Вы находитесь на странице: 1из 119

ISOLASI DAN KARAKTERISASI PROTEIN IKAN

TONGKOL (Auxis thazard), KERANG HIJAU (Perna viridis)


DAN UDANG JERBUNG (Penaeus merguiensis) UNTUK
PEMBUATAN ISOLAT ALERGEN

DIAN PURBASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
 
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Isolasi dan Karakterisasi
Protein Ikan Tongkol (Auxis thazard), Kerang Hijau (Perna viridis) dan Udang
Jerbung (Penaeus merguiensis) untuk Pembuatan Isolat Alergen adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor Maret 2012

Dian Purbasari
F 251090051
 
ABSTRACT

DIAN PURBASARI. Isolation and Characterization of Protein from Frigate


Mackerel Fish (Auxis thazard), Green Mussel (Perna viridis) and White Shrimp
(Penaeus merguensis) for Production of Isolate Allergen. Under direction of
FRANSISKA RUNGKAT- ZAKARIA and DAHRUL SYAH.

Seafoods including fish, crustaceans and shellfish play an important role in


human nutrition. However, it is also recognised as an important cause of food
allergies, especially in coastal countries, including Indonesia. Treatments of these
diseases still rely on avoiding the sources of the alergens, however it can also
cause malnutrition which is also dangerous to health. To determine the specific
food protein causing allergic reactions, cutie test was performed using isolate food
protein. Until the present time, Indonesia still imports kits containing isolate
proteins for food allergy diagnosis, therefore effort to locally produce the kit will
reduce health cost for patients with allergic diseases. The objective of this study
was to produce seafoods protein extract that is potential to be used as isolate of
allergens for food allergy diagnosis. Two extract sarcoplasmic and myofibril
protein were obtained from fish, shrimp and mussel by extraction in phosphate
buffer with diference ionic strength Protein profile were then detected by means
of sodium dodecyl polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). IgE binding
pattern was analyzed by using ELISA and immunoblotting using sera from 20
respondents with histories of food allergy. The result of the study showed that
samples of seafood extract protein consist of several protein with various
molecular weight in the range about 14 to 143 kDa. The component were
identified as tropomyosin (34-38 kDa), parvalbumin (~12 kDa), myosin light
chain (~17.5 kDa) and arginin kinase (40 kDa) which are major allergens in
seafoods. Further analysis with ELISA showed that the seafood protein extracts
contained several IgE-binding proteins. Immunoblot of three extract samples from
seafoods showed that components identified as allergens to each allergic subject
have different molecular weight. The results demonstrated that crude extract could
be directly used as isolate allergen for diagnostic test allergy (skin prick test)
without isolating the major allergen components.

Key word : seafoods, allergen, food allergy, SDS-PAGE, immunoblotting, ELISA


 
RINGKASAN

DIAN PURBASARI. Isolasi dan Karakterisasi Protein Ikan Tongkol (Auxis


thazard), Kerang Hijau (Perna viridis) dan Udang Jerbung (Penaeus merguiensis)
untuk Pembuatan Isolat Alergen. Dibimbing oleh FRANSISKA RUNGKAT-
ZAKARIA dan DAHRUL SYAH.

Alergi pangan merupakan reaksi antibodi imunoglobulin E (IgE) terhadap


protein dalam bahan pangan yang disebut alergen. Diantara pangan penyebab
alergi, makanan laut dikenal sebagai penyebab penting alergi pangan. Sampai saat
ini cara terbaik untuk mengatasi alergi pangan adalah dengan menghindari
makanan yang dicurigai menimbulkan alergi yang dapat merugikan kesehatan dan
mengurangi cita rasa suatu jenis pangan. Oleh karena itu diperlukan suatu
diagnosis alergi untuk memastikan jenis pangan penyebab alergi, salah satunya
yaitu dengan uji tusuk kulit (skin prick test). Uji ini menggunakan isolat alergen
yang saat ini masih berasal dari impor. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan
untuk menghasilkan ekstrak protein dari ikan tongkol, kerang hijau dan udang
jerbung yang berpotensi sebagai isolat alergen untuk uji diagnosis alergi.
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, pertama yaitu isolasi protein
sampel, dalam bentuk ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril. Tahap
selanjutnya yaitu karakterisasi ekstrak protein dengan SDS-PAGE dan penentuan
alergenisitas masing-masing ekstrak dengan metode ELISA dan immunoblotting
menggunakan 20 serum subyek penderita alergi.
Hasil analisis kadar protein dengan metode Bradford menunjukkan bahwa
kadar protein sarkoplasma sampel udang, ikan tongkol dan kerang hijau berturut-
turut adalah 1.154 mg/ml, 1.269 mg/ml dan 0.691 mg/ml. Sedangkan kadar
protein adalah 0.627 mg/ml, 0.878 mg/ml dan 0.176 mg/ml. Berdasarkan hasil
elektroforesis SDS-PAGE tiga ekstrak protein sampel diketahui bahwa komponen
penyusunnya memiliki berat molekul berkisar dari 14 – 143 kDa, yang
diidentifikasi beberapa komponen seperti tropomiosin (34-38 kDa), parvalbumin
(~12 kDa), myosin light chain (~17.5 kDa) dan arginin kinase (40 kDa) yang
merupakan alergen utama pada ikan, kerang dan udang.
Uji alergenisitas dengan metode ELISA ekstrak protein dari ketiga sampel
terhadap 20 serum subyek menunjukkan hasil yang sesuai dengan sejarah medis
alergi tiap-tiap subyek. Kemampuan ekstrak protein baik fraksi sarkoplasma dan
miofibril dari ketiga sampel untuk mendeteksi IgE spesifik pada serum penderita
alergi makanan laut menunjukkan bahwa ekstrak ini berpotensi untuk digunakan
sebagai isolat alergen dalam diagnosis alergi, seperti uji tusuk atau SPT (skin
prick test).
Berdasarkan immunoblotting ekstrak protein ikan tongkol, kerang hijau dan
udang jerbung memperlihatkan adanya fraksi protein yang bersifat alergenik
terhadap 5 serum subyek alergi (A, B, H, L dan P). Fraksi protein yang
menyebabkan alergi pada tiap-tiap individu berbeda-beda. Sehingga untuk tujuan
diagnosis ekstrak dapat digunakan langsung tanpa harus mengisolasi komponen
alergennya.

Kata kunci : alergi makanan laut, alergen, SDS-PAGE, ELISA, immunoblotting


 
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
 
ISOLASI DAN KARAKTERISASI PROTEIN IKAN
TONGKOL (Auxis thazard), KERANG HIJAU (Perna viridis)
DAN UDANG JERBUNG (Penaeus merguiensis) UNTUK
PEMBUATAN ISOLAT ALERGEN

DIAN PURBASARI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Mayor Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis :
Dra. Suliantari, M.Sc
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Isolasi dan Karakterisasi Protein Ikan Tongkol (Auxis thazard),
Kerang Hijau (Perna viridis) dan Udang Jerbung (Penaeus
merguiensis) untuk Pembuatan Isolat Alergen.
Nama : Dian Purbasari
NRP : F251090051

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Fransiska Rungkat-Zakaria, M.Sc Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana


Ilmu Pangan

Dr.Ir.Ratih Dewanti, M.Sc Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian : 15 Maret 2012 Tanggal Lulus:


 
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala kerunia
yang diberikan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2011 ini ialah tentang
protein alergen dengan judul Isolasi dan Karakterisasi Protein Ikan Tongkol
(Auxis thazard), Kerang Hijau (Perna viridis) dan Udang Jerbung (Penaeus
merguiensis) untuk Pembuatan Isolat Alergen.
Terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Prof.Dr.Ir. Fransiska R Zakaria, M.Sc dan Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
sebagai dosen pembimbing atas bimbingan dan bantuan dana selama
pelaksanaan penelitian.
2. Dra. Suliantari, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi atas masukan dan
arahan untuk perbaikan tulisan ini.
3. Drh. Didik Tulus Subekti, M.Kes yang telah banyak memberikan banyak
masukan, arahan dan bimbingan selama pengerjaan uji ELISA di BALITVET
Bogor.
4. Orangtuaku tercinta Bapak Agus Irianto, SH.MPd dan Ibu Nanik Sugiyarti,
SPd, kedua adikku (Galuh dan Pupi) serta keluarga besar Banyuwangi
(Pakdhe Nyoto, Budhe Ria, Mba Eka) atas kasih sayang, dukungan yang tak
terhingga.
5. Teman-teman seperjuangan IPN 2009 (Rizki, Ria, Hermawan, Nandi, Dede,
Fenny, Ilul, Riyanti, Bu Wida, Rangga, Tina, Wanny, Bu Indah), teman-teman
IPN 2010 (Pak.Hendra, Zahra, Meli, Gadis, Yati, Nita, Sadex dan Pak Salim),
anggota wisma queen castle (Dwi Andini, Ratna, Thea, Ilah, Nurisma, Rina,
Yeni, Nana), serta staf LPP Mangrove (mba Yanti, Ayu, Mas Ali, a’Udi, Bu
Eni, Pak Khumaedi, Gilang dan Roni) atas kebersamaan selama ini.
6. Keluarga besar : Program Mayor Ilmu Pangan Fateta IPB, SEAFAST Centre
IPB, Laboratorium Biokimia Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fateta
IPB, Laboratorium Parasitologi BALITVET Bogor.
Bogor, Maret 2012

Dian Purbasari
 
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banyuwangi tanggal 15 Agustus 1985 dari ayah


Agus Irianto, SH.MPd dan ibu Nanik Sugiyarti, SPd. Penulis merupakan putri
pertama dari tiga bersaudara.
Pendidikan Sekolah Dasar sampai sekolah menengah atas dijalani di kota
kelahiran penulis. Tahun 2003 penulis menempuh pendidikan sarjana di Program
Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
melalui jalur USMI, lulus pada tahun 2008. Tahun 2008-2009 penulis bekerja
sebagai staf di Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. Pada tahun
2009, penulis melanjutkan kembali pendidikan strata 2 (S2) pada sekolah
Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu Pangan.
 
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xxiii
1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ......................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 3
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 4
1.5. Hipotesis .......................................................................................... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 5
2.1. Alergi ............................................................................................... 5
2.1.1. Alergi Pangan........................................................................ 6
2.1.2. Alergen dalam makanan ....................................................... 8
2.1.3. Deteksi Alergi ....................................................................... 9
2.2. Makanan Laut Penyebab Alergi ...................................................... 10
2.2.1. Ikan Tongkol ......................................................................... 11
2.2.2. Kerang Hijau ......................................................................... 12
2.2.3. Udang Jerbung ...................................................................... 14
2.3. SDS PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrilamide Gel
Electrophoresis)............................................................................ 15
2.4. ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) ............................. 16
2.5. Imunoblotting .................................................................................. 17
3. METODOLOGI ...................................................................................... 19
3.1. Waktu dan Tempat .......................................................................... 19
3.2. Bahan dan Alat ............................................................................... 19
3.3. Metode Penelitian ........................................................................... 20
3.3.1. Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl (AOAC 1995)...... 22
3.3.2. Isolasi Protein Sampel (Hashimoto et al. 1979) ................... 22
3.3.3. Analisis Kadar Protein Metode Bradford (Bradford 1976) 24
3.3.4. Penentuan Karakteristik Ekstrak Protein dengan
Elektroforesis SDS-PAGE (Laemmli 1970) ....................... 24
3.3.5. Serum Subyek Alergi ........................................................... 27
3.3.6. ELISA (Ishikawa et al. 1997) .............................................. 27

xvii
 
3.3.6.1. Penentuan IgE Total Serum Subyek Alergi
(kualitatif) ………………………………………... 27
3.3.6.2. Penentuan Sifat Alergenisitas Ekstrak
Protein..................................................................... 28
3.3.7. Immunoblotting (Towbin et al. 1979).................................... 28
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 31
4.1. Ekstrak Protein Sarkoplasma dan Miofibril ..................................... 31
4.2. Karakteristik Ekstrak Protein dengan Elektroforesis SDS-PAGE .. 34
4.2.1. Ikan Tongkol ......................................................................... 37
4.2.2. Kerang Hijau ......................................................................... 39
4.2.3. Udang Jerbung ...................................................................... 40
4.3. Alergenisitas Ekstrak Protein dengan Metode ELISA ................... 42
4.3.1. IgE Total Serum Subyek Alergi ........................................... 43
4.3.2. Alergenisitas Ekstrak Protein Sarkoplasma dan Miofibril .... 45
4.3.2.1. Ikan Tongkol ............................................................ 48
4.3.2.2. Kerang Hijau ........................................................... 50
4.3.2.3. Udang Jerbung ......................................................... 52
4.4. Profil Protein Alergenik Ekstrak Protein Sarkoplasma dan
Miofibril dengan Metode Imunoblotting ………………………... 54
5. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 59
5.1. Kesimpulan ...................................................................................... 59
5.2. Saran ................................................................................................ 60
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 61
LAMPIRAN ................................................................................................. 69

xviii
 
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Klasifikasi makanan laut penyebab alergi ..................................... 10
Tabel 2. Jumlah total protein sampel awal dan protein terekstrak .............. 32
Tabel 3. Nilai mobilitas relatif (Rf), logaritma berat molekul (Log BM)
dan berat molekul protein standar ................................................ 35
Tabel 4. Perbandingan hasil uji ELISA dengan sejarah medis alergi
masing masing subyek .................................................................. 47

xix
 
 
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Empat tipe reaksi alergi (Kuby 2007) ....................................... 5
Gambar 2. Mekanisme umum reaksi hipersensitif tipe I (Kuby 2007)........ 7
Gambar 3. Diagram alir penelitian .............................................................. 21
Gambar 4. Ekstraksi Protein Sarkoplasma dan Miofibril
(Hashimoto et al. 1979) ………………………………………. 23
Gambar 5. Pola elektroforesis fraksi protein. M: low-molecular-weight
protein marker, 1: sarkoplasma tongkol, 2: miofibril tongkol,
3: sarkoplasma kerang hijau, 4: miofibril kerang hijau;
5: sarkoplasma udang jerbung, 6: miofibril udang jerbung ..... 35

Gambar 6. Hasil pembacaan densitas pita marker standar dengan


program Image J ...................................................................... 37
Gambar 7. Hasil pembacaan densitas pita protein ikan tongkol dengan
program Image J: (a).fraksi sarkoplasma; (b). fraksi miofibril.. 38

Gambar 8. Hasil pembacaan densitas pita protein kerang hijau dengan


program Image J: (a).fraksi sarkoplasma; (b). fraksi miofibril.. 39

Gambar 9. Hasil pembacaan densitas pita protein udang jerbung dengan


program Image J:(a).fraksi sarkoplasma; (b). fraksi miofibril... 41

Gambar 10. Hasil uji ELISA terhadap serum pengenceran 1:5 dan 1:10 44
dibandingkan dengan kontrol negatifnya (rata + 2SD) : (A)
Subyek A-J, (B) Subyek K-T....................................................
Gambar 11. Hasil uji ELISA protein ikan tongkol terhadap 20 serum
subyek(A-T) (A)fraksi sarkoplasma; (B)fraksi miofibril ......... 49

Gambar 12. Hasil uji ELISA protein kerang hijau terhadap 20 serum
subyek (A-T) (A)fraksi sarkoplasma; (B)fraksi miofibril…….. 51

Gambar 13. Hasil uji ELISA protein udang jerbung terhadap 20 serum
subyek (A-T) (A)fraksi sarkoplasma; (B)fraksi miofibril…….. 52

Gambar 14. Imunoblotting protein udang jerbung, ikan tongkol dan kerang
hijau (A) serum subyek A dan B; (B) Serum H, L dan P.……. 55

xxi
 
 
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Larutan-larutan untuk ekstraksi protein sarkoplasma dan
miofibril ............................................................................. 69

Lampiran 2. Larutan-larutan untuk SDS PAGE ..................................... 70


Lampiran 3. Rumus/Formula pembuatan larutan-larutan untuk ELISA 71
Lampiran 4. Rumus/Formula pembuatan larutan-larutan untuk
imunoblotting ..................................................................... 72

Lampiran 5. Kurva protein standar (BSA) pada penetapan kadar


protein ekstrak sampel (udang jerbung, ikan tongkol dan
kerang hijau) ...................................................................... 73

Lampiran 6. Hasil perhitungan rendemen ekstrak dan analisis total


protein dalam daging udang jerbung, ikan tongkol dan
kerang hijau ....................................................................... 74

Lampiran 7. Protein alergen dari produk laut (seafood) yang terdaftar


dalam IUIS (International Union of Immunological
Societies) ............................................................................ 75
Lampiran 8. Data Rf sub unit protein .................................................... 76
Lampiran 9. Data hasil uji ELISA penentuan total IgE serum .............. 81
Lampiran 10. Hasil uji ELISA penentuan alergenisitas ekstrak sampel .. 82
Lampiran 11. Hasil uji imunoblotting ...................................................... 88

xxiii
 
 
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Alergi pangan merupakan reaksi yang merugikan dari makanan yang
didasarkan pada mekanisme imonologi (Houben dan Penninks 1996). Dalam
beberapa tahun terakhir, angka kejadian alergi pangan terus meningkat tajam baik
di dalam negeri maupun luar negeri. World Allergy Organization (WAO)
menyebutkan 22% penduduk dunia menderita alergi dan terus meningkat setiap
tahun (Candra et al. 2011). Jumlah kasus alergi pangan paling banyak pada bayi
dan anak-anak yaitu berkisar antara 6-8% dan pada orang dewasa sekitar 1-2%
(Sampson 2005). Kasus alergi pangan di Indonesia menunjukkan jumlah yang
belum pasti namun selalu meningkat tiap tahunnya (Noverina 2008).
Timbulnya alergi pangan disebabkan adanya senyawa penyebab alergi atau
lebih dikenal dengan alergen. Alergen pangan berupa protein yang tidak rusak
pada saat proses pemasakan dan saat berada di keasaman lambung. Secara
struktural protein makanan (alergen) tidak sama dengan struktur protein tubuh
manusia sehingga dideteksi oleh sistem imun tubuh sebagai protein asing.
Akibatnya alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui peredaran darah mencapai
organ yang menjadi tergetnya sehingga menginduksi respon imun dan
menimbulkan reaksi alergi. Gejala reaksi alergi dapat terlihat sebagai timbulnya
gangguan kulit berupa bercak-bercak merah yang gatal pada permukaan kulit,
gangguan saluran pencernaan berupa diare dan muntah, sesak nafas sampai syok
anafilaksi yang fatal dan gangguan rongga mulut (Hamada et al. 2003).
Pada dasarnya semua makanan dapat menimbulkan reaksi alergi, yang
membedakan hanya kadar protein di dalamnya dan kondisi tubuh seseorang dalam
menerima pasokan protein tersebut. Umumnya makanan yang sering
menimbulkan reaksi alergi adalah makanan yang mengandung protein tinggi yang
sayangnya merupakan makanan sumber protein yang penting bagi kesehatan.
Sekitar 90% reaksi alergi pangan disebabkan oleh kacang tanah, susu, telur ayam,
kedelai, ikan, kerang dan gandum (FAAN 2010).
Ikan dan makanan laut memiliki peranan penting dalam gizi manusia.
Makanan laut merupakan sumber protein yang sangat berharga dan mengandung
sejumlah besar asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) dan vitamin larut lemak.

 

Namun, makanan laut juga merupakan salah satu jenis pangan penyebab
terpenting timbulnya alergi, terutama di negara-negara yang mayoritas
penduduknya bergantung pada sektor perikanan dan dimana ikan menjadi
konsumsi andalannya (Samartin et al. 2001). Makanan laut ditemukan sebagai
alergen pangan terpenting kedua setelah telur pada pasien penderita alergi (Lopata
dan Potter 2000). Tiga jenis makanan laut yang dapat memicu alergi yaitu ikan,
crustacea (kepiting, lobster, udang) dan moluska seperti kerang, tiram, remis dan
cumi (FAAN 2010).
Hasil survei di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 1,9% dari total
penduduk memiliki alergi terhadap kelompok udang dan kerang-kerangan, dan
sebanyak 0,4% dari total penduduk memiliki alergi terhadap ikan (Sicherer et al.
2004). Di Malaysia, ikan dan udang-udangan merupakan penyebab alergi pangan
yang paling umum pada penderita alergi asma dan rhinitis (Shanaz et al. 2001).
Sampai saat ini upaya mengatasi alergi yang selama ini telah terbukti dan
banyak dilakukan adalah dengan menghindari makanan yang diduga
menimbulkan alergi (Sicherer dan Sampson 2009). Namun ternyata tindakan ini
dapat merugikan kesehatan karena beresiko kekurangan gizi dan kurang variasi
dalam menu makanan, selain itu juga dapat mengurangi kenikmatan cita rasa
suatu jenis pangan. Oleh karena itu untuk memastikan jenis bahan pangan
penyebab alergi diperlukan suatu diagnosis alergi. Diagnosis yang sering
dilakukan adalah dengan uji kulit menggunakan isolat protein alergen pangan. Di
Indonesia saat ini tempat untuk melakukan uji ini masih belum banyak ditemukan.
Hal ini disebabkan karena isolat protein alergen yang saat ini digunakan oleh para
dokter ahli alergologi di Indonesia masih berasal dari hasil impor sehingga biaya
uji ini masih mahal (Candra et al. 2011).
Pemikiran tersebut mendasari penelitian untuk mengetahui potensi protein
makanan laut asal Indonesia sebagai isolat alergen, utamanya jenis ikan tongkol
(Auxis thazard), kerang hijau (Perna viridis) dan udang jerbung (Penaeus
merguiensis). Isolat alergen yang dapat diproduksi di dalam negeri menyebabkan
biaya uji alergi dapat lebih murah dan dapat mudah dilakukan. Ketiga jenis
produk laut tersebut dipilih karena selain dihasilkan melimpah, juga sering
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
3
 

1.2. Perumusan Masalah


Alergi yang timbul karena adanya reaksi penyimpangan (adverse reaction)
yang melibatkan sistem imun dan komponen pangan berupa protein, disebut
dengan alergi pangan. Terdapat lebih dari 160 jenis pangan yang dapat
menyebabkan reaksi alergi. Salah satu penyebab utama alergi pangan adalah
pangan yang berasal dari hasil laut yaitu ikan, kepiting, kerang, udang dan lobster.
Sampai saat ini belum ada obat khusus untuk mengatasi alergi pangan.
Tindakan pencegahan terbaik yaitu dengan menghindari sumber pangan
penyebabnya, namun hal ini juga dapat bersifat merugikan karena pembatasan
keragaman jenis pangan dapat berdampak pada kondisi kurang gizi protein dan
berkurangnya kenikmatan cita rasa suatu jenis pangan. Diagnosis alergi pangan
dibuat berdasarkan diagnosa klinis, yaitu anamnesa (mengetahui riwayat penyakit
penderita) dan pemeriksaan kejadian alergi yang terjadi. Pemeriksaan yang
dilakukan banyak dan beragam, baik dengan cara yang ilmiah hingga cara
alternatif, mulai yang dari yang sederhana hingga yang canggih. Diantaranya
adalah uji kulit alergi, yaitu suatu uji yang diterapkan secara subkutanus dengan
menggunakan isolat protein alergen dari berbagai jenis pangan. Saat ini isolat
protein alergen yang digunakan di Indonesia oleh para dokter ahli alergologi
masih berasal dari hasil impor, sehingga diperlukan penyediaan protein isolat
lokal.

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menghasilkan ekstrak protein dari
makanan laut Indonesia yang berpotensi sebagai isolat alergen dan dapat
digunakan untuk diagnosis alergi pangan.
Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Melakukan ekstraksi protein sarkoplasma dan miofibril ikan tongkol, kerang
hijau dan udang jerbung
2. Mengkarakterisasi protein sarkoplasma dan miofibril ikan tongkol, kerang
hijau dan udang jerbung dengan elektroforesis SDS PAGE
3. Mengetahui kandungan IgE serum subyek penderita alergi pangan dengan uji
ELISA

 

4. Menguji coba alergenisitas ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril ikan


tongkol, kerang hijau dan udang jerbung dengan menggunakan serum subyek
penderita alergi pangan dengan teknik ELISA dan immunoblotting.

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan informasi tentang metode ekstraksi protein sarkoplasma dan
miofibril dari makanan laut (ikan, udang dan kerang).
2. Memberikan informasi ilmiah tentang sifat alergenisitas 3 jenis bahan pangan
yaitu ikan, udang dan kerang-kerangan.
3. Menghasilkan ekstrak protein produk laut yang berpotensi sebagai isolat
alergen yang dapat diaplikasikan untuk diagnosis alergi terhadap makanan laut.

1.5. Hipotesis
1. Terdapat protein alergen dalam ekstrak protein fraksi sarkoplasma dan
miofibril ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung.
2. Komponen yang terdapat dalam kedua fraksi ekstrak protein ikan tongkol,
kerang hijau dan udang jerbung dapat berikatan spesifik dengan IgE dari 20
serum subyek alergi.
3. Jenis komponen yang ada dalam masing-masing ekstrak protein yang dapat
menyebabkan alergi pada setiap orang berbeda-beda.
4. Ekstrak protein yang dihasilkan dapat digunakan sebagai isolat alergen dalam
bentuk crude.
 
