Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Puji syukur penulis penjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-
Nyalah, makalah yang berjudul “Sejarah Kerajaan-Kerajaan islam di Kalimantan” dapat
terselesaikan sesuai waktu yang disediakan. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang
diberikan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Guru Pengajar
2. Orang tua penulis yang mendukung penulis secara moral maupun materiil.
3. Teman-teman yang telah mendukung terselesaikannya penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis
mengharapkan adanya masukan baik itu saran ataupun kritik yang bersifat membangun, serta
bimbingan lebih lanjut yang sifatnya membangun dari semua pihak demi sempurnanya makalah ini.
Akhir kata, penulis mohon maaf apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan
baik itu penulisan maupun penyusunan yang telah penulis lakukan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
BAB I
PENDAHULUAN
4.Dapat mengetahui kondisi Politik Ekonomi dan sosial budaya Kerajaan Pontianak Dan Banjar
BAB II
PEMBAHASAN
Menarik perhatian beberapa tahun yang lampau pernah dilaporkan kepada Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional di Jakarta bahwa di daerah Sukadana ditemukan nisan-nisan kubur Islam dan
ternyata setelah diteliti bentuknya sama dengan nisan-nisan kubur di Tralaya yang pernah diteliti
oleh L.Ch. Damais. Nisan-nisan kubur di daerah Sukadana tersebut seperti halnya nisan-nisan kubur
di Tralaya sekitar abad ke-14—15 M (Poesponegoro, 2008: 89). Pendapat itu diperkuat bahwa
ketua kerajaan Tanjungpura dan Lawe (Sukadana) sudah banyak hubungannya dengan Jawa dan
Malaka sehingga kehadiran Islam di daerah Kalimantan Barat di pesisir itu mungkin sudah ada
sejak abad-abad tersebut. Ambary (1998: 8) mengemukakan bahwa di sebelah barat Kalimantan
Islam tampaknya menyebar lebih kemudian. Kota Waringin misalnya, menerima Islam sesudah
Banjarmasin, begitupun dengan daerah yang lebih ke barat lagi seperti Sambas dan Pontianak.
B. Sejarah Berdirinya Kerajaan Pontianak
Meskupun kita tidak mengetahui dengan pasti kehadiran Islam di Pontianak, konon ada
pemberitaan bahwa sekitar abad ke-18 M atau tahun 1720 ada rombongan pendakwah dari Tarim
(Hadramaut) yang di antaranya datang ke Kalimantan Barat untuk mengajarkan membaca Alquran,
ilmu fikih, dan ilmu hadist. Mereka di antaranya Syarif Idrus bersama anak buahnya pergi ke
Mampawah, tetapi kemudian menelusuri sungai ke arah laut memasuki Kapuas Kecil sampai ke
suatu tempat yang menjadi cikal bakal kota Pontianak (Poesponegoro, 2008: 90).
Syarif Idrus kemudian diangkat menjadi pemimpin utama masyarakat di tempat itu dengan
gelar Syarif Idrus bin Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian memindahkan kota dengan
pembuatan benteng atau kubu dari kayu-kayuan untuk pertahanan. Sejak itu Syarif Idrus bin
Abdurrahman al-Aydrus dikenal sebagai Raja Kubu dan daerah itu mengalami kemajuan di bidang
perdagangan dan keagamaan, banyak datang para pedagang dari berbagai negeri. Pemerintahan
Syarif Idrus (nama lengkapnya: Syarif Idrus al-Aydrus bin Abdurrahman bin All bin Hasan bin
Alwi bin Abdullah bin Ahmad bin Husein bin Abdullah al-Aydrus) yang memerintah dari tahun
1199-1209 H. Konon ia gugur tahun 1870 M karena serangan musuh yang tidak diduga.
Pendapat lain mengatakan bahwa pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang mengajarkan
Islam dan datang ke Kalimantan Barat terutama ke Sukadana adalah Habib Husain al-Gadri ia
semula singgah di Aceh dan kemudian ke Jawa sampai di Semarang dan di tempat itulah ia bertemu
dengan pedagang Arab namanya Syekh karena itulah Habib al-Gadri berlayar ke Sukadana
(Poesponegoro, 2008: 90). Dengan kesaktian Habib Husein al-Gadri mendapat banyak simpati dari
raja, Sultan Matan dan rakyatnya Habib Husein al-Gadri pindah dari Matan ke Mempawah untuk
meneruskan syi’ar Islam, yang setelah wafat dia digantikan oleh salah seorang putranya yang
bernama Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam. Ia pergi dengan sejumlah rakyatnya ke tempat
yang kemudian dinamakan Pontianak dan di tempat inilah ia mendirikan Keraton dan Mesjid
Agung. Berdirinya Kerajaan Pontianak tepat pada tanggal 23 Oktober 1771, dan dijadikan sebagai
peringatan hari jadi kota Pontianak. Sultan Syarif Abdurrahman sebagai pendiri kota Pontianak
sampai sekarang makamnya masih dikunjungi orang, terutama orang-orang yang masih percaya
akan kesaktian dari Sultan Syarif Abdurrahman.
