Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
DOA IFTITAH
5. lalu bacalah doo’a iftitah “Alla-humma ba-‘id baini- wa baina khatha-ya-ya
kama- ba-’adta bainal masyriqi wal maghrib. Alla-humma naqqini- minal
khatha-ya- kama- yunaqqats tsaubul abyadu minad danas. Alla-hummaghsil
khatha-ya-ya bilma-I wats stalji wal barad”
6. atau “wajjahtu wajhiya lilladzi- fatharas sama-wa-ti wal ardha hani-fan
musliman wa ma- ana- minal musyriki-n. inna shala-ti- wa nusuki- wa mahya-
ya wa mama-ti- lilla-hi rabbil ‘a-lami-n. La-syari-kalahu- wa bidza-lika
umirtu wa ana- awwalul muslimi-n (wa ana- minal muslimi-n). Alla-humma
antal maliku la-ila-ha illa anta, anta rabbi- wa ana- ‘abduka, dhalamtu nafsi-
wa’taraftu bidzanbi- faghfirli- dzunu-bi- jami’an. La- Yaghfirudz-dzunu-ba
illa- anta, wahdini- li ahsanil akhla-qi la- yahdi li ahsaniha- illa- anta.
Washrif ‘anni- sayyiaha- la- yashrifu ‘anni- sayyiaha- illa- anta. Labbaika wa
sa’daika wal khairu kulluhu- fi- yadaika, wasysyarru laisa ilaika. Ana- bika
wa ilaika. Taba-rakta wa ta’a-laita astaghfiruka wa atu-bu ilaika”.
Dalil-Dalil:
5. Hadis Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah tentang bacaan itu.
6. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Ali bin Abi Thalib tentang bacaan itu.
1
Hadis dengan sanad dari Imam Muslim diriwayatkan dengan melalui Ali ibn
Abi Thalib, Ubaidillah ibn Abi Rabi’, Abdurrahman al-A’raj, Ya’qub ibn Abi
Sulaiman, Yusuf al-Majisyun, dan Muhammad ibn Abi Bakr al-Muqaddamiy. Mereka
ini adalah orang-orang yang siqqah dan sanadnya bersambung sampai kepada nabi
Muhammad. (Mausu’ah al-Hadis al-Syarif). Hadis riwayat Imam Muslim tersebut
berkualitas shahih lidzatihi. Sedangkan hadis riwayat Tirmidzi, Nasai, Ibn Majah,
Ahmad ibn hanbal dan al-Darimiy semakin memperkuat kesahihan hadis tersebut.
Hadis ini bisa dipergunakan sebagai dalil.
DALIL-DALIL
7.b. Berdasar pada hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudriy
sebagaimana tersebut dalam kitab al-Muhadzdzab:
“Bahwa Nabi saw adalah membaca ta’awwudz itu (yaitu: : “A’udzu billa-hi minasy
syaitha-nir raji-m”).
صعلةب بباَللنيِبل عكبَلبعر لثل يعبلقوُللصللىَّ اللهل ععلعنيِبه عوعسلعم إبعذا قعاَعم إبعل ال ل ب
ي قعاَعل عكاَعن عرلسوُلل الله ع ععنن أعبب عسعبيِدد انللندبر ي
ب
ك عوتَعبععاَعل عجددعك عوعل إبلعهع عغنيِبلرعك لثل يعبلقوُلل اللهل أعنكبَعبلر عكبَبييا لثل يعبلقوُلل ك الللهلم عوببعنمدعك عوتَعبعبَاَعرعك انسل ع لسنبَعحاَنع ع
أعلعوُذل بباَللبه اللسبميِبع النععلبيِبم بمنن اللشنيِطعاَبن اللربجيِبم بمنن عهنبزبه عونعبنفبخبه عونعبنفثببه
Dari Abu Sa’id al-Khudriy, dari Nabi saw, sesungguhnya ia apabila berdiri shalat di
waktu malam, bertakbir kemudian membaca “Subha-naka Alla-humma wa bihamdika
wa taba-rasmuka wa ta’a-la jadduka wa la- ila-ha ghairuka” kemudian membaca
2
“Alla-hu Akbar Kabi-ra” lalu membaca “ A’u-dzu billa-his sami-il ‘ali-m minasy
syaitha-nir raji-m min hamzihi wa nafkhihi wa naftsihi” (Aku berlindung diri kepada
Allah yang maha mendengar dan maha mengetahui dari syetan yang terkutuk, yaitu
dari godaannya, dari tiupannya dan dari semburannya).
