Вы находитесь на странице: 1из 30

Khairudin, Kewenangan Eksekusi...

KEWENANGAN EKSEKUSI PUTUSAN


BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL
MENGENAI SENGKETA EKONOMI SYARIAH
Oleh: Khairudin1

Abstrak: Penelitian ini berawal dari adanya polemik dalam


masalah kewenangan eksekusi putusan Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas) mengenai sengketa ekonomi syariah.
Dengan tujuan memperoleh pemecahan masalah tersebut,
penulis melakukan penelitian normatif melalui studi ke-
pustakaan dan dianalisis dengan pendekatan undang-undang
yang menggunakan penalaran metode deduksi. Ditemukan
bahwa kewenangan eksekusi putusan Basyarnas merupakan
kewenangan Pengadilan Agama, melalui penafsiran
Argumentum Per Analogiam dan asas lex specialis derogat legi
generali. Namun demikian, perlu dimuat di dalam Ketentuan
Peralihan dalam Undang-undang Peradilan Agama, dan perlu
adanya sinkronisasi hukum dengan melakukan revisi terhadap
peraturan perundang-undangan yang terkait.

Kata kunci: Kewenangan Eksekusi, Putusan Basyarnas, Seng-


keta Ekonomi Syariah

A. Pendahuluan
Sebagai satu elemen pranata sosial yang bertugas me-
laksanakan dan menegakkan keadilan, Peradilan Agama
merupakan institusi yang penting dalam tata kehidupan
masyarakat, khususnya umat Islam baik secara filosofis, yuridis,

1
Staf Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STAI Darul
Ulum Kandangan.

209
An-Nahdhah, Vol. 4, No. 8, Desember 2011

historis, maupun sosiologis.2 Peradilan Agama dalam proses


perkembangannya mengalami pasang surut seiring dengan
lahirnya peraturan perundang-undangan yang mengatur
Peradilan ini.
Undang-Undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan Ke-
hakiman Nomor 14 Tahun 1970 menandai pembaharuan Per-
adilan Agama. Perkembangan signifikan baru terjadi setelah
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Disusul dengan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999 yang mengatur sistem satu atap (one-roof system)
yang ditegaskan kembali oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan
perluasan kewenangannya dalam perkara ekonomi syariah.3
Namun, dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mencabut dan
menggantikan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004,
menyisakan sedikit tanda tanya akan kewenangan Peradilan
Agama yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 50
Tahun 2009.
Pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase4 termasuk
penyelesaian secara non litigasi. Pasal 60 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa jo. Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur

2
Rahmat Syafe’i, “Yurisprudensi Peradilan Agama dari Pelaksanaan
UUPA: Segi Normatif dalam Kajian Fiqh, Alternatif Penyempurnaan Timbal
Balik,” dalam 10 Tahun Undang-undang Peradilan Agama, (Jakarta:
Ditbinbapera dan Fakultas Hukum UI, 1999), h. 29.
3
Wahyu Widiana, “Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dan
Pasang Surut Perkembangan Peradilan Agama”, http://www.badilag.net/
16/02/2011/Pdf. h. 1.
4
Dalam perspektif Islam, arbitrase dapat dipadankan dengan istilah
tahkim.

210 Khairudin, Kewenangan Eksekusi…


Khairudin, Kewenangan Eksekusi...

bahwa putusan Badan Arbitrase bersifat final, mempunyai


kekuatan hukum tetap, dan mengikat para pihak, sehingga
mereka harus melaksanakan putusan tersebut secara sukarela.
Permasalahannya adalah ketika putusan Badan Arbitrase
Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan itu
dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Agama ataukah
Pengadilan Negeri. Karena lembaga arbitrase tidak memiliki
kewenangan untuk mengeksekusi5 sendiri putusannya.
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan
bahwa dalam hal salah satu pihak tidak mau melaksanakan
secara sukarela putusan Badan Arbitrase maka pengadilan yang
berwenang untuk melakukan eksekusi adalah Pengadilan Nege-
ri. Hal ini menjadi kerancuan, sebab ketika sengketa ekonomi
syariah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, tentu seharus-
nya Pengadilan Agama pula yang memiliki hak eksekutorial atas
putusan Basyarnas. Pada saat diundangkan Undang-undang No-
mor 3 Tahun 2006 hal ini menjadi polemik di kalangan para
praktisi ekonomi syariah. Terdapat pendapat yang menyatakan
bahwa Pengadilan Agama tidak berwenang sebagai lembaga
eksekutorial terhadap putusan Basyarnas. Oleh karena itu pada
tanggal 10 Oktober 2008 Mahkamah Agung telah mengeluarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 08 Tahun 2008
tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Berdasarkan
butir 4 (empat) dalam SEMA ini, maka Ketua Pengadilan

5
Eksekusi atau pelaksanaan putusan ialah tindakan yang dilakukan
secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara. Lihat M. Yahya
Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang perdata, Edisi
Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), cet. 3, h. 6. Dalam hal ini putusan
yang bersifat condemnatoir, yaitu yang mengandung perintah kepada suatu
pihak untuk melakukan sesuatu perbuatan. Apabila pihak Tergugat atau
Termohon menjadi pihak yang kalah dalam perkara tidak melaksanakan
putusan Basyarnas secara sukarela, sehingga kedudukannya menjadi pihak
Tereksekusi. Dan apabila pihak Penggugat atau Pemohon menjadi pihak yang
kalah, maka tidak akan ada eksekusi, karena memang keadaan tetap seperti
sediakala sebelum adanya gugatan, kecuali kalau Tergugat atau Termohon
mengajukan gugatan balik (rekonvensi).

211
An-Nahdhah, Vol. 4, No. 8, Desember 2011

Agama yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan


Badan Arbitrase syariah.
Banyak pihak menyayangkan bahwa pada bulan Mei
2010 Mahkamah Agung RI mengeluarkan kebijakan baru me-
lalui SEMA Nomor 08 Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak
Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun
2008. Dalam SEMA tertanggal 20 Mei 2010 itu, Mahkamah
Agung membatalkan SEMA Nomor 08 Tahun 2008. Mahkamah
Agung mendasarkan pada Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan para pihak yang tidak melaksanakan putusan
arbitrase (termasuk arbitrase syariah) secara sukarela, putusan
dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa.6
Dengan melihat masalah seperti tersebut di atas, menarik
kiranya untuk digali dan ditemukan titik terangnya oleh para
pakar hukum di Indonesia, agar pada tataran praktis tidak
menjadi satu persoalan yang diperdebatkan.