 

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Alergi
Istilah alergi dikemukakan pertama kali oleh von Pirquet pada tahun 1906.
Alergi dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas dan dapat diartikan sebagai reaksi
imunologi terhadap antigen secara tidak wajar atau tidak tepat pada seseorang
yang sebelumnya pernah terpapar dengan antigen bersangkutan (Kresno 2001).
Secara garis besar, reaksi alergi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu
reaksi tipe cepat (immediate hypersensitivity) dan tipe lambat (delayed type
hypersensitivity). Reaksi alergi tipe cepat dimediasi oleh sistem imun humoral
(humoral-mediated) yang menunjukkan gejala secara cepat dalam hitungan menit
atau jam setelah tubuh terpapar oleh antigen. Reaksi tipe lambat dimediasi oleh sel
(cell-mediated) dan gejala yang ditimbulkan muncul setelah beberapa hari
terpapar oleh antigen. Berdasarkan mekanisme terjadinya reaksi, alergi terdiri atas
empat jenis yaitu tipe I (IgE-mediated hypersensitivity), tipe II (Antibody-
mediated cytotoxic hypersensitivity), tipe III (Immune complex-mediated
hypersensitivity) dan tipe IV (Delayed-type hypersensitivity, DTH). Tipe I hingga
III termasuk reaksi alergi tipe cepat, sedangkan tipe IV termasuk reaksi alergi tipe
lambat (Kuby 2007). Mekanisme umum terjadinya beberapa tipe alergi dapat
dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Empat tipe reaksi alergi (Kuby 2007)



 

Reaksi alergi tipe I terjadi dengan cara alergen memicu sel limfosit B untuk
berubah menjadi sel plasma dan mengeluarkan IgE. IgE ini kemudian terikat
dengan reseptornya pada permukaan sel mastosit dan sel basofil darah. Hal ini
menyebabkan sel mastosit dan basofil mengalami degranulasi dan mengeluarkan
efektor. Reaksi alergi tipe II melibatkan antibodi untuk merusak sel asing.
Mekanisme seperti ini dijalankan dengan mengaktifkan sistem komplemen dan
membentuk lubang pada sel asing. Mekanisme ini juga dapat dijalankan dengan
melibatkan sel sitotoksik dan antiobdi untuk menghancurkan sel asing tersebut.
Pada reaksi alergi tipe III, kompleks imun yang dibentuk oleh antigen dengan
antibodi menjadikan sel fagosit mengenali kompleks imun ini dan menghancurkan
kompleks tersebut. Namun jika kompleks imun yang dibentuk sangat banyak, hal
ini dapat membahayakan jaringan tubuh. Reaksi alergi tipe IV berlangsung
dengan melibatkan pelepasan sitokin. Ketika sel T pembantu mengenali antigen,
sel ini akan mengeluarkan sitokin yang dapat menginduksi terjadinya reaksi
peradangan yang dikenal dengan reaksi alergi yang tertunda. Reaksi ini ditandai
dengan adanya sel penyebab radang seperti sel makrofag dalam jumlah besar
(Kuby 2007).

2.1.1. Alergi Pangan


Alergi yang sering timbul karena konsumsi bahan pangan disebut dengan
alergi pangan. Alergi pangan merupakan reaksi yang merugikan dari makanan
yang didasarkan pada mekanisme imonologi (Houben dan Penninks 1996).
Timbulnya reaksi alergi pangan disebabkan di dalam bahan pangan tersebut
terdapat senyawa penyebab alergi atau lebih dikenal dengan alergen. Alergen
dalam makanan dapat berupa protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat
molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan enzim proteolitik
(Hasyimi et al. 1992).
Reaksi alergi pangan merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai
oleh imunoglobulin E (IgE) dan termasuk dalam reaksi alergi tipe I (Adelman et
al. 2002). Reaksi alergi tipe I diawali dengan tahap pengenalan, yaitu saat protein
alergenik kontak dengan tubuh untuk pertama kalinya. Protein alergenik tersebut
kemudian difagosit dan dihancurkan oleh makrofag menjadi fragmen-fragmen
peptida. Fragmen-fragmen ini kemudian dipresentasikan oleh APC (Antigen-

 

Presenting Cell) melalui MHC II (Major Histocompatibility Complex II).


Kemudian sel T helper 1 (Th 1) akan menempel pada kompleks MHC II-fragmen
peptida, sehingga sel Th 1 mensekresikan sitokin yang merangsang proliferasi dan
diferensiasi sel B menjadi sel plasma. Sel plasma inilah yang menghasilkan sel
memori dan IgE. IgE merupakan salah satu anggota imunoglobulin darah yang
berperan dalam reaksi alergi dan infeksi parasit. Molekul IgE yang dihasilkan ini
akan terikat pada reseptor spesifik Fc pada sel mastosit dan basofil pada darah.
Pada pemaparan yang kedua, alergen akan membentuk ikatan dengan IgE yang
menancap pada permukaan sel mastosit dan basofil. Setiap alergen harus dapat
mengikat dua atau lebih molekul IgE (cross linking). Ikatan tersebut menyebabkan
terjadinya reaksi-reaksi biokimia, sehingga terjadi degranulasi dalam sel mastosit
dan basofil. Hasil degranulasi adalah terlepasnya mediator alergi yang
sebelumnya telah ada dalam sel seperti histamin, serotonin, kinin, prostaglandin
dan leukotrien. Histamin yang dilepaskan dapat memperlebar pembuluh darah
arteri dan pembuluh darah kapiler, meningkatkan permeabilitas pembuluh kapiler,
dan mempersempit aliran darah pada saluran pernafasan. Mekanisme umum
terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I dapat dilihat pada Gambar 2 (Kuby 2007).

Gambar 2. Mekanisme umum reaksi hipersensitif tipe I (Kuby 2007).



 

Reaksi alergi terhadap susu, kacang-kacangan, ikan, kerang-kerangan,


gandum dan kedelai merupakan alergi pangan yang signifikan terjadi di Amerika
Serikat, namun sejumlah makanan lain juga dapat menyebabkan respon alergi
(Sicherer dan Sampson 2009). Reaksi hipersensitivitas yang timbul karena
konsumsi kerang-kerangan merupakan salah satu bentuk alergi pangan yang
serius. Di Amerika Serikat, lebih dari enam juta orang beresiko memiliki respon
hipersensitif setelah konsumsi kerang (Wild dan Lehrer 2005). Diantara kerang-
kerangan, kepiting diasumsikan menjadi penyebab utama reaksi hipersensitif di
China, terdapat lebih dari 600 jenis kepiting di China. Hasil survey terhadap
status alergi pangan pelajar China mengindikasikan bahwa sekitar 6% subyek
dalam kelompok usia 15-24 tahun menderita sedikitnya menderita alergi pangan,
dan alergenik pangan utamanya adalah makanan laut, termasuk kepiting (Lu et al.
2005).

2.1.2. Alergen dalam makanan


Istilah alergen secara sepesifik mengacu pada antigen nonparasit yang
mampu menstimulasi respon hipersensitivitas tipe I pada individu atopik.
Beberapa individu yang cinderung lebih mudah mengalami reaksi
hipersensitivitas tipe I jika terpapar oleh antigen atau alergen, disebut dengan
atopik. Respon abnormal IgE pada individu atopik sebagian karena genetik, yang
diturunkan dari keluarga (Kuby 2007).
Makanan tersusun dari karbohidrat, protein dan lemak. Alergen yang utama
dalam makanan merupakan protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat
molekul yang berkisar dari 10.000 dan 60.000 D, larut air, tahan panas dan tahan
enzim proteolitik (Adelman et al. 2002). Alergen pangan biasanya hanya sebagian
kecil dari keseluruhan protein yang terdapat dalam makanan. Protein dari jenis
makanan seperti telur, susu sapi, kacang-kacangan, gandum, makanan laut (ikan,
kerang-kerangan, lobster dan udang) dan jenis makanan lain seperti kentang, apel,
kacang polong dapat menjadi penyebab terjadinya alergi atau reaksi hipersensitif
tipe I ( Kuby 2007).
Protein alergen pada tiap individu berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan
karena reaksi alergi merupakan interaksi antara protein dan sistem imun yang sulit
untuk diprediksi. Alergenisitas suatu protein ditentukan oleh epitop yang

 

dimilikinya (Huby et al. 2000). Epitop merupakan bagian molekul alergen yang
berikatan dengan antibodi IgE dan menentukan spesifitas reaksi protein alergen
dan antibodi IgE. Jumlah epitop pada satu molekul alergen berbeda dengan
jumlah epitop pada alergen yang lain (Kresno 2001).
Berbagai penelitian membuktikan bahwa suatu alergen sedikitnya harus
memiliki 2 epitop, yang masing-masing memiliki sekitar 15 residu asam amino.
Hal ini menunjukkan bahwa protein alergen minimal mengandung sekitar 30
residu asam amino (BM sekitar 3 kDa). Sebagai contoh, alergen kacang Ara h 1
dan Ara h 3 memiliki sedikitnya 23 dan 4 epitop, sedangkan alergen kedelai Gly
m Bd memiliki 16 epitop (Huby et al. 2000).
Suatu alergen yang mampu bereaksi dengan 50% IgE serum individu
penderita alergi disebut dengan alergen mayor. Alergen minor hanya dapat
bereaksi dengan 10% IgE serum atau bahkan tidak begitu kuat untuk
menyebabkan alergi. Contoh alergen mayor antara lain β-laktalbumin, kasein, α-
laktalbumin susu dan antigen I, antigen II pada udang. Laktoferin,
laktoperoksidase, alkalifosfatase dan katalase susu merupakan jenis protein yang
tergolong sebagai alergen minor (Bush dan Hefle 1996).
Protein alergen pertama masuk ke dalam tubuh melalui intestinal. Dalam hal
ini, protein alergen memiliki ketahanan terhadap kondisi asam dalam lambung
serta enzim protease dalam saluran pencernaan seperti tripsin, kimotripsin dan
pepsin. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar alergen mempunyai epitop
kontinyu yang dapat tahan terhadap panas dan sistem pencernaan seperti garam
empedu, asam dan enzim proteolitik. Namun demikian, jika saluran pencernaan
sesorang dalam kondisi sehat dan dapat mencerna makanan dengan sempurna,
alergen yang merupakan peptida ini tidak akan terserap oleh usus halus sehingga
tidak akan menyebabkan alergi walaupun secara genentik orang tersebut memiliki
riwayat alergi. Alergen dapat terserap jika pada dinding usus halus seseorang
terdapat lubang yang memungkinkan alergen masuk. Pembentukan lubang ini
dapat disebabkan oleh cacing, bakteri atau bahan kimia. Oleh karena itu, kelainan
genetik saja tidak cukup untuk menjelaskan terjadinya reaksi alergi. ada
kecinderungan bahwa faktor lingkungan juga mempunyai pengaruh penting dalam
reaksi hipersensitivitas terhadap protein alergen (Garn dan Renz 2007).
10 
 

2.1.3. Deteksi Alergi


Alergi tipe I umumnya dapat dideteksi dengan melalui uji tusuk kulit. Uji ini
dilakukan dengan menggunakan ekstrak alergen dan cairan kontrol diteteskan
pada permukaan volar lengan bawah. Bagian superfisial kulit ditusuk
menggunakan jarum khusus tanpa berdarah. Untuk setiap alergen harus digunakan
jarum yang berbeda untuk menghindari tercampurnya cairan uji. Dalam
melakukan uji tusuk kulit, sebagai kontrol positif dipakai histamin dan untuk
kontrol negatif dipakai bahan pelarut (Mygind et al. 1994). Tes dibaca setelah 15
menit, reaksi positif dinyatakan adanya kemerahan dan bentol pada kontrol positif
histamin dengan minimal diameter 3 mm lebih besar dibanding dengan kontrol
negatif. Keunggulan uji tusuk kulit adalah sederhana, pembacaan dapat dilakukan
dengan cepat, mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi serta dapat
menguji sejumlah besar alergen sekaligus (Rusznak & Davies 1998; Jarvis &
Burney 2004).
Uji lain yang dapat digunakan untuk diagnosa alergi adalah uji oral double
blind challange. Uji ini dilakukan untuk memastikan makanan penyebab alergi
pada pasien dalam keadaan puasa. Metode dilakukan dengan cara pemberian
makanan yang mengandung alergen dalam bentuk kapsul dengan dosis yang
dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15-30 menit.
Pengujian biasanya membutuhkan waktu 4-8 jam. Uji ini membutuhkan tenaga
ahli yang terampil dan berpengalaman (Groce 2007). Selain itu, juga masih
banyak uji yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab alergi diantaranya
yaitu analisa total IgE, analisis IgE spesifik, uji degranulasi basofil dan mastosit,
uji pelepasan histamin dan uji permeabilitas intestinal.

2.2. Makanan Laut Penyebab Alergi


Di seluruh dunia, makanan laut berupa ikan, udang dan kerang-kerangan
memiliki peranan penting dalam zat gizi manusia. Namun, makanan laut juga
merupakan alergen yang kuat pada individu yang sensitif dan menyebabkan reaksi
alergi. Alergi pangan karena makanan laut paling mudah terdeteksi karena gejala
yang ditimbulkan relatif cepat. Biasanya kurang dari 8 jam keluhan alergi sudah
bisa dikenali. Jenis makanan laut yang sering mengakibatkan gangguan adalah
jenis yang berukuran kecil seperti udang, cumi, kerang, kepiting dan sebagainya.
11 
 

Ikan laut yang agak besar seperti salmon, tuna dan sebagainya relatif lebih ringan.
Klasifikasi makanan laut utama yang dapat menyebabkan reaksi alergi dapat
dilihat pada Tabel 1 dibawah (ALLSA 2008).
Tabel 1. Klasifikasi makanan laut penyebab alergi (ALLSA 2008)
Grup Kelas Spesies

Mollusca Gastropoda Abalone, Siput


Bivalvia Tiram, Remis
Cephalopoda Cumi-cumi, Gurita
Arthropoda Crustacea Lobster, Udang, Lobster air tawar
(crayfish)
Chordata Osteichthyes Ikan Cod, Tuna, Salmon, Makerel
Condrichthyes Ikan hiu,cucut

Kelompok crustacea dan moluska merupakan janis pangan yang paling


sering menyebabkan reaksi hipersensitif yang diperantarai oleh antibodi IgE, yang
menimbulkan gejala alergi berupa urtikaria (gatal di kulit), angiodema, asma atau
kombinasi dari beberapa gejala tersebut (Motoyama et al. 2006).
Penelitian Clark et al. (2004) menunjukkan bahwa alergen ikan laut dapat
mengakibatkan terjadinya 10% reaksi anafilaksis. Sifat alergi dari protein ikan
dipengaruhi oleh kondisi fisiologis lambung, terutama pada individu yang sensitif
terhadap jenis pangan ini (Untersmayr et al. 2005).
Protein ikan berdasarkan kelarutannya dibagi menjadi 3 jenis yaitu protein
sarkoplasma, protein miofibril dan protein stroma. Protein sarkoplasma berisi
beberapa jenis protein yang larut air dan dapat diekstrak dengan larutan garam
berkekuatan ion rendah. Protein miofibril merupakan protein yang dapat
diekstrak dengan larutan garam dengan kekuatan ion tinggi. Protein stroma
merupakan jenis protein yang tidak larut baik dalam larutan garam, asam maupun
basa. Protein miofibril merupakan bagian terbesar dari protein ikan yaitu sekitar
66-77% dari total protein ikan. Protein sarkoplasma terdapat dalam jumlah sekitar
10% dari total protein ikan, sedangkan protein stroma berkisar antara 3-5%.
Kandungan protein sarkoplasma dalam daging ikan bervariasi tergantung jenis
ikan. Pada umumnya ikan pelagik mempunyai kandungan sarkoplasma lebih besar
daripada ikan demersal (Suzuki 1981).
12 
 

2.2.1. Ikan Tongkol


Ikan merupakan salah satu diantara delapan jenis pangan penyebab alergi
dan menempati urutan kedua terpenting setelah telur (Lopata dan Potter 2000).
Beberapa jenis ikan terutama ikan laut yang paling umum menyebabkan alergi
pangan diantaranya berasal dari famili Scombridae yaitu ikan tuna, tongkol,
cakalang, tenggiri, kembung. Selain itu juga ikan teri, ikan cod, kerapu, marlin,
salmon, sarden, hiu dan kakap (CFIA 2010).
Ikan tongkol merupakan salah satu famili Scombridae, bagian dari ikan
konsumsi penting di Indonesia. Dapat tumbuh sampai 1 meter dengan berat
maksimal 14 kg. merupakan ikan pelagis yang hidup di pantai sampai laut lepas
dengan kedalaman 200 meter (Kuncoro dan Wiharto 2009). Klasifikasi ikan
tongkol (Auxis thazard) adalah sebagai berikut (Saanin 1984) :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Teleostei
Subkelas : Actinopterygi
Ordo : Perciformes
Subordo : Scombroidea
Famili : Scombridae
Genus : Auxis
Spesies : Auxis thazard
Komposisi protein daging putih ikan mackerel yang juga merupakan famili
Scombridae terdiri dari 33-37% protein sarkoplasma, 59-61% protein miofibril
dan 1-2% protein stroma (Hashimoto et al. 1979). Hasil penelitian Benjakul et al.
(2001) terhadap komposisi protein miofibril dari dua jenis ikan bigeye snapper
(Priacanthus tayenus dan Priacanthus macracanthus) memberikan hasil yang
mirip, yaitu berkisar antara 44-45% dari total protein. Hasil elektroforesis fraksi
protein miofibril dari kedua jenis spesies memperlihatkan band protein yang
merupakan miosin rantai panjang, aktin, troponin, tropomiosin dan juga miosin
rantai panjang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis alergen mayor pada ikan cod
Gadus callaria adalah parvalbumin (dikenal sebagai Gad c1), merupakan suatu
13 
 

protein sarkoplasma yang berikatan dengan kalsium dengan berat molekul sekitar
12 kDa (Elsayed dan Aas 1971 dalam Hamada et al. 2003). Selain itu juga
diketahui adanya alergen minor pada beberapa jenis ikan lain melalui teknik
immunoblotting dan salah satunya telah dimurnikan dan diidentifikasi sebagai
kolagen (Hamada et al. 2001).

2.2.2. Kerang Hijau


Kerang hijau merupakan salah satu jenis sumber daya laut yang memiliki
nilai ekonomis penting. Kerang ini tergolong dalam filum Mollusca. Daging segar
kerang hijau umumnya sangat lunak, berwarna putih atau oranye mengkilap dan
berair. Presentase daging kerang hijau lebih besar dibandingkan dengan jenis
kerang-kerangan lainnya, seperti kerang darah dan kerang bulu. Berikut ini
adalah klasifikasi kerang hijau (Perna viridis) berdasarkan NIMPIS (2002) :
Filum : Mollusca
Kelas : Bivalvia
Sub kelas : Pteriomorphia
Ordo : Mytiloida
Famili : Mytilidae
Genus : Perna
Spesies : Perna viridis
Beberapa alergen dari moluska adalah Tod p 1 dalam cumi-cumi, Hal m1
dalam abalone, Cra g 1 dalam tiram telah dikarakterisasi dengan menggunakan
teknik biokimia. Leung et al. (1996) menyatakan bahwa suatu protein 38 kDa
diidentifikasi sebagai tropomiosin yang juga ditemukan sebagai alergen pada
berbagai spesies moluska.
Tropomiosin ditetapkan sebagai penyebab alergi utama dan merupakan
alergen yang umum ditemukan pada penelitian alergen kerang. Tropomiosin dari
beberapa spesies telah diklon dan disekuen dan epitop mayor yang berikatan
dengan IgE telah diidentifikasi. Tropomiosin dikenal sebagai alergen yang
menyebabkan reaksi silang yang terdapat pada otot dan sel-sel lain dari kerang
tersebut (Leung et al. 1996).
Beberapa bivalvia terbukti memiliki minimal 2 bentuk tropomiosin, namun
hanya salah satu bentuk yang ditemukan dalam spesies kerang
14 
 

M.galloprovincialis (Fujinoki 2006) yang memiliki identitas 100% asam amino


daripada kerang biru (M.edulis) (Taylor 2008). Beberapa alergen selain
tropomiosin telah ditemukan dalam spesies moluska lain namun belum
teridentifikasi secara rinci. Alergen ini diusulkan sebagai hemosianin, miosin
rantai panjang dan amilase (Taylor 2008). Adanya alergen selain tropomiosin
pada spesies moluska menunjukkan bahwa alergen lain juga mungkin ada dalam
kerang juga. Serum pasien yang mempunyai alergi terhadap udang bereaksi juga
dengan band kedua dari kerang hijau Asia (P.viridis) (Leung et al. 1996).

2.2.3. Udang Jerbung


Salah satu spesies dari famili Penaeidae yang bernilai ekonomis tinggi dan
tersebar luas hampir di seluruh Indonesia adalah udang jerbung (Penaeus
merguiensis). Seperti hewan laut lainnya, dua komponen yang dominan pada
udang adalah air dan protein. Protein udang juga terdiri dari protein sarkoplasma,
miofibril dan stroma (Suzuki 1981). Penelitian Sriket et al. (2007) terhadap dua
jenis udang Penaeus monodon dan Penaeus vannamei menunjukkan bahwa
komponen protein utama adalah miofibril yang terdiri dari aktin dan myosin heavy
chain (MHC). Perbedaan kandungan protein miofbril, sarkoplasma dan stroma
dari jenis udang putih (P.vannamei) dan udang P.monodon disebabkan karena
perbedaan sifat dan karakteristik dari kedua jenis spesies udang tersebut.
Udang jerbung memiliki klasifikasi sebagai berikut (Racek dan Dall 1965
dalam Naamin et al. 1992) :
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Famili : Penaeidae
Genus : Penaeus
Spesies : Penaeus merguiensis
Dari sejumlah pangan penyebab alergi, kelompok udang-udangan ditetapkan
menjadi salah satu penyebab utama terjadinya alergi pangan yang dikarenakan
semakin meningkatnya konsumsinya, terutama di negara-negara pesisir (Lehrer et
al. 2003). Udang merupakan satu diantara delapan sumber utama alergen pangan
15 
 

yang ditetapkan oleh organisasi kesehatan dunia dan merupakan jenis pangan
yang banyak disukai karena rasa dan nilai gizinya yang tinggi (Yu et al. 2011).
Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui jenis alergen
utama dari udang-udangan, seperti yang dikemukakan dalam penelitian
Motoyama et al. (2007), alergen utama pada kelompok udang adalah tropomiosin,
yaitu suatu protein miofibril 35-38 kDa yang terdapat di dalam kontraksi otot.
Pengujian alergenisitas terhadap ekstrak protein udang putih (Penaeus
merguensis) menunjukkan bahwa ekstrak protein baik fraksi sarkoplasma dan
miofibril mampu menimbulkan terjadinya reaksi alergi pada subyek penderita
alergi (Ispurwanto 1998).

2.3. SDS PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrilamide Gel Electrophoresis)


Elektroforesis merupakan metode yang sering digunakan untuk memisahkan
fraksi-fraksi suatu zat berdasarkan muatannya dengan memanfaatkan medan
listrik. Migrasi fraksi-fraksi tersebut dipengaruhi oleh ukuran, bentuk, serta
muatan fraksi (Walsh 2001)
Proses pemisahan fraksi-fraksi protein umumnya menggunakan gel
poliakrilamida sebagai media elektroforesis atau sering disebut sebagai PAGE
(Polyacrilamide Gel Electrophoresis). Keunggulan penggunaan gel
poliakrilamida pada proses elektroforesis adalah karena bersifat inert, tidak
bereaksi dengan sampel, tidak bermuatan, stabil pada kisaran pH yang luas, dan
transparan sehingga pengamatan terhadap pita-pita protein mudah dilakukan.
Selain itu, ukuran pori-pori gel poliakrilamida juga dapat diatur sesuai
dengan molekul yang akan dipisahkan. Semakin kecil ukuran molekul yang akan
dipisahkan, maka semakin tinggi konsentrasi poliakrilamida yang digunakan dan
sebaliknya. Umumnya protein dengan kisaran BM 24-205, 14-205 dan 14-66 kDa
berturut-turut baik dipisahkan oleh gel poliakrilamida 8%, 10% dan 12% (Bollag
dan Edelstein 1991).
SDS-PAGE merupakan modifikasi PAGE, yaitu proses elektroforesis yang
menggunakan sampel terdenaturasi serta mempunyai muatan negatif. Denaturasi
protein dapat dilakukan dengan pemberian β-merkaptoetanol sebagai denaturan
yang memecah ikatan disulfida. Denaturasi protein juga dapat dilakukan melalui
pemanasan pada suhu kurang lebih 80°C selama 2 menit. Pemberian SDS
16 
 

menyebabkan polipeptida bermuatan negatif sehingga sampel akan tertarik


menuju elektroda positif. Polipeptida berukuran lebih kecil akan bermigrasi lebih
cepat dibandingkan polipeptida yang berukuran lebih besar (Walsh 2001).
Penggunaan teknik SDS-PAGE untuk identifikasi jenis protein alergen telah
banyak dilakukan. Sahabudin et al. (2011) melaporkan bahwa analisis ekstrak
protein udang Penaeus monodon menghasilkan 23 band protein dengan berat
molekul berkisar 15-200 kDa. Misnan et al. (2005) mengkarakterisasi ekstrak
protein ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) dengan elektroforesis SDS-
PAGE dan menghasilkan 26 band protein dengan berat molekul 11-175 kDa.
Karakterisasi ekstrak protein udang putih (Penaeus merguensis) menunjukkan
bahwa protein sarkoplasma terdiri dari 11 jenis protein (17-75 kDa) dan protein
miofibril terdiri dari 11 jenis protein dengan berat molekul berkisar 16-81 kDa.

