Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
net/publication/278968718
CITATIONS READS
0 1,451
6 authors, including:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Nopi Prihatini on 23 June 2015.
ABSTRACT
Studies on the potency of Purun Tikus (Eleocharis dulcis) as a biofilter has been
carried out from August 2008 - February 2009. Purun Tikus (Eleocharis dulcis) is
one of the natural vegetation in the acidic-sulfate swamps of South Kalimantan.
This study aimed to find scientific information about potency of Purun Tikus
(Eleocharis dulcis) as a biofilter in an effort to use local species in wastewater
treatment systems. Sampling was done at several locations in the swamps of
South Kalimantan that were selected purposively, that is the Puntik Village at
Alalak Distric, Barito Kuala Regency, Takisung coast, District Tanah Laut and oil
palm company PT. CPN Cape of South Kalimantan. The results of this study
indicate biomass Purun Tikus, ie the highest average biomass of wet weight is
8354.78 gr/m2 and biomass of dry weight 3282.68 gr/m2, with water content of
83.16% and 10.75% crude fiber. Purun Tikus that grow in acidic sulfate soil in
primary, secondary, or tertiarywaterchannel, District Alalak, Barito Kuala
Regency contain mercury (Hg), with average values ranging from 0.20 to 2.10
mg.kg-1. While Purun Tikus that grow in the area of coastal shrimp farms
Takisung, Tanah Laut District contains lead (Pb) with average values ranging
from 4.44 to 12.09 ppm. Purun Tikus planted with oil palm effluent medium
capable of absorbing heavy metals lead (Pb), with concentrations of Pb in the
roots is higher than the stem. This indicates that Purun Tikus have a great
potential to be used as a biofilter in a wastewater treatment system.
ABSTRAK
Kajian tentang potensi Purun Tikus (Eleocharis dulcis) sebagai biofilter telah
dilakukan dari Agustus 2008 – Februari 2009. Purun tikus (Eleocharis dulcis)
merupakan salah satu vegetasi alami di wilayah rawa sulfat masam di
Kalimantan Selatan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari informasi ilmiah
DT. 154
Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011
mengenai potensi Purun Tikus (Eleocharis dulcis) sebagai biofilter dalam upaya
untuk mengunakan spesies lokal dalam sistem pengolahan limbah. Sampling
dilakukan pada beberapa lokasi rawa di Kalimantan Selatan yang dipilih secara
purposive, yaitu Desa Puntik Kecamatan Alalak Kabupaten Barito Kuala, pesisir
pantai Takisung, Kabupaten Tanah Laut dan perusahaan kelapa sawit PT. CPN
Tanjung Kalimantan Selatan. Hasil penelitian ini menunjukkan biomassa purun
tikus, yaitu rata-rata tertinggi biomassa berat basah sebesar 8.354,78 gr/m2 dan
biomassa berat kering sebesar 3.282,68 gr/m2, dengan kadar air 83,16% dan
serat kasar 10,75%. Purun tikus yang tumbuh pada tanah sulfat masam di
saluran air baik primer, sekunder, maupun tersier, Kecamatan Alalak, Kabupaten
Barito Kuala mengandung merkuri (Hg) dengan nilai rerata berkisar 0,20 – 2,10
mg.kg-1 . Sedangkan Purun Tikus yang tumbuh di kawasan tambak udang
pesisir pantai Takisung, Kabupaten Tanah Laut mengandung timbal (Pb) dengan
nilai rerata berkisar 4,44 – 12,09 ppm. Purun tikus yang ditanam dengan media
limbah cair kelapa sawit mampu menyerap logam berat timbal (Pb), dengan
konsentrasi logam berat Pb pada bagian akarnya lebih tinggi daripada bagian
batang.Hal ini mengindikasikan bahwa Purun Tikus mempunyai potensi besar
untuk dimanfaatkan sebagai biofilter dalam sistem pengolahan limbah.
1. PENDAHULUAN
Kalimantan Selatan memiliki lahan rawa yang luasnya mencapai 1.140.207 Ha dan dari
jumlah tersebut yang berpotensi untuk direklamasi guna dikembangkan menjadi lahan
pertanian seluas 763.207 Ha, adapun sisanya dibiarkan sebagai daerah genangan (retarding
basin) air dikala musim penghujan (BALITBANGDA, 2005). Purun tikus (Eleocharis dulcis)
merupakan salah satu vegetasi alami di wilayah rawa sulfat masam di Kalimantan Selatan.