B. Asas Peraturan Perundangan-undangan


Menurut Bagir Manan, sistem hukum Indonesia dike-
lompokkan ke dalam tiga sistem, yaitu (1) tradisi hukum konti-
nental atau lazim disebut sistem hukum continental yang
menunjukkan bahwa hukum di Indonesia merupakan bagian dari
warisan hukum kolonial Belanda yang berasal dari daratan
Eropa, (2) sistem hukum sipil yang menunjukkan bahwa yang
membedakan dari sistem hukum ini berkaitan dengan hukum
perdata, dan (3) sistem hukum kodifikasi yang menunjukkan
bahwa hukum dalam tatanan Indonesia identik dengan undang-
undang yang merupakan bagian dari ajaran teori hukum murni
Hans Kelsen,7dan salah satu ciri utamanya adalah pentingnya
peraturan perundang-undangan tertulis (statutory laws).
6
Asep Ridwan, “Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan
Kekuasaan Pengadilan Agama Bidang Ekonomi Syariah, Setelah Lahirnya
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006”, http://www.pa-kalianda.net /
13/01/2011/Pdf. h. 21-23.

212 Khairudin, Kewenangan Eksekusi…


Khairudin, Kewenangan Eksekusi...

Undang-Undang merupakan satu bentuk peraturan per-


undang-undangan yang diadakan untuk melaksanakan UUD dan
ketetapan MPR. Selain itu juga mengatur hal-hal yang tidak
diatur dalam UUD 1945 maupun ketetapan MPR. Undang-
undang yang dibentuk berdasarkan ketentuan dalam UUD
dinamakan undang-undang organik.8
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004,
ditentukan jenis dan tingkatan Peraturan Perundang-undangan
yang meliputi: (I) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; (II) Undang-Undang/Peraturan Peme-
rintah Pengganti Undang-undang; (III) Peraturan Pemerintah;
(IV) Peraturan Presiden; dan (V) Peraturan Daerah.
Sehubungan dengan berlakunya suatu undang-undang,
terdapat beberapa asas peraturan Perundangan: (a) Undang-
undang tidak berlaku surut; (b) Undang-undang yang dibuat
oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi pula; (c) Undang-undang yang bersifat khusus me-
nyampingkan undang-undang yang bersifat umum; (d) Undang-
undang yang berlaku kemudian membatalkan undang-undang
yang terdahulu yang mengatur hal tertentu yang sama; (e)
Undang-undang tak dapat diganggu gugat.9
Dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia,
bukan lembaga yang menerbitkan peraturan perundangan itu
yang menentukan kedudukannya, melainkan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal tersebut mempunyai
arti penting dalam memahami asas lex superior derogat legi
inferiori, yaitu apabila terjadi pertentangan antara peraturan
perundang-undangan yang secara hierarkis lebih rendah dengan

7
Sugiri Permana, “Kedudukan Undang-Undang dan Perjanjian Dalam
Menentukan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Oleh Peradilan Agama,
Peradilan Umum dan Lembaga Non Litigasi”, http://www.badilag.net/
03/01/2011/Pdf. h. 7.
8
Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher, 2008), h. 54.
9
Ibid., h. 55-56.

213
An-Nahdhah, Vol. 4, No. 8, Desember 2011

yang lebih tinggi, mengatur materi yang sama, maka yang


hierarkinya lebih rendah tersebut harus disisihkan.10
Asas lex specialis derogat legi generali merujuk kepada
dua peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis mem-
punyai kedudukan yang sama. Akan tetapi ruang lingkup materi
muatan antara kedua peraturan perundang-undangan itu tidak
sama, yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang
lain.11 Kalau terjadi demikian, maka peraturan yang khusus
harus didahulukan.12
Pertentangan dapat juga terjadi antara peraturan per-
undang-undangan yang lama dengan yang baru, yang mengatur
hal yang sama. Kalau diundangkan peraturan baru yang tidak
mencabut peraturan yang lama yang mengatur materi yang sama
sedangkan keduanya saling bertentangan satu sama lain, maka
peraturan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan
yang lama: lex posteriori derogat legi priori.13 Penggunaan asas
ini mensyaratkan bahwa yang diperhadapkan adalah dua per-
aturan perundang-undangan dalam tingkatan yang sama.14
Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, disebutkan
bahwa Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk,
teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan
peradilan yang berada di bawahnya.”15 Oleh karena fungsi
Mahkamah Agung sebagai badan yudikatif, maka peraturannya
tidak bersifat umum dan mengikat semua orang. Peraturan MA
dapat bersifat normatif, informatif dan instruktif. Menurut

10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, (Jakarta:
Kencana, 2008), cet. 4, h. 98-99.
11
Ibid.
12
.Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar,
(Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2010), h. 123.
13
Ibid.
14
Peter Mahmud Marzuki, op. cit. h. 101.
15
.Lihat Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.

214 Khairudin, Kewenangan Eksekusi…


Khairudin, Kewenangan Eksekusi...

Sudikno Mertokusumo, baik PERMA maupun SEMA tidak


mempunyai kekuatan untuk membatalkan undang-undang,
karena Mahkamah Agung hanya mempunyai kewenangan pada
bidang yudikatif. Dalam sistem hukum di Indonesia, PERMA
dan SEMA tidak termasuk dalam kategori Tata Susunan Norma
Hukum Republik Indonesia, sehingga kedudukannya bukan
sebagai hukum, melainkan sebagai salah satu sumber hukum.16

C. Kewenangan (Kompetensi) Pengadilan


Kompetensi Pengadilan adalah wewenang pengadilan
dalam menyelenggarakan atau melaksanakan fungsi kekuasaan
kehakiman untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.17 Dalam
teori hukum acara perdata yang bermuara pada civil law system
Eropa Continental, dikenal dua jenis kompetensi, yakni
kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Kompetensi absolut
pengadilan adalah wewenang badan pengadilan dalam
memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat
diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan
peradilan yang sama maupun dalam lingkungan peradilan yang
berbeda. Sedangkan kompetensi relatif badan pengadilan adalah
pembagian kekuasaan mengadili antara badan pengadilan yang
serupa berdasarkan tempat tinggal tergugat. Kompetensi ini
berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan. 18 Atas dasar
tersebut berlakulah asas “actor sequitur forum rei” (yang
berwenang mengadili adalah pengadilan tempat tinggal
tergugat).
Di Indonesia, terdapat empat lingkungan peradilan di ba-
wah Mahkamah Agung yang melaksanakan fungsi dan ke-
wenangan kekuasaan kehakiman. Batas antara masing-masing

16
Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian
Perkara Ekonomi Syariah, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 193.
17
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,
(Yogyakarta: Liberty, 1998), h. 57-58.
18
Hasbi Hasan, op. cit., h. 122.

