Вы находитесь на странице: 1из 16

PRAKTIKUM X

KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS


(ELUEN NON POLAR)

A. TUJUAN
Mahasiswa mampu menjelaskan dan melakukan identifikasi kimia dengan KLT.
B. DASAR TEORI

Kromatografi, komponen-komponen terdistribusi dalam dua fase yaitu fase gerak


dan fase diam. Transfer massa antara fase bergerak dan fase diam terjadi bila molekul-
molekul campuran serap pada permukaan partikel-partikel atau terserap. Pada
kromatografi kertas naik, kertasnya digantungkan dari ujung atas lemari sehingga tercelup
di dalam solven di dasar dan solven merangkak ke atas kertas oleh daya kapilaritas. Pada
bentuk turun, kertas dipasang dengan erat dalam sebuah baki solven di bagian atas lemari
dan solven bergerak ke bawah oleh daya kapiler dibantu dengan gaya gravitasi. Setelah
bagian muka solven selesai bergerak hampir sepanjang kertas, maka pita diambil,
dikeringkan dan diteliti. Dalam suatu hal yang berhasil, solut-solut dari campuran semula
akan berpindah tempat sepanjang kertas dengan kecepatan yang berbeda, untuk
membentuk sederet noda-noda yang terpisah. Apabila senyawa berwarna, tentu saja noda-
nodanya dapat terlihat (Consden, Gordon dan Martin 1994).

Consden, Gordon dan Martin, memperkenalkan teknik kromatografi kertas yang


menggunakan kertas saring sebagai penunjang fase diam. Kertas merupakan selulosa
murni yang memiliki afinitas terhadap air atau pelarut polar lainnya. Bla air diadsorbsikan
pada kertas, maka akan membentuk lapisan tipis yang dapat dianggap analog dengan
kolom. Lembaran kertas berpran sebgai penyngga dan air bertindak sebagai fase diam yang
terserap diantara struktur pori kertas (Consden, Gordon dan Martin 1994).

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adakah suatu teknik yang sederhana yang banyak
digunakan,metode ini menggunakan lempeng kaca atau lembaran plastik yang ditutupi
penyerap atau lapisan tipis dan kering. Untuk menotolkan karutan cuplikan pada kempeng
kaca, pada dasarya menggunakan mikro pipet atau pipa kapiler. Setelah itu, bagian bawah
dari lempeng dicelup dalam larutan pengulsi di dalam wadah yang tertutup ( Barseoni,
2005).

Kromatografi lapis tipis menggunakan plat tipis yang dilapisi dengan adsorben
seperti silika gel, aluminium oksida (alumina) maupun selulosa. Adsorben tersebut
berperan sebagai fasa diam. Fasa gerak yang digunakan dalam KLT sering disebut dengan
eluen. Pemilihan eluen didasarkan pada polaritas senyawa dan biasanya merupakan
campuran beberapa cairan yang berbeda polaritas, sehingga didapatkan perbandingan
tertentu. Eluen KLT dipilih dengan cara trial and error.Kepolaran eluen sangat
berpengaruh terhadap Rf (faktor retensi) yang diperoleh. Faktor retensi (Rf) adalah jarak
yang ditempuh oleh komponen dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh eluen. Rumus
faktor retensi adalah:

Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal
tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam
sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang
rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa
yang lebih polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang
rendah. Rf KLT yang bagus berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus
dilakukan adalah mengurangi kepolaran eluen, dan sebaliknya (Ewing Galen Wood,
1985).

Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan murah


dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikiann juga peralatan yang digunakan.
Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan hampir
semua laboratorium melaksanakan metode ini. Kromatografi lapis tipis (KLT) fase
diamnya berupa lapisan seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung
oleh lempeng kaca, pelat alumunium, atau pelat plastik. Fase diam pada KLT merupakan
penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin kecil ukuran
rata-rata partikel fase diam, semakin baik kinerja KLT dalam hal efisien dan resolusinya.
Penjerap yang paling sering digunakan adalah silica dan serbuk selulosa, sementara
mekanisme sorpsi yang utama adalah pada KLT yaitu adsorpsi dan partisi. Untuk tujuan
tertentu, pejerap atau fase diam dapat dimodifikasi dengan cara pembaceman. Fase gerak
dari pustaka dapat ditentukan dengan uji pustaka atau dengan dicoba-coba karena
pengerjaan KLT ini cukup cepat dan mudah. Sistem yang paling sederhana ialah campuran
2 pelarut organik karena daya elusi campuran ini dapat diatur sedemikian rupa sehingga
pemisahan dapat terjadi dengan optimal. Dalam pembuatan dan pemilihan fase gerak yang
harus diperhatikan yaitu kemurnian dari eluen itu sendiri karena KLT merupak teknik yang
sensitif; daya elusi dari pelarut itu juga harus diatur sedemikian rupa agar harga Rf berkisar
antara 0,2-0,8 yang menandakan pemisahan yang baik; polaritas dari pelarut juga harus
diperhatikan agar pemisahan terjadi dengan sempurna. Ada 2 cara yang digunakan untuk
menganalisis secara kuantitatif dengan KLT. Pertama, bercak yang terbentuk diukur
langsung pada lempeng dengan menggunakan ukur luas atau dengan teknik densitometri.
Cara kedua yaitu dengan mengorek bercak lalu menetapkan kadar senyawa yang terdapat
dalam bercak tersebut dengan menimbang hasil korekan.

Identifikasi secara kulitatif pada kromatografi kertas khususnya kromatografi lapis


tipis dapat ditentukan dengan menghitung nilai Rf. Nilai Rf merupakan ukuran kecepatan
migrasi suatu senyawa. Harga Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak senyawa
titik awal dan jarak tepi muka pelarut dari titik awal (ibnu,gholib 2007).

Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada
tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan
elektroforesis. Berbeda debgan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau
dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang
seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat
aluminium atau pelat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan
sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Gholib Gandjar, 2007).

KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai metode
untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki
system pelarut dan system penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau
kromatografi cair kinerja tinggi. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan
bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik
(ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun
(descending) (J. Gritter, 1991).

Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah
dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan.
Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat
dikatakan hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat.

Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini (Gholib Gandjar, 2007) :

 Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis.


 Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluorosensi
atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet.
 Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending), atau dengan
cara elusi 2 dimensi.
 Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan
merupakan bercak yang tidak bergerak.

Penggunaan umum KLT adalah untuk menentukan banyaknya komponen dalam


campuran, identifikasi senyawa, memantau berjalannya suatu reaksi, menentukan
efektivitas pemurnian, menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom, serta
memantau kromatografi kolom, melakukan screening sampel untuk obat. Analisa kualitatif
dengan KLT dapat dilakukan untuk uji identifikasi senyawa baku. Parameter pada KLT
yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Analisis kuantitatif dilakukan dengan 2
cara, yaitu mengukur bercak langsung pada lengpeng dengan menggunakan ukuran luas
atau dengan teknik densitometry dan cara berikutnya dalaha dengan mengerok bercak lalu
menetapkan kadar senyawa yang terdapat dalam bercak dengan metode analisis yang lain,
misalnya dengan metode spektrofotometri. Dan untuk analisis preparatif, sampel yang
ditotolkan dalam lempeng dengan lapisan yang besar lalu dikembangkan dan dideteksi
dengan cara yang non- dekstruktif. Bercak yang mengandung analit yang dituju selanjutnya
dikerok dan dilakukan analisis lanjutan (Gholib Gandjar, 2007).

Nilai Rf didefinisikan sebagi perbandingan jarak yang ditempuh oleh senyawa pada
permukaan fase diam dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut sebagai fase gerak.
Semakin besar nilai Rf dari sampel maka semakin besar pula jarak bergeraknya senyawa
tersebut pada plat kromatografi lapis tipis. Saat membandingkan dua sampel yang berbeda
di bawah kondisi kromatografi yang sama, nilai Rf akan besar bila senyawa tersebut
kurang polar dan berinteraksi dengan adsorbent polar dari plat kromatografi lapis tipis (
Handayani, 2008)

Nilai Rf dapat dijadikan bukti dalam mengidentifikasikan senyawa. Bila identifikasi


nilai Rf memiliki nilai yang sama dengan nilai Rf Standart dari senyawa tersebut maka
senyawa tersebut dapat dikatakan memiliki karakteristik yang sama atau mirip. Sedangkan,
bila nilai Rfnya berbeda, senyawa tersebut dapat dikatakan merupakan senyawa yang
berbeda. Namun perbedaan perlakuan dalam percobaan kromatografi lapis tipis juga akan
mempengaruhi nilai Rf sampel yang diidentifikasi (Parmeswaran, 2013). Nilai Rf Standart
dari piperin adalah 0,42+0,03 (Vyas et all, 2011)

Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-
coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah
campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah
diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal (Gholib, 2007).