Dari kedelapan sultan-sultan tersebut, hanya tiga orang sultan yang terdengar kabarnya. Mereka
adalah sultan yang pertama, keenam, dan yang terakhir. Hal ini dikarenakan kurangnya sumber atau
bukti yang menceritakan tentang sultan-sultan lainnya tersebut.
Pengangkatan diri yang dilakukan oleh Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie bukan
semata-mata karena keinginannya sendiri. Tentunya kita bisa melihat, ia adalah menantu dari Raja
Mempawah dan Raja Banjarmasin, memiliki pengikut, dan ayahnya adalah seorang ulama.
Sehingga membuka kemungkinan ia juga didukung oleh pengikutnya dalam mendedikasikan
dirinya sebagai raja. Para pengiukutnya mendirikan pemukinman-pemukiman baru di sekitar
keraton. Begitupun dengan ketujuh orang Dayak (membantu Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie
mengusir makhluk halus), mereka dihadiahi tanah dan beras sebagai imblan bantuannya terhadap
raja.
Tanggal 29 Oktober 1945, dia dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya dengan gelar
Sultan Hamid II. Terlepas dari konotasi sebagai seorang penghianat, sebenarnya Sultan Hamid II
adalah seorang yang cerdas dan memiliki pengalaman politik yang luas. Sultan Hamid II banyak
menduduki jabatan-jabatan yang cukup tinggi baik baik pada masa penjajahan Belanda maupun
pada masa Indonesia merdeka. Beliau adalah satu-satunya putera Kalimantan Barat yang menonjol
saat itu.
Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh
putranya, Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang dinobatkan sebagai Sultan
Pontianak pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak
dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan
masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam
mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak. Dalam
bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali
berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Teluk Belanga, sebagai pakaian resmi.
Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga
mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung
bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta
industri minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri
dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan
maupun tokoh-tokoh masyarakat.
Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan bala
tentara Kekaisaran Jepang ke Pontianak pada tahun 1942. Pada 24 Januari 1944, karena dianggap
memberontak dan bersekutu dengan Belanda, Jepangmenghancurkan Kesultanan Pontianak dan
beberapa kesultanan-kesultanan Melayudi Kalimantan Barat.
Pihak Jepang sebenarnya sudah mencurigai bahwa di Kalimantan Barat terdapat komplotan-
komplotan yang terdiri atas kaum cendekiawan, para bangsawan, raja, sultan, tokoh masyarakat,
orang-orang Tionghoa, dan para pejabat. Sehingga mereka berinisiatif untuk menghancurkan
mereka dengan penangkapan-penangkapan. Penangkapan-penangkapan tersebut terjadi
antara September 1943 dan awal 1944. Tak hanya melakukan penangkapan-
penangkapan, Jepang juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap ribuan
penduduk Pontianak dan sekitarnya. Pada 28 Juni 1944, Jepangmenghabisi Sultan Syarif
Muhammad beserta beberapa anggota keluarga dan kerabat kesultanan, pemuka adat, para
cendekiawan, dan tokoh masyarakat Pontianak. Nasib sama juga menimpa para raja dan sultan lain
serta masyarakat di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan
sebutan Peristiwa Mandor. Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad dan tindakan semena-
mena Jepang inilah yang menjadi salah satu faktor utama terjadinya Perang Dayak Desa.
Jenazah Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama
Syarif Hamid Alkadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu karena tidak sedang berada
di Pontianak. Saat itu ia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan bebas
pada 1945.
-Garam, berlian, emas, lilin, rotan, tengkawang, karet, tepung sagu, gambir, ,pinang, sarang burung,
kopra, lada, dan kelapa.
Pontianak memiliki hubungan dagang yang luas. Selain dengan VOC, pedagang Pontianak
melakukan hubungan dagang dengan pedagang dari berbagai daerah. Kerajaan Pontianak kemudian
menerapkan pajak bagi pedagang dari luar daerah yang berdagang di Pontianak. Tidak sedikit dari
para pendatang yang kemudian bermukim di Pontianak. Mereka mendirikan perkampungan untuk
bermukim sehingga nama-nama perkampungan lebih menunjukkan ciri ras dan etnis.
Sistem Pemerintahan
Kesultanan ini berlangsung selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1771 hingga tahun 1950.
