Вы находитесь на странице: 1из 92

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan teknologi saat ini melahirkan fenomena menarik dalam
kehidupan bermasyarakat, salah satu dampak dari perkembangan teknologi yaitu
masuknya arus budaya global dan gaya hidup serba instan. Fenomena ini terjadi
sebagai dampak dari arus globalisasi yang sudah tidak bisa dibendung lagi.
Globalisasi sering dimaknai sebagai pengaruh kepemimpinan negara-negara maju
terhadap negara-negara berkembang. Akibat dari fenomena ini, perubahan terjadi
begitu cepat hampir di semua aspek kehidupan yang mencangkup gaya
berpakaian, gaya hidup, serta begitu mudahnya masyarakat dalam menyerap berita
secara instan tanpa menelaah dengan kritis dan menjadikan berita tersebut sebagai
landasan dalam penyelesaian masalah. Selain itu, proses globalisasi ini juga telah
melahirkan generasi gadget, yaitu istilah yang digunakan untuk menandai
munculnya generasi milenial. Topik tentang generasi milenial selalu menarik
untuk dibahas. Hal ini dikarenakan generasi milenial merupakan generasi yang
produktif.

Generasi milenial lahir setelah zaman generasi X atau tepatnya pada


kisaran tahun 1980 sampai tahun 2000-an. Maka dapat diperkirakan bahwa saat
ini generasi milenial memiliki rentang usia antara 17 hingga 37 tahun. Di
Indonesia sendiri, terdapat sekitar 80 juta orang yang berusia antara 17 hingga 37
tahun. Jumlah tersebut sangat banyak dan signifikan, mengingat populasi generasi
milenial sudah mencangkup 30 persen dari total penduduk Indonesia.

Dapat dikatakan bahwa generasi milenial merupakan para profesional


muda yang memiliki karakteristik unik dan sering menimbulkan gelombang
perubahan di seluruh dunia. Menurut Badan Pusat Statistik (2017) jumlah usia
produktif di Indonesia (15-60 tahun) mencapai angka 166,06 juta. Artinya 50%
lebih penduduk Indonesia adalah usia produktif. Usia tersebut adalah usia yang
masih bisa aktif bekerja dan melakukan aktifitas produktif. Dari jumlah penduduk
usia produktif, kelompok usia yang mendominasi adalah usia 15-39 tahun dengan
jumlah sekitar 84,75 juta dari total penduduk Indonesia yang sejumlah 258 juta.
Artinya sekitar 32% penduduk Indonesia adalah usia produktif yang merupakan
generasi Y, atau disebut dengan generasi milenial.

Terdapat banyak perbedaan antara generasi milenial dengan generasi


sebelumnya, yaitu terkait dengan masalah budaya atau gaya hidup sehari-hari.
Ada kecenderungan bahwa generasi milenial memiliki sifat yang lebih toleran
terhadap sesamanya. Hal ini dipengaruhi juga dengan arus globalisasi yang
semakin cepat dimana seluruh manusia tak terkecuali generasi milenial sangat
mudah untuk berinteraksi dengan manusia lainnya dari berbagai belahan dunia.
Arus globalisasi berhasil menciptakan interaksi langsung dan tidak langsung yang
lebih luas antar manusia, yang tidak mengenal batasan negara.

Oleh sebab itu, globalisasi membuat generasi milenial menjadi lebih


terbuka akan perbedaan, wawasan mereka terhadap keragaman pun menjadi lebih
luas, hal ini menimbulkan sifat toleran yang cukup tinggi dari generasi ini. Selain
itu, arus globalisasi juga membuat tantangan baru bagi generasi milenial.
Tingginya tingkat mobilitas antar negara sebagai dampak dari globalisasi
menyebabkan persaingan untuk dapat bertahan di dunia ini menjadi lebih keras.
Oleh karena itu, generasi penerus bangsa dalam hal ini adalah generasi milenial
yang ada di Indonesia tidak boleh kalah dalam persaingan dengan generasi
milenial dari negara lain. Salah satu hal yang dapat ditingkatkan untuk
memenangkan persaingan ini adalah dengan meningkatkan kemampuan generasi
milenial dalam menyelesaikan sebuah masalah.

Generasi milenial dituntut untuk dapat melihat, mengerti dan perduli atas
berbagai macam permasalahan yang ada di sekililingnya. Belajar mendiskusikan
sebuah masalah dan mencari solusi dari permasalahan tersebut sudah semestinya
dilakukan oleh para generasi milenial yang merupakan penerus bangsa
dikemudian hari. Masalah adalah sebuah kata yang tidak asing. Masalah atau
problem merupakan bagian dari kehidupan manusia. Hampir setiap hari orang
dihadapkan pada persoalan-persoalan yang perlu dicari jalan keluarnya. Sebuah
persoalan atau masalah dapat bersumber dari dalam diri seseorang atau dari
lingkungannya.

Masalah seringkali disebut orang sebagai kesulitan, hambatan,


gangguan, ketidakpuasan, atau kesenjangan. Masalah dapat dikatakan sebagai
kesenjangan antara situasi sekarang dengan situasi yang akan datang atau
tujuan yang diinginkan “problem is a gap or discrepancy between present
stante and future state or desired goal”. Keadaan sekarang sering pula
disebut original state, sedangkan keadaan yang diharapkan sering pula disebut
final state. Jadi, suatu masalah muncul apabila ada halangan atau
hambatan yang memisahkan antara present state dengan goal state. Kehidupan
generasi milenial tidak terlepas dari berbagai macam permasalahan
yang ada dalam setiap tahap perkembangannya. Permasalahan yang
ada tersebut dapat bersumber dari berbagai macam faktor seperti dari dalam
diri sendiri, keluarga, teman sepergaulan atau lingkungan sosial. Masalah-
masalah yang dihadapi memberikan suatu bentuk ujian bagi generasi milenial
agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar mereka. Selain itu,
permasalahan yang kerap kali terjadi pada generasi milenial adalah masalah
terkait dengan kemampuan berpikir dalam menemukan solusi yang tepat
dalam menghadapi suatu masalah.

Ketika seseorang mengalami suatu masalah, maka akan terjadi


kebingungan dalam diri yang mengarahkan pada ketidakmampuan dalam
menyesuaikan diri secara tepat terhadap kenyataan yang ada. Sehingga banyak
kasus yang terjadi saat ini adalah ketidakmampuan dalam menemukan solusi
dan cara yang tepat terhadap masalah yang dihadapi. Masalah dapat terjadi dari
persoalan paling mudah sampai yang paling sulit, dan dari masalah yang
sudah jelas, sampai masalah yang belum jelas. Problem atau masalah adalah
keadaan suatu hal peristiwa yang harus kita ganti dengan sebuah cara unuk
mendapatkan apa yang kita inginkan. Masalah tejadi akibat ketidaksesuaian antara
realita dengan ekspetasi. Masalah dapat mengundang kita untuk berpikir dan
bertindak. Suatu masalah pasti akan terjadi pada setiap diri individu.
Masalah terjadi ketika ada sesuatu yang menghalangi kita untuk sampai ke
posisi atau hal yang kita inginkan. Dari kondisi kita saat ini ke kondisi yang
menjadi tujuan kita, kita tidak mengetahui bagaimana mengatasi hambatan
itu.

Untuk mengatasi semua permasalahan sudah pasti di butuhkan suatu


pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan salah satu bentuk
proses representasi kognitif, akan tetapi di sisi lain dalam pemecahan
masalah juga diperlukan adanya suatu proses belajar. Bila kita berhasil
memecahkan suatu masalah kita akan mendapat sebuah pemahaman,
yang kemudian dapat kita gunakan untuk memecahkan masalah-masalah
lain yang mungkin terdapat kesamaan di waktu yang berbeda. Setiap kali
kita pecahkan masalah, maka kita akan mempelajari sesuatu yang baru. Oleh
karena itu, seringkali kegiatan memecahkan masalah dianggap sebagai salah satu
bentuk belajar. Memecahkan masalah menjadi persoalan yang bersifat penting
dalam kehidupan manusia, karena sepanjang rentan kehidupannya manusia selalu
berhadapan dengan berbagai masalah untuk dicari pemecahannya. Bila gagal
dengan suatu masalah untuk memecahkannya manusia selalu mencoba
memecahkannya dengancara lain. Bila demikian adanya kehadiran dan
keberhasialan manusia untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya
pada tingkat dan jenjang tertentu dapat memberikan nilai tertentu pula pada
manusia tersebut.

Pemecahan masalah adalah proses yang mencakup dalam usaha


menemukan urutan yang benar dari alternatif-alternatif jawaban mengarah
pada satu sasaran atau kearah pemecahan yang ideal. Seseorang yang
sedang menghadapi masalah biasanya membutuhkan suatu perencanaan,
pengelolaan yang baik, dan kecerdasan emosi sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki, diharapkan dapat memecahkan masalah dengan mudah dan
cepat. Pemecahan masalah merupakan suatu pemikiran yang terarah secara
langsung untuk menemukan suatu solusi atau jalan keluar untuk suatu
masalah yang spesifik.

Problem solving atau kemampuan pemecahan masalah adalah


pemecahan yang mengenai sasaran dengan dampak negatif yang sekecil
mungkin, baik bagi individu yang bersangkutan maupun dengan objek
individu lain. Dalam memecahkan masalah, seseorang seringkali dipegaruhi
oleh lingkungan, meskipun permasalahan yang dihadapi cenderung sama,
namun setiap manusia akan mempunyai cara tersendiri untuk
menyelesaikan suatu masalah yang sedang dialami. Salah satu cara yang
diduga mampu untuk menyelesaikan sebuah masalah adalah dengan meregulasi
diri.

Regulasi diri atau lebih di kenal dengan istilah self regulation yang
merupakan proses seseorang dalam berpikir, mengatur, dan bertindak sesuai
dengan tujuan yang telah di rencanakan. Sehingga, seseorang dapat
memberikan nilai pada keberhasilan atas pencapaian dan memberikan suatu
penghargaan pada diri sendiri yang telah mencapai target tersebut. Regulasi
diri yang baik akan membantu seseorang untuk menjalankan peran dalam
kehidupan sehari-hari dengan baik, dan sebaliknya ketika seseorang belum
dapat meregulasikan diri dengan baik maka peran yang sedang di lakukan akan
mengganggu peran yang lainnya.

Melalui regulasi diri, seseorang diharapkan dapat menemukan


gambaran masa depan terkait masalah tersebut dan kondisi dirinya sehingga
sangat penting untuk dapat mengembangkan keterampilan dalam melakukan
regulasi diri pada setiap tugas yang melibatkan pemahaman diri serta kaitannya
dengan keadaan di luar diri. Untuk dapat menyelesaikan masalah, seseorang
diharapkan mampu mengatur dirinya sendiri dalam proses penyelesaian
tersebut. Ketika seseorang telah keputusan yang akan diambil, sebaiknya
individu tersebut telah memperoleh informasi mengenai kemampuan
yang seharusnya dimiliki. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat dimiliki
atau ditingkatkan untuk mencapai tujuan dalam penyelesaian masalah.

Istilah regulasi diri sering kali mengacu pada penggunaan suatu kontrol
diri oleh diri sendiri yang mengakibatkan perubahan pada seseorang dengan
melibatkan perasaan, berpikir atau perilaku dalam diri yang diperintahkan dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Regulasi diri sering berkaitan dengan
proses belajar. regulasi diri dalam belajar merupakan pembangkitan diri dan
pemantauan diri dari pikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai tujuan.
Regulasi diri bagi seorang merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan
berbagai kegiatan. Pengendalian diri sejak dini sangat dibutuhkan oleh seseorang
agar memiliki kemampuan dalam mengatur dirinya sendiri serta mampu membuat
keputusan sendiri. Biasanya seseorang dengan pengendalian diri yang rendah
cenderung mudah marah atau frustasi ketika diganggu atau dicegah untuk
melakukan sesuatu yang mereka ingin lakukan. Sedangkan seseorang dengan
pengendalian diri yang tinggi dapat menahan dorongan untuk menunjukan emosi
negatif pada saat yang tidak tepat.

Regulasi diri merupakan aspek penting dalam menentukan perilaku


seseorang. Pengelolaan diri atau regulasi diri adalah upaya individu untuk
mengatur diri dalam suatu aktivitas dengan mengikutsertakan kemampuan
metakognisi, motivasi, dan perilaku aktif. Pengelolaan diri bukan
merupakan kemampuan mental atau kemampuan akademik, melainkan
bagaimana individu mengolah dan mengubah pada suatu bentuk aktivitas.
Diharapkan melalui regulasi diri, inidividu dapat mengetahui terkait batasan-
batasan yang ada pada dirinya dan kemampuan yang ia miliki untuk dapat
membuat keputusan terkait dengan pemecahan sebuah masalah.

Hal yang berkaitan dengan regulasi diri adalah sikap. Setiap individu
memiliki sikap yang berbeda. Saat ini, sejalan dengan tingginya arus globalisasi
membuat sikap individu menjadi berubah. Perubahan ini terjadi karena banyak
faktor diantaranya mudahnya akses komunikasi dan teknologi. Sikap yang
dihasilkan akibat arus globalisasi ini kadang bersifat negatif dan kadang positif.
Sikap-sikap yang bersifat negatif sering ditemui di media massa maupun kejadian
yang dilihat langsung sehari-hari seperti sikap konsumtif, gaya hidup dan lainnya.
Sikap ini memiliki pengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam melihat
kondisi, membuat keputusan dan menyelesaikan masalah. Seperti yang kita tau,
masalah tak terpisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Kita merasa punya
masalah ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Dari sebuah masalah
kualitas seorang bisa terlihat. Kualitas ini dapat dilihat dari perbedaannya, tentang
kemampuan untuk mengatasi masalah dengan baik atau justru semakin terbenam
bersama masalah tersebut. Besar kecilnya masalah tak lepas dari kondisi pikiran.

Terkadang tanpa disadari sebuah masalah kecil bisa menjadi besar karena
pikiran mengkondisikan seperti itu. Sebenarnya masalah timbul karena dari dalam
dirinya sendiri. Mudah atau rumitnya sebuah masalah adalah hnaya sebuah
prasangka dari individu semata. Prasangka itu muncul akibat kurang seimbangnya
kenginan dan kenyataan yang harus dihadapi. Prasangka yang berlebihan ini akan
mengakibatkan terganggunya psikologis seseorang yakni berupa tekanan atau
depresi. Tipe kepribadian manusia sangat beragam, berbeda individu, maka
berbeda pula caranya untuk menyelesaikan sebuah masalah. Tidak semua orang
akan mempunyai strategi khusus yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
sebuah masalah. Tipe kepribadian ini akan mempengaruhi sikap dan perilaku
seseorang. Biasanya, berbeda sikap maka berbeda juga proses dan metodenya
dalam melakukan aktifitas. Oleh sebab itu, disini peneliti ingin mengetahui ada
atau tidaknya pengaruh sikap terhadap kemampuan seseorang dalam memecahkan
masalah.

Sebuah masalah harus dipecahkan secepat mungkin atau bahkan mungkin


bisa berlarut-larut. Dalam Psikologi Kognitif dijelaskan bahwa manusia memiliki
suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan solusia atau jalan
keluar untuk suatu masalah spesifik. Salah satu hal yang diasumsikan memiliki
pengaruh terhadap kegiatan pemecahan masalah adalah kreativitas. Kreativitas
merupakan aktivitas kognitif yang menghasilkan suatu pandangan baru mengenai
suatu bentuk permasalahan & tidak dibatasi pada hasil yang pragmatis. Setiap
manusia sejatinya memiliki kreativitas dalam dirinya. Kreativitas yang dimiliki
sangat beragam, tapi sering kali tidak disadari atau bahkan diketahui. Kreativitas
tercipta dari beberapa hal yang dapat dianalisis. Namun terkadang seseorang
malas melakukan analisis lebih mendalam terhadap kejadian ataupun masalah
sehari-hari sehingga kreativitas tidak berkembang lebih.

Psikolog J.P. Guilford membagi proses berpikir manusia menjadi dua tipe:
divergen dan konvergen. Guilford menyatakan bahwa perbedaan mendasar
keduanya adalah idea generation (divergen) dan idea analysis (konvergen). Orang-
orang dengan tipe berpikir divergen mampu menghasilkan atau memproduksi ide-
ide baru, dan kreatif. Sedangkan orang-orang dengan tipe berpikir konvergen
mampu menganalisis ide dan dikaitkan dengan kemampuannya menyelesaikan
masalah (problem-solving). Selain itu, dalam aspek pendidikan, kemampuan
berpikir divergen perlu dijadikan pegangan dalam pembelajaran, yaitu bukan
belajar menemukan satu jawaban benar (a correct solution) yang menjadi tujuan
setiap pemecahan masalah, tetapi bagaimana mengkonstruksi segalakemungkinan
jawaban yang reasonable, beserta segala kemungkinan prosedur dan
argumentasinya kenapa jawaban tersebut masuk akal (how toconstruct and to
defend various reasonable solutions and its respective procedures) hal ini yang
melatar belakangi penulis untuk membahas tentang pengaruh gaya berfikir
divergen terhadap pemecahan masalah, apakah gaya berfikir divergen dapat
diaplikasikan dalam pemecahan masalah dunia nyata yang biasanya jauh lebih
kompleks dan tak terduga atau tidak. Berfikir divergen adalah pola berpikir yang
dikarakterisasikan dengan kemampuannya memberikan pilihan ide atau solusi.
Biasanya ide-ide atau solusi-solusi ini mengalir begitu saja secara spontan.
Brainstorming dan menulis bebas adalah contoh aktivitas yang menggunakan pola
berpikir ini.

