

Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 yang isinya

adalah mengenai pembentukan Badan Koordinasi Narkotika Nasional

(BKNN). Selain UU Nomor 22 Tahun 1997, dibentuk juga Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1997 yang berisi mengenai psikotropika. Psikotropika adalah

31
BNN. “Sejarah BNN”. Dalam (http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/bnn-
pust/profil/8005/sejarh-bnn) diakses 06 Juni 2016.
22

zat atau obat yang alamiah maupun sintetis dan bukan narkotika. Berkhasiat

psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang

menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Sebagai

akibat penggunaan psikotropika adalah menurunkan aktivitas otak atau

merangsang susunan saraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku yang

disertai dengan timbulnya halusinasi, ilusi, gangguan cara berpikir dan

menimbulkan efek estimulasi bagi pemakainya.

Kedua undang-undang di atas merupakan undang-undang pertama yang

diterbitkan oleh pemerintah Indonesia. BKNN sebagai badan koordinasi

negara dipimpin oleh Kapolri dan beranggotakan kepolisian tanpa adanya

alokasi dana dari APBN hingga tahun 2002. Kurangnya personil ditambah

lagi tiadanya anggaran yang memadai, BKNN tidak banyak yang bisa

dilakukan untuk membendung peredaran narkoba di Indonesia yang semakin

merajalela. Selanjutnya, merasa BKNN kurang optimal kerjanya, Indonesia

mengeluarkan Keppres nomor 17 tahun 2002 tentang perubahan BKNN

menjadi Badan Narkotika Nasional (BNN) dan memperoleh alokasi dana dari

APBN sebagai biaya operasional dan BNN diperkuat lagi dengan Perpres

nomor 83 tahun 2007 yang menginstruksikan pembentukan badan narkotika

hingga tingkat daerah agar semakin efisien dalam memberantas dan

mencegah peredaran narkoba di Indonesia. BNN baru resmi menjadi salah

satu alat dari pemerintah dalam menyelidiki peredaran narkoba selain

kepolisian pada tahun 2009. UU Nomor 22 tahun 2007, BNN diberikan fungsi

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana serta prekursor narkotika di


23

Indonesia. Selanjutnya, secara struktural disusun Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 BNN bertanggung jawab langsung kepada presiden sebagai

lembaga pemerintah non-kementerian.

Dengan adanya BNN ini, hasil kerjasama BNN dengan Polri

membuahkan hasil dengan ditangkapnya para pelaku dan pengguna narkotika

di Indonesia. Dari tahun 2007 hingga tahun 2011 sebanyak 138.475 kasus

narkoba diungkap oleh Polri, sementara BNN mengungkap sebanyak 152

kasus narkoba sejak tahun 2009 hingga tahun 201132.

Pemerintah Indonesia telah berusaha dan berupaya dengan melakukan

berbagai cara, salah satunya dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang

mendukung pencegahan serta pemberantasan pemakaian dan peredaran

narkoba di Indonesia. Berbagai undang-undang dan Inpres yang melahirkan

aparat, seperti kepolisian dan BNN adalah contoh nyata apa upaya yang

dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Namun, tentu hal tersebut belum cukup

untuk memberantas peredaran narkoba yang telah menjadi jaringan kejahatan

transnasional. Kejahatan transnasional merupakan kejahatan yang melintasi

batas negara, maka diperlukan kerjasama antarnegara untuk mengungkap

jenis kejahatan ini. Langkah kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah

Indonesia dengan negara-negara lain, salah satunya dengan meratifikasi hasil

konvensi-konvensi anti narkoba seperti, United Nations Convention Againts

Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotopic Substances, Singgle

32
BNN. “Data Tindak Pidana Narkoba 2007-2011”. Dalam
(http://bnn.go.id/portal/uploads/post/2012/05/31/20120531153207-10234.pdf.) diakses 06 Juni
2016.
24

Convention on Narcotic Drugs, and convention on Psychotropic Substances,

yang menjadi 3 traktat utama dalam memberantas narkoba di Indonesia.

