Вы находитесь на странице: 1из 5

CONTOH KASUS DALAM EKONOMI INTERNASIONAL

Kasus Dugaan Dumping Terhadap Ekspor Produk Kertas Indonesia ke Korea

3.1 Latar Belakang


Negara-negara berkembang pada umumnya akan membantu industri domestiknya melalui
subsidi atau kebijakkan ekonomi berupa hambatan tariff atau non tariff untuk memasukkan
industrinya ke persaingan internasional apalagi dalam era Globalisasi teknologi dan
informasi seperti sekarang ini, Negara atau pemerintah akan berusaha mendorong
industrinya untuk bersaing di pasar internasional dan untuk bersaing perlu berbagai
perbaikkan kualitas baik tenaga kerja ataupun produk. Indonesia sebagai Negara
berkembang pada umumnya akan memilih suatu perusahaan domestic untuk di subsidi
khususnya industri yang benar-benar menjadi ekspor Indonesia. Dan selain itu, Indonesia
juga mengambil kebijakkan ekonomi seperti penetapan batasan impor, hambatan tariff dan
non tariff dan kebijakan lainnya. Sama seperti negara lainnya, Korea juga menetapkan
kebijakan ekonomi anti dumping untuk melindungi Industri domestiknya. Kali ini yang
menjadi sasaran negara yang melakukkan dumping adalah Indonesia.

3.2 Kerangka Pemikiran

Untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan dan kesalahan interpretasi, akibat tindakan


proteksi yang dilakukkan suatu negara dalam mendorong perekonomiannya, maka WTO
membuat aturan untuk penerapan subsidi mengingat masalah ini merupakan masalah yang
sering terjadi terkait masalah dumping dan terdapat dua macam aturan subsidi atau
dukungan:

1. Dukungan atau subsidi yang membuat distorsi (trade distorting subsidies) dimana negara
anggota harus menetapkan level maksimum dan kemudian menguranginya pada tingkat
yang diperbolehkan.
2. Subsidi yang dianggap tidak mendistorsi atau non trade distorting sering disebut sebagai
Green Box, tidak ada jumlah maksimum yang ditentukan, sehingga Negara anggota boleh
menambah tanpa batas. Green Box merupakan pembayaran untuk misalnya perlindungan
lingkungan dan penelitian.
Dalam subsidi yang mendistorsi atau Trade Distorting Subsidies (TDS) terdapat tiga kategori:
1. AMS – aggregate measurement support atau sering disebut Amber Box, ini berkaitan
dengan intervensi harga dan dimasukkan sebagai yang paling mendistorsi.
2. De minimis, ini diperbolehkan sampai tingkat tertentu yang dihitung dari persentase dari
nilai produksi.
3. Blue Box, subsidi jenis ini dianggap mendistorsi tapi tidak sebesar Amber Box.
Selain aturan-aturan tersebut, WTO sendiri juga telah membentuk Dispute Settlement

Body (DSB) untuk mengantisipasi penyelesaian masalah yang terjadi diantara anggota-
anggotanya. Masalah terkait dengan pemberian subsidi dan kebijakkan proteksi adalah
Dumping. Dumping terjadi apabila produk-produk impor tersebut dijual dengan harga lebih
rendah daripada harga yang berlaku di pasaran. Untuk menerapkan anti dumping, badan
perdagangan suatu Negara harus membuktikan terlebih dahulu bahwa dumping tersebut
menyebabkan kerugian terhadap industri di negaranya. Mengingat relatif tingginya kasus
dumping, hendaknya negara mencermati dan mengantisipasi serta menghindari
kemungkinan adanya tuduhan dumping tersebut. Masalah ini adalah masalah yang sangat
sering ditemui seperti di India terbukti melakukan tuduhan dan penyelidikan antidumping
atas 425 kasus, di mana 316 kasus dikenakan BMAD, AS melakukan penyelidikan atas 366
kasus dan mengenakan BMAD terhadap 234 kasus. Sementara itu, China melakukan
penyelidikan atas 125 kasus di mana 70 kasus di antaranya dikenai BMAD. Turki juga
menyelidiki tuduhan praktek dumping 101 kasus bagi pengenaan 86 kasus BMAD.
Sementara itu, Korsel mengenakan BMAD terhadap 46 kasus dari 81 kasus dumping yang
diselidikinya.
Dumping dalam hal ini merupakan suatu tindakan melanggar kesepakatan yang telah
disepakati dan diratifikasi oleh subyek hukum Internasional. Yang dimaksud subyek hukum
internasional disini adalah semua subyek hukum yang mengatur aspek-aspek ekonomi baik
yang sifatnya nasional maupun internasional (termasuk hukum internasional publik dan
hukum perdata). Yang merupakan subyek hukum disini adalah negara yang harus
memenuhi syarat sebagai negara yakni memiliki penduduk, wilayah, pemerintah yang
berdaulat, dan kemampuan melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain, Individu
yang statusnya tergantung kepada isi ketentuan perjanjian yang memberikan kedudukan
tersebut karena kemampuan individu untuk membuat kontrak atau perjanjian ekonomi
(bisnis) dengan subyek hukum lainnya, selain itu Multi national Cooperation (MNCs) dan
Organisasi Internasional (OI) yang memiliki definisi yang melekat pada dirinya untuk
menjadi subyek hukum internasional selain memiliki legal personality yakni kemampuan
untuk melakukan perjanjian atau kontrak dengan seubyek hukum lainnya.
Mengingat dumping terjadi antar anggota WTO yang terdiri dari negara-negara berdaulat
berarti terjadi pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah ditetapkan di WTO yang
menjadi aturan bagi para anggota WTO untuk bertindak mengingat semua yang
mengajukan diri untuk menjadi anggota WTO harus menaati kesepakatan tersebut.
Kesepakatan yang terbentuk antar dua pihak atau lebih merupakan sumber hukum
internasional yang dapat menjadi sumber Hukum Ekonomi Internasional menurut Pasal 38
Ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional selain kebiasaan inetrnasional, prinsip hukum yang
diakui oleh negara bangsa, keputusan para hakim dan ajaran ahli hukum.