Unsur kreatif dalam memecahkan masalah dianggap penting, hal ini


berkaitan dengan semakin kreatif individu dalam menghadapi masalah maka akan
semakin banyak jalan untuk menyelesaikan permasalahannya. Berpikir
merupakan alat utama dalam pemecahan masalah dalam kehidupan individu,
dengan berpikir individu akan lebih mudah menyelesaikan masalah.Sedangkan,
dengan berpikir kreatif individu akan mampu melihat persoalan dari banyak
perspektif karena seorang pemikir kreatif akan menghasilkan lebih banyak
alternatif untuk pemecahan masalah.

Berpikir kreatif merupakan cara berpikir untuk menghasilkan sesuatu yang


baru dalam konsep, pengertian dan penemuan. Syarat dalam berpikir kreatif ada
dua, yakni yang pertama sesuatu yang dihasilkan harus dapat memecahkan
persoalan secara realistis atau dengan kata lain masuk akal dan yang kedua yakni
merupakan upaya mempertahankan suatu pengertian atau pengetahuan murni,
dengan kata lain bukan tiruan. Berpikir kreatif bisa juga dilakukan dengan
berpikir analogis, jadi proses berpikirnya dengan menganalogikan sesuatu dengan
hal lainyang sudah dipahami. Jika menurut individu, kesuksesan adalah
keberhasilan mencapai sebuah tujuan, maka saat individu tersebut berpikir tentang
kesuksesan, ciri-ciri berupa berhasil mencapai tujuan menjadi unsur yang
dipertimbangkan. Individu juga harus mengoptimalkan imajinasinya untuk
mereka-reka berbagai hubungan dalam suatu masalah. Dengan ketajaman
imajinasi, individu dapat melihat hubungan yang mungkin tidak terlihat oleh
orang lain.

Sebelum memecahkan masalah, seseorang dituntut untuk mempersiapkan


diri dalam memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan data yang relevan
dari pengalaman sebelumnya maupun pengetahuan yang baru, serta bertanya
kepada orang lain untuk menyelesaikannya. Pada tahap ini seseorang seakan-akan
melepaskan diri secara sementara dari masalah tersebut. Namun seseorang tetap
menyimpan masalah tersebut di dalam dirinya. Tahap selanjutnya, yaitu tahap
dimana timbulnya inspirasi, dan ide-ide yang mengawali dan mengikuti
munculnya inspirasi dan gagasan baru. Pada tahap terakhir adalah tahap seseorang
menguji dan memeriksa pemecahan masalah tersebut terhadap realitas. Tahap
terakhir dari persiapan pemecahan masalah adalah tahapan verifikasi. Pada tahap
verifikasi ini seseorang setelah melakukan berpikir kreatif maka harus diikuti
dengan berpikir kritis. Informasi terhadap proses berpikir kreatif diharapkan
mampu memberikan gambaran tingkat berpikir kreatif seseorang yang berguna
bagi perancangan langkah-langkah penyelesaian masalah.

Sejalan dengan hal ini, salah satu permasalahan yang datang kepada
generasi milenial adalah penggunaan media online dan media sosial berfungsi
sebagai sumber berita utama dalam mencari informasi tentang segala sesuatu. Jadi
tidaklah mengherankan apabila generasi millennial adalah generasi yang jarang
sekali mengakses TV, radio, atau media cetak untuk memperoleh berita. Oleh
sebab itu, generasi milenial mesti menerapkan pemikiran kritis terhadap berita dan
informasi yang mereka konsumsi setiap hari. Menurut Mark Sanborn, pakar
kepemimpinan dari Amerika Serikat menyatakan bahwa dalam usaha untuk
mendidik generasi millennial dan generasi Z menjadi pemimpin, maka mereka
perlu mengembangkan ketrampilan berpikir kritis lebih baik lagi. Dikutip dalam
www.kompas.com Mark Sanborn berpendapat bahwa “Semakin cepat sesuatu
dianggap benar, semakin cepat kita menerima hal itu. Kurangnya pemikiran kritis
yang dipunyai generasi milenial akan menghambat mereka dalam membangun
kepercayaan diri untuk meraih kesuksesan dan mencapai potensi tertinggi
mereka”.

Memiliki pengetahuan atau informasi saja tidaklah cukup efektif dalam


bekerja dan kehidupan pribadi. Berfikir kritis adalah sekumpulan keahlian yang
digunakan sehari‐hari dan diperlukan untuk pengembangan kemampuan personal
maupun intelektual. Melalui berpikir kritis, diharapkan seseorang mampu
menyelesaikan masalah secara efektif. Seseorang harus mampu memecahkan
masalah untuk membuat keputusan efektif melalui berpikir secara kritis.
Berpikir kritis diharapkan mampu untuk membantu seseorang dalam tahapan
persiapan sebelum membuat keputusan dan memecahkan masalah kehidupan
dengan lebih cerdik. Berpikir kritis juga dapat dikatakan sebagai seni dari
menganalisis dan mengevaluasi dengan tujuan untuk meningkatkan aktivitas
berpikir. Berpikir kritis berarti berpikir yang mengarah, menertibkan,
memantau, dan memperbaiki diri sendiri.
Proses berpikir melibatkan pertimbangan fenomena dinamis dalam hal
gerakan, aktivitas, kejadian, perubahan dan perkembangan sementara.
Seseorang yang berpikir kritis cenderung peka terhadap informasi atau
situasi yang sedang dihadapinya, dengan dimilikinya kemampuan berpikir
kritis seseorang memiliki kemampuan mendalam, penalaran dan
kemampuan menyimpulkan yang tepat. Selain itu, proses berpikir kritis
didefinisikan sebagai pola berpikir beralasan dan mengarah pada tujuan,
sehingga diharapkan mampu untuk menelaah tujuan dan menyesuaikannya
dengan tahapan dalam membuat keputusan untuk pemecahan masalah.

Pemecahan masalah merupakan salah satu tipe keterampilan intelektual


yang lebih tinggi derajatnya dan lebih kompleks dari tipe keterampilan intelektual
lainnya. Dalam pemecahan masalah diperlukan aturan kompleks atau aturan
tingkat tinggi dan aturan tingkat tinggi dapat dicapai setelah menguasai aturan dan
konsep terdefinisi. Demikian pula aturan dan konsep terdefinisi dapat dikuasai
jika ditunjang oleh pemahaman konsep konkrit. Setelah itu untuk memahami
konsep konkrit diperlukan keterampilan dalam membedakan. Berdasarkan uraian
diatas maka diperlukannya upaya mencari jalan keluar yang dilakukan dalam
mencapai tujuan pemecahan masalah, termasuk juga memerlukan kesiapan,
kememapuan berfikir, kreativitas, pengetahuan serta aplikasinya dalam kehidupan
sehari-hari.

Di samping itu pemecahan masalah merupakan persoalan-persoalan yang


belum dikenal; serta mengandung pengertian sebagai proses berpikir tinggi.
Pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh
seluruh manusia tak terkecuali oleh generasi milenial. Bahkan kemampuan
pemecahan masalah saat ini telah tercermin dalam konsep kurikulum berbasis
kompetensi. Tuntutan akan kemampuan pemecahan masalah dipertegas secara
eksplisit dalam kurikulum tersebut yaitu, sebagai kompetensi dasar yang harus
dikembangkan dan diintegrasikan pada sejumlah materi yang sesuai. Mengingat
hal ini maka dibutuhkannya kemampuan dalam pemecahan masalah yang tepat
untuk meningkatkan sumber daya manusia khususnya pada generasi milenial yang
merupakan generasi produktif saat ini. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk
meneliti tentang “Pengaruh Regulasi Diri, Sikap, Kreativitas, dan Kemampuan
Berfikir Kritis Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Pada Generasi
Milenial”.

1.2 Identifikasi Masalah


Sekitar 32% penduduk Indonesia adalah usia produktif yang merupakan
generasi Y, atau disebut dengan generasi milenial. Topik tentang generasi milenial
selalu menarik untuk dibahas. generasi milenial merupakan para profesional muda
yang memiliki karakteristik unik dan sering menimbulkan gelombang perubahan
di seluruh dunia. Tingginya arus globalisasi juga membuat tantangan baru bagi
generasi milenial. Adanya globalisasi menyebabkan persaingan untuk dapat
bertahan di dunia ini menjadi lebih keras. Salah satu hal yang dapat ditingkatkan
untuk memenangkan persaingan ini adalah dengan meningkatkan kemampuan
generasi milenial dalam menyelesaikan sebuah masalah. Pemecahan masalah
merupakan salah satu tipe keterampilan intelektual yang lebih tinggi derajatnya
dan lebih kompleks dari tipe keterampilan intelektual lainnya. Mengingat hal ini
maka dibutuhkannya kemampuan dalam pemecahan masalah yang tepat untuk
meningkatkan kemampuan generasi milenial yang merupakan generasi produktif
saat ini.

1.3 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dijelaskan pada sub bab
sebelumnya, kemampuan memecahkan masalah pada generasi milenial memiliki
permasalahan khas yang menarik untuk diteliti, adapun perumusah masalah dari
penelitian ini adalah:

1. Adakah pengaruh regulasi diri terhadap kemampuan pemecahan


masalah pada generasi milenial?
2. Adakah pengaruh sikap terhadap kemampuan pemecahan masalah
pada generasi milenial?
3. Adakah pengaruh kreativitas terhadap kemampuan pemecahan
masalah pada generasi milenial?
4. Adakah pengaruh kemampuan berfikir kritis terhadap pemecahan
masalah pada generasi milenial?
5. Adakah pengaruh regulasi diri, sikap, kreatvitas, kemampuan berfikir
kritis terhadap pemecahan masalah pada generasi milenial?

1.4 Tujuan Penelitian


Penelitian merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali, dan
menghubungkan. Setiap permasalahan dalam penelitian yang dilakukan memiliki
tujuan yang jelas dan terarah. Berdasarkan perumusan masalah yang telah
ditentukan pada sub bab sebelumnya, maka dapat dibuat beberapa tujuan
penelitian sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh regulasi diri terhadap kemampuan pemecahan


masalah pada generasi milenial?
2. Mengetahui pengaruh sikap terhadap kemampuan pemecahan masalah
pada generasi milenial?
3. Mengetahui pengaruh kreativitas terhadap kemampuan pemecahan
masalah pada generasi milenial?
4. Mengetahui pengaruh kemampuan berfikir kritis terhadap pemecahan
masalah pada generasi milenial?
5. Mengetahui pengaruh regulasi diri, sikap, kreatvitas, kemampuan
berfikir kritis terhadap pemecahan masalah pada generasi milenial?

1.5.1 Kegunaan Penelitian


1.5.2 Kegunaan teoritis
1. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan bagi pengembangan
ilmu terkait teori regulasi diri, sikap, kreativitas, kemampuan berfikir
kritis, dan kemampuan pemecahan masalah.
2. Sebagai bahan informasi dan referensi pada penelitian selanjutnya, untuk
topik penelitian tentang pemecahan masalah.
1.5.3 Kegunaan praktis
Temuan secara empiris dalam penelitian ini diharapkan mampu menjadi
bahan referensi untuk memudahkan diri dalam pemecahan masalah.
BAB II
KERANGKA TEORITIK

2.1 Deskripsi Kontekstual

2.1.1 Generasi Milenial


Menurut (Mannheim, 1952) generasi adalah suatu konstruksi sosial
dimana didalamnya terdapat sekelompok orang yang memiliki umur, pengalaman
dan tahun lahir yang sama yaitu dalam rentang waktu 20 tahun dan berada dalam
dimensi sosial dan sejarah yang sama. Definisi dikembangkan secara spesifik
oleh (Ryder, 1965) yang mengatakan bahwa generasi adalah agregat dari
sekelompok individu yang mengalami peristiwa – peristiwa yang sama dalam
kurun waktu yang sama pula. Selain itu, (Jurkiewicz, 2000) juga meberikan
definisi terkait pengertian generasi, dimana Jurkiewicz mengatakan bahwa
generasi adalah sekelompok individu yang mengidentifikasi kelompoknya
berdasarkan kesamaan tahun kelahiran, umur, lokasi, dan kejadian – kejadian
dalam kehidupan kelompok individu tersebut yang memiliki pengaruh signifikan
dalam fase pertumbuhan mereka. Sejalan dengan Jurkiewicz, Borodin, Smith dan
Bush (2010); Schullery (2013) menyatakan pula bahwa orang - orang yang
berasal dari generasi yang sama mempunyai kesamaan pengalaman seperti kultur,
politik,ekonomi, persitiwa dunia, bencana alam dan teknologi sehingga
membentuk pandangan, nilai, pilihan dan kepercayaan yang sama. Hal serupa
dinyatakan oleh Kupperschmidt (2000) bahwa generasi merupakan orang yang
lahir di kisaran waktu sama yang berbagi pengalaman sejarah atau kehidupan
sosial yang signifikan yang membentuk pandangan dan perspektif.

Sejarah, kejadian, fenomena budaya dan berbagai hal yang muncul pada
era para generasi ini hidup ternyata mempengaruhi memori individu-individu
pada generasi terkait, sehingga menimbulkan perkembangan sikap, nilai,
perspektif dan kepribadian tertentu (Costanza, et a;., 2012). Oleh karena itu,
karena setiap generasi menjalani berbagai pengalaman yang berbeda, perspektif,
seperti nilai, ekspektasi dan sikap dalam bekerja yang ditimbulkan pun jadi
berbeda (Roebuck, Smith, & Haddaoui, 2013). Berdasarkan definisi diatas maka
dapat dikatakan bahwa generasi merupakan sekelompok individu yang memiliki
kesamaan rentang umur dan periode tahun kelahiran serta mengalami peristiwa
yang sama teknologi sehingga membentuk pandangan, nilai, pilihan dan
kepercayaan yang sama dan berpengaruh signifikan dalam fase pertumbuhannya.

Teori tentang perbedaan generasi dipopulerkan oleh Neil Howe dan


William Strauss pada tahun 1991. (Howe, 2000) membagi generasi berdasarkan
kesamaan rentang waktu kelahiran dan kesamaan beberapa kejadian – kejadian di
masa lalu. Pembagian generasi tersebut juga banyak dikemukakan oleh peneliti –
peneliti lain, tetapi secara umum memiliki makna yang sama. Sejalan dengan
Howe, (Troksa, 2016) mengelompokan generasi menjadi enam, yaitu generasi
WWII (perang dunia ke-II), generasi silent, generasi baby boomer, generasi X,
generasi millenial atau generasi Y, dan generasi Z. Penentuan kriteria untuk kapan
sebuah generasi dimulai dan berakhir memiliki hubungan dengan peristiwa besar
yang terjadi pada saat itu. Salah satu contohnya adalah generasi silent yang
dimulai pada tahun 1925 karena saat itu terjadi kelahiran bayi secara besar-
besaran setelah Perang Dunia I. Generasi silent berakhir pada tahun 1945 karena
Perang Dunia II berakhir dan tingkat kelahiran yang menandai generasi silent
berangsur turun. Adapun periodisasi generasi menurut ahli dapat dikelompokan
sebagai berikut:

Tabel 2.1
Periode Generasi
Sumber Label
Generation Digital
Tapscott Baby boom
- X (1965- Generation -
(1998) (1946-1964)
1975) (1976-2000)
Howe & Silent Boom 13th Millenial
Strauss Generation Generation generation Generation -
(2000) (1925-1943) (1943-1960) (1961-1981) (1982-2000)
Zemke et Veterans Baby Gen-Xers Nexters -
al (2000) (1922-1943) Boomers (1960-1980) (1980-1999)
(1943-1960)
Lancaster
Traditionali Baby Generation Generation
&
st Boomers X-ers Y (1981- -
Stillman
(1900-1945) (1946-1964) (1965-1980) 1999)
(2002)
Martin & Silent Baby Generation
Millenials
Tulgan Generation Boomers X (1965- -
(1978-2000)
(2002) (1925-1942) (1946-1964) 1977)
Oblinger Post
Baby Generation Gen-Y/Net
& Matures millenials
Boomers Xers Gen (1981-
Oblinger (<1946) (1995-
(1947-1964) (1965-1980 1995)
(2005) present)
Generasi
Generasi Baby Generasi
Troksa WWII Generasi X Generasi Z
Silent Boomers Milenial
(2016) (1901- (1965-1980) (2003-skrg)
(1925-1945) (1946-1964) (1981-2003)
1924)
Sumber: Diolah oleh peneliti

Setiap generasi memiliki perbedaan karakteristik terkait banyak hal, yang


mencangkup diantaranya adalah preferensi cara belajar, kepribadian, nilai kerja,
sikap, maupun motivasi. Generasi milenial cenderung lebih menyukai cara belajar
yang eksploratif (learning by doing), bertindak secara fleksibel, memiliki banyak
preferensi pribadi, cenderung kurang sabar, berorientasi hasil, dapat mengerjakan
beberapa hal secara bersamaan (multitasking), mudah beradaptasi dengan
teknologi, menyukai cara berkomunikasi yang nomadik, menyukai kerja
kolaborasi, mengejar keseimbangan hidup, dan cenderung kurang suka membaca
(Sweeney, 2005).

