Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
OLEH:
LESTARI
A 241 17 021
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena saya dapat
menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas Ilmu
Sosial dan Budaya Dasar. Selain itu, penyusunan makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan mengenai manusia sebagai makhluk berbudaya dan beradab.
Akhirnya saya menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati, saya menerima kritik dan saran agar penyusunan
makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu saya mengucapkan banyak terima kasih dan
semoga karya tulis ini bermanfaat untuk untuk pembaca sekalian.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah salah satu mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang paling sempurnadiantara semua
mahluk ciptaan-Nya. Manusia dibekali sesuatu yang amat berharga dan istimewayang tidak
dibekalkan Tuhan Yang Maha Esa kepada mahluk ciptaan-Nya yang lain, dengan akalmanusia
dapat membuat keputusan diantara beberapa pilihan yang ada, mengambil pelajaranyang
terjadi dalam kehidupannya baik itu kejadian menyenangkan dan tidak menyenangkan
baginya, serta dapat mempertimbangkan baik burunya segala hal yang akan
mempengaruhikehidupannya.Dalam kehidupannya manusia menjalani banyak aktifitas, mulai
dari aktifitas pribadi,keluarga, etnis/suku, kelompok dan masyarakat. Dari aktifitas-aktifitas
tersebut kegiatan yangmelibatkannya etnis/sukunya yang memiliki kekhasan tersendiri.
B.Rumusan Masalah
C. Tujuan
5. Untuk mengetahui sistem kepercayaan, sistem religi, sistem pencaharian dan kesenian
yang terdapat pada suku bugis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian kebudayaan
Pengertian kebudayaan ditinjau dari bahasa sansakerta “budhayah” (jamak),
budhi=budi/akal. Jadi kebudayaan adalah hasil akal manusia untuk mencapai kesempurnaan
EB. Taylor mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan kompleks yang didalamnya
terkandung ilmu pengetahuan serta yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat. Atau
diartikan pula segala sesuatu yang diciptakan manusia baik materi maupun non material
melalui akal. Budaya itu tidak diwariskan secara generative (biologis) tapi melalui belajar.
Menurut Koentjaraningrat: kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan,
dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar.
Makhluk budaya artinya makhluk yang berkemampuan melakukan hal-hal yang positif,
menciptakan kebaikan, kebenaran, keadilan dan bertanggung jawab. Sebagai makhluk
berbudaya, manusia mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan baik bagi
dirinya maupun bagi masyarakat demi kesempurnaan hidupnya.
D. Problematika Kebudayaan
Kebudayaan mengalami dinamika seiring dengan dinamika pergaulan hidup manusia
sebagai pemilik kebudayaan, dan adanya budaya dari luar yang teradang kita langsung
menerima dan menerapkan pada diri dan kehidupan kita tanpa berfikir panjang dengan resiko
efek ke kebudayan kita sendiri. Ini lah beberapa contoh problematika kebudayaan:
1. Hambatan budaya yang berkaitan dengan pandangan hidup dan sistem kepercayaan.
Dalam hal ini, kebudayaan tidak dapat bergerak atau berubah karena adanya pandangan
hidup dan sistem kepercayaan yang sangat kental, karena kuatnya kepercayaan
sekelompok orang dengan kebudayaannya mengakibatkan mereka tertutup pada dunia luar
dan tidak mau menerima pemikiran-pemikiran dari luar walaupun pemikiran yang baru ini
lebih baik daripada pemikiran mereka. Sebagai contoh dapat kita lihat bahwa orang jawa
tidak mau meninggalkan kampung halamannya atau beralih pola hidup sebagai petani.
Padahal hidup mereka umumnya miskin.
2. Hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan presepsi atau sudut pandang.
Hambatan budaya yang berkaitan dengan perbedaan presepsi dan sudut pandang ini dapat
terjadi antara masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Sebagai contoh dapat kita lihat
banyak masyarakat yang tidak setuju dengan program KB yang dicanangkan pemerintah
yang salah satu tujuannya untuk mengatasi kemiskinan dan kepadatan penduduk, karena
masyarakat beranggapan bahwa banyak anak banyak rezeki.