2.4. ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)


ELISA atau enzyme linked immunosorbent assay merupakan teknik
immunoassay yang digunakan untuk mendeteksi atau mengkuantifikasi suatu
senyawa dasar dalam reaksi imunologi (Kemeny 1991). Pada awalnya, ELISA
hanya digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi keberadaan antigen
maupun antibodi dalam suatu sampel seperti dalam pendeteksian antibodi IgM,
IgG dan IgA pada saat terjadi infeksi pada tubuh manusia khususnya. Namun
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik ELISA juga digunakan
untuk bidang-bidang lainnya (Fossceco et al. 2007).
Penerapan teknik ELISA meliputi lima komponen dasar yaitu lempeng
padat, adsorbsi ke lempeng padat, penyangga dan larutan pencuci, konjugat enzim
dan substrat serta pembacaan hasil dari lempeng mikrotiter. Komponen yang
paling umum digunakan dalam ELISA adalah lempeng padat. Bahan yang
diperlukan untuk membuat lempeng padat berasal dari gelas atau plastik. Diantara
kedua bahan tersebut plastik lebih umum digunakan dibanding bahan yang terbuat
dari gelas. Pemakaian lempeng padat bertujuan untuk meletakkan antigen maupun
antibodi. Malcolm (1995) menerangkan bahwa antigen atau antibodi secara pasif
dapat menempel pada permukaan lempeng padat. Sementara komponen
penyangga (buffer) dan larutan pencuci merupakan komponen yang berpengaruh
terhadap hasil pengujian terutama pengaruh dari pH dan kekuatan ion.
17 
 

Larutan pencuci biasanya mengandung deterjen yang ditujukan untuk


mengurangi reaksi-reaksi pengikatan non spesifik. Adapun konjugat enzim
merupakan komponen yang akan diikatkan pada antibodi indikator. Konjugat
enzim ini akan memecah substrat sehingga reaksi dapat dideteksi dengan melihat
perubahan warna yang terjadi. Komponen dasar yang terakhir adalah pembacaan
hasil ELISA, yang utamanya berkaitan dengan pemilihan panjang gelombang
yang sesuai. Panjang gelombang primer harus bertepatan dengan absorbansi
puncak (Burgess 1995).
Beberapa keunggulan teknik ELISA dibandingkan uji-uji imunologi yang
lain antara lain, ELISA mengukur lebih cepat, tidak menghasilkan limbah
radioaktif sehingga tidak membahayakan kesehatan, mudah diotomatisasi,
ekonomis dan cukup sensitif dengan reagen yang memiliki umur simpan panjang
serta dapat dibaca dengan spektrofotometer biasa (Kresno 2001).
Hamada et al. (2003) melakukan pengujian reaktivitas IgE serum subyek
penderita alergi ikan dengan protein ikan Evynnis japonica menggunakan ELISA.
Hasilnya menunjukkan bahwa protein parvalbumin (12 kDa) memiliki reaktivitas
paling kuat dengan IgE serum dibandingkan dengan protein lain. Menggunakan
teknik ELISA, Shriver et al. (2011) melaporkan bahwa perlakuan Pulsed
Ultraviolet Light (PUV) menurunkan reaktivitas alergen mayor tropomiosin yang
terdapat dalam ekstrak udang putih (Litopenaeus setiferus) dan dapat menurunkan
kapasitas pengikatan terhadap IgE serum.

2.5. Immunoblotting
Suatu modifikasi dari prinsip imunoelektroforesis adalah teknik yang
disebut immunoblotting. Salah satu metode yang populer dari immunoblotting
adalah western blotting. Western blotting biasanya digunakan untuk menentukan
kadar relatif dari suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau
molekul lain. Metode ini menggabungkan selektivitas elektroforesis gel dengan
spesifitas immunoassay, sehingga setiap jenis protein dapat dideteksi dan
dianalisis dengan menggunakan probe antibodi yang sesuai (Kresno 2001).
Proses pemindahan protein dari matriks gel ke suatu membran nitroselulosa dan
proses deteksinya secara imunologi inilah yang sering disebut dengan western
blotting (Rybicki et al. 1996).
18 
 

Dalam uji ini, protein-protein dalam campuran akan dipisahkan satu dengan
yang lain dengan cara elektroforesis gel, khususnya cara sodium dodecyl sulfate
polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Posisi akhir setiap jenis protein
dalam gel poliakrilamida setelah elektroforesis dihentikan sesuai dengan berat
molekul masing-masing. Protein-protein yang telah dipisahkan satu dengan yang
lain itu kemudian dipindahkan dari gel ke suatu membran pendukung melalui
proses kapiler (blotting) sedimikian rupa sehingga membran tersebut
mendapatkan replika dari susunan makromolekul seperti yang terdapat pada gel.
Posisi antigen yang dicari dapat diidentifikasi pada membran dengan
mereaksikannya dengan antibodi spesifik yang bertanda atau dilabel dengan
radioisotop atau enzim (Abbas et al. 2000).
Pita protein (misalnya, protein alergen) yang tercetak dalam membran
nitroselulosa dapat diidentifikasi dengan menginkubasi membran dalam serum
darah pasien yang positif alergi, sehingga protein tersebut akan berikatan spesifik
dengan IgE. Interaksi tersebut dapat terlihat setelah membran direaksikan dengan
substrat yang dapat berpendar, sedangkan bobot molekulnya diketahui dari
migrasinya pada gel SDS-PAGE (Rybicki et al. 1996).
Beberapa jenis alergen ikan berhasil diidentifikasi menggunakan teknik
imunoblotting diantaranya Gad c 1, yaitu protein parvalbumin12 kDa dari ikan
cod (Lopata dan Potter 2001), kolagen dengan berat molekul ~100 kDa (Hamada
et al. 2001) dan aldehid dehidrogenase (APDH) yang merupakan protein alergen
ikan cod dengan berat molekul ~41 kDa (Das Dores et al. 2002).
3. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April – November 2011 di


laboratorium Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB,
laboratorium Bioteknologi SEAFAST IPB dan Laboratorium Parasitologi Balai
Veteriner Bogor.

3.2. Bahan dan Alat


Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan tongkol
(Auxis thazard), kerang hijau (Perna viridis) dan udang jerbung (Penaeus
merguiensis) yang diperoleh segar dari pasar ikan Muara Angke, Jakarta Utara.
Selain itu juga digunakan serum darah manusia dari 20 subyek penderita alergi
dan satu subyek normal yang tidak memiliki riwayat alergi.
Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah bufer fosfat pH 7.5, KCl bufer
fosfat pH 7.5, aprotinin/inhibitor proteinase (Sigma), tris buffer pH 8.8 dan pH
6.8, amonium persulfat (APS), β-merkaptoethanol, TEMED, akrilamida, N,N’ bis
akrilamida, SDS (Sodium Dodesil Sulfat), commasie brilliant blue G-200,
commasie brilliant blue R-250, asam fosfat, glisin, etanol 95%, metanol, asam
asetat glasial, bufer karbonat bikarbonat pH 9.6, Tween 20, BSA (Serum Albumin
Sapi) fraksi V (Sigma), susu bubuk skim, standar low molecular weight protein
(LMW) yang mengandung 7 jenis protein standar (Fermentas®), antibodi sekunder
(ICL Lab) yaitu antibodi anti IgE manusia berlabel enzim HRP (Horse Radish
Peroxidase), substrat DAB (3,3´-diaminobenzidine tetrahydrochloride), substrat
TMB (3,3′,5,5′-Tetramethylbenzidine) dan bahan-bahan penunjang yang lain.
Alat-alat yang digunakan adalah waring blender, sentrifuse, seperangkat alat
elektroforesis mini (Bio-Rad), lempeng mikrotiter untuk ELISA, ELISA reader
(MTX Lab Systems), spektrofotometer UV-VIS, pH meter, vortex, stirer,
termometer, inkubator, timbangan analitik, water bath, mikropipet 5µl hingga
1000 µl, dan seperangkat perkakas blotting (Bio-Rad), membran nitroselulosa
0,45 μm (Sigma), kertas saring, lempeng immunoblotting dan peralatan gelas.
20

3.3. Metode Penelitian


Secara umum, penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama yaitu
isolasi protein sampel melalui ekstraksi protein sarkoplasma dan miofibril dari
sampel ikan tongkol, udang jerbung dan kerang hijau. Tahap kedua adalah
karakterisasi ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril dengan SDS-PAGE dan
tahap ketiga dengan menguji alergenisitas protein sampel dengan menggunakan
serum subyek penderita alergi dengan teknik immunoblotting dan ELISA.
Ringkasan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Sampel hasil laut segar (ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung)
terlebih dahulu diuji kadar protein awalnya dengan metode Kjedahl. Selanjutnya
dilakukan tahapan isolasi protein sampel melalui ekstraksi daging ikan, udang dan
kerang dengan penambahan bufer fosfat dan dihomogenisasi dengan blender.
Ekstraksi dengan bufer fosfat dilakukan untuk pemisahan protein sarkoplasma dan
miofibril. Fraksi protein sarkoplasma dihasilkan dari proses ekstraksi dengan
kekuatan ion yang lebih rendah, yaitu bufer fosfat pada pH 7.5 dengan kekuatan
ion 0.05. Fraksi protein miofibril diperoleh melalui ekstraksi dengan bufer fosfat
pH 7.5 dan kekuatan ion 0.5. Kemudian dilakukan penentuan kadar protein
ekstrak sampel dengan metode Bradford dan dikrakterisasi dengan teknik
elektroforesis SDS-PAGE untuk mengetahui berat molekul protein yang
diekstrak. Gel hasil elektroforesis ini kemudian akan digunakan untuk pengujian
alergenisitas dengan teknik immunoblotting, dengan dipindahkan dalam suatu
membran nitroselulosa.
Uji alergenisitas ekstrak protein (ikan tongkol, kerang hijau dan udang
jerbung) dilakukan dengan metode immunoblotting dan ELISA menggunakan
serum subyek penderita alergi pangan. Penentuan subyek alergi melalui
wawancara langsung seputar alergi yang diderita subyek. Dari 20 subyek
penderita alergi pangan dan satu subyek normal, dilakukan pengambilan darah
sebanyak 20 ml dan dilakukan melalui koordinasi dengan klinik terdekat di daerah
Dramaga Bogor. Kemudian darah yang telah diperoleh dilakukan sentrifuse untuk
memisahkan serum dari plasma darah. Serum yang terpisah dikumpulkan dan
disimpan pada suhu beku -20°C. Serum ini digunakan sebagai sumber antibodi
IgE untuk direaksikan dengan ekstrak protein yang diperoleh.
21

Sampel segar Analisis protein


(daging ikan,kerang dan udang) Metode Kjeldahl
Tahap
Isolasi protein
Ekstraksi dengan buffer fosfat
(Hashimoto 1979)

Ekstrak protein Ekstrak protein


sarkoplasma miofibril

Tahap
Karakterisasi
protein Elektroforesis Analisis protein

Tahap Responden subyek


Penentuan Immunoblotting alergi (20 org)
alergenisitas IgE
ELISA
Sentrifuse Darah subyek
alergi

Positif ? Rekaman sejarah


Tidak
alergi
ya

Sesuai?

Potensial untuk Isolat


alergen

Keterangan :
Hasil yang diperoleh berupa informasi yang digunakan
untuk proses selanjutnya

Gambar 3. Diagram alir penelitian


22

3.3.1. Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl (AOAC 1995)


Kadar protein awal sampel sebelum dilakukan ekstraksi ditentukan dengan
menggunakan metode Kjedahl. Sejumlah sampel (100-250 mg) ditimbang ke
dalam labu Kjedahl. Kemudian ditambahkan 1.9±0.1 g K2SO4, 40±10 mg HgO
dan 2±0.1 mL H2SO4. Sampel didihkan selama 1-1.5 jam dengan kenaikan suhu
secara bertahap sampai cairan menjadi jernih, lalu didinginkan. Sejumlah kecil
akuades diteteskan perlahan lewat dinding labu kemudian labu digoyang pelan
agar kristal yang terbentuk larut kembali. Isi labu kemudian dipindahkan ke dalam
alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 mL akuades. Lalu ditambahkan
8-10 mL larutan 60% NaOH- 5% Na2S2O3 ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer
berisi 5 mL H3BO3 dan 2 tetes indikator metilen red-metilen blue diletakkan di
bawah kondensor dengan kondisi ujung kondesor terendam di bawah larutan
H3BO3. Destilasi dilakukan hingga diperoleh destilat sebanyak ± 15 mL. Destilat
yang diperoleh selanjutnya diencerkan hingga ± 50 mL dan dititrasi dengan HCl
terstandar sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu keunguan.
Perhitungan kadar protein sesuai dengan persamaan dibawah berikut.

3.3.2. Isolasi Protein Sampel (Hashimoto et al. 1979)


Tahapan iolasi protein sampel dilakukan dengan ekstraksi fraksi
sarkoplasma dan miofibril dari ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung
dilakukan berdasarkan metode Hashimoto et al. (1979).
Masing-masing sampel daging segar berupa ikan, kerang dan udang,
sebanyak 20 gram dipersiapkan bersama dengan penambahan 200 ml bufer fosfat
pH 7.5, I: 0.05 dan inhibitor protease, lalu dihomogenisasi dengan waring
blender. Selanjutnya dilakukan sentrifuse pada suhu 4°C kecepatan 4000 rpm
selama 25 menit. Supernatan yang diperoleh dikumpulkan, sementara endapan
23

diekstraksi lagi dengan 200 ml bufer fosfat pH 7.5, I:0.05. Campuran supernatan
pertama dan kedua ini merupakan ekstrak untuk fraksi protein sarkoplasma.
Kemudian dari endapan pada ekstraksi kedua, dengan perlakuan dan
penambahan bahan yang sama diperoleh ekstrak protein miofibril, yaitu melalui
penggabungan antara supernatan ketiga dan keempat. pada ekstraksi protein
miofibrilar terdapat perkecualian pada kekuatan ion bufer yang digunakan yaitu
bufer fosfat dengan pH 7.5 kekuatan ion 0.5 melalui penambahan KCl. Diagram
alir prosedur ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah ini.

Irisan daging ikan


20 gr

Homogenisasi dengan 200 ml Bufer


posfat pH 7.5, I= 0.05 dan Inhibitor
Protease

Sentrifuse 4ºC, 4000 rpm, 25 Diulang 2x


menit

Supernatan Pelet

Penyaringan Homogenisasi dengan 200 ml Bufer


KCl-posfat pH 7.5, I= 0.5 dan Inhibitor
Protease
Protein
Sarkoplasma
Sentrifuse 4ºC, 4000 rpm, 25 Diulang 2x
menit

Supernatan Pelet

Penyaringan

Protein Miofibril

Gambar 4. Ekstraksi Protein Sarkoplasma dan Miofibril (Hashimoto et al. 1979)


24

3.3.3. Analisis Kadar Protein Metode Bradford (Bradford 1976)


Penentuan kadar protein ekstrak sarkoplasma dan miofibril dilakukan
dengan metode Bradford menggunakan serum albumin sapi (BSA) sebagai
standar. Sampel (filtrat ekstrak protein) direaksikan dengan pewarna coomasie
briliant blue sebagai komponen utama pereaksi bradford.
Pereaksi Bradford dibuat dengan melarutkan 100 mg coomasie briliant blue
G-200 ke dalam 50 ml etanol 95%. Kemudian ditambahkan 100 ml asam fosfat
85% (w/v) dan volume akhir larutan dibuat menjadi 1 liter, lalu disaring.
Standar dibuat dengan melarutkan 100 mg serum albumin sapi (BSA) ke
dalam 50 ml air destilata, kemudian diencerkan sampai volumenya mencapai 100
ml (konsentrasi 1 mg/ml). Dari konsentrasi 1 mg/ml, dibuat satu seri pengenceran
larutan standar.
Untuk penetapan protein diperlukan sebanyak 0,1 ml larutan standar dari
masing-masing seri konsentrasi, 0,1 ml sampel dan 0,1 ml air destilata sebagai
blanko. Ke dalam masing-masing larutan, ditambahkan 5 ml pereaksi bradford.
Setelah didiamkan selama 5 menit, larutan dibaca absorbansinya pada panjang
gelombang 595 nm. Konsentrasi protein ditentukan berdasarkan kurva standar
serum albumin sapi (BSA).

3.3.4. Penentuan Karakteristik Ekstrak Protein dengan Elektroforesis SDS-


PAGE (Laemmli 1970)

Elektroforesis SDS-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE)


dilakukan dengan metode Laemmli (1970), untuk menentukan berat molekul
protein ekstrak protein sampel. Analisis SDS-PAGE dilakukan menggunakan gel
akrilamid dengan konsentrasi separating gel 12% dan stacking gel 5%. Sampel
yang dielektroforesis adalah ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril hasil
ekstraksi dari sampel ikan tongkol, udang jerbung dan kerang hijau. Beberapa
tahapan utama yang harus dilakukan dalam melakukan elektroforesis SDS-PAGE
adalah 1) pembuatan separating gel, 2) pembuatan stacking gel, 3) persiapan
sampel, 4) running gel, 5) pewarnaan gel, 6) destaining gel, dan 7) penentuan
berat molekul protein-protein yang terpisahkan. Pembuatan larutan stok dan
larutan kerja untuk analisis SDS-PAGE dapat dilihat pada Lampiran 2.
25

a. Pembuatan separating gel


Dua lempengan kaca (mini slab) yang akan digunakan sebagai cetakan gel
dirangkai sesuai dengan petunjuk pemakaian. Sebanyak 4 ml larutan A dipipet
ke dalam gelas piala, kemuadian ditambakan 2.5 ml larutan B dan 3.5 ml
akua-biodestilat. Campuran kemuadian diaduk perlahan dengan
menggoyangkan gelas piala. Selanjutnya, sebanyak 50 µl APS 10% dan 5 µl
TEMED ditambahkan ke dalam campuran dan diaduk kembali dengan
perlahan. Campuran dimasukkan ke dalam lempengan kaca (mini slab) tanpa
menimbulkan gelembung udara dengan menggunakan mikro pipet sampai
sekitar 1 cm dari atas lempengan. Bagian yang tidak diisi gel diberi akuades
untuk meratakan gel yang terbentuk. Gel kemudian dibiarkan mengalami
polimerisasi selama 30-60 menit.

b. Pembuatan stacking gel


Air dibuang dari atas separating gel dan dikeringkan dengan menggunakan
tissue. Akua-biodestilat, larutan A dan larutan C masing-masing sebanyak
0.67 ml dan 1.0 ml dicampurkan ke dalam gelas piala dan diaduk perlahan
dengan cara menggoyangkan gelas piala. Selanjutnya, sebanyak 30 µl APS
10% dan 5 µl TEMED ditambahkan ke dalam campuran dan diaduk kembali
dengan perlahan. Campuran dimasukkan ke dalam mini slab, kemudian sisir
dimasukkan dengan cepat tanpa menimbulkan gelembung udara. Stacking gel
dibiarkan mengalami polimerisasi selama 30-60 menit. Setelah gel
berpolimerisasi, sisir diangkat dari atas gel dengan perlahan dan slab
ditempatkan ke dalam wadah elektroforesis. Bufer elektroforesis dimasukkan
ke dalam wadah elektroforesis di bagian dalam dan luar agar gel terendam.

c. Preparasi dan injeksi sampel


Sebanyak 40 µl sampel dimasukkan tabung Eppendorf dan ditambahkan 10 µl
bufer sampel. Tabung kemudian dipanaskan selama 5 menit dalam air
mendidih 100°C. Sampel kemudian siap diinjeksikan ke dalam sumur
menggunakan mikropipet sebanyak 10 µl. Salah satu sumur diinjeksikan
protein marker sebanyak 7.5 µl protein marker.
26

d. Running SDS-PAGE
Katup elektroda dipasang dengan arus mengalir ke anoda. Sumber listrik
dinyalakan dan dijaga konstan pada 70 V. Running dilakukan selama 180
menit sampai migrasi dye tersisa sekitar 0.5 cm dari dasar. Setelah selesai,
aliran listrik dimatikan dan katup elektroda dilepaskan, lalu plat gel
dipindahkan dari elektroda.

e. Pewarnaan gel
Gel diangkat dari slab dan dipindahkan ke dalam wadah tertutup yang telah
berisi pewarna coomasie briliant blue (kurang lebih 20 ml). kemudian
didiamkan selama 20 menit.

f. Destaining gel
Gel diangkat dan dicuci menggunakan akuades beberapa kali. Larutan
penghilang warna ditambahkan (destaining solution) dan digoyangkan sekali
hingga latar belakang pita protein menjadi terang. Selanjutnya, larutan
penghilang warna dibuang dan gel siap dianalisis.

g. Penentuan berat molekul protein yang terpisahkan


Berat molekul protein sampel dapat dihitung dari persamaan regresi antara
mobilitas relatif protein marker (penanda protein) dengan logaritma dari berat
molekul marker yang diketahui. Mobilitas relatif protein dihitung dengan
membandingkan jarak migrasi protein diukur dari garis awal separating gel
sampai ujung pita protein yang dibandingkan dengan jarak migrasi tracking
dye. Mobilitas relatif tersebut dirumuskan sebagai persamaan berikut :

Rf = jarak migrasi protein


jarak migrasi tracking dye

h. Analisis gel elektroforesis


Gel hasil elektroforesis SDS-PAGE tersebut di dokumentasikan dalam bentuk
gambar. Hasil dalam bentuk gambar ini kemudian dianalisis densitas pita
proteinnya dengan menggunakan perangkat lunak Image J. Program membaca
tebal pita per kolom yang dipilih sebagai kurva berfluktuasi.
27

3.3.5. Serum Subyek Alergi


Serum dari 20 orang penderita alergi diperoleh melalui wawancara langsung
seputar alergi yang diderita subyek meliputi jenis, penyebab, gejala apabila
sedang terkena alergi. Subyek sasaran adalah penderita alergi makanan. Serum
satu orang subyek yang normal (tidak menderita alergi) digunakan sebagai kontrol
negatif. Pengambilan darah dilakukan melalui kooordinasi dengan klinik dengan
menggunakan jarum suntik steril (syringe/spuilt) 10 cc (ml).
Dari ke-21 subyek, 20 ml darah diambil untuk dipisahkan serum dari
plasmanya. Darah yang telah diperoleh segera diinkubasi pada suhu 37°C selama
30 menit, lalu disentrifuse selama 20 menit pada kecepatan 2500 rpm. Supernatan
yang didapat merupakan serum yang diduga banyak mengandung IgE.

3.3.6. ELISA (Ishikawa et al. 1997)


Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dilakukan dengan
menggunakan lempeng polistiren dengan 96 sumur. Teknik ini dilakukan
berdasarkan metode yang pernah dilakukan Ishikawa et al. (1997) dengan
beberapa modifikasi pada jenis substrat, larutan pemblok dan panjang gelombang
pembacaan sesuai dengan jenis subtrat yang digunakan. Konfigurasi ELISA yang
dipilih adalah ELISA tidak langsung yang melibatkan interaksi protein alergen
(antigen), antibodi primer (IgE serum subyek alergi), antibodi sekunder yaitu anti
IgE anti manusia berlabel enzim HRP (Horseradish Peroksidase) dan substrat
TMB (3,3´-tetramethylbenzidine). Formula beberapa larutan untuk uji ELISA
diantaranya seperti coating buffer, blocking buffer dan washing buffer
(Lampiran 3).

3.3.6.1. Penentuan IgE Total Serum Subyek Alergi (kualitatif)


Sebanyak 100 µl serum subyek pada pengenceran 1:5 dan 1:10, dilapiskan
ke dalam lempeng mikrotiter. Inkubasi dilakukan selama semalam pada suhu
4°C, lalu sisa serum dalam lempeng dibuang dan dilakukan pencucian dengan
PBS Tween-20 0.05% 5 kali sebanyak 200 µl/well. Kemudian, sebanyak 200 µl
BSA 3% dalam PBS ditambahkan ke dalam lempeng mikrotiter dan diinkubasi
selama 1 jam pada suhu 37°C. Setelah dicuci sebanyak 5 kali dengan PBS Tween-
20 0.05%, dilakukan penambahan dengan antibodi anti IgE manusia berlabel
28

enzim HRP. Sebelumnya antibodi anti IgE manusia berlabel enzim HRP
diencerkan 1:6000 dalam PBS Tween-20 0.05% . Inkubasi dilakukan pada suhu
37°C selama 1 jam.
Setelah dicuci dengan PBS Tween-20 0.05% ditambahkan sebanyak 100 µl
substrat TMB dan dibiarkan 5 menit. Kemudian dihentikan reaksinya dengan
penambahan 25 µl H2SO4 2N. Hasil reaksi dapat dibaca dengan ELISA reader
pada panjang gelombang 450 nm.