Data Dinas Perindustrian Perdagangan dan Penanaman Modal (Disperindag dan PM) Barito
Kuala dalam Rahadi (2007) menyatakan bahwa pada tahun 2006 persebaran jenis tumbuhan
purun di daerah Barito Kuala saja sudah mencapai ± 713 Ha, meliputi purun danau ± 641 Ha
dan purun tikus ± 72 Ha. Oleh karena itu, penelitian untuk mengetahui biomassa purun tikus
penting untuk dilakukan karena memiliki potensi yang besar bagi lingkungan dan masyarakat
pada umumnya.
Air sungai barito pada tahun-tahun terakhir ini dilaporkan telah tercemar oleh logam
berat jenis merkuri berdasarkan hasil pemantauan Bapedalda Prov. Kal-Sel, (2008).
Keberadaan rawa pasang surut di Kabupaten Barito kuala terkait erat dengan sungai Barito
dan anak sungainya yang mengalir didalam atau sekitar kawasan rawa. Rawa pasang surut
terdiri dari tiga tipologi lahan utama, yaitu lahan gambut, lahan sulfat masam, dan lahan salin.
Vegetasi yang umum terdapat pada tanah sulfat masam antara lain Piai
(Achrosticumaereum), Galam (Melaleuca leucadendron), dan Purun tikus (Eleocharis dulcis)
DT. 155
Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011
yang menempati wilayah terbuka atau terbakar (Noor, 2004).Oleh karena itu pemanfaatan
Purun tikus untuk menangani kasus logam berat begitu penting untuk dilakukan.
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh BAPEDALDA Kalsel (2007), kawasan
aliran sungai Barito telah tercemar timbal (Pb) sebesar 0,026 - 0,135 ppm. Menurut Sulthoni
(2008), perairan pada kawasan tambak pesisir pantai Takisung terkontaminasi timbal (Pb)
antara 0,0700 - 0,3310 ppm. Hasil uji pendahuluan yang penulis lakukan, kadar timbal (Pb)
pada sampel air di kawasan tambak pesisir pantai Takisung berkisar antara 0,004 - 0,144
ppm. Dikarenakan Purun Tikus merupakan tumbuhan yang hidup pada perairan kawasan
tambak pesisir pantai takisung, sehingga Purun Tikus merupakan salah satu biota yang
dimungkinkan terpapar oleh timbal (Pb).
PT. Cakung Permata Nusa merupakan salah satu industri kelapa sawit yang ada di
Kalimantan Selatan. Industri ini menghasilkan limbah berupa limbah padat dan limbah cair.
Dari hasil uji pendahuluan yang dilakukan pada limbah cair industri kelapa sawit terdapat
kandungan logam berat Pb sebesar 0,182 ppm, sedangkan laporan hasil uji dari Baristan per
tanggal 12 Februari 2008 terhadap limbah cair tersebut menunjukkan kandungan Pb sebesar
0,251 ppm. Salah satu langkah yang mudah dilaksanakan untuk menangani pencemaran
terhadap logam berat pada limbah cair adalah melalui sistem biologis dengan penanaman
purun tikus (Eleocharis dulcis). Menurut Krisdianto (2006), purun tikus dapat menurunkan
kandungan Fe terlarut pada petak yang ditanami padi dan airnya berasal dari air limbah
batubara yaitu sebesar 1.1766 mg/l dengan TDS (Total Dispended Solid) rata-rata sebesar
0.4505 g/l. Padi tersebut memiliki jumlah anakan yang lebih banyak pada padi panjang
sehingga mampu membantu pertumbuhan padi panjang dengan baik. Berdasarkan hal
tersebut diperkirakan purun tikus dapat menyerap logam berat timbal (Pb) pada limbah cair
kelapa sawit.
2. METODE
Sampling dilakukan pada beberapa lokasi rawa di Kalimantan Selatan yang dipilih secara
purposive, yaitu Desa Puntik Kecamatan Alalak Kabupaten Barito Kuala, pesisir pantai
Takisung, Kabupaten Tanah Laut dan perusahaan kelapa sawit PT. CPN Tanjung
Kalimantan Selatan.
