Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Disusun Oleh:
Novita Indah Yanti, S.Ked.
71 2018 037
Pembimbing:
dr. Hj. Ridhayani, Sp.A
Oleh:
Novita Indah Yanti, S.Ked
71 2018 037
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior (KKS) di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang BARI Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Semesta Alam, Allah SWT, atas nikmat dan
karunia-Nya. Sholawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW.
Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan selama pengerjaan
laporan kasus, yang berjudul “Hiperbilirubinemia pada Neonatus” ini kepada dr.
Ridhayani, Sp. A., dan terakhir, bagi semua pihak yang terlibat, baik secara
langsung maupun tidak langsung, rela maupun tidak rela, yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu, penulis haturkan terima kasih atas bantuannya hingga
laporan kasus ini dapat terselesaikan. Semoga bantuan yang telah diberikan
mendapatkan imbalan setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa didalam laporan kasus ini masih banyak
kekurangan baik dalam penulisan maupun isi laporan kasus. Karena itu, Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya laporan
kasus ini. Penulis berharap laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Anamnesis : Alloanamnesis dengan ibu pasien tanggal 16 Maret 2019.
2
dengan APGAR score 8/9. Riwayat ketuban pecah >12 jam. Riwayat air
ketuban bau, kental dan hijau tidak ada. Leukosit ibu 18.000/mm3. Berat
badan lahir sebesar 1600 gram, panjang badan 43 cm.
Bayi Ny. IM dikirim ke NICU pada tanggal 14 Maret 2019 dengan
diagnosis awal bayi tersangka infeksi + BBLR. Setelah diobservasi bayi
dalam keadaan stabil. Pada tanggal 16 Maret 2019 pukul 07:30,
didapatkan ikterik (+) pada bayi, ikterik ditemukan pada bagian dada
sampai lutut. Jika disesuaikan dengan metode Kramer, maka termasuk
Kramer III. Setelah itu dilakukan pemeriksaan laboratorium bilirubin total
dan didapatkan hasil 11,1 mg/dl dengan interpretasi hiperbilirubinemia.
Jadi, pada tanggal 16 Maret 2019 diagnosis bayi Ny. IM adalah bayi
tersangka infeksi + BBLR + ikterik neonatorum + hiperbilirubinemia.
Selama dirawat di NICU, bayi dirawat dengan inkubator dan
mendapatkan terapi berupa injeksi ampicillin 2x40 mg, injeksi gentamicin
2x4 mg, fototerapi, perawatan metode kanggoro dan pijat bayi BBLR.
Setelah diberikan antibiotik selama 3 hari dan diberikan fototerapi,
didapatkan perbaikan keadaan sehingga bayi direncanakan untuk pulang.
3
Merokok : Tidak ada
Makan Obat-obatan tertentu : Tidak ada
Penyakit atau Komplikasi Kehamilan ini : Tidak ada
4
HR : 145x/menit
Pernafasan : 45x/menit
Suhu : 36,9C
Keadaan Spesifik
Kepala : Normocephaly, caput (-)
Lingkar Kepala : 29cm
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Hidung : Sekret (-)
Trauma Lahir : Tidak ada
Leher : Perbesaran KGB (-)
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Cor : BJ I dan II normal, gallop (-), murmur (-)
Pulmo : nafas vesikuler, wheezing (-), rongki (-)
Abdomen : Datar, simetris, bising usus (+)
Genetalia : Vagina (+), anus (+)
Ekstremitas : Tidak ada deformitas, akral hangat
5
Glukosa sewaktu : 92 mg/dL
Hasil Laboratorium tanggal 16/03/2019
Bilirubin Total : 11.1 mg/ dl Nilai Normal : <1.1 mg/dl
2.5 DIAGNOSIS
Tanggal 14 Maret 2019
1. Neonatus : preterm
2. Ibu : G1P0A0
3. Lahir : spontan
4. Anak : Tersangka infeksi + BBLR
2.6 PENATALAKSANAAN
Tatalaksana yang diberikan selama bayi Ny. Indo dirawat:
1. Injeksi vitamin K 1 mg
2. Salep mata Chlorampenicol
3. Injeksi Ampicilin 2 x 40 mg
4. Injeksi Gentamicin 2 x 4 mg
5. Cek laboratorium: darah rutin, LED, CRP, gula darah
6. Rawat inkubator
7. Rawat neonatus (NICU)
8. Fototerapi
9. Metode Kangoro
10. Pijat BBLR
6
2.7 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia at bonam
Quo ad functionam : dubia at bonam
Quo ad sanationam : dubia at bonam
2.8 FOLLOW UP
7
Tanggal Pemeriksaan Fisik Tindakan
P:
8
16/03/2019 S : Sesak nafas (-) kuning (+) 1. Injeksi Ampicilin 2 x 42,5
mg
O: KU: Tampak sakit sedang 2. Injeksi Gentamicin 2 x 4,25
HR : 140x/menit mg
RR : 48x/menit 3. ASI/PASI: 12 x 15 cc
Temp: 36,5oC 4. Metode Kangoro
BB : 1600 gram 5. Pijat BBLR
BBS : 1650 gram 6. Fototerapi
Dyspnea (-) 7. Cek laboratorium bilirubin
Ikterik (+) Kramer III total.