3.3 Analisis Kasus


Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO kasus antara Korea dan Indonesia, dimana
Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel sehingga
Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan
Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga
8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor
produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang
tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.
Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini,
kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16
jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and
paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia
kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei
2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT
pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%,
April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM
anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik
kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana
untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal
4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan
pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement
Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui
proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan
Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO
dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB
menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek
dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam
menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping
dari produk kertas Indonesia.

3.4 Penyelesaian Kasus


Dalam kasus ini, dengan melibatkan beberapa subyek hukum internasional secara jelas
menggambarkan bahwa kasus ini berada dalam cakupan internasional yakni dua negara di
Asia dan merupakan anggota badan internasional WTO mengingat keduanya merupakan
negara yang berdaulat. Dan kasus dumping yang terjadi menjadi unsur ekonomi yang
terbungkus dalam hubungan dagang internasional kedua Negara dengan melibatkan unsur
aktor-aktor non negara yang berasal dari dalam negeri masing-masing negara yaitu
perusahaan-perusahaan yang disubsidi oleh pemerintah untuk memproduksi produk
ekspor. Dumping merupakan suatu tindakan menjual produk-produk impor dengan harga
yang lebih murah dari harga dan ini merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO.
Indonesia meminta bantuan DSB WTO dan melalui panel meminta agar kebijakan anti
dumping yang dilakukan korea ditinjau kembali karena tidak konsisten dengan beberapa
point artikel kesepakatan seperti artikel 6.8 yang paling banyak diabaikandan artikel lainnya
dan Indonesia juga meminta Panel terkait dengan artikel 19.1 dari Understanding on Rules
and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU) untuk meminta Korea
bertindak sesuai dengan kesepakatan GATT dan membatalkan kebijakan anti dumping
impor kertas yang dikeluarkan oleh mentri keuangan dan ekonominya pada tanggal 7
november 2003.
Yang menjadi aspek legal disini adalah adanya pelanggaran terhadap artikel kesepakatan
WTO khususnya dalam kesepakatan perdagangan dan penentuan tariff seperti yang
tercakup dalam GATT dan dengan adanya keterlibatan DSB WTO yang merupakan suatu
badan peradilan bagi permasalahan-permasalahan di bidang perdagangan. Ini menegaskan
bahwa masalah ini adalah masalah yang berada di cakupan Internasional, bersifat legal dan
bergerak dalam bidang ekonomi. Sifat legal atau hukumnya terlihat juga dengan adanya
tindakan Retaliasi oleh pemerintah Indonesia karena Korea dinilai telah bertindak ‘curang’
dengan tidak melaksanakan keputusan Panel Sementara DSB sebelumnya atas kasus
dumping kertas tersebut yang memenangkan Indonesia dimana retaliasi diijinkan dalam
WTO. Sekretaris Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Departemen
Perdagangan mengatakan dalam putusan Panel DSB pada November 2005 menyatakan
Korsel harus melakukan rekalkulasi atau menghitung ulang margin dumping untuk produk
kertas asal Indonesia. Untuk itu, Korsel diberikan waktu untuk melaksanakan paling lama
delapan bulan setelah keluarnya putusan atau berakhir pada Juli 2006. Panel DSB menilai
Korsel telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktik dumping