1. Pengukuran Biomassa Purun Tikus
Pengukuran Bomassa Purun Tikus dilakukan di Desa Puntik Kecamatan Alalak
Kabupaten Barito Kuala. Menurut Cronk & Fennessy (2000), biomassa adalah berat dari
semua material yang hidup pada satuan luas tertentu yang sering dinyatakan dalam satuan
gram berat kering per m2 (gbk/m2). Penentuan lokasi dilakukan secara purpousive atau
pemilihan secara sengaja dan dapat mewakili keberadaan purun tikus (Siegel, 1990). Lokasi
pengambilan sampel dilakukan di tiga lokasi (Puntik Luar, Puntik Tengah, Puntik Dalam)
dengan luas pengamatan 1 x 1 m2. Berat basah tumbuhan ditimbang sebelum dikeringkan
untuk mendapatkan berat kering. Tumbuhan dipotong menjadi beberapa bagian kemudian
DT. 156
Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011
3. HASIL
Hasil penelitian ini menunjukkan biomassa purun tikus, yaitu rata-rata tertinggi biomassa
berat basah sebesar 8.354,78 gr/m2 dan biomassa berat kering sebesar 3.282,68 gr/m2,
dengan kadar air 83,16% dan serat kasar 10,75%.
DT. 157
Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011
DT. 158
Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011
DT. 159
Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011
0,6
0,556
0,561
Konsentrasi Pb (ppb) 0,5 0,512 0,516
0,466
0,4
0,359 Kolam I
0,3 0,331 0,334 Kolam II
0,281 Kolam III
0,2
0,1
0
1 2 3
Pengam bilan ke-
Gambar 5. Hasil pengukuran konsentrasi Pb (ppb) yang terakumulasi pada bagian akar purun tikus
0,4
0,35 0,319
0,339
0,3 0,302
Konsentrasi Pb (ppb)
0,278
0,25 0,221
Kolam I
0,198
0,2 0,198 Kolam II
0,219
0,195 Kolam III
0,15
0,1
0,05
0
1 2 3
Pengam bilan ke-
Gambar 6. Hasil pengukuran konsentrasi Pb (ppb) yang terakumulasi pada bagian batang purun tikus
4. PEMBAHASAN
Berat kering tanaman dianggap sebagai indikator pertumbuhan tanaman (Agrifina, 2006).
Berat kering tanaman berhubungan dengan persediaan mineral karena hampir 90 % dari
seluruh berat basah tanaman adalah air dan 10 % berupa bahan kering yang terdiri dari 3
elemen yaitu karbon, hidrogen dan oksigen. Berat kering mengalami perubahan terus
menerus sesuai dengan laju pertumbuhan tanaman atau tergantung dari pengaruh
lingkungan (Sitompul & Guritno, 1995). Nilai rerata berat kering purun tikus berkisar antara
0,31-1,13 gr. Rerata tertinggi terdapat pada waktu sampling ke-3 sebesar 1,13 gr dan
terendah pada waktu sampling pertama dan kedua sebesar 0,31 gr. Hal ini diduga dapat
DT. 160
Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011
terjadi karena proses fotosintesis pada waktu sampling ke-3 dapat berlangsung optimal
karena menurut Lakitan (2004), penambahan berat kering hanya dapat berlangsung jika
intensitas cahaya yang diterima suatu tanaman lebih tinggi dari titik kompensasi cahaya. Titik
kompensasi cahaya adalah intensitas cahaya pada saat laju fiksasi CO2 (fotosintesis) setara
dengan laju pembebesan CO2 (respirasi). Titik kompensasi cahaya dipengaruhi oleh
intensitas cahaya yang biasa diterima oleh tumbuhan tersebut, suhu pada saat pengukuran,
dan konsentrasi CO2 udara. Berat basah dapat digunakan untuk menggambarkan
biomassa tanaman apabila hubungan berat segar dengan berat kering bersifat linier. Tetapi
karena kandungan air dari suatu jaringan atau keseluruhan tubuh tanaman berubah dengan
umur dan dipengaruhi oleh lingkungan yang jarang konstan, suatu hubungan yang linier di
antara kedua bagian ini untuk seluruh masa pertumbuhan tanaman dapat tidak linier
(Sitompul & Guritno, 1995). Nilai rerata berat basah purun tikus berkisar antara 1,49-1,84 gr.