215
An-Nahdhah, Vol. 4, No. 8, Desember 2011

peradilan ditentukan oleh bidang kompetensi yang dilimpahkan


oleh undang-undang.19 Kewenangan absolut peradilan umum
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan: segala perkara pida-
na, kecuali perkara pidana yang masuk dalam lingkungan per-
adilan militer; dan segala perkara perdata, kecuali perkara
perdata yang masuk dalam lingkungan peradilan agama.20
Menurut Mukti Arto, dalam menentukan kompetensi
absolut pengadilan agama terdapat dua asas, yaitu: Pertama,
apabila suatu perkara menyangkut status hukum seorang
muslim, dan/atau Kedua, suatu sengketa yang timbul dari suatu
perbuatan atau peristiwa hukum yang dilakukan atau terjadi
berdasarkan hukum Islam atau berkaitan erat dengan status
hukum sebagai muslim.21
Rasio penentuan batas kompetensi tiap lingkungan per-
adilan adalah agar terbinanya pelaksanaan kekuasaan ke-
hakiman yang tertib antar peradilan dan kepastian hukum bagi
pencari keadilan. Masing-masing lembaga peradilan harus
berjalan pada rel yang telah ditetapkan, sehingga tidak terjadi
perebutan kompetensi.22 Kalau suatu perkara diajukan kepada
hakim yang secara absolut tidak berwenang memeriksa perkara
tersebut, maka hakim harus menyatakan dirinya tidak ber-
wenang secara ex officio untuk memeriksanya dan tidak ter-
gantung pada ada atau tidaknya eksepsi dari tergugat tentang
ketidakwenangannya itu. Menurut Bagir Manan, agar tidak
menimbulkan sengketa antar wewenang (dispute authority), ada
prinsip yaitu “apabila suatu urusan (perkara) telah diselesaikan
oleh salah satu pemegang kompetensi, maka pemegang kom-

19
Ibid., h. 123.
20
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama dan Mahkamah Syariyah di Indonesia, (Jakarta: IKAHI, 2007), h. 117.
21
Eman Suparman, “Perluasan Kompetensi Absolut Peradilan Agama
Dalam Memeriksa dan Memutus Sengketa Bisnis Menurut Prinsip Syariah”,
http://www.badilag.net/16/02/2011/Pdf. h. 24.
22
Hasbi Hasan, op. cit., h. 124.

216 Khairudin, Kewenangan Eksekusi…


Khairudin, Kewenangan Eksekusi...

petensi yang lain tidak lagi berwenang mengurus atau me-


nyelesaikan sengketa yang sama.”23

D. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia


1. Sekilas tentang Sengketa Ekonomi Syariah
Istilah ekonomi syariah atau perekonomian syariah
hanya dikenal di Indonesia, adapun di negara lain dikenal
dengan nama ekonomi Islam (Islamic Economy, al-Iqtishād
al-Islami) dan sebagai ilmu disebut ilmu ekonomi Islam
(Islamic Economics, ‘Ilm al-Iqtishād al-Islāmī).24
Ekonomi syariah diartikan sebagai hukum ekonomi
Indonesia yang bersumber dari syariah. Adapun hukum eko-
nomi Indonesia adalah keseluruhan kaidah dan putusan
hukum yang secara khusus mengatur kegiatan dan kehidupan
ekonomi. Jadi ekonomi syariah merupakan segala aktivitas
yang berkaitan dengan produksi dan distribusi (yang berupa
barang dan jasa yang bersifat material) di antara orang-orang
yang didasari oleh syariat Islam.25
Potensi munculnya sengketa pada bidang ekonomi
syariah antara lain terkait dengan kontrak (perjanjian) yang
dalam ekonomi syariah dikenal dengan istilah akad atau juga
sengketa kepentingan antara lembaga keuangan dan pihak
pengguna dana; dapat pula disebabkan oleh adanya
perbedaan persepsi atau interpretasi mengenai kewajiban dan
hak yang harus dipenuhi.26 Akad merupakan kesepakatan

23
Ibid., h. x.
24
Rifyal Ka’bah, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Sebagai
Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama”, Al-Mawardi Edisi XVII Tahun
2007, h. 34, dalam http://www.badilag.net/16/02/2011.
25
Abdul Kadir, “Penanganan Sengketa Ekonomi Syariah Oleh
Pengadilan Agama; Sebuah Kenyataan dan Harapan”, http://www.badilag.net
/16/02/2011/Pdf. h. 3.
26
Yusna Zaida, “Kewenangan Peradilan Agama terhadap Sengketa
Ekonomi Syariah,” Al-BANJARI Vol. 5, No. 9, Januari-Juni 2007. h. 1, dalam
http://www.badilag.netdata/16/02/2011.

217
An-Nahdhah, Vol. 4, No. 8, Desember 2011

dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk


melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum
tertentu. Dalam akad terletak prinsip syariah yang menjadi
patokan utama dalam suatu perbuatan hukum.
Asas perjanjian yang dikenal dengan pacta sunt
servanda sebagaimana termuat dalam Pasal 1338 KUH-
Perdata yang menentukan bahwa segala perjanjian yang di-
buat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Berlakunya sebuah perjanjian mengikat
kepada para pihak sesaat setelah tercapainya kata sepakat.
Asas ini dikenal dengan asas konsensual. Oleh karenanya
perjanjian tersebut telah mengikat kepada semua pihak, maka
perubahan ataupun penambahan hanya mungkin apabila
disepakati oleh masing-masing pihak.27
Sengketa ekonomi syariah dapat terjadi antara lain: (a)
para pihak yang bertransaksi mengenai gugatan wanprestasi,
gugatan pembatalan transaksi; dan (b) pihak ketiga dan para
pihak yang bertransaksi mengenai pembatalan transaksi,
pembatalan akta hak tanggungan, perlawanan sita jaminan
dan/atau sita eksekusi serta pembatalan lelang.28