Sebagai contoh menurut (Martin, 2002) Generasi Y dikenal dengan


sebutan generasi millenial atau milenium dimana ungkapan ini mulai dipakai pada
editorial koran besar Amerika Serikat pada Agustus 1993 adalah generasi yang
lahir pada kisaran tahun 1978, sementara menurut (Howe, 2000) generasi Y
adalah generasi yang lahir pada tahun 1982, hal tersebut terjadi karena adanya
perbedaan skema yang digunakan untuk mengelompokkan generasi tersebut,
karena peneliti – peneliti tersebut berasal dari Negara yang berbeda. Generasi ini
banyak menggunakan teknologi komunikasi instan seperti email, SMS, instant
messaging dan media sosial seperti facebook dan twitter, dengan kata lain
generasi Y adalah generasi yang tumbuh pada era internet (Lyons, S., 2004).

Lebih lanjut (Lyons, S., 2004) mengungkapkan tentang ciri dan dari
generasi Y, meliputi: karakteristik masing-masing individu berbeda, tergantung
dimana ia dibesarkan, strata ekonomi, dan sosial keluarganya, pola
komunikasinya sangat terbuka dibanding generasi-generasi sebelumnya, pemakai
media sosial yang fanatik dan kehidupannya sangat terpengaruh dengan
perkembangan teknologi, lebih terbuka dengan pandangan politik dan ekonomi,
sehingga mereka terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang
terjadi di sekelilingnya, serta memiliki perhatian yang lebih terhadap kekayaan.

Generasi Y juga memiliki nama lain, seperti Net Generation, Echo


Boomers, N-Geners, Nexters, Internet Generation, Millennials (Dimitriou &
Blum, 2015), Generation Me, dan Digital Natives (Schullery, 2013). Generasi ini
merupakan anak dari para Baby Boomers dan generasi X, dimana mereka lahir di
era yang berteknologi tinggi dan diasuh oleh orang tua yang sangat komunikatif
dan berorientasi partisipatif (Domitriou, 2015). Generasi ini bahkan dapat
menggunakan kemajuan teknologi untuk melakukan komunikasi di samping
melalui tatap muka, seperti melalui pengirim pesan atau email dan melalui
berbagai media sosial (Young et al., 2014), sehingga memungkinkan mereka
memiliki pergaulan yang luas dengan beragam orang dari seluruh dunia
(Roebuck, Smith & Haddaoui, 2013). Oleh karena itu pula lah generasi ini
memiliki toleransi keberagaman manusia yang lebih tinggi dibanding generasi
lainnya (Domitriou, 2015). Young et al. (2014) bahkan menyatakan bahwa
generasi Y merupakan genersi yang paling beragam dan yang paling dapat
menerima keberagaman. Akan tetapi, selain hidup di era peningkatan bidang
ekonomi dan teknologi, generasi Y juga hidup pada era dimana terjadi
peningkatan kejahatan, sehingga mendorong para orang tua untuk terjun langsung
melindungi anak-anak mereka dari kejadian berbahaya atau kejadian yang sekedar
mengecewakan, misalnya seperti turunnya nilai di sekolah (Schullery, 2013).
Perlindungan yang diberikan oleh para orang tua generasi Y adalah seperti
mendorong generasi Y untuk bermain di dalam rumah dengan media teknologi
yang ada, cepat memberi pujian bila sang anak mencapai sesutu (Schullery, 2013),
mengabulkan sebagian besar permintaan mereka, memanjakan, dan memberi tahu
bahwa mereka dapat mencapai apapun yang mereka inginkan (Cates, 2014).

Hidup di zaman yang berteknologi maju dan diasuh dengan cara tersebut
membuat generasi ini memiliki ekspektasi tinggi, menuntut mendapat jawaban
secara instan, lebih menyukai distribusi sumber pengetahuan dan informasi,
berpikiran terbuka, memiliki keterampilan yang beragam, mampu mengerjakan
pekerjaan yang banyak secara simultan, dan cenderung tidak sabar. (Idrus, Ng &
Jee, 2014). Oleh sebab itu, generasi ini adalah generasi yang unik dan meningat
keberadaan generasi ini saat ini merupakan generasi yang produktif maka
dibutuhkan perhatian penuh untuk kelangsungan generasi milenial ini. Hal senada
juga harus diperhartikan oleh generasi ini dalam pemecahan sebuah masalah.
Dengan karakteristik dan kehidupan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
terdapat hal-hal yang harus diperhatikan oleh generasi milenial dalam pemecahan
masalah. Adapun hal-hal tersebut adalah cara meregulasi diri, sikap, kreativitas,
kemampuan berfikir kritis, dan kemampuan untuk memecahkan masalah itu
sendiri agar generasi ini dapat bertahan di tingginya arus globalisasi dengan
kemnajuan teknologi yang saat ini dihadapinya.

2.1.2 Regulasi Diri


Menurut R (Howard S. Friedman dan Miriam W. Schustack, 2008)
regulasi diri adalah proses di mana seseorang dapat mengatur kecapaian dan aksi
mereka sendiri, dengan menentukan target untuk mereka kemudian mengevaluasi
kesuksesan saat mencapai target tersebut, dan memberikan penghargaan pada diri
mereka sendiri karena telah mencapai tujuan tersebut. Regulasi diri tidak hanya
mencakup kegiatan mencapai tujuan, tapi juga menghindari gangguan lingkungan
dan rangsangan emosional yang dapat mengganggu perkembangan seseorang
(Lawrence A. Pervin, 2010). (Lisya Chairani, 2010) menyebutkan bahwa regulasi
diri digunakan secara fleksibel oleh para ahli psikologi untuk menjelaskan rentang
perbedaan pendekatan teoritis yang ada dalam berbagai dominan, terutama
kepribadian dan kognisi sosial. Lebih dari itu, penggunaan istilah ini hampir
serupa tetapi tidak terlalu sama dengan beberapa istilah lain, seperti kontrol diri
dan manajemen diri. Pada beberapa penelitian istilah-istilah ini digunakan secara
bergantian.

Zimmarman dalam (Nurul Husna, 2004) mengungkapkan bahwa regulasi diri


adalah proses yang dilakukan seseorang dalam mengaktifkan dan memelihara
pikiran, perasaan, dan tindakannya untuk mencapai tujuan personal. Winne dalam
(Hidayat, 2013) menjelaskan bahwa regulasi diri atau pengaturan diri adalah
kemampuan dalam diri seseorang untuk memunculkan dan memonitor sendiri
pikiran, perasaan dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Selanjutnyam Zimmerman juga berpendapat bahwa pengelolaan diri berkaitan
dengan pembangkitan diri baik pikiran, perasaan serta tindakan yang
direncanakan dan adanya timbal balik yang disesuaikan pada pencapaian tujuan
personal. Dengan kata lain, pengelolaan diri berhubungan dengan metakognisi,
motivasi dan perilaku yang berpartisipasi aktif untuk mencapai tujuan personal.

Dalam hal ini tujuan yang dimaksud bersifat umum, misalnya tujuan dalam
belajar. (Ajzen, 2005) menjelaskan bahwa Regulasi diri merupakan kemampuan
manusia mengatur dirinya sendiri, mempengaruhi tingkah lakunya dengan cara
mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, serta mengadakan
konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri.

Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat dikatakan bahwa regulasi diri


merupakan kemampuan diri untuk mengatur perilaku dan tindakan, serta sebagai
daya penggerak utama kepribadian manusia. Seseorang harus mampu mengatur
perilaku sendiri guna mencapai tujuan yang diinginkan. Mengelola waktu dan
mengontrol perilaku sehingga tujuan yang hendak dicapai dapat dioptimalkan
dengan baik.

Pendapat lain tentang regulasi diri diungkapkan oleh (Taylor, 2012) dimana ia
mengatakan bahwa regulasi diri merupakan usaha sadar dan aktif mengintervensi
untuk mengontrol pemikiran, reaksi dan perilaku seseorang. (Zimmerman, 2002)
juga mendefinisikan regulasi diri (pengaturan diri) sebagai proses yang digunakan
untuk mengaktifkan dan mengatur pikiran, perilaku dan emosi dalam mencapai
suatu tujuan. Frederick J. Morrisona dkk dalam (Friskilia, 2018) mejelaskan
tentang regulasi diri sebagai “Multiple underlying cognitive skills are involved in
overt behavioral regulation. This complex of cognitive processes involves
processing and manipulating stimuli (working memory); inhibiting automatic
reactions to stimuli while initiating unnatural yet adaptive reactions (inhibitory
control); and managing one’s attention to appropriate stimuli, including resisting
distraction and shifting tasks when necessary (attentional or cognitive
flexibility)”. Pernyataan tersebut memiliki makna terkait keterampilan kognitif
yang mendasari didalam perilaku regulasi diri. Proses kognitif melibatkan
rangsangan pengolahan dan memanipulasi (memori kerja); menghambat reaksi
otomatis terhadap rangsangan sambil memulai reaksi adaptif yang tidak wajar
(kontrol penghambatan); dan mengelola perhatian seseorang terhadap rangsangan
yang tepat, termasuk menolak gangguan dan pengalihan tugas bila diperlukan
(perhatian atau fleksibelitas kognitif) selanjutnya dapat mengevaluasi kesuksesan,
memberi penghargaan atas pencapaian, dan menentukan target prestasi yang lebih
tinggi.

Proses regulasi diri pada seseorang hanya dapat terjadi apabila seseorang
melakukan proses metakognisi (Zimmerman, 1990) yaitu setiap proses ketika
seseorang melakukan planning, setting-goals, organizing, self-monitoring, dan
self-evaluating. Pelaksanaan planning merupakan tahap perencanaan mengenai
apa yang akan dilakukan. Tahap perencanaan ini merupakan tahapan awal dalam
melakukan regulasi diri agar dapat menentukan tujuan dari apa yang akan dicapai.
Seseorang yang melakukan planning akan mengetahui apa yang harus dilakukan
dan bagaimana cara melakukannya. Tahapan berikutnya adalah setting-goals,
yaitu kondisi dimana seseorang harus menentukan apa yang menjadi targetnya
dalam melakukan suatu hal. Setelah tahap setting-goals, seseorang diminta untuk
melakukan organizing atau pengaturan terhadap pelaksanaan dari perencanaan
yang sudah dibuatnya di awal. Setelah itu tahapan berikutnya self-monitoring
yaitu tahapan dimana seseorang melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap
dirinya sendiri mengenai rencana yang sudah dibuat pada tahapan planning.
Seseorang yang melakukan monitoring akan terus berusaha untuk mengarahkan
dirinya kepada rencana yang sudah dibuatnya di awal. Tahapan yang terakhir
adalah self-evaluating, yaitu melakukan refleksi mengenai apa yang sudah
dilakukannya, sehingga dapat mengetahui apa apa yang masih harus diperbaiki.
Saat melakukan self-evaluating, seseorang dapat mengenal dirinya dan akan terus
memperbaiki diri.

Menurut (Zimmerman, 1990) diketahui bahwa proses metakognisi merupakan


sebuah hal yang utama dalam pelaksanaan regulasi diri seseorang. Menurut
Bandura (1986), dalam Zimmerman, (1989) terdapat 3 faktor yang saling
mempengaruhi dalam regulasi diri yaitu: personal atau self (diri sendiri),
environmental (lingkungan), dan behavioral (perilaku). Zimmerman (1989)
mengatakan bahwa regulasi diri dapat terjadi bila seseorang mampu memproses
dirinya sendiri (personal) secara tepat dan strategis untuk mengatur perilaku
(behavior) dan lingkungan (environment) belajar yang sedang berlangsung.

Regulasi diri diartikan sebagai proses dimana seseorang dapat mengatur


pencapaian dan aksi mereka sendiri. (Winne, 1997) mengatakan “self-regulation
as a child’s ability to gain control of bodily functions, manage powerful emotions,
and maintain focus and attention” regulasi diri sebagai kemampuan seorang
anak untuk mendapatkan kontrol fungsi tubuh, mengelola emosi kuat, dan
mempertahankan fokus dan perhatian. Menurut Estherdan Henk dalam
(Baumiester, 2013) “the term self regulation often refers to the exertion of control
the self by the self whice involves altering theway in individual feels, thinks, or
behaves in order to persue short or long term interest”. Istilah regulasi diri sering
kali mengacu pada penggunaan suatu kontrol diri oleh diri sendiri yang
mengakibatkan perubahan pada seseorang dengan melibatkan perasaan, berpikir
atau perilaku dalam diri yang diperintahkan dalam jangka pendekmaupun jangka
panjang. Selanjutnya. Menurut (Santrock, 2008) “self regulatory learning the self
generation and self monitoring of thoughts, feelings, and behaviors in order to
reach a goal” regulasi diri merupakan pembangkitan diri dan pemantauan diri dari
pikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai tujuan. Menurut (Feldman, 2009)
“pengendalian emosional melibatkan usaha untuk mengontrol emosi, perhatian,
dan perilaku. Individu dengan pengendalian diri yang rendah cenderung mudah
marah atau frustasi ketika diganggu atau dicegah untuk melakukan sesuatu yang
mereka ingin lakukan. Sedangkan individu dengan pengendalian diri yang tinggi
dapat menahan dorongan untuk menunjukan emosi negatif pada saat yang tidak
tepat”.

Berdasarkan pemaparan diatas, regulasi diri bagi seorang merupakan hal


yang sangat penting dalam melakukan berbagai kegiatan. Selain itu regulasi diri
juga dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatur dirinya sendiri
serta mampu membuat keputusan sendiri. Reguasi diri (kemampuan mengontrol
perilaku sendiri) ialah salah satu dari sekian penggerak utama kepribadian
manusia. Regulasi diri merupakan proses perputaran karena memiliki faktor-
faktor yang bisa berubah selama proses kegiatan dan memerlukan pengawasan.
Pengawasan tersebut membawa pada perubahan dalam strategi, kognisi, pengaruh
dan perilaku seseorang. Regulasi diri dapat berupa kemampuan individu untuk
menahan dorongan-dorongan dan kemampuan individu untuk mengendalikan
tingkah lakunya pada saat tidak ada kontrol dari lingkungan. Saat mengatur
tingkah laku diri sendiri kita sebenarnya sedang terlibat dalam pengobservasian
diri.. Regulasi diri yang efektif membutuhkan sebuah tujuan dan motivasi.
Seseorang dapat membandingkan kinerja yang dilakukannya dengan tujuan yang
telah ditetapkan. Jika hasil dari perbandingan tersebut menyatakan kinerja masih
dibawah tujuan, maka seseorang tersebut dapat meningkatkan kinerja yang
dilakukannya. Proses regulasi diri dilakukan agar seseorang atau individu dapat
mencapai tujuan yang direncanakannya. Dalam mencapai tujuan tersebut,
seseorang harus memahami tentang kemampuan fisik, kognitif, sosial,
pengendalian emosi yang baik sehingga membawa seseorang kepada regulasi diri
yang baik.