3.3.6.2. Penentuan Sifat Alergenisitas Ekstrak Protein


Sebanyak 100 µl ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril sampel (ikan,
udang dan kerang) dilarutkan dalam coating buffer (konsentrasi 10 µg/100µl)
dilapiskan pada dasar lempeng mikrotiter. Kemudian diinkubasi pada suhu 4°C
selama semalam, lalu dicuci dengan PBS Tween-20 0.05% (200 µl/well) sebanyak
5 kali. Selanjutnya dilakukan pemblokan dengan larutan BSA 3% dalam PBS
sebanyak 200 µl/sumur dan diinkubasi selama 1 jam suhu 37°C. Setelah itu dicuci
dengan PBS Tween-20 0.05% sebanyak 5 kali. Serum subyek yang telah
diencerkan (perbandingan 1:5 atau 1:10) dalam PBS Tween-20, dilapiskan pada
lempeng mikrotiter sebanyak 100 µl/sumur. Selanjutnya serum subyek diinkubasi
selama 1 jam pada suhu 37°C, lalu dicuci sebanyak 5 kali dengan PBS Tween-20
0.05%.
Penambahan antibodi anti IgE dilakukan setelah mengencerkan 1:6000
dalam PBS Tween-20 0.05%. Kemudian sebanyak 100 µl/sumur anti IgE manusia
berlabel enzim HRP ditambahkan dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37°C.
Setelah inkubasi, dicuci dengan PBS Tween-20 0.05% sebanyak 5 kali, lalu
ditambahkan sebanyak 100 µl substrat TMB dan dibiarkan 5 menit. Kemudian
dihentikan reaksinya dengan penambahan 25 µl H2SO4 2N. Hasil reaksi dapat
dibaca dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm.

3.3.7. Immunoblotting (Towbin et al. 1979)


Gel hasil elektroforesis yang tidak diwarnai, ditransfer ke membran
nitroselulosa (0,45µm) dalam buffer transfer yang disusun dalam alat
transblotting (metode sandwich). Blotting dilakukan selama 1.5 jam pada 90 Volt.
29

Membran selulosa dipotong sesuai gel dan membran yang berisi marker
direndam dalam pewarna amido black (untuk mengetahui apakah gel sudah
tertransfer ke membran). Selanjutnya, membran yang berisi sampel protein diblok
dengan susu skim 5%, diinkubasi selama 1 jam sambil digoyang, kemudian
membran dicuci dengan PBS Tween-20 0.05% selama 5 menit sebanyak 3 kali.
Selanjutnya dilakukan penambahan serum subyek alergi yang diencerkan
1:10 dalam PBS Tween-20 0.05% dan diinkubasi selama satu jam pada suhu
kamar sambil digoyang. Pencucian dilakukan lagi dengan PBS Tween-20 0.05%
selama 5 menit sebanyak 3 kali, lalu diberi antibodi IgE anti manusia yang
berlabel enzim HRP pengenceran 1:3000 dalam PBS Tween-20 0.05%. kemudian
diinkubasi selama 1 jam dengan shaker atau digoyang-goyang. Membran
kemudian dicuci kembali 3 kali menggunakan PBS Tween-20 0.05% selama 5
menit. Hasil deteksi kompleks protein alergen (ikan, udang dan kerang) dengan
IgE serum subyek terlihat, setelah diberikan substrat DAB (3,3´-diaminobenzidine
tetrahydrochloride). Deteksi positif ditandai dengan terjadinya kompleks warna
(coklat) yang diinginkan pada kertas nitroselulosa.
 
31
 

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Ekstrak Protein Sarkoplasama dan Miofibril
Sampel ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung sebelum diekstraksi
dianalisis kadar total proteinnya dengan metode Kjeldahl. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kandungan protein ikan tongkol yaitu 16.44%, kerang hijau
14.03% dan udang jerbung sebesar 13.96%. Menurut Chaijan et al. (2004),
sebagai unsur utama dalam otot ikan, protein terdapat sekitar 13.74 – 17.54%.
Kandungan protein awal biasanya berkisar 11-24%, tergantung dari jenis spesies,
nutrisi, dan siklus reproduksi hewan tersebut.
Selanjutnya ekstraksi protein sampel dilakukan menggunakan larutan bufer
dengan kekuatan ion yang berbeda. Proses ekstraksi ini bertujuan untuk
memperoleh fraksi protein sarkoplasma dan miofibril dari ketiga sampel tersebut.
Fraksi protein sarkoplasma dihasilkan dari proses ekstraksi menggunakan larutan
bufer dengan kekuatan ion yang lebih rendah yaitu bufer fosfat pH 7.5 dengan
kekuatan ion 0.05. Fraksi protein miofibril diperoleh melalui ekstraksi dengan
bufer pH 7.5 dan kekuatan ion 0.5. Peningkatan kekuatan ion dalam larutan bufer
fosfat dilakukan dengan penambahan senyawa KCl (Suzuki 1981).
Protein sarkoplasma dan miofibril merupakan protein utama di dalam
serabut otot ikan. Kedua jenis protein ini berbeda dalam hal kelarutannya. Protein
sarkoplasma dapat larut dalam air, sehingga untuk melakukan ekstraksi cukup
dengan kekuatan ion rendah. Protein miofibril merupakan protein yang tidak larut
dalam air, tetapi larut dalam larutan garam. Kontribusi muatan-muatan ion dalam
senyawa garam menyebabkan protein ini harus diekstraksi dengan kekuatan ion
yang lebih tinggi (Hashimoto et al. 1979).
Menurut Ahmed (2005) selain pH dan kekuatan ion bufer, adanya inhibitor
protease juga mempengaruhi proses ekstraksi protein. Inhibitor protease
digunakan untuk menjaga kestabilan ekstrak dengan menghambat kerja enzim
protease, karena itu dalam penelitian ini ditambahkan inhibitor protease berupa
aprotinin. Proteolisis merupakan masalah utama yang sering terjadi setelah proses
ekstraksi. Proteolisis menyebabkan protein terdegradasi menjadi protein-protein
dengan berat molekul rendah. Beberapa jenis protease terdapat pada sel daging
ikan, dimana inhibitor protease komersial dapat digunakan untuk menghambat
32
 

masing-masing protease tersebut. Salah satu jenis inhibitor protease yang sering
digunakan adalah aprotinin. Aprotinin memiliki kelarutan yang tinggi dan
spesifitas penghambatan yang luas, meliputi tripsin, kimotripsin, plasmin,
urokinase dan berbagai protease intraseluler (Fritz dan Wunderer 1983).
Hasil ekstraksi protein sarkoplasma dan miofibril dari ikan tongkol, kerang
hijau dan udang jerbung kemudian diukur kadar proteinnya dengan metode
Bradford. Hasil pengukuran ini selanjutnya digunakan sebagai data untuk
karakterisasi berat molekul protein dengan SDS PAGE dan juga untuk pengujian
alergenisitas ketiga sampel tersebut dengan metode ELISA maupun
immunoblotting.
Dari hasil pengukuran kadar protein ekstrak, diperoleh kadar protein
sarkoplasma sampel udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau berturut-turut
adalah 1.154 mg/ml, 1.269 mg/ml dan 0.691 mg/ml. Hal ini berarti dari 390 ml
ekstrak protein terdapat protein sarkoplasma udang jerbung, ikan tongkol dan
kerang hijau masing-masing sebanyak 0.45 gram, 0.495 gram dan 0.269 gram.
Kemudian untuk kadar protein miofibril udang jerbung, ikan tongkol dan kerang
hijau yaitu 0.627 mg/ml, 0.878 mg/ml dan 0.176 mg/ml. Sehingga dari 390 ml
ekstrak yang diperoleh, terdapat protein miofibril berturut-turut 0.244 gram, 0.342
gram dan 0.068 gram. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar protein
sarkoplasma yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan protein miofibril.
Hasil penelitian Yuliarni (1998) yang melakukan ekstraksi protein udang windu
(Penaeus monodon fabr.) juga menunjukkan bahwa kadar protein sarkoplasma
udang yaitu 2.29 mg/ml lebih tinggi dibandingkan protein miofibril (0.58 mg/ml).
Protein sarkoplasma merupakan protein yang mudah larut dalam air atau larutan
garam encer, sehingga proses ekstraksinya lebih mudah dibandingkan dengan
protein miofibril yang dapat larut pada konsentrasi garam > 0.3 M (Hultin et al.
1995).
Menurut Suzuki (1981), kandungan sarkoplasma krill adalah 5.70% - 6.50%
(dalam 20 gram krill terdapat sebesar 1.14 -1.30 gram) dan protein miofibril
adalah 3.30 % - 4.10% (dalam 20 gram krill terdapat 0.66 – 0.82 gram). Dari hasil
tersebut dapat dilihat bahwa kandungan protein sarkoplasma dan miofibril yang
diperoleh masih lebih rendah. Perbedaan jenis spesies udang yang digunakan akan

32 
 
33
 

memberikan kandungan protein yang berbeda pula (Zakaria et al. 1998). Selain
itu, Subagio et al. (2004) menyatakan bahwa jenis ikan pelagis seperti ikan
tongkol, memiliki protein larut air (fraksi protein sarkoplasma) yang lebih besar
dibandingkan dengan protein miofibril.
Berdasarkan hasil pengukuran kadar total protein dengan metode Kjeldahl
dan pengukuran kadar protein ekstrak dengan metode Bradford, dapat diketahui
rendemen ekstrak dan neraca massa protein selama proses ekstraksi berlangsung.
Tabel 2 dibawah menunjukkan perbandingan jumlah protein terekstrak dengan
total protein dalam sampel.
Tabel 2. Jumlah total protein sampel awal dan protein terekstrak
Jenis Protein Berat Total protein Total protein terekstrak
sampel Kjeldahl (gram)
(gram) (gram) sarkoplasma Miofibril
Udang jerbung 20.9 2.92 0.45 0.244
Ikan Tongkol 19.72 3.24 0.495 0.342
Kerang Hijau 20 2.81 0.269 0.068

Dari Tabel 2 diketahui dari masing-masing berat awal sampel udang


jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau yang diekstraksi, jumlah protein
sarkoplasma dan miofbril yang terekstrak yaitu kurang dari 50% dari total protein
awal. Seperti terlihat pada sampel udang jerbung, jumlah protein sarkoplasma
yang terekstrak yaitu 0.45 gram (15% dari total protein) dan protein miofibril
yaitu 0.244 gram (8% dari total protein). Hashimoto et al. (1979) melaporkan
bahwa komposisi protein otot ikan terdiri dari 23-29% protein sarkoplasma, 62-
66% protein miofibril, 6-9% fraksi larut alkali dan 2-3% fraksi stroma. Perbedaan
hasil ini diduga masih banyak terdapat protein yang masih belum terlarut dalam
bufer dan masih terdapat pada sisa pelet akhir proses ekstraksi. Binsi et al. (2006)
menyatakan bahwa kelarutan protein dalam larutan bufer berkekuatan ion berbeda
dari ikan yang berbeda bervariasi 85% dan 95%, tergantung dari jenis spesies,
metode penanganan dan kondisi selama penyimpanan. Jumlah ekstrak protein
dapat lebih ditingkatkan dengan melakukan modifikasi dan optimasi teknik
ekstraksi lebih lanjut. Modifikasi proses ekstraksi protein dapat dilakukan dengan
34
 

perlakuan konsentrasi garam KCl dan pH larutan bufer yang digunakan


(Birkeland dan Bjerkeng 2004).

4.2. Karakteristik Ekstrak Protein dengan Elektroforesis SDS PAGE


Karakterisasi ekstrak protein dengan elektroforesis SDS PAGE bertujuan
untuk mengetahui protein-protein penyusun daging sampel yaitu udang jerbung,
ikan tongkol dan kerang hijau. Ekstrak protein baik sarkoplasma dan miofibril
yang akan dianalisis dengan elektroforesis terlebih dahulu dihitung kadar
proteinnya dengan metode Bradford. Hal ini bertujuan agar konsentrasi sampel
tidak kurang dari batas deteksi pewarna yang digunakan (batas deteksi coomassie
briliant blue = 0.1µg) (Bollag dan Edelstain 1991). Dengan diketahui kadar
protein masing-masing sampel, maka jumlah protein yang akan diinjeksikan ke
dalam mini slab elektroforesis dapat dibuat sama.
Elektroforesis memiliki peranan penting dalam pemisahan molekul-molekul
biologi, khususnya protein. Elektroforesis juga sangat sensitif terhadap perbedaan
muatan dan berat molekul yang cukup kecil (Bachrudin 1999). Elektroforesis
dilakukan dengan menggunakan dua jenis gel, yaitu gel penahan (stacking gel)
dan gel pemisah (separating gel). Gel penahan dibuat dengan konsentrasi gel 4%
yang memiliki ukuran pori lebih besar dan pH lebih kecil (6.8). Sementara gel
pemisah dibuat dengan konsentrasi gel 12% yang mempunyai ukuran pori lebih
kecil dan pH lebih besar (8.8). Pemilihan konsentrasi gel ini tergantung pada
kisaran berat molekul protein yang akan dipisahkan. Semakin besar ukuran pori-
pori gel (konsentrasi gel yang rendah) maka semakin besar molekul protein yang
dapat bermigrasi. Gel penahan dibuat dengan ukuran pori lebih besar dengan
kekuatan ion yang lebih kecil, sehingga mempercepat pergerakan molekul karena
tahanan friksi yang rendah.
Protein yang akan dipisahkan dilarutkan dalam bufer yang mengandung
SDS (Sodium Dodesil Sulfat) dan 2-merkaptoetanol. Penggunaan SDS dan
merkaptoetanol disertai dengan pemanasan akan memecah struktur tiga dimensi
protein, terutama ikatan disulfida menjadi subunit-subunit polipeptida secara
individual. SDS akan membungkus rantai protein yang tidak terikat membentuk
kompleks SDS-protein yang bermuatan negatif. Kemudian kompleks SDS-protein
ini dialirkan dalam medium yang mengandung medan listrik sehingga senyawa

34 
 
35
 

protein yang bermuatan negatif akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya
berlawanan dengan molekul protein. Kompleks SDS-protein yang lebih besar
mempunyai mobilitas yang lebih rendah dengan kompleks yang lebih lebih kecil.
Hal tersebut disebabkan oleh kerapatan partikel gel yang menghambat mobilitas
protein. Prinsip inilah yang digunakan untuk memisahkan molekul-molekul
dengan muatan berbeda (Wijaya dan Rohman 2001). Berikut adalah berturut-turut
dari atas ke bawah subunit protein dari berbobot molekul terbesar sampai terkecil,
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Pola elektroforesis fraksi protein. M: low-molecular-


weight protein marker, 1: sarkoplasma tongkol, 2: miofibril
tongkol, 3: sarkoplasma kerang hijau, 4: miofibril kerang
hijau, 5: sarkoplasma udang jerbung, 6: miofibril udang
jerbung

Pita-pita yang terbentuk pada gel pemisah diidentifikasi dengan pewarnaan


gel menggunakan larutan coomasie blue dalam asam asetat glasial dan metanol.
Asam asetat glasial digunakan untuk fiksasi protein yang berguna untuk
mengendapkan dan mengimobilisasi protein sehingga warna yang terbentuk
permanen. Selanjutnya penentuan berat molekul masing-masing pita protein
dihitung berdasarkan kurva standar marker (Lampiran 8a), yang diperoleh melalui
hubungan antara mobilitas relatif (Rf) dengan nilai logaritma berat molekul (Log
BM) protein marker. Nilai mobilitas relatif (Rf), logaritma berat molekul (Log
BM) dan berat molekul protein standar dapat dilihat pada Tabel 3.
36
 

Tabel 3 menunjukkan Marker yang digunakan sebagai standar protein


terdiri atas protein-protein dengan berat molekul kecil (Low Molecular Weight).
Marker (Fermentas) tersebut mengandung tujuh jenis protein standar yang sudah
diketahui berat molekulnya, yaitu β-galactosidase (BM: 116 kDa), bovine serum
albumin (BM: 66.2 kDa), ovalbumin (BM: 45 kDa), lactate dehydrogenase (BM:
35 kDa), REase BSP 981 (BM: 25 kDa), β-lactoglobulin (BM: 18.4 kDa) dan
lysozime (BM: 14.4 kDa).
Tabel 3. Nilai mobilitas relatif (Rf), logaritma berat molekul (Log BM) dan berat
molekul protein standar
Jarak
Pita BM
Jenis protein Log BM pergerakan Rf
ke- (kDa)
(cm)
1 β-galactosidase 116 2.0645 1.81 0.157
2 BSA 66.2 1.8209 3.4 0.296
3 Ovalbumin 45 1.6532 5.41 0.470
4 Lactate dehydrogenase 35 1.5441 6.92 0.602
5 Rease Bsp981 25 1.3979 8.86 0.770
6 β-lactoglobulin 18.4 1.2648 10.47 0.910
7 Lysozyme 14.4 1.1584 10.97 0.954

Analisis data protein standar dilakukan dengan regresi linier, dimana dari
hubungan antara logaritma berat molekul (sumbu Y) dan mobilitas relatif (sumbu
X) diperoleh persamaan Y= 2.1739-1.0369X dengan R2= 0.9858. Persamaan
regresi dari kurva linier standar tersebut digunakan untuk menghitung berat
molekul protein-protein yang berhasil dipisahkan dari ekstrak fraksi protein udang
jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau.
Hasil pemisahan protein sampel secara keseluruhan (Gambar 5)
menunjukkan bahwa pita protein yang muncul pada gel elektroforesis memiliki
jumlah dan ketebalan yang berbeda-beda. Pita protein yang muncul lebih banyak
dan lebih tebal pada fraksi sarkoplasma dibandingkan dengan fraksi miofibril.
Terutama terlihat pada fraksi sarkoplasma udang jerbung dan ikan tongkol. Hal ini
sesuai dengan uji kadar protein fraksi tersebut, yang menunjukkan bahwa kadar
protein fraksi sarkoplasma sampel lebih tinggi dibandingkan dengan kadar protein
fraksi miofibril.
Pita-pita protein yang dihasilkan dari elektroforesis kemudian dianalisis
densitasnya dengan menggunakan program Image J, sehingga menghasilkan

36 
 
37
 

visualisasi seperti Gambar 6. Pengukuran densitas pita protein bertujuan untuk


mengetahui persentase masing-masing pita tersebut. Hasil pembacaan densitas
pita marker standar dengan program Image J dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Hasil pembacaan densitas pita marker standar dengan program Image J

Puncak kurva yang terlihat pada Gambar 6 menandakan subunit protein


dengan bobot molekul tertentu. Lebar kurva menandakan ketebalan pita yang
tampak. Dan dengan garis dasar yang sama pada setiap kurva, luas area di bawah
kurva yang dibatasi oleh garis dasar dihitung sebagai konsentrasi subunit protein
yang terlihat pada pita. Perhitungan konsentrasi subunit merupakan perbandingan
luas area masing-masing pita dibagi dengan luas area seluruh pita, sehingga
jumlah total seluruh pita adalah 100%. Dari pembacaan densitas pita marker
standar diatas, diketahui bahwa konsentrasi terbesar penyusunnya adalah jenis
protein ovalbumin (20.36%) dan β-lactoglobulin (21.14%). Data hasil analisis
terperinci mengenai berat molekul dan konsentrasi masing-masing subunit dapat
dilihat pada Lampiran 8b – 8d. Penjelasan lebih rinci dari masing-masing sampel
adalah sebagai berikut:
4.2.1. Ikan Tongkol
Hasil elektroforesis SDS PAGE dari protein ikan tongkol yang terlihat pada
Gambar 5 menunjukkan bahwa fraksi sarkoplasma terdiri dari 13 subunit protein
penyusun, sedangkan fraksi miofibril terdiri dari 15 subunit protein penyusun.
Kisaran berat molekul penyusun fraksi protein sarkoplasma mulai dari 14.65 kDa
- 117.06 kDa. Fraksi miofibril tersusun dari protein dengan berat molekul berkisar
38
 

dari 14.62 kDa - 107.28 kDa. Penelitian terhadap pola elektroforesis protein ikan
sardine dan ikan mackerel (Hashimoto et al. 1979) menunjukkan bahwa fraksi
miofibril terdiri dari beberapa pita protein yang sesuai dengan myosin heavy chain
(MHC), aktin, troponin dan tropomiosin. Fraksi sarkoplasma utamanya terdiri dari
mioglobin, albumin dan beberapa enzim yang terkait dengan metabolisme
penghasil energi seperti kreatinin kinase, aldolase dan gliseraldehid-3-phospat
(Ladrat et al. 2003). Gambar 7 memperlihatkan densitas pita-pita elektroforesis
hasil pemisahan fraksi protein sarkoplasma dan miofibril ikan tongkol dengan
menggunakan program Image J, sedangkan perhitungan konsentrasi masing-
masing subunit protein dapat dilihat pada Lampiran 8b.

(a) (b)

Gambar 7. Hasil pembacaan densitas pita protein ikan tongkol dengan program
Image J: (a).fraksi sarkoplasma; (b). fraksi miofibril.

Gambar 7(a) memperlihatkan pita protein yang dominan pada fraksi protein
sarkoplasma adalah pita ke-4, 5, 7, 8, 9 dan ke 13 yang memiliki berat molekul
berturut-turut adalah 63.19 kDa, 54.41 kDa, 39.85 kDa, 36.6 kDa, 28.89 kDa dan
14.65 kDa. Sesuai dengan penelitian Ladrat et.al (2003), pita protein dengan berat
molekul 39.85 kDa dan 54.41 kDa diperkirakan sebagai kreatinin kinase dan
aldolase, sedangkan komponen 36.6. kDa sebagai gliseraldehid-3-phospate
dehidrogenase. Protein dengan berat molekul sekitar 14 kDa diidentifikasi sebagai
parvalbumin.
Gambar 7(b) menunjukkan fraksi protein miofibril ikan tongkol memiliki 4
pita protein yang dominan yaitu pita ke-5, 10, 11 dan ke-15 dengan berat molekul
69.95 kDa, 40.94 kDa, 38.63 kDa dan 14.62 kDa. Dengan membandingkan berat

38 
 
39
 

molekul, komposisi protein penyusun fraksi miofibril dapat diidentifikasi.


Komponen myosin heavy chain (MHC, ~200 kDa) dalam elektroforesis fraksi
miofibril ini tidak terdeteksi. Komponen dengan berat molekul 40.94 kDa
diidentifikasi sebagai aktin. Miosin dan aktin merupakan protein utama yang
mendominasi fraksi miofibril (Hashimoto et al. 1979). Pita protein dengan berat
molekul 14.62 kDa diidentifikasi sebagai myosin light chain, sedangkan pita
dengan berat molekul 38.63 kDa diperkirakan sebagai tropomiosin (Ladrat et al.
2003).

4.2.2. Kerang Hijau


Berdasarkan hasil pemisahan protein, diketahui bahwa fraksi sarkoplasma
kerang hijau terdiri dari 11 komponen penyusun, yaitu dengan berat molekul
berkisar 14.5 kDa – 92.5 kDa. Fraksi protein miofibril terdiri dari 5 komponen
yang memiliki berat molekul berkisar dari 15.18 kDa – 136.21 kDa. Gambar 9
memperlihatkan hasil pembacaan densitas pita protein kerang hijau dengan
program Image J, sedangkan perhitungan konsentrasi masing-masing subunit
protein dapat dilihat pada Lampiran 8c.

(a) (b)

Gambar 8. Hasil pembacaan densitas pita protein kerang hijau dengan program
Image J: (a).fraksi sarkoplasma; (b). fraksi miofibril.

Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa terdapat empat subunit protein yang
dominan penyusun fraksi sarkoplasma kerang hijau adalah protein dengan berat
molekul 33.85 kDa, 39.56 kDa, 50.87 kDa dan 59.45 kDa. Lima komponen
penyusun fraksi miofibril terdapat 2 subunit protein yang dominan yaitu dengan
berat molekul 136.21 kDa dan 93.51 kDa yang diidentifikasi sebagai MHC dan
40
 

paramiosin. Pita paramiosin menyusun sekitar 14% fraksi miofibril dari protein
otot kerang-kerangan (Thanonkaew et al. 2006). Penelitian elektroforesis SDS-
PAGE terhadap protein kerang Crasosstrea gigas memperlihatkan band protein
yang memiliki berat molekul berkisar dari 19 kDa – 233 kDa (Romero et al.
2004).
Pita protein yang muncul lebih banyak dan lebih tebal pada fraksi
sarkoplasma dibandingkan dengan pita protein yang muncul pada fraksi miofibril
kerang hijau. Pita dominan yang muncul tersebut menunjukkan protein penyusun
fraksi sarkoplasma memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
protein penyusun fraksi miofibril. Perbedaan komposisi protein disebabkan karena
perbedaan sifat dan karakteristik dari masing-masing fraksi tersebut. Paredi et al.
(1998) melakukan karakterisasi protein SDS-PAGE dari kerang jenis Aulacomya
ater ater (Molina) yang menunjukkan bahwa protein miofbril terdiri dari MHC,
paramiosin, aktin, troponin dan myosin light chain dengan berat molekul masing-
masing adalah 200, 110, 42, 37 dan 17 kDa.