2. Beberapa Alternatif Penyelesaian Sengketa Ekonomi


Syariah Berdasarkan Hukum Positif Indonesia
Dalam ajaran Islam terdapat tiga institusi atau sistem
dalam penyelesaian sengketa, yaitu: secara damai (as-shulh),
arbitrase (at-tahkīm), dan peradilan (al-qadhā). Adapun di
dalam hukum positif di Indonesia penyelesaian sengketa eko-
nomi syariah dapat dikemukakan sebagai berikut.
a. Perdamaian dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(Alternative Dispute Resolution/ADR)
Dari segi sosial (keterjagaan nama baik) dan
efisensi ekonomi, penyelesaian sengketa melalui per-
damaian dianggap paling baik. Dalam Alquran surah al-
27
Sugiri Permana, op. cit., h. 11-12.
28
Hasbi Hasan, op. cit., h. 127.

218 Khairudin, Kewenangan Eksekusi…


Khairudin, Kewenangan Eksekusi...

Nisā ayat 128 secara implisit ditetapkan bahwa damai


adalah cara terbaik dalam menyelesaikan masalah (wa al-
shulh khair). Dari itulah muncul kaidah ushul al-fiqh
bahwa perdamaian adalah instrumen penyelesaian hukum
yang utama (al-shulh sayyid al-ahkām).29
Di Indonesia, perdamaian telah didukung keber-
adaannya dalam hukum positif, yakni Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Dalam Undang-undang tersebut
diatur pula mengenai penyelesaian sengketa di luar
Pengadilan, yaitu melalui konsultasi, mediasi, negosiasi,
konsiliasi dan penilaian ahli.
b. Arbitrase
Pada hakikatnya suatu Badan Arbitrase, bukan
badan kekuasaan resmi yang dibentuk oleh Pemerintah,
tetapi hanya merupakan badan swasta atau extra judicial
(peradilan ektra) yang dibentuk atas kebutuhan
masyarakat. Di samping itu tidak memiliki perangkat juru
sita yang khusus berfungsi melaksanakan perintah
eksekusi sebagaimana di pengadilan.30
Di Indonesia terdapat dua lembaga arbitrase yang
dibentuk secara permanen, yang memberikan jasa pe-
nyelesaian sengketa di luar pengadilan negara (out of court
dispute settlement), yaitu BANI (Badan Arbitrase Nasional
Indonesia) yang berwenang menyelesaikan masalah sipil
atau masalah bisnis non Islam, dan Basyarnas (Badan
Arbitrase Syariah Nasional). Dalam SEMA Nomor 08
Tahun 2008 disebutkan bahwa Badan Arbitrase Syariah
adalah Lembaga Arbitrase yang dipilih para pihak yang

29
Jaih Mubarak, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di
Indonesia”, http://www.badilag.net/19/04/2011.
30
M. Yahya Harahap, Arbitrase, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,
2004), h. 298-299.

219
An-Nahdhah, Vol. 4, No. 8, Desember 2011

bersengketa untuk memberikan putusan mengenai seng-


keta tertentu di bidang ekonomi syariah.31
Basyarnas saat didirikan pada tanggal 21 Oktober
1993 bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) yang berbadan hukum Yayasan dan dibentuk
berdasarkan keputusan Rapat Kerja Nasional (Rakernas)
MUI Tahun 1992. Perubahan nama dari BAMUI menjadi
Basyarnas diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002.
Perubahan nama, perubahan bentuk dan pengurus BAMUI
dituangkan dalam Surat Keputusan MUI No. Kep-
09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003.32
Pada prinsipnya, penegakan hukum hanya di-
lakukan oleh kekuasaan kehakiman yang secara kon-
stitusional lazim disebut badan yudikatif. Jadi, yang
berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya
badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan
kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970. Di luar itu tidak dibenarkan karena
tidak memenuhi syarat formal dan official serta
bertentangan dengan prinsip under the authority of law.
Namun berdasarkan Pasal 1851, 1855, 1858 KUHPdt,
Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka
terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa
dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non
litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (islah).33 Dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 juga dinyatakan
31
Butir 1 (satu) SEMA Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi
Putusan Badan Arbitrase Syariah.
32
Abdul Manan, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah; Sebuah
Kewenangan Baru Peradilan Agama,” makalah, http://www.badilag.net /
16/02/2011/Pdf. h. 22-23.
33
Karnaen Perwataatmaja, et al., Bank dan Asuransi Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 288.

220 Khairudin, Kewenangan Eksekusi…


Khairudin, Kewenangan Eksekusi...

bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat


dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau
alternatif penyelesaian sengketa.34
Pemeriksaan persidangan di tempat kedudukan
Basyarnas di Jakarta atau di cabang/perwakilan atau di
tempat lain atas persetujuan para pihak yang bersengketa.
Prosedur beracara dalam proses pemeriksaan sengketa di
Basyarnas ini pun telah ditetapkan oleh institusi tersebut
yang tidak jauh berbeda dengan mekanisme beracara di
pengadilan.
c. Proses Litigasi Pengadilan
Apabila sengketa ekonomi syariah tidak dapat
diselesaikan melalui perdamaian maupun secara arbitrase,
maka dapat diselesaikan melalui proses litigasi, dalam hal
ini lembaga peradilan agama. Sengketa ekonomi syariah
menjadi salah satu kewenangan absolut peradilan agama,
sebagaimana tersebut dalam Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama bahwa
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a)
perkawinan; (b) waris; (c) wasiat; (d) hibah; (e) wakaf;
(f) zakat; (g) infak; (h) sedekah; dan (i) ekonomi syariah.