Miller & Brown memformulasikan Self Regulation sebanyak tujuh tahap


yaitu:

a. Receiving atau menerima infromasi yang relevan, hal ini merupakan langkah
awal seseorang untuk menerima informasi yang nantinya informasi tersebut
digunakan untuk memahami karakter yang lebih terperinci dari suatu masalah.
b. Evaluating atau mengevaluasi, dalam proses ini, individu menganalisis informasi
yang didapatkan sebelumnya dengan cara membandingkan masalah dari luar
atau lingkungan (eksternal) dengan pendapat pribadi (internal).
c. Triggering atau membuat suatu perubahan, berdasarkan hasil evaluasi
sebelumnya individu akan merasakan perbedaan antara evaluasi yang telah
dilakukannya dengan informasi yang dimilikinya, dan pada tahap ini individu
akan memili kecenderungan untuk melakukan perubahan.
d. Searching atau mencari solusi, tahap sebelumnya adalah tahap pertentangan
diri individu antara pendapat pribadi dengan informasi yang didapat.
Pertentangan ini akan mengarahkan individu untuk menyelesaikan
pertentangan dengan mencari jalan keluar yang dihadapinya
e. Formulating atau merencanakan suatu rencana, tahap ini berisikan rencana
untuk mencapai tujuan yang mampu mendukung efesiensi dan efektivitas
f. Implementing atau menerapkan rencana, setelah perencanaan telah selesai
disusun, maka tahap berikutnya adalah merealisasikan rencana tersebut
dengan melakukan tindakan yang mengarah ke pencapaian tujuan
g. Assesing atau mengukur efektivitas dari rencana, pengukuran ini dibuat untuk
membantu individu dalam menentukan atau menyadari tentang realisasi dari
rencana tersebut terkait hasil yang sesuai dengan harapan atau tidak.
Tabel 2.1.2 Definisi Regulasi Diri dan indikator yang digunakan Menurut
Beberapa Peneliti

Variabel Peneliti Definisi Inidkator


- Fungsi personal (personal
function), yang mencakup
rehearsing, memorizing, goal
Regulasi diri adalah setting dan planning.
usaha yang dilakukan - Fungsi tingkah laku
Annisa secara sistematis untuk (behavioral function), yang
Regulasi Anggra- memfokuskan pikiran, mencakup self- evaluating
diri yani perasaan dan perilaku dan self consequenting.
(2017) pada pencapaian tujuan - Fungsi lingkungan
khususnya dalam (environment function), yang

mengelola diri mencakup keeping records,


environmental structuring,
dan seeking social
assistance.
Regulasi diri adalah
kemampuan peserta didik
untuk mengatur strategi
- Penetapan tujuan
pencapaian, menentukan
- Perencanaan,
target, serta memikirkan
Dewi - Efikasi diri
segala sesuatu yang
Regulasi Satria - Kontrol atensi
berhubungan dengan
diri Ahmar - Menggunakan strategi
pencapaian tujuan yang
(2016) - Memonitor diri
diinginkan dan pada
- Mencari bantuan
akhirnya mampu
- Evaluasi diri
mengevaluasi
kesuksesannya dalam
belajar sehingga
menyebabkan mereka
memiliki dorongan yang
kuat dalam mencapai
tujuannya
Regulasi diri adalah
kemampuan
menghasilkan pikiran,
(Dimensi metakognisi):
perasaan dan tindakan,
- Merencanakan
merencanakan dan
- Memantau
mengadaptasikannya
- Mengevaluasi
Octheria secara terus-menerus
Regulasi (Dimensi motivasi)
Friskilia, untuk mencapai tujuan.
diri - Motivasi intrinsik
(2018) Suatu proses dalam diri
- Motivasi ekstrinsik
siswa yang dapat
(Dimensi perilaku)
mengatur dan mengelola
- Kebiasaan
pikiran, perasaan,
- Interaksi.
keinginan, dan penetapan
tindakan yang akan
dilakukan.
Regulasi diri adalah
kemampuan untuk
mengatur dan mengelola
- Mengelola proses
proses belajar, emosi,
Regulasi Elfiadi - Mengelola emosi,
pikiran, serta mampu
diri (2016) - Mengatur pikiran
mengatur perilakunya
- Mengatur perilaku
sendiri dalam mencapai
suatu tujuan dan
keberhasilan.
Sumber: Diolah oleh peneliti
2.1.3 Sikap
Sikap dalam bahasa Inggris disebut “attitude”. Menurut (Ajzen, 2005) “an
attitude is a disposition to respond favorably or unfavorably to an object,
person, institution, or event” sikap sebagai suatu kecenderungan untuk merespon
secara baik atau tidak baik terhadap suatu benda, orang, institusi, atau peristiwa.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh (Littlejohn, 2001) bahwa “an attitude
is a predisposition to act in a positive or negative way towards some object” sikap
adalah kecenderungan untuk bertindak dengan cara yang positif atau negatif
terhadap beberapa objek. Menurut (Aiken, 1994) “An attitude is a learned
predispositions to respond positively or negatively to a certain object, situation,
institution, or person, As such, it consists of cognitive (knowledge or intellective),
affective (emotional and motivational), and performance (behavioral or action)
components”. Sikap adalah sebuah kecenderungan belajar untuk merespon secara
positif atau negatif terhadap suatu objek tertentu, situasi, institusi, atau orang.
sikap terdiri dari komponen kognitif (pengetahuan), afektif (emosional dan
motivasi), dan kinerja (perilaku atau tindakan). Selanjutnya menurut Breckler
dalam (Carlson, 2000), “the word attitude refers to three different components:
affective, behavioral, and cognitive” kata sikap mengacu pada tiga komponen
yang berbeda, yaitu: afektif, perilaku, dan kognitif.

Berdasarkan definisi dari para ahli, sikap merupakan suatu kecenderungan


untuk merespon baik sifatnya positif ataupun negatif terhadap suatu ojek. Sikap
disebut juga sebagai konsep yang paling khusus dan sangat dibutuhkan dalam
psikologis sosial kontemporer. Dalam kajian ekonomi, sikap merupakan salah
satu konsep yang paling penting yang digunakan pemasar untuk memahami
konsumen. Disisi lain, sikap merupakan sebuah kegiatan motorik yang membuat
seseorang bertindak. Sikap mempengaruhi perilaku manusia, salah satu contoh
sikap yang sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari adalah sikap positif.
Sikap positif merupakan cara kita menghadapi atau memandang berbagai suatu
hal dari persepsi positif. Hal lain yang berkaitan dengan sikap adalah pemecahan
masalah. Dalam pemecahan masalah, dibutuhkan sikap yang sesuai dengan
kondisi dari masalah tersebut. Saat masalah yang dihadapi rumit maka diperlukan
sikap tenang untuk memecahkannya.

Definisi sikap lainnya dikemukanan oleh Allport dalam setiadi (2003:214)


yang mengatakan bahwasanya sikap merupaka suatu mental dan syaraf
sehubungan dengan kesiapan untuk menanggapi, diorganisasi melalui pengalaman
dan memiliki pengaruh yang mengarahkan dan atau dinamis terhadap perilaku.
Definisi yang dikemukakan oleh Allport tersebut mengandung makna bahwa
sikap adalah kecenderungan memberikan tanggapan terhadap suatu obyek baik
disenangi ataupun tidak disenangi secara konsisten. Engel dalam yulistiano dan
suryandari (2003 : 235) menjabarkan dimensi sikap sebagai berikut:

a. Valance
Mengaju pada sikap positif , sikap negatif, atau netral
b. Extermity
Keekstriman merupakan intensitas kesukaan dan ketidak sukaan.
c. Resistance
Tingkat dimana sikap kebal terhadap perubahan.
d. Persistence
Merefleksikan bahwa sikap dapat berubah secara perlahan-lahan / gradual.
e. Konfidence
Tidak semua sikap berada pada tingkat keyakinan

Menurut Oxford Advanced Learner Dictionary mencantumkan bahwa


sikap (attitude) berasal dari bahasa Italia attitudine yaitu “Manner of placing or
holding the body, dan way of feeling, thinking or behaving” Cara menempatkan
atau memegang tubuh, dan cara merasakan, berpikir atau berperilaku. (DT, 1950)
mengemukakan bahwa sikap adalah “A syndrome of response consistency with
regard to social objects”. Artinya sikap adalah sekumpulan respon yang konsisten
terhadap obyek sosial. Dalam bukunya, (Notoatmodjo, 2003) mengemukakan
bahwa sikap (attitude) adalah merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup
dari seseorang terhadap stimulus atau obyek. Menurut (Eagly AH, 1993) sikap
dapat diposisikan sebagai hasil evaluasi terhadap obyek sikap yang diekspresikan
ke dalam prosesproses kognitif, afektif (emosi) dan perilaku.

Berdasarkan pengertian diatas maka secara garis besar sikap merupakan


suatu respon terhadap stimulus yang terdiri dari komponen kognitif (ide yang
umumnya berkaitan dengan pembicaraan dan dipelajari), perilaku (cenderung
mempengaruhi respon sesuai dan tidak sesuai) dan emosi (menyebabkan respon-
respon yang konsisten).

Ciri-ciri sikap dalam buku (Notoatmodjo, 2003) adalah:

a. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang
perkembangan itu dalam hubungannya dengan obyeknya.
b. Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan sikap dapat
berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat
tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.
c. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu
terhadap suatu obyek. Dengan kata lain sikap itu terbentuk, dipelajari, atau
berubah senantiasa berkenaan dengan suatu obyek tertentu yang dapat
dirumuskan dengan jelas.
d. Obyek sikap itu merupakan suatu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan
kumpulan dari hal-hal tersebut.
e. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat alamiah yang
membedakan sikap dan kecakapan- kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan
yang dimiliki orang.

Menurut (Azwar, 2011)Azwar S (2011) sikap terdiri dari 3 komponen yang


saling menunjang yaitu:

a. Komponen kognitif
Merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap,
komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu
mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila
menyangkut masalah isu atau yang kontroversial.
b. Komponen afektif
Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional
inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan
merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang
mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan
dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.
c. Komponen konatif
Merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai sikap yang dimiliki
oleh seseorang. Aspek ini berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak
atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.

Sikap merupakan reaksi saat terkena sesuatu rangsangan baik mengenai


orang, benda-benda, ataupun situasi-situasi yang mengenai dirinya. Sikap dapat
dikatakan sebagai suatu perbuatan atau tingkah laku yang merupakan reaksi atau
respon terhadap sesuatu rangsangan atau stimulus, yang disertai dengan pendirian
dan atau perasaan orang lain. Menurut Bruno dalam (Tohirin, 2005) sikap
(attitude) adalah kecendrungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan baik
atau buruk terhadap orang atau barang tertentu. Kita telah ketahui bahwa orang di
dalam berhubungan dengan orang lain tidak hanya berbuat begitu saja, tetapi juga
menyadari perbuatan yang dilakukan dan menyadari pula situasi yang ada sangkut
pautnya dengan perbuatan itu. Kesadaran ini tidak hanya mengenai tingkah laku
yang sudah terjadi, tetapi juga tingkah laku yang mungkin akan terjadi.
Sebagaimana menurut pendapat W.J. Thomas dalam (Ahmadi, 2002) bahwa
kesadaran individu yang menentukan perbuatan nyata dan perbuatan-perbuatan
yang mungkin akan terjadi itulah yang dinamakan sikap.

Sedangkan menurut Mueller dalam (Ahmadi, 2002) sikap adalah


menyukai atau menolak suatu objek. Pada prinsipnya sikap adalah kecenderungan
individu untuk bertindak dengan cara tertentu. Perwujudan perilaku akan ditandai
kecendrungan-kecendrungan baru yang telah berubah terhadap suatu objek, tata
nilai, peristiwa. Dalam istilah kecenderungan (Predisposition) terkandung
pengertian arah tindakan yang akan dilakukan seseorang berkenaan dengan suatu
objek. Arah tersebut dapat bersifat mendekati atau menajuhi. Tindakan mendekati
atau menjauhi suatu objek (orang, benda, ide, dan lainnya), dilandasi oleh
perasaan penilian terhadap objek tersebut. Misalnya, ia menyukai atau tidak,
menyenangi atau tidak, menyetujui atau tidak.

Berdasarkan paparan diaats, sikap seseorang timbul berdasarkan


pengalaman dan tidak dibawa sejak lahir serta sesuatu yang diturunkan tetapi
merupakan hasil belajar. Oleh sebab itu sikap dapat dibentuk atau diubah dan
bersifat tidak mutlak. Setiap individu dapat memiliki kesamaan sikap dengan
individu lain, namun ada individu yang memiliki perbedaan sikap dengan individu
lain. Hal ini dapat terjadi karena terdapat perbedaan latar belakang lingkungan,
sosial dan budaya. Sikap sebagai tingkatan kecendrungan yang bersifat positif
atau negatif yang berhubungan dengan objek psikologi. Orang dikatakan memiliki
sikap positif terhadap suatu objek psikologi apabila ia suka atau memiliki sikap
yang favorable, sebaliknya orang yang dikatakan memiliki sikap yang negative
terhadap objek psikologi bila ia tidak suka atau sikapnya unfavorable terhadap
objek.

Tabel 2.1.3 Definisi Sikap dan indikator yang digunakan


Menurut Beberapa Peneliti

Variabel Peneliti Definisi Indikator


Sikap merupakan suatu
kecenderungan seseorang
untuk merespon secara positif - Kognitif
Sikap Elfiadi (2016) atau negatif terhadap objek - Efektif
tertentu, yang meliputi - Konatif
komponen
kognitif, afektif dan konatif.
Sikap adalah suatu kegiatan - Kognitif
Anggun Anggita
Sikap dimana seseorang berpikir, - Afektif
(2018)
merasakan, dan bertindak - Behavior
terhadap beberapa
aspek lingkungannya
Sikap adalah kesiapan
merespon yang bersifat
positif atau negatif terhadap
objek atau situasi secara
konsisten. Pendapat ini
memberikan gambaran bahwa
Sikap merupakan reaksi - Kognitif
Sikap Ahmadi (2007) mengenai objek atau situasi - Afektif
yang relatif stagnan yang - Behavior atau konatif
disertai dengan adanya
perasaan tertentu dan
memberi dasar pada orang
tersebut untuk membuat
respon atau perilaku dengan
cara tertentu yang dipilihnya
- Berpikir fleksibel dan
bebas dalam berpikir
- Kebebasan dalam
Sikap adalah cara berekspresi
menempatkan atau - Sangat berminat
Yusqi Mahfud
Sikap membawa diri, atau cara dalam aktivitas
(2016)
merasakan, jalan pikiran, kreatif
dan perilaku - Kepercayaan pada
gagasan sendiri
- Keterlibatan dalam
tugas.
Sumber: Diolah oleh peneliti
2.1.4 Kreativitas
Dalam sudut pandang apapun kreativitas akan sangat terasa dalam
kehidupan kita sehari-hari. Terlebih jika seseorang tengah berada dalam suatu
masalah. Dalam sebuah permasalahan sesorang pasti akan berfikir bagaimana cara
untuk menghadapinya dan untuk menghadapinya dibutuhkan kemampuan
khusunya kemampuan berfikir. Kemampuan berfikir itulah yang akan di
kembangkan menjadi daya kreatif seseorang. Daya kreatif itu akan secara spontan
muncul dari dalam diri seseorang yang bukan merupakan pemikiran dari orang
lain. Kreativitas adalah sifat pribadi individu (bukan merupakan sifat sosial yang
dihayati masysarakat) yang terlihat pada sikap yang muncul dari ide – ide baru.
Kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk mengkreasi sesuatu yang
baru, baik berupa pendapat maupun hasil nyata, yang relatif berbeda dengan apa
yang telah ada sebelumnya. Kreativitas (divergen thinking) adalah kemampuan
yang dimiliki seseorang untuk berfikir menciptakan atau menghasilkan suatu yang
baru, berbeda, belum ada sebelumnya yang berupa suatu gagasan, ide, hasil karya
serta respon dari situasi yang tidak terduga. Dalam Munandar (1992: 47)
berpendapat tentang pengertian dan definisi kreativitas menjadi beberapa rumusan
sebagai berikut:

1. Kreativitas adalah kemampuan yang dimiliki anak untuk berinovasi


membuat kombinasi baru, berdasarkan data yang dimiliki, informasi-
informasi atau unsur-unsur yang ada.
2. Kreativitas (berfikir kreatif atau berfikir divergen) adalah kemampuan
seseorang berdasarkan data atau informasi yang tersedia dan dapat
menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, yang
penekanannya adalah pada kuantitas, ketepatgunaan dan keragaman
jawaban.
3. Kreativitas dapat diasumsikan sebagai kemampuan seseorang yang
mencerminkan kelancaran, keluwesan, fleksibilitas dan originalitas dalam
berfikir, serta kemampuan untuk mengolaborasi (mengembangkan,
memperinci, memperkaya) suatu gagasan.
Kelancaran dan keluwesan seseorang dalam berfikir sangatlah tergantung
dengan daya kreatif seseorang. Manusia mempunyai potensi kreatif sejak
lahir, namun perkembangan kreativitas tergantung dari eksistensi dan kondisi
yang mendukung terciptanya daya kreatif. Kreativitas dapat berkembang
dengan baik apabila seseorang mampu mengekspresikan ide dan rangsang
tanpa rasa takut, terbuka pada sesuatu yang tidak diketahui dan mudah
menerima ketidaknyamanan (self-accepting). Beberapa ahli pendapat berfikir
kreatif adalah sebuah kebiasaan yang harus dilatih dengan memerhatikan
intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan keinginan-keinginan baru,
membuka sudut pandang yang menakjubkan, dan membangkitkan ide-ide
yang tidak terduga. Tanpa keterbiasaan atau latihan berfikir kreatif tidak akan
berkembang bahkan akan menghilang. Menurut Hulbeck (1945) “Creative
action is imposing of one’s own whole personality on theenvironment in an
unique and characteristic way”. Tindakan kreatif muncul dari keunikan
keseluruan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya. Menurut
Elaine B. Johnson dalam Bunthas (2012: 23) berfikir kreatif membutuhkan
ketekunan, disiplin diri dan perhatian penuh yang meliputi beberapa aktivitas
mental, antara lain adalah sebagai berikut :

1. Berani mengajukan pertanyaan.


2. Mempertimbangkan informasi baru dan ide yang tidak lazim dengan
pikiran terbuka.
3. Membangun keterkaitan, khususnya di antara hal-hal yang berbeda.
4. Menghubung-hubungkan berbagai hal dengan bebas.
5. Menerapkan imajinasi pada setiap situasi untuk menghasilkan hal
baru dan berbeda.
6. Mendengarkan intuisi.

Dalam pendekatan difinisi pribadi kreativitas fokus pada segi pribadi


seseorang. Rogers dalam (Munandar, 2012) berpendapat bahwa ada tiga
kondisi individu yang kreatif, yaitu :

1. Seseorang memiliki keterbukaan dalam pengalamannya


2. Seseorang memiliki kemampuan untuk menilai situasi sesuai dengan kondisi
pribadi dirinya sendiri (internal locus of evaluation), dan Memupunyai
kemampuan untuk berekperimen, untuk mencoba – coba “bermain” dengan
konsep-konsep.