Rerata tertinggi terdapat pada waktu sampling ke-2 sebesar 1,84 gr dan terendah pada waktu
sampling ke-3 sebesar 1,49 gr. Berat basah tanaman dipengaruhi oleh proses penyerapan air
oleh tanaman. Penyerapan air oleh tanaman tergantung pada cadangan air yang diserap dan
kemampuan untuk menyerapnya (Moenandir, 1993). Menurut Sitompul & Guritno (1995),
tanaman yang tumbuh dalam keadaan kurang air membentuk akar lebih banyak dengan hasil
yang lebih rendah dari tanaman yang tumbuh dalam keadaan cukup air. Organ yang terlibat
langsung dalam kompetisi unsur hara dan air adalah akar. Aliran unsur hara dan air terjadi
melalui aliran massa dan difusi. Tanaman yang mempunyai akar yang lebih banyak dan
kebutuhan unsur hara yang lebih besar akan mempunyai gaya kompetitif yang lebih besar.
Salah satu faktor dalam pertumbuhan tanaman yang menentukan hasil tanaman adalah
produksi biomassa tanaman. Ini berarti bahwa upaya peningkatan hasil tanaman dapat
ditempuh melalui peningkatan produksi biomassa tanaman yang merupakan sifat yang
dikendalikan oleh faktor genetik, dan tingkat alokasi biomassa ke bagian tanaman yang
dipanen, yang merupakan sifat fisiologi tanaman. Tanaman selama masa hidupnya atau
selama masa tertentu membentuk biomassa yang digunakan untuk membentuk bagian-
bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa dengan umur tanaman
akan terjadi, dan merupakan indikator pertumbuhan tanaman yang paling sering digunakan.
Biomassa tanaman meliputi semua bahan tanaman yang secara kasar berasal dari hasil
fotosintesis, serapan unsur hara dan air yang diolah melalui proses biosintesis (Sitompul &
Guritno, 1995). Nilai rerata biomassa berat basah purun tikus berkisar antara 3.764,16-
8.354,78 gr/m2. Rerata tertinggi terdapat pada waktu sampling ke-2 sebesar 8.354,78 gr/m2
dan terendah pada waktu sampling pertama sebesar 3.764,16 gr/m2. Nilai rerata biomassa
berat kering purun tikus berkisar antara 783,86-3.282,68 gr/m2. Rerata tertinggi terdapat
pada waktu sampling ke-3 sebesar 3.282,68 gr/m2 dan terendah pada waktu sampling
pertama sebesar 783,86 gr/m2. Berdasakan hasil analisis tanah di laboratorium, kandungan
Nitrogen, Fosfor dan Kalium di setiap lokasi tergolong tinggi. Nitrogen, Fosfor dan Kalium
merupakan unsur hara yang paling banyak dibutuhkan oleh tanaman sehingga dengan
DT. 161
Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011
terpenuhinya ketersediaan unsur hara ini dapat meningkatkan produksi biomassa tanaman.
Nitrogen mendorong pertumbuhan tanaman yang cepat dan memperbaiki tingkat hasil dan
kualitas tanaman melalui peningkatan jumlah anakan dan sintesis protein. Menurut Syarief
(1986), tersedianya nitrogen dalam jumlah yang mencukupi akan meningkatkan pertumbuhan
vegetatif tanaman. Bila dibandingkan dengan biomassa berat basah tanaman Tithonia
diversifolia yang berasal dari Amerika Selatan dan Asia Tenggara, produksinya mencapai 275
ton/ha berat basah dan 55 ton/ ha berat kering. Tanaman Tithonia diversifolia ini ditemukan
sebagai rumput-rumputan, mudah dipotong dan dapat tumbuh dengan cepat meskipun dalam
kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (Wanjau dkk., 2002).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan konsentrasi merkuri pada bagian akar Purun
tikus lebih tinggi jika dibandingkan dengan bagian batang. Hal ini diduga terjadi karena
adanya proses aliran massa atau difusi oleh akar tumbuhan yang menyerap kation terutama
Ca2+ dan Mg2+, sedangkan merkuri akan tertinggal dipermukaan akar karena tidak
diperlukan oleh tumbuhan. Menurut Agustina (2004) akar tumbuhan air memiliki rongga akar
(kortek) yang besar sehingga menyebabkan proses penyerapan semakin cepat. Penyerapan
ion di akar ini terjadi secara aktif dimana ion-ion masuk dari epidermis dan selanjutnya
ditransportasikan ke sitoplasma atau sel-sel jaringan akar melewati epidermis masuk ke
protoplasma antar sel-sel jaringan akar yaitu kortek, endodermis, perisikel dan xilem. Pada
endodermis terdapat adanya pita caspary akibat penebalan yang dipadati suberin, yang
bersifat sulit ditembus air sebagaimana halnya dengan kutin dan lignin pada kutikula daun
sehingga menyebabkan akumulasi partikel yang lebih berat di dalam akar. Dengan adanya
pita caspary ini menjadi kontrol terhadap penyerapan ion-ion oleh akar.