kertas dari Indonesia. Pengenaan tuduhan dumping kertas melanggar ketentuan
antidumping WTO. Korea harus menghitung ulang margin dumping sesuai dengan hasil
panel maka ekspor kertas Indonesia ke Korsel kurang dari dua persen atau deminimis
sehingga tidak bisa dikenakan bea masuk antidumping.
Panel Permanen merupakan panel tertinggi di WTO jika putusan Panel Permanen juga tidak
ditaati oleh Korsel, Indonesia dapat melakukan retaliasi, yaitu upaya pembalasan atas
kerugian yang diderita. Dalam retaliasi, Indonesia dapat mengenakan bea masuk atas
produk tertentu dari Korsel dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan Bea Masuk
Anti-Dumping (BMAD). Korean Trade Commision yang merupakan otoritas dumping Korsel
mengenakan BMAD 2,8-8,22 persen terhadap empat perusahaan kertas, seperti yang telah
disebutkan diatas yaitu PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT
Indah Kiat Pulp & Paper, dan PT April Fine sejak 7 November 2003. Dalam membuat
tuduhan dumping, KTC menetapkan margin dumping kertas dari Indonesia mencapai 47,7
persen. Produk kertas yang dikenakan BMAD adalah plain paper copier dan undercoated
wood free printing paper dengan nomor HS 4802.20.000; 4802.55; 4802.56; 4802.57; dan
4809.4816.
Dalam kasus ini, Indonesia telah melakukan upaya pendekatan sesuai prosedur terhadap
Korsel. Pada 26 Oktober 2006 Indonesia juga mengirim surat pengajuan konsultasi.
Selanjutnya, konsultasi dilakukan pada 15 November 2006 namun gagal. Korea masih belum
melaksanakan rekalkulasi dan dalam pertemuan Korea mengulur-ulur waktu. Tindakan
Korsel tersebut sangat merugikan industri kertas Indonesia. Ekspor kertas ke Korsel anjlok
hingga 50 persen dari US$ 120 juta. Kerugian tersebut akan berkepanjangan sebab Panel
juga menyita waktu cukup lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan.
Kasus dumping Korea-Indonesia pada akhirnya dimenangkan oleh Indonesia. Namun untuk
menghadapi kasus-kasus dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia perlu
melakukkan antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk
melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor. Selain itu,
diperlukan penetapkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dalam rangka proses
investigasi praktek dumping (ekspor dengan harga lebih murah dari harga di dalam negeri)
yang diajukan industri dalam negeri. selama ini, Indonesia belum pernah menerapkan
BMADS dalam proses penyelidikan dumping apapun padahal negara lain telah
menerapkannya pada tuduhan dumping yang sedang diproses termasuk kepada Indonesia.
Padahal hal ini sangat diperlukan seperti dalam rangka penyelidikan, negara yang
mengajukan petisi boleh mengenakan BMADS sesuai perhitungan injury (kerugian)
sementara. Jika negara eksportir terbukti melakukan dumping, maka dapat dikenakan
sanksi berupa BMAD sesuai hasil penyelidikan. Karenannya, pemerintah harus
mengefektifkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang merupakan institusi yang
bertugas melaksanakan penyelidikan, pengumpulan bukti, penelitian dan pengolahan bukti
dan informasi mengenai barang impor dumping, barang impor bersubsidi dan lonjakan
impor.

KESIMPULAN
Penjualan barang oleh eksportir keluar negeri dikenai berbagai ketentuan dan pembatasan
serta syarat-syarat khusus pada jenis komoditas tertentu termasuk cara penanganan dan
pengamanannya. Setiap negara memiliki peraturan dan ketentuan perdagangan yang
berbeda-beda. Produk yang akan dipasarkan haruslah memiliki standar mutu yang baik
(export quality) sehingga dapat memuaskan konsumen serta pengiriman barang yang tepat
waktu yang dapat berdampak terhadap pemesanan secara reguler. Disamping itu eksportir
haruslah mengerti selera konsumen negara tujuan ekspor. Kegiatan ekspor yang lancar akan
ikut menyumbang pendapatan negara dari sektor pajak ekspor disamping tentunya akan
berdampak positif berupa keuntungan yang diperoleh eksportir tersebut. Sementara itu
untuk kasus dumping Indonesia – Korea Selatan pada akhirnya dimenangkan oleh pihak
Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus dumping yang belum terselesaikan
sekarang maka indonesia perlu melakukkan antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang
(UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat
melonjaknya barang impor.

Вам также может понравиться