Menurut kamus Webster dalam (Sukmadinata, 2004) kreativitas adalah


kemampuan seseorang untuk menciptakan yang ditandai dengan orisinilitas
dalam berekspresi yang bersifat imajinatif. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2005:599), kreativitas adalah kemampuan untuk mencipta, perihal
berkreasi dan kekreatifan. Selanjutnya, menurut James J. Gallagher (Aiken,
1994) mengatakan bahwa “Creativity is a mental process by which an individual
crates new ideas or products, or recombines existing ideas and product, in
fashion that is novel to him or her”. Kreativitas merupakan suatu proses
mental yang dilakukan individu berupa gagasan ataupun produk baru, atau
mengkombinasikan antara keduanya yang pada akhirnya akan melekat pada
dirinya. Menurut Supriadi dalam Yeni Rachmawati (2005:15) menyatakan
bahwa kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu
yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda
dengan apa yang tealah ada. Berdasarkan pendapat ahli yang telah dipaparkan
sebelumnya, kreativitas merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang
mengimplikasikan terjadinya eskalasi dalam kemampuan berpikir, ditandai
oleh suksesi, diskontinuitas, diferensiasi, dan integrasi antara tahap
perkembangan.

Semiawan (2005) mengemukakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan


untuk memberikan gagasan baru dan menerapkannya dalam pemecahan
masalah. Kreativitas adalah kemampuan menghasilkan bentuk baru dalam
seni, atau, dalam permesinan, atau dalam pemecahan masalah-masalah
dengan metode-metode baru (Chaplin dalam Yeni Rachmawati, 2005).
Sedangkan menurut (Munandar, 2012) kreativitas adalah kemampuan untuk
membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur
yang ada”. Sedangkan menurut Clarkl Monstakis dalam (Munandar, 2012)
kreativitas merupakan pengalaman dalam mengekspresikan dan
mengaktualisasikan identitas individu dalam bentuk terpadu antara hubungan diri
sendiri, alam dan orang lain. Kuper dalam Samsunuwiyati Mar’at (2006:175)
juga berpendapat bahwa kreativitas merupakan sebuah konsep yang
majemuk dan multi-dimensial, sehingga sulit didefinisikan secara
operasional.

Berdasarkan definisi diatas, definisi sederhana yang sering digunakan


secara luas tentang kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu
yang baru. Wujudnya adalah tindakan manusia. Melalui proses kreatif yang
berlangsung dalam benak orang atau sekelompok orang, produk-produk
kreatif tercipta. Produk itu sendiri sangat beragam, mulai dari penemuan mekanis,
proses kimia baru, solusi baru atau pernyataan baru mengenai sesuatu
masalah. Kreativitas adalah kemampuan dan metode yang digunakan seseorang
yang digunakan untuk menyeleseikan masalah berupa gagasan, ide, karya-karya
yang baru atau karya yang pernah ada kemudian diperbaharui, informasi dan
unsur yang ada lainnya yang hasilnya dapat menggambarkan kelancaran,
keluwesan, fleksibelitas dan originalitas dalam berfikir dan menyampaikan
pendapat, serta kemampuan untuk menggabungkan (mengembangkan,
memperinci, memperkaya) suatu gagasan.

Menurut Oemar Hamalik dalam (Kenedi, 2017) ciri-ciri kreatif adalah:


mengamati dan menilai dengan tepat apa yang diamatinya, melihathal-hal seperti
orang lain tetapi juga sebagai orang-orang lain yang tak melakukannya, bebas
dalam pengenalan dan menilainya dengan jelas, didorong terhadap nilai dan
terhadap latihan untuk mengembangkan bakatnya, kapasitas otaknya lebih besar,
kemampuan berfikir kognitif, cakrawala yang lebih kompleks, kontaknya lebih
luas dengan dunia imajinas, kesadarannya lebih luas dan luwes, dan kebebasannya
yang obyektif untuk mengembangkan potensi kreatifnya.

Pribadi yang kreatif cenderung mempunyai hasrat keingin tahuan yang besar,
bersikap terbuka terhadap pengalaman baru, panjang akal, keinginan untuk
menemukan dan meneliti, cenderung lebih menyukai tugas yang berat dan sulit,
cenderung mencari jawaban yang luas dan memuaskan, memiliki dedikasi
bergairah serta aktif dalam melaksanakan tugas, berfikir fleksibel, menanggapi
pertanyaan yang diajukan serta cenderung memberi jawaban yang lebih banyak,
kemampuan membuat analisis dan sintesis yang lebih tinggi, memiliki semangat
bertanya serta meneliti, memiliki daya abstraksi yang cukup baik, dan memiliki
latar belakang membaca yang luas. Pribadi yang kreatif biasanya lebih terorganisir
dalam bertindak Trefffinger (dalam (Munandar, 2012) menyatakan bahwa pribadi
yang kreatif memiliki rencana inovatif serta produk orisinal yang telah mereka
pikirkan dengan matang terlebih dahulu, dengan mempertimbangkan masalah
yang mungkin timbul dan implikasinya. (Munandar, 2012) mengemukakan
tentang model penilaian aspek-aspek kreativitas. Aspek-aspek tersebut adalah :

1. Kelancaran berpikir (fluency of thinking), yaitu kemampuan seseorang untuk


menghasilkan banyak ide secara cepat. Dalam dalam aspek ini, yang diutamakan
adalah kuantitas, dan bukan kualitas.
2. Keluwesan berpikir (flexibility), yaitu kemampuan seseorang untuk
mengungkapkan sejumlah ide, jawaban-jawaban atau pertanyaan-pertanyaan
yang bervariasi, dalam aspek ini menekankan kemampuan melihat suatu
masalah dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda, dapat mencari
alternatif ide, jawaban atau pertanyaan-pertanyaan yang lain, kemudian mampu
menggunakan bermacam-macam pendekatan atau cara pemikiran.
3. Elaborasi (elaboration), yaitu kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan
menambahkan atau memperinci detail-detail dari suatu objek, gagasan atau
situasi sehingga menjadi lebih menarik. Sehingga produk yang dihasilkan akan
mudah dimengerti dan dipahami. Hal yang utama adalah menambah hasanah
dan makna dari sebuah produk menjadi lebih terperinci.
4. Originalitas (originality), yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan unik
atau kemampuan untuk mencetuskan gagasan asli bukan berasal dari orang lain
atau sesuatu yang sudah ada sebelumnya
Guilford dalam (Asrori, 2004) menyatakan bahwa kreativitas mengacu pada
kemampuan yang menandai ciri-ciri orang kreatif. Lebih lanjut Guilford
mengemukakan dua cara berpikir, yakni cara berpikir konvergen dan divergen.
Cara berpikir konvergen adalah caracara individu dalam memikirkan sesuatu yang
berpandangan bahwa hanya ada satu jawaban yang benar, sedangkan cara berpikir
divergen adalah kemampuan individu untuk mencari berbagai alternatif jawaban
terhadap suatu persoalan. Dalam kaitannya dengan kreativitas, Guilford
menekankan bahwa orang-orang kreatif lebih banyak memiliki cara-cara berpikir
divergen dari pada konvergen. Berdasarkan paparan diatas maka dapay dikatakan
bahwa kreativitas merupakan kemampuan yang mencerminkan kelancaran,
keluwesan, dan orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk
mengolaborasi suatu gagasan. Kreativitas adalah keseluruhan antar kepribadian
yang merupakan hasil interaksi dengan lingkungannya. Artinya, lingkungan yang
merupakan tempat individu berinteraksi itu dapat mendukung berkembangnya
kreativitas, tetapi ada juga yang justru menghambat berkembangnya kreativitas
individu. Kreativitas berasal dari kemampuan untuk membuat kombinasi baru,
berdasarkan data, dan informasi yang memungkinkan suatu jawaban terhadap
berbagai permasalahan yang ada. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kreatifitas seseorang akan mencerminkan kelancaran, keluwesan, dan orisinilitas
seseorang dalam berpikir serta membuat seseorang mempunyai kemampuan untuk
mengelaborasi suatu gagasan dalam pemecahan sebuah masalah.

Tabel 2.1.4 Definisi Kreativitas dan indikator yang digunakan


Menurut Beberapa Peneliti

Variabel Peneliti Definisi Indikator

Kreativitas adalah - Memiliki rasa ingin tahu yang


kemampuan besar
Munandar
Kreativitas seseorang dalam - Memberikan banyak gagasan
(2016)
mengkombinasikan dan usul terhadap suatu
data atau informasi masalah
yang telah didapat - mempunyai daya imajinasi yang
sebelumnya untuk kuat
menciptakan suatu - Mampu mengajukan pemikiran,

karya baru yang gagasan pemecahan masalah

berbeda dengan yang berbeda dari orang lain

lainnya dan dapat (orisinal);

membantu - Dapat bekerja sendiri

seseorang dalam - Senang mencoba hal-hal baru

memecahkan suatu - Mampu mengembangkan atau


merinci suatu gagasan
permasalahan.
(kemampuan elaborasi)
- Memiliki rasa ingin tahu yang
besar
Kreativitas adalah - Memberikan banyak gagasan
kemampuan dan usul
mempunyai banyak - Mempunyai pendapat sendiri
ide, mampu dan tidak mudah terpengaruh
menggabungkan oleh orang lain
Hamzah B. Uno
sesuatu gagasan - Menyukai keindahan
dan Nurdin
Kreativitas yang belum - Mempunyai daya imajinasi
Mohamad
pernah tergabung kuat
(2011)
sebelumnya serta - Mampu mengajukan pemikiran

mampu untuk dan gagasan yang berbeda

menemukan ide dari orang lain (orisinal)

untuk memecahkan - Dapat bekerja sendiri;

permasalahan. - Senang mencoba hal-hal baru


- Dapat mengembangkan suatu
gagasan.
Kreatifitas adalah - Mempunyai kepercayaan diri
Kreativitas Kenedi (2017) kemampuan yang - terbuka terhadap pengalaman
dimiliki oleh baru dan
seseorang untuk luar biasa
menemukan dan - luwes dalam berfikir dan
menciptakan bertindak

sesuatu hal yang - bebas dalam mengekspresikan

baru, cara-cara diri

baru, model baru - dapat mengapresiasi fantasi

yang berguna bagi - berminat pada

dirinya dan bagi kegiatan-kegiatan kreatif

orang lain. - percaya pada gagasan sendiri


dan
mandiri.
Sumber: Diolah oleh peneliti
2.1.5 Kemampuan Berfikir Kritis
Manusia memiliki kemampuan untuk berfikir dalam hidupnya. Proses
berpikir adalah proses mental yang melibatkan sistem koordinasi tubuh pusat
yaitu otak untuk bekerja. (Paul, 2007) mengungkapkan bahwa berpikir adalah
istilah yang sangat luas dengan berbagai defenisi, misalnya, angan-angan,
pertimbangan, kreativitas, pemecahan masalah, penentuan, perencanaan. Drever
mengemukakan bahwa berpikir merupakan sebuah landasan dari adanya persoalan
atau problem yang dihadapi secara individu. Sedangkan (Feldman, 2009)
mengemukakan bahwa berpikir merupakan penggunaan unsur-unsur lingkungan
berupa simbol-simbol sehingga tidak perlu langsung melakukan kegiatan yang
tampak. (Shaleh : 2008,226) Simbol-simbol yang digunakan dalam berpikir pada
umumnya berupa kata-kata atau bahasa, karena itu sering dikemukakan bahwa
bahasa dan berpikir mempunyai kaitan yang erat. Dengan bahasa, manusia dapat
menciptakan ratusan, ribuan simbol-simbol yang memungkinkan manusia dapat
berpikir begitu sempurna apabila dibandingkan dengan makhluk lain. (Walgito :
1980, 176) Berpikir menggunakan simbol dapat juga dikatakan sesuatu yang
dapat mewakili segala hal di lingkungan luar maupun yang ada di dalam diri kita
sendiri, dalam alam pikiran kita. Kata-kata adalah simbol. Kata “buku” mewakili
benda yang terdiri atas lembaran-lembaran kertas yang dijilid dan dicetaki huruf-
huruf. Kegiatan berpikir yang dilakukan oleh seseorang dapat menjadi acuan dan
modal untuk dapat berpikir kritis.

Menurut (Cahyono, 2017) “berpikir kritis adalah perwujudan perilaku belajar


terutama yang bertalian dengan pemecahan masalah. Pada umumnya seseorang
yang berpikir kritis akan menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian
di dalam menjawab pertanyaan”. Sesungguhnya kemampuan berpikir kritis adalah
suatu proses berpikir yang terjadi pada seseorang yang bertujuan untuk membuat
keputusan-keputusan yang rasional mengenai sesuatu yang dapat ia yakini
kebenarannya. Berpikir kritis berarti berpikir mengarah, menertibkan, memantau,
dan memperbaiki diri sendiri. Berpikir kritis mencakup kegiatan menganalisis
dan menginterpretasi data dalam kegiatan inquiry ilmiah. The Secretary’s
Commission on Achieving Necessary Skills pada tahun 1990 menyatakan bahwa
kompetensi berpikir kritis, membuat keputusan, problem solving, dan bernalar
sebagai sesuatu yang penting dalam prestasi kerja. Selain itu menurut Johnson
(2009) dalam (Cahyono, 2017) berpikir kritis ini merupakan kemampuan esensial
yang harus dimiliki oleh peserta didik baik dalam memecahkan masalah. Menurut
(Ennis, 1996) terdapat kriteria atau elemen dasar yang harus dimiliki oleh pemikir
kritis dalam memecahkan masalah yaitu Focus, Reason, Inference, Situation,
Clarity, and Overview yang dapat disingkat dengan istilah FRISCO.

Fokus berkaitan dengan Identifikasi fokus atau perhatian utama, Reason


yang berkaitan dengan Identifikasi dan menilai akseptabilitas alasannya, Inference
yang berkaitan dengan menilai kualitas kesimpulan, dengan asumsi alasan untuk
dapat diterima, Situation yang berkaitan dengan situasi dengan seksama Clarity
yang berkaitan dengan kejelasan, Periksa untuk memastikan bahasanya jelas dan
Overview yang berkaitan dengan mengecek kembali. Menurut (Paul, 2007)
mendefinisikan bahwa berpikir kritis adalah seni dari menganalisis dan
mengevaluasi dengan tujuan untuk meningkatkan aktivitas berpikir. (Langley,
2007) menyatakan bahwa proses berpikir melibatkan pertimbangan fenomena
dinamis dalam hal gerakan, aktivitas, kejadian, perubahan dan perkembangan
sementara. Halpern dalam (Ismiyati Marfuah, 2016) menyatakan bahwa proses
berpikir kritis didefinisikan sebagai berpikir beralasan dan mengarah pada tujuan.

Dari paparan diatas maka dapat dikatakan bahwa berpikir merupakan


proses mental yang melibatkan sistem koordinasi tubuh pusat yaitu otak untuk
bekerja dalam berbagai defenisi diantaranya dalam pemecahan masalah,
penentuan, dan perencanaan. Kegiatan berpikir yang dilakukan oleh seseorang
dapat menjadi acuan dan modal untuk dapat berpikir kritis. Berpikir kritis
merupakan berpikir yang terjadi dalam sistem kognitif dengan membandingkan
beberapa pengetahuan yang sudah ada dalam pikiran yang bertujuan untuk
menyelesaikan suatu permasalahan dengan memutuskan pengetahuan yang lebih
tepat digunakan untuk memecahkan masalah.
(Facione, 2011) mengemukakan tentang tahap-tahap dari proses berpikir
kritis meliputi interpretasi, analisis, evaluasi, kesimpulan, penjelasan, dan
pengaturan diri sendiri. Anderson dan Krathwol dalam (Budiyono, 2015)
mengemukakan Taksonomi Bloom yang direvisi meliputi langkah dalam
mengingat pengetahuan sebelumnya, mengerti masalah, menggunakan prosedur,
menganalisis, menilai kesalahan dan ketepatan, serta membentuk hipotesis dan
prosedur. Proses berpikir kritis dalam memecahkan masalah dapat menggunakan
3 tahap, yaitu identifikasi: memahami masalah dengan cara menafsirkan dan
memeriksa masalah; analisis: membuat rencana pemecahan dengan cara
menggabungkan informasi untuk merumuskan masalah dan menentukan metode
pemecahan; serta evaluasi: melaksanakan rencana pemecahan dan memeriksa
kembali hasilnya dengan cara mengaplikasikan metode, memeriksa jawaban, dan
membuat kesimpulan.