Kemampuan suatu analit terikat pada permukaan silika gel dengan adanya pelarut
tertentu dapat dilihat sebagai pengabungan 2 interaksi yang saling berkompetisi. Pertama,
gugus polar dalam pelarut dapat berkompetisi dengan analit untuk terikat pada permukaan
silika gel. Dengan demikian, jika pelarut yang sangat polar digunakan, pelarut akan
berinteraksi kuat dengan permukaan silika gel dan hanya menyisakan sedikit tempat bagi
analit untuk terikat pada silika gel. Akibatnya, analit akan bergerak cepat melewati fasa diam
dan keluar dari kolom tanpa pemisahan. Dengan cara yang sama, gugus polar pada pelarut
dapat berinteraksi kuat dengan gugus polar dalam analit dan mencegah interaksi analit pada
permukaan silika gel. Pengaruh ini juga menyebabkan analit dengan cepat meninggalkan
fasa diam. Kepolaran suatu pelarut yang dapat digunakan untuk kromatografi dapat
dievaluasi dengan memperhatikan tetapan dielektrik (ε) dan momen dipol (δ) pelarut.
Semakin besar kedua tetapan tersebut, semakin polar pelarut tesebut. Sebagai tambahan,
kemampuan berikatan hidrogen pelarut dengan fasa diam harus dipertimbangkan (Tim
Penyusun, 2010).

C. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
 Chamber
 Gelas beaker 100 mL
 Batang pengaduk
 Pipa kapiler
 Plat KLT
 Oven
 Sinar UV
 Penggaris
 Cutter
 Kertas saring
2. Bahan
 Etanol 96%
 Kloroform
 N-heksan
 Aquadest
 Ekstrak etanol daun Insulin
 H2SO4
D. CARA KERJA

1. Pembuatan eluen
Eluen non polar dibuat dengan campuran pelarut yaitu N-heksana dan etil
asetat dengan perbandingan 8:2:7:3:6:4

Eluen polar dibuat dengan campuran pelarut yaitu etil asetat : etanol : air
dengan perbandingan 15:2:1;8:2:1;6:2:1

2. Penjenuhan eluen

Penjenuhan eluen dilakukan dengan memasukkan eluen kedalam chamber dan


kemudian mengamati sampai eluen naik keatas kertas saring (berarti jenuh).
Keluarkan kertas saring dari chumber.

3. Penotolan dan identifikasi KLT

Penotolan dan identifikasi KLT dilakukan dengan melarutkan ekstrak


simplisia dengan etanol dalam vial.

Menotolkan ekstrak yang telah diencerkan diatas plat KLT hingga terbentuk noda

Mengeluarkan plat KLT hasil penotolan dari chumber setelah eluen yang
menaik mendekati garis batas atas sebesar 0,5 cm

Mengamati noda yang terbentuk dibawah sinar UV dengan panjang


gelombang tertentu. Dan menggambar hasil yang terbentuk
Selain menggunakan sinar UV untuk melihat noda yang dibentuk
menggunakan penampak bercak H2S04

Menyemprotkan H2S04 diatas plat KLT, memanaskan diatas bunsen sehingga


noda atau plat terlihat jelas.

Mengamati kembali noda yang terbentuk dibawah sinar UV dan menggambar


hasilnya kemudian menghitung harga Rf nya.
E. HASIL PENGAMATAN

𝒋𝒂𝒓𝒂𝒌 𝒑𝒂𝒏𝒋𝒂𝒏𝒈 𝒏𝒐𝒅𝒂


Rumus Rf = 𝒋𝒂𝒓𝒂𝒌 𝒑𝒂𝒏𝒋𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒆𝒍𝒂𝒓𝒖𝒕