Selama kesultanan ini masih eksis terdapat delapan sultan yang pernah berkuasa. Ketika kesultanan
ini berakhir pada tahun 1950, yaitu seiring dengan bergabungnya banyak daerah dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sistem pemerintahan juga berubah menjadi
pemerintahan Kota Pontianak.Pada tahun 1943-1945, pejuang-pejuang di Kalimantan Barat ikut
berjuang melawan kolonialisme Jepang di Indonesia, sebagaimana yang dilakukan pejuang-pejuang
di Jawa dan Sumatera. Puncaknya, pada tanggal 16 Oktober 1943 terjadi pertemuan rahasia di
Gedung Medan Sepakat Pontianak yang dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat dari berabagai
golongan. Mereka bersepakat untuk merebut kekuasaan dari pemerintah kolonial Jepang dan
mendirikan Negeri Rakyat Kalimantan Barat dengan lengkap 18 menterinya.
Sistem Sosial
Masyarakat Pontianak dikelompokkan secara sosial berdasarkan identitas kesukuan, agama, dan ras.
Pengelompokan berdasarkan suku, yaitu: pertama, komunitas suku Dayak yang tinggal di daerah
pedalaman. Komunitas ini dikenal tertutup, lebih mengutamakan kesamaan dan kesatuan sosio-
kultural. Kedua, komunitas Melayu, Bugis, dan Arab, yang dikenal sebagai penganut Islam terbesar
di daerah ini yang lebih menekankan aspek sosio-historis sebagai kelas penguasa. Ketiga, imigran
Cina yang tinggal di daerah pesisir, yang dikenal sebagai satu kesatuan sosio-ekonomi.
Hasil Budaya
Kata Saprahan sudah asing terdengar di telinga masyarakat Kalbar, padahal kata ini adalah sebuah
jamuan makan yang melibatkan banyak orang yang duduk di dalam satu barisan, saling berhadapan
dalam duduk satu kebersamaan. Masa kini tradisi tersebut telah berganti menjadi sebuah trend baru
prasmanan, dimana sulit untuk mempertemukan sekelompok orang atau masyarakat dalam satu
majelis, saling berbagi rasa tanpa syak swangka, saling berhadapan sembari menikmati hidangan
makanan di hadapannya.
Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam di pulau kalimantan yang wilayah kekuasaannya meliputi
sebagian besar daerah kalimantan pada saat sekarang ini. Pusat Kerajaan Banjar yang pertama
adalah daerah di sekitar Kuin Utara (sekarang di daerah Banjarmasin) , kemudian dipindah ke
martapura setelah keraton di Kuin dihancurkan oleh Belanda. Kerajaan ini berdiri pada september
1526 dengan Sultan Suriansyah (Raden Samudera) sebagai Sultan pertama Kerajaan Banjar.
Kerajaan Banjar runtuh pada saat berakhirnya Perang Banjar pada tahun 1905. Perang Banjar
merupakan peperangan yang diadakan kerajaan Banjar untuk melawan kolonialisasi Belanda. Raja
terakhir adalah Sultan Mohammad Seman (1862 - 1905), yang meninggal pada saat melakukan
pertempuran dengan belanda di puruk cahudoa
Kemunculan Kerajaan Banjar tidak lepas dari melemahnya pengaruh Negara Daha sebagai
kerajaan yang berkuasa saat itu. Tepatnya pada saat Raden Sukarama memerintah Negara Daha,
menjelang akhir kekuasaannya dia mewasiatkan tahta kekuasaan Negara Daha kepada cucunya
yang bernama Raden Samudera. Akan tetapi, wasiat tersebut ditentang oleh ketiga anak Raden
Sukarama yaitu Mangkubumi, Tumenggung dan Bagulung. Setelah Raden Sukarama wafat,
Pangeran Tumenggung merebut kekuasaaan dari pewaris yang sah yaitu Raden samudera dan
merebut tahta kekuasaan Negara Daha.
Raden Samudera sebagai pihak yang kalah melarikan diri dan bersembunyi di daerah hilir
sungai barito. Dia dilindungi oleh kelompok orang melayu yang menempati wilayah itu. Kampung
orang melayu itu disebut kampung oloh masih yang artinya kampung orang melayu pimpinan Pati
Masih. Lama kelamaan kampung ini berkembang menjadi kota banjarmasih karena ramainya
perdagangan di tempat ini dan banyaknya pedagang yang menetap. Dalam pelarian politiknya,
raden Samudera melihat potensi Banjarmasih dengan sumber daya manusianya dapat dijadikan
kekuatan potensial untuk melawan kekuatan pusat, yaitu Negara Daha. Kekuatan Banjarmasih
untuk melakukan perlawaann terhadap Negara Daha akhirnya mendapat pengakuan formal setelah
komunitas melayu mengangkat Raden Samudera sebagai kepala Negara.