Anemis (-)
Sianosis (-)
Reflek tangis : kuat
Reflek hisap : kuat
Gerak : aktif
Kepala: Normocephaly, caput (-)
Mata: Konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-)
Hidung: Sekret (-) napas cuping
hidung (-)
Mulut: Sianosis(-) mukosa mulut
kering (-)
Telinga: Simetris, Sekret (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorak: Simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal,
rhonki (-), wheezing (+)
Cor : bunyi jantung 1/ bunyi
jantung 2 (+) normal, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen : datar, bising usus (+)
normal
Genitalia: vagina (+), anus (+)
Ekstremitas : akral hangat
P:
9
Tanggal Pemeriksaan Fisik Tindakan
P:
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
11
3.3. Etiologi Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin dalam
darah yang dapat disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan kelainan
ekstrahepatik. Kelainan intrahepatik meliputi kelainan metabolik, kelainan
kromoso, infeksi, toksik dan lainnya.8
Secara klinis hiperbilirubinemia ditandai dengan ikterus, baik
disebabkan oleh faktor fisiologis maupun non-fisiologis, yang secara klinis
ditandai dengan ikterus.4,5
1. Ikterus Fisiologis
Bentuk ikterus ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan
kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada
bayi cukup bulan yang diberi susu formula, kadar bilirubin akan
mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dl pada hari ke-3 kehidupan dan
kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan
lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup
bulan yang mendapat ASI, kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar
yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat, bisa
terjadi selama 2-4 minggu, bahkan dapat mencapai 6 minggu.4,5
Peningkatan kadar billirubin sampai 10-12 mg/dl masih dalam
kisaran fisiologik, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan
metabolism bilirubin. Frekuensi ikterus pada bayi cukup bulan dan
kurang bulan ialah secara berurut 50-60% dan 80%. Umumnya fenomena
ikterus ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Ikterus
fisiologik tidak disebabkan oleh faktor tunggal tetapi kombinasi dari
berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologik bayi baru
lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi bayi
baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin
dan penurunan klirens bilirubin.4,5
2. Ikterus Non-Fisiologis
Jenis ikterus ini dahulu dikenal sebagai ikterus patologik, yang
tidak mudah dibedakan dengan ikterus fisiologik. Terdapatnya hal-hal di
12
bawah ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjut, yaitu: ikterus yang
terjadi sebelum usia 24 jam; setiap peningkatan kadar bilirubin serum
yang memerlukan fototerapi; peningkatan kadar bilirubin total serum
>0,5 mg/dL/jam; adanya tanda-tanda penyakit yang mendasar pada setiap
bayi (muntah, letargis, malas meyusu, penurunan berat badan yang cepat,
apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil); ikterus yang bertahan
setelah delapan hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi
kurang bulan.4,5
13
masuk ke usus, bilirubin direduksi dan menjadi tetrapirol yang tak berwarna
oleh mikroba di usus besar. Sebagian dekonjugasi terjadi di dalam usus
kecil proksimal melalui kerja B-glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi
ini dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga
meningkatkan bilirubin plasma total. Siklus absorbsi, konjugasi, ekskresi,
dekonjugasi, dan reabsorbsi ini disebut sirkulasi enterohepatik. Proses ini
berlangsung sangat panjang pada neonatus, oleh karena asupan gizi yang
terbatas pada hari-hari pertama kehidupan.4,5,6
14
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%)
terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari
senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks
haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah.
Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk
sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan
tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut
dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini,
bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium
air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus
hati ,hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan
larutnya air dengan mengikat bilirubin keasam glukoronat (bilirubin
terkonjugasi, direk).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut
masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus,
bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen
dapat diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah
porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya
diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini
diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin.
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin
yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau
disebabkan oleh kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan
bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan
hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan
hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam
darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2- 2,5mg/dl),
senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi
kuning.
15
3.6. Faktor Risiko Hiperbilirubinemia
Faktor risiko pada keadaan Hiperbilirubinemia antara lain seperti:4,13,14
1. ASI yang kurang
Bayi yang tidak mendapat ASI cukup saat menyusui dapat
bermasalah karena tidak cukupnya asupan ASI yang masuk ke usus
untuk memproses pembuangan bilirubin dari dalam tubuh. Hal ini dapat
terjadi pada bayi prematur yang ibunya tidak memproduksi cukup ASI.4
Menurut Levene et al (2008), pada bayi yang mendapat ASI
penyebab terjadinya ikterus berhubungan dengan proses pemberian
minum ASI yang tidak adekuat dan buruknya pemasukan cairan yang
menyebabkan tertundanya pengeluaran mekonium pada neonatus, hal
tersebut akan meningkatkan sirkulasi enterohepatik. Selain itu bayi yang
mendapat ASI kemungkinan mempunyai kadar bilirubin yang tinggi
disebabkan kurangnya pemasukan ASI disertai dehidrasi atau kurangnya
3 pemasukan kalori. Memberi tambahan air gula atau susu formula pada
bayi yang minum ASI dihubungkan dengan kadar bilirubin yang lebih
tinggi, sebagian disebabkan oleh menurunnya densitas ASI yang tinggi
kalori.14
16
4. BBLR
Berat badan lahir < 2.500 gram dapat mengakibatkan berbagai kelainan
diantaranya hiperbilirubinemia. Kelainan yang timbul diantaranya
immatur hati. Immatur hati memudahkan terjadinya ikterus neonatorum
dan hiperbilirubinemia. Hal ini bisa terjadi karena belum maturnya fungsi
hepar. Enzim glukorin tranferase belum tercukupi menjadikan konjugasi
bilirubin indirect menjadi bilirubin direct belum semestinya sempurna
dan kadar albumin darah yang berfungsi di dalam transportasi bilirubin
dari jaringan ke hepar tidak memenuhi. Penyebab kejadian berat bayi
lahir rendah dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan
ekternal. Faktor internal termasuk kategori faktor ibu, janin, dan uterus-
plasenta. Faktor eksternal termasuk kategori faktor sosial dan
lingkungan.13
5. Persalinan Prematur
Pada bayi dengan persalinan prematur hiperbilirubin terjadi karena
belum maturnya fungsi hepar, bayi prematur memiliki kadar zat besi
yang tinggi dalam sel darah merahnya. Proses pemecahan hemoglobin
terjadi pada akhir usia sel darah merah yaitu 120 hari, sedangkan bayi
prematur memiliki sel darah merah yang jangka usianya pendek yaitu 80-
90 hari, karena itu sel darah merah harus diganti dalam waktu yang lebih
cepat. Pada penelitian ini juga diperoleh bahwa bayi yang lahir prematur
rata-rata memiliki berat badan lahir rendah yaitu <2500 gram, sehingga
berat bayi lahir rendah juga mempengaruhi terjadinya hiperbilirubin.