Berpikir kritis adalah salah satu kemampuan yang dapat dikembangkan dalam
pemecahan masalah. Kemampuan ini merupakan salah satu aspek berpikir
matematis tingkat tinggi (higher order level thinking). (Santrock, 2011)
menjelaskan bahwa pemikiran kritis adalah pemikiran reflektif dan produktif,
serta melibatkan evaluasi bukti. (Costillas, 2016) berpendapat bahwa membuat
seseorang dapat berfikir kritis merupakan tantanag untuk berfikir kritis, padahal
berfikir kritis merupakan salah satu tantangan komptensi pada abad 21. Salah
satu pendekatan untuk meningkatkan berpikir kritis dan pemecahan masalah
adalah metakognitif. (Brunning, 1990) menjelaskan bahwa metakognisi
merupakan pengetahuan seseorang tentang proses berfikirnya sendiri. (Smith,
2013) menambahkan bahwa metakognisi merupakan kemampuan seseorang
dalam memahami apa yang dia pikirkan dan merefleksikannya sehingga dapat
mengontrol kegiatannya. Berikut beberapa pendapat tentang karakter atau ciri
orang yang berpikir kritis. Menurut (Facione, 2011) ada lima kecakapan berpikir
kritis utama yang terlibat di dalam proses berpikir kritis. Kecakapan-kecakapan
tersebut adalah interpretasi, analisis, evaluasi, inference, dan penjelasan. Coleman
dan Hammen dalam (Cahyono, 2017) menyatakan bahwa berpikir kreatif
merupakan cara berpikir yang menghasilkan sesuatu yang baru dalam konsep,
pengertian, penemuan dan karya seni. Sejalan dengan pendapat Coleman dan
Hammen, Sukmadinata mengemukakan berpikir kreatif adalah suatu kegiatan
mental untuk meningkatkan kemurnian dan ketajaman pemahaman dalam
mengembangkan sesuatu. Menurut Glasser dalam (Fisher, 2009) indikator-
indikator berpikir kritis adalah sebagai berikut: a) Mengenal masalah; b)
menemukan cara-cara yang dipakai untuk menangani masalah-masalah;c)
mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan; d) mengenal asumsi-
asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan; e) memahami dan menggunakan
bahasa yang tepat, jelas, dan khas; f) menganalisis data; g) menilai fakta dan
mengevaluasi pernyataan-pernyataan; h) mengenal adanya hubungan yang logis
antara masalah-masalah; i) menarik kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-
kesamaan yang diperlukan; j) menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-
kesimpulan yang seseorang ambil; k) menyusun kembali pola-pola keyakinan
seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas; l) membuat penilaian yang
tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut (Ennis, 1996) indikator kemampuan berpikir kritis dapat diturunkan


dari aktivitas kritis meliputi: a) mencari pernyataan yang jelas dari pertanyaan; b)
mencari alasan; c) berusaha mengetahui informasi dengan baik; d) memakai
sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya; e) memerhatikan situasi
dan kondisi secara keseluruhan; f) berusaha tetap relevan dengan ide utama; g)
mengingat kepentingan yang asli dan mendasar; h) mencari alternatif; i) bersikap
dan berpikir terbuka; j) mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk
melakukan sesuatu; k) mencari penjelasan sebanyak mungkin; l) bersikap secara
sistematis dan teratur dengan bagian dari keseluruhan masalah. Selanjutnya
(Miterer, 2009) mendefinifikan bahwa “critical thingking refers to an ability to
evaluate, compare, analyze, critique, synthesize, and reflect on information”.
Definisi tersebut menjelaskan bahwa berpikir kritis mengacu pada kemampuan
untuk mengevaluasi, membandingkan, menganalisis, mengkritik, mensintesis, dan
merefleksi suatu informasi.
Berpikir kritis berarti merefleksikan permasalahan secara mendalam,
mempertahankan pikiranagar tetap terbuka dalam menghadapi berbagai
pendekatan dan perspektif yang berbeda, tidak mempercayai begitu saja
informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber (lisan atau tulisan), serta
berpikir secara reflektif ketimbang hanya menerima ide-ide dari luar tanpa adanya
pemahaman dan evaluasi yang signifikan Santrock dalam (Desmita, 2011)
Berdasarkan definisi tersebut kemampuan berpikir kritis berarti suatu kegiatan
menganalisis ide ataugagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara
tajam, memilih, mengidentifikasi, mengkaji dan mengembangkannya ke arah
yang lebih sempurna. (Facione, 2015) mengemukakan 6 kemampuan inti dalam
berpikir kritis, yaitu Interpretasi (inter- pretation), meliputi kategorisasi,
menyamakan makna, dan menjelas- kan makna; Analisis (analysis), meliputi
menguji ide-ide, mengenali pendapat, dan mengenali alasan; Evaluasi
(evaluation), yang meliputi menilai pernyataan dan menilai kualitas pendapat;
Kesimpulan (inference), meliputi mengenali bukti, alternatif penyelesaian,
pengambilan kesimpulan; Penjelasan (explanation), meliputi menyatakan hasil,
membenarkan prosedur, dan menyajikan dokumen; Pengaturan diri (self
regulation), meliputi pemantauan dan perbaikan diri.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa berpikir


merupakan salah satu aktivitas mental yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia. Kemampuan berpikir kritis setiap individu berbeda antara satu dengan
lainnya sehingga perlu dipupuk sejak dini. Berpikir terjadi dalam setiap aktivitas
mental manusia berfungsi untuk memformulasikan atau menyelesaikan masalah,
membuat keputusan serta mencari alasan. Berpikir kritis adalah sebuah proses
sistematis yang memungkinkan seseorang untuk merumuskan dan mengevaluasi
keyakinan dan pendapat mereka sendiri. Berpikir kritis adalah sebuah proses
terorganisasi yang memungkinkan seseorang mengevaluasi bukti, asumsi, logika
dan bahasa yang mendasari pernyataan orang lain. Berpikir kritis juga merupakan
berpikir dengan baik, dan merenungkan tentang proses berpikir merupakan bagian
dari berpikir dengan baik.
Berpikir kritis dapat dicapai dengan lebih mudah apabila seseorang itu
mempunyai disposisi dan kemampuan yang dapat dianggap sebagai sifat dan
karakteristik pemikir yang kritis. Berpikir kritis dapat dengan mudah diperoleh
apabila seseorang memiliki motivasi atau kecenderungan dan kemampuan yang
dianggap sebagai sifat dan karakteristik pemikir kritis. Dalam pemecahan
masalah, kemampuan berpikir kritis juga diperlukan karena dapat merumuskan,
memformulasikan dan menyelesaiakan masalah. Seseorang yang berpikir kritis
memiliki karakter khusus yang dapat diidentifikasi dengan melihat bagaimana
seseorang menyikapi suatu masalah. Informasi atau argumen karakter-karakter
tersebut tampak pada kebiasaan bertindak, beragumen dan memanfaatkan
intelektualnya dan pengetahuannya.

Tabel 2.1.5 Definisi Kemampuan Berpikir Kritis dan indikator yang digunakan
Menurut Beberapa Peneliti

Variabel Peneliti Definisi Indikator

Berpikir kritis adalah


- Focus
berpikir yang mengarah
- Reason
Berpikir Budi Cahyono pada suatu tujuan, dan
- Inference
Kritis (2017) memiliki hubungan dengan
- Situation
cara mennyelesaikan
- Clarity
masalah
- Overview
- Memahami masalah
(identifikasi)
Berpikir kritis didefinisikan - Interpretasi
Berpikir Ismiyati
sebagai berpikir beralasan - Reason
Kritis Marfuah (2016)
dan mengarah pada tujuan. - Memprediksi
- Mengevaluasi
- Merefleksi
Berpikir Farisa, dkk Kemampuan berpikir kritis - Interpretasi
Kritis (2017) berarti suatu kegiatan - Analisis
menganalisis ide atau - Evaluasi
gagasan ke arah yang lebih - Inference
spesifik, membedakannya - Explanation

secara tajam, memilih,


mengidentifikasi, mengkaji
dan mengembangkannya ke
arah yang lebih sempurna
- Memberikan
penjelasan
Berpikir kritis adalah sederhana
pemikiran reflektif dan - Melakukan
Berpikir Ainuna, dkk produktif, serta melibatkan pengkajian terhadap
Kritis (2018) evaluasi bukti. bukti, data, asumsi
- Menerapkan
kesimpulan,
keputusan, atau
solusi
- menentukan tujuan
- menentukan
pertanyaan
Berpikir kritis adalah
terhadap masalah
sebuah proses yang
- menentukan asumsi
melibatkan seseorang untuk
- menentukan sudut
mencoba menjawab secara
Berpikir Faradhillah, pandang
rasional pertanyaan-
Kritis (2016) - menentukan
pertanyaan yang tidak dapat
informasi
dijawab secara mudah dan
- menentukan konsep
tidak semua informasi yang
- menginterpretasi
relevan tersedia
data dan menarik
kesimpulan
- menentukan
inplikasi dan akibat-
akibat.
Berpikir kritis adalah
sebuah pengkajian yang
tujuannya untuk mengkaji - Memahami masalah
sebuah situasi, fenomena, (identifikasi)
pertanyaan, atau masalah - Interpretasi
Berpikir Inch et
untuk mendapatkan sebuah - Reason
Kritis al.,(2006)
hipotesis atau kesimpulan - Memprediksi
yang mengintegrasikan - Mengevaluasi

semua informasi yang


tersedia sehingga dapat
dijustifikasi dengan yakin.
Sumber:Diolah oleh peneliti

2.1.6 Kemampuan Pemecahan Masalah


Masalah adalah kesenjangan antara suatu keadaan yang diharapkan dengan
kenyataan yang sebenarnya mengemukakan bahwa suatu persoalan merupakan
masalah bagi seseorang bila persoalan itu tidak dikenalnya, danorang tersebut
mempunyai keinginan untuk menyelesaikannya, terlepas apakah ia sampai atau
tidak kepada jawaban masalah itu. Terdapat berbagai macam masalah yang ada di
kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, manusia harus berpikir untuk memecahkan
masalah tersebut. Baki dalam (Ersoy, 2015) mendefinisikan masalah sebagai
pemikiran yang menimbulkan kecemasan pada seseorang dan mengarahkannya
untuk mencari pemecahan menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki.

Pemecahan masalah adalah suatu proses berpikir sebagai upaya dalam


menemukan suatu masalah dan memecahkannya berdasarkan informasi yang
dikumpulkan dari berbagai sumber sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang
tepat (Hamalik dalam Rahayu, 2008). Sedangkan menurut pendapat Polya dalam
Warli (2006:390) mengemukakan bahwa pemecahan suatu masalah adalah
menemukan makna yang dicari sampai akhirnya dapat dipahami dengan jelas.
Krulik dan Rudnick dalam (Carlson, 2000) mendefinisikan pemecahan masalah
sebagai cara dimana seseorang menggunakan pengetahuan, kemampuan, dan
pemahaman yang diperoleh sebelumnya untuk memenuhi suatu keadaan.
Nasution dalam Faulina (2008:9-10) yang menjelaskan bahwa memecahkan
masalah dapat dipandang sebagai proses untuk mengemukakan kombinasi aturan-
aturan yang telah dipelajarinya lebih dahulu yang digunakan untuk memecahkan
masalah yang baru.

Berdasarkan pendapat ahli ditas, masalah merupakan kesenjangan antara


suatu keadaan dengan kenyataannya. Masalah harus segera diselesaikan agar tidak
berlarut-larut dan menjadi rumit. Kegiatan menyelesaikan masalah sering disebut
dengan pemecahan masalah. Pemecahan masalah adalah kominasi antara proses
berpikir untuk menemukan makna, dengan menggunakan pengetahuan, aturan
yang berlaku, keterampilan, dan karakter diri terhadap suatu masalah. Namun
memecahkan masalah bukan sekedar menerapkan aturan-aturan yang diketahui,
tetapi juga menghasilkan hal baru, dalam memecahkan masalah seseorang harus
berpikir, mencoba hipotesis dan bila berhasil memecahkan masalah itu ia
mempelajari sesuatu yang baru. Jadi, semakin banyak masalah yang dapat
diselesaikan maka seseorang akan semakin banyak memiliki kemampuan yang
nantinya akan membantu dirinya untuk menghadapi masalah di kehidupan sehari-
hari. Oleh karena itu, kemampuan dalam memecahkan masalah harus terus
dilatih.

(Karatas, 2013) menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan


kemampuan dalam menganalisis, menginterpretasi, memberikan alasan,
memprediksi, mengevaluasi, dan merefleksi. Oleh karena itu, pada pembelajaran
matematika, peserta didik perlu diberi ruang untuk mengembangkan kemampuan
berpikir kritis dalam memecahkan masalah. Langkah-langkah pemecahan masalah
menurut Polya dalam (D’Agustino, 2011), yaitu memahami masalah, membuat
rencana pemecahan, melaksanakan rencana pemecahan, dan memeriksa kembali
hasilnya.
Pemecahan masalah, menurut istilah adalah proses penyelesaian suatu
permasalahan atau kejadian, upaya pemilihan salah satu dari beberapa alternatif
atau opsi yang mendekati kebenaran dari suatu tujuan tertentu. Pemecahan
masalah sering disamakan dengan pengambilan keputusan. Akan tetapi di antara
keduanya terdapat perbedaan. Pengambilan keputusan sangat erat kaitannya
dengan wewenang seorang manajer, pemimpin, atau dapat dikatakan seorang
atasan dengan bawahan. Sementara pemecahan masalah lebih spesifik kepada
pemecahan masalah oleh seorang konselor kepada kliennya dengan pendekatan
psikologi (kejiwaan). (Akhyar Lubis, 2008) Hakikat pemecahan masalah (problem
solving) adalah seseorang mengahadapi situasi yang membutuhkan respons, tetapi
tidak mempunyai informasi, konsep-konsep, prinsip-prinsip dan cara-cara yang
dapat dipergunakan dengan segera untuk memperoleh pemecahan (Wirawan
Sarwono, 2009).

Adapun proses pemecahan masalah menurut Bransford dan Stein (Slavin,


2006) “develoved and evaluated a fivestep strategy called IDEAL”,
(Identitproblems and opportunities, Define goaland represent the problems,
Explore posiblstrategies, Anticipate outcomes and act Look back and learn).
Polya dalam (Slavin, 2006) bahwa secara umum terdapat empat fase pembentukan
kemampuan pemecahan masalah, yaitu: proses pemahaman masalah
(understanding the problem). Perencanaan solusi masalah (making a plan),
penyelesaian masalah (solving the problem), dan memeriksa kembali hasil
penyelesaian masalah (looking back).

Pemecahan masalah adalah proses mengorganisasikan konsep dan


keterampilan ke dalam pola aplikasi baru untuk mencapai suatu tujuan. Ciri utama
dari proses pemecahan masalah adalah berkaitan dengan masalah-masalah yang
tidak rutin. Suatu pertanyaan akan merupakan suatu masalah hanya jika seseorang
tidak mempunyai aturan atau hukum tertentu yang segera dapat dipergunakan
untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut (Hudojo, 2005). Menurut
(Kennedy, 2008) a problem is a situation that has no immediate solution of known
solution strategy. Masalah adalah sebuah situasi yang tidak memiliki solusi
langsung dari strategi solusi yang diketahui. Menurut Polya dalam (Suherman,
2001), solusi untuk pemecahan masalah terdiri dari empat langkah, yaitu:

1. Memahami masalah
Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak
mungkin mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan benar.
2. Merencanakan penyelesaian
Kemampuan melakukan fase ini sangat tergantung pada pengalaman siswa
menyelesaikan masalah. Pada umumnya semakin bervariasi pengalaman
mereka, ada kecenderungan siswa lebih kreatif dalam menyusun rencana
penyelesaian suatu masalah.
3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana
Jika rencana penyelesaian masalah telah dibuat, baik secara tertulis atau tidak,
selanjutnya dilakukan penyelesaian masalah sesuai dengan rencana yang
dianggap paling tepat.
4. Melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan
Melakukan pengecekan atas apa yang dilakukan mulai dari fase pertama sampai
fase ketiga. Dengan cara seperti ini maka berbagai kesalahan dapat terkoreksi
kembali sehingga siswa dapat sampai pada jawaban yang benar sesuai dengan
masalah yang diberikan.

Menurut Gagne, dalam pemecahan masalah biasanya ada lima langkah yang
harus dilakukan (Suherman, 2001) yaitu :

1. Menyajikan masalah dalam bentuk yang jelas


2. Menyatakan masalah dalam bentuk yang operasional
3. Menyusun hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan
baik
4. Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya
5. Mengecek kembali hasil yang diperoleh

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pemecahan


masalah merupakan kemampuan dalam menganalisis, menginterpretasi,
memberikan alasan, memprediksi, mengevaluasi, dan merefleksi. Masalah
merupakan sebuah kesenjangan antara ekspetasi dengan realita. Setiap masalah
dalam kehidupan sehari-hari harus diselesaikan. Oleh sebab itum setiap individu
harus memiliki kemampuan dalam memecahkan sebuah masalah. Kemampuan
yang dimaksud adalah regulasi diri, kreativitas, sikap, dan kemampuan berfikir
kritis. Adapun tahapan dalam pemecahan masalah terdiri atas mengidentifikasi
masalah, merencanakan masalah, menjalankan rencana, mengevaluasi.

