Вы находитесь на странице: 1из 23

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis penjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-
Nyalah, makalah yang berjudul “Sejarah Kerajaan-Kerajaan islam di Kalimantan” dapat
terselesaikan sesuai waktu yang disediakan. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang
diberikan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Guru Pengajar
2. Orang tua penulis yang mendukung penulis secara moral maupun materiil.
3. Teman-teman yang telah mendukung terselesaikannya penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis
mengharapkan adanya masukan baik itu saran ataupun kritik yang bersifat membangun, serta
bimbingan lebih lanjut yang sifatnya membangun dari semua pihak demi sempurnanya makalah ini.
Akhir kata, penulis mohon maaf apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan
baik itu penulisan maupun penyusunan yang telah penulis lakukan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pada waktu islam berkembang diseluruh kepulauan Indonesia, Kerajaan majapahit yang
beragama hindu diperintah oleh Brawija putera Angka Wijaya. Kerajaan tersebut kemudian
mengalami keruntuhan, dan raja yang merobohkan kerajaan Majapahit ialah Raden Patah dengan
delapan menterinya Yaitu sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati. Sunan
Kudus, Ngundung Dan Sunan Demak. Mulai itulah agama islam disebar diseluruh Indonesia dan
salah satunya ialah Kalimatan.
Di Kalimantan awalnya banyak berdiri kerajaan-kerajaan Hindu-Budha. Namun, karena
penyebaran agama Islam yang mulai pesat dan luas hingga merambah ke daerah Kalimantan, maka
banyak muncul Kerajaan-kerajaan Islam yang mulai berdiri. Entah karena Kerajaan Hindu-Budha
yang beralih memeluk agama Islam, atau juga kerajaan-kerajaan yang telah berhasil ditaklukan dan
mendirikan Kerajaan Islam sendiri.
Beberapa Kerajaan Islam yang ada di Kalimantan diantaranya ialah Kesultanan Banjar dan
Kesultanan Pontianak . Oleh sebab itu hal inilah yang melatar belakangi penulis untuk mengambil
judul Sejarah kerajaan Islam yang ada di Kalimantan, Khususnya Kalimantan Selatan.

1.2. Tujuan Penulisan


Tujuan pembuatan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh guru
pengajar. Selain itu pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan dan ilmu
serta pengetahuan tentang sejarah kerajaan-Kerajaan Islam yang ada di Kalimantan.

1.3 Manfaat Penulisan

1.Dapat mengetahui masa kejayaan Kerajaan Pontianak dan Banjar

2.Dapat Mengetahui masa kemunduran Kerajaan Pontianak dan Banjar

3.Dapat Mengetahui Pusat pusat Kerajaan Pontianak dan Banjar

4.Dapat mengetahui kondisi Politik Ekonomi dan sosial budaya Kerajaan Pontianak Dan Banjar
BAB II

PEMBAHASAN

Awal Mula Kerajaan Islam di Kalimantan


Kerajaan Islam di Kalimantan awal mulanya terjadi karena Kerajaan Hindu berperang
dengan kerajaan Islam, tetapi akhirnya kerajaan hindu menyerah diantaranya kerajaan hindu di
Candi Laras dan Candi Agung di Tanjung Pura. Sebagian rakyat memeluk agama Islam termasuk
sebagian rakyat dayak di pantai-pantai. Rakyat dayak yang telah masuk Islam , ialah yang sering
disebut sebagai dayak melayu, yang kebanyakkan di kuala kapuas, tumpung laung (barito) dan
beberapa kampung melayu, sebenarnya mereka tetap suku dayak , hanya sudah memeluk agama
islam.
Pangeran Samudra (suriansyah) pernah meminta seorang puteri bernama Biang Lawai untuk
dijadikan istri. Biang Lawai, adalah adik Patih Dadar, Patih Muhur, dan mengijin perkawinan,
hanya dengan perjanjian tidak akan di Islamkan. Mula-mula oleh Pangeran Samudra, disanggupi,
tetapi sesudah sampai istana, putri itu dikabarkan diislamkan. Kabar tersebut sampai kepada Patih
Muhur bersaudara, menimbulkan amarah Patih Rumbih dari Kahayan , Patih Muhur dari Bakumpai
(barito) ilmu gaib, berhasil merampas saudaranya kembali, Biang Lawai, dari istana sultan dan
dibawanya ke Sungai katan.
Pangeran samudra memerintah balatentaranya untuk mencari perempuan
tersebutdipedelaman. Tetapi karena balatentara patihn muhur sangat hebat, maka mundur lah
balatentara sultan.
Patih muhur dan patih rumbih mundur dan membuat pertahanandi taliu dikampung tundai.
Sesudah itu mereka mundur lagi membuat pertahanan didanau karam bersebrangan dengan negeri
goha kahayan. Mereka menyebrangi danau tersebut dan dipasang dundang, bambu yang
diruncingkan dibawah jembatans ehingga sewktu-wktu jembatan tersebut dapat diputuskan jika
balatentara sultan lewatatas jembatan dan luka-luka terkena bambu yang diruncingkan dibawahnya.
Perahu-perahu mereka dapat dirampas oleh patih rumbih ditengelamkan . sekarang tempat tersebut
dinamai berayar yang artinay “berlayar”.
Diantara tempat pertempuran-pertempuran tersebut dengan bentengnya ialah sungai muhur (barito),
parabingan, (pangkoh) bukit rawi, tewang pajagen, tewah, hulu kaspuas dan lain-lain.
Tentang tersebarnya agama islam dari banten kedaerah kalimantan dapat kita baca artikel
kerajaan islam dari banten di karang an R. Muchtadi dalam almanak muhamadyah 1357 H (1938)
hlm. 166 dan 169, antara lain ditulis : aliudin sultan banten bergelar abu mufakir muhamad aliudin,
dia beramah tamah dengan kompeni, dan mendapat kebebasan sisa utang kerajaan banten sebanyak
60.000 ringgit, bekas menempuh landak (tahun 1698 ditentukan , bahwa landak dan sukadana
diserahkan pada kompeni. Daerah pantai barat kalimantan diperintah oleh sultan abdurahman yang
mendirikan kota pontianak.
Sultan muhamad aliudin hanya berputera seorang saja dan meninggal ketika masih kanak-
kanak tahun1786. Sultan zainal abidin dari banten memasuki landak, matan. Tahun 1699. Kapal
kompeni /VOC dan 75 pecalang banten berlayar kesukadana diperintahkan oleh sultan agung
(pangeran agung), keponakan sultan banten yang bergelar panebahan.
Sultan landak didibantu oleh orang bugis dapat merebut kembali daerahnaya . sehingga panebahan
dapat dipukul mundur , dengan keluarganya melarikan diri ke anyer (banten). Landak dipegaruhi
selama 80 tahun (1699-1778).
A. Sejarah Awal Masuknya Islam di Kerajaan Pontianak
Kedatangn pelaut-pelaut Arab, Persia, dan Gujarat di Kalimantan Barat telah
memperlihatkan kepada penduduk setempat mengenai tradisi besar yaitu agama Islam. Agama
islam masuk ke Kalimantan Barat adalah dari utara yaitu Johor dan Bintan, kemudian dari Brunei
melalui aliran Sungai Sambas dan berpusat di Kerajaan Sambas. Dari Sambas inilah kemudian
menyebar ke Singkawang, Mempawah, Pontianak, menyusuri Sungai Kapuas (Nurcahyani dkk,
1999: 84-85). Masuknya Islam ke di sini tidak terlepas dari adanya peran dari pedagang muslim.
Mengingat waktu itu interaksi yang dilakukan dengan negeri-negeri luar adalah perdagangan.
Meskipun perdagang Muslim adalah menjual dan membeli barang dagangan, mereka juga
menyebarkan atau memperkenalkanajaran-ajaran Islam kepada orang-orang di wilayah-wilayah
asing (Tjandrasasmita, 2009: 21). Hal tersebut dikarenakan dalam Islam tidak ada pendeta yang
dianggap magis dan keramat seperti dalam kekristenan Katolik. Setiap pedagang Muslim bebas
memperkenalkan ajaran Islam kepada siapapun. Oleh karena itu, perkembangan Islam relatif cepat
di Kalimantan Barat. Setelah dari Pontianak, agama Islam berkembang ke daerah Landak dan Islam
yang berkembang di Mempawah menyebar ke daerah Kubu, Tayan, dan sekitarnya. Sedangkan
menurut Effendi (dalam Nurcahyani dkk, 1999: 85), di daerah Ketapang, Islam masuk dari
Palembang kemudian menyusuri Sungai Pawan menyebar ke sekitarnya dan terus menuju ke
pedalaman sebelah utara ke arah Sanggau dan Sintang, juga di daerah Sukadana dan Teluk Melano.
Namun, mengenai kapan agama Islam masuk ke Pontianak tidak ada keterangan yang lebih jelas.