Selain itu, Interpol juga merupakan salah satu alat bantu negara-negara yang

termasuk di dalamnya Indonesia untuk mendukung upaya pencegahan dan

pemberantasan narkoba di wilayah negara masing-masing.

d. Respons Masyarakat Internasional

Bila bicara dalam level dunia internasional, maka tidak terlepas dari

peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB atau United Nations selaku

organisasi internasional terbesar saat ini, melalui UNODC memiliki program

untuk turut serta membantu usaha-usaha untuk memberantas perdagangan

ilegal narkoba. Misalnya saja program-program pemberantasan narkoba di

Afganistan dan negara tetangga dalam program kurun waktu tahun 2011

sampai dengan 2014 dengan mengadakan berbagai kerjasama, baik di tingkat

regional maupun internasional berdasarkan undang-undang yang berlaku,

undang-undang internasional mengenai pemberantasan peredaran gelap

narkoba, United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs

and Psychotropic Substances pada tahun 1988 yang saat ini telah diratifikasi

oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 dan Nomor 22

Tahun 1997. Pada dasarnya, apa yang ditawarkan oleh UNODC terkait erat

dengan efisiensi pengendalian narkotika. Begitu juga dengan Uni Eropa, yang

mendanai Central Drugs Action Programme (CADAP), bertujuan untuk

mendorong komitmen pemerintah negara-negara Asia Tengah melahirkan


25

langkah-langkah strategis yang berkelanjutan dalam ranah

ketergantungannya terhadap obat-obatan terlarang yang

mengimplementasikan sistem terkini mengenai penuntutan pecandu obat

sesuai dengan standar dan langkah strategis berskala internasional33.

3.4 Studi Kasus Diplomasi Perdagangan Narkoba di Indonesia

Masih segar dalam ingatan kita, eksekusi mati terhadap terpidana narkoba.

Eksekusi ini berdampak pada hubungan diplomatik antara negara Indonesia dan

negara yang warganya akan dihukum mati, yaitu reaksi dari pemerintah Brasil dan

Australia yang menimbulkan suasana hubungan diplomatik antara Indonesia dan

kedua negara itu memanas dan tidak harmonis. Efeknya, politik luar negeri sangat

reaktif terhadap penerapan hukuman mati terpidana narkoba di Indonesia.

Penolakan surat kepercayaan penuh Dubes Indonesia untuk Negara Brasil,

Toto Riyanto, dinilai telah menyalahi tata krama hubungan diplomatik karena

dianggap tidak lazim dalam hubungan diplomatik. Pemerintah Indonesia

menanggapinya dengan sikap elegan dan siap menarik duta besarnya pulang

kembali ke Indonesia. Pemerintah Indonesia pun tidak emosional dan tidak

melakukan tindakan balasan, meskipun sudah dipermalukan. Presiden Jokowi

menyatakan sikap Presiden Brasil menolak surat kepercayaan Dubes Indonesia

sangat tidak lazim dan menyalahi tata krama hubungan diplomatik, apalagi

penolakan itu berlangsung saat upacara resmi penerimaan surat kepercayaan dubes

33
Meeting Summary: Russia and Eurasia Programme. 2012. International Relations of the
Narcotics Trade Throught Central Asia. London: Chatam House Rule.
26

dari berbagai negara lain dan Dubes Indonesia turut diundang dalam acara

seremonial kenegaraan itu.

Kebijakan politik pemerintah Brasil yang mengaitkan politik luar negeri

dengan kebijakan hukum pemerintah Indonesia tidak terlalu signifikan dan relevan.

Sebab, eksekusi hukuman mati sudah sesuai dengan penerapan hukum yang berlaku

di Indonesia. Sementara itu, sikap pemerintah Australia terhadap warga negaranya

yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati jilid II, kelompok Bali Nine,