4.2.3. Udang Jerbung


Hasil elektroforesis protein sarkoplasma dan protein miofibril udang
jerbung yang terlihat pada Gambar 6 memperlihatkan adanya pita-pita yang
merupakan protein-protein penyusun masing-masing fraksi tersebut. Dari hasil
pemisahan protein sarkoplasma udang jerbung terdiri dari 22 komponen
penyusun, yaitu dengan berat molekul berkisar 14.87 kDa – 143.77 kDa. Fraksi
protein miofibril udang jerbung terdiri dari 17 komponen, dengan berat molekul
berkisar dari 15.18 kDa – 107.48 kDa.
Fraksi protein sarkoplasma udang jerbung memiliki jumlah komponen yang
lebih banyak dibandingkan dengan fraksi miofibril. Dari 22 komponen penyusun
fraksi protein sarkoplasma udang jerbung, diketahui terdapat 4 komponen protein
yang dominan. Fraksi protein miofibril udang jerbung memiliki 3 protein yang
dominan. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis gel dengan program Image J,
ditunjukkan pada Gambar 9.

40 
 
41
 

(a) (b)

Gambar 9. Hasil pembacaan densitas pita protein udang jerbung dengan


program Image J:(a).fraksi sarkoplasma; (b). fraksi miofibril.

Gambar 9 menunjukkan persentase pita protein penyusun fraksi


sarkoplasma dan miofibril udang jerbung. Empat protein dominan yang menyusun
fraksi sarkoplasma udang jerbung terlihat dengan persentase yang lebih besar
yaitu pita protein ke-19, 12, 10 dan ke-4 dengan berat molekul berturut-turut 19.2
kDa, 45.47 kDa, 56.91 kDa dan 91.4 kDa. Persentase masing-masing subunit
penyusun fraksi protein sarkoplasma dan miofibril udang jerbung secara lengkap
dapat dilihat pada Lampiran 8d.
Pita protein dengan berat molekul 91.4 dan 45.47 kDa diidentifikasi sebagai
phosporilase dan kreatinin kinase. Ayuso et al. (2009) melakukan karakterisasi
protein udang dengan SDS-PAGE dan uji alergenisitas dengan ELISA. Hasil
menunjukkan bahwa protein dengan berat molekul ~20 kDa ditemukan sebagai
alergen baru dari udang, yang diidentifikasi sebagai SCP (sarcoplasmic calcium-
binding protein).
Pola elektroforesis dari fraksi miofibril udang jerbung menunjukkan 3
subunit protein yang dominan yaitu pita ke-2, ke-8 dan ke-17 dengan berat
molekul masing-masing adalah 100.77 kDa, 38.19 kDa dan 15.18 kDa.
Komponen dengan berat molekul berkisar 100.77 kDa diperkirakan sebagai
paramiosin. Pita protein dengan berat molekul 38.19 kDa dianggap sebagai
tropomiosin. Sahabudin et al. (2011) melakukan uji ELISA dan imunoblotting
protein udang menggunakan serum subyek penderita alergi. Hasil uji
menunjukkan bahwa tropomiosin merupakan suatu komponen protein miofibril
42
 

yang terdiri dari 2 subunit dengan berat molekul 34-38 kDa yang dilaporkan
sebagai alergen utama dalam spesies udang. Komponen myosin light chain
diidentifikasi pada pita protein ke-17 dengan berat molekul 15.18 kDa.
Pita dengan ketebalan (densitas) dominan menunjukkan bahwa protein
dengan berat molekul tersebut memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibanding
protein lainnya. Protein dengan berat molekul tertentu yang memiliki konsentrasi
tinggi akan lebih banyak mengikat pewarna bromfenol biru. Kompleks yang
terbentuk ini akan bergerak melalui pori-pori gel dan ketika ukuran molekul lebih
besar dari ukuran pori, protein akan terperangkap dalam pori gel. Konsentrasi
protein yang tinggi akan membentuk pita protein yang lebih tebal dan lebih
dominan dibanding pita protein yang lain.

4.3. Alergenisitas Ekstrak Protein dengan Metode ELISA


ELISA merupakan deteksi cepat tentang adanya interaksi antara antigen-
antibodi yang mempunyai sensitivitas tinggi. Antigen dalam penelitian ini adalah
fraksi protein sarkoplasma dan miofibril udang jerbung, ikan tongkol dan kerang
hijau yang diduga sebagai alergen. Antibodi yang digunakan adalah IgE dari 20
serum manusia yang mempunyai riwayat alergi pangan yang berbeda-beda.
Teknik ELISA yang digunakan yaitu ELISA tidak langsung, yaitu antigen
terikat pada lempeng mikrotiter. Konsentrasi antigen yang dipilih adalah 10
µg/well. Konsentrasi ini diduga sebagai konsentrasi optimal sehingga semua
tempat pengikatan ditempel oleh antigen, sehingga semua tempat pengikatan
ditempeli dan tersedia sebanyak mungkin tempat reseptor antibodi. Malcolm
(1995) menyatakan konsentrasi optimum antigen untuk pelapisan adalah 1 – 10
µg/well. Konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan meningkatnya laju
antigen yang terlepas sehingga mengurangi sensitivitas. Selain terjadi pelepasan,
kerapatan pengikatan akan dapat merubah konfirmasi antigen sehingga interaksi
yang terjadi tidak stabil dan dapat terlepas selama pengujian.
Protein sampel yang bertindak sebagai antigen akan terikat dalam lempeng
mikrotiter, namun masi menyisakan ruang-ruang kosong. Adanya ruang kosong
ini dapat membuat reaksi non spesifik yang dapat mengganggu pengukuran.
Untuk mencegah hal tersebut terjadi perlu dilakukan pemblokan ruang-ruang
kosong dengan BSA (albumin serum sapi) dalam PBS. BSA merupakan protein

42 
 
43
 

yang tidak bersifat antigenik, sehingga tidak akan bereaksi dengan antibodi (IgE).
Selain itu untuk menghindari terjadinya reaksi non spesifik lainnya dapat
dilakukan dengan mencuci setiap kali satu tahapan ELISA selesai dilakukan
(Ashorn dan Krohn 1986).
Sumber antibodi primer yang digunakan adalah IgE dalam serum subyek
alergi. Dimana sebelumnya perlu dilakukan tahapan penentuan total IgE dari
masing-masing subyek alergi, untuk mengetahui kandungan IgE yang dapat
menunjukkan status alergi subyek yang bersangkutan (Hamada et al. 2003).
Selanjutnya untuk mengetahui adanya ikatan antara protein sampel dengan IgE
serum ditambahkan suatu antibodi pendeteksi yaitu anti IgE manusia konjugat
HRP. Reaksi pengikatan ditunjukkan dengan adanya perubahan warna melalui
penambahan subtrat TMB (3,3´-diaminobenzidine tetrahydrochloride) (Afolabi
dan Thottappilly 2008).

4.3.1. IgE Total Serum Subyek Alergi


Penentuan IgE total dalam serum subyek dilakukan untuk mengetahui status
alergi dari masing-masing subyek tersebut. Pada metode ini serum subyek yang
mengandung IgE dilapiskan pada lempeng mikrotiter. Adanya IgE dalam serum
dideteksi dengan anti-IgE manusia berkonjugasi enzim. Serum yang diuji berasal
dari darah subyek yang mempunyai riwayat menderita alergi. Darah penderita
alergi diinkubasi selama 30 menit dan disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm
selama 20 menit. Inkubasi bertujuan untuk memisahkan serum secara maksimal
dari plasma darah. Kemudian serum yang diperoleh dilakukan pengenceran 1:5
dan 1:10. Pengenceran yang dilakukan ini merupakan pengenceran terendah,
karena kandungan IgE dalam serum sangat rendah. Menurut Roitt dan Delves
(2001), kandungan IgE normal dalam serum manusia berkisar antara 17-450
ng/ml. Penelitian sebelumnya (Yuliarni 1998) juga menggunakan serum
pengenceran 1:5 dan 1:10 untuk menentukan kandungan IgE total dalam serum
subyek alergi dan melaporkan bahwa serum pengenceran 1:5 memberikan hasil
yang tidak terlalu jauh berbeda. Walaupun serum pengenceran 1:5 cinderung
memiliki kandungan yang lebih tinggi.
Serum yang sudah diencerkan dilapiskan pada lempeng mikrotiter dan
selanjutnya ditambahkan anti IgE manusia berlabel enzim HRP untuk mendeteksi
44
 

IgE dalam serum subyek. Hasil deteksi ini diketahui dengan menambahkan
substrat enzim HRP dan dibaca dengan ELISA reader. Selain itu, juga dilakukan
pembuatan kontrol negatif yang digunakan untuk perbandingan nilai absorbansi
serum yang diperoleh. Kontrol negatif menggunakan serum yang berasal dari
subyek normal, yang secara medis tidak memiliki riwayat alergi.
Hasil pengukuran IgE ini bersifat kualitatif, dimana subyek dapat
digolongkan positif alergi jika kandungan total IgE dalam bentuk nilai absorbansi
lebih tinggi dibandingkan dengan nilai absorbansi kontrol negatif ditambah
dengan 2 kali standar deviasinya (Kumar et al. 2010). Hasil uji ELISA terhadap
20 serum subyek penderita alergi dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Hasil uji ELISA terhadap serum pengenceran 1:5 dan 1:10
dibandingkan dengan kontrol negatifnya (rata + 2SD) :
(A) Subyek A-J, (B) Subyek K-T

Hasil uji ELISA (Gambar 10) memperlihatkan bahwa 20 subyek positif


menderita alergi karena memiliki nilai absorbansi yang lebih tinggi dibandingkan

44 
 
45
 

dengan kontrol negatif (rata-rata + 2SD), baik pengenceran 1:5 maupun 1:10. Hal
ini menunjukkan bahwa seluruh serum yang diuji sesuai dengan sejarah medisnya
sehingga dapat digunakan untuk mengetahui kapasitas pengikatan IgE terhadap
protein sampel. Adanya IgE merupakan indikasi terjadinya alergi dalam tubuh ke-
20 serum subyek. IgE merupakan antibodi yang dalam keadaan normal jumlahnya
sangat kecil. Pada subyek yang atopik terdapat kecinderungan menghasilkan IgE
dalam jumlah yang lebih tinggi dari kondisi normal dan mengakibatkan individu
yang bersangkutan mudah menderita alergi (Zakaria et al. 1992; Roitt dan Delves
2001).
Kandungan IgE total seluruh serum pada pengenceran 1:10 menunjukkan
hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengenceran 1:5. Walaupun serum
dengan pengenceran 1:5 cinderung memiliki kandungan IgE yang lebih tinggi.
Hasil ini menunjukkan bahwa pada pengenceran yang lebih tinggi (1:5), jumlah
IgE yang dapat berikatan dengan antigen lebih sedikit. Hal ini disebabkan dengan
kerapatan pengikatan yang tinggi, konformasi IgE berubah dan dapat terjadi
kekurangan tempat pengikatan spesifik ke antigen karena susunannya sangat rapat
dan kadang-kadang berlapis.Konsentrasi IgE yang tinggi menyebabkan interaksi
pengikatan tidak stabil dapat dapat terlepas selama pengujian. Oleh karena itu
peningkatan jumlah antibodi yang terikat tidak selalu berarti peningkatan
sensitivitas uji (Cantarero et al. 1980). Penggunaan serum dengan pengenceran
1:10 juga dilakukan dalam penelitian Kumar et al. (2010). Sehingga berdasarkan
hal tersebut, serum dengan pengenceran 1:10 digunakan dalam uji alergenisitas
ekstrak sampel selanjutnya.

4.3.2. Alergenisitas Ekstrak Protein Sarkoplasma dan Miofibril


Pengujian ini bertujuan untuk menguji kelayakan ekstrak protein sampel
udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau sebagai isolat protein alergen yang
dapat digunakan untuk uji diagnosis alergi. Isolat alergen yang dapat digunakan
untuk diagnosis alergi adalah isolat protein yang memiliki sensitivitas yang tinggi,
yang mampu berikatan dengan IgE serum subyek alergi. Pengujian dilakukan
dengan metode ELISA tidak langsung, dimana terjadi interaksi antara antigen
(ekstrak protein) dengan antibodi primer dari serum subyek alergi serta antibodi
sekunder yang berlabel enzim. Penggunaan antibodi sekunder (anti IgE berlabel
46
 

enzim HRP) berguna untuk mendeteksi interaksi spesifik antara antigen (ekstrak
protein) dengan antibodi serum alergi (IgE). Hasil yang diperoleh berupa
munculnya warna setelah pemberian subtrat TMB yang sesuai dengan konjugat
enzimnya, dan dibaca dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm.
Dimana kemudian hasil positif ditunjukkan dengan nilai absorbansi yang lebih
besar daripada nilai kontrol negatif. Kontrol negatif yang digunakan sebagai dasar
pembacaan merupakan rata-rata nilai absorbansi kontrol negatif ditambah dengan
2 kali standar deviasinya. Kontrol negatif dibuat dengan menginkubasi sampel
dengan serum subyek normal yang tidak menderita alergi berdasarkan sejarah
medisnya.
Pengujian ELISA dilakukan terhadap 20 serum responden yang berdasarkan
wawancara memiliki sejarah medis alergi makanan. Selain itu berdasarkan
pengujian total IgE sebelumnya, ke-20 serum tersebut dipastikan memang positif
menderita alergi. Rekaman sejarah alergi yang diderita masing-masing responden
dan hasil pengujian ELISA masing-masing ekstrak protein terhadap 20 serum
dapat dilihat pada Tabel 4. Perbandingan hasil uji ELISA dengan rekaman jenis
alergi yang diderita responden dilakukan dengan skoring. Responden mengaku
positif menderita alergi dan hasil uji ELISA juga menunjukkan positif maka diberi
skor 1. Responden mengaku positif menderita alergi dan hasil uji ELISA
menunjukkan negatif maka diberi skor 0. Responden mengaku negatif menderita
alergi dan hasil uji ELISA menunjukkan positif diberikan skor 0. Responden
mengaku negatif menderita alergi dan hasil uji menunjukkan negatif diberikan
skor 1.
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa hasil uji ELISA secara keseluruhan
menunjukkan bahwa masing-masing ekstrak protein sampel baik fraksi
sarkoplasma dan miofibril ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung mampu
mendeteksi IgE spesifik pada serum penderita alergi makanan laut. Sifat
alergenisitas ekstrak protein memberikan hasil yang berbeda pada serum subyek
yang berbeda. Perbedaan alergenisitas ini disebabkan oleh sifat dari antibodi IgE
masing-masing subyek. Bagian molekul antigen yang bereaksi dengan antibodi
atau dengan reseptor spesifik pada limfosit T disebut epitop dan yang menentukan
spesifitas reaksi antigen-antibodi. Jumlah epitop pada satu molekul antigen

46 
 
47
 

berbeda dengan jumlah epitop pada antigen yang lain. Sehingga hanya antigen
(ekstrak protein) yang mempunyai epitop yang sesuai yang dapat bereaksi spesifik
dengan molekul antibodi IgE. Struktur protein globular yang biasanya terdiri dari
14-21 residu asam amino menentukan terjadinya interaksi di daerah aktif
pengikatan antigen dan antibodi tersebut (Roitt dan Delves 2001).

Tabel 4. Perbandingan hasil uji ELISA dengan sejarah medis alergi masing
masing subyek
HASIL ELISA
Kode Riwayat alergi Skor
No
Subyek (Hasil wawancara) Su Mu St Mt Sk Mk perbandingan*

1 A Seafood + + + + + + 1
2 B Udang + + + + + + 0
3 C Seafood + - + + + - 1
4 D Udang - + - - - - 1
5 E Udang + + - - - - 1
6 F Kepiting,Udang + - + - + - 0
7 G Kerang - - - - + - 1
8 H Seafood + + + + - - 0
9 I Udang,ikan + + + - - - 1
10 J Seafood,Telur - - - - - + 0
11 K Kerang - + + + - + 0
12 L Udang + + - + + + 0
13 M Udang, Kepiting - + - - - - 1
14 N Udang + + - - - + 0
15 O Ikan - - - - + - 0
16 P Seafood + + - - + + 0
17 Q Udang,Ikan + - - - + - 0
18 R MSG - - - - - - 1
19 S Seafood - - - + + - 0
20 T Seafood - + - - - - 0
Keterangan :
- St : Sarkoplasma tongkol -Su: Sarkoplasma udang -Sk: Sarkoplasma kerang
-Mt: Miofibril tongkol -Mu: Miofibril udang -Mk: Miofibril kerang
*skor 1 : hasil wawancara (+), hasil uji ELISA (+);hasil wawancara (-), hasil uji ELISA (-)
skor 0 : hasil wawancara (+), hasil uji ELISA (-);hasil wawancara (-), hasil uji ELISA (+)

Tabel 4 menunjukkan hasil uji ELISA yang sesuai dengan rekaman sejarah
alergi responden (skor 1) terdapat hanya pada beberapa subyek saja. Seperti pada
subyek A yang berdasarkan wawancara mengaku memiliki alergi terhadap semua
jenis seafood, uji ELISA dari ekstrak protein udang, ikan tongkol dan kerang juga
48
 

memperlihatkan hasil yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa pada serum
subyek A tersebut memang mengandung IgE anti protein udang, tongkol dan
kerang. Kemudian terdapat kasus seperti subyek H (skor 0) yang mengaku
memiliki riwayat alergi makanan laut, namun hasil uji ELISA menunjukkan hanya
positif terhadap udang dan ikan tongkol. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan
bahwa subyek H kurang mengetahui secara pasti jenis alergi yang dideritanya.
Karena selama ini adanya persepsi bahwa seseorang yang mengalami reaksi alergi
terhadap satu jenis makanan laut maka akan mengalami alergi terhadap makanan
laut lainnya, sehingga hasil wawancara yang ada tidak cukup mewakili (Candra et
al. 2011). Kasus lain yang memiliki skor 0 yaitu seperti pada subyek N yang
mengaku memiliki alergi terhadap udang, namun uji ELISA menunjukkan hasil
positif juga terhadap protein miofibril kerang. Hal ini disebabkan adanya protein
alergen yang sama dalam udang dan kerang yang dapat bereaksi positif dengan
IgE serum subyek N. Penelitian Leung et al. (1996) menyatakan bahwa terjadinya
reaksi silang antara kelompok udang dan kerang-kerangan disebabkan adanya
epitop yang sama dalam alergen utamanya yaitu tropomiosin.
Reaksi yang positif terhadap protein ketiga sampel menunjukkan bahwa
didalam sampel udang, tongkol dan kerang mengandung protein alergen.
Sehingga dari segi penggunaan praktis, ekstrak protein dari ketiga sampel baik
fraksi sarkoplasma dan miofibril sudah dapat digunakan sebagai alergen untuk uji
kutanus.

4.3.2.1. Ikan Tongkol


Hasil uji ELISA terhadap alergenisitas protein ikan tongkol menunjukkan
bahwa ekstrak protein baik fraksi sarkoplasma dan miofibril mampu berikatan
spesifik dengan IgE beberapa serum subyek penderita alergi makanan laut dan
sesuai dengan sejarah medis subyek alergi tersebut. Uji ELISA terhadap 20
subyek penderita alergi, diketahui hanya 5 orang subyek (A, B, C, H dan K) yang
menunjukkan IgE spesifik yang tinggi yang dapat berikatan dengan protein fraksi
miofibril dan sarkoplasma ikan tongkol. Hal ini ditunjukkan dari rata-rata nilai
absorbansi (nilai OD) lima serum tersebut lebih tinggi dibandingkan kontrol
negatif (Gambar 11). Terhadap lima subyek tersebut, fraksi protein sarkoplasma
ikan tongkol lebih bersifat alergen daripada fraksi miofibril. Alergenisitas

48 
 
49
 

tertinggi terlihat pada subyek A, dengan rata-rata nilai absorbansi interaksi protein
sarkoplasma dengan IgE serum lebih tinggi (OD= 0.546) dibandingkan dengan
protein miofibril (OD= 0.537). Hamada et al. (2003) melakukan penelitian
terhadap jenis protein alergen pada ikan mackarel dan ditemukan bahwa
parvalbumin merupakan alergen mayor yang terdapat dalam protein sarkoplasma
dengan berat molekul 12 kDa. Selain pervalbumin, terdapat tiga kelas protein
yaitu kolagen yang terdiri dari 100 kDa rantai α (Sakaguchi et al. 2000), aldehid
pospatdehidrogenase 41 kDa (Das Dores et al. 2002) dan transferin dengan berat
molekul 94 kDa (Kondo et al. 2006) diidentifikasi sebagai protein alergen ikan.

Gambar 11. Hasil uji ELISA protein ikan tongkol terhadap 20 serum subyek(A-T)
(A)fraksi sarkoplasma; (B)fraksi miofibril

Sebanyak 11 subyek menunjukkan hasil negatif terhadap kedua fraksi


protein ikan tongkol. Hal ini terlihat dari rata-rata nilai absorbansi interaksi kedua
protein terhadap IgE serum subyek tersebut lebih rendah dibanding dengan
kontrol (Gambar 11). Nilai absorbansi yang rendah menunjukkan rendahnya
50
 

reaktivitas IgE spesifik serum tersebut dengan protein dari fraksi sarkoplasma dan
miofibril ikan tongkol.
Selain itu, dari hasil uji pada Gambar 11 juga dapat diketahui bahwa hanya
2 subyek (F dan I) yang serumnya memiliki IgE anti protein sarkoplasma ikan
tongkol. Dua subyek lain yaitu subyek L dan S hanya menunjukkan hasil positif
terhadap protein miofibril ikan tongkol. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak
protein ikan tongkol baik fraksi sarkoplasma maupun miofibril bersifat alergen
dan dapat berikatan spesifik dengan IgE serum subyek. Perbedaan alergenisitas
protein sarkoplasma dan miofibril ini terjadi karena setiap IgE individu yang
berbeda memiliki sisi pengikatan yang berbeda pula terhadap antigen tertentu
(Bellanti 1993).

4.3.2.2. Kerang Hijau


Hasil uji alergenisitas protein sarkoplasma dan miofibril kerang hijau
terhadap 20 serum subyek alergi menunjukkan bahwa terdapat 5 serum subyek
yang bereaksi terhadap kedua fraksi protein kerang hijau tersebut. Kelima serum
tersebut berasal dari subyek A, B, I, L, dan P. Alergenisitas paling kuat dari fraksi
protein sarkoplasma diperlihatkan pada subyek A (OD= 0.525), sedangkan fraksi
protein miofibril berinteraksi paling kuat terhadap serum subyek L (OD= 0.738).
Hal ini menunjukkan bahwa subyek A mengandung lebih banyak IgE spesifik
yang dapat berikatan dengan protein sarkoplasma kerang hijau. Shiomi et al.
(2009) dengan uji ELISA melaporkan bahwa protein dari 4 spesies siput dan 7
spesies kerang bersifat alergenik dan komponen alergen mayor diidentifikasi
sebagai tropomiosin. Hasil uji ELISA reaktifitas dua fraksi protein kerang hijau
dapat dilihat di Gambar 12.
Gambar 12 memperlihatkan hasil uji terhadap 7 serum dari subyek D, E, H,
M, R, dan T yang memberikan nilai rata-rata absorbansi lebih rendah daripada
kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa didalam serum subyek tersebut
jumlah IgE spesifik yang rendah terhadap fraksi protein sarkoplasma dan miofibril
kerang hijau. Sehingga dapat dikatakan bahwa protein sarkoplasma dan miofibril
tidak memiliki sifat alergenik terhadap 7 serum tersebut.

50 
 
51
 

Gambar 12. Hasil uji ELISA protein kerang hijau terhadap 20 serum subyek (A-T)
(A)fraksi sarkoplasma; (B)fraksi miofibril

Berdasarkan data hasil wawancara riwayat alergi masing-masing subyek


(Tabel 4), subyek G dan K diketahui memiliki alergi terhadap kerang. Hasil uji
ELISA ekstrak protein kerang hijau terhadap kedua serum subyek tersebut
menunjukkan bahwa ekstrak protein kerang hijau memang bersifat alergenik
terhadap dua serum subyek G dan K. Fraksi sarkoplasma kerang hijau bersifat
alergenik pada serum subyek G, sedangkan fraksi miofibril bersifat alergenik
terhadap serum subyek K. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kedua fraksi ekstrak
protein kerang hijau mengandung komponen protein alergen, sehingga untuk
penggunaan ekstrak sebagai isolat alergen dapat dilakukan dengan mengekstrak
protein secara keseluruhan. Hal ini juga ditunjang dari segi praktis
penggunaannya, karena dalam konsumsi sehari-hari belum ditemukan pemisahan
kedua fraksi protein tersebut.
52
 

4.3.2.3. Udang Jerbung


Penentuan alergenisitas protein sarkoplasma dan miofibril udang jerbung
didasarkan pada nilai absorbansi interaksi antigen (ekstrak protein) dengan IgE
serum pengenceran 1:10 dapat dilihat pada Gambar 13. Dimana dari hasil tersebut
dapat diketahui bahwa alergenisitas protein udang berbeda pada serum subyek
yang berbeda. Perbedaan alergenisitas protein udang ini pada beberapa subyek
dapat disebabkan oleh sifat dari IgE masing-masing subyek. Menurut Bellanti
(1993), daerah antibodi aktif molekul imunoglobulin ditentukan oleh rangkaian
asam amino. Individu yang berbeda akan mempunyai IgE yang berbeda
tergantung pada antigen mana yang dapat mensensitisasi sel plasma pembentuk
antibodi. Dengan demikian akan memiliki daerah antibodi aktif yang berbeda,
sehingga hanya antigen (protein alergen) yang mempunyai sisi aktif yang sama
yang dapat bereaksi dengan IgE tersebut.