Menarik perhatian beberapa tahun yang lampau pernah dilaporkan kepada Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional di Jakarta bahwa di daerah Sukadana ditemukan nisan-nisan kubur Islam dan
ternyata setelah diteliti bentuknya sama dengan nisan-nisan kubur di Tralaya yang pernah diteliti
oleh L.Ch. Damais. Nisan-nisan kubur di daerah Sukadana tersebut seperti halnya nisan-nisan kubur
di Tralaya sekitar abad ke-14—15 M (Poesponegoro, 2008: 89). Pendapat itu diperkuat bahwa
ketua kerajaan Tanjungpura dan Lawe (Sukadana) sudah banyak hubungannya dengan Jawa dan
Malaka sehingga kehadiran Islam di daerah Kalimantan Barat di pesisir itu mungkin sudah ada
sejak abad-abad tersebut. Ambary (1998: 8) mengemukakan bahwa di sebelah barat Kalimantan
Islam tampaknya menyebar lebih kemudian. Kota Waringin misalnya, menerima Islam sesudah
Banjarmasin, begitupun dengan daerah yang lebih ke barat lagi seperti Sambas dan Pontianak.
B. Sejarah Berdirinya Kerajaan Pontianak
Meskupun kita tidak mengetahui dengan pasti kehadiran Islam di Pontianak, konon ada
pemberitaan bahwa sekitar abad ke-18 M atau tahun 1720 ada rombongan pendakwah dari Tarim
(Hadramaut) yang di antaranya datang ke Kalimantan Barat untuk mengajarkan membaca Alquran,
ilmu fikih, dan ilmu hadist. Mereka di antaranya Syarif Idrus bersama anak buahnya pergi ke
Mampawah, tetapi kemudian menelusuri sungai ke arah laut memasuki Kapuas Kecil sampai ke
suatu tempat yang menjadi cikal bakal kota Pontianak (Poesponegoro, 2008: 90).

Syarif Idrus kemudian diangkat menjadi pemimpin utama masyarakat di tempat itu dengan
gelar Syarif Idrus bin Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian memindahkan kota dengan
pembuatan benteng atau kubu dari kayu-kayuan untuk pertahanan. Sejak itu Syarif Idrus bin
Abdurrahman al-Aydrus dikenal sebagai Raja Kubu dan daerah itu mengalami kemajuan di bidang
perdagangan dan keagamaan, banyak datang para pedagang dari berbagai negeri. Pemerintahan
Syarif Idrus (nama lengkapnya: Syarif Idrus al-Aydrus bin Abdurrahman bin All bin Hasan bin
Alwi bin Abdullah bin Ahmad bin Husein bin Abdullah al-Aydrus) yang memerintah dari tahun
1199-1209 H. Konon ia gugur tahun 1870 M karena serangan musuh yang tidak diduga.

Pendapat lain mengatakan bahwa pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang mengajarkan
Islam dan datang ke Kalimantan Barat terutama ke Sukadana adalah Habib Husain al-Gadri ia
semula singgah di Aceh dan kemudian ke Jawa sampai di Semarang dan di tempat itulah ia bertemu
dengan pedagang Arab namanya Syekh karena itulah Habib al-Gadri berlayar ke Sukadana
(Poesponegoro, 2008: 90). Dengan kesaktian Habib Husein al-Gadri mendapat banyak simpati dari
raja, Sultan Matan dan rakyatnya Habib Husein al-Gadri pindah dari Matan ke Mempawah untuk
meneruskan syi’ar Islam, yang setelah wafat dia digantikan oleh salah seorang putranya yang
bernama Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam. Ia pergi dengan sejumlah rakyatnya ke tempat
yang kemudian dinamakan Pontianak dan di tempat inilah ia mendirikan Keraton dan Mesjid
Agung. Berdirinya Kerajaan Pontianak tepat pada tanggal 23 Oktober 1771, dan dijadikan sebagai
peringatan hari jadi kota Pontianak. Sultan Syarif Abdurrahman sebagai pendiri kota Pontianak
sampai sekarang makamnya masih dikunjungi orang, terutama orang-orang yang masih percaya
akan kesaktian dari Sultan Syarif Abdurrahman.

C. Raja-Raja Kesultanan Pontianak


Raja-raja yang memimpin di Keeajaan Pontianak adalah keturunan dari Al Habib Husain Alqadrie.
Raja-raja tersebut adalah:

· Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie bin Al Habib Husain Alqadrie (1771-1808)

· Sultan Syarif Kasim Alqadrie bin Syarif Abdurrahman Alqadrie (1808-1819)

· Sultan Usman Alqadrie bin Syarif Abdurrahman Alqadrie (1819-1855)

· Sultan Syarif Hamid I Alqadrie bin Syarif Usman Alqadrie (1855-1873)


· Sultan Syarif Yusuf Alqadrie bin Syarif Hamid I Alqadrie (1873-1895)

· Sultan Syarif Muhammad Alqadrie bin Syarif Yusuf Alqadrie (1895-1944)

· Sultan Syarif Taha Alqadrie bin Syarif Yusuf Alqadrie (1944-1945)

· Sultan Syarif Hamid II Alqadrie bin Syarif Muhammad Alqadrie (1945-1950)

(Nurcahyani dkk, 1999: 14)

Dari kedelapan sultan-sultan tersebut, hanya tiga orang sultan yang terdengar kabarnya. Mereka
adalah sultan yang pertama, keenam, dan yang terakhir. Hal ini dikarenakan kurangnya sumber atau
bukti yang menceritakan tentang sultan-sultan lainnya tersebut.

1. Al Habib Husain Alqadrie


Jauh sebelum Sultan Abdurrahman lahir, ayahnya Al Habib Husain Alqadrie datang ke
Kerajaan Matan di Ketapang (Nurcahyani, 1999: 11). Berdasarkan keterangan tersebut, kita bisa
mengetahui bahwa awal pertama Islam dibawa ke Ketapang melauli Palembang yang kemudian
menyusuri Sungai Pawan. Kedatangan Al Habib Husain Alqadrie disambut dengan baik oleh Raja
Matan dengan diangkat sebagai penyebar syari’at agama Islam.
Ambary (1998: 9) mengemukakan bahwa dalam fase pelembagaan Islam (abad 17-18M)
terjadi pergulatan antara emporium dan imperium serta komunikasi yang diselenggarakan para
penyebar Islam—pedagang, musafir, ulama, dan kaum sufi—yang berdampak semakin diakuinya
peranan mereka dalam struktur komunitas pribumi. Dalam hal ini para penyebar Islam kemudian
dapat menduduki berbagai jabatan dalam struktur birokrasi kerajaan, dan banyak di antara mereka
yang menikah dengan putri kerajaan dan masyarakat pribumi. Hal ini juga terjadi pada Al Habib
Husain Alqadrie, dia kemudian menikah dengan Nyai Tua dan memperoleh 4 orang anak, yaitu
yang pertama diberi nama Syarifah Chatidjah, kedua Syarif Abdurrahman, yang ketiga Syarifah
Aliyah, dan yang keempat adalah Syarif Alwi. Setelah cukup lama berada di Kerajaan Matan, Al
Habib Husain Alqadrie besrta seluruh keluarganya pindah ke Kerajaan Mempawah. Kepindahan ini
disebabkan karena adanya kekecewaan Al Habib Husain Alqadrie terhadap sikapRaja Matan. . Pada
waktu itu pusat kerajaan Mempawah dipimpin oleh Opu Daeng Menambon berada di Sebukit di
Mempawah Hulu (Arifnasah: 2012).
Ketika Al Habib Husain Alqadrie berpindah dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah,
tahun 1755, Al Habib Husain Alqadrie sengaja meminta permukiman baru yang berada di Kuala
Mempawah dan dekat ke Laut. Ia ingin berhubungan dengan masyarakat yang berlalu lintas sambil
berdagang sehingga penyebaran agama Islam akan lebih mudah berkembang keberbagai daerah.
Hal ini sangat masuk akal, mengingat perkembangan agama Islam berkembang pesat karena adanya
lalu lintas dan transaksi perdagangan. Kita ketahui, raja pertama Kerajaan Pontianak bukan Al
Habib Husain Alqadrie, tetapi ia adalah ayah dari keturunan berukitnya yang kemudian mendirikan
Kerajaan Pontianak, yaitu anak keduanya yang bernama Syarif Abdurrahman.
2. Sultan Syarif Abdurrahman Nur Alam
Saat kepindahan Al Habib Husain Alqadrie dari Kerajaan Matan ke Kerajaan Mempawah,
usia Syarif Abdurrahman sudah mencapai 18 tahun. Ia melakukan dua pernikahan politik di
Kalimantan, pertama dengan putri dari Panembahan Mempawah dan kedua dengan putri Kesultanan
Banjarmasin (Wikipedia: 2010). Dari kepindahan di sinilah, ia kemudian menikah dengan putri Opu
Daeng Menambon yang bernama Utin Tjandramidi. Namanya juga masih muda, jiwa petualangan
Syarif Abdurrahman menyebabkan ia sering meninggalkan Mempawah dan pergi ke daerah-daerah,
tempat-tempat yang pernah dikunjunginya antara lain adalah Tambolon, Pulau Siantan, Palembang,
dan Banjar. Di kota Banjar inilah Syarif Abdurrahman menikah lagi dengan Ratu Syahranun, putrid
dari Sultan Banjarmasin dan memperoleh gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam.
Hubungan ini mungkin terjadi karena Banjarmasin sudah menerima Islam lebih dahulu daripada
wilayah lainnya di Kalimantan. Menurut J.J.Ras (dalam Ambary: 1998) daerah yang pertama kali
menerima kehadiran Islam di luar Brunei adalah Banjarmasin dan dalam Hikayat Banjar
menyatakan bahwa pihak yang mengislamkan daerah banjar sekitar 1550 M adalah Kerajaan
Demak. Hal tersebut mungkin karena sejak masa pra Islam, hubungan ekonomi antara Banjar dan
pantai utara Jawa sudah sering terjadi. Sehingga dengan persamaan agama yang dianut oleh Syarif
Abdurrahman dan Kerajaan Banjarmasin, membuat ia dipercaya oleh Sultan Banjarmasin untuk
memperistri putrinya. Sehingga hubungan pertalian antara raja dan ulama semakin kuat.