Tabel 2.1.6 Definisi Kemampuan Pmecahan Masalah dan indikator yang


digunakan
Menurut Beberapa Peneliti

Variabel Peneliti Definisi Indikator


Pemecahan masalah - mengidentifikasi
merupakan suatu usaha permasalahan
individu menggunakan - Mengumpulkan
pengetahuan, informasi yang relevan
Pemecahan Farisa, keterampilan, dan - Merencanakan
Masalah dkk (2017) pemahamannya untuk penyelesaian
menemukan solusi dari - Membuat keputusan
suatu masalah atau awal
situasi baru yang belum - Meneliti proses dan
dikenal mengoreksi seperlunya
- Memahami masalah
Pemecahan masalah pada
- Membuat atau
hakekatnya merupakan
menyusun rencana
proses berpikir tingkat
Pemecahan Ainuna, penyelesaian
tinggi dengan
Masalah dkk (2018) - Melakukan
menggunakan berbagai penyelesaian
konsep, prinsip dan - Memeriksa kembali
keterampilan hasil
- Identification
- Define
Pemecahan masalah (mendefinisikan)
merupakan suatu tujuan)
kemampuan individu - Explore
Pemecahan Elfiadi untuk menemukan solusi (mengeksplorasi)
Masalah (2016) atau pemeca masalah - Anticipate
yang dilakukan melalui (mengantisipasi hasil)
suatu proses dan tahapan - Act (bertindak)
tertentu. - Look (menengok) ke
belakang
- learn (mengambil
pelajaran).
Kemampuan pemecahan
masalah adalah, salah
satu kompetensi - Memahami masalah
Naila seseorang dalam - Merencanakan
Pemecahan
Rizkya memahami suatu pemecahan masalah
Masalah
(2017) masalah kemudian - Menyelesaikan rencana
menemukan solusi untuk - Menafsirkan solusi
menyelesaikan suatu
masalah
Kemampuan pemecahan - Memahami masalah
masalah adalah - Menyelesaikan
Pemecahan Muchlis kemampuan untuk masalah dengan
Masalah (2018) berusaha mendapatkan metode yang tepat
solusi terhadap masalah, - Menyelesaikan
untuk mencapai tujuan masalah
Sumber:Diolah oleh peneliti

2.2 Penelitian Terdahulu


Berikut ini merupakan rangkuman beberapa penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya dan erat kaitannya dengan penelitian ini.

Tabel 2.2

Penelitian terdahulu

No. Nama Judul Kesimpulan Perbedaan


Kemampuan regulasi
Penelitian ini menguji
diri dan keyakinan
hubungan regulasi diri
motivasi berkorelasi
dengan kegiatan
Darshan and Developing self positif dengan
mengerjakan PR,
Ramdass, regulation skills: kegiatan PR, dan
sedangkan yang peneliti
1. Barry J. The important siswa dapat dilatih
teliti adalah pengaruh
Zimmerman role of untuk
regulasi diri terhadap
(2018) homework mengembangkan
kemampuan
keterampilan
memecahkan masalah
regulasi diri selama
pada generasi milenial
kegiatan
mengerjakan PR
Penelitian ini menguji
Terdapat hubungan
hubungan sikap siswa
yang signifikan
terhadap nematematika
Attitudes antara sikap siswa
Maria dengan prestasi
towards terhadap matematika
Nicolaidou pemecahan masalah,
mathematics, dan prestasi
2 and George sedangkan yang peneliti
self efficacy and pemecahan masalah
Philipp teliti adalah pengaruh
achievement in serta terdapat
(2016) sikap terhadap
problem solving hubungan yang kuat
kemampuan
antara efikasi diri
memecahkan masalah
dan prestasi
pada generasi milenial
penelitian ini meneliti
apakah anak-anak
berbakat dapat lebih
problem solving
kemampuan mudah mengatasi
skills employed
memecahkan pemecahan masalah
by gifted
Gizem masalah anak-anak daripada anak-anak
children and
3 Saygili tidak tergantung lain, sedangkan peneliti
their peers in
(2017) hanya pada menguji tentang
public primary
bagaimana akademis pengaruh sikap dan
schools in
berbakat mereka regulasi diri terhadap
turkey
kemampuan
memecahkan masalah
generasi milenial
peranan penelitian ini meneliti
kreativitas
Dwi kreativitas siswa tentang peranan
berhubungan positif
4 Sambada terhadap kreativitas siswa
dengan kemampuan
(2016) kemampuan terhadap kemampuan
pemecahan masalah
memecahkan pemecahan masalah
masalah fisika fisika dengan
dalam pembelajaran
pembelajaran kontektual, sedangkan
kontekstual peneliti meneliti tentang
pengaruh kreativitas
terhadap pemecahan
masalah pada generasi
milenial
hubungan antara
penguasaan
konsep fisika terdapat hubungan
Peneliti meneliti
dan kreativitas antara penguasaan
Bajongga tentang, pengaruh
dengan konsep fisika dan
5 Silaban kreativitas terhadap
kemampuan kreativitas terhadap
(2014) pemecahan masalah
memecahkan kemampuan
pada generasi milenial
masalah pada pemecahan masalah
materi pokok
listrik statis
a study on
creativity and Higher secondary
problem solving dan creativity
M. Suresh
6 ability among memiliki hubungan
(2016)
higher yang positif dengan
secondary problem solving
school students
pengaruh semakin tinggi
Yohana
kemampuan kemampuan berpikir
Maria Gelu
7 berfikir kritis krits maka akan
Koban (
matematis dan semakin tinggi pula
2015)
perilaku kreatif kemampuan
terhadap pemecahan masalah
kemampuan
memecahkan
masalah
matematika SD
di kelurahan
Kedoya Utara
Hubungan
Semakin tinggi
berpikir kritis
kemampuan
dan percaya diri
pemecahan masalah
Triani Puji dengan
8 matematis, maka
Astuti (2016) kemampuan
semakin tinggi pula
pemecahan
kemampuan berfikir
masalah
kritis
matematis

2.3 State Of The Art


Berdasarkan hasil kajian terdahulu dengan penelitian ini yang
membedakan antara lain:

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Regulasi diri, sikap
dan kemampuan pemecahan masalah (Elfiandi, 2015) dengan menambahkan
variabel lain yaitu kreativitas dan kemampuan berfikir kritis sebagai variabel yang
terbaru yang mana variabel ini belum pernah diteliti sebelumnya di Indonesia.

Penelitian ini dilakukan di Indonesia dengan menggunakan objek


masyarakat generasi milenial yang merupakan golongan masyarakat produktif
yaitu masyarakat yang lahir antara tahun 1981 sampai dengan tahun 2003.

2.4 Kerangka Pemikiran


Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan dasar yang
dibutuhkan seseorang untuk menyelesaikan suatu hal dalam hidupnya. Pemecahan
masalah merupakan salah satu tipe keterampilan intelektual yang lebih tinggi
derajatnya dan lebih kompleks dari tipe keterampilan intelektual lainnya.
Mengingat hal ini maka dibutuhkannya kemampuan dalam pemecahan masalah
yang tepat untuk meningkatkan kemampuan generasi milenial yang merupakan
generasi produktif saat ini. Dalam pemecahan masalah, seseorang diharapkan
memiliki beberapa kemampuan lainnya yang dapat menunjang peningkatan
kemampuan pemecahan masalah. Salah satu kemampuan yang dianggap memiliki
kontribusi dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah adalah regulasi
diri.

Kemampuan mengatur diri disebut juga dengan istilah regulasi diri.


Regulasi diri merupakan kemampuan untuk mengatur atau mengontrol pikiran,
perasaan, dan perilakunya sendiri dalam mencapai suatu tujuan. Menurut (Saygli,
2017) “seseorang yang mampu mengatur dirinya biasanya memiliki keyakinan
tinggi terhadap kemampuan mereka dalam menyelesaikan masalah”. Regulasi diri
yang baik juga akan memberikan sesuatu dorongan dalam diri seseorang sekaligus
menimbulkan ketertarikan terhadap suatu hal yang pada akhirnya akan
menghasilkan kemampuan atau solusi dalam pemecahan masalah. Seseorang yang
meregulasi dirinya dengan baik akan mampu menyelesaikan masalahnya secara
mandiri. Regulasi diri mempunya dampak pada seseorang untuk mencapai tujuan
yang ingin dicapai olehnya. Zimmerman ( (Winne, 1997) mengatakan bahwa
“self-regulated learning as constitutive of success in learning, problem solving,
transfer, and academic success in general” regulasi diri dalam belajar sebagai
dasar kesuksesan belajar, pemecahan masalah dan kesuksesan akademis secara
umum..

Sejalan dengan regulasi diri, terdapat hal lain yang menunjang


kemampuan pemecahan masalah yaitu sikap. Terbentuknya sikap positif terhadap
suatu hal atau masalah merupakan pertanda awal yang baik bagi keberhasilan
sebuah kegiatan, begitupula sebaliknya, sikap negatif merupakan awal ketidak
berhasilan seseorang dalam melaksanakan kegiatan. Dengan demikian, seseorang
yang menunjukan sikap positif pada sebuah kegiatan akan memiliki kemampuan
pemecahan masalah yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki
sikap negatif. Hal ini diperkuat dengan pernyataan “students with positive
attitudes perform better in solving problems”. Siswa dengan sikap positif
berkinerja lebih baik dalam memecahkan masalah dibanding siswa yang memiliki
sikap negatif (Juter, 2005).

Salah satu penelitian yang menyatakan hubungan sikap dengan kemampuan


pemecahan masalah adalah penelitian yang dilakukan oleh Juter (2005:91-110)
tentang sikap positif siswa terhadap matematika mempengaruhi kemampuan
siswa untuk memecahkan masalah matematika dengan sukses “students with
positive attitudes perform better in solving problems”. Selain itu, (Elfiandi, 2015)
Juga mengatakan bahwasanya meningkatnya sikap seseorang akan mengakibatkan
peningkatan juga kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah.

Hal lain yang dianggap berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan


masalah adalah kreativitas. Kreativitas merupakan kemampuan yang dimiliki
seseorang untuk berfikir menciptakan atau menghasilkan suatu yang baru.
Berdasarkan kreativitas yang dimilikinya, diharapkan seseorang mampu
meningkatkan kemampuan pemecahan masalahn, hal ini dikarenakan seseorang
yang memiliki kreativitas akan mencari dan menemukan lebih banyak cara untuk
memecahkan sebuah masalah dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Hal ini
diperkuat dengan pernyataan Sternberg and Lubart dalam (Turkmen, 2016)
“Creativity refers to the capacity of coping with a given problem in authentic
ways. Such capacity is about looking at a specific situation and problem from
different perspectives”. Kreativitas mengacu pada kemampuan mengatasi masalah
yang diberikan dengan cara yang otentik. Kemampuan seperti itu adalah tentang
melihat situasi dan masalah tertentu dari perspektif yang berbeda. Selain
Sternberg and Lubart, (Tsai, 2016) juga berpendapat bahwa kreativitas menjadi
keterampilan yang penting dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi
pada saat ini. Hal ini dibutuhkan untuk menjawab berbagai permasalahan.
Kreativitas berkaitan erat dengan kemampuan berpikir kritis. Berpikir
kritis merupakan kemampuan esensial yang harus dimiliki oleh seseorang dalam
memecahkan masalah. Berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan
reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus
dipercayai atau dilakukan. Ruggiero dalam (B.Johnson, 2009) menyatakan bahwa
berpikir sebagai “segala aktivitas mental yang membantu merumuskan atau
memecahkan masalah”. Hal ini menunjukan bahwa dalam memecahkan masalah
dibutuhkan kegiatan berpikir. Menurut (Kusmanto, 2014) “berpikir kritis
berpengaruh signifikan terhadap kemampuan pemecahan masalah”. Hal tersebut
menunjukan bahwasanya berpikir kritis memiliki peranan yang penting dalam
pemecahan masalah.

2.5 Hipotesis Penelitian

H1

H2

H3

H4

Berdasarkan kerangka pikiran diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini


adalah:

6. Regulasi diri berpengeraguh signifikan terhadap kemampuan pemecahan


masalah pada generasi milenial.
7. Sikap berpengeraguh signifikan terhadap kemampuan pemecahan masalah
pada generasi milenial?
8. Kreativitas berpengeraguh signifikan terhadap kemampuan pemecahan
masalah pada generasi milenial?
9. Kemampuan berfikir kritis berpengeraguh signifikan terhadap pemecahan
masalah pada generasi milenial?
10. Regulasi diri, sikap, kreatvitas, kemampuan berfikir kritis berpengeraguh
signifikan terhadap pemecahan masalah pada generasi milenial?
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab metodologi penelitian ini, akan dibahas tentang desain
penelitian dalam melaksanakan penelitian ini. Desain penelitian akan
menguraikan secara detail prosedur pelaksanaan penelitian, termasuk juga
prosedur pemecahan masalah penelitian. Prosedur yang dimaksud mulai dari
pendekatan penelitian, prosedur operasionalisasi variabel, prosedur penentuan dan
pengambilan sampel, prosedur pengumpulan data, prosedur pengolahan data,
prosedur analisis dan prosedur pemecahan masalah. Penelitian ini bertujuan untuk
mencari tau terkait pengaruh regulasi diri, sikap, kreativitas dan kemampuan
berpikir kritis terhadap kemampuan pemecahan masalah pada generasi milenial
secara sistematik, empirik dan ilmiah. Penelitian ini. Variabel yang menjadi fokus
penelitian ini adalah regulasi diri, sikap, kreativitas, kemampuan berpikir kritis
sebagai variabe Independen dan kemampuan pemecahan masalah sebagai variabel
dependen.

3.1 Metode Penelitian Yang Digunakan


Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan regresi.
Peneliti menggunakan data primer untuk variabel dependen dan independen.
Menurut Bambang dan Lina (2011), penelitian suvei merupakan suatu penelitian
kuantitatif dengan menggunakan pertanyaan terstruktur atau sistematis yang sama
kepada banyak orang, untuk kemudian seluruh jawaban yang diperoleh peneliti
dicatat, diolah, dan dianalisis. Hal yang sama dikemukakan oleh Zechmester
(2013) yang menyatakan bahwa, suvei juga melibatkan penggunaan suatu set
pertanyaan awal yang pada umumnya berbentuk kuesioner. Sedangkan menurut
Karlinger (2002) mengemukakan bahwa, metode survei adalah penelitian yang
dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah
data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan
kejadian-kejadian relative, distribusi dan hubungan-hubungan antar variabel.
Metode ini di pilih karena sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu
untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan penelitian.
3.2 Operasional Variabel
Variabel didefinisikan sebagai segala sesuatu sebagai pembeda atau
membuat variasi pada nilai. Nilai bisa berbeda dalam berbagai kurun waktu untuk
suatu objek atau orang yang sama, atau pada kurun waktu yang sama untuk objek
yang berbeda (Sekaran, 2010). Variabel dalam penelitian ini terdiri dari empat
variabel independen dan satu variabel dependen. Variabel independen dalam
penelitian ini adalah regulasi diri, sikap, kreativitas, kemampuan berpikir kritis
dan variabe dependen dalam penelitian ini adalah kemampuan pemecahan
masalah. Definisi variabel dan item yang digunakan untuk mengukur variabel
dalam penelitian ini dipih dan kemudian disesuaikan dengan objek dalam
penelitian ini. (V. Venkatesh, 2012)

Tabel 3.1

Operasional Variabel

Variabel Definisi variabel Indikator Skala

Regulasi diri
adalah kemampuan
untuk mengatur - Penetapan tujuan
dan mengelola - Perencanaan
Regulasi
pikiran, perasaan - Memantau Ordinal
Diri
dan perilaku dalam - Mengevaluasi
mencapai tujuan
yang diinginkan

Sikap adalah suatu


kecenderungan - Kognitif
Sikap seseorang untuk - Efektif Ordinal
merespon secara - Konatif
positif atau negatif
terhadap objek
tertentu dengan
menempatkan diri
melalui pikiran,
perasaan dan
perilaku

- Memiliki rasa
ingin tahu yang
besar
Kreativitas adalah - Mempunyai
kemampuan banyak gagasan
seseorang dalam dan usul terhadap
menggabungkan suatu masalah
sesuatu gagasan - Dapat bekerja
yang belum sendiri
pernah tergabung - Senang mencoba
sebelumnya serta hal baru
Ordinal
Kreativitas mampu untuk - Mempunyai
menemukan ide imajinasi yang
baru yang berbeda kuat
dengan lainnya - Mempunyai
dan dapat kepercayaandiri
membantu - Mampu
seseorang dalam mengajukan
memecahkan suatu pemikiran dan
permasalahan. gagasan yang
berbeda dari
oranglain (orisinal)
- Mampu
mengembangkan
atau merinci suatu
gagasan
(kemampuan
elaborasi
Berpikir kritis
adalah berpikir
beralasan dan
mengarah pada
tujuan untuk
mengkaji atau
mengembangkan
sebuah situasi,
fenomena, - Identification

pertanyaan, atau - Interpretation

masalah untuk - Reason


Berpikir - Predict
mendapatkan
Kritis - Evaluate Ordinal
sebuah hipotesis
dan kesimpulan - Reflect

dengan
menggunakan
informasi yang
relevan serta
memiliki hubungan
dengan cara
mennyelesaikan
masalah

Kemampuan Pemecahan - Permasalahan


Ordinal
Pemecahan masalah merupakan - Mengumpulkan
Maslaah suatu usaha informasi yang
seseorang dengan relevan
menggunakan - Merencanakan
pengetahuan, penyelesaian
keterampilan, dan - Melakukan
pemahamannya penyelesaian
untuk menemukan - Memeriksa
solusi dari suatu kembali hasil
masalah

Sumber: Diolah oleh peneliti

3.3 Sumber dan Cara Penentuan Data/Informasi

3.3.1 Sumber Data


Sumber data dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer adalah data yang dikumpulkan secara langsung oleh peneliti, melalui
pengamatan langsung maupun survey. Sedangkan data sekunder adalah data yang
berasal dari sumber lain, misalnya dari jurnal, buku, laporan penelitian lain
maupun dari instansi lain. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer. Peneliti mengumpulkan data primer melalui survey secara langsung
kepada responden. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner
terstruktur yang telah disusun sebelumnya oleh peneliti.