3. Hambatan budaya yang berkaitan dengan faktor psikologi atau kejiwaan.
Upaya untuk mentransmigrasikan penduduk dari daerah yang terkena bencana alam sering
mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran penduduk bahwa
ditempat yang baru hidup mereka akan lebih sengsara dibandingkan dengan hidup mereka
ditempat yang lama.
6. Sikap etnosentrisme.
Sikap etnosentris adalah sikap yang mengagungkan budaya suku bangsa sendiri dan
menganggap rendah budaya suku bangsa lain. Sikap seperti ini akan memicu timbulnya
pertentangan-pertentangan suku, ras, agama, dan antar golongan. Kebudayaan yang
beraneka ragam yang berkembang disuatu wilayah seperti Indonesia terkadang
menimbulkan sikap etnosentris yang dapat menimbulkan perpecahan.
BAB III
PEMBAHASAN
Suku Bugis atau to Ugi’ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia.
Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun, dalam perkembangannya, saat
ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara. Ugi bukanlah sebuah kata yang
memiliki makna. Tapi merupakan kependekan dari La Satumpugi, nama seorang raja yang
pada masanya menguasai sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. La Satumpugi
terkenal baik dan dekat dengan rakyatnya. Rakyatnya pun menyebut diri mereka To Ugi, yang
berarti Orang Ugi atau Pengikut Ugi. Dalam perjalanannya, seiring gerakan ke-Indonesiaan,
Ugi dibahasa-Indonesiakan menjadi Bugis dan diidentifikasikan menjadi salah satu suku resmi
dalam lingkup negara Republik Indonesia.
Orang Bugis memandang rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi juga sebagai
ruang pusat siklus kehidupan. Tempat manusia dilahirkan, dibesarkan, kawin, dan meninggal.
Karena itu, membangun rumah haruslah didasarkan tradisi dan kepercayaan yang diwarisi
secara turun temurun dari leluhur. Konstruksi berbentuk panggung yang terdiri atas tingkat
atas, tengah, dan bawah diuraikan yaitu Tingkat atas digunakan untuk menyimpan padi dan
benda-benda pusaka. Tingkat tengah, yang digunakan sebagai tempat tinggal, terbagi atas
ruang-ruang untuk menerima tamu, tidur, makan dan dapur. Tingkat dasar yang berada di lantai
bawah diggunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian, dan kandang ternak. Rumah
tradisional bugis dapat juga digolongkan berdasarkan status pemiliknya atau berdasarkan
pelapisan sosial yang berlaku. Kemudian budaya suku bugis ketika perkawinan dikenal dengan
nama “mappancing” yaitu pembersihan seorang calon pengantin sebelum diakadkan. Hal ini
bertujuan untuk pembersihan seluruh calon pengantin baik itu calon suami maupun calon istri.
3. SISTEM RELIGI
Pada mulanya, agama Suku Bugis adalah animisme yang diwariskan secara turun-temurun.
Masyarakat di sini merupakan pengikut aliran kepercayaan sure galigo, yaitu sebuah
kepercayaan pada dewa tunggal yang sering mereka sebut dengan Patoto E. Bahkan, sampai
saat ini masih ada masyarakat Bugis yang mempercayai aliran ini. Namun animisme itu terkikis
sejak ulama asal Sumatera bernama Datuk Di Tiro menyebarkan ajaran Islam di Sulawesi
Selatan. Islam kemudian menjadi agama utama Suku Bugis hingga kini. Islam masuk ke daerah
Suku Bugis sekitar abad ke 17, melalui para pedagang Melayu. Ajaran Islam yang mudah
diterima oleh masyarakat setempat membuat agama ini menjadi pilihan di antarakeberagaman
agama lainnya. Mereka bisa menerima Islam dengan baik karena menurut mereka ajaran Islam
tidak mengubah nilai-nail, kaidah kemasyarakatan dan budaya yang telah ada.Walaupun
demikian, beberapa komunitas Suku Bugis tidak mau meninggalkan animisme. Ketika
Pemerintah Indonesia menawarkan kepada mereka lima agama untuk dianut, mereka lebih
memilih agama Budha atau Hindu yang mereka anggap menyerupai animisme mereka. Maka
jangan heran kalau ada orang Bugis yang menunjukkan KTP-nya bertuliskan agama Budha
atau Hindu.