E. Jangkauan dan Batas Kewenangan Peradilan Agama


Bidang Ekonomi Syariah
Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
menyatakan pengadilan agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam salah satunya
di bidang ekonomi syariah.35 Dalam Penjelasan Pasalnya di-
tegaskan bahwa penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di

34
Lihat Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.

221
An-Nahdhah, Vol. 4, No. 8, Desember 2011

bidang perbankan syariah, melainkan juga di bidang ekonomi


syariah lainnya. Maksud “antara orang-orang yang beragama
Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan
sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum
Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan
Agama sesuai dengan ketentuan Pasal tersebut.
Kemudian, dalam Penjelasan Pasal 49 huruf i Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006, disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:
(a) bank syariah, (b) lembaga keuangan mikro syariah, (c) asu-
ransi syariah, (d) reasuransi syariah, (e) reksadana syariah, (f)
obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
(g) sekuritas syariah, (h) pembiayaan syariah, (i) pegadaian sya-
riah, (j) dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan (k) bisnis
syariah.
Dengan sebutan ”perbuatan atau kegiatan usaha” maka
yang menjadi kewenangan pengadilan agama adalah transaksi
yang menggunakan akad syariah, walau pelakunya non muslim.
Ukuran personalitas keislaman dalam sengketa ekonomi syariah
adalah akad yang mendasari sebuah transaksi, apabila
menggunakan akad syariah, maka menjadi kewenangan
peradilan agama.36 Kata “ekonomi syariah” dalam penjelasan
pasal tersebut diartikan sebagai perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, dapat diartikan
seluruh perbuatan atau kegiatan usaha di bidang ekonomi
syariah yang dilakukan menurut prinsip syariah termasuk dalam
jangkauan kewenangan peradilan agama. Dapat ditegaskan
bahwa jangkauan kewenangan peradilan agama bidang ekonomi
syariah tidak hanya terbatas pada sengketa yang terjadi antara
para pihak (person/badan hukum) yang beragama Islam saja,
35
Lihat Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
36
Muhammad Karsayuda, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
sebagai Kewenangan Baru Peradilan Agama”, http://www.badilag.net /
16/02/2011/Pdf. h. 4.

222 Khairudin, Kewenangan Eksekusi…


Khairudin, Kewenangan Eksekusi...

melainkan juga antara para pihak (person/badan hukum) yang


non Islam, dengan ketentuan sepanjang sengketa tersebut
berkaitan dengan kegiatan usaha ekonomi syariah yang
dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.
Mengenai kewenangan peradilan umum, berdasarkan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
umum,37 dinyatakan: “Peradilan umum adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada
umumnya.” Kemudian Pasal 50 dalam Undang-undang tersebut
ditentukan bahwa: “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan
perkara perdata di tingkat pertama.”
Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, berdasarkan asas hukum lex specialis
derogat legi generali, maka pengadilan negeri tidak berwenang
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Karena Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 itu lebih khusus memberikan
kewenangan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah kepada
pengadilan agama. Namun demikian, Pasal 50 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-undang Peradilan Agama menyatakan bahwa dalam
hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek
sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum. Apabila terjadi sengketa
hak milik dimaksud yang subjek hukumnya antara orang-orang
yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh
pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49. Dalam Penjelasan Pasal 50 ayat (2)
Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa ketentuan ini
memberi wewenang kepada pengadilan agama untuk sekaligus
memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait

37
Undang-undang ini telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8
Tahun 2004, dan kemudian diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 49
Tahun 2009.

223
An-Nahdhah, Vol. 4, No. 8, Desember 2011

dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila


subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam.
Hal ini menghindari upaya memperlambat atau mengulur
waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa
milik atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak
yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di pengadilan
agama. Sebaliknya apabila subjek yang mengajukan sengketa
hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi
subjek bersengketa di pengadilan agama, sengketa di pengadilan
agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan
ke pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.
Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang
berkeberatan telah mengajukan bukti ke pengadilan agama
bahwa telah didaftarkan gugatan di pengadilan negeri terhadap
objek sengketa yang sama. Dalam hal objek sengketa lebih dari
satu objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang
diajukan keberatannya, pengadilan agama tidak perlu
menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak
terkait dimaksud.
Dari Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) beserta Penjelasannya
tersebut di atas, berarti dalam hal sengketa yang berkaitan
dengan hak milik atau sengketa keperdataan lain antara orang-
orang yang beragama Islam dengan non Islam mengenai
sengketa sebagaimana dimaksud Pasal 49 Undang-Undang
Peradilan Agama masih terkait dengan Peradilan Umum.
Kemudian dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ditentukan: (1)
Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; (2) Dalam hal
para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi Akad; (3) Penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan
dengan Prinsip Syariah.
Adapun dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-
Undang tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan

224 Khairudin, Kewenangan Eksekusi…


Khairudin, Kewenangan Eksekusi...

“penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad”


adalah upaya (a) musyawarah, (b) mediasi perbankan, (c)
melalui Basyarnas atau lembaga arbitrase lain; dan/atau (d)
melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Adiwarman A. Karim berpendapat bahwa dalam hukum
yang berlaku di Indonesia, para pihak yang berperkara bebas
memilih peradilan mana yang akan digunakan ketika terjadi
sengketa. Lebih lanjut ia berpendapat, dalam hukum berlaku
asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan bagi
para pihak untuk menentukan syarat dan ketentuan yang akan
mengikat mereka. Dalam bahasa sederhananya, asal sama rela.
Inilah yang dalam syariah disebut kaidah hukum asal dalam
muamalah bersifat boleh (mubāh/al-ibahah), kecuali
mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.
Dalam kaitannya dengan penyelesaian perkara ekonomi syariah,
forum yang selama ini digunakan adalah Pengadilan Negeri atau
Badan Arbitrase. Dengan demikian, diundangkannya Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 sebenarnya hanya menambah
pilihan forum bagi pelaku perbankan syariah, yakni Peradilan
Agama.38
Di lain pihak, Agustiono menyatakan bahwa selama ini
kompetensi Peradilan Agama dalam menangani perkara
ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri
(konvensional) yang notabene tidak dipersenjatai dengan
perangkat hukum syariah; dan ini menurutnya sangat aneh.
Dalam praktiknya, sebelum amandemen Undang-undang
Peradilan Agama, penegakan hukum kontrak bisnis di lembaga-
lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada KUHPerdata,
sehingga konsep perikatan dalam hukum Islam tidak lagi
berfungsi dalam praktik formalitas hukum di masyarakat.39
Persoalan mendasar dari pandangan di atas adalah bahwa
choice of forum berada dalam ranah kontrak, bukan ranah
perundang-undangan. Dalam sistem perbankan, negara memang