ditunjukkan dengan pernyataan Perdana Menteri Tony Abbot yang menyindir

pemerintah Indonesia untuk bersedia mengurungkan niatnya dengan mengungkit-

ungkit kebaikan pemerintah Australia dalam membantu tragedi tsunami Aceh tahun

2004 silam. Pengungkitan kebaikan pemerintah Australia dinilai sangat melukai

hati rakyat Indonesia, terutama masyarakat Aceh yang dibantu. Bantuan

kemanusiaan untuk musibah tsunami di Aceh bukan hanya berasal dari Australia,

melainkan juga berasal dari 55 negara lain. Dengan demikian, pemberian bantuan

Australia memiliki motif lain, karena Tony Abbot menganggap Indonesia lupa akan

kebaikan Australia. Menurut Wapres Jusuf Kalla, bantuan Australia berasal dari

palang merah dan masyarakat Australia, hanya sedikit yang murni dari pemerintah

Australia. Karena itu, Jusuf Kalla siap mengembalikan bantuan pemerintah

Australia demi mempertahankan harkat dan martabat serta harga diri rakyat

Indonesia.

Pernyataan Abbot Perdana Menteri Australia ini mengundang reaksi negatif

dari seluruh elemen masyarakat Indonesia dan khususnya masyarakat Aceh. Aksi

penggalangan koin untuk Tony Abbot merupakan bentuk protes terhadap intervensi
27

pemerintah Australia yang ingin mencampuri urusan hukum di Indonesia. Bahkan,

masyarakat Australia mengecam sikap Abbot untuk membantu warga negaranya

agar tidak dihukum mati dengan modus balas budi.

Selain pernyataan bantuan tsunami Aceh, PM Tony Abbot pun merilis bukti

tiga warga negara Indonesia yang menjadi terpidana kasus narkoba di Australia.

Pemerintah Australia mengambil tindakan terhadap tiga warga negara Indonesia

hanya dengan mengenakan hukuman paling tinggi adalah hukuman seumur hidup.

Interpretasi politik dari pernyataan itu adalah seberat apapun kesalahan warga

negara lain, termasuk kasus narkoba tidak akan dikenakan eksekusi hukuman mati.

Bagi Australia, sistem hukum eksekusi mati yang diterapkan oleh Indonesia,

dipandang bertentangan dengan HAM. Penerapan eksekusi hukuman mati tidak

dikenal di Australia. PM Tony Abbot hendaknya menghormati sistem hukum di

Indonesia. Penolakan grasi dan pemberian hukuman mati tahap II terhadap dua

tersangka dari kelompok Bali Nine sudah tepat karena narkoba dinilai sebagai

ancaman dan bahaya laten bagi generasi muda. Informasi dari BNN, ada sekira 50

orang kaum muda harus meregang nyawa setiap hari di Indonesia akibat

mengonsumsi narkoba. Presiden Jokowi sudah menegaskan bahwa Indonesia

darurat narkoba. Parlemen Indonesia menunjukkan keprihatinannya dengan

menggalang koin untuk Australia. Lukman Edy, salah seorang anggota DPR dan

politikus dari PKB, berinisiatif menyiapkan kardus besar bagi usaha pengumpulan

koin untuk mengembalikan bantuan tsunami Aceh34.

34
Tribun Makassar. 2015. Dalam (http://makassar.tribunnews.com/2015/03/03/diplomasi-narkoba)
diakses 08 Juni 2016.
28

Sikap PM Australia Tony Abbot, selain mendapat kecaman dari masyarakat

Indonesia, juga mendapat kecaman dari warganya sendiri. Mayoritas masyarakat

Australia tidak mendukung sikap politik Abbot terhadap pendekatannya yang

demikian untuk membantu warganya yang terpidana eksekusi mati di Indonesia.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa sikap Abbot hanya pandangan politik

pemerintah, bukan representasi keinginan rakyat Australia. Tekanan politik luar

negeri yang demikian keras untuk membatalkan rencana pemerintah Indonesia

melakukan eksekusi hukuman mati tahap II, menimbulkan persepsi dan interpretasi

masyarakat karena penundaan jadwal yang direncanakan seharusnya akhir

Februari. Pemberitaan eksekusi hukuman mati pelaku kejahatan narkoba yang

dikenal dengan nama Bali Nine sangat menyita perhatian dunia internasional.