Pengangkatan ini menjadi titik balik perjuangan Raden Samudera. Terbentuknya kekuatan
politik baru di banjarmasih, sebagai kekuatan politik tandingan bagi Negara Daha ini menjadi media
politik bagi Raden Samudera dalam usahanya memperoleh haknya sebagai Raja di Negara Daha,
sedangkan bagi orang Melayu merupakan media mereka untuk tidak lagi membayar pajak kepada
Negara Daha
Setelah menjadi Raja di Banjarmasih, Raden Samudera dianjurkan oleh Patih Masih untuk
meminta bantuan Kerajaan Demak. Permintaan bantuan dari Raden Samudera diterima oleh Sultan
Demak, dengan syarat Raden Samudera beserta pengikutnya harus memeluk agama Islam. Syarat
tersebut disanggupi Raden Samudera dan Sultan Demak mengirimkan kontingennya yang dipimpin
oleh Khatib Dayan. Setibanya di Banjarmasih, kontingen Demak bergabung dengan pasukan dari
Banjarmasih untuk melakukan penyerangan ke Negara Daha di hulu sungai Barito. Setibanya di
daerah yang bernama Sanghiang Gantung, pasukan Bandarmasih dan Kontingen Demak bertemu
dengan Pasukan Negara daha dan pertempuran pun terjadi. Pertempuran ini berakhir dengan suatu
mufakat yang isinya adalah duel antara Raden samudera dengan Pangeran Tumenggung. Dalam
duel itu, Raden Samudera tampil sebagai pemenang dan pertempuran pun berakhir dengan
kemenangan banjarmasih.
Kerajaan Banjar semakin berkembang dan lama kelamaan luas wilayahnya semakin
bertambah. Kerajaan ini pada masa jayanya membentang dari banjarmasin sebagai ibukota pertama,
dan martapura sebagai ibukota pengganti setelah banjarmasin direbut belanda, daerah tanah laut,
margasari, amandit, alai, marabahan, banua lima yang terdiri dari Nagara, Alabio, Sungai Banar,
Amuntai dan Kalua serta daerah hulu sungai barito. Kerajaan semakin diperluas ke tanah bumbu,
Pulau Laut, Pasir, Berau dan kutai di panati timur. Kotawaringin, Landak, Sukadana dan sambas di
sebelah barat. Semua wilayah tersebut adalah Wilayah Kerajaan Banjar (yang apabila dilihat dari
peta zaman sekarang, Kerajaan Banjar menguasai hampir seluruh wilayah kalimantan di 4 provinsi
yang ada). Semua wilayah tersebut membayar pajak dan upeti. Semua daerah tersebut tidak pernah
tunduk karena ditaklukkan,tetapi karena mereka mengakui berada di bawah Kerajaan Banjar,
kecuali daerah pasir yang ditaklukkan pada tahun 1663
Kerajaan Banjar yang berdiri pada 24 september 1526 sampai berakhirnya perang Banjar
yang merupakan keruntuhan kerajaan Banjar memiliki 19 orang raja yang pernah berkuasa. Sultan
pertama kerajaan Banjar adalah Sultan Suriansyah (1526 - 1545), beliau adalah raja pertama yang
memeluk Agama Islam. Raja terakhir adalah Sultan Mohammad Seman (1862 - 1905), yang
meninggal pada saat melakukan pertempuran dengan belanda di puruk cahu.
Sultan Suriansyah sebagai Raja pertama mejadikan Kuin Utara sebagai pusat pemerintahan
dan pusat perdagangan Kerajaan Banjar. Sedangkan Sultan Mohammad Seman berkeraton di daerah
manawing - puruk cahu sebagai pusat pemerintahan pelariansenyumkenyit
Berikut adalah rincian Raja-raja Kerajaan Banjar sejak berdirinya kerajaan hingga runtuhnya
kerajaan itu :
1526 - 1545 :
Pangeran Samudra yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, Raja pertama yang memeluk
Islam
1545 - 1570 :
Sultan Rahmatullah
1570 - 1595 :
Sultan Hidayatullah
1595 - 1620 :
Sultan Mustain Billah, Marhum Penambahan yang dikenal sebagai Pangeran Kecil. Sultan
inilah yang memindahkan Keraton Ke Kayutangi, Martapura, karena keraton di Kuin yang
hancur diserang Belanda pada Tahun 1612
1620 - 1637 :
Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah
1637 - 1642 :
Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah
1642 - 1660 :
Adipati Halid memegang jabatan sebagai Wali Sultan, karena anak Sultan Saidullah,
Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa
1660 - 1663 :
Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan hingga 1663, kemudian Pangeran Adipati
Anum (Pangeran Suriansyah) merebut kekuasaan dan memindahkan kekuasaan ke
Banjarmasin=
1663 - 1679 :
Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan memindahkan pusat pemerintahan Ke
Banjarmasin bergelar Sultan Agung
1679 - 1700 :
Sultan Tahlilullah berkuasa
1700 - 1734 :