38
Habi Hasan, op. cit., h. 178-179.
39
Ibid.

225
An-Nahdhah, Vol. 4, No. 8, Desember 2011

memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk memilih sistem


perbankan mana yang dipilihnya. Dilihat dari sudut pandang
kebebasan berkontrak (freedom of contract) Karim boleh jadi
benar, karena masyarakat bisa menentukan sistem perbankan
mana yang dipilih. Demikian pula halnya media yang akan
mereka pilih dalam menyelesaikan perkara, apakah melalui
mediasi, arbitrase ataukah melalui peradilan. Namun jika yang
dimaksud adalah boleh memilih penyelesaian antara lembaga
peradilan, yakni boleh memilih antara Peradilan Umum atau
Peradilan Agama, tampaknya perlu dicermati, karena hal ini
lebih terkait dengan persoalan choice of jurisdiction dan choice
of litigation.40 Menurut penulis, kalau dilihat dari sisi asas
peraturan perundang-undangan, maka Undang-undang Nomor
21 Tahun 2008 tidak dapat melumpuhkan atau
mengesampingkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006,
karena keduanya berbeda: Undang-undang Perbankan Syariah
adalah undang-undang spesialis dari Undang-Undang
Perbankan, bukan undang-undang spesialis dari Undang-
Undang Peradilan Agama. Sedangkan Undang-Undang
Peradilan Agama adalah satu aturan spesialis dari Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman.
Secara materil substansial Pasal 55 ayat (2) Undang-
Undang Perbankan Syariah seperti tersebut di atas,
memunculkan kembali kewenangan peradilan umum terhadap
sengketa ekonomi syariah yang sebelumnya telah ditetapkan
menjadi kewenangan pengadilan agama. Namun, dalam struktur
Undang-undang ini, pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum diposisikan sebagai non litigasi. Karena Peradilan
Umum merupakan lembaga litigasi, maka dalam Undang-
undang ini terdapat penempatan norma yang keliru. Dengan
demikian, dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) telah
terjadi contradictio in terminis.41 Maka, berdasarkan analisis

40
Ibid., h. 185-186.
41
.Maksudnya, makna normatif dalam muatan ayat (1) saling
bertentangan dengan ayat (2).

226 Khairudin, Kewenangan Eksekusi…


Khairudin, Kewenangan Eksekusi...

atas kaidah tersebut, frasa “pengadilan dalam lingkungan Per-


adilan Umum” yang memposisikan Peradilan Umum pada posisi
non litigasi dapat dikesampingkan, karena cara penyelesaian
melalui Peradilan Umum merupakan cara penyelesaian di luar
litigasi.42 Pasal 55 ayat (1) merupakan aturan pokok, sedang
Penjelasan dalam Pasal 55 ayat (2) merupakan aturan assesoris.
Sehingga secara perspektif normatif, proses litigasi penyelesaian
sengketa ekonomi syariah telah menjadi kewenangan absolut
lingkungan Peradilan Agama.
Dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
dapat dipahami bahwa ekonomi syariah termasuk dalam
kewenangan peradilan agama. Namun, sampai di mana batas
kewenangan peradilan agama tidak dinyatakan secara langsung
dalam undang-undang tersebut. Batas kewenangan peradilan
agama dalam bidang ekonomi syariah paling tidak ada dua,
yaitu:
1) Kewenangan peradilan agama bidang ekonomi
syariah hanya di bidang perdata
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama, persoalan ekonomi
syariah telah menjadi kompetensi pengadilan agama.
Namun demikian, Undang-undang Peradilan Agama ini
hanya berada di wilayah perdata (privat law) saja.
Sekalipun Pasal 3A Undang-Undang Peradilan Agama
menggariskan dapat diadakan pengkhususan pengadilan
yang diatur dengan Undang-undang untuk ranah
pidana, tetapi hal itu hanya berlaku untuk Mahkamah
Syariyah di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh.
Asas personalitas keislaman merupakan salah
satu asas yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Pada

42
Hasbi Hasan, op. cit., h. 141.

227
An-Nahdhah, Vol. 4, No. 8, Desember 2011

Pasal 49 Undang-undang tersebut dapat diketahui


bahwa subjek hukum yang dapat berperkara di
pengadilan agama adalah orang-orang yang beragama
Islam. Kata “orang-orang” dalam penjelasan pasal ini
adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan
sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada
hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan peradilan agama.

2) Tidak Menjangkau Perjanjian (Klausula)


Arbitrase
Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999,
perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa
klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase ter-
sendiri yang dibuat para pihak setelah timbul seng-
keta.43
Dalam ekonomi syariah segala kegiatannya
terbentuk oleh adanya kesepakatan para pihak untuk
mengikatkan diri pada perjanjian atau akad. Termasuk
pula mengenai klausula penyelesaian sengketanya
dilakukan berdasarkan isi akad, misalnya penyelesaian
sengketa melalui Basyarnas. Klausul badan arbitrase
tersebut berlaku dan mengikat para pihak, maka
penyelesaian sengketanya harus dilakukan melalui
forum arbitrase itu sendiri, dan pengadilan menjadi
tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak
yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase.44
F. Kewenangan Eksekusi Putusan Basyarnas
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang

43
Lihat Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
44
Ibid., Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3).

228 Khairudin, Kewenangan Eksekusi…


Khairudin, Kewenangan Eksekusi...

Nomor 4 Tahun 2004 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.


Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 ini sebagai kerangka
umum yang meletakkan dasar dan asas peradilan serta pedoman
bagi semua lingkungan peradilan, yang selanjutnya masing-
masing lembaga peradilan diatur di dalam undang-undang
tersendiri. Bersamaan dengan itu, juga disahkan Undang-
Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,
dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
Berdasarkan ketentuan pasal 24 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945, dinyatakan bahwa:45 “Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.”
Ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 18 dan
Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa:46
Pasal 18 : Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 25 (1) : Badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

45
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Ke-tiga.
46
.Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