Gambar 13. Hasil uji ELISA protein udang jerbung terhadap 20 serum subyek (A-T)
(A)fraksi sarkoplasma; (B)fraksi miofibril

52 
 
53
 

Dari hasil uji ELISA (Gambar 13) menunjukkan bahwa dari 20 subyek yang
diuji hanya 7 subyek yang memberikan hasil positif alergi terhadap kedua fraksi
protein udang jerbung (sarkoplasma dan miofibril) yaitu subyek A, B, E, H, L, N
dan subyek P. Alergenisitas protein udang paling kuat terlihat pada subyek L yang
terlihat dari rata-rata nilai absorbansi yang lebih tinggi dibanding subyek lainnya.
Nilai absorbansi interaksi protein miofibril dengan IgE serum subyek L lebih
tinggi (OD= 1.681) daripada fraksi protein sarkoplasma (OD= 0.935). Semakin
besar nilai absorbansi berarti semakin banyak kompleks yang terbentuk.
Sementara kompleks yang terbentuk menunjukkan kandungan IgE dalam serum
yang bereaksi dengan protein udang, baik fraksi sarkoplasma maupun miofibril.
Zakaria et al.(1998) dengan metode ELISA melaporkan bahwa ekstrak protein
sarkoplasma dan miofibril udang putih juga dapat berinteraksi dengan IgE serum
subyek alergi, dimana protein miofibril lebih bersifat alergenik. Data hasil ELISA
alergenisitas protein udang jerbung secara lengkap disajikan pada Lampiran 10a.
Selain itu dapat diketahui juga bahwa 5 serum subyek (G, I, J, O, dan R)
memberikan hasil negatif terhadap uji alergenisitas kedua fraksi protein udang
jerbung. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya reaktivitas IgE serum tersebut
terhadap protein kedua fraksi udang. Hasil uji penentuan total IgE menunjukkan
bahwa serum keenam subyek tersebut memiliki kandungan IgE yang lebih tinggi
dibandingkan serum subyek normal. Bellanti (1993) menyatakan bahwa IgE
setiap individu memiliki sisi pengikatan yang berbeda, sehingga hanya antigen
yang memiliki sisi pengikatan sesuai dengan antibodi yang dapat beraksi
dengannya. Hal ini juga yang menjelaskan terjadinya perbedaan alergenisitas
protein sarkoplasma dan miofibril udang pada subyek C, F, Q dan subyek D, K,
M, S, T. Dimana serum tiga subyek (C, F, Q) memberikan hasil positif terhadap
protein sarkoplasma udang dan lima serum (D, K, M, S, T) yang memberikan
hasil positif terhadap protein miofibril udang. Yuliarni (1998) dengan metode
yang sama melaporkan bahwa ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril udang
windu juga dapat berinteraksi dengan IgE serum subyek alergi. Jenis protein yang
bersifat alergenik yang diidentifikasi dalam fraksi miofibril udang adalah
tropomiosin yang memiliki berat molekul 34-38 kDa (Lehrer et al. 2003), arginin
54
 

kinase 40 kDa (Yu et al. 2003), sarcoplasmic calcium binding protein (SCP) dan
myosin light-chain (Ayuso et al. 2008).

4.4. Profil Protein Alergenik Ekstrak Protein Sarkoplasma dan Miofibril


dengan Metode Immunoblotting
Tujuan immunoblotting dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis
protein alergen dalam masing-masing ekstrak sampel yang dapat memicu alergi
pada individu yang berbeda. Metode immunoblotting digunakan untuk melihat
interaksi antara antigen (protein alergen) dan antibodi, sehingga dapat diketahui
protein dengan berat molekul tertentu yang bersifat alergenik dari fraksi
sarkoplasma maupun miofibril udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau.
Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya kompleks protein dengan antibodi
(IgE) yang berwarna coklat pada membran nitroselulosa. Hal tersebut
menunjukkan bahwa protein yang terikat secara spesifik dengan antibodi (IgE)
dalam serum penderita alergi adalah protein alergen.
Teknik immunoblotting dilakukan dengan mentransfer pita protein pada gel
SDS PAGE ke membran nitroselulosa. Marck (1995) menyatakan bahwa
nitroselulosa merupakan membran yang paling umum digunakan untuk blotting.
Membran ini mempunyai kapasitas mengikat protein sebesar 80 µg/cm2. Ukuran
pori yang digunakan adalah 0.45 µm, dengan ukuran pori yang kecil ini
diharapkan jumlah protein yang hilang pada saat transfer kecil.
Untuk meningkatkan efisiensi pengikatan protein yang didenaturasi pada
membran nitroselulosa, ditambahkan metanol 20% ke dalam bufer transfer. Proses
transfer terjadi selama 1,5 jam pada tegangan 90 volt. Voltase yang terlalu tinggi
pada proses transfer dapat menyebabkan kerusakan sampel karena meningkatnya
panas dalam sistem. Setelah proses transfer selesai, membran nitroselulose
kemudian diblok dengan susu skim 5% untuk menutupi seluruh membran yang
tidak terikat protein, sehingga terjadinya pengikatan non spesifik dapat dihindari.
Serum yang digunakan dalam uji immunoblotting yaitu serum subyek A, B,
H, L dan P. Serum yang mengandung IgE spesifik ini kemudian ditambahkan ke
membran dan diinkubasi selama 1 jam dan dicuci dengan PBST selama 3 kali.
Pencucian berguna untuk menghilangkan SDS dari protein sehingga protein yang
terdenaturasi oleh SDS dapat kembali ke struktur semula. Selanjutnya dilakukan

54 
 
55
 

penambahan anti IgE manusia dengan konjugat HRP, dan diinkubasi selama 1 jam
lalu dicuci dan ditambahkan substrat DAB (3,3´-diaminobenzidine
tetrahydrochloride). Hasil positif akan ditandai dengan terbentuknya warna coklat
pada komponen yang bersifat alergen. Hasil immunoblotting pada lima serum
yang berbeda diperlihatkan pada Gambar 14. Rincian berat molekul komponen
penyebab alergi dari masing-masing ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 11.

H L P B
Mk Sk Mu Su Mt St Mk Sk Mu Su Mt St Mk Sk Mu Su Mt St

Keterangan :
- St : Sarkoplasma tongkol -Su: Sarkoplasma udang -Sk: Sarkoplasma kerang
-Mt: Miofibril tongkol -Mu: Miofibril udang -Mk: Miofibril kerang
Gambar 14. Imunoblotting protein udang jerbung, ikan tongkol dan kerang
hijau (A) serum subyek A dan B; (B) Serum H, L dan P

Hasil uji terhadap 5 serum (A, B, H, L dan P) diketahui bahwa


immunoblotting ekstrak protein sarkoplasma udang jerbung dapat
mengidentifikasi 12 protein yang berikatan dengan IgE. Protein tersebut memiliki
berat molekul berkisar 27-84 kDa. Komponen protein utama dalam ekstrak
56
 

sarkoplasma udang yang dapat mengikat IgE pada masing-masing subyek


berbeda-beda. Dimana pada subyek A komponen protein ekstrak sarkoplasma
yang dapat bereaksi dengan IgE adalah komponen dengan berat molekul 54.34
kDa, sedangkan pada subyek B adalah komponen berberat molekul 56.87 kDa.
Komponen protein ekstrak sarkoplasma udang yang dapat berikatan dengan IgE
serum subyek L dan P terlihat lebih banyak, dengan satu komponen dominan
yaitu berberat molekul 30.56 kDa. Berdasarkan data jenis alergen yang terdaftar
dalam IUIS (Lampiran 7), komponen dengan berat molekul ini (30.56 kDa)
diidentifikasi sebagai triosephospate isomerase (~28 kDa). Selain itu juga
diketahui munculnya jenis alergen arginin kinase dengan berat molekul 40 kDa
yang berikatan dengan IgE serum subyek L. Garcia-Orozco et al. (2007)
melakukan karakterisasi protein udang putih (Litopenaeus vannamei) dengan
imunoblotting dan hasilnya menunjukkan bahwa protein 40 kDa yang
diidentifikasi sebagai arginin kinase mampu berikatan dengan IgE serum
penderita alergi udang. Alergen yang diberi nama Lit v 2 ini ditemukan pertama
kali pada spesies udang Litopenaeus vannamei dan memiliki kemiripan 96%
dengan alergen Pen m 2 dari Penaeus monodon.
Immunoblotting ekstrak protein miofibril udang jerbung mengidentifikasi 13
protein pengikat IgE, dengan berat molekul berkisar antara 15-107 kDa. Dimana
komponen protein yang diketahui menyebabkan alergi pada kelima serum subyek
berbeda-beda. Komponen dengan berat molekul 36 - 39 kDa yang dapat berikatan
dengan kelima serum subyek diidentifikasi sebagai tropomiosin yang merupakan
jenis alergen mayor pada udang (Lehrer et al. 2003). Namun selain komponen
tersebut terdapat komponen lain, seperti komponen dengan berat molekul 52.08
kDa, 78.7 kDa dan ~100 kDa yang juga dapat menyebabkan alergi pada subyek
berbeda. Meskipun belum terdapat penelitian yang melaporkan adanya alergen
dengan berat molekul tersebut, terdapat penelitian imunoblotting lain yang
mengidentifikasinya sebagai minor alergen pada udang jenis Penaeus monodon
(Sahabudin et al. 2011). Komponen yang diidentifikasi sebagai myosin light chain
dengan berat molekul 15.18 kDa juga muncul sebagai alergen pada subyek L.
Gambar 14 menunjukkan bahwa terdapat beberapa komponen dalam ekstrak
sarkoplasma dan miofibril ikan tongkol yang diidentifikasi sebagai protein

56 
 
57
 

alergen. Dari kelima subyek yang diuji, hanya subyek A dan L menunjukkan
terjadinya pengikatan IgE dengan komponen protein dalam ekstrak sarkoplasma
ikan tongkol. Komponen dengan berat molekul 54.43 kDa diidentifikasi sebagai
alergen pada serum subyek A. Sedangkan sebanyak 5 komponen protein
sarkoplasma tongkol yang dapat berikatan dengan IgE subyek L yaitu dengan
berat molekul 19.57 kDa, 24.43 kDa, 28.86 kDa, 36.65 kDa dan 91.82 kDa.
Beberapa komponen alergen juga diidentifikasi dalam ekstrak protein
miofibril ikan tongkol yaitu dengan berat molekul berkisar 27 – 38 kDa.
Komponen dengan berat molekul 38.64 kDa diidentifikasi sebagai alergen
terhadap serum subyek P namun tidak terhadap serum subyek L. Hamada et al.
(2003) melaporkan bahwa jenis protein alergen mayor pada ikan adalah
parvalbumin dengan berat molekul 12 kD, kolagen (100 kDa), aldehid phospatase
(41 kDa), dan transferin pada 94 kDa. Meskipun beberapa jenis alergen mayor
tersebut tidak muncul dalam pengujian ini, penelitian Misnan et al. (2005) dengan
metode imunoblotting melaporkan adanya komponen protein ~50 kDa sebagai
alergen mayor dalam ikan tenggiri batang (Scomberomorus commerson).
Komponen protein lain yang berpotensi alergenik juga terdeteksi dengan berat
molekul 125 , 60, 46, 38, 36 dan 26 kDa.
Berdasarkan hasil elektroforesis SDS-PAGE diketahui bahwa ekstrak
sarkoplasma dan miofibril kerang terdiri dari berbagai jenis komponen protein.
Namun hanya sedikit komponen yang bersifat alergenik (Porcel et al. 2001).
Berdasarkan imunoblotting terhadap 5 serum subyek, dapat diketahui jenis
komponen yang bersifat alergenik. Dimana terlihat bahwa hanya IgE dari serum
subyek L dan P yang mampu berikatan dengan protein dalam ekstrak sarkoplasma
kerang. Sedangkan komponen dalam ekstrak protein miofibril kerang dapat
mengikat IgE yang berasal dari serum subyek A, L dan P.
Komponen ekstrak protein sarkoplasma kerang yang memiliki sifat
alergenik terhadap subyek L dan P memiliki berat molekul berkisar dari 28 – 78
kDa. Sedangkan sebanyak 4 komponen ekstrak protein miofibril kerang yang
dominan bersifat alergenik yaitu dengan berat molekul 28.61 kDa, 29.88 kDa,
32.96 kDa dan 93.5 kDa. Data berat molekul komponen yang bersifat alergenik
dapat secara lengkap dilihat pada Lampiran 11. Penelitian Leung et al. (1996)
58
 

yang menguji reaktivitas silang komponen alergen dalam udang dan kerang-
kerangan, melaporkan bahwa tropomiosin merupakan alergen mayor yang dapat
bereaksi silang pada beberapa jenis produk laut kelompok moluska dan crustacea.
Secara keseluruhan, hasil immunoblotting menunjukkan bahwa ketiga jenis
ekstrak protein produk laut tersebut mengandung komponen yang bersifat
alergenik. Namun jenis komponen penyebab alergi (alergen) pada tiap-tiap
individu berbeda. Perbedaan alergenisitas ini disebabkan jumlah epitop yang
terdapat dalam satu alergen lebih dari satu dan berbeda dengan jumlah epitop pada
alergen yang lain (Huby et al. 2000). Jumlah epitop dalam suatu alergen akan
menentukan spesifitas pengikatan terhadap IgE, sehingga hanya alergen yang
memiliki epitop yang sesuai yang dapat bereaksi spesifik dengan molekul IgE
tersebut. Penelitian Maleki et al. (2010) juga menunjukkan bahwa pengikatan IgE
terhadap alergen dalam suatu ekstrak bervariasi antar individu, hal ini berarti
bahwa adanya satu jenis alergen dalam masing-masing ekstrak tidak akan dikenali
sama oleh IgE individu yang berbeda. Oleh karena itu untuk keperluan diagnostik,
baik ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril dapat digunakan untuk uji tusuk
dalam bentuk crude tanpa harus mengisolasi komponen alergennya.

58 
 
60

5. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan
Isolasi protein sarkoplasma dan miofibril dari ikan tongkol, kerang hijau dan
udang jerbung dilakukan dengan ekstraksi menggunakan larutan bufer kekuatan
ion yang berbeda. Hasil ekstraksi ketiga sampel menunjukkan bahwa kadar
protein sarkoplasma sampel udang, ikan tongkol dan kerang hijau berturut-turut
adalah 1.154 mg/ml, 1.269 mg/ml dan 0.691 mg/ml. Kadar protein miofibril
dalam bufer untuk ketiga sampel tersebut adalah 0.627 mg/ml, 0.878 mg/ml dan
0.176 mg/ml.
Hasil elektroforesis SDS-PAGE ekstrak protein ikan tongkol menunjukkan
bahwa fraksi protein sarkoplasma terdiri dari 13 jenis protein dengan berat
molekul berkisar dari 14.65 – 117.06 kDa. Ekstrak protein miofibril tersusun dari
15 jenis protein dengan berat molekul berkisar dari 14.62 - 107.28 kDa. Protein
sarkoplasma kerang hijau terdiri dari 11 jenis yang memiliki 4 protein dominan
dengan berat molekul 33.85 kDa, 39.56 kDa, 50.87 kDa dan 59.45 kDa. Protein
miofibril kerang hijau terdiri dari 5 jenis protein yang memiliki berat molekul
berkisar dari 15.18 kDa – 136.21 kDa dengan 2 protein dominan yaitu dengan
berat molekul 136.21 kDa dan 93.51 kDa. Selain itu, juga diketahui bahwa jenis
protein penyusun fraksi sarkoplasma udang jerbung lebih banyak dibandingkan
dengan fraksi miofibril. Dari 22 jenis protein penyusun fraksi protein
sarkoplasma udang jerbung, diketahui terdapat 4 protein yang dominan dengan
berat molekul 19.2 kDa, 45.47 kDa, 91.4 kDa dan 56.91 kDa. Protein miofibril
udang jerbung memiliki 3 protein yang dominan yaitu 38.19 kDa, 100.77 kDa dan
15.18 kDa.
Hasil uji ELISA menunjukkan bahwa 20 serum subyek penderita alergi
mengandung IgE. Pengujian alergenisitas ekstrak protein dari ketiga sampel
terhadap 20 serum subyek tersebut menunjukkan kemampuan mendeteksi IgE
spesifik pada serum penderita alergi makanan laut dan sesuai dengan sejarah
medis masing-masing subyek alergi. Lima serum subyek A, B, H, L dan P
memberikan hasil uji positif ELISA terbanyak terhadap fraksi protein ketiga
sampel (udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau).
60

Kemampuan ekstrak protein dari ketiga sampel untuk mendeteksi IgE


spesifik pada serum penderita alergi makanan laut menunjukkan bahwa ekstrak ini
cukup sensitif dan berpotensi untuk digunakan sebagai isolat alergen dalam
diagnosis alergi, seperti uji tusuk atau SPT (skin prick test).
Hasil immunoblotting ekstrak protein ikan tongkol, kerang hijau dan udang
jerbung memperlihatkan adanya komponen protein yang bersifat alergenik
terhadap 5 serum subyek alergi (A, B, H, L dan P). Komponen protein yang
menyebabkan reaksi alergi pada tiap-tiap individu berbeda-beda. Penggunaan
untuk tujuan diagnosis berupa uji tusuk, ekstrak protein dapat digunakan langsung
tanpa harus mengisolasi komponen alergennya.

5.2. Saran
Perlu dilakukan modifikasi teknik ekstraksi protein sarkoplasma dan miofibril
sehingga diperoleh rendemen ekstrak yang lebih tinggi. Perlu dilakukan kajian
lebih lanjut mengenai sekuen asam amino penyusun protein yang diidentifikasi
sebagai alergen. Selain itu, untuk dapat digunakan sebagai isolat alergen, ekstrak
protein ini perlu diproduksi dalam jumlah besar dan perlu diujikan terlebih dahulu
pada pasien alergi oleh dokter.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. 2000. Laboratory techniques commonly used
in immunology. Dalam: Cellular and molecular immunology 4th ed.
Philedelpia: WB Sounders Co.hlm 515-528.

Adelman DC, Casale TB, Corren J. 2002. Manual of Allergy & Immunology, Ed
KE-4. California: Lippincot Williams & Wilkins.

Afolabi AS, Thottappilly G. 2008. Comparative studies on alkaline phosphatase


(ALP), alkaline phosphatase amplification (AMP) horseradish peroxidase
(HRP), penicillinase (PNC) and avidin –biotin penicillinase amplification
ELISA in detection of maize streak virus (MSV) in maize plants and
Cicadulinambila (leafhoppers) insect vector. Scientific Research and
Essay 3(11):524-530.

Ahmed H. 2005. Principle and reaction of protein extraction, purification and


characterization. America: CRC Press LLC.

ALLSA [Allergy Society of South Africa]. 2008. Seafood Allergy. Current


Allergy & Clinical Immunology 21:1.
http://www.allergysa.org/C_OL_Food_017.asp [19 Maret 2011].

AOAC [Analysis of the Asociation of Official Agriculture Chemistry]. 1995.


Microchemical Agricultural Products. New York: VCH Pub Inc.

Ashorn P dan Kohrn K. 1986. Washing of ELISA plates with running tap water. J.
Immunol. Method 88:141-142.

Ayuso R, Grishina G, Bardina L, Carrillo T, Blanco C, Ibanez MD. 2008. Myosin


light chain is a novel shrimp allergen, Lit V 3. J Allergy Clin Immunol
122(4): 795-802.

Ayuso R, Grishina G, Ibanez MD, Blanco C, Carrillo T, Bencharitiwong R,


Sanchez S, Wegrzyn AN, Sampson HA. 2009. Sarcoplasmic calcium-
binding protein is an EF-hand-type protein identified as a new shrimp
allergen. J Allergy Clin Immunol 124(1):114-120.

Bachrudin Z. 1999. Petunjuk Laboratorium: Isolasi, Identifikasi dan Pewarnaan


Protein. Yogyakarta: PAU Bioeknologi UGM.

Bellanti JA. 1993. Imunologi III. Terjemahan. Yogyakarta : Gajah Mada


University Press

Benjakul S, Vissesanguan W, Leelapongwatana K. 2002. Characteristics of


muscle from two species of bigeye snapper, Priacanthus tayenus and
Priacanthus macracanthus. Journal of Food Biochemistry 26:307-326.
62 
 

Binsi PK, Shamasundar BA, Dileep AO. 2006. Some physico-chemical,


functional and rheological properties of actomyosin from green mussel
(Perna viridis). Food Research International 39:992-1001.

Birkeland S, Bjerkeng B. 2004. Extractabilitiesnof astaxanthin and protein from


muscle tissue of Atlantic salmon (Salmo salar) as affected by brine
concentration and pH. Food Chemistry 85:559-568.

Black JG. 1999. Microbiology Principle and Exploration. Ed ke-4. New York:
John Wiley and Sons, Inc.

Bollag DM, Edelstein SJ. 1991. Protein Methods. New York: John Wiley and
Sons, Inc.

Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for quantitation of microgram
quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding. Anal
Biochem 72:248-254.

Burgess GW. 1995. Teknologi ELISA dalam diagnosis dan penelitian. Artama
WT,penerjemah. Yogyakarta:Gajah Mada University Press. Terjemahan
dari : ELISA technology in diagnosis and research.

Bush RK, Hefle SL. 1996. Food Allergens. Critical reviews in Food Science and
Nutrition. 36:S119-163.

Candra Y, Setiarini A & Rengganis I. 2011. Gambaran sensitivitas terhadap


alergen makanan. Makara Kesehatan.15(1):44-50.

Cantarero L A, Butler J E, dan Osborne JW. 1980. The binding characteristics of


protein for polystyrene and their significance in solid-phase
immunoassays. Analytical Biochemistry 105:375-382.

CFIA [Canadian Food Inspection Agency]. 2010. Seafoods (Fish, Crustaceans


and Shellfish).
http://www.inspection.gc.ca/english/fssa/labeti/allerg/fispoie.pdf [19
Maret 2011].

Chaijan M, Benjakul S, Visessanguan W, Faustman C. 2004. Characteristics and


gel properties of muscle from sardine (Sardinella gibbosa) and mackerel
(Restralliger kanagurta) caught in Thailand. Food Research
International 37:1021-1030.

Clark S, Bock SA, Gaeta TJ, Brenner BE, Cydulka RK, Camargo CA. 2004.
Multicenter study of emergency department visits for food allergies.
J Allergy Clin Immunol 113:347-52.

Crowther J R. 2009. The ELISA Guidebook. Second Edition. Austria: Humana


Press.
63
 

Das Dores S, Chopin C, Villaume C, Fleurence J dan Gueant JL. 2002. IgE-
binding and cross-reactivity of a new 41 kDa allergen of codfish. Allergy
57(72):79-83.

FAAN [The Food Allergy & Anaphylaxis Network]. 2010. Food Allergens.
http://www.foodallergy.org/section/common-food-allergens1 [19
Februari 2011].

Fossceco SL, Knoll Pharmaceutical Company, NJ Whippany and Curtis NA.


2007. Exploring Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Data
with the SAS: Analyst Aplication. USA: SAS Institute Inc., Cary, NC

Fritz H dan G Wunderer. 1983. Biochemistry and Applications of Aprotinin.


Arzneim- Forsch/Drug Research 33(1): 479-494.

Fujinoki M, Ueda M, Inoue T, Yasakuwa N, Inoue R, Takagi TI. 2006.


Heterogenity and tisue specifity of tropomyosin isoform from four
species of bivalves. Comparative Biochemistry and Physiology Part B:
Biochemistry and Moleculer Biology 143(4): 500-506.

Garcia-Orozco KD, Aispuro-Hernandez E, Yepiz-plascencia G, Calderon-de-


laBarca AM, Sotelo-Mundo RR. 2007. Molecular characterization of
arginin kinase, an allergen from the shrimp Litopenaeus vannamei. Int
Arch Allergy Immunol 144(1):23-28.

Garn H, Renz H. 2007. Epidemiological and Immunological evidence for the


hygiene hypothesis. Immunobiology 212(6):441-452.

Groce V. 2007. Double Blind Placebo-Controlled Food Challenge.


http://foodallergies.about.com/od/diagnosingfoodallergies/p/foodchallen
ges.htm. [15 juni 2011].

Hamada Y, Nagashima y and Shiomi K. 2001. Identification of collagen as a new


fish allergen. Bioscience, Biotechnology and Biochemistry 65(2):285-
291.

Hamada Y, Tanaka h, Ishizaki S, Ishida M, Nagshima Y and Shiomi K. 2003.