Eluen Non polar


8:2
0 0
Ekstrak etanol Rf = 8,7 Fraksi kloroform Rf = 8,7 = 0

=0
7:3
0 0
Ekstrak etanol Rf = 8,2 Fraksi kloroform Rf = 8,2 = 0

=0
6:4
1 0
Ekstrak etanol Rf = 8,5 Fraksi kloroform Rf = 8,5 = 0

= 0,17
F. PEMBAHASAN
Pada percobaan ini, tehnik kromatografi lapis tipis yang digunakan adalah suatu
plat tipis (aluminium) yang berfungsinya untuk tempat berjalannya adsorbens sehingga
proses migrasi analit oleh solventnya bisa berjalan. Hal ini Inilah yang membedakan antara
kromatografi kertas dengan kromatografi lapis tipis. Yang dimana pada KLT
menggunakan plat tipis sedangkan pada KK menggunakan kertas (lapisan selulosa)
sehingga proses elusinya lebih lama (kira– kira 10–20 menit lebih lama dari KLT).
Perbedaan lainnya dari kedua kromatografi tersebut adalah pembentukan noda pada
adsorbensnya dimana pada KLT noda yang dihasilkan lebih tajam dibandingkan noda yang
nampak dalam KK. Hal ini disebabkan pada KK penyusun dari adsorbens berupa selulosa
yang dapat mengikat air, sehingga ketika dielusi dengan suatu pelarut atau fase gerak maka
noda yang dihasilkan mengalami penyebaran akibat terdapatnya gugus –OH dalam
adsorbens yang masih tertingal dalam fase diamnya sehingga penampakan nodanya terlihat
lebih pudar dan bentuk nodanya tidak bulat. Sedangkan dalam KLT adsorbens yang
digunakan berupa slika gel (SiO2) yang tidak mengikat molekul air, sehingga noda yang
tercipta lebih terfokus dan tajam.
Adapun tahapan dari praktikum kali ini adalah dimulai dari penyiapan lempeng
silika gel yaitu dibuat lempeng dari silika gel dengan ukuran 7 cm x 1 cm, kemudian
lempeng silika gel dipotong dengan yang sebelumnya telah diukur. Kemudian penjenuhan
chamber yaitu chamber diisi dengan eluen polar yaitu etanol:kloroform:air dengan
perbanding 15:2:1, 8:2:1, dan 6:2:1 dimasukkan potongan kertas saring yang panjangnya
lebih dari tinggi chamber dan kemudian ditutup dan dibiarkan hingga eluen naik pada
kertas saring hingga melewati penutup kaca (chamber telah jenuh) dimana dilakukan
penjenuhan ini bertujuan untuk menyeimbangkan tekanan atmosfer di dalam dan di luar
chamber agar noda berjalan lurus (tidak berkelok-kelok).
Selanjutnya dilakukan Penotolan sampel pada lempeng yaitu ekstrak etanol daun
pacing (dilarutkan dalam etanol), fraksi kloroform (dilarutkan dalam kloroform), dan fraksi
n-butanol(dilarutkan dalam n-butanol), lalu ekstrak diambil dengan menggunakan pipa
kapiler, kemudian ditotolkan pada lempeng yang telah disiapkan. Lempeng yang telah
ditotol diangin-anginkan sejenak untuk menguapkan pelarutnya lalu dimasukkan ke dalam
chamber yang telah dijenuhkan. Bila eluen telah mencapai batas atas dari lempeng silica
gel, maka lempeng tersebut dikeluarkan. Selanjutnya diamati secara langsung dan dengan
menggunakan penampak bercak UV, disemprot lempeng dengan larutan H2SO4.

Dari hasil percobaan dihasilkan pada eluen perbandingan 8:2 jumlah nodanya satu,
jarak yang ditempuh senyawa terlarut 0 cm, dan jarak yang ditempuh pelarut 8,7 cm,
sehingga dihasilkan nilai Rf 0 dan pada perbandingan 7:3 jumlah nodanya satu, jarak yang
ditempuh senyawa terlarut 0 cm, dan jarak yang ditempuh pelarut 8,2 cm, sehingga
dihasilkan nilai Rf 0, dan pada perbandingan 6:4 jumlah nodanya satu, jarak yang ditempuh
senyawa terlarut 1 cm, dan jarak yang ditempuh pelarut 8,5 cm, sehingga dihasilkan nilai
Rf 0,17
Semakin tinggi polaritas senyawa, fase diam dari senyawa dengan afinitas yang lebih
besar akan mempunyai nilai Rf yang semakin kecil. Semakin rendah polaritas senyawa,
semakin tinggi afinitas untuk pelarut dan semakin besar nilai Rf. Jika pelarut berubah dari
pelarut polaritas rendah (seperti hexane) ke polaritas yang lebih tinggi (seperti etil asetat)
kekuatan eluasi akan meningkat dan akan meningkatkan semua nilai-nilai Rf. Tempat
dengan nilai Rf tertinggi adalah yang paling polar (bergerak tercepat), dan tempat dengan
nilai Rf terendah adalah yang paling polar (bergerak lambat).