229
An-Nahdhah, Vol. 4, No. 8, Desember 2011

Dengan demikian Peradilan Agama sebagai salah satu


pelaksana kekuasaan kehakiman secara konstitusional
mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama dan sederajat di
antara badan-badan peradilan yang lain. Perbedaannya hanya
terletak pada bidang yurisdiksi yang dilimpahkan undang-
undang kepada masing-masing lembaga peradilan tersebut.
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diubah lagi
dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, maka secara
yuridis formal eksistensi Peradilan Agama semakin kokoh.
Tidak hanya diakui dalam konstitusi UUD 1945, tetapi juga
diakui dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang telah
digantikan dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan eksistensi yang makin
kokoh baik dari segi status maupun kedudukan dan
kewenangannya, seyogyanya akan lebih dapat memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat pencari keadilan.
Dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
tentang Peradilan Agama, disebutkan ada 9 (sembilan) bidang
yang menjadi kewenangan pengadilan agama. Pasal ini dengan
jelas menggariskan bahwa perkara yang berkaitan dengan
ekonomi syariah yang mencakup 11 (sebelas) jenis perbuatan
atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah
merupakan kewenangan pengadilan agama. Kewenangan
pengadilan agama kemudian diperteguh oleh Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Adapun eksistensi Basyarnas sebagai lembaga non
litigasi, keberadaannya telah diperkuat dengan adanya Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2008 dan Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009. Namun, persoalan yuridis berkenaan dengan
Basyarnas adalah terkait dengan eksekusi putusan Basyarnas.
Meskipun produk Basyarnas berbentuk putusan atau produk
hukum tertulis yang disusun dan dijatuhkan berdasarkan hasil
pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbitrase melalui proses
persidangan sebagaimana layaknya proses litigasi pengadilan,

230 Khairudin, Kewenangan Eksekusi…


Khairudin, Kewenangan Eksekusi...

dengan sistem pintu tertutup, dan merupakan putusan yang


mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak
(final and binding), akan tetapi secara kelembagaan Basyarnas
tidak mempunyai kewenangan yang bersifat judisial untuk
menjalankan sendiri putusannya, dan juga tidak mempunyai alat
pelengkap juru sita yang bertugas membantu melaksanakan
eksekusi. Kewenangan eksekusi merupakan kewenangan resmi
dari lembaga litigasi yang hanya dipunyai oleh pengadilan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, merupakan Undang-
undang hukum acara (hukum formal) dalam menyelesaikan
sengketa perdata khususnya melalui Badan Arbitrase. Persoalan
mendasarnya, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama bertentangan dengan Undang-undang Nomor
30 Tahun 1999, sehingga Peradilan Agama dianggap oleh
sebagian pihak tidak berwenang sebagai lembaga eksekutorial
terhadap putusan Basyarnas.
Taufiq, mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung,
berpendapat bahwa dengan diundangkannya Undang-undang
Peradilan Agama, maka Undang-undang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa sudah tidak bisa diberlakukan, karena
”Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah lex generalis,
sedangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 itu lex
specialis.”47
Menurut penulis pemberlakuan asas lex specialis derogat
legi generali untuk kedua Undang-undang tersebut kurang tepat.
Karena walaupun antara Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 secara hierarkis
mempunyai kedudukan yang sama, namun mengatur dua hal
yang berbeda. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
sedangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 mengatur
tentang Peradilan Agama. Namun demikian, meskipun telah

47
Hasbi Hasan, op. cit., h. 177.

231
An-Nahdhah, Vol. 4, No. 8, Desember 2011

disebutkan tentang ekonomi syariah di dalam Pasal 49 Undang-


undang Nomor 3 Tahun 2006, tetapi di dalam Ketentuan
Peralihan48 tidak dimuat mengenai hal ini.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 dibuat pada saat
penyelesaian sengketa melalui arbitrase sebagai lembaga non
litigasi hanya menangani untuk sengketa yang akan diperiksa
dan diadili oleh Pengadilan Negeri. Sehingga di dalam
ketentuan-ketentuannya yang disebutkan hanya lingkungan
Peradilan Umum yaitu Pengadilan Negeri. Namun dengan
ditetapkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah
memberikan perluasan kewenangan bagi pengadilan agama
untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa di
bidang ekonomi syariah, yang mana dalam bidang ini
penyelesaian melalui arbitrase sudah menjadi sesuatu yang
lumrah dilakukan dengan segala pertimbangannya, dan telah
pula dibentuk Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Menurut
penulis, melalui penafsiran Argumentum Per Analogiam (ana-
logi)49, dengan memperluas berlakunya peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang kegiatan ekonomi pada
umumnya terhadap kegiatan ekonomi syariah karena adanya
kemiripan atau keserupaan antara keduanya. Maka, kata-kata
“Pengadilan Negeri” yang tercantum di dalam Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 dan khususnya pada Pasal 61 Undang-
undang tersebut dapat diberlakukan pada “Pengadilan Agama”
karena pokok sengketanya terjadi di dalam kewenangan
pengadilan agama, yang tentunya hanya sepanjang mengenai
sengketa ekonomi syariah melalui Basyarnas.
Selanjutnya, pertentangan Undang-undang juga terjadi
antara Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

48
Lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), h. 128-129.
49
Lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar,
op. cit., h. 228.

232 Khairudin, Kewenangan Eksekusi…


Khairudin, Kewenangan Eksekusi...

Kekuasaan Kehakiman. Pasal 59 ayat (3) Undang-undang


Nomor 48 Tahun 2009, menyatakan: “Dalam hal para pihak
tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan
dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa”, termasuk di
dalamnya arbitrase syariah sebagaimana Penjelasan Pasal 59
ayat (1) Undang-undang tersebut yang menyatakan: “Yang
dimaksud dengan “arbitrase” dalam ketentuan ini termasuk juga
arbitrase syariah”. Ketentuan Pasal 59 Undang-undang Nomor
48 Tahun 2009 ini jelas bertentangan dengan Pasal 49 Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006.
Sebelumnya, jika mencermati Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian
digantikan dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009.
Undang-undang ini bersifat organik, sehingga perlu adanya
peraturan pelaksananya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Khususnya untuk pengadilan agama
dilakukan pengaturan lebih lanjut dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian
diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 yang di
dalamnya memuat hukum materiil dan hukum formilnya.
Ruang lingkup materi Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 bersifat umum, yakni mengatur kekuasaan kehakiman,
sedangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 merupakan
Undang-undang yang khusus mengatur badan peradilan dalam
lingkungan peradilan agama dan penyelesaian sengketa yang
menjadi kewenangannya, salah satunya di bidang ekonomi
syariah. Undang-undang Peradilan Agama tersebut bersifat
diagnostik atau organik akibat adanya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Jadi, Undang-
undang Peradilan Agama ini adalah undang-undang spesialis
dari Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, sehingga asas lex
specialis derogat legi generali dapat diberlakukan, yaitu
Undang-undang Peradilan Agama harus didahulukan dan dapat
mengesampingkan Undang-undang Kekuasaan Kehakiman.