Purification reactivity with IgE and cDNA cloning of parvalbumin as the
major allergen of mackarels. Food and Chemical Toxicology 41(8):1149-
1156.

Hashimoto K, Watabe S, Kono M, Shiro K. 1979. Muscle protein composition of


sardine and mackerel. Bulletin of the Japanese Society of Scientific
Fisheries 45(11):1435-1441.

Hasyimi R, Widjaja R, Kurniawan L. 1992. Kadar IgG dan IgM pada bentuk
tuberkoloid dan lepromatous dari penyakit lepra. Cermin Dunia
Kedokteran 75:21-25.
64 
 

Houben GF dan AH Peninks. 1996. Evaluation of the allergenicity food protein-


current testing possibilities and new development focused on the role of
gastrointestinal tract physiology. In Food allergies and intolerance:
symposium. Ed. New York: G.Eisenvrand et al. VCH Publisher Inc.

Huby RDJ, Dearman RJ, Kimber I. 2000. Why are some protein allergens?.
Toxicological Science 55:235-246.

Hultin HO, Feng YM & Stanley DW. 1995. A re-examination of muscle protein
solubility. Journal of Muscle Foods. 6:91-107.

Ishikawa M, Shimakura K, Nagashima Y, Shiomi K. 1997. Isolation and


properties of allergenic proteins in oyster Crassostrea gigas. Fisheries
science 63: 610-614.

Ispurwanto. 1998. Telaah sifat alergenisitas protein udang putih (Penaeus


merguensis) untuk produksi isolat alergen [skripsi]. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Jarvis D, Burney R. 2004. Diagnosing allergy. Di dalam: Durham ES, editor. ABC
of Allergies. London: BMJ Publishing, hlm. 4-7.

Kemeny DM. 1991. A Practical Guide to ELISA. New York: Pergamon press.

Kondo Y, Kamatsubaa R, Nakajima Y, Yasuda T, Kakami M, Tsuge L. 2006.


Parvalbumin is not responsible for cross-reactivity between tuna nad
marlin. A case report. Journal of Allergy and Clinical Immunology
44:335-344.

Kresno SB. 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta :


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Kuby J. 2007. Immunology. Edisi ke-5. New York : WH Freeman.

Kuncoro EB, Wiharto FEA. 2009. Ensiklopedia Populer Ikan Laut. Yogyakarta :
Lili Publisher.

Kumar R, Kumari D, Srivastava P, Khare V, Fakhr H, Arora N, Gaur S N, Singh


BP. 2010. Identification of IgE-Mediated Food Allergy and Allergen in
Older Childreen and Adults with Asthma and Allergic Rhinitis. The
Indian Jornal of Chest Disease & Allied Sciences.52:217-224.

Ladrat C, Verrez-Bagnis V, Noel J, Fleurence J. 2003. In vitro proteolysis of


myofibrillar and sarcoplasmic proteins of white muscle of sea bass
(Dicentrarchus labrax L.): effects of cathepsin B, D and L. Food
Chemistry 81: 517-525.
65
 

Laemmli UK.1970. Cleavage of Structural Protein During the Assembly of the


Head of Bacteriophage T4. Nature 227:680-685.

Lehrer SB, Ayuso R, Reese G. 2003. Seafood allergy and allergens : a review.
Mar Biotechnol 5(4):339-348.

Leung PSC, Chow WK, Duffey S, Kwan HS, Gershwin ME, Chu KH. 1996. IgE
reactivity against a cross-reactive allergen in crustacea and mollusca:
Evidence for tropomyosin as the common allergen. J Allergy Clin
Immunol 8(8): 954-961.

Leung PSC, Chen YS, Gershwin ME, Wogn SH, Kwan HS, Chu KH. 1998.
Identification and molecular characterization of Charybdis feriatus
tropomyosin, the major crab allergen. J Allergy Clin Immunol
102(5):847-852.

Lopata AL, & Potter PC. 2000. Allergy and other adverse rection to seafood.
Allergy Clin.Immunol.Int. 12(6):271-281.

Lu XZ, Liu XM, Yang XG. 2005. Preliminary survey on status of food allergy in
young Chinese students. Chinese Journal of Food Hygiene 2:119-121.

Malcolm K. 1995. Preparasi antigen-pelapisan matrik padat. Di dalam G.W.


Burges (ed). Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Maleki SJ, Casillas AM, Kaza U, Wilson BA, Nesbit JB, Reimoneqnue C, Cheng
H, Bahna SL. 2010. Differences among heat-treated, raw, and
commercial peanut extracts by skin testing and immunoblotting. J
Allergy Clin Immunol 105:451-457.

Marck S. 1995. Immunoblotting. Di dalam G.W. Burges (ed). Teknologi ELISA


dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.hlm 70.

Misnan R, Murad S, Arip M, Abdullah N & Mohamed J. 2005. Characterization


of Immunoglobulin E-Binding Protein (IgE) of Scomberomorus
commerson Lacepede. Journal Sains Kesehatan Malaysia 3(2):7-87.

Motoyama K, Ishizaki S, Nagashima Y, Shiomi K. 2006. Chepalopod


tropomyiosin : Identification as major allergens and molecular cloning.
Food and Chemical Toxicology 44: 1997-2002.

Mygind N, Dahl R, Pedersen S, Thestrup-Pedersen K. 1994. Skin testing, the


cornestone in allergy diagnosis. Di dalam: Mygind N, Dahl R, Pedersen
S, Thestrup-Pedersen K, editor. Essential Allergy, edisi ke-2. Blackwell
Science. hlm. 111-116.
66 
 

Naamin N, Badruddin. 1992. Eksplorasi Sumberdaya Hayati Laut Dan


Prospeknya Dibidang Perikanan. Makalah Pada Stadium General Dies
Natalis II HIMITEKA. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.

NIMPIS [National Introduced Marine Pest Information System]. 2002. Asian


Green Mussel. http://crimp.marine.csiro.au/nimpis.[19 Februari 2011].

Noverina A. 2008. Awas Alergi Bisa Mengubah Perilaku. www.Edu-kidz.com


[19 Februari 2011].

Paredi M E, Maltio NV, Crupkin M. 1990. Biochemical properties of actomyosin


of cold storage striated adductor muscles of Aulacomya ater ater
(Molina). Journal of Food Science 55:1567-1570.

Porcel S, Leon F, Cumplido J, Cuevas M, Guimarens D & Conde-Salazar L.


2001. Contact urticaria caused by heat-sensitive raw fish allergens.
Contact Dermatitis 45:139-142.

Roitt IM, Delves PJ. 2001. Essential Immunology. 10th Ed. London: Blackwell
Science.

Romero MC, Smiddy M, Hill C, Kerry JP, Kelly AL. 2004. Effect of high
pressure tretment on physicochemical characteristics of fresh oyster
(Crassostrea gigas). Innovative Food Science and Emerging
Technologies 5:161-169.

Rusznak C, Davies RJ. 1998. ABC of allergies: Diagnosing allergy. BMJ


316:686-689.

Rybicki EP, Vernon EC, MD James, Sharon JR,editor. 1996. Molecular Biology
Techniques Manual. Ed ke-3. Rondebosch: University of Captown.

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid 4. Bandung : Bina
Tjipta.

Sahabudin S, Misnan R, Hani Z, Yadzir M, Mohamad J, Abdullah N, Bakhtiar F,


Murad S. 2011. Identification of Major and Minor Allergens of Black
Tiger Prawn (Penaeus monodon) and King Prawn (Penaeus latisulcatus).
Malaysian J Med Sciences. 18(3):27-32.

Sakaguchi M, Toda M, Ebihara T, Irie S, Hori H, Imai A. (2000) IgE antibody to


fish gelatin (type I collagen) in patient with fish allergy. Journal of
Allergy and Clinical Immunology 106:579-584.

Samartin S, Marcus A & Chandra RK. 2001. Food hypersensitivity. Nutr.Res.


21:473-497.
67
 

Sampson HA. 2005. Food Allergy- accurately identifying clinical reactivity.


Allergy 60(79):19-24.

Shahnaz M, Balwant SG & Nasaruddin A. 2001. Skin test reactivity to inhalant


and food allergen in patients with allergic rhinitis. J Int.Med.Research.
5(2):69-73.

Shiomi K, Emoto Ai, Ishizaki S. 2009. Tropomyosin in gastropods and bivalves:


Identification as major allergens and amino acid sequence feature. Food
Chemistry 114:634-641.

Shriver S, Yang W, Chung SY, Percival S. 2011. Pulsed ultraviolet light reduce
immunoglobulin E binding to Atlantic White Shrimp (Litopenaeus
setiferus) extract. J Environ Res Public Health 8:2569-2583.

Sicherer SH, Munoz-Furlong A, Sampson HA. 2004. Prevalence of seafood


allergy in the United States determined by rendom telephone survey. J
Allergy Clin Immunol 114(1):159-165.

Sicherer SH, Sampson HA. 2009. Food Allergy. J Allergy Clin Immunol
125:S116-25.

Sriket P, Benjakul S, Visessanguan W, Kijroongrojana K. 2007. Comparative


studies on chemical composition and thermal properties of black tiger
shrimp (Penaeus monodon) and white shrimp (Penaeus vannamei) meats.
Food Chemistry 103:1199-1207.

Subagio A, Windrati WS, Fauzi M, Witono Y. 2004. Karakterisasi protein


miofibril dari ikan kuniran (Upeneus moluccensis) dan ikan mata besar
(Selar crumenophthalmus). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan
XV(1).

Suzuki T. 1981. Fish and krill protein.: processing technology. London: Applied
Science Publ.Ltd.

Taylor SL. 2008. Molluscan shellfish allergy. Adv Food Nutr Res 54:139-77.

Thanonkaew A, Benjakul A, Vissesanguan W. 2006. Chemical composition and


thermal property of cuttlefish (Sephia pharaonis) muscle. Journal of
Food Composition and Analysis 19:1287-133.

Towbin H, Staehelin T, Gordon J. 1979. Electrophoretic transfer of proteins from


polyacrylamide gels to nitrocellulose sheets : Procedure and some
applications. Proceedings of the National Academy of Sciences of the
United States of America 76:4350-4354.
68 
 

Untersmayr E, Poulsen LK, Platzer MH, Pedersen MH, Nitulescu GB and Jarolim
EJ. 2005. The Effect of Gastric Digestion on Codfish Allergenicity. J
Allergy Clin Immunol 115:377-82.

Walsh G. 2001. Protein Biochemistry and Biotechnology. Ireland: Industrial


Biochemistry Programme University of Limerick.

Wijaya SKS, Rohman L. 2001. Fraksinasi dan karakterisasi protein utama biji
kedelai. J Ilmu Dasar 2(1):49-54. Wilson K, Walker J. 2000. Principle and
Technique of Practical Biochemistry. 5thed. Cambridge:Cambridge
University Press.

Wild LG, Lehrer SB. 2005. Fish and shellfish allergy. Curr Allergy Asthma Rep
5(1) 74-9.

Yu Hl, Chao MJ, Cai QF, Weng WY, Su WJ, Liu GM. 2011. Effect of different
processing method on digestibility of Scylla paramamosain allergen
(tropomyosin). Food and Chemical Toxicology 49: 791-798.

Yuliarni. 1998. Studi alergenisitas protein udang windu (Penaeus monodon Fabr)
untuk pembuatan isolat alergen [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Zakaria FR, Khatib A, Ispurwanto, Rahman A. 1998. Telaah sifat alergenisitas


proteim udang putih (Penaeus merguensis) untuk produksi isolat alergen.
Bul Teknol dan Industri Pangan 2(IX):54-59.

Zakaria FR, Belleville FR, Nabet P and Linden G. 1992. Allergenicity of Bovine
Casein Its Digestive Enzyme Hidrolizates. In Developement of Food
Science and Technology in Southeast Asia. Ed. Liang OB, Fardiaz D
AND Buchanan A. Bogor: IPB Press.
69
 

Lampiran 1. Larutan-larutan untuk ekstraksi protein sarkoplasma dan miofibril

1. Buffer Phospat pH 7.5, I=0.05


Sebanyak 2.201 g NaH2PO4 dan 0.4597 g KH2PO4 dilarutkan dalam 1 liter
air destilata, pH ditepatkan sebesar 7.5

2. KCl buffer phospat pH 7.5, I= 0.5


Sebanyak 2.201 g NaH2PO4, 0.4597 g KH2PO4 dan 33.625 g KCl
dilarutkan dalam tepat 1 liter dalam air destilata, pH diatur sebesar 7.5
70
 

Lampiran 2. Larutan-larutan untuk SDS PAGE

Larutan Stok :
1. Larutan A (Akrilamid 30%; 0.8 bisakrilamid) 100 ml
Sebanyak 30.0 g akrilamid dan 0.8 g N.N’-metilen-bisakrilamid dilarutkan
dalam 100 ml akuades. Saring larutan melalui filter 0.45 µm. pada waktu
penimbangan selalu harus menggunakan sarung tangan dan tutup wadah
dengan parafilm selama proses pelarutan. Larutan akrilamid dapat
disimpan selama beberapa bulan dalam lemari pendingin bersuhu 4°C.

2. Larutan B (4x Tris-Cl/SDS. pH 8.8) 100 ml


Sebanyak 18.17 g Tris base dan 4 ml 10% SDS dilarutkan dalam 40 ml
akuades. Tepatkan pada pH 8.8 dengan 1 N HCl. Tambahkan akuades
hingga volume total 100 ml. saring larutan melalui filter 0.45 µm.

3. Larutan C (4x Tris-Cl/SDS. pH 6.8) 100 ml


Sebanyak 6.05 g Tris base dan 4 ml 10% SDS dilarutkan dalam 40 ml
akuades. Tepatkan pada pH 8.8 dengan 1 N HCl. Tambahkan akuades
hingga volume total 100 ml. saring larutan melalui filter 0.45 µm.

4. 10% APS. 0.5 ml


Dibuat segar setiap kali akan melakukan elektroforesis. Larutkan 0.05 g
amonium persulfat dalam 0.5 ml akuades

5. 5 X SDS/buffer elektroforesis. 1 L
Larutkan 15.1 g Tris base. 72.0 g glisin. Dan 5.0 g SDS dalam 800 ml
akuades. Setelah larut, tepatkan volume hingga 1.0 L. untuk membuat 1x
SDS/buffer elektroforesis, encerkan 1 bagian volume larutan di atas dalam
4 bagian volume akuades.

6. 2x SDS/buffer sampel. 100 ml


Campurkan 30 ml 10% SDS. 10 ml gliserol (50%). 5.0 ml 2-
merkaptoetanol. 12.5 ml 4x Tris Cl/SDS pH 6.8 dan 5-10 mg bromphenol
blue. Tepatkan volume hingga 100 ml dengan akuades. Simpan pada suhu
rendah.

7. Larutan pewarna (staining)


Sebanyak 1 gram coomasie briliant blue R-250. 450 ml metanol dan 100
ml asam asetat glasial dilarutkan dalam 450 ml akuades.

8. Larutan penghilang warna (destaining)


Sebanyak 100 ml metanol dan 100 ml asam asetat glasial dilarutkan dalam
800 ml akuades.
71
 

Lampiran 3. Rumus/Formula pembuatan larutan-larutan untuk ELISA

1. Coating buffer: Carbonat-Bicarbonat buffer pH 9.6


a. 0.2 M Na2CO3
b. 0.2 M NaHCO3

Campurkan 16 ml (a) dan 34 ml (b). Tambahkan dH20 sampai dengan 200 ml


pH 9.6. atau larutkan 1 kapsul carbonat-bicarbonat buffer (SIGMA) dalam 100
ml dH2O pH 9.6

2. Blocking Buffer (BSA 3%)


Sebanyak 3 gr BSA dilarutkan dalam 100 ml PBS (Phospat Buffer Saline)

3. Washing Buffer (PBS Tween-20 0.05%)


Sebanyak 0.5 ml Tween-20 ditambahkan ke dalam 1 Liter PBS 1x.

4. PBS (Phospat Buffer Saline)

10 x konsentrasi Untuk 1 Liter

- 1.7 M NaCl 100 g


- 0.034 M KCl 2.5 g
- 0.1 M Na2HPO4 14.4 g
- 0.018 M KH2PO4 2.5 g
Jadikan 1 liter dengan dH2O dan diautoclave untuk steril.
Untuk membuat PBS 1X yaitu dengan mengambil 100 ml PBS 10X dan
ditambahkan dH2O 900 ml.

5. Substrat TMB
Dibuat segar setiap kali akan melakukan ELISA. Satu tablet TMB dilarutkan
dalam 1 ml DMSO (divortex 5 menit). Tambahkan buffer substrat (citrate
phospate buffer) sampai dengan 10 ml dan divortex.

6. Pengenceran serum 1:10


• Untuk penentuan total IgE serum :
Sebanyak 100 µl serum ditambahkan 900 µl coating buffer, kemudian di vortex
dan bisa disimpan dalam frezer.
• Untuk pengujian alergenisitas sampel:
Sebanyak 100 µl serum ditambahkan 900 µl PBST 0.05%, kemudian di vortex
dan bisa disimpan dalam frezer.

7. Pembuatan konjugat HRP 1:6000


Sebanyak 2µL konjugat HRP ditambahkan dengan 11.998 µl PBST 0.05%
kemudian divortex.
72
 

Lampiran 4. Rumus/Formula pembuatan larutan-larutan untuk imunoblotting

1. Buffer transfer
Sebanyak 2.9 g Tris base dan 14.5 g glisin dilarutan dalam 500 ml air
destilata. Kemudian ditambahkan dengan 200 ml metanol dan ditepatkan
volumenya sampai dengan 1 liter. Simpan pada suhu 4 °C.

2. Larutan pewarna amido black


Amido black 0.1 g. metanol 20 ml. asam asetan glasial 10 ml.
dicampurkan dan di tera dengan akuades sampai dengan volumenya 100
ml.

3. Larutan substrat DAB (Roche)


Sebanyak 0.5 ml DAB konsentrat ditambahkan dengan 4.5 ml DAB buffer
(perbandingan 1:10).
73
 

Lampiran 5. Kurva protein standar (BSA) pada penetapan kadar protein ekstrak
sampel (udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau)

Konsentrasi (mg/ml) Absorbansi Rata-Rata

0.1538
0.1 0.1543
0.1548
0.3029
0.2 0.3015
0.3001
0.4171
0.3 0.4145
0.4119
0.5047
0.4 0.5043
0.5039
0.6441
0.5 0.64335
0.6426
0.8319
0.7 0.8272
0.8225
0.9667
0.8 0.96405
0.9614
1.0185
0.9 1.01475
1.011
1.0927
1 1.0895
1.0863
0.2204
Miofibril.udang 1:5 0.22025
0.2201
0.3309
Sarkoplasma.udang 1:5 0.33025
0.3296
0.2724
Miofibril.tongkol 1:5 0.27255
0.2727
0.3564
Sarkoplasma.tongkol 1:5 0.3541
0.3518
0.2333
Miofibril.kerang 0.2336
0.2339
0.1649
Sakoplasma.kerang 1:5 0.1635
0.1621
74
 

Lampiran 6. Hasil perhitungan rendemen ekstrak dan analisis total protein dalam
daging udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau

- Perhitungan rendemen ekstrak

Kadar protein
Volume gram Total protein Rendemen
Jenis protein Bradford
ekstrak(ml) sampel (gram) (%)
(mg/ml)
Sarko.udang 1.154 390 20.9 0.450 2.15
Miof.Udang 0.627 390 20.9 0.244 1.17
Sarko.tongkol 1.269 390 19.72 0.495 2.51
Miof.tongkol 0.878 390 19.72 0.342 1.74
Sarko.kerang 0.691 390 20 0.269 1.35
Miof.kerang 0.176 390 20 0.068 0.34

- Analisis total protein

Total protein terekstrak


Berat Total protein Kjeldahl
(gram)
Jenis Protein sampel
(gram)
% gram sarkoplasma miofibril

Udang jerbung 20.9 13.96 2.92 0.45 0.244


Ikan Tongkol 19.72 16.44 3.24 0.495 0.342
Kerang Hijau 20 14.03 2.81 0.269 0.068
75
 
Lampiran 7. Protein alergen dari produk laut (seafood) yang terdaftar dalam IUIS
(International Union of Immunological Societies)

Berat
Nama
Grup Sumber species Nama biokimiawi molekul
alergen
(kDa)
Arthropoda Archaeopotamobius
Arc s 8 Triosephosphate isomerase ~28
sibiriensis (Crustacean species)
Artemia franciscana (Brine shrimp) Art fr 5 Myosin, light chain 1 ~17.5
Charybdis feriatus (Crab) Cha f 1 Tropomyosin 34
Crangon crangon (North Sea shrimp)
Cra c 1 Tropomyosin ~38

Cra c 2 Arginine kinase ~45


Sarcoplasmic calcium-
Cra c 4 ~25
binding protein
Cra c 5 Myosin, light chain 1 ~17.5
Cra c 6 Troponin C ~21

Cra c 8 Triosephosphate isomerase ~28


Homarus americanus (American lobster) Hom a 1 Tropomyosin
Hom a 3 Myosin light chain 2 ~23
Hom a 6 Troponin C ~20
Litopenaeus vannamei (White shrimp)
Lit v 1 Tropomyosin 36

Lit v 2 Arginine kinase


Lit v 3 Myosin, light chain 2 20
Sarcoplasmic calcium-
Lit v 4 20
binding protein
Metapenaeus ensis (Shrimp) Met e 1 Tropomyosin
Pandalus borealis (Northern shrimp) Pan b 1 Tropomyosin 37
Penaeus aztecus (Shrimp) Pen a 1 Tropomyosin 36
Penaeus indicus (Shrimp) Pen i 1 Tropomyosin 34
Penaeus monodon (Black tiger shrimp)
Pen m 1 tropomyosin 38

Pen m 2 arginine kinase 40


Pen m 3 Myosin light chain 2
Sarcoplasmic calcium
Pen m 4
binding protein
Pen m 6 Troponin C
Molusca Haliotis midae (Abalone) Hal m 1 49
Helix aspersa (Brown garden snail) Hel as 1 Tropomyosin 36
Todarodes pacificus (Squid) Tod p 1 Tropomyosin 38
Chordata Gadus callarias (Baltic cod) Gad c 1 Beta-parvalbumin 12
Clupea harengus (Atlantic herring) Clu h 1 Beta-parvalbumin 12
Gadus morhua (Atlantic cod) Gad m 1 Beta-parvalbumin 13
Salmo salar (Atlantic salmon) Sal s 1 Beta-parvalbumin 1 12
Sal s 2 Beta-Enolase 47.3
Sebastes marinus (Ocean perch, redfish,
Seb m 1 Beta-parvalbumin 11
snapper)
Thunnus albacares (Yellowfin tuna) Thu a 1 Beta-parvalbumin 11
Sumber : www.allergen.org
76
 

Lampiran 8. Data Rf sub unit protein

Lampiran 8a. Standar marker

1 2 3 4 5 6
M: Standar marker
1: Tongkol Sarkoplasma
2: Tongkol Miofibril
3: Kerang Sarkoplasma
4: Kerang Miofibril
5: Udang Sarkoplasma
6: Udang Miofibril

Jarak
Pita BM
Jenis protein Log BM pergerakan Rf
ke- (kDa)
(cm)
1 β-galactosidase 116 2.0645 1.81 0.157
2 BSA 66.2 1.8209 3.4 0.296
3 Ovalbumin 45 1.6532 5.41 0.470
4 Lactate dehydrogenase 35 1.5441 6.92 0.602
5 Rease Bsp981 25 1.3979 8.86 0.770
6 β-lactoglobulin 18.4 1.2648 10.47 0.910
7 lysozyme 14.4 1.1584 10.97 0.954
Range 11.5 1.000
77
 

Lampiran 8b. Sampel Ikan Tongkol

Fraksi Sarkoplasma

Jarak Log BM Ketebalan


pita ke- Rf %
pergerakan (cm) BM (kDa) band
1 1.17 0.102 2.068 117.06 453.435 1.19
2 1.78 0.155 2.013 103.13 1058.799 2.78
3 2.34 0.203 1.963 91.81 998.092 2.62
4 4.14 0.360 1.801 63.19 4289.234 11.26
5 4.86 0.423 1.736 54.41 3881.506 10.19
6 5.42 0.471 1.685 48.44 1322.678 3.47
7 6.36 0.553 1.600 39.85 7983.941 20.95
8 6.77 0.589 1.563 36.60 6205.648 16.29
9 7.91 0.688 1.461 28.89 4403.577 11.56
10 8.72 0.758 1.388 24.42 486.556 1.28
11 9.79 0.851 1.291 19.55 663.263 1.74
12 10.49 0.912 1.228 16.91 1300.678 3.41
13 11.18 0.972 1.166 14.65 5053.234 13.26
Range 11.5 Total 38100.641 100.00