Kemampuan akar tumbuhan air menyerap senyawa logam yang ada di air ini tidak
terlepas dari sistem perakaran yang dimiliki dan aspek fisiologis tumbuhan tersebut. Nda,
(2002) menyatakan bahwa pada akar tumbuhan air (Eceng gondok) dapat membentuk suatu
zat khelat yaitu fitosidorof. Zat inilah yang akan mengikat logam dan kemudian membawanya
ke dalam sel akar. Agar penyerapan logam meningkat maka pada membran akar membentuk
molekul reduktase. Dengan adanya pembentukan zat khelat dan molekul reduktase ini akan
mempermudah logam melintasi epidermis akar dan masuk kedalam sel-sel akar, sehingga
mengakibatkan logam yang terakumulasi juga tinggi. Terjadinya akumulasi di akar juga
disebabkan karena di akar terjadi serapan ion secara aktif, sehingga ion-ion logam tersebut
secara aktif terakumulasi di dalam epidermis.
Purun Tikusberpeluang besar untuk mengakumulasi timbaldi perairan melalui
penyerapan oleh akar. Akar menghasilkan senyawa peptida khusus, yaitu fitokelatein yang
lebih banyak dibandingkan dari bagian daun. dalam tumbuhan sebagian logam itu akan
disimpan dalam vakuola dan sebagian lagi diikat oleh fitokelatein. Ion logam timbal itu akan
diikat oleh atom belerang pada sistein yang ada dalam fitokelatein (Ulfin, 2001).Kandungan
timbal yang terdapat pada Purun Tikus yang berpotensi sebagai bioindikator pencemaran
DT. 162
Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011
jelas melewati batas normal.Nilai rerata tersebut bila dibandingkan dengan nilai ambang
batas logam berat pada tanaman, dapat dikatakan tidak melewati ambang batas maksimum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada setiap kolam dengan jumlah rumpun yang berbeda
konsentrasi logam Pb bervariasi baik pada air limbah, akar dan batang purun tikus, serta
pada sedimen. Konsentrasi Pb tanaman diukur pada bagian akar dan batang. Akumulasi
Timbal (Pb) masuk ke dalam tanaman melalui proses penyerapan pasif atau proses
biosorpsi. Proses biosorpsi bersifat bolak-balik dan terjadi dalam waktu yang cepat. Proses
ini terjadi pada permukaan sel, baik sel hidup maupun sel mati dari suatu biomassa. Proses
biosorpsi akan berlangsung lebih efektif jika didukung oleh pH dan ion lainnya pada media
dimana logam berat dapat terendap sebagai garam yang tidak terlarut (Onrizal, 2005).
Konsentrasi logam berat Pb pada bagian akar lebih tinggi dibandingkan pada bagian
batang tanaman. Hal ini terjadi karena akar langsung bersinggungan dengan air limbah dan
sedimen yang berada pada bagian dasar perairan serta adanya usaha untuk melokalisasikan
materi toksik yang masuk ke dalam tubuh sehingga peracunan dapat dicegah dan proses
metabolisme tidak terhambat sehingga logam dapat diikat oleh molekul khelat (Fitter, 1991).
Menurut Raka dan Sundra (2002) kepekaan tanaman dalam mengakumulasi logam berat
inilah yang menjadikan tanaman sebagai bioindikator pencemaran.
Timbal yang diserap oleh tanaman memberikan efek buruk bagi tanaman, yaitu
menyebabkan tanaman mengalami penurunan pertumbuhan dan produktivitas, klorosis,
menguning, serta dapat menyebabkan kematian. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Wiadnya (2005) menggunakan tumbuhan semanggi air (Marsilea crenata) dengan
konsentrasi Ion Pb(II) dan Cu(II) yang berbeda terlihat bahwa semanggi air mampu menyerap
ion Pb dan Cu yang ditandai dengan perubahan pada daun tumbuhan semanggi air
mengalami perubahan yaitu menguning, yang menandai telah terjadi keracunan. Dari hasil
penelitian itu, ternyata hampir semua jenis tumbuhan air mampu menyerap logam berat.