233
An-Nahdhah, Vol. 4, No. 8, Desember 2011

Berdasarkan argumen tersebut, SEMA Nomor 08 Tahun


2008 tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah telah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Pada butir 4 (empat)
SEMA ini tertulis:
Dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak
dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut
dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan
yang berwenang atas permohonan salah satu pihak
yang bersengketa, dan oleh karena sesuai dengan Pasal
49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006, Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di
bidang ekonomi syariah, maka Ketua Pengadilan
Agamalah yang berwenang memerintahkan pelaksana-
an putusan Badan Arbitrase Syariah.
Sehingga kata “menyelesaikan” yang terdapat dalam Pasal
49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah bermakna
sampai mengeksekusi putusan termasuk putusan Basyarnas.
Maka, badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama
yakni Pengadilan Agamalah yang berwenang sebagai lembaga
eksekutorial terhadap putusan Basyarnas.
Agustianto, Dosen Fikih Muamalah Ekonomi Pascasarjana
Universitas Indonesia, menyatakan bahwa Peradilan Agama
memang sudah sewajarnya diberikan kewenangan yang
berkaitan dengan syariah. Dari sisi syariah itu menjadi
kemestian, sebab hukum yang terkait syariah, wajib diselesaikan
oleh lembaga-lembaga syariah.50

G. Penutup
Dari pemaparan di atas, dapat diambil simpulan bahwa
kewenangan eksekusi putusan Basyarnas mengenai sengketa
ekonomi syariah merupakan kewenangan Pengadilan Agama
melalui penafsiran Argumentum Per Analogiam (analogi) dan
50
http://www.hukumonline.com/10/03/2011.

234 Khairudin, Kewenangan Eksekusi…


Khairudin, Kewenangan Eksekusi...

asas lex specialis derogat legi generali. Dengan demikian,


eksekusi putusan Basyarnas yang selama ini dimintakan ke
Pengadilan Negeri, sudah semestinya ke Pengadilan Agama
sebagai konsekuensi perluasan kewenangannya.
Namun tidak dapat disangkal bahwa dalam Undang-
undang Peradilan Agama sungguhpun telah disebutkan tentang
ekonomi syariah, tetapi tidak dimuat di dalam ketentuan pasal
peralihannya. Maka perlu adanya sinkronisasi hukum dengan
melakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang
terkait. Dan kepada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama
(Ditjen Badilag) yang bekerja sama dengan Kelompok Kerja
(Pokja) Perdata Agama yang sedang merampungkan Kompilasi
Hukum Acara Ekonomi Syariah (KHAES) yang selanjutnya
akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA), agar kiranya memuat juga mengenai kewenangan
eksekusi putusan Badan Arbitrase Syariah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Rajawali


Pers, 2010.
Harahap, M. Yahya, Arbitrase, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar
Grafika, 2004.
-----------, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang
perdata, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2007.
http://www.hukumonline.com/10/03/2011.

235
An-Nahdhah, Vol. 4, No. 8, Desember 2011

Ka’bah, Rifyal, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Se-


bagai Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama”, Al-
Mawardi Edisi XVII Tahun 2007, dalam http://www.
badilag.net/16/02/2011.
Kadir, Abdul, “Penanganan Sengketa Ekonomi Syariah Oleh
Pengadilan Agama; Sebuah Kenyataan dan Harapan”,
http://www.badilag.net /16/02/2011/Pdf.
Karsayuda, Muhammad, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Sya-
riah sebagai Kewenangan Baru Peradilan Agama”, http://
www.badilag.net /16/02/2011/Pdf.
Manan, Abdul, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah; Se-
buah Kewenangan Baru Peradilan Agama,” makalah,
http://www.badilag.net /16/02/2011/Pdf.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yog-
yakarta, Liberty, 1998.
-----------, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya, 2010.
Mubarak, Jaih, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di In-
donesia”, http://www.badilag.net/19/04/2011.
Mujahidin, Ahmad, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Per-
adilan Agama dan Mahkamah Syariyah di Indonesia, Ja-
karta, IKAHI, 2007.
Permana, Sugiri, “Kedudukan Undang-Undang dan Perjanjian
Dalam Menentukan Penyelesaian Sengketa Perbankan
Syariah Oleh Peradilan Agama, Peradilan Umum dan
Lembaga Non Litigasi”, http://www.badilag. net/
03/01/2011/Pdf.
Perwataatmaja, Karnaen, et al., Bank dan Asuransi Islam di
Indonesia, Jakarta, Prenada Media, 2005.
Ridwan, Asep, “Faktor Pendukung dan Penghambat Pe-
laksanaan Kekuasaan Pengadilan Agama Bidang Ekonomi

236 Khairudin, Kewenangan Eksekusi…


Khairudin, Kewenangan Eksekusi...

Syariah, Setelah Lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun


2006”, http://www.pa-kalianda.net/13/01/2011/Pdf.
SEMA Nomor 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan
Arbitrase Syariah.
Suparman, Eman, “Perluasan Kompetensi Absolut Peradilan
Agama Dalam Memeriksa dan Memutus Sengketa Bisnis
Menurut Prinsip Syariah”, http://www.badilag.net/
16/02/2011/Pdf.
Syafe’i, Rahmat, “Yurisprudensi Peradilan Agama dari Pe-
laksanaan UUPA: Segi Normatif dalam Kajian Fiqh,
Alternatif Penyempurnaan Timbal Balik,” dalam 10 Tahun
Undang-undang Peradilan Agama, Jakarta, Ditbinbapera
dan Fakultas Hukum UI, 1999.
Tutik, Titik Triwulan, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indo-
nesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta, Cerdas
Pustaka Publisher, 2008.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2006 yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.

237
An-Nahdhah, Vol. 4, No. 8, Desember 2011

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan


Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Widiana, Wahyu, “Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dan
Pasang Surut Perkembangan Peradilan Agama”, http://
www.badilag.net/ 16/02/2011/Pdf.
Zaida, Yusna, “Kewenangan Peradilan Agama terhadap Seng-
keta Ekonomi Syariah,” Al-BANJARI Vol. 5, No. 9, Janu-
ari-Juni 2007. dalam http://www.badilag.netdata/16/02/
2011.

238 Khairudin, Kewenangan Eksekusi…

Вам также может понравиться