Pelaksanaan eksekusi hukuman mati jilid II, Presiden Jokowi sudah

berkomitmen untuk merealisasikannya. Namun, pelaksanaan eksekusi hukuman

mati tahap II tidak semulus saat pemerintah Indonesia melakukan eksekusi

hukuman mati tahap I. Berbagai tekanan politik luar negeri yang disampaikan

Sekjen PBB Bang Kin Hoo, Presiden Brasil Dilma Rousseff, dan Perdana Menteri

Australia Tony Abbot sebagai bahan ujian bagi ketegasan Presiden Jokowi.

Berbagai pendapat dari para pakar hukum dan hubungan internasional yang

merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia untuk tegas menegakkan hukum

dan menjaga kedaulatan negara. Begitu pula di parlemen, para legislator di Komisi

I sudah menegaskan bahwa negara lain tidak boleh mencampuri sistem hukum di

Indonesia. Semua pendapat dan opini yang bergulir itu dapat dijadikan bahan
29

pertimbangan Presiden Jokowi untuk menentukan sikap politiknya agar Indonesia

tetap memiliki ketegasan di dunia Internasional.

Jika memang pelaksanaan eksekusi hukuman mati tahap II ini gagal

dilaksanakan, maka akan menjadi sejarah buruk bagi penegakan hukum di

Indonesia dan popularitas Presiden Jokowi akan terpuruk di mata rakyat. Sebab,

semua negara yang warga negaranya menanti hukuman eksekusi mati akan

menempuh jalur diplomatik atau melakukan segala cara untuk menyelamatkan

warganya dari proses hukuman mati. Presiden Jokowi berada di persimpangan jalan

yang cukup rumit. Di satu jalan, Presiden Jokowi harus menyelamatkan generasi

muda Indonesia dari narkoba yang sangat berbahaya mengancam republik ini. Di

jalan lain, Presiden Jokowi harus menjaga hubungan diplomatik dengan negara lain.

Diplomasi narkoba menjadi penentu arah ketegasan Presiden Jokowi. Yang pasti

apapun yang akan dilakukan oleh juga merupakan representatif dari rakyat

Indonesia yang wajib didukung.


30

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Narkotika merupakan permasalahan lintas batas negara paling berbahaya

yang dapat merusak kehidupan, yang merasakan damaknya bukan hanya satu dua

orang saja atau beberapa negara, namun seluruh masyarakat yang ada di dunia.

Sebenarnya jenis narkotika, seperti candu dan kokain dulu digunakan dalam

pengobatan, namun jika dosis yang digunakan berlebihan akan berdampak sangat

buruk. Terlebih lagi, narkotika diperjualbelikan demi meraup keuntungan yang

besar dan parahnya lagi perdagangan narkoba ini telah melintasi batas-batas negara,

dengan terciptanya jaringan-jaringan perdagangan narkoba transnasional.

Perdagangan narkoba yang semakin berkembang di seluruh dunia telah

menjadi salah satu isu global mengenai kejahtan transnasionalisme. Mobilisasi

narkoba ke seluruh dunia seakan menjadi semakin mudah dengan adanya

globalisasi sebagai faktor pendorong. Globalisasi yang menjadi tren pasca

berakhirnya perang dingin membuat akses mobilisasi narkoba semakin mudah

dicapai. Perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi menjadikan

perdagangan ilegal narkoba semakin berkembang dengan begitu cepat dan meluas.

Globalisasi juga berkontribusi terhadap sistem finansia yang memungkinkan para

pedagang narkoba untuk melakukan money loundry dengan sangat cepat dan mudah

serta memperbesar wilayah perdagangannya. Selain itu, globalisasi menyumbang

ketimpangan negara-negara Utara-Selatan atau kelompok negara-negara maju dan

30
31

kelompok negara-negara dunia ketiga. Sehingga membuat banyak orang dari

negara-negara dunia ketiga terjun ke dalam bisnis narkoba dan membentuk jaringan

narkoba dan menjualnya ke seluruh dunia.