Sultan Tahmidullah bergelar Sultan Kuning
1734 - 1759 :
Pangeran Tamjid bin Sultan Agung, yang bergelar Sultan Tamjidillah
1759 - 1761 :
Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah
1761 - 1801 :
Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putera Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa
tetapi memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah
1801 - 1825 :
Sultan Suleman Al Mutamidullah bin Sultan Tahmidullah
1825 - 1857 :
Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman
1857 - 1859 :
Pangeran Tamjidillah
1859 - 1862 :
Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu'mina
1862 - 1905 :
Sultan Muhammad Seman yang merupakan Raja terakhir dari Kerajaan Banjar
Teritorial/ring ketiga, yaitu Mancanegara, dengan tambahan kedua daerah ini merupakan
wilayah asal Kesultanan Banjar sebelum pemekaran yang terdiri dari :
Wilayah Barat yaitu wilayah Negara bagian Kotawaringin dan Tanah Dayak (Biaju) yaitu
meliputi daerah Kerajaan Kotawaringin (dengan distrik-
distriknya: Jelai dan Kumai), Pembuang, Sampit, Mendawai serta daerah milik
Kotawaringin di Kalbar yang dihuni Dayak Ot Danum yaitu Lawai atau Pinoh
(sebagian Kabupaten Melawi) yang letaknya bersebelahan dengan kawasan udik sungai
Katingan/Mendawai dan berbatasan dengan Kerajaan Sintang. Perbatasan Kerajaan
Kotawaringin dengan Kerajaan Sukadana/Matan terletak di Tanjung Sambar. Juga turut
diklaim wilayah Tanah Dayak (Rumpun Ot Danum), yang berpusat mandala di udik sungai
Kahayan (Tumbang Anoi) yaitu daerah-daerah suku Dayak Biaju dan Dayak Pari (Ot
Danum) beserta semua daratan yang takluk kepadanya. Semua distrik-distrik di wilayah
Tanah Kotawaringin dan Tanah Dayak diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus
1787. Secara resmi daerah-daerah Dayak pedalaman tersebut diduduki Belanda sejak
Perjanjian Tumbang Anoi pada Tahun 1894.
Wilayah Timur (Kalimantan Tenggara) : yaitu Negara bagian Paser dan Negara bagian
Tanah Bumbu. Kerajaan Paserdidirikan oleh seorang panglima Kerajaan Banjar atau
Kuripan-Daha, sehingga sejak semula takluk kepada Kesultanan Banjar, namun belakangan
berada di bawah pengaruh La Madukelleng. Tahun 1703 Tanah Paser berubah dari
pemerintahan Panembahan menjadi kesultanan, daerah ini diserahkan kepada Hindia
Belanda pada 13 Agustus 1787 dan dimulai pada masa Sultan Paser Sultan Mahmud Han
menjalin kontrak politik dengan Hindia Belanda. Kerajaan Tanah Bumbu didirikan
Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah, yang pada mulanya mencakup kawasan mulai
Tanjung Aru sampai Tanjung Silat, belakangan wilayah intinya terutama terdiri atas 7
divisi: Cengal (Pamukan), Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan (Kelumpang), Cantung,
Buntar-Laut dan Batulicin. Pada bulan Juli 1825, Raja Aji Jawi, penguasa Tanah Bumbu
yang memiliki 6 daerah (Cengal, Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan, Cantung, Buntar-
Laut) membuat kontrak politik dengan Hindia Belanda yang menjadikan Tanah Bumbu
sebagai swapraja. Tahun 1841, negeri Sampanahan di bawah Pangeran Mangku Bumi
(Gusti Ali) menjadi swapraja terpisah dari wilayah Tanah Bumbu lainnya. Tahun 1846
Buntar-Laut dianeksasi/diintegrasikan oleh penguasa Cantung yang kelak menjadi swapraja
tersendiri terpisah dari wilayah Tanah Bumbu di bawah Raja Aji Mandura sebagai Raja
Cantung dan Buntar-Laut. Negeri Batulicin di bawah Pangeran Aji Musa, kemudian
digantikan puteranya Pangeran Abdul Kadir yang kelak mendapatkan negeri Kusan
dan Pulau Laut. Kerajaan Kusan pada mulanya didirikan Sultan Amir bin Sultan
Muhammadillah rival Sunan Nata Alam dalam memperebutkan tahta Kesultanan Banjar.
Sultan Banjar melantik Hasan La Pangewa sebagai kapten suku Bugis bergelar Kapitan
Laut Pulo sebagai penguasa Pagatan setelah ia berhasil mengusir Sultan Amir dari Kerajaan
Kusan. Di masa Arung Botto, Raja Pagatan menjalin kontrak sebagai swapraja di bawah
Hindia Belanda. Belakangan wilayah Kusan digabung dengan Tanah Pagatan dan kemudian
Hindia Belanda membentuk pula swapraja Sabamban. Wilayah Kalimantan Tenggara ini
diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787, ditegaskan lagi pada tahun 1826.
Pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda menjadikannya Afdeeling Pasir en de Tanah
Boemboe dengan 11 swapraja yang meliputi Kesultanan Paser dan wilayah Tanah Bumbu
(Sabamban, Kusan, Pagatan, Batu Licin, Pulau Laut dengan Pulau
Sebuku, Bangkalaan, Cantung dengan Buntar-Laut, Sampanahan, Manunggul, Cengal).
Semua kerajaan ini termasuk ke dalam Borneo Timur di bawah Asisten Residen yang
berkedudukan di Samarinda sejak tahun 1846.
Teritorial/ring keempat, adalah Pesisir yaitu daerah terluar, maka dengan tambahan kedua
wilayah ini teritorial kerajaan semakin bertambah luas lebih kurang sama dengan Provinsi
Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Perjanjian Sultan Tamjidullah I dengan VOC
pada 20 Oktober 1756 yang berencana untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang
melepaskan diri yaitu Sanggau, Sintang, Lawai, Paser, Kutai dan Berau. Daerah Pesisir terdiri
dari :[19]
Pesisir Timur disebut tanah yang di atas angin meliputi kawasan timur Kalimantan dan jika
digabung dengan kawasan selatan Kalimantan menjadi Karesidenan Afdeeling Selatan dan
Timur Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda.] Kerajaan-kerajaan di Kaltim tergolang
sebagai negara dependen di dalam Kesultanan Banjar.
1. Wilayah Negara bagian Kutai. Tahun 1735 Kerajaan Kutai Kartanegara berubah dari
pemerintahan Pangeran Adipati menjadi kesultanan. Diserahkan kepada Hindia Belanda
pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826. Tahun 1844 Sultan Kutai mengakui kedaulatan
Hindia Belanda.
2. Wilayah Negara bagian Berau/Kuran (sejak 1810-an terbagi menjadi Gunung
Tabur dan Tanjung) beserta daerah-daerah Berau yang melepaskan diri pada abad ke-18 dan
bawah pengaruh Kesultanan Sulu (& Brunei) yaitu Tanah Bulungan dan Tanah Tidung.
Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826.
3. Wilayah terluar di timur yang telah lama melepaskan diri dan kemudian di bawah pengaruh
Brunei yaitu Negara bagian Karasikan atau Buranun/Banjar Kulan (Banjar Kecil).
Pesisir Barat disebut tanah yang di bawah angin meliputi kawasan barat Kalimantan yang
kemudian menjadi Karesidenan Borneo Barat pada masa kolonial Hindia Belanda.
1. Wilayah Batang Lawai atau sungai Kapuas (Negara bagian Sanggau, Negara bagian
Sintang dan Negara bagian Lawai).] Wilayah Batang Lawai mengirim upeti melalui anak-
anak sungai Melawi dilanjutkan dengan jalan darat menuju sungai Katingan yang bermuara
ke laut Jawa dilanjutkan perjalanan laut dekat sungai Barito di Banjarmasin. Kerajaan
Sintang mulai diperintah Dinasti Majapahit semenjak pernikahan Patih Logender dari
Majapahit dengan Dara Juanti (Raja Sintang ke-9). Tahun 1600 Raja Sintang mengirim
utusan ke Banjarmasin untuk menyalin kitab suci Al-Quran. Kerajaan Sintang dan Mlawai
(Kabupaten Melawi) dan Jelai termasuk daerah yang diserahkan oleh Sultan Adam kepada
Hindia Belanda pada 4 Mei 1826. Mlawai sebelumnya termasuk daerah-daerah yang
diserahkan oleh Sunan Nata Alam kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
Belakangan Tanah Sanggau ditaklukan dan berada di bawah supremasi pemerintahan Sultan
Pontianak (protektorat VOC Belanda).