Sel darah merah yang mengalami pemecahan akan menghasilkan
substansi yang disebut bilirubin, di dalam jaringan hati bilirubin diubah
oleh enzim glukoronil transferase sehingga dapat dikeluarkan dari tubuh
tetapi pada bayi prematur hati yang tidak matang pada awalnya hanya
dapat bekerja dengan lambat, sehingga mengubah bilirubin dalam jumlah
kecil. Jaringan hati pada bayi prematur tidak dapat bekerja cukup cepat,
hal ini yang mengakibatkan bilirubin yang berwarna kuning yang tidak
diubah tetap berada dalam sirkulasi darah, kemudian diendapkan dalam
17
jaringan tubuh sehingga tubuh tampak berwarna kuning. Bayi prematur
akan tetap berwarna kuning sampai fungsi hati dapat berjalan dengan
lancar
18
3.9. Diagnosis Hiperbilirubinemia
Diagnosis Hiperbilirubinemia dapat dilakukan dengan anamnesis
sedini dan secermat mungkin mengenai riwayat kehamilan (penyakit yang
diderita ibu selama kehamilan), riwayat persalinan (masa gestasi, cara
persalinan), faktor risiko infeksi (sepsis), golongan darah ibu dan ayah,
kapan timbulnya ikterus dan riwayat ikterus pada anak sebelumnya.7
Luas ikterus pada bayi dapat dinilai dengan Metode Kramer, yaitu
sebagai berikut:
19
3.11. Tatalaksana Hiperbilirubinemia
1) Fototerapi
Fototerapi adalah terapi utama untuk hiperbilirubinemia. Panjang
gelombang paling efektif yang digunakan untuk fototerapi adalah antara
(460–490) nm dari spektrum biru. Untuk memaksimalkan iradiasi dan
efektivitas terapi, jarak sumber cahaya dan bayi harus dalam jarak 10-15
cm. Saat ini dikembangkan terapi sinar intensif menggunakan LED
dengan panjang gelombang >30 uW/cm2/nm. Terapi sinar intensif
mempercepat proses penurunan bilirubin sehingga terjadi pengurangan
lama penyinaran maupun tindakan transfusi tukar yang sangat bermakna.
Waktu terapi sinar dapat berkurang hingga 12 jam, durasi perawatan di
rumah sakit dan durasi anak terpisah dengan ibu menjadi jauh
berkurang.4,9
20
A. Jenis lampu Fototerapi
Secara teori, semua jenis cahaya yang memancarkan cukup energi
didalamnya akan memberikan efek yang efisien untuk menginduksi
fotodegenerasi bilirubin. Beberapa sumber cahaya, yaitu cahaya putih
(siang hari) dan lampu neon biru/blue fluorescent lamps, blue
monochromatic light (special blue) dan halogen quartz lamps dengan
filamen tungsten.18
Jenis-jenis lampu yang digunakan untuk fototerapi menurut
Judarwanto (2012) adalah:18
- Tabung neon biru, dapat bekerja dengan baik jika digunakan untuk
fototerapi namun dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada
anggota staf rumah sakit.
- Tabung neon putih, kurang efisien daripada lampu biru, namun,
mengurangi jarak antara bayi dan lampu dapat mengkompensasi
efisiensi yang lebih rendah.
- Lampu kuarsa putih merupakan bagian tidak terpisahkan dari
beberapa penghangat cerah dan inkubator. Mereka memiliki
komponen biru signifikan dalam spektrum cahaya.
- Lampu kuarsa ganda, lampu 3-4 melekat pada sumber panas
overhead dari beberapa penghangat bercahaya.
- Light-emitting diode (LED), konsumsi daya rendah, produksi panas
rendah, dan masa hidup lebih lama.
- Cahaya serat optik, memberikan tingkat energi yang tinggi, tetapi
untuk luas permukaan terbatas
B. Prosedur Fototerapi
Efektivitas fototerapi tergantung pada radiasi (energy output)
sumber cahaya. Sebelum dilakukan prosedur, hangatkan ruangan
21
atau setelah penggunaan 3 bulan, walaupun lampu masih menyala.
Gunakan kain pada box bayi atau inkubator, letakkan tirai putih
mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan
kembali sinar sebanyak mungkin kearah bayi.17,19
Bila berat bayi 2000 gram atau lebih, letakkan bayi dalam
keadaan telanjang di box bayi dengan arak 45-50 cm. Bayi yang lebih
kecil diletakkan dalam inkubator. Tutup mata bayi dengan penutup,
pastikan penutup mata tidak menutupi lubang hidung. Jangan gunakan
plester untuk memfiksasi penutup. Ubah posisi bayi setiap 3 jam.