Bisnis perdagangan narkoba yang sudah semakin terorganisir dan memiliki

jaringan hampir di seluruh dunia tidak dapat diberantas hanya dengan usaha dari

masing-masing negara. Perlu diadakan kerjasama antarnegara untuk memberantas

kejahatan transnasionalisme yang bisa membahayakan jiwa para penggunanya. Di

Indonsia, pemerintah telah melakukan upaya kerjasama dengan negara lain, seperti

dengan berpartisipasi dan meratifikasi 3 traktat utama PBB dalam pemberantasan

perdagangan ilegal narkoba. Indonesia, melalui Interpol juga melakukan kerjasama

dengan negara-negara laiin untuk membagikan informasi mengenai rute-rute

perdagangan narkoba serta para pelakunya guna ditindaklanjuti. Selain itu, dalam

ruang lingkup domestik, pemerintah Indonesia melakukan kebijakan-kebijakan

yang bertujuan untuk mencegah dan memberantas peredaran narkoba dengan

contoh pembentukan BNN sebagai lembaga yang dianggap mampu menyelidiki

dan menyidik tindak pidana perdagangan narkoba yang terjadi di Indonesia.

Meskipun dengan berbagai cara pencegahan dan pemberantasan narkoba

telah dilakukan oleh banyak negara melalui berbagai kerjasama, baik secara global

maupun ditingkat regional namun belum mamu untuk membongkar jaringan-

jaringan internasional yang sangat terorganisasi. Semakin maraknya kasus

kejahatan perdagangan narkoba, menunjukkan bahwa semakin mudahnya akses

untuk mengkoordinir barang haram ini sebagai dampak dari globalisasi yang

mengakibatkan kejahatan transnasional ini sangat sulit terlacak.


32

Dengan hadirnya globalisasi bukan hanya memberikan peluang, namun juga

memberikan ancaman serius berupa maraknya kejahatan transnasional seperti

perdagangan narkoba. Perdagangan narkoba memberikan ancaman serius bagi

kehidupan bangsa dan generasinya, selain merusak fisik, merusak mental,

perdagangan narkoba juga merusak tatanan sosial dan keamanan sampai pada

tingkatan global. Oleh karena itu, apa yang dikatakan oleh Mahathir Muhammad

mengenai say no to drugs tidaklah cukup, perlu dilakukan pemberantasan secara

terus-menerus seperti yang dilakukan oleh Richard Nixon bahwa war on drugs.

4.2 Saran

Melihat berbagai situasi di atas, maka sudah seharusnya perdagangan narkoba

ini dimasukkan dalam agenda global, melihat dampaknya yang meluas ke seluruh

negara di dunia. Diperlukan komitmen dan peran serta kerjasama yang bukan

hanya dari pemerintah, namun juga masyarakat internasional untuk menangani

perdagangan ilegal narkoba. Perdagangan narkoba juga terkait dengan jaringan

lainnya, seperti terorisme. Keuntungan yang diperoleh dari perdagangan narkoba

akan digunakan untuk membantu pendanaan jaringan terorisme. Dengan demikian

kejahatan perdagangan narkoba secara jelas bisa menganggu stabilitas keamanan

global. Maka sangat dibutuhkan peran yang bukan hanya negara, namun juga

organisasi internasional dan lembaga lainnya dalam memberantas kasus kejahatan

perdagangan narkoba ini.


33

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Boister, Neil. 2003. “Transnasional Criminal Law”. European Journal of
International Law.
Brown, Chris. 1997. Understanding International Relations. Basingtoke:
Macmillan.
Dougherty, James E. 1981. “The Configuration of the Global System”, dalam Gavin
and Charles Pentland (eds.), Issues in Global Politics. London: The
Free Press.
Meeting Summary: Russia and Eurasia Programme. 2012. International Relations
of the Narcotics Trade Throught Central Asia. London: Chatam House
Rule.
Nadack, Wison. 1983. Korban Ganja dan Masalah Narkotika. Bandung: Indonesia
Publishing House.
Saju, Pascal. S. Bin. Mafia Amerika Latin: Kartel Menguat, Negara Tak Berdaya.
Kompas. Edisi 28 September 2010.
UNESCAP. “Expert Group Meeting on Preparations for the Ministerial
Conference on Transport”. Bangkok, 14-15 July 2011.
UNODC. 2009. Opium Poppy Cultivation in South-East Asia. Viena: UNODC. hal.
65.
Winarno, Budi. 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS.