2. Wilayah Negara bagian Sukadana/Tanjungpura (sebagian besar Kalbar)[30] Kerajaan
Sukadana/Tanjungpura diperintah oleh Dinasti Majapahit. Kerajaan Sukadana menjadi
vazal sejak era Kerajaan Banjar-Hindu. Sejak pernikahan Raden Saradewa/Giri Mustaka
dengan Putri Gilang (Dayang Gilang) cucu Sultan Mustainbillah maka sebagai hadiah
perkawinan Sukadana/Matan dibebaskan dari membayar upeti.[9] Saat itu Raja Sukadana
memiliki bisnis dan tinggal di Banjarmasin dan termasuk anggota Dewan Mahkota. Pada
tahun 1622, kerajaan Sukadana berubah dari
pemerintahan Panembahan menjadi kesultanan, selanjutnya Panembahan Giri Mustaka
bergelar Sultan Muhammad Safi ad-Din. Pada tahun 1661 Sukadana/Matan terakhir kalinya
Sukadana mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar. Di bawah pemerintahan Sultan
Muhammad Zainuddin kembali mengirim upeti sebagai daerah perlindungan Kesultanan
Banjar. Kemudian Sukadana dianggap sebagai vazal Kesultanan Banten setelah mengalami
kekalahan dalam perang Sukadana-Landak pada tahun 1700 (dimana Landak dibantu
Banten & VOC), kemudian Banten menyerahkan Landak (vazal Banten) dan Tanah
Sukadana/Tanjungpura (sebagian besar Kalbar) kepada VOC-Belanda pada 26 Maret 1778,
kemudian diserahkan oleh VOC di bawah supremasi pemerintahan Sultan Pontianak,
karena itu gelar Sultan untuk penguasa Sukadana/Matan diubah menjadi Panembahan[31]
3. Wilayah terluar di barat adalah Negara bagian Sambas. Menurut Hikayat Banjar, sejak era
pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas kuno menjadi taklukannya dan
terakhir kalinya Pangeran Adipati Sambas (Panembahan Sambas) mengantar upeti dua biji
intan yang besar yaitu si Misim dan si Giwang kepada Sultan Banjar IV Marhum
Panembahan (1595-1642).[9][32][33] Pada 1 Oktober 1609, negeri Sambas menjadi daerah
protektorat VOC-Belanda dan lepas dari pengaruh kesultanan Banjar. Intan Si
Misim kemudian dipersembahkan oleh Sultan Banjar kepada Sultan Agung, raja Mataram
pada bulan Oktober tahun 1641 yang merupakan persembahan (bukan upeti) terakhir yang
dikirim kepada pemerintahan di Jawa (Kesultanan Mataram).[34][35][36] Semula Kerajaan
Sambasdiperintah oleh Dinasti Majapahit yang bergelar Pangeran Adipati/Panembahan
Sambas, selanjutnya mulai tahun 1675Tanah Sambas diperintah oleh Dinasti Brunei dan
berubah menjadi kesultanan bernama Kesultanan Sambas. Tahun 1855 Sambas
digabungkan ke dalam Hindia Belanda sebagai ibukota dari Karesidenan Sambas, yang
membawahi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.
Pada abad ke-18 Pangeran Tamjidullah I berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan
kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata Dilaga sebagai Sultan yang pertama
sebagai Panembahan Kaharudin Khalilullah. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja pertama
dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata
Alam pada tahun 1772. Putera dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang bernama Pangeran
Amir, atau cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada
pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan
menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun 1757, dan
berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan
kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta
bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten
Hoffman dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran
Amir terpaksa melarikan diri kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir
mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak
senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC.
Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sri Langka pada
tahun 1787. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana raja-
raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun 1826 diadakan
perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian
dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri
pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putra Mahkota dan Mangkubumi, yang
mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu
penyebab pecahnya Perang Banjar.
Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada
tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq Billah, perjanjian itu
juga ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu(Putra Mahkota), Pangeran Mangkubumi, Pangeran
Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi
dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda
di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kesultanan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan
Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinzaman. Berdasarkan
perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama sekali, sedangkan kekuasaan ke
dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah :[38]
1. Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan
Belanda.
2. Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian
dibawah pemerintahan langsung Hindia Belanda. Wilayah-wilayah milik Hindia Belanda
seperti tersebut dalam Pasal 4 :
1. Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
2. Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Mantuil,
3. Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur pada Rantau Keliling dengan sungai-
sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau Tatas.
4. Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai
Lumbah.
5. Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala
Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak.
6. Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu
mulai Mangkatip sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan.
7. Tanah Dayak Besar-Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala
Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya.
8. Tanah Mandawai.
9. Sampit
10. Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya
11. Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
12. Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan ke Timur
sampai batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai
Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung
Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan.
13. Negeri-negeri di pesisir timur: Pagatan, Pulau Laut, Batu
Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.
3. Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
4. Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari
dalam negeri.
5. Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada
Belanda. Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya untuk berburu
menjangan. Padang perburuan itu, meliputi :
1. Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka
2. Padang Bajingah
3. Padang Penggantihan
4. Padang Munggu Basung
5. Padang Taluk Batangang
6. Padang Atirak
7. Padang Pacakan
8. Padang Simupuran
9. Padang Ujung Karangan
6. Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan
sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual
pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.
Gambaran umum abad ke-19 bagi Kesultanan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar
sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan
perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh, tetap berdautat menjalani
kekuasaan sebagai seorang Sultan. Pada tahun 1860, Kesultanan Banjar dihapuskan dan digantikan
pemerintahan regent yang berkedudukan masing-masing di Martapura (Pangeran Jaya Pemenang)
dan di Amuntai (Raden Adipati Danu Raja). Adat istiadat sembah menyembah tetap berlaku hingga
meninggalnya Pangeran Suria Winata, Regent Martapura saat itu. Jabatan regent di daerah ini
akhirnya dihapuskan pada tahun 1884
B. Sosial-ekonomi
Dalam masyarakat Banjar terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk segi tiga
piramid. Lapisan teratas adalah golongan penguasa yang merupakan golongan minoritas. Golongan
ini terdiri dari kaum bangsawan, keluarga raja. Lapisan tengah diisi oleh para pemuka agama yang
mengurusi masalah hukum keagamaan dalam kerajaan. Sementara golongan mayoritas diisi oleh
para petani, nelayan, pedagang dan lain sebagainya.