Setelah wafatnya Al Habib Husain Alqadrie, Syarif Abdurrahman beserta keluarganya


mencari perjalanan untuk membuka daerah baru. Perjalanan Syarif Abdurrahman beserta
keluarganya tidak berjalan dengan mulus, banyak ganggguan yang yang ditemui dalam perjalanan,
antara lain gangguan dari makhluk halus (Nurcahyani, 1999: 12). Setelah memperoleh tempat yang
dirasa cocok, yaitu tempat jatuhnya meriam yang telah ditentukannya maka dibangunlah masjid
yang sekarang terkenal dengan sebuitan Masjid Jami’Sultan Abdurrahman. Kemudian setelah
selesai baru didirikanlah keratin sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya sebagai pusat
pemerintahannya. Keratin tersebut diberi nama Keraton Kadriah. Syarif Abdurrahman mengangkat
dirinya sebagai raja dengan bergelar Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie (Arisandi: 2011).

Pengangkatan diri yang dilakukan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie bukan
semata-mata karena keinginannya sendiri. Tentunya kita bisa melihat, ia adalah menantu dari Raja
Mempawah dan Raja Banjarmasin, memiliki pengikut, dan ayahnya adalah seorang ulama.
Sehingga membuka kemungkinan ia juga didukung oleh pengikutnya dalam mendedikasikan
dirinya sebagai raja. Para pengiukutnya mendirikan pemukinman-pemukiman baru di sekitar
keraton. Begitupun dengan ketujuh orang Dayak (membantu Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie
mengusir makhluk halus), mereka dihadiahi tanah dan beras sebagai imblan bantuannya terhadap
raja.

Dalam kepemimpinan Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie Kerajaan Pontianak sebagai


kerajaan terakhir di Kalimantan Barat mempunyai perkembangan yang pesat dibandingkan dengan
kerajaan lain yang sudah berdiri terlebih dahulu. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif
Abdurrahman Al Qadrie, Kerajaan Pontianak mengalami masa kejayaannya. Hal ini dikarenakan
dalam pemerintahannya Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie begitu giat mengembangkan
perdagangan sehingga berkembang pesat. Hubungan antara pelabuhan-pelabuhan Sambas, Sellakau,
Sebakau, dan Singkawangberjalan dengan lancar. Begitu juga perkembangan hubungan dagang
dengan pedagang-pedagang seperti Cina, India, dan Eropa (Nurcahyani, 1999: 13-14). Kelancaran
hubungan tersebut mungkin dikarenakan Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie sudah terbiasa
melakukan perjalanan-perjalanan semasa mudanya sehingga ia bisa dengan mudah melakukan
komunikasi dan diplomasi dengan pimpinan daerah lain. Selain itu, kedudukan ayahnya yang
awalnya adalah ulama menjadikan Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie dikenal oleh pedagang-
pedagang dari daerah luar.

3. Sultan Syarif Muhammad Alqadrie


Sultan Syarif Muhammad Alqadrie sebagai sultan keenam memerintah Kerajaan Pontianak
sampai kedatangan Jepang di Kalimantan. Beliau meninggal dunia akibat penganiayaan Jepang
dalam peristiwa “penyungkupan” yang dilakukan oleh pemerintah Jepang. Saat itu Sultan Syarif
Muhammad selesai solat tahajjud saat tentara Jepang datang untuk melakukan penyungkupan ke
dalam istana dan akhirnya Sultan Syarif Muhammad Alqadrie beserta seluruh putra putrinya kecuali
Syarif Hamid yang kelak akan menjadi Sultan Hamid II (Syarifuddin & Isnawita, 2009:91).
Peristiwa itu terkenal dengan istilah “mandor”.

4. Sultan Syarif Hamid II Alqadrie bin Syarif Muhammad Alqadrie


Sultan Syarif Hamid merupakan raja yang paling menonjol di Kalimantan Barat menjelang
masa kemerdekaan RI, terutama dalam bidang politik. Sesuai dengan latar belakangnya yang
memperoleh pendidikan Barat, maka dasar pemikirannya sangat moderat. Beliau dilahirkan pada
tanggal 12 Juli 1913 di Pontianak, mendapat pendidikan ELS di Sukabumi, kemudian di Pontianak
dan Yogyakarta. Di Bandung masuk pendidikan HBS selama satu tahun di THS lalu di KMA di
Breda di negeri Belanda sampai tamat (Nurcahyani, 1999: 15). Masa hidupnya banyak dijalani di
luar Kalimantan Barat, yaitu di Malang setelah menematkan pendidikannya di Breda, karena oleh
tentara Belanda diangkat menjadi tentara berpangkat Letnan. Kemudian dipindahkan ke Balikpapan
dan daerah-daerah lain di Pulau Jawa. Pernah menjadi tawanan Jepang saat masa pendudukan
Jepang, namun kemudian diangkat kembali oleh Belanda menjadi Kolonel pada tahun 1945.

Tanggal 29 Oktober 1945, dia dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya dengan gelar
Sultan Hamid II. Terlepas dari konotasi sebagai seorang penghianat, sebenarnya Sultan Hamid II
adalah seorang yang cerdas dan memiliki pengalaman politik yang luas. Sultan Hamid II banyak
menduduki jabatan-jabatan yang cukup tinggi baik baik pada masa penjajahan Belanda maupun
pada masa Indonesia merdeka. Beliau adalah satu-satunya putera Kalimantan Barat yang menonjol
saat itu.

2.1 Kejayaan Kerajaan Pontianak

Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh
putranya, Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang dinobatkan sebagai Sultan
Pontianak pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak
dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan
masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam
mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak. Dalam
bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali
berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Teluk Belanga, sebagai pakaian resmi.
Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga
mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung
bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta
industri minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri
dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan
maupun tokoh-tokoh masyarakat.

2.2 Kemunduran Kerajaan Pontianak

Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan bala
tentara Kekaisaran Jepang ke Pontianak pada tahun 1942. Pada 24 Januari 1944, karena dianggap
memberontak dan bersekutu dengan Belanda, Jepangmenghancurkan Kesultanan Pontianak dan
beberapa kesultanan-kesultanan Melayudi Kalimantan Barat.
Pihak Jepang sebenarnya sudah mencurigai bahwa di Kalimantan Barat terdapat komplotan-
komplotan yang terdiri atas kaum cendekiawan, para bangsawan, raja, sultan, tokoh masyarakat,
orang-orang Tionghoa, dan para pejabat. Sehingga mereka berinisiatif untuk menghancurkan
mereka dengan penangkapan-penangkapan. Penangkapan-penangkapan tersebut terjadi
antara September 1943 dan awal 1944. Tak hanya melakukan penangkapan-
penangkapan, Jepang juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap ribuan
penduduk Pontianak dan sekitarnya. Pada 28 Juni 1944, Jepangmenghabisi Sultan Syarif
Muhammad beserta beberapa anggota keluarga dan kerabat kesultanan, pemuka adat, para
cendekiawan, dan tokoh masyarakat Pontianak. Nasib sama juga menimpa para raja dan sultan lain
serta masyarakat di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan
sebutan Peristiwa Mandor. Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad dan tindakan semena-
mena Jepang inilah yang menjadi salah satu faktor utama terjadinya Perang Dayak Desa.
Jenazah Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama
Syarif Hamid Alkadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu karena tidak sedang berada
di Pontianak. Saat itu ia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan bebas
pada 1945.

2.3 Pontianak sebagai pusat


Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra ulama
keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab
1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas
Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada
tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat
pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid Sultan
Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam
Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.

2.4 Kondisi Politik Ekonomi dan Sosial Budaya


Kehidupan Ekonomi

Perdagangan merupakan kegiatan yang menopang kehidupan ekonomi di Kerajaan Pontianak.


Kegiatan perdagangan berkembang pesat karena letak Pontianak yang berada di persimpangan 3
sungai. Pontianak juga membuka pelabuhan sebagai tempat interaksi dengan pedagang luar.

Komoditas utamanya antara lain :

-Garam, berlian, emas, lilin, rotan, tengkawang, karet, tepung sagu, gambir, ,pinang, sarang burung,
kopra, lada, dan kelapa.