Pastikan bayi terpenuhi kebutuhan cairannya. Pantau suhu tubuh bayi dan
suhu udara ruangan setiap 3 jam. Periksa kadar bilirubin serum tiap 6-12
jam pada bayi dengan kadar bilirubin yang cepat meningkat terutama
pada bayi kurang bulan. Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang setelah
12-24 jam fototerapi dihentikan. Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin
turun dibawah batas untuk dilakukan fototerapi atau mendekati nilai
untuk dilakukan transfusi tukar.19
22
Gambar 2.3 Panduan fototerapi pada bayi usia kehamilan ≥35 minggu
Sumber : AAP, 2004.
23
E. Komplikasi Fototerapi
Komplikasi fototerapi meliputi peningkatan kehilangan cairan
tubuh yang tidak terlihat, diare dan dehidrasi. Masalah lain yang dapat
timbul adalah ruam kemerahan berbentuk macular-papuar di kulit,
letargi, sianosis, sumbatan hidung oleh penutup mata dan potensi
kerusakan retina.6
2) Transfuse Tukar
Selain fototerapi, tatalaksana lain dapat berupa transfuse tukar.
Transfuse tukar biasanya dilakukan hanya untuk bayi dengan kadar bilirubin
indirek yang tinggi dan berisiko kernicterus. Transfuse tukar biasanya
dilakukan melalui kateter vena umbilical yang diletakkan di vena cava
inferior.
24
3.12. Komplikasi Hiperbilirubinemia
Terjadi kern ikterus yaitu keruskan otak akibat perlangketan bilirubin
indirek pada otak. Pada kern ikterus gejala klinik pada permulaan tidak jelas
antara lain: bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan
tidak menentu (involuntary movements), kejang tonus otot meninggi, leher
kaku, dan akhirnya opistotonus.10
Bayi yang cukup bulan dengan kadar bilirubin > 20 mg% atau > 18
mg% pada bayi prematur berisiko berkembang menjadi kern ikterus,
sedangkan hiperbilirubinemia dapat menyebabkan ensefalopati dan ini
sangat berbahaya bagi bayi. Kejadian kern ikterus bergantung pada kondisi
bayi. Bayi dengan kondisi seperti hipoksia, asidosis, dan hipoglikemia,
maka gejala kern ikterus dapat terlihat meskipun kadar bilirubin < 16
mg%.13
25
BAB IV
ANALISIS KASUS
Bayi Ny. IM, perempuan, lahir pada tanggal 14 Maret 2019 pukul 13:00
WIB. Lahir dari ibu G1P0A0, usia kehamilan 35 minggu. Lahir spontan dengan
presentasi bokong. Saat lahir bayi langsung menangis dengan APGAR score 8.
Riwayat ketuban pecah >12 jam. Riwayat air ketuban bau, kental dan hijau tidak
ada. Leukosit ibu 18.000/mm3. Berat badan lahir sebesar 1600 gram, panjang
badan 43 cm.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik awal pada bayi Ny. IM,
didapatkan diagnosis bayi yaitu tersangka infeksi + BBLR. Hal tersebut
disimpulkan karena didapatkan leukosit ibu sebesar 18.000/mm3 dan berat badan
lahir sebesar 1600 gram. Berdasarkan teori, nilai normal leukosit pada orang
dewasa dikatakan tinggi jika mencapai lebih dari 11.000/mm3, jadi Ny. IM
mengalami leukositosis. Hal tersebut yang mendukung diagnosis bayi menjadi
tersangka infeksi. Faktor lain yang mendukung diagnosis bayi tersangka imfeksi
adalah leukosit ibu lebih dari 15.000/ mm3 , suhu ibu lebih dari 38C, ketuban
keruh dan bau busuk, KPSW lebih dari 12 jam dan partus kasep.4,11 Menurut teori,
berat badan bayi lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat badan lahir
kurang dari 2.500 gram tanpa memandang masa gestasi. Berat lahir bayi Ny. IM
adalah sebesar 1600 gram, dapat disimpulkan mengalami berat badan lahir rendah
(BBLR).7
Setelah diobservasi didapatkan keadaan bayi stabil. Tanggal 16 Maret
2019 pukul 07:30, pada pemeriksaan fisik didapatkan ikterik (+) pada bayi, ikterik
ditemukan pada bagian dada sampai lutut. Jika disesuaikan dengan metode
Kramer, maka termasuk Kramer III. Hal tersebut sesuai dengan teori yang
mengatakan bahwa terdapat Kramer I sampai V, jadi dapat disimpukan bahwa