Perkembangan perekonomian di Kalimantan Selatan mengalami kemajuan yang pesat pada
abad-16 sampai abad-17. Banjarmasin menjadi kota dagang yang sangat berarti untuk mencapai
suatu kemakmuran kerajaan. Kalimantan Selatan juga memiliki perairan yang strategis sebagai lalu
lintas perdagangan. Dalam perdagangan, lada merupakan komoditas ekspor terbesar dalam
Kerajaan Banjar.
Dalam hal industri, Kerajaan Banjar juga menghasilkan besi dan logam. Industri logam dan
besi ini terdapat di daerah Negara. Kemampuan dan keahlian mereka mencor logam seperti
perunggu, yang dapat menghasilkan bermacam barang-barang untuk di ekspor. Sejak abad ke-17
daerah Negara terkenal dengan pembuatan kapal dan peralatan senjata lainnya, seperti golok, kapak,
cangkul dan lain-lain. Selain itu, keahlian membuat kendi sebagai bentuk kerajinan yang telah
berkembang turun-temurun sebagai sambilan disamping bertani. Kemudian dikenal juga usaha-
usaha pertukangan, seperti tukang gergaji papan dan balok, tukang sirap, dan lain sebagainya.
C. Budaya
Orang-orang Banjar terdiri dari tiga golongan, yaitu kelompok Banjar Muara (Suku Ngaju),
Kelompok Banjar Batang Banyu (Suku Maanyan), dan Kelompok Banjar Hulu (Suku Bukit).
Dalam setiap kurun Sejarah, Kebudayaan Banjar mengalami pergeseran dan perubahan-perubahan
hingga coraknya berbeda dari zaman ke zaman. Ini merupakan manifestasi dari cara berpikir
sekelompok manusia di daerah ini dalam suatu kurun waktu tertentu.
Dalam rentetan peristiwa sejarah, kita dapatkan bahwa masyarakat Banjar dimulai dari
percampuran budaya melayu dengan budaya bukit dan maanyan sebagai inti, kemudian membentuk
kerajaan Tanjung Pura dengan agama Buddha. Yang kedua, percampuran kebudayaan pertama
dengan kebudayaan Jawa, yang mana budaya Maanyan, Bukit, dan Melayu menjadi inti, yang
kemudian membentuk Kerajaan Negara Dipa dengan agama Buddha. Yang ketiga, adalah
perpaduan dengan kebudayaan Jawa yang membentuk kerajaan Negara Daha dengan agama Hindu.
Yang terakhir, lanjutan dari Kerajaan Daha dalam membentuk kerajaan Banjar Islam dan perpaduan
suku Ngaju, Maanyan dan Bukit. Dari perpaduan yang terakhir inilah akhirnya melahirkan
kebudayaan yang ada dalam Kerajaan Banjar.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa awal mulanya Kerajaan Islam di
Kalimantan terjadi karena Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha dapat ditaklukkan oleh kerajaan Islam
sehingga agama Islam menyebar hingga ke seluruh Nusantara, salah satunya Kalimantan. Di
Kalimantan, Kerajaan Islam juga menyebar akibat kekalah Kerajaan Hindu-Budha yang kemudian
digantikan oleh Kerajaan Islam. Salah satu Pangeran yang berjasa dalam penyebaran Kerajaan
Islam di Kalimantan Ialah Pangeran samudera. Hal itu terjadi karena pangeran Samudera menikahi
seorang Puteri dari Kerajaan Hindu-Budha yang kemudian diIslamkanoleh Pengeran samudera dan
hal itu mengakibatkan kemarahan dari saudara-saudara sang Puteri dan mengakibatkan terjadi
perperangan dan pertumpahan darah. Dari sanalah kemudian muncul kerajaan-kerajaan Islam yang
tersebar akibat kekalah kerajaan Hindu-Budha tersebut.
Adapun Kerajaan-Kerajaan Islam yang ada di Kalimantan yaitu Kesultanan Banjar dan Pontianak
3.2. Saran
Setelah beberapa paparan dan kesimpulan yang dijabarkan, saran yang dapat penulis
sampaikan yaitu semoga dengan mengetahui sejarah perkembangan Islam di Kalimantan kita dapat
menghormati dan menghargai hasil jerih payah mereka dalam menegakkan Islam di daerah
Kalimantan walaupun harus berkorban nyawa dalam memerangi kerajaan Hindu-Budha yang
pernah menguasai daerah-daerah di Kalimantan.
DAFTAR PUSTAKA