Suku Bugis merupakan suku yang menganut sistem patron klien atau sistem kelompok
kesetia kawanan antara pemimpin dan pengikutnya yang bersifat menyeluruh. Salah satu
sistem hierarki yang sangat kaku dan rumit. Namun, mereka mempunyai mobilitas yang sangat
tinggi, buktinya dimana kita berada tak sulit berjumpa dengan manusia Bugis. Mereka terkenal
berkarakter keras dansangat menjunjung tinggi kehormatan, pekerja keras demi kehormatan
nama keluarga. Sedangkan sistem kekerabatan orang Bugis disebut assiajingeng yang
mengikuti sistem bilateral atau sistem yang mengikuti pergaulan hidup dari ayah maupun dari
pihak ibu. Garis keturunan berdasarkan kedua orang tua sehingga seorang anak tidak hanya
menjadi bagian dari keluarga besar ayah tapi juga menjadi bagian dari keluarga besar ibu.
Hubungan kekerabatan atau assiajingeng ini dibagi dua yaitu siajing mareppe(kerabat
dekat) dan siajing mabella (kerabat jauh). Kerabat dekat atau siajing mareppe adalah penentu
dan pengendali martabat keluarga. Siajing mareppe inilah yang akan menjadi tu masiri’ (orang
yang malu) bila ada perempuan anggota keluarga mereka yang ri lariang (dibawa lari oleh
orang lain). Mereka punya kewajiban untuk menghapus siri’ atau malu tersebut.Anggota
siajing mareppe didasarkan atas dua jalur, yaitu reppe mereppe atau anggota kekeluargaan
berdasarkan hubungan darah dan siteppang mareppe(sompung lolo) atau anggota kekeluargaan
berdasarkan hubungan perkawinan.
5. SISTEM PENCAHARIAN
Wilayah Suku Bugis terletak di dataran rendah dan pesisir pulau Sulawesi. Di dataran ini,
mempunyai tanah yang cukup subur, sehingga banyak masyarakat Bugis yang hidup sebagai
petani. Selain sebagai petani, SukuBugis juga di kenal sebagai masyarakat nelayan dan
pedagang. Meskipun mereka mempunyai tanah yang subur dan cocok untuk bercocok tanam,
namun sebagian besar masyarakat mereka adalah pelaut. Suku Bugis mencari kehidupan dan
mempertahankan hidup dari laut.Tidak sedikit masyarakat Bugis yang merantau sampai ke
seluruh negeri dengan menggunakan Perahu Pinisi-nya. Bahkan, kepiawaian suku Bugis dalam
mengarungi samudra cukup dikenal luas hingga luar negeri, di antara wilayah perantauan
mereka, seperti Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika
Selatan. Suku Bugis memang terkenal sebagai suku yang hidup merantau. Beberapa dari
mereka, lebih suka berkeliaran untuk berdagang dan mencoba melangsungkan hidup di tanah
orang lain. Hal ini juga disebabkan oleh faktor sejarah orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
Dengan terciptanya peralatan untuk hidup yang berbeda, maka secaraperlahan tapi pasti,
tatanan kehidupan perorangan, dilanjutkan berkelompok,kemudian membentuk sebuah
masyarakat, akan penataannya bertumpu pada sifat-sifat peralatan untuk hidup tersebut.
Peralatan hidup ini dapat pula disebut sebagaihasil manusia dalam mencipta. Dengan bahasa
umum, hasil ciptaan yang berupaperalatan fisik disebut teknologi dan proses penciptaannya
dikatakan ilmupengetahuan dibidang teknik.Sejak dahulu, suku Bugis di Sulawesi Selatan
terkenal sebagai pelautyang ulung. Mereka sangat piawai dalam mengarungi lautan dan
samudera luas hingga ke berbagai kawasan di Nusantara dengan menggunakan perahu Pinisi.