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi (Sunan, al-Shalat: 225), Abu Dawud (Sunan,
al-Shalat, 658), Ahmad ibn Hanbal (Musnad, 11047), dan Ibn Khuzaimah (Shahih, I:
238).
Kualitas hadis ini diperselisihkan. Ibn Khuzaimah menganggap hadis ini berkualitas
sahih. Sedangkan Ahmad ibn Hanbal mengganggap hadis ini kualitasnya tidak sahih.
Perbedaan pendapat tersebut bersumber dari Ja’far ibn Sulaiman dan ‘Aliy ibn ‘Aliy
al-Yasykuri yang kualitasnya diperdebatkan.
7.c. Berdasar hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir sebagaimana tersebut
dalam kitab Nailul Authar:
“Diceritakan dari Nabi saw bahwa sebelum membaca Al-Qur’an beliau berdoa: :
“A’udzu billa-hi minasy syaitha-nir raji-m”.
Menurut al-Sindiy dalam syarah Sunan ibn Majah, Muhammad ibn Fudhail
mendengar hadis dari ‘Atha’ ibn al-Saib setelah ‘Atha’ mengalami ikhtilat (pikun)
sehingga hadisnya tidak valid. dan periwayatan Abdurrahman al-Sulami dari Ibn
Mas’ud juga diperdebatkan. Menurut Syu’bah, ia tidak bertemu dengan Ibn Mas’ud
dan tidak pernah mendengarkan hadis darinya. Sedangkan menurut Ahmad ibn hanbal
ia bertemu dan mendengar hadis darinya. Sanad Ahmad ibn hanbal juga melewati
kedua orang yang diperaslahkan tersebut. Kualitas hadis ini dha’if terutama karena
Ibn Fudhail mendengar hadis dari ‘Atha’ setelah mengalami ikhtilath.
Mengenai bacaan ta’awudz ini, Abu Hanifah dan al-Syafi’I membaca ta’awudz dalam
permulaan membaca alfatihah di setiap rakaat, tetapi mereka tidak memandangnya
sebagai hal yang wajib. Sedangkan Imam Malik tidak membaca ta’awudz dalam
shalat fardhu maupun shalat sunnat kecuali dalam qiyamur ramadhan (al-Muhalla, III:
247). Sedangkan bacaan ta’awudznya, Abu Hanifah dan al-Syafi’I dengan membaca:
3
“A’udzu billa-hi minasy syaitha-nir raji-m”, karena berdasar pada Al-Qur’an surat an-
Nahl ayat 98. Adapun Ahmad ibn Hanbal dengan membaca: “A’u-dzu billa-his sami-il
‘ali-m minasy syaitha-nir raji-m” karena berdasar pada hadis nabi dari Abu Sa’id al-
Khudriy.