Pontianak memiliki hubungan dagang yang luas. Selain dengan VOC, pedagang Pontianak
melakukan hubungan dagang dengan pedagang dari berbagai daerah. Kerajaan Pontianak kemudian
menerapkan pajak bagi pedagang dari luar daerah yang berdagang di Pontianak. Tidak sedikit dari
para pendatang yang kemudian bermukim di Pontianak. Mereka mendirikan perkampungan untuk
bermukim sehingga nama-nama perkampungan lebih menunjukkan ciri ras dan etnis.

Sistem Pemerintahan

Kesultanan ini berlangsung selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1771 hingga tahun 1950.
Selama kesultanan ini masih eksis terdapat delapan sultan yang pernah berkuasa. Ketika kesultanan
ini berakhir pada tahun 1950, yaitu seiring dengan bergabungnya banyak daerah dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sistem pemerintahan juga berubah menjadi
pemerintahan Kota Pontianak.Pada tahun 1943-1945, pejuang-pejuang di Kalimantan Barat ikut
berjuang melawan kolonialisme Jepang di Indonesia, sebagaimana yang dilakukan pejuang-pejuang
di Jawa dan Sumatera. Puncaknya, pada tanggal 16 Oktober 1943 terjadi pertemuan rahasia di
Gedung Medan Sepakat Pontianak yang dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat dari berabagai
golongan. Mereka bersepakat untuk merebut kekuasaan dari pemerintah kolonial Jepang dan
mendirikan Negeri Rakyat Kalimantan Barat dengan lengkap 18 menterinya.

Sistem Sosial

Masyarakat Pontianak dikelompokkan secara sosial berdasarkan identitas kesukuan, agama, dan ras.
Pengelompokan berdasarkan suku, yaitu: pertama, komunitas suku Dayak yang tinggal di daerah
pedalaman. Komunitas ini dikenal tertutup, lebih mengutamakan kesamaan dan kesatuan sosio-
kultural. Kedua, komunitas Melayu, Bugis, dan Arab, yang dikenal sebagai penganut Islam terbesar
di daerah ini yang lebih menekankan aspek sosio-historis sebagai kelas penguasa. Ketiga, imigran
Cina yang tinggal di daerah pesisir, yang dikenal sebagai satu kesatuan sosio-ekonomi.

Hasil Budaya

Tradisi Saprahan (Makan Dalam Kebersamaan)

Kata Saprahan sudah asing terdengar di telinga masyarakat Kalbar, padahal kata ini adalah sebuah
jamuan makan yang melibatkan banyak orang yang duduk di dalam satu barisan, saling berhadapan
dalam duduk satu kebersamaan. Masa kini tradisi tersebut telah berganti menjadi sebuah trend baru
prasmanan, dimana sulit untuk mempertemukan sekelompok orang atau masyarakat dalam satu
majelis, saling berbagi rasa tanpa syak swangka, saling berhadapan sembari menikmati hidangan
makanan di hadapannya.
Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam di pulau kalimantan yang wilayah kekuasaannya meliputi
sebagian besar daerah kalimantan pada saat sekarang ini. Pusat Kerajaan Banjar yang pertama
adalah daerah di sekitar Kuin Utara (sekarang di daerah Banjarmasin) , kemudian dipindah ke
martapura setelah keraton di Kuin dihancurkan oleh Belanda. Kerajaan ini berdiri pada september
1526 dengan Sultan Suriansyah (Raden Samudera) sebagai Sultan pertama Kerajaan Banjar.
Kerajaan Banjar runtuh pada saat berakhirnya Perang Banjar pada tahun 1905. Perang Banjar
merupakan peperangan yang diadakan kerajaan Banjar untuk melawan kolonialisasi Belanda. Raja
terakhir adalah Sultan Mohammad Seman (1862 - 1905), yang meninggal pada saat melakukan
pertempuran dengan belanda di puruk cahudoa

CIKAL BAKAL KERAJAAN BANJAR

Kemunculan Kerajaan Banjar tidak lepas dari melemahnya pengaruh Negara Daha sebagai
kerajaan yang berkuasa saat itu. Tepatnya pada saat Raden Sukarama memerintah Negara Daha,
menjelang akhir kekuasaannya dia mewasiatkan tahta kekuasaan Negara Daha kepada cucunya
yang bernama Raden Samudera. Akan tetapi, wasiat tersebut ditentang oleh ketiga anak Raden
Sukarama yaitu Mangkubumi, Tumenggung dan Bagulung. Setelah Raden Sukarama wafat,
Pangeran Tumenggung merebut kekuasaaan dari pewaris yang sah yaitu Raden samudera dan
merebut tahta kekuasaan Negara Daha.

Raden Samudera sebagai pihak yang kalah melarikan diri dan bersembunyi di daerah hilir
sungai barito. Dia dilindungi oleh kelompok orang melayu yang menempati wilayah itu. Kampung
orang melayu itu disebut kampung oloh masih yang artinya kampung orang melayu pimpinan Pati
Masih. Lama kelamaan kampung ini berkembang menjadi kota banjarmasih karena ramainya
perdagangan di tempat ini dan banyaknya pedagang yang menetap. Dalam pelarian politiknya,
raden Samudera melihat potensi Banjarmasih dengan sumber daya manusianya dapat dijadikan
kekuatan potensial untuk melawan kekuatan pusat, yaitu Negara Daha. Kekuatan Banjarmasih
untuk melakukan perlawaann terhadap Negara Daha akhirnya mendapat pengakuan formal setelah
komunitas melayu mengangkat Raden Samudera sebagai kepala Negara.

Pengangkatan ini menjadi titik balik perjuangan Raden Samudera. Terbentuknya kekuatan
politik baru di banjarmasih, sebagai kekuatan politik tandingan bagi Negara Daha ini menjadi media
politik bagi Raden Samudera dalam usahanya memperoleh haknya sebagai Raja di Negara Daha,
sedangkan bagi orang Melayu merupakan media mereka untuk tidak lagi membayar pajak kepada
Negara Daha

Setelah menjadi Raja di Banjarmasih, Raden Samudera dianjurkan oleh Patih Masih untuk
meminta bantuan Kerajaan Demak. Permintaan bantuan dari Raden Samudera diterima oleh Sultan
Demak, dengan syarat Raden Samudera beserta pengikutnya harus memeluk agama Islam. Syarat
tersebut disanggupi Raden Samudera dan Sultan Demak mengirimkan kontingennya yang dipimpin
oleh Khatib Dayan. Setibanya di Banjarmasih, kontingen Demak bergabung dengan pasukan dari
Banjarmasih untuk melakukan penyerangan ke Negara Daha di hulu sungai Barito. Setibanya di
daerah yang bernama Sanghiang Gantung, pasukan Bandarmasih dan Kontingen Demak bertemu
dengan Pasukan Negara daha dan pertempuran pun terjadi. Pertempuran ini berakhir dengan suatu
mufakat yang isinya adalah duel antara Raden samudera dengan Pangeran Tumenggung. Dalam
duel itu, Raden Samudera tampil sebagai pemenang dan pertempuran pun berakhir dengan
kemenangan banjarmasih.

Setelah kemenangan dalam pertempuran, Raden Samudera memindahkan Rakyat Negara


Daha ke Banjarmasih dan Raden Samudera dikukuhkan sebagai Kepala negaranya. Pembauran
penduduk Banjarmasih yang terdiri dari rakyat Negara Daha, Melayu, Dayak dan orang jawa
(kontingen dari Demak) menggambarkan bersatunya masyarakat di bawah pemerintahan Raden
Samudera. Pengumpulan penduduk di banjarmasih menyebabkan daerah ini menjadi ramai,
ditambah letaknya pada pertemuan sungai barito dan sungai martapura menyebabkan lalu lintas
menjadi ramai dan terbentuknya hubungan perdagangan. Raden Samudera akhirnya menjadikan
Islam sebagai agama negara dan rakyatnya memeluk agama Islam. Gelar yang dipergunakan oleh
Raden Samudera sejak saat itu berubah menjadi Sultan Suriansyah. Kerajaan Banjar pertama kali
dipimpin oleh Sultan Suriansyah ini.

Kerajaan Banjar semakin berkembang dan lama kelamaan luas wilayahnya semakin
bertambah. Kerajaan ini pada masa jayanya membentang dari banjarmasin sebagai ibukota pertama,
dan martapura sebagai ibukota pengganti setelah banjarmasin direbut belanda, daerah tanah laut,
margasari, amandit, alai, marabahan, banua lima yang terdiri dari Nagara, Alabio, Sungai Banar,
Amuntai dan Kalua serta daerah hulu sungai barito. Kerajaan semakin diperluas ke tanah bumbu,
Pulau Laut, Pasir, Berau dan kutai di panati timur. Kotawaringin, Landak, Sukadana dan sambas di
sebelah barat. Semua wilayah tersebut adalah Wilayah Kerajaan Banjar (yang apabila dilihat dari
peta zaman sekarang, Kerajaan Banjar menguasai hampir seluruh wilayah kalimantan di 4 provinsi
yang ada). Semua wilayah tersebut membayar pajak dan upeti. Semua daerah tersebut tidak pernah
tunduk karena ditaklukkan,tetapi karena mereka mengakui berada di bawah Kerajaan Banjar,
kecuali daerah pasir yang ditaklukkan pada tahun 1663
Kerajaan Banjar yang berdiri pada 24 september 1526 sampai berakhirnya perang Banjar
yang merupakan keruntuhan kerajaan Banjar memiliki 19 orang raja yang pernah berkuasa. Sultan
pertama kerajaan Banjar adalah Sultan Suriansyah (1526 - 1545), beliau adalah raja pertama yang
memeluk Agama Islam. Raja terakhir adalah Sultan Mohammad Seman (1862 - 1905), yang
meninggal pada saat melakukan pertempuran dengan belanda di puruk cahu.