pada bayi Ny. IM termasuk Kramer III, luas ikterik pada derajat Kramer III
terdapat pada kepala, leher, dada, umbilikus sampai lutut.4
Setelah didapatkan adanya ikterik, dilakukan pemeriksaan bilirubin total
dan didapatkan hasil 11,1 mg/dl dengan interpretasi hiperbilirubinemia. Sehingga
26
pada tanggal 16 Maret 2019 diagnosis bayi Ny. IM adalah bayi tersangka infeksi
+ BBLR + ikterik neonatorum + hiperbilirubinemia. Hal tersebut sesuai dengan
teori bahwa pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis
hiperbilirubinemia adalah dengan pemeriksaan laboratorium (pemeriksan darah)
yaitu pemeriksaan hiperbilirubin total. Nilai rujukan bilirubin adalah <1,1 mg/dl,
dan hasil bilirubin total pada bayi Ny. IM adalah 11,1 mg/dl dengan interpretasi
hiperbilirubinemia.4
Selama dirawat di NICU, bayi Ny. IM dirawat dengan inkubator dan
mendapatkan terapi berupa injeksi ampicillin 2x40 mg, injeksi gentamicin 2x4 mg,
fototerapi, perawatan metode kanggoro dan pijat bayi BBLR. Setelah diberikan
antibiotik selama 3 hari dan diberikan fototerapi, didapatkan perbaikan keadaan
dan bayi direncanakan untuk pulang. Hal tersebut sesuai dengan teori, bahwa
antibiotik yang sering digunakan sebagai terapi awal pada neonatus adalah
ampisilin, gentamisin, dan sefotaksim. Lebih dari 95% neonatus yang dirawat di
unit Neonatal Intensive Care Unit (NICU) mendapatkan antibiotik empiris pada
hari pertama.12 Tatalaksana fototerapi yang diberikan juga sesuai dengan teori,
dimana fototerapi adalah terapi utama untuk hiperbilirubinemia. Panjang
gelombang paling efektif yang digunakan untuk fototerapi adalah antara (460–
490) nm dari spektrum biru.4,9
Menurut penelitian yang menyatakan bahwa pijat bayi secara efektif dapat
digunakan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan berat badan bayi dan
merupakan tindakan non medis yang aman jika dilakukan pada bayi BBLR.
Peningkatan berat badan pada kelompok bayi cukup bulan yang dipijat selama
satu bulan sebesar 1130 gram, berarti kenaikan beratnya lebih kurang 37,67 gram
perhari. Penelitian lain menunjukkan bahwa pada bayi yang dipijat akan terjadi
peningkatan tonus nervus vagus (saraf otak ke sepuluh). Peningkatan aktivitas
nervus vagus akan menyebabkan peningkatan produksi enzim penyerapan seperti
gastrin dan insulin sehingga penyerapan makanan menjadi lebih baik.15
Menurut teori, Perawatan Metode Kanguru (PMK) merupakan alternatif
pengganti incubator dalam perawatan BBLR, dengan beberapa kelebihan antara
lain: merupakan cara yang efektif untuk memenuhi kebutuhan bayi yang paling
mendasar yaitu adanya kontak kulit bayi ke kulit ibu, dimana tubuh ibu akan
27
menjadi thermoregulator bagi bayinya, sehingga bayi mendapatkan kehangatan
(menghindari bayi dari hipotermia), PMK memudahkan pemberian ASI,
perlindungan dari infeksi, stimulasi, keselamatan dan kasih sayang. PMK dapat
menurunkan kejadian infeksi, penyakit berat, masalah menyusui dan
ketidakpuasan ibu serta meningkatnya hubungan antara ibu dan bayi serta
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan bayi.16
Simpulan, dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang pasien didiagnosa dengan Tersangka infeksi + BBLR + ikterik
neonatorum + hiperbilirubinemia. Tatalaksana dengan pengobatan simptomatis
dan suportif. Prognosis pada kasus adalah bonam. Dilihat berdasarkan keadaan
umum bayi selama perawatan sudah membaik. Keluhan kuning sudah berkurang
secara berangsur-angsur, dan hasil laboratorium bilirubin total sudah normal jadi
dapat direncanakan untuk pulang.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Wong RJ, Stevenson DK, Ahlfors CE, Vreman HJ. Neonatal Jaundice:
Bilirubin physiology and clinical chemistry. NeoReviews 2007;8:58-67. 2.
2. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI,
Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi (Edisi Ke-1). Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2010; p. 147-53.
3. Kemenkes RI. Materi advokasi bayi baru lahir. Available from:
http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2011/01/Mater
i-AdvokasiBBL.pdf. Accessed March 18, 2019. Jakarta: 2011.
4. Wahani, A., Wilar, R., dan Mathindas, S. Hiperbilirubinemia pada Neonatus.
Manado: Jurnal Biomedik Bagian Ilmu Kedokteran Anak FK Universitas Sam
Ratulangi Manado, 2013; Vol. 5, No. 1, Hal. S4-10.
5. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP,
Eichenwaald EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care (Fifth Edition).
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2008; p.185-221.
6. Marcdante, K. J. et al. Hiperbilirubinemia dalam Nelson Ilmu Kesehatan Anak
Esensial Edisi Keenam. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2014. Hal.
274-276
7. Julniar M. Tasli, Herman Bernawi, Afifa Ramadansi, Idrayady Sp.A. Ikterus
Neonatorum dalam Panduan Praktik Klinik RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang. 2017.
8. Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI. Panduan Praktik Klinis;
Komite Medik RSUD Palembang BARI. 2014.
9. Rinawati Rohsiswatmo dkk: Hiperbilirubinemia pada neonatus >35 minggu di
Indonesia: pemeriksaan dan tatalaksana terkini. Jakarta: Sari Pediatri, 2018;
Vol. 20, No. 2.
10. Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In: Fanaroff
AA, Martin RJ, editors. Neonatalperinatal Medicine. Disease of the Fetus and
Infant (Seventh Edition). St Louis: Mosby Inc, 2009; p.1309-50.
29
11. Rosida, A. dkk. Nilai Normal Hematologi pada Orang Dewasa. Banjarmasin:
Bagian Patologi Klinik FK Universitas Lambung Mangkurat. 2015; Vol.11,
No.1. Hal. 101-109
12. Hayatullah, M. K., dkk. Terapi antibiotic empiris pada Neonatus. Sumatera
Utara: Majalah Kedokteran Nusantara. 2017; Vol. 50, No. 02
13. Puspita, N. Pengaruh Berat Badan Lahir Rendah terhadap Kejadian Ikterus
Neonatorum di Sidoarjo. Surabaya: Jurnal Berkala Epidemiologi. 2018; Vol
06, No.02. Hal. 174-181
14. Levene, M.I., Tudehope, D.I.& Sinha, S.K. Essential Neonatal Medicine, edisi
ke-4. London: Blackwell Publishing. Marmi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2008.
15. Katili, D. dkk. Pengaruh Stimulasi Pijat Bayi Terhadap Kenaikan Berat Badan
pada Bayi Berat Lahir Rendah di Kota Yogyakarta. 2016.
16. Endyarni, B. Buku Indonesia Menyusui dalam Perawatan Metode Kanguru
(PMK) Meningkatkan Pemberian ASI. IDAI: Indonesian Social Pediatric;
2013.
17. American Academy of Pediatrics. 2004. Subcomittee on Hyperbilirubinemia.
Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 Or More Weeks
Of Gestation. Clinica; Practice Guidelines. Pg. 297-316.
18. Judarwanto, W. 2012. Penanganan Terkini Hiperbilirubinemia atau Penyakit
Kuning Pada Bayi Baru Lahir. Jakarta: Children Grow Up Clinic.
19. Irawan, G. & Kosim, M.S. 2012. Prosedur Medik Pada Bayi Baru Lahir
Terapi Sinar, Neonatologi. Jakarta: IDAI. Hal. 406-410.
30