G. KESIMPULAN
1. Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu metode pemisahan komponen
menggunakan fasa diam berupa plat dengan lapisan bahan adsorben inert. Prinsip
dalam kromatografi yakni adsorbsi dan partisi.

2. Dari hasil percobaan dihasilkan pada eluen perbandingan 8:2 jumlah nodanya satu,
jarak yang ditempuh senyawa terlarut 0 cm, dan jarak yang ditempuh pelarut 8,7 cm,
sehingga dihasilkan nilai Rf 0 dan pada perbandingan 7:3 jumlah nodanya satu, jarak
yang ditempuh senyawa terlarut 0 cm, dan jarak yang ditempuh pelarut 8,2 cm,
sehingga dihasilkan nilai Rf 0, dan pada perbandingan 6:4 jumlah nodanya satu, jarak
yang ditempuh senyawa terlarut 1 cm, dan jarak yang ditempuh pelarut 8,5 cm,
sehingga dihasilkan nilai Rf 0,17
3. Semakin tinggi polaritas senyawa, fase diam dari senyawa dengan afinitas yang lebih
besar akan mempunyai nilai Rf yang semakin kecil. Semakin rendah polaritas senyawa,
semakin tinggi afinitas untuk pelarut dan semakin besar nilai Rf

H. DAFTAR PUSTAKA

Bernaseoni,G. 2005. Teknologi Kimia. PT Padya Pranita. Jakarta.

Bidlingmayer, Bryan A. 1987. Preparative Liquid Chromatograph. Elsevier Publishing


Company Inc. Amsterdam.

Consden, Gordon dan Martin 1994. Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Istilah. Gramedia,
Jakarta.

Ewing, Galen Wood. 1985. Instrumental of Chemical Analysis Fifth edition. McGraw-Hill.
Singapore.

Gholib, Ibnu.2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Gunardi, Ratna Asmah S, Bambang Tri Purwanto, Edy Sulistyowati, Siti Musinah., Metode
RPTLC dan Optimasi Fase Gerak Dalam Penetapan Harga Rm Sebagai Salah Satu
Parameter Lipofilisitas Dalam Rancangan Obat. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro dan Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Jawa Tengah, 2009;
5(43), 254-259

Handayani, 2008. Sintesis Senyawa Flavonoid-α-Glikosida secara Reaksi


Transglikosilasi Enzimatik dan Aktivitasnya sebagai Antioksidan. Vol. 9, No. 1,
Januari 2008, hal. 1-4

Hernando, J.E. And J. Leon. 1992. Plant Production and Protection Series. No. 26. FAO.
Italy.

Ibnu Gholib Gandjar. Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.

Keenan, Charles W. dkk.. 2002. Kimia Untuk Universitas Jilid 2. Erlangga. Jakarta.

Prameswaran, Sandhya. 2013. Quantitation estimation of Piperine, 18-beta


Glycyrrhetinic acid and 6-gingerol from Suryacid tablet formulation by HPLTC
method. Int. J. Res. Pharm. Sci 4(3),453-459.

Roy J. Gritter, 1991. Pengantar Kromatografi. Penerbit ITB. Bandung.


Serma, J and Bernard F., 2003. Handbook of Thin-Layer Chromatography Third edition,
Revised and Expanded. Marcell Dekker Inc. New York.

Sharma, Veena dan R. Paliwal. 2013. Preliminary phytochemical investigation and thin

layer chromatography profiling of sequential extracts of Moringa oleifera pods.


International Journal of Green Pharmacy. India

Tim Penyusun. 2010. Penuntun Praktikum Kimia Organik Farmasi. Lab. Kimia Organik
FMIPA ITB. Bandung
Vyas et al., Orient. J. Chem., TLC Densitometric Method for the Estimation of

Piperine in Ayurvedic Formulation Trikatu Churna. Vol. 27(1), 301-304 (2011)


Mengetahui

Dosen Pengampu

Rezqi Handayani,S.Farm,M.P.H.,Apt Nurul Qamariah,Msi

Asisten Dosen

Heni Rusmita, Amd.Farm Rizmadhani Safitri Mirza Sinta Syaba’nia

Praktikan

Ridwan Dwiatmoko
LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA
PAKTIKUM X
KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
(ELUEN NON POLAR)

Disusun Oleh :

Ridwan Dwiatmoko

17.71.018697

PROGAM STUDI DIPLOMA-III FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKA RAYA
TAHUN 2019

Вам также может понравиться