Menurut Mengel dan Kirkby (1987) nilai ambang batas logam berat Pb pada tanaman adalah
10-20µg g-1. Hasil analisis menunjukkan bahwa logam berat yang diserap oleh purun tikus
masih berada dibawah nilai ambang batas sehingga masih aman bagi tanaman.
5. KESIMPULAN
Purun tikus yang tumbuh pada tanah sulfat masam di saluran air baik primer, sekunder,
maupun tersier, Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala mengandung merkuri (Hg)
dengan nilai rerata berkisar 0,20 – 2,10 mg.kg-1, nilai ini belum melewati ambang batas
maksimum kandungan merkuri pada tanaman. Bagian akar Purun tikus lebih banyak
mengandung logam berat (Hg dan Pb) dari pada bagian batang.Purun tikus (Eleocharis
dulcis) mampu meyerap logam berat Pb pada limbah cair industri kelapa sawit dan berada
dibawah ambang batas logam berat pada tanaman (menurut Mengel dan Kirkby sebesar 10-
20µg g-1). Bagian akar tanaman lebih banyak mengakumulasi logam berat Pb dibandingkan
bagian batang karena akar berada di dasar kolam sehingga penyerapan logam berat Pb lebih
DT. 163
Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011
optimal.Sehingga Purun Tikus mempunyai potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai biofilter
dalam sistem pengolahan limbah.
6. DAFTAR PUSTAKA
Agustina, L. 2004. Dasar Nutrisi Tumbuhan (edisi revisi). PT Rineka Cipta. Jakarta.
Agrifina, R. W. 2006. Pengaruh Pemberian Hasil Fermentasi Limbah Cair Coca-Cola
Terhadap Pertumbuhan Jagung (Zea Mays L) Pada Tanah Bekas Tambang Batubara.
Skripsi. FMIPA. Program Studi Biologi. UNLAM. Banjarbaru. (tidak dipublikasikan)
Badan Standardisasi Nasional. 2004. SNI 06-6992.2-2004: Cara Uji merkuri (Hg) secara uap
dingin dengan spektrofotometer serapan atom.
http://www.bsn.or.id/files/sni/SNI%2006-6992.2-2004.pdf.
Diakses tanggal 28 April 2008.
Badan Standardisasi Nasional. 2004. SNI 06-6992.3-2004: Cara uji timbal (Pb) secara
destruksi asam dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA).
http://www. bsn.or.id/files/sni/SNI%2006-6992.3-2004.pdf
Diakses tanggal 28 Maret 2008.
BALITBANGDA Kalsel. 2005. Pengembangan Ekosistem Rawa Untuk Mendukung
Pengembangan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Tapin. Pemerintah Propinsi
Kalimantan Selatan. Banjarmasin.
BAPEDALDA Kalsel. 2007. Laporan Tahunan pengawasan lingkungan Kalimantan Selatan.
Banjarmasin.
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kalsel (BAPEDALDA). 2008. Laporan
Tahunan pengawasan lingkungan Kalimantan Selatan. Banjarmasin.
Cronk, J. K & Fenessy, M. S. 2001. Wetlands Plants Biology and Ecology. Lewis Publishers.
London.
Fitter, A.N. & R.K.M, Hay. 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Krisdianto, Purnomo, E. & Mikrianto, E. 2006. Peran Purun Tikus dalam
Menurunkan Fe di dalam Air Limbah Tambang Batubara. Laporan Penelitian. Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi. FMIPA. Unlam. Banjarbaru
Lakitan, B. 2004. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Mengel, K. and E. A. Kirkby. 1987. Principle of Plant Nutrition. 4th Edition. International
potash Institute. Bern.
Moenandir, J. 1993. Persaingan Tanaman Budidaya dengan Gulma: Ilmu Gulma. Buku III.
PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta
DT. 164
Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011
Ulfin, I. 2001. Logam Berat Timbal dan Kadmium dalam Larutan oleh Kayu Apu (Pistia
stratiotes L). Jurnal Sains KAPPA. ITS. Surabaya.
Wanjau, S, J. Mukalama & R. Thijssen. 2002. Pemindahan Biomassa: Panen Pupuk
Cuma-Cuma. Kenya Woodfuel & Agroforestry Programme. Nairobi, Kenya.
Wiadnya, I. W. 2005. Kemampuan Semamggi Air (Marsilea crenata) Menyerap Ion Pb(II) dan
Cu(II) pada Media Air. Master Theses from GDLHUB. Universitas Airlangga
DT. 165