Sultan Suriansyah sebagai Raja pertama mejadikan Kuin Utara sebagai pusat pemerintahan
dan pusat perdagangan Kerajaan Banjar. Sedangkan Sultan Mohammad Seman berkeraton di daerah
manawing - puruk cahu sebagai pusat pemerintahan pelariansenyumkenyit

Berikut adalah rincian Raja-raja Kerajaan Banjar sejak berdirinya kerajaan hingga runtuhnya
kerajaan itu :
1526 - 1545 :
Pangeran Samudra yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, Raja pertama yang memeluk
Islam
1545 - 1570 :
Sultan Rahmatullah
1570 - 1595 :
Sultan Hidayatullah
1595 - 1620 :
Sultan Mustain Billah, Marhum Penambahan yang dikenal sebagai Pangeran Kecil. Sultan
inilah yang memindahkan Keraton Ke Kayutangi, Martapura, karena keraton di Kuin yang
hancur diserang Belanda pada Tahun 1612
1620 - 1637 :
Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah
1637 - 1642 :
Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah
1642 - 1660 :
Adipati Halid memegang jabatan sebagai Wali Sultan, karena anak Sultan Saidullah,
Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa
1660 - 1663 :
Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan hingga 1663, kemudian Pangeran Adipati
Anum (Pangeran Suriansyah) merebut kekuasaan dan memindahkan kekuasaan ke
Banjarmasin=
1663 - 1679 :
Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan memindahkan pusat pemerintahan Ke
Banjarmasin bergelar Sultan Agung
1679 - 1700 :
Sultan Tahlilullah berkuasa
1700 - 1734 :
Sultan Tahmidullah bergelar Sultan Kuning
1734 - 1759 :
Pangeran Tamjid bin Sultan Agung, yang bergelar Sultan Tamjidillah
1759 - 1761 :
Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah
1761 - 1801 :
Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putera Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa
tetapi memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah
1801 - 1825 :
Sultan Suleman Al Mutamidullah bin Sultan Tahmidullah
1825 - 1857 :
Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman
1857 - 1859 :
Pangeran Tamjidillah
1859 - 1862 :
Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu'mina
1862 - 1905 :
Sultan Muhammad Seman yang merupakan Raja terakhir dari Kerajaan Banjar

2.6 Masa kejayaan


Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17
dengan lada sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau
Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar
upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak,
Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.
Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615untuk
menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura (Arosbaya) dan Surabaya, tetapi gagal karena
mendapat perlawanan yang sengit.]
Sultan Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa
dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan Gresik (1610),
Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622Mataram kembali
merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah selatan, barat daya dan tenggara
pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana
tahun 1622.
Seiring dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer
dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim Sambas,
Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu,
Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan
Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.
Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram,
tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada
lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari
korban agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh yang
sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan
Jawa.
Disamping menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin
juga harus menghadapi kekuatan Belanda. Pada tahun 1637 Banjarmasin dan Mataram mengadakan
perdamaian setelah hubungan yang tegang selama bertahun-tahun.] Perang Makassar (1660-1669)
menyebabkan banyak pedagang pindah dari Somba Opu, pelabuhan kesultanan Gowa ke
Banjarmasin. Mata uang yang beredar di Kesultanan Banjar disebut doit.
Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar
meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan
dengan Kerajaan Tanjungpura pada lokasi Tanjung Sambar (Ketapang) dan sebelah timur
berbatasan dengan Kesultanan Pasir pada lokasi Tanjung Aru. Pada daerah-daerah pecahannya,
rajanya bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar Sultan.
Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar, termasuk Kesultanan
Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.
Kesultanan Banjarmasin merupakan kerajaan terkuat di pulau Kalimantan. Sultan Banjar
menggunakan perkakas kerajaan yang bergaya Hindu.
2.7 Kemunduran Kerajaan Banjar
Pengganti Pangeran Antasari adalah puteranya yang bernama Muhammad Seman. Di mata
rakyat, beliau merupakan sultan Kesultanan Banjar terakhir yang mendapatkan tugas utama untuk
menggantikan sang ayah dalam menjaga nyala api perlawanan dalam Perang Banjar. Perlawanan
Muhammad eman terpaksa harus terhenti karena beliau meninggal dunia dalam suatu pertempuran
melawan Belanda di sungai Manawing pada tahun 1905. Beliau dimakamkan di puncak gunung di
Puruk Cahu Dengan meninggalnya Muhammad Seman, berarti riwayat Kesultanan Banjar juga
telah berakhir. Setelah Perang Banjar (1859-1905), Belanda membuat beberapa keputusan, antara
lain Kesultananan Banjar dihapuskan dan seluruh bekas daerah Kesultanan Banjar dimasukkan ke
dalam tatanan baru Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo . Dengan demikian
berakhirlah riwayat Kesultanan Banjar yang telah berlangsung selama 379 tahun (1526-1905).

2.8 Banjar Sebagai Pusat


Wilayah Kesultanan Banjar Raya adalah negeri-negeri yang menjadi wilayah
pengaruh mandala Kesultanan Banjarkhususnya sampai pertengahan abad ke-17 dan abad
sebelumnya.
Kesultanan Banjar merupakan penerus dari kerajaan Hindu di Kalimantan Selatan dengan
wilayah inti meliputi 5 distrik besar di Kalimantan Selatan yaitu Kuripan (Amuntai), Daha (Nagara-
Margasari), Gagelang (Alabio), Pudak Sategal (Kalua) dan Pandan Arum (Tanjung). Sejak awal
abad ke-16 berdirilah Kesultanan Banjar yang bertindak sebagai wakil Kesultanan Demak di
Kalimantan. Menurut Hikayat Banjar sejak zaman pemerintahan kerajaan Hindu, wilayah yang
termasuk mandala Kerajaan Banjar meliputi daerah taklukan paling barat adalah negeri Sambas
(Kerajaan Sambas kuno) sedangkan wilayah taklukan paling timur adalah negeri Karasikan (Banjar
Kulan/Buranun). Dahulu kala batas-batas negeri/kerajaan adalah antara satu tanjung dengan tanjung
lainnya sedangkan penduduk daerah pedalaman dianggap takluk kepada kerajaan bandar yang ada
di hilir misalnya terdapat 3 suku besar Dayak yaitu Dayak Biaju, Dayak Dusun dan Dayak Pari (Ot
Danum) yang merupakan bagian dari rakyat kerajaan Banjar. Kesultanan Brunei merupakan
kesultanan yang pertama di pulau Kalimantan, dan kemudian disusul berdirinya Kesultanan Banjar
tahun 1526. Kedua kesultanan merupakan saingan. Kesultanan Brunei menjadi penguasa tunggal di
wilayah utara Kalimantan. Pada masa kejayaannya Kesultanan Banjar mampu menyaingi kekayaan
Kesultanan Brunei dan menarik upeti kepada raja-raja lokal.
Teritorial kerajaan Banjar pada abad ke 15-17 dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini tidak
dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu :
1. Negara Agung (wilayah sentral budaya Banjar yaitu wilayah Banjar Kuala, Batang Banyu
dan Pahuluan)
2. Mancanegara (daerah rantau: Kepangeranan Kotawaringin, Tanah Dusun, Tanah Laut, Pulau
Laut, Tanah Bumbu, dan Paser)
3. Daerah Pesisir (daerah tepi/terluar: Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur/Utara)
Pada mulanya ibukota Kesultanan Banjar adalah Banjarmasin kemudian pindah ke Martapura.
Pada masa kejayaannya, wilayah yang pernah diklaim sebagai wilayah pengaruh mandala
kesultanan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari
negeri Sambas di barat laut sampai ke negeri Karasikan (Banjar Kulan/Buranun) di timur laut yang
letaknya jauh dari pusat kesultanan Banjar. Negeri Sambas dan Karasikan (Banjar Kulan/Buranun)
pernah mengirim upeti kepada raja Banjar. Selain itu dalam Hikayat Banjar juga disebutkan negeri-
negeri di Batang Lawai, Sukadana, Bunyut (Kutai Hulu) dan Sewa Agung/Sawakung). Negeri-
negeri bekas milik Tanjungpura yaitu Sambas, Batang Lawai, dan Sukadana terletak di sebelah
barat Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan besar: Brunei
(Borneo), Tanjungpura (Sukadana) dan Banjarmasin. Tanjung Sambar merupakan perbatasan kuno
antara wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala Banjarmasin (daerah
Kotawaringin). Menurut sumber Inggris, Tanjung Kanukungan (sekarang Tanjung Mangkalihat)
adalah perbatasan wilayah mandala Banjarmasin dengan wilayah mandala Brunei, tetapi Hikayat
Banjar mengklaim daerah-daerah di sebelah utara dari Tanjung Kanukungan/Mangkalihat yaitu
Kerajaan Berau kuno juga pernah mengirim upeti kepada Kerajaan Banjar Hindu, dan sejarah
membuktikan daerah-daerah tersebut dimasukkan dalam wilayah Hindia Belanda. Perbatasan di
pedalaman, daerah aliran sungai Pinoh (sebagian Kabupaten Melawi) termasuk dalam
wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin) yang dinamakan daerah Lawai[12] Sanggau
dan Sintang juga dimasukan dalam wilayah pengaruh mandala Kesultanan Banjar. Dari bagian
timur Kalimantan sampai ke Tanjung Sambar terdapat beberapa distrik/kerajaan kecil yang berada
di bawah pengaruh mandala kekuasaan Sultan Banjar yaitu Berau, Kutai, Paser, Tanah Bumbu,
Tanah Laut, Tatas, Dusun Hulu, Dusun Ilir, Bakumpai, Dayak Besar (Kahayan), Dayak Kecil
(Kapuas Murung), Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kotawaringin. Inilah yang disebut "negara
Kerajaan Banjar". Daerah-daerah kekuasaan Sultan Banjar yang paling terasa di Paser, Tanah
Bumbu, Tanah Laut, Bakumpai dan Dusun.[13] Terminologi wilayah Tanah Seberang, tidak ada
dalam wilayah Kesultanan Banjar, karena tidak memiliki jajahan di luar kepulauan Kalimantan,
walaupun orang Banjar juga merantau sampai keluar pulau Kalimantan.
Kerajaan Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai Sambas adalah dari awal abad ke-15 M
hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas yang menguasai
wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas ini kemudian runtuh pada pertengahan
abad ke-16 M dan dilanjutkan dengan Panembahan Sambas hindu yang merupakan keturunan
Bangsawan Majapahit dari Wikramawadhana. Pada saat memerintah Panembahan Sambas hindu ini
bernaung dibawah Dipati/Panembahan Sukadana (bawahan Sultan Banjar) sampai awal abad ke-17
M yang kemudian beralih bernaung dibawah Kesultanan Johor. Panembahan Sambas hindu ini
kemudian runtuh pada akhir abad ke-17 M dan digantikan dengan Kesultanan Sambas yang
didirikan oleh keturunan Sultan Brunei melalui Sultan Tengah pada tahun 1675 M. Sejak
berdirinya Kesultanan Sambas hingga seterusnya Kesultanan Sambas adalah berdaulat penuh yaitu
tidak pernah bernaung atau membayar upeti kepada pihak manapun kecuali pada tahun 1855 yaitu
dikuasai / dikendalikan pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti juga Kerajaan-Kerajaan
lainnya diseluruh Nusantara terutama di Pulau Jawa yang saat itu seluruhnya yang berada dibawah
Pemerintah Hindia Belanda di Batavia) yaitu pada masa Sultan Sambas ke-12(Sultan Umar
Kamaluddin).
Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat dilihat
dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas
wilayah yang fleksibel disebabkan oleh berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan Banjar.
 Sejak ibukota dipindahkan ke Daerah Martapura maka kota Martapura sebagai Kota
Raja merupakan wilayah/ring pertama dan pusat pemeritahan Sultan Banjar.