8. Berdasar pada hadis Nu’aim al-Mujmir yang diriwayatkan oleh al-Nasaiy, Ibn
Khuzaimah, Siraj, Ibn Hibban dan lainnya:
“ Hadis dari Nu’aim al-Mujmir, katanya, “saya bershalat di belakang Abu Hurairah ra,
maka ia membaca “Bismilla-hir rahma-nir rakhi-m” lalu membaca induk Al-Qur’an
(surat al-Fatihah) sehingga tatkala sampai pada “wa ladldla-lli-n” beliau membaca “
a-mi-n” dan orangpun sama-sama membaca “a-mi-n”. Begitu juga tiap-tiap hendak
sujud, mengucapkan, “Alla-hu Akbar” dan bila berdiri dari duduk dalam rakaat kedua
beliau mengucapkan, “Alla-hu Akbar”. Setelah bersalam beliau berkata. “Demi yang
menguasai diriku, sungguh shalatku yang paling menyerupai dengan shalatnya
Rasulullah saw”.
Chudori menilai hadis ini sebagai hadis yang berkualitas dha’if. Letak kedha’ifannya
terletak pada Abu Hilal yang merupakan rawi ketiga, setelah Abu Hurairah dan
Nu’aim al-Mujmiri. Abu Hilal dinilai sebagai rawi yang dha’if oleh al-Bukhariy;
sebagai rawi yang mudhtharib oleh Ahmad ibn Hanbal; dan sebagai rawi yang munkar
oleh al-Saji. Sehingga dengan dasar kualitas Abu Hilal yang banyak dicela tersebut,
Chudori berkesimpulan bahwa hadis ini berkualitas dha’if.(Chudori, 80).
Para perawi yang meriwayatkan hadis ini diantaranya yang sempat terlacak adalah an-
Nasai ( Sunan, al-Iftitah: 895), al-Baihaqi (Sunan al-Sughra, I: 251; Sunan al-Kubra,
II: 46), al-Daruquthni (Sunan, I: 305), al-Hakim (Syi’ar Ashab al-Hadis, I: 41), dan al-
Haitsamiy, I: 125). Dan hadis ini juga dinukilkan dalam kitab Fath al-Bari karya Ibn
Hajar al-‘Asqalniy (II: 267).
Dalam sanad hadis kitab al-Nasaiy yang dirujuk oleh Chudori yang diterbitkan oleh
Maktabah al-Mushtafa al-Babi al-Halabiy tertulis nama Abu Hilal yang kemudian
banyak dijarh oleh para ulama. Nama Abu Hilal juga termuat dalam sanad al-Nasaiy
versi naskah yang diterbitkan oleh Thaha Putra Semarang. Sedangkan dalam teks
naskah yang diterbitkan oleh Dar al-Basyair al-Islamiyah, Dar Ihya’ al-Turas
al-‘Arabiy, Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah dan Maktab al-Tarbiyah al-Arabiy li
Duwal al-Khalij, rawi yang tertera bukan Abu Hilal tetapi Sa’id ibn Abi Hilal.
Kami lebih cenderung rawi tersebut bukan Abu Hilal, melainkan putranya yang
bernama Sa’id ibn Abi Hilal. Nama Sa’id ibn Abi Hilal, dan bukannya Abu Hilal, ini
juga termaktub di dalam sanad hadis riwayat al-Baihaqi, al-Daruqutni, al-Hakim dan
al-Haitsami. Bahkan Ibn Hajar dalam Fath al-Bariy juga mengutip Sa’id ibn Abu
Hilal, dan bukannya Abu Hilal.
Sa’id ibn Abu Hilal dipuji oleh banyak ulama di antaranya adalah Muhammad Ibn
Sa’ad, al-‘Ajaliy, Ibn Hibban dan Ibn Khuzaimah. Semuanya mengomentari Sa’id
sebagai rawi yang siqqah. Sedangkan al-Saji mengomentarinya sebagai rawi yang
shaduq, dan Abu Hatim al-Razi mengomentarinya sebagai ‘la ba’sa bih’. Dengan
demikian Sa’id adalah rawi yang siqah. Dan sanad al-Nasaiy tersebut berkualitas
sahih lidzatihi. Pandapat senada juga dikemukakan oleh al-Daruqutni dalam kitab
Sunannya.
4
Sumber: SM-14-2002