Websites:
Badan Narkotika Nasional (BNN). “Sejarah BNN”. dalam
(http://www.bnn.go.id/portal/index/php/konten/detail/bnn-
pusat/profil/8005/sejarah-bnn) diakses 02 Juni 2016.
BNN. “Data Tindak Pidana Narkoba 2007-2011”. Dalam
(http://bnn.go.id/portal/uploads/post/2012/05/31/20120531153207-
10234.pdf.) diakses 06 Juni 2016.
BNN. “Jalur Peredaran Gelap”. dalam
(http://www.bnn.go.id/portalbru/portal/konten.php?nama=jalur&opjal
ur&mn=3&smn=b) diakses pada 06 Juni 2016.
BNN. “Sejarah BNN”. Dalam
(http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/bnn-
pust/profil/8005/sejarh-bnn) diakses 06 Juni 2016.
BNN. “Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia
Tahun 2011”. dalam
34

(http://www.bnn.go.id/portl/uploads/post/2012/05/29/2012052914584
2-10263.pdf.) diakses 06 Juni 2016.
BNN. “Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba
Di Indonesia Tahun 2011 (Kerugian Sosial Dan Ekonomi). dalam
(http://www.bnn.go.id/read/hasil_penelitian/10263/ringkasan-
eksekutif-survey-nasional-lahgun-narkoba-2011-kerugian-sosial-dan-
ekonomi) diakses 02 Juni 2016.
Bovin, R. “Drugs Trafficking Networks in the World Economy”. dalam
(http://www.erdr.org/texes/boivin-pdf) diakses 30 Mei 2016. hal. 4.
Data dari IMF yang tercantum dalam laporan United Nations on Drugs and Crime
(UNODC), yang berjudul “Misuse of Licit Trade for Opiate Trafficking
in Western and Central Asia, p. 11. dalam
(http://www.unodc.org/document/data-and-
analysis/studies/Opiate_Trafficking_and_Trade_Agreements_english_
web.pdf.) diakses 31 Mei 2016.
Fraczek, Jennifer. Perdagangan Narkoba di Eropa. Deutche Welle. dalam
(http://www.dw.de/perdagangan-narkoba-di-eropa/a-16568806)
diakses 01 Juni 2016.
Jangkar. “Sejarah Narkoba”, dalam (http://www.jangkar.org) diakses 29 Mei
2016.
Kompasiana. Dependency Theory and Indonesia, 26 Juni 2009 dalam
(www.kompasiana.com/post/bisnis/2009/06/26/dependency-theory-
and-indonesia), diakses 29 Mei 2016.
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. 2004. Narkoba dan Permasalahannya.
Yogyakarta.
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Upaya ASEAN dalam Mencapai Drugs
Free ASEAN 2015. dalam (http://www.setkab.go.id/artikel-5850-.html)
diakses 29 Mei 2016.
Tribun Makassar. 2015. Dalam
(http://makassar.tribunnews.com/2015/03/03/diplomasi-narkoba)
diakses 08 Juni 2016.
United Nations of Drugs Crime. “Drug Trafficking”, dalam
(http://www.unodc.org/unodc/en/drug-trafficking/index.html) diakses
31 Mei 2016.
UNODC. “Introduction, Drug Trafficking”. dalam
(http://www.unodc.org/unodc/en/drug-trafficking/) diakses 29 Mei
2016.
UNODC. “Legal Framework for Drug Trafficking”. dalam
(http://www.unodc.org/unodc/en/unodc/en/drug-trafficking/legal-
framework.html) diakses 29 Mei 2016.
UNODC. “The Transatlantic Cocaine Market”. Research Paper. dalam
(http://www.unodc.org/documents/dat-and-
analysis/studies/transatlantic_cocaine_market.pdf)
35

Yong-an, Zhang. Asia, International Drug Trafficking and US-China


Counternarcotics Cooperation. dalam
(http://www.brookings.edu/research/papers/202/02/drug-trafficking-
zhang) diakses 31 Mei 2016.

Вам также может понравиться