 Wilayah teritorial/ring kedua, Negara Agung terdiri dari :

1. Tanah Laut atau Laut Darat terdiri :


1. Satui
2. Tabunio. Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
3. Maluka, daerah yang dikuasai Inggris pada 1815 – 1816 yaitu Maluka, Liang
Anggang, Kurau dan Pulau Lamai.
2. Daerah Banjar Lama/Kuin (Banjarmasin bagian Utara) dan Pulau Tatas (Banjarmasin bagian
Barat). Tahun 1709 atau Tahun 1747 Belanda mendirikan benteng di Pulau Tatas
(Banjarmasin bagian barat) merupakan daerah yang mula-mula dimiliki
VOC_Belanda.[18] Pulau Tatas termasuk daerah yang diserahkan kepada VOC-Belanda
pada 13 Agustus 1787, selanjutnya Mantuil sampai Sungai Mesa diserahkan kepada Hindia
Belanda pada 4 Mei 1826, sedangkan Banjar Lama (Kuin) sampai perbatasan daerah
Margasari masih tetap sebagai wilayah kesultanan sampai 1860.
3. Margasari. Wilayah kerajaan sampai 1860.
4. Banua Ampat artinya banua nang empat yaitu Banua Padang, Banua Halat, Banua
Parigi dan Banua Gadung. Wilayah kesultanan sampai 1860.
5. Amandit. Wilayah kerajaan sampai 1860.
6. Labuan Amas. Wilayah kerajaan sampai 1860.
7. Alay. Wilayah kerajaan sampai 1860.
8. Banua Lima artinya lalawangan nang lima yaitu Negara, Alabio, Sungai
Banar, Amuntai dan Kalua. Wilayah kerajaan sampai 1860.
9. Pulau Bakumpai yaitu tebing barat sungai Barito dari kuala Anzaman ke hilir sampai
kuala Lupak. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826 bersama daerah Pulau
Burung.
10. Tanah Dusun yaitu dari kuala Marabahan sampai hulu sungai Barito. Pada 13 Agustus 1787,
Dusun Atas diserahkan kepada VOC-Belanda tetapi daerah Mengkatip (Dusun Hilir)
dan Tamiang Layang (Dusun Timur) dan sekitarnya tetap termasuk daalam wilayah inti
Kesultanan Banjar hingga dihapuskan oleh Belanda tahun 1860.

 Teritorial/ring ketiga, yaitu Mancanegara, dengan tambahan kedua daerah ini merupakan
wilayah asal Kesultanan Banjar sebelum pemekaran yang terdiri dari :
 Wilayah Barat yaitu wilayah Negara bagian Kotawaringin dan Tanah Dayak (Biaju) yaitu
meliputi daerah Kerajaan Kotawaringin (dengan distrik-
distriknya: Jelai dan Kumai), Pembuang, Sampit, Mendawai serta daerah milik
Kotawaringin di Kalbar yang dihuni Dayak Ot Danum yaitu Lawai atau Pinoh
(sebagian Kabupaten Melawi) yang letaknya bersebelahan dengan kawasan udik sungai
Katingan/Mendawai dan berbatasan dengan Kerajaan Sintang. Perbatasan Kerajaan
Kotawaringin dengan Kerajaan Sukadana/Matan terletak di Tanjung Sambar. Juga turut
diklaim wilayah Tanah Dayak (Rumpun Ot Danum), yang berpusat mandala di udik sungai
Kahayan (Tumbang Anoi) yaitu daerah-daerah suku Dayak Biaju dan Dayak Pari (Ot
Danum) beserta semua daratan yang takluk kepadanya. Semua distrik-distrik di wilayah
Tanah Kotawaringin dan Tanah Dayak diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus
1787. Secara resmi daerah-daerah Dayak pedalaman tersebut diduduki Belanda sejak
Perjanjian Tumbang Anoi pada Tahun 1894.
 Wilayah Timur (Kalimantan Tenggara) : yaitu Negara bagian Paser dan Negara bagian
Tanah Bumbu. Kerajaan Paserdidirikan oleh seorang panglima Kerajaan Banjar atau
Kuripan-Daha, sehingga sejak semula takluk kepada Kesultanan Banjar, namun belakangan
berada di bawah pengaruh La Madukelleng. Tahun 1703 Tanah Paser berubah dari
pemerintahan Panembahan menjadi kesultanan, daerah ini diserahkan kepada Hindia
Belanda pada 13 Agustus 1787 dan dimulai pada masa Sultan Paser Sultan Mahmud Han
menjalin kontrak politik dengan Hindia Belanda. Kerajaan Tanah Bumbu didirikan
Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah, yang pada mulanya mencakup kawasan mulai
Tanjung Aru sampai Tanjung Silat, belakangan wilayah intinya terutama terdiri atas 7
divisi: Cengal (Pamukan), Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan (Kelumpang), Cantung,
Buntar-Laut dan Batulicin. Pada bulan Juli 1825, Raja Aji Jawi, penguasa Tanah Bumbu
yang memiliki 6 daerah (Cengal, Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan, Cantung, Buntar-
Laut) membuat kontrak politik dengan Hindia Belanda yang menjadikan Tanah Bumbu
sebagai swapraja. Tahun 1841, negeri Sampanahan di bawah Pangeran Mangku Bumi
(Gusti Ali) menjadi swapraja terpisah dari wilayah Tanah Bumbu lainnya. Tahun 1846
Buntar-Laut dianeksasi/diintegrasikan oleh penguasa Cantung yang kelak menjadi swapraja
tersendiri terpisah dari wilayah Tanah Bumbu di bawah Raja Aji Mandura sebagai Raja
Cantung dan Buntar-Laut. Negeri Batulicin di bawah Pangeran Aji Musa, kemudian
digantikan puteranya Pangeran Abdul Kadir yang kelak mendapatkan negeri Kusan
dan Pulau Laut. Kerajaan Kusan pada mulanya didirikan Sultan Amir bin Sultan
Muhammadillah rival Sunan Nata Alam dalam memperebutkan tahta Kesultanan Banjar.
Sultan Banjar melantik Hasan La Pangewa sebagai kapten suku Bugis bergelar Kapitan
Laut Pulo sebagai penguasa Pagatan setelah ia berhasil mengusir Sultan Amir dari Kerajaan
Kusan. Di masa Arung Botto, Raja Pagatan menjalin kontrak sebagai swapraja di bawah
Hindia Belanda. Belakangan wilayah Kusan digabung dengan Tanah Pagatan dan kemudian
Hindia Belanda membentuk pula swapraja Sabamban. Wilayah Kalimantan Tenggara ini
diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787, ditegaskan lagi pada tahun 1826.
Pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda menjadikannya Afdeeling Pasir en de Tanah
Boemboe dengan 11 swapraja yang meliputi Kesultanan Paser dan wilayah Tanah Bumbu
(Sabamban, Kusan, Pagatan, Batu Licin, Pulau Laut dengan Pulau
Sebuku, Bangkalaan, Cantung dengan Buntar-Laut, Sampanahan, Manunggul, Cengal).
Semua kerajaan ini termasuk ke dalam Borneo Timur di bawah Asisten Residen yang
berkedudukan di Samarinda sejak tahun 1846.