Fraksi Miofibril

Jarak Log BM Ketebalan


pita ke- Rf %
pergerakan (cm) BM (kDa) band
1 1.59 0.138 2.031 107.28 441.314 2.67
2 1.84 0.160 2.008 101.86 639.314 3.87
3 2.55 0.222 1.944 87.90 646.192 3.91
4 3.19 0.277 1.886 76.96 1363.142 8.25
5 3.65 0.317 1.845 69.95 1853.263 11.22
6 4.35 0.378 1.782 60.49 1814.506 10.99
7 5.67 0.493 1.663 45.99 384.728 2.33
8 4.85 0.422 1.737 54.53 437.849 2.65
9 5.24 0.456 1.701 50.28 485.971 2.94
10 6.23 0.542 1.612 40.94 1058.263 16.41
11 6.51 0.566 1.587 38.63 3086.648 18.69
12 9.35 0.813 1.331 21.42 1336.799 8.09
13 9.95 0.865 1.277 18.91 1328.435 8.04
14 10.55 0.917 1.223 16.70 1639.142 9.92
15 11.19 0.973 1.165 14.62 5570.87 33.73
Range 11.5 Total 16515.566 100.00
78
 

Lampiran 8c. Sampel Kerang Hijau

Fraksi Sarkoplasma

Jarak
Log BM Ketebalan
pita ke- pergerakan Rf %
BM (kDa) band
(cm)
1 2.31 0.201 1.965 92.35 716.678 5.96
2 2.62 0.228 1.937 86.59 742.678 6.17
3 3.12 0.272 1.892 78.04 613.435 5.10
4 4.43 0.386 1.774 59.45 2828.062 23.51
5 5.18 0.451 1.706 50.87 1516.971 12.61
6 6.39 0.556 1.597 39.56 1528.263 12.71
7 7.14 0.621 1.530 33.85 1942.627 16.15
8 7.95 0.692 1.456 28.61 585.678 4.87
9 8.85 0.770 1.375 23.73 324.899 2.70
10 10.76 0.936 1.203 15.95 590.435 4.91
11 11.22 0.977 1.161 14.50 638.314 5.31
Range 11.5 Total 12028.04 100.00

Fraksi Miofibril

Jarak
BM ketebalan
pita ke- pergerakan Rf Log BM %
(kDa) band
(cm)
1 0.44 0.038294 2.134193 136.21 1081.849 31.78
2 2.25 0.195822 1.970852 93.51 842.556 24.75
3 9.63 0.83812 1.304853 20.18 643.971 18.92
4 10.47 0.911227 1.229049 16.95 282.435 8.30
5 11 0.957354 1.181219 15.18 553.385 16.26
Range 11.5 Total 3404.196 100.00
79
 

Lampiran 8d. Sampel Udang Jerbung

Fraksi Sarkoplasma

Jarak
Log BM ketebalan
Pita ke- pergerakan Rf %
BM (kDa) band
(cm)
1 0.18 0.016 2.158 143.77 169.899 0.54
2 1.06 0.092 2.078 119.74 237.021 0.76
3 1.49 0.130 2.039 109.51 629.192 2.01
4 2.36 0.205 1.961 91.40 3088.749 9.88
5 2.73 0.238 1.928 84.63 1159.021 3.71
6 2.93 0.255 1.909 81.19 1088.607 3.48
7 3.7 0.322 1.840 69.18 960.556 3.07
8 3.91 0.340 1.821 66.23 1293.314 4.14
9 4.11 0.358 1.803 63.53 618.899 1.98
10 4.64 0.404 1.755 56.91 2896.627 9.27
11 4.88 0.425 1.734 54.14 902.263 2.89
12 5.72 0.498 1.658 45.47 4548.648 14.55
13 6.32 0.550 1.604 40.14 1536.335 4.91
14 6.72 0.585 1.567 36.94 925.092 2.96
15 7.19 0.626 1.525 33.50 1217.799 3.90
16 7.63 0.664 1.485 30.57 941.678 3.01
17 8.1 0.705 1.443 27.73 839.385 2.68
18 9.33 0.812 1.332 21.47 578.971 1.85
19 9.87 0.859 1.283 19.20 4761.941 15.23
20 10.51 0.915 1.225 16.81 258.556 0.83
21 10.85 0.944 1.195 15.66 374.899 1.20
22 11.1 0.966 1.172 14.87 2234.849 7.15
Range 11.5 Total 31262.301 100.00
80
 

Lampiran 8d. (Lanjutan)

Fraksi Miofibril

Jarak
Log BM ketebalan
Pita ke- pergerakan Rf %
BM (kDa) band
(cm)
1 1.58 0.138 2.031 107.48 213.192 0.79
2 1.89 0.164 2.003 100.77 3399.385 12.61
3 2.12 0.185 1.983 96.07 1683.435 6.25
4 2.38 0.207 1.959 91.02 1296.142 4.81
5 2.74 0.238 1.927 84.46 416.021 1.54
6 3.08 0.268 1.896 78.70 385.021 1.43
7 5.04 0.439 1.719 52.37 691.556 2.57
8 6.56 0.571 1.582 38.19 5910.113 21.93
9 6.82 0.594 1.558 36.18 1237.142 4.59
10 7.27 0.633 1.518 32.95 605.849 2.25
11 7.74 0.674 1.475 29.88 729.263 2.71
12 8 0.696 1.452 28.31 676.556 2.51
13 8.82 0.768 1.378 23.88 1643.213 6.10
14 9.55 0.831 1.312 20.52 932.728 3.46
15 9.86 0.858 1.284 19.24 1491.799 5.53
16 10.17 0.885 1.256 18.04 2608.991 9.68
17 11 0.957 1.181 15.18 3032.92 11.25
Range 11.5 Total 26953.326
81
 
Lampiran 9. Data hasil uji ELISA penentuan total IgE serum

Kode Konsentrasi Kontrol negatif Total IgE serum uji


No SD Mean+2SD
serum serum 1 2 rataan 1 2 rataan
A 1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.212 0.163 0.188
1
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.100 0.106 0.103
B 1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.255 0.052 0.154
2
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.167 0.056 0.112
C 1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.110 0.098 0.104
3
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.078 0.081 0.080
D 1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.153 0.269 0.211
4
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.119 0.167 0.143
E 1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.294 0.251 0.273
5
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.213 0.168 0.191
F 1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.340 0.293 0.317
6
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.144 0.234 0.189
G 1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.294 0.245 0.270
7
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.166 0.142 0.154
1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.240 0.058 0.149
8 H
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.180 0.053 0.117
1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.462 0.439 0.451
9 I
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.170 0.230 0.200
1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.108 0.102 0.105
10 J
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.066 0.074 0.070
1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.230 0.269 0.250
11 K
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.168 0.180 0.174
1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.263 0.330 0.297
12 L
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.178 0.172 0.175
1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.269 0.239 0.254
13 M
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.191 0.165 0.178
1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.122 0.102 0.112
14 N
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.079 0.093 0.086
1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.096 0.120 0.108
15 O
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.099 0.073 0.086
1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.228 0.336 0.282
16 P
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.193 0.135 0.164
1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.659 0.578 0.619
17 Q
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.220 0.246 0.233
1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.162 0.241 0.202
18 R
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.102 0.098 0.100
1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.511 0.539 0.525
19 S
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.239 0.266 0.253
1:10 0.071 0.056 0.064 0.011 0.085 0.657 0.772 0.715
20 T
1:5 0.067 0.062 0.065 0.004 0.072 0.374 0.409 0.392
82
 
Lampiran 10. Hasil uji ELISA penentuan alergenisitas ekstrak sampel

Lampiran 10a. ekstrak sampel udang jerbung

Udang Sarkoplasma
Serum rata- OD rata-
OD serum
rata kontrol rata SD x+ 2SD Status Alergi
diuji
(y) negatif (x)
0.528 0.120
A 0.371 0.117 0.004 0.125 Positif
0.213 0.114
0.187 0.120
B 0.137 0.117 0.004 0.125 Positif
0.087 0.114
0.162 0.082
C 0.133 0.079 0.005 0.088 Positif
0.104 0.075
0.072 0.082
D 0.072 0.079 0.005 0.088 Negatif
0.071 0.075
0.108 0.082
E 0.102 0.079 0.005 0.088 Positif
0.096 0.075
0.071 0.064
F 0.072 0.063 0.002 0.067 Positif
0.072 0.061
0.033 0.040
G 0.035 0.040 0.001 0.041 Negatif
0.036 0.039
0.040 0.040
H 0.042 0.040 0.001 0.041 Positif
0.044 0.039
0.161 0.125
I 0.165 0.110 0.021 0.152 Positif
0.169 0.095
0.121 0.178
J 0.116 0.195 0.023 0.241 Negatif
0.110 0.211
0.130 0.195
K 0.127 0.221 0.036 0.293 Negatif
0.123 0.246
0.992 0.098
L 0.935 0.086 0.017 0.120 Positif
0.878 0.074
0.182 0.178
M 0.168 0.157 0.030 0.216 Negatif
0.153 0.136
0.197 0.114
N 0.219 0.136 0.030 0.196 Positif
0.241 0.157
0.242 0.210
O 0.232 0.237 0.038 0.313 Negatif
0.221 0.264
0.291 0.181
P 0.293 0.178 0.005 0.187 Positif
0.294 0.174
0.183 0.111
Q 0.184 0.113 0.002 0.117 Positif
0.185 0.114
0.197 0.187
R 0.174 0.162 0.036 0.234 Negatif
0.151 0.136
0.126 0.195
S 0.155 0.221 0.036 0.293 Negatif
0.183 0.246
0.124 0.248
T 0.112 0.209 0.055 0.319 Negatif
0.099 0.170
83
 
Lampiran 10a. (Lanjutan)

Udang Miofibril
Serum OD
OD serum rata- rata- Status
kontrol SD x+ 2SD
diuji rata (y) rata (x) Alergi
negatif
0.652 0.139
A 0.490 0.139 0.001 0.140 Positif
0.328 0.138
0.225 0.139
B 0.177 0.139 0.001 0.140 Positif
0.128 0.138
.145 0.106
C 0.126 0.106 0.106 0.318 Negatif
0.106 0.097
0.112 0.106
D 0.115 0.102 0.006 0.114 Positif
0.117 0.097
0.113 0.106
E 0.118 0.102 0.006 0.114 Positif
0.123 0.097
0.090 0.091
F 0.092 0.093 0.002 0.097 Negatif
0.093 0.094
0.039 0.040
G 0.040 0.042 0.003 0.048 Negatif
0.041 0.044
0.068 0.040
H 0.055 0.042 0.003 0.048 Positif
0.041 0.044
0.208 0.165
I 0.205 0.151 0.020 0.191 Positif
0.201 0.137
0.176 0.128
J 0.184 0.150 0.030 0.210 Negatif
0.191 0.171
0.234 0.185
K 0.217 0.187 0.003 0.193 Positif
0.200 0.189
1.661 0.154
L 1.681 0.132 0.032 0.195 Positif
1.701 0.109
0.192 0.151
M 0.172 0.142 0.013 0.167 Positif
0.151 0.133
0.660 0.184
N 0.710 0.194 0.013 0.220 Positif
0.760 0.203
0.331 0.309
O 0.304 0.283 0.037 0.357 Negatif
0.276 0.257
0.758 0.256
P 0.632 0.232 0.035 0.301 Positif
0.505 0.207
0.150 0.149
Q 0.151 0.151 0.003 0.157 Negatif
0.151 0.153
0.175 0.162
R 0.166 0.158 0.006 0.169 Negatif
0.156 0.154
0.181 0.185
S 0.187 0.187 0.003 0.193 Negatif
0.192 0.189
0.228 0.118
T 0.235 0.146 0.040 0.225 Positif
0.242 0.174
84
 
Lampiran 10b. ekstrak sampel Ikan tongkol

Tongkol Sarkoplasma
Serum OD OD
rata- rata-
serum kontrol SD x+ 2SD Status Alergi
rata (y) rata (x)
diuji negatif
0.733 0.081
A 0.546 0.080 0.002 0.084 Positif
0.359 0.078
0.175 0.081
B 0.132 0.080 0.002 0.084 Positif
0.089 0.078
0.115 0.071
C 0.096 0.077 0.008 0.092 Positif
0.076 0.082
0.076 0.071
D 0.075 0.077 0.008 0.092 Negatif
0.074 0.082
0.042 0.047
E 0.040 0.044 0.005 0.053 Negatif
0.038 0.040
0.078 0.077
F 0.084 0.076 0.002 0.080 Positif
0.089 0.074
0.038 0.047
G 0.039 0.044 0.005 0.053 Negatif
0.040 0.040
0.101 0.047
H 0.102 0.044 0.005 0.053 Positif
0.103 0.040
0.132 0.067
I 0.124 0.074 0.010 0.094 Positif
0.115 0.081
0.079 0.067
J 0.088 0.074 0.010 0.094 Negatif
0.097 0.081
0.166 0.111
K 0.157 0.118 0.010 0.138 Positif
0.147 0.125
0.080 0.083
L 0.084 0.080 0.004 0.088 Negatif
0.088 0.077
0.150 0.148
M 0.132 0.139 0.013 0.165 Negatif
0.113 0.129
0.165 0.183
N 0.172 0.155 0.040 0.235 Negatif
0.179 0.126
0.247 0.235
O 0.219 0.207 0.040 0.287 Negatif
0.191 0.178
0.230 0.218
P 0.208 0.200 0.026 0.252 Negatif
0.186 0.181
0.152 0.157
Q 0.143 0.152 0.007 0.166 Negatif
0.133 0.147
0.161 0.173
R 0.147 0.166 0.010 0.186 Negatif
0.133 0.159
0.102 0.111
S 0.119 0.118 0.010 0.138 Negatif
0.135 0.125
0.065 0.069
T 0.078 0.080 0.016 0.111 Negatif
0.091 0.091
85
 
Lampiran 10b. (Lanjutan)

Tongkol Miofibril
Serum OD OD
rata- rata-
serum kontrol SD x+ 2SD Status Alergi
rata (y) rata (x)
diuji negatif
0.697 0.072
A 0.537 0.072 0.001 0.073 Positif
0.376 0.071
0.171 0.072
B 0.141 0.072 0.001 0.073 Positif
0.111 0.071
0.115 0.066
C 0.093 0.070 0.006 0.081 Positif
0.071 0.074
0.060 0.066
D 0.059 0.070 0.006 0.081 Negatif
0.058 0.074
0.043 0.041
E 0.044 0.042 0.001 0.045 Negatif
0.044 0.043
0.079 0.091
F 0.076 0.080 0.016 0.111 Negatif
0.072 0.069
0.038 0.041
G 0.040 0.042 0.001 0.045 Negatif
0.042 0.043
0.093 0.041
H 0.093 0.042 0.001 0.045 Positif
0.093 0.043
0.067 0.060
I 0.065 0.072 0.017 0.106 Negatif
0.062 0.084
0.063 0.060
J 0.079 0.072 0.017 0.106 Negatif
0.095 0.084
0.123 0.099
K 0.114 0.099 0.000 0.099 Positif
0.104 0.099
0.090 0.071
L 0.093 0.070 0.002 0.074 Positif
0.096 0.068
0.136 0.145
M 0.125 0.136 0.013 0.161 Negatif
0.114 0.127
0.187 0.193
N 0.198 0.151 0.059 0.270 Negatif
0.208 0.109
0.245 0.229
O 0.206 0.207 0.032 0.270 Negatif
0.167 0.184
0.259 0.229
P 0.231 0.210 0.027 0.264 Negatif
0.202 0.191
0.153 0.144
Q 0.149 0.139 0.007 0.153 Negatif
0.144 0.134
0.237 0.208
R 0.232 0.216 0.011 0.237 Negatif
0.226 0.223
0.091 0.099
S 0.117 0.099 0.000 0.099 Positif
0.142 0.099
0.053 0.053
T 0.065 0.059 0.008 0.076 Negatif
0.077 0.065
86
 
Lampiran 10c. Ekstrak sampel kerang hijau

Kerang Sarkoplasma
Serum rata- OD rata-
OD serum
rata kontrol rata SD x+ 2SD Status Alergi
diuji
(y) negatif (x)
0.679 0.097
A 0.525 0.108 0.016 0.139 Positif
0.371 0.119
0.218 0.097
B 0.163 0.108 0.016 0.139 Positif
0.108 0.119
0.117 0.071
C 0.101 0.079 0.011 0.100 Positif
0.084 0.086
0.065 0.071
D 0.066 0.079 0.011 0.100 Negatif
0.067 0.086
0.044 0.042
E 0.044 0.041 0.001 0.044 Negatif
0.043 0.040
0.089 0.072
F 0.103 0.073 0.001 0.074 Positif
0.116 0.073
0.045 0.042
G 0.047 0.041 0.001 0.044 Positif
0.048 0.040
0.039 0.042
H 0.039 0.041 0.001 0.044 Negatif
0.038 0.040
0.125 0.113
I 0.101 0.118 0.007 0.132 Negatif
0.076 0.123
0.075 0.113
J 0.087 0.118 0.007 0.132 Negatif
0.099 0.123
0.150 0.176
K 0.130 0.183 0.009 0.201 Negatif
0.110 0.189
0.246 0.085
L 0.235 0.080 0.007 0.094 Positif
0.223 0.075
0.122 0.110
M 0.118 0.118 0.011 0.139 Negatif
0.114 0.125
0.199 0.217
N 0.194 0.239 0.030 0.299 Negatif
0.189 0.260
0.281 0.210
O 0.231 0.204 0.008 0.221 Positif
0.180 0.198
0.293 0.224
P 0.280 0.207 0.024 0.255 Positif
0.266 0.190
0.167 0.121
Q 0.159 0.127 0.008 0.144 Positif
0.150 0.133
0.213 0.159
R 0.224 0.190 0.044 0.278 Negatif
0.234 0.221
0.317 0.176
S 0.289 0.183 0.009 0.201 Positif
0.260 0.189
0.054 0.056
T 0.054 0.055 0.001 0.058 Negatif
0.054 0.054
87
 
Lampiran 10c. (Lanjutan)

Kerang Miofibril
Serum OD OD
rata- rata-
serum kontrol SD x+ 2SD Status Alergi
rata (y) rata (x)
diuji negatif
0.713 0.079
A 0.552 0.087 0.011 0.108 Positif
0.390 0.094
0.217 0.079
B 0.168 0.087 0.011 0.108 Positif
0.119 0.094
0.139 0.118
C 0.120 0.140 0.030 0.200 Negatif
0.100 0.161
0.086 0.118
D 0.084 0.140 0.030 0.200 Negatif
0.081 0.161
0.042 0.039
E 0.041 0.040 0.001 0.043 Negatif
0.039 0.041
0.111 0.112
F 0.113 0.108 0.006 0.120 Negatif
0.114 0.103
0.040 0.039
G 0.040 0.040 0.001 0.043 Negatif
0.040 0.041
0.036 0.039
H 0.037 0.040 0.001 0.043 Negatif
0.038 0.041
0.144 0.103
I 0.123 0.109 0.008 0.126 Negatif
0.102 0.115
0.096 0.093
J 0.110 0.094 0.001 0.097 Positif
0.123 0.095
0.239 0.175
K 0.251 0.182 0.010 0.202 Positif
0.262 0.189
0.756 0.088
L 0.738 0.086 0.004 0.093 Positif
0.719 0.083
0.154 0.176
M 0.170 0.188 0.016 0.220 Negatif
0.186 0.199
0.664 0.206
N 0.632 0.220 0.020 0.260 Positif
0.600 0.234
0.245 0.266
O 0.234 0.250 0.023 0.296 Negatif
0.222 0.233
0.505 0.277
P 0.464 0.313 0.051 0.415 Positif
0.423 0.349
0.194 0.244
Q 0.196 0.226 0.026 0.278 Negatif
0.197 0.207
0.222 0.197
R 0.261 0.223 0.037 0.297 Negatif
0.299 0.249
0.197 0.175
S 0.194 0.182 0.010 0.202 Negatif
0.191 0.189
0.059 0.101
T 0.0585 0.0915 0.013 0.118 Negatif
0.058 0.082
88
 

Lampiran 11. Hasil uji imunoblotting

Lampiran 11a. Uji imunoblotting serum A dan B

Marker standar

Jarak
Pita BM
Jenis protein pergerakan RF Log BM
ke- (kDa)
(cm)
1 Phosporilase-β 3.78 97 0.25 1.99
2 albumin 5.59 66 0.37 1.82
3 ovalbumin 8.22 45 0.55 1.65
4 carbonic anhidrase 11.91 30 0.79 1.48
5 Tripsin Inhibitor 13.94 20 0.93 1.30
Range 15.01
89
 

Lampiran 11a. (Lanjutan)

Serum A

Jarak
Pita Log BM
Jenis protein pergerakan RF
ke- BM (kDa)
(cm)
Kerang miofibril 1 3.60 0.2395 1.9713 93.61
Tongkol sarkoplasma 1 7.30 0.4863 1.7358 54.43
Udang sarkoplasma 1 7.00 0.4663 1.7549 56.87
Udang miofibril 1 9.60 0.6396 1.5896 38.86
Range 15.01

Serum B

Jarak
Pita Log BM
Jenis protein pergerakan RF
ke- BM (kDa)
(cm)
Udang sarkoplasma 1 7.31 0.4870 1.7351 54.34
Udang miofibril 1 7.6 0.5063 1.7167 52.08
2 9.69 0.6456 1.5838 38.36
Range 15.01
90
 

Lampiran 11b. Uji imunoblotting serum H, M dan Q

Marker standar

H L P
Mk Sk Mu Su Mt St Mk Sk Mu Su Mt St Mk Sk Mu Su Mt St

Jarak
Pita BM
Jenis protein Log BM pergerakan Rf
ke- (kDa)
(cm)
1 β-galactosidase 116 2.064458 2.78 0.174404
2 BSA 66.2 1.820858 5.11 0.320577
3 Ovalbumin 45 1.653213 7.67 0.481179
4 Lactate dehydrogenase 35 1.544068 9.93 0.622961
5 Rease Bsp981 25 1.39794 12.41 0.778545
6 β-lactoglobulin 18.4 1.264818 13.99 0.877666
Range 15.94
91
 

Lampiran 11b. (Lanjutan)

Serum H

Jarak
Log BM
Jenis protein Pita ke- pergerakan RF
BM (kDa)
(cm)
Udang sarkoplasma 1 4.39 0.277 1.909 81.16
2 5.43 0.341 1.840 69.17
Udang miofibril 1 9.12 0.570 1.593 39.17
Range 15.94

Serum P

Jarak
Log BM
Jenis protein Pita ke- pergerakan RF
BM (kDa)
(cm)
Udang sarkoplasma 1 10.09 0.633 1.525 33.50
2 10.68 0.670 1.485 30.56
Udang miofibril 1 4.15 0.261 1.927 84.46
2 4.61 0.289 1.896 78.70
3 9.08 0.570 1.593 39.19
4 10.19 0.639 1.518 32.96
5 10.82 0.679 1.475 29.88
Tongkol miofibril 1 9.17 0.575 1.587 38.64
Kerang sarkoplasma 1 10.015 0.628 1.530 33.87
2 10.19 0.639 1.518 32.96
3 10.83 0.679 1.475 29.83
4 11.101 0.696 1.456 28.60
Kerang miofibril 1 3.5 0.220 1.971 93.53
2 10.19 0.639 1.518 32.96
3 10.83 0.679 1.475 29.83
92
 

Lampiran 11b. (Lanjutan)

Serum L
Jarak
Pita Log BM
Jenis protein pergerakan RF
ke- BM (kDa)
(cm)
Udang sarkoplasma 1 4.15 0.260 1.927 84.51
2 4.6 0.289 1.896 78.79
3 5.14 0.322 1.860 72.43
4 5.98 0.375 1.803 63.53
5 7.01 0.440 1.734 54.15
6 8.93 0.560 1.604 40.14
7 10.67 0.670 1.485 30.57
8 11.30 0.709 1.443 27.73
Udang miofibril 1 2.61 0.164 2.031 107.45
2 4.15 0.260 1.927 84.51
3 4.60 0.289 1.896 78.79
4 7.22 0.453 1.719 52.37
5 8.65 0.542 1.623 41.93
6 9.08 0.570 1.593 39.19
7 10.19 0.639 1.518 32.95
8 10.82 0.679 1.475 29.88
9 11.20 0.703 1.450 28.16
10 13.59 0.853 1.288 19.40
11 14.05 0.881 1.257 18.06
12 15.17 0.951 1.181 15.18
Tongkol sarkoplasma 1 3.62 0.227 1.963 91.82
2 9.51 0.597 1.564 36.65
3 11.04 0.693 1.460 28.86
4 12.11 0.760 1.388 24.43
5 13.53 0.849 1.292 19.57
Tongkol miofibril 1 10.82 0.679 1.475 29.88
2 11.2 0.703 1.450 28.16
3 11.3 0.709 1.443 27.72
93
 

Serum L (Lanjutan)

Jarak
Pita Log BM
Jenis protein pergerakan RF
ke- BM (kDa)
(cm)
Kerang sarkoplasma 1 4.661 0.292 1.892 78.04
2 5.14 0.322 1.860 72.43
3 6.405 0.402 1.774 59.46
4 10.021 0.629 1.529 33.84
5 10.82 0.679 1.475 29.88
6 11.098 0.696 1.457 28.61
Kerang miofibril 1 3.502 0.220 1.971 93.50
2 10.82 0.679 1.475 29.88
3 11.098 0.696 1.457 28.61
Range 15.94

Вам также может понравиться