1. Perahu Pinisi
Perahu Pinisi termasuk alat transportasi laut tradisional masyarakat Bugisyang sudah terkenal
sejak berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di dalamnaskah Lontarak I Babad La Lagaligo,
Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad ke-14M. Menurut naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama
kali dibuat olehSawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk membuat
perahutersebut diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal sangatkokoh dan
tidak mudah rapuh. Namun, sebelum pohon itu ditebang, terlebih dahulu dilaksanakan upacara
khusus agar penunggunya bersedia pindah ke pohon lainnya. Hingga saat ini, Kabupaten
Bulukumba masih dikenal sebagai produsen Perahu Pinisi.
Sepeda ataupun Dokar, koleksi Perangkat pertanian Tadisional ini adalahbukti sejarah
peradaban bahwa sejak jaman dahulu bangsa indonesia khususnyamasyarakat Sulawesi Selatan
telah dikenali sebagai masyarakat yang bercocok tanam. Mereka menggantungkan hidupnya
pada sektor pertanian terutamatanaman padi sebagai bahan makanan pokok.
Jika anda ingin mengenali lebih jauh tentang sisi lain dari kehidupan masalampau masyarakat
Sulawesi Selatan, maka anda dapat mengkajinya melaluikoleksi trdisional menempa besi, Hasil
tempaan berupa berbagai jenis senjatatajam, baik untuk penggunan sehari – hari maupun untuk
perlengkapan upacaraadat.
Namun, suku bugis banyak merantau ke daerah – daerah untuk mencari pekerjaan
sehingga suku bugis tidak hanya tersebar di Sulawesi selatan tapi juga tersebar di berbagai
pelosok daerah. Walaupun mereka banyak tersebar tetapi mereka tetap melestarikan budaya
mereka dan tetap menjunjung tinggi adat istidata yang mereka.
Dalam kesehariannya hingga saat ini orang bugis masih menggunakan bahasa “Ugi” yang
merupakan bahasa keluarga besar dari bahasa Austronesia Barat. Selain itu, orang Bugis juga
memilikis aksara sendiri yakni aksara lontara yang berasal dari huruf Sansekerta. Bahkan
uniknya, logat bahasa Bugis berbeda di setiap wilayahnya; ada yang kasar dan ada yang halus.
Bahasa, yang dimiliki Suku Bugis menandakan satu hal: Suku Bugis pada masanya memiliki
peradaban yang luar biasa hebatnya. Nenek moyang Suku Bugis adalah orang-orang pintar
yang mampu menciptakan dan mewariskan ilmu pengetahuan.
8. KESENIAN
Alat musik
1. Kacapi (kecapi) Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya
sukuBugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan
atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang
memiliki dua dawai, diambil karena penemuannya dari tali layar perahu.
2. Sinrili, Alat musik yang mernyerupai biola tetapi biola di mainkan dengan membaringkan
di pundak sedangkan Singrili di mainkan dalam keedaanpemain duduk dan alat
diletakkan tegak di depan pemainnya.
3 .Gendang Musik , perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang
danbundarseperti rebana.
Seni tari
• Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
• Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu
senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan
• Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh calabai(waria), namun jenis
tarian ini sulit sekali ditemukan bahkan dikategorikan telahpunah.
• Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa ,tari Pa’galung, dan Tari Pabbatte
(biasanya di gelar padasaat Pesta Panen
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada dasarnya Indonesia kaya akan kebudayaan yang berada di pulau-pulau. Di setiap pulau
mempunyai suku yang beraneka ragam pula, contohnya Suku Bugis yang terdapat di Sulawesi
Selatan. Penyebaran Suku Bugis sudah banyak di Indonesia hingga ke Pulau Kalimantan
bahkan Pulau Sumatera akibat sifat manusia Suku Bugis yang suka merantau, penyebarannya
melalui perdagangan dan pernikahan, jadi tak heran jika kita dapat menemukan Suku Bugis
selain di Provinsi Sulawesi. Kekayaan keseniannya pun menyebar luas dan harus di lestarikan
dan di paten kan hak ciptanya agar tidak dapat di klaim oleh Negara lain, karena itu merupakan
bagian dari kesenian Negara Indonesia.
.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, 2006. Manusia sebagai Makhluk budaya dan Makhluk Sosial. Kencana. Jakarta
Mustofa Ahmad, 1999. Ilmu Budaya Dasar. CV. Pustaka Setia. Bandung