 Teritorial/ring keempat, adalah Pesisir yaitu daerah terluar, maka dengan tambahan kedua
wilayah ini teritorial kerajaan semakin bertambah luas lebih kurang sama dengan Provinsi
Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Perjanjian Sultan Tamjidullah I dengan VOC
pada 20 Oktober 1756 yang berencana untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang
melepaskan diri yaitu Sanggau, Sintang, Lawai, Paser, Kutai dan Berau. Daerah Pesisir terdiri
dari :[19]
 Pesisir Timur disebut tanah yang di atas angin meliputi kawasan timur Kalimantan dan jika
digabung dengan kawasan selatan Kalimantan menjadi Karesidenan Afdeeling Selatan dan
Timur Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda.] Kerajaan-kerajaan di Kaltim tergolang
sebagai negara dependen di dalam Kesultanan Banjar.

1. Wilayah Negara bagian Kutai. Tahun 1735 Kerajaan Kutai Kartanegara berubah dari
pemerintahan Pangeran Adipati menjadi kesultanan. Diserahkan kepada Hindia Belanda
pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826. Tahun 1844 Sultan Kutai mengakui kedaulatan
Hindia Belanda.
2. Wilayah Negara bagian Berau/Kuran (sejak 1810-an terbagi menjadi Gunung
Tabur dan Tanjung) beserta daerah-daerah Berau yang melepaskan diri pada abad ke-18 dan
bawah pengaruh Kesultanan Sulu (& Brunei) yaitu Tanah Bulungan dan Tanah Tidung.
Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826.
3. Wilayah terluar di timur yang telah lama melepaskan diri dan kemudian di bawah pengaruh
Brunei yaitu Negara bagian Karasikan atau Buranun/Banjar Kulan (Banjar Kecil).

 Pesisir Barat disebut tanah yang di bawah angin meliputi kawasan barat Kalimantan yang
kemudian menjadi Karesidenan Borneo Barat pada masa kolonial Hindia Belanda.

1. Wilayah Batang Lawai atau sungai Kapuas (Negara bagian Sanggau, Negara bagian
Sintang dan Negara bagian Lawai).] Wilayah Batang Lawai mengirim upeti melalui anak-
anak sungai Melawi dilanjutkan dengan jalan darat menuju sungai Katingan yang bermuara
ke laut Jawa dilanjutkan perjalanan laut dekat sungai Barito di Banjarmasin. Kerajaan
Sintang mulai diperintah Dinasti Majapahit semenjak pernikahan Patih Logender dari
Majapahit dengan Dara Juanti (Raja Sintang ke-9). Tahun 1600 Raja Sintang mengirim
utusan ke Banjarmasin untuk menyalin kitab suci Al-Quran. Kerajaan Sintang dan Mlawai
(Kabupaten Melawi) dan Jelai termasuk daerah yang diserahkan oleh Sultan Adam kepada
Hindia Belanda pada 4 Mei 1826. Mlawai sebelumnya termasuk daerah-daerah yang
diserahkan oleh Sunan Nata Alam kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
Belakangan Tanah Sanggau ditaklukan dan berada di bawah supremasi pemerintahan Sultan
Pontianak (protektorat VOC Belanda).
2. Wilayah Negara bagian Sukadana/Tanjungpura (sebagian besar Kalbar)[30] Kerajaan
Sukadana/Tanjungpura diperintah oleh Dinasti Majapahit. Kerajaan Sukadana menjadi
vazal sejak era Kerajaan Banjar-Hindu. Sejak pernikahan Raden Saradewa/Giri Mustaka
dengan Putri Gilang (Dayang Gilang) cucu Sultan Mustainbillah maka sebagai hadiah
perkawinan Sukadana/Matan dibebaskan dari membayar upeti.[9] Saat itu Raja Sukadana
memiliki bisnis dan tinggal di Banjarmasin dan termasuk anggota Dewan Mahkota. Pada
tahun 1622, kerajaan Sukadana berubah dari
pemerintahan Panembahan menjadi kesultanan, selanjutnya Panembahan Giri Mustaka
bergelar Sultan Muhammad Safi ad-Din. Pada tahun 1661 Sukadana/Matan terakhir kalinya
Sukadana mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar. Di bawah pemerintahan Sultan
Muhammad Zainuddin kembali mengirim upeti sebagai daerah perlindungan Kesultanan
Banjar. Kemudian Sukadana dianggap sebagai vazal Kesultanan Banten setelah mengalami
kekalahan dalam perang Sukadana-Landak pada tahun 1700 (dimana Landak dibantu
Banten & VOC), kemudian Banten menyerahkan Landak (vazal Banten) dan Tanah
Sukadana/Tanjungpura (sebagian besar Kalbar) kepada VOC-Belanda pada 26 Maret 1778,
kemudian diserahkan oleh VOC di bawah supremasi pemerintahan Sultan Pontianak,
karena itu gelar Sultan untuk penguasa Sukadana/Matan diubah menjadi Panembahan[31]
3. Wilayah terluar di barat adalah Negara bagian Sambas. Menurut Hikayat Banjar, sejak era
pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas kuno menjadi taklukannya dan
terakhir kalinya Pangeran Adipati Sambas (Panembahan Sambas) mengantar upeti dua biji
intan yang besar yaitu si Misim dan si Giwang kepada Sultan Banjar IV Marhum
Panembahan (1595-1642).[9][32][33] Pada 1 Oktober 1609, negeri Sambas menjadi daerah
protektorat VOC-Belanda dan lepas dari pengaruh kesultanan Banjar. Intan Si
Misim kemudian dipersembahkan oleh Sultan Banjar kepada Sultan Agung, raja Mataram
pada bulan Oktober tahun 1641 yang merupakan persembahan (bukan upeti) terakhir yang
dikirim kepada pemerintahan di Jawa (Kesultanan Mataram).[34][35][36] Semula Kerajaan
Sambasdiperintah oleh Dinasti Majapahit yang bergelar Pangeran Adipati/Panembahan
Sambas, selanjutnya mulai tahun 1675Tanah Sambas diperintah oleh Dinasti Brunei dan
berubah menjadi kesultanan bernama Kesultanan Sambas. Tahun 1855 Sambas
digabungkan ke dalam Hindia Belanda sebagai ibukota dari Karesidenan Sambas, yang
membawahi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.
Pada abad ke-18 Pangeran Tamjidullah I berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan
kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata Dilaga sebagai Sultan yang pertama
sebagai Panembahan Kaharudin Khalilullah. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja pertama
dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata
Alam pada tahun 1772. Putera dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang bernama Pangeran
Amir, atau cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada
pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan
menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun 1757, dan
berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan
kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta
bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten
Hoffman dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran
Amir terpaksa melarikan diri kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir
mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak
senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC.
Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sri Langka pada
tahun 1787. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana raja-
raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun 1826 diadakan
perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian
dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri
pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putra Mahkota dan Mangkubumi, yang
mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu
penyebab pecahnya Perang Banjar.
Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada
tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq Billah, perjanjian itu
juga ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu(Putra Mahkota), Pangeran Mangkubumi, Pangeran
Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi
dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda
di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kesultanan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan
Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinzaman. Berdasarkan
perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama sekali, sedangkan kekuasaan ke
dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah :[38]

1. Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan
Belanda.
2. Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian
dibawah pemerintahan langsung Hindia Belanda. Wilayah-wilayah milik Hindia Belanda
seperti tersebut dalam Pasal 4 :
1. Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
2. Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Mantuil,
3. Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur pada Rantau Keliling dengan sungai-
sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau Tatas.
4. Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai
Lumbah.
5. Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala
Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak.
6. Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu
mulai Mangkatip sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan.
7. Tanah Dayak Besar-Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala
Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya.
8. Tanah Mandawai.
9. Sampit
10. Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya
11. Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
12. Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan ke Timur
sampai batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai
Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung
Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan.
13. Negeri-negeri di pesisir timur: Pagatan, Pulau Laut, Batu
Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.
3. Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
4. Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari
dalam negeri.
5. Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada
Belanda. Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya untuk berburu
menjangan. Padang perburuan itu, meliputi :
1. Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka
2. Padang Bajingah
3. Padang Penggantihan
4. Padang Munggu Basung
5. Padang Taluk Batangang
6. Padang Atirak
7. Padang Pacakan
8. Padang Simupuran
9. Padang Ujung Karangan
6. Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan
sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual
pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.
Gambaran umum abad ke-19 bagi Kesultanan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar
sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan
perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh, tetap berdautat menjalani
kekuasaan sebagai seorang Sultan. Pada tahun 1860, Kesultanan Banjar dihapuskan dan digantikan
pemerintahan regent yang berkedudukan masing-masing di Martapura (Pangeran Jaya Pemenang)
dan di Amuntai (Raden Adipati Danu Raja). Adat istiadat sembah menyembah tetap berlaku hingga
meninggalnya Pangeran Suria Winata, Regent Martapura saat itu. Jabatan regent di daerah ini
akhirnya dihapuskan pada tahun 1884

2.9 Kondisi Politik Ekonomi dan Sosial Budaya Kerajaan Banjar


A. Politik
Bentuk pemerintahan Banjar sejak berdirinya sudah dipengaruhi oleh Kerajaan Demak.
Merupakan konsekuensi logis jikalau kerajaan A dapat memdirikan kerajaan dengan bantuan
Kerajaan B, maka Kerajaan B turut mempengaruhi bentuk dan jalannya pemerintahan Kerajaan A.
Walaupun dalam bentuk pemerintahan dibangun menurut model Jawa, raja dalam
kekuasaannya tidaklah semutlak (seabsolut) raja-raja jawa. Disamping keturunan, kekayaan juga
faktor yang menentukan dalam kedudukan raja. Pada hakekatnya pemerintah bersifat aristokratis,
yang dikuasai oleh para bangsawan, yang mana raja hanya sebagai simbol pemersatu belaka.
Sultan dalam Kerajaan Banjar merupakan penguasa tertinggi , yang mempunyai kekuasaan
dalam masalah politik dan keagamaan. Dibawah sultan ada Putera Mahkota yang dikenal dengan
sebutan Sultan Muta. Ia tidak mempunyai jabatan tertentu tetapi pembantu Sultan. Disamping
Sultan, terdapat sebuah lembaga Dewan Mahkota yang terdiri dari kaum bangsawan dan
Mangkubumi.
Mangkubumi adalah pembantu sultan yang mempunyai peranan besar dalam roda pemerintahan.
Mangkubumi di dalam pemerintahan didampingi menteri Panganan, Menteri Pangiwa dan Menteri
Bumi dan dibantu lagi oleh 40 orang menteri Sikap. Tiap-tiap menteri Sikap mempunyai bawahan
sebanyak 100 orang.[11]
Dilingkungan Kraton terdapat banyak pegawai atau petugas.[12] Antara lain:
1. Lima puluh orang Sarawisa di bawah pimpinan Sarabraja bertugas menjaga krato
2. Lima puluh orang Mandung dibawah Raksayuda bertugas menjaga istana bangsal
3. Empat puluh orang Menagarsari dibawah Sarayuda bertugas mengawal raja
4. Empat puluh orang Singabana atau Parawila dibawah Singataka dan Singapati bertugas
sebagai polisi
5. Empat puluh orang Sarageni di bawah Saradipa bertugas menjaga alat senjata
6. Empat puluh orang Tuha Buru di bawah Puspawana bertugas mengawal raja bila sedang
berburu
7. Lima puluh orang Pangadapan atau Pamarakan dibawah Rasawija melakukan ber aneka ragam
tugas di istana.

B. Sosial-ekonomi
Dalam masyarakat Banjar terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk segi tiga
piramid. Lapisan teratas adalah golongan penguasa yang merupakan golongan minoritas. Golongan
ini terdiri dari kaum bangsawan, keluarga raja. Lapisan tengah diisi oleh para pemuka agama yang
mengurusi masalah hukum keagamaan dalam kerajaan. Sementara golongan mayoritas diisi oleh
para petani, nelayan, pedagang dan lain sebagainya.
Perkembangan perekonomian di Kalimantan Selatan mengalami kemajuan yang pesat pada
abad-16 sampai abad-17. Banjarmasin menjadi kota dagang yang sangat berarti untuk mencapai
suatu kemakmuran kerajaan. Kalimantan Selatan juga memiliki perairan yang strategis sebagai lalu
lintas perdagangan. Dalam perdagangan, lada merupakan komoditas ekspor terbesar dalam
Kerajaan Banjar.
Dalam hal industri, Kerajaan Banjar juga menghasilkan besi dan logam. Industri logam dan
besi ini terdapat di daerah Negara. Kemampuan dan keahlian mereka mencor logam seperti
perunggu, yang dapat menghasilkan bermacam barang-barang untuk di ekspor. Sejak abad ke-17
daerah Negara terkenal dengan pembuatan kapal dan peralatan senjata lainnya, seperti golok, kapak,
cangkul dan lain-lain. Selain itu, keahlian membuat kendi sebagai bentuk kerajinan yang telah
berkembang turun-temurun sebagai sambilan disamping bertani. Kemudian dikenal juga usaha-
usaha pertukangan, seperti tukang gergaji papan dan balok, tukang sirap, dan lain sebagainya.

C. Budaya
Orang-orang Banjar terdiri dari tiga golongan, yaitu kelompok Banjar Muara (Suku Ngaju),
Kelompok Banjar Batang Banyu (Suku Maanyan), dan Kelompok Banjar Hulu (Suku Bukit).
Dalam setiap kurun Sejarah, Kebudayaan Banjar mengalami pergeseran dan perubahan-perubahan
hingga coraknya berbeda dari zaman ke zaman. Ini merupakan manifestasi dari cara berpikir
sekelompok manusia di daerah ini dalam suatu kurun waktu tertentu.
Dalam rentetan peristiwa sejarah, kita dapatkan bahwa masyarakat Banjar dimulai dari
percampuran budaya melayu dengan budaya bukit dan maanyan sebagai inti, kemudian membentuk
kerajaan Tanjung Pura dengan agama Buddha. Yang kedua, percampuran kebudayaan pertama
dengan kebudayaan Jawa, yang mana budaya Maanyan, Bukit, dan Melayu menjadi inti, yang
kemudian membentuk Kerajaan Negara Dipa dengan agama Buddha. Yang ketiga, adalah
perpaduan dengan kebudayaan Jawa yang membentuk kerajaan Negara Daha dengan agama Hindu.
Yang terakhir, lanjutan dari Kerajaan Daha dalam membentuk kerajaan Banjar Islam dan perpaduan
suku Ngaju, Maanyan dan Bukit. Dari perpaduan yang terakhir inilah akhirnya melahirkan
kebudayaan yang ada dalam Kerajaan Banjar.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa awal mulanya Kerajaan Islam di
Kalimantan terjadi karena Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha dapat ditaklukkan oleh kerajaan Islam
sehingga agama Islam menyebar hingga ke seluruh Nusantara, salah satunya Kalimantan. Di
Kalimantan, Kerajaan Islam juga menyebar akibat kekalah Kerajaan Hindu-Budha yang kemudian
digantikan oleh Kerajaan Islam. Salah satu Pangeran yang berjasa dalam penyebaran Kerajaan
Islam di Kalimantan Ialah Pangeran samudera. Hal itu terjadi karena pangeran Samudera menikahi
seorang Puteri dari Kerajaan Hindu-Budha yang kemudian diIslamkanoleh Pengeran samudera dan
hal itu mengakibatkan kemarahan dari saudara-saudara sang Puteri dan mengakibatkan terjadi
perperangan dan pertumpahan darah. Dari sanalah kemudian muncul kerajaan-kerajaan Islam yang
tersebar akibat kekalah kerajaan Hindu-Budha tersebut.
Adapun Kerajaan-Kerajaan Islam yang ada di Kalimantan yaitu Kesultanan Banjar dan Pontianak

3.2. Saran
Setelah beberapa paparan dan kesimpulan yang dijabarkan, saran yang dapat penulis
sampaikan yaitu semoga dengan mengetahui sejarah perkembangan Islam di Kalimantan kita dapat
menghormati dan menghargai hasil jerih payah mereka dalam menegakkan Islam di daerah
Kalimantan walaupun harus berkorban nyawa dalam memerangi kerajaan Hindu-Budha yang
pernah menguasai daerah-daerah di Kalimantan.
DAFTAR PUSTAKA

Wildian, Anggita. 2014. Sejarah Kerajaan-Kerajaan Islam di Kalimantan.


http://anggitwildian.blogspot.co.id/2014/03/sejarah-kerajan-kerajaan-islam-di.html . Diakses
tanggal 14 November 2015 pukul 10.00 Wita.

Вам также может понравиться