3.3.2 Penentuan Sampel


Populasi menurut (Sekaran, 2010) merupakan sekumpulan orang,
kejadian, atau hal-hal yang menarik untuk ditelaah bagi peneliti, dan menurut
(Sugiyono, 2012) populasi merupakan generalisasi wilayah yang terdiri dari objek
atau subjek dengan kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti sebagai bahan untuk dipelajari dan diteliti. Populasi dalam penelitian ini
seluruh masyarakat yang tergolong dalam generasi milenial, yaitu generasi yang
lahir antara tahun 1981 sampai dengan tahun 2003.

Sedangkan sampel menurut (Sugiyono, 2012) adalah bagian atau jumlah


dan karakteritik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel ditentukan dengan
sebuah metode pengambilan sampel yang tepat yang bertujuan memperoleh
sampel yang mewakili dan mampu mendeskripsikan keadaan populasi secara
optimal.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah proporsional


random sampling atau teknik acak proporsional, di mana seluruh anggota populasi
mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih. Data-data yang diperoleh dalam
penelitian ini diambil dari instrumen penelitian berupa kuesioner. Penentuan
sampel merujuk pada tabel Isaac dan Michael bahwa sampelnya sebanyak .......
dengan taraf kesalahan .............. Teknik ini digunakan dengan pertimbangan
bahwa seluruh populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih dan
dijadikan sampel.

Tabel 3.2

Perhitungan Sample

No Keterangan Perhitungan Jumlah Sample


3.3.3 Tehnik Pengumpulan Data

1. Regulasi Diri

a. Definisi Konseptual
Regulasi diri adalah kemampuan untuk mengatur dan mengelola pikiran,
perasaan dan perilaku dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

b. Definisi Operasional
Regulasi diri merupakan variabel bebas yang dapat dihitung menggunakan
indikator penetapan tujuan, perencanaan, memantau, mengevaluasi.

c. Kisi-kisi Instrumen
Kisi-kisi instrumen variabel regulasi diri yang disajikan pada bagian ini
adalah kisi kisi-kisi instrumen yang digunakan oleh peneliti dalam mengukur
variabel regulasi diri yang diuji cobakan, selain itu juga sebagai kisi-kisi
instrumen final yang digunakan oleh peneliti untuk mengukur variabel regulasi
diri. Kisi-kisi instrumen variabel regulasi diri ini disajikan dengan tujuan untuk
memberikan informasi mengenai butir-butir pernyataan yang dimaksudkan setelah
dilakukannya uji coba dan uji reliabilitas. Kisi-kisi instrument variabel regulasi
diri dapat dilihat pada tabel 3.3

Tabel 3.3.1

Kisi-kisi Insrumen Variabel X1

Regulasi Diri

Butir Uji Coba Butir Final


No. Indikator
+ - + -

Untuk mengisi setiap butir pernyataan, responden menjawab


menggunakan model skala Likert telah disediakan 5 alternatif jawaban. Setiap
jawaban bernilai 1 sampai dengan 5 sesuai dengan tingkat jawabannya. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel III.3.

Tabel 3.4

Skala Penilaian untuk Instrumen Regulasi Diri

No Alternatif Jawaban Jumlah Skor

1 Sangat setuju (SS) 5

2 Setuju (S) 4

3 Ragu-ragu (R) 3

4 Tidak setuju (TS) 2

5 Sangat Tidak setuju (STS) 1

d. Validasi Instrumen
Proses pengembangan instrumen regulasi diri dimulai dengan penyusunan
instrument model skala Likert yang mengacu pada model indikator-indikator
model variabel regulasi diri terlihat pada tabel 3.3.1 Selanjutnya konsep instrumen
dikonsultasikan kepada dosen pembimbing berkaitan dengan validitas konstruk,
yaitu seberapa jauh butir-butir instrument tersebut mengukur variabel Regulasi
diri (X1). Setelah konsep disetujui, langkah selanjutnya adalah instrumen ini
diujicobakan kepada ............. . Setelah instrumen dilakukan uji coba, langkah
selanjutnya instrumen tersebut dihitung validitas untuk mengetahui butir
pernyataan yang drop. Setelah butir pernyataan yang drop diketahui jumlahnya,
maka langkah selanjutnya adalah butir pernyataan yang valid diujikan kembali
kepada .................. Proses validasi dilakukan dengan menganalisis data uji coba
instrumen yaitu validitas butir dengan menggunakan koefisien korelasi antar skor
butir dengan skor total instrumen. Kriteria batas minimum pernyataan yang
diterima adalah r tabel = 0,361. Jika r hitung > r tabel, maka butir pernyataan
tersebut dianggap valid. Sedangkan jika r hitung < r tabel maka butir pernyataan
dianggap tidak valid atau drop. Setelah dilakukan uji validitas dari ........
pernyataan variabel regulasi diri, diperoleh ..... pernyataan yang valid dan ......
pernyataan yang tidak valid yaitu: nomor ........ Oleh karena itu, hanya ....
pernyataan yang digunakan untuk penelitian. Selanjutnya dihitung reliabilitas
terhadap skor butir-butir pertanyaan yang telah dinyatakan valid dengan
menggunakan rumus uji reliabilitas yakni Alpha Cronbach. Rumus Alpha
Cronbach digunakan apabila skor butirnya bukan 1 dan 0 tetapi bertingkat yaitu
dari 0 atau 1 sampai dengan 3 atau 5 (Arikunto, 2009), dengan rumus sebagai
berikut:

k  si 2 
r11  
1  st 2 

k 1  
Dimana:
rit = Koefisien reliabilitas instrumen
k = jumlah butir instrumen
Si2 = varians butir
2
St = varians total

Varian butir itu sendiri dapat diperoleh dengan menggunakan rumus


sebagai berikut:

= -

Keterangan:

Si2 : Varians butir

∑Xi2 : Jumlah dari hasil kuadrat dari setiap butir soal

(∑Xi)2 : Jumlah butir soal yang dikuadratkan


n : Banyaknya subyek penelitian
2. Sikap

a. Definisi Konseptual
Sikap adalah suatu kecenderungan seseorang untuk merespon secara
positif atau negatif terhadap objek tertentu dengan menempatkan diri melalui
pikiran, perasaan dan perilaku

b. Definisi Operasional
Regulasi diri merupakan variabel bebas yang dapat dihitung menggunakan
indikator Kognitif, Efektif dan Konatif.

c. Kisi-kisi Instrumen
Kisi-kisi instrumen variabel sikap yang disajikan pada bagian ini adalah
kisi kisi-kisi instrumen yang digunakan oleh peneliti dalam mengukur variabel
sikap yang diuji cobakan, selain itu juga sebagai kisi-kisi instrumen final yang
digunakan oleh peneliti untuk mengukur variabel sikap. Kisi-kisi instrumen
variabel sikap ini disajikan dengan tujuan untuk memberikan informasi mengenai
butir-butir pernyataan yang dimaksudkan setelah dilakukannya uji coba dan uji
reliabilitas. Kisi-kisi instrument variabel sikap dapat dilihat pada tabel 3.3.2

Tabel 3.3.2

Kisi-kisi Insrumen Variabel X2

Sikap

Butir Uji Coba Butir Final


No. Indikator
+ - + -

Untuk mengisi setiap butir pernyataan, responden menjawab


menggunakan model skala Likert telah disediakan 5 alternatif jawaban. Setiap
jawaban bernilai 1 sampai dengan 5 sesuai dengan tingkat jawabannya. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel III.3.
Tabel 3.4

Skala Penilaian untuk Instrumen Regulasi Diri

No Alternatif Jawaban Jumlah Skor

1 Sangat setuju (SS) 5

2 Setuju (S) 4

3 Ragu-ragu (R) 3

4 Tidak setuju (TS) 2

5 Sangat Tidak setuju (STS) 1

d. Validasi Instrumen
Proses pengembangan instrumen sikap dimulai dengan penyusunan
instrument model skala Likert yang mengacu pada model indikator-indikator
model variabel sikap terlihat pada tabel 3.3. Selanjutnya konsep instrumen
dikonsultasikan kepada dosen pembimbing berkaitan dengan validitas konstruk,
yaitu seberapa jauh butir-butir instrument tersebut mengukur variabel Sikap (X2).
Setelah konsep disetujui, langkah selanjutnya adalah instrumen ini diujicobakan
kepada ............. . Setelah instrumen dilakukan uji coba, langkah selanjutnya
instrumen tersebut dihitung validitas untuk mengetahui butir pernyataan yang
drop. Setelah butir pernyataan yang drop diketahui jumlahnya, maka langkah
selanjutnya adalah butir pernyataan yang valid diujikan kembali kepada
.................. Proses validasi dilakukan dengan menganalisis data uji coba
instrumen yaitu validitas butir dengan menggunakan koefisien korelasi antar skor
butir dengan skor total instrumen. Kriteria batas minimum pernyataan yang
diterima adalah r tabel = 0,361. Jika r hitung > r tabel, maka butir pernyataan
tersebut dianggap valid. Sedangkan jika r hitung < r tabel maka butir pernyataan
dianggap tidak valid atau drop. Setelah dilakukan uji validitas dari ........
pernyataan variabel regulasi diri, diperoleh ..... pernyataan yang valid dan ......
pernyataan yang tidak valid yaitu: nomor ........ Oleh karena itu, hanya ....
pernyataan yang digunakan untuk penelitian. Selanjutnya dihitung reliabilitas
terhadap skor butir-butir pertanyaan yang telah dinyatakan valid dengan
menggunakan rumus uji reliabilitas yakni Alpha Cronbach. Rumus Alpha
Cronbach digunakan apabila skor butirnya bukan 1 dan 0 tetapi bertingkat yaitu
dari 0 atau 1 sampai dengan 3 atau 5 (Arikunto, 2009), dengan rumus sebagai
berikut:

k  si 2 
r11  
1  st 2 

k 1  
Dimana:
rit = Koefisien reliabilitas instrumen
k = jumlah butir instrumen
Si2 = varians butir
St2 = varians total

Varian butir itu sendiri dapat diperoleh dengan menggunakan rumus


sebagai berikut:

= -

Keterangan:

Si2 : Varians butir

∑Xi2 : Jumlah dari hasil kuadrat dari setiap butir soal

(∑Xi)2 : Jumlah butir soal yang dikuadratkan


n : Banyaknya subyek penelitian
3. Kreativitas

a. Definisi Konseptual
Kreativitas adalah kemampuan seseorang dalam menggabungkan sesuatu
gagasan yang belum pernah tergabung sebelumnya serta mampu untuk
menemukan ide baru yang berbeda dengan lainnya dan dapat membantu
seseorang dalam memecahkan suatu permasalahan.

b. Definisi Operasional
Regulasi diri merupakan variabel bebas yang dapat dihitung menggunakan
Indikator memiliki rasa ingin tahu yang besar, mempunyai banyak gagasan
dan usul terhadap suatu masalah, dapat bekerja sendiri, senang mencoba hal
baru, mempunyai imajinasi yang kuat, mempunyai kepercayaandiri, mampu
mengajukan pemikiran dan gagasan yang berbeda dari oranglain (orisinal),
mampu mengembangkan atau merinci suatu gagasan (kemampuan elaborasi).

c. Kisi-kisi Instrumen
Kisi-kisi instrumen variabel kreativitas yang disajikan pada bagian ini
adalah kisi kisi-kisi instrumen yang digunakan oleh peneliti dalam mengukur
variabel kreativitas yang diuji cobakan, selain itu juga sebagai kisi-kisi instrumen
final yang digunakan oleh peneliti untuk mengukur variabel kreativitas. Kisi-kisi
instrumen variabel kreativitas ini disajikan dengan tujuan untuk memberikan
informasi mengenai butir-butir pernyataan yang dimaksudkan setelah
dilakukannya uji coba dan uji reliabilitas. Kisi-kisi instrument variabel kreativitas
dapat dilihat pada tabel 3.3.3

Tabel 3.3.3

Kisi-kisi Insrumen Variabel X3

Kreativitas

Butir Uji Coba Butir Final


No. Indikator
+ - + -
Untuk mengisi setiap butir pernyataan, responden menjawab
menggunakan model skala Likert telah disediakan 5 alternatif jawaban. Setiap
jawaban bernilai 1 sampai dengan 5 sesuai dengan tingkat jawabannya. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel III.3.

Tabel 3.4

Skala Penilaian untuk Instrumen Regulasi Diri

No Alternatif Jawaban Jumlah Skor

1 Sangat setuju (SS) 5

2 Setuju (S) 4

3 Ragu-ragu (R) 3

4 Tidak setuju (TS) 2

5 Sangat Tidak setuju (STS) 1

d. Validasi Instrumen
Proses pengembangan instrumen kreativitas dimulai dengan penyusunan
instrument model skala Likert yang mengacu pada model indikator-indikator
model variabel kreativitas terlihat pada tabel 3.3. Selanjutnya konsep instrumen
dikonsultasikan kepada dosen pembimbing berkaitan dengan validitas konstruk,
yaitu seberapa jauh butir-butir instrument tersebut mengukur variabel kreativitas
(X3). Setelah konsep disetujui, langkah selanjutnya adalah instrumen ini
diujicobakan kepada ............. . Setelah instrumen dilakukan uji coba, langkah
selanjutnya instrumen tersebut dihitung validitas untuk mengetahui butir
pernyataan yang drop. Setelah butir pernyataan yang drop diketahui jumlahnya,
maka langkah selanjutnya adalah butir pernyataan yang valid diujikan kembali
kepada .................. Proses validasi dilakukan dengan menganalisis data uji coba
instrumen yaitu validitas butir dengan menggunakan koefisien korelasi antar skor
butir dengan skor total instrumen. Kriteria batas minimum pernyataan yang
diterima adalah r tabel = 0,361. Jika r hitung > r tabel, maka butir pernyataan
tersebut dianggap valid. Sedangkan jika r hitung < r tabel maka butir pernyataan
dianggap tidak valid atau drop. Setelah dilakukan uji validitas dari ........
pernyataan variabel regulasi diri, diperoleh ..... pernyataan yang valid dan ......
pernyataan yang tidak valid yaitu: nomor ........ Oleh karena itu, hanya ....
pernyataan yang digunakan untuk penelitian. Selanjutnya dihitung reliabilitas
terhadap skor butir-butir pertanyaan yang telah dinyatakan valid dengan
menggunakan rumus uji reliabilitas yakni Alpha Cronbach. Rumus Alpha
Cronbach digunakan apabila skor butirnya bukan 1 dan 0 tetapi bertingkat yaitu
dari 0 atau 1 sampai dengan 3 atau 5 (Arikunto, 2009), dengan rumus sebagai
berikut:

k  si 2 
r11  
1  st 2 

k 1  
Dimana:
rit = Koefisien reliabilitas instrumen
k = jumlah butir instrumen
Si2 = varians butir
St2 = varians total

Varian butir itu sendiri dapat diperoleh dengan menggunakan rumus


sebagai berikut:

= -

Keterangan:

Si2 : Varians butir


∑Xi2 : Jumlah dari hasil kuadrat dari setiap butir soal

(∑Xi)2 : Jumlah butir soal yang dikuadratkan


n : Banyaknya subyek penelitian

4. Kemampuan Berpikir Kritis

a. Definisi Konseptual
Berpikir kritis adalah berpikir beralasan dan mengarah pada tujuan untuk
mengkaji atau mengembangkan sebuah situasi, fenomena, pertanyaan, atau
masalah untuk mendapatkan sebuah hipotesis dan kesimpulan dengan
menggunakan informasi yang relevan serta memiliki hubungan dengan cara
mennyelesaikan masalah

b. Definisi Operasional
Kemampuan berpikir kritis merupakan variabel bebas yang dapat dihitung
menggunakan Indikator Identification, Interpretation, Reason, Predict, Evaluate
dan Reflect.

c. Kisi-kisi Instrumen
Kisi-kisi instrumen variabel kemampuan berpikir kritis yang disajikan
pada bagian ini adalah kisi kisi-kisi instrumen yang digunakan oleh peneliti
dalam mengukur variabel kemampuan berpikir kritis yang diuji cobakan, selain
itu juga sebagai kisi-kisi instrumen final yang digunakan oleh peneliti untuk
mengukur variabel kemampuan berpikir kritis. Kisi-kisi instrumen variabel
kemampuan berpikir kritis ini disajikan dengan tujuan untuk memberikan
informasi mengenai butir-butir pernyataan yang dimaksudkan setelah
dilakukannya uji coba dan uji reliabilitas. Kisi-kisi instrument variabel
kemampuan berpikir kritis dapat dilihat pada tabel 3.3.3

Tabel 3.3.3
Kisi-kisi Insrumen Variabel X4

Kreativitas

Butir Uji Coba Butir Final


No. Indikator
+ - + -

Untuk mengisi setiap butir pernyataan, responden menjawab


menggunakan model skala Likert telah disediakan 5 alternatif jawaban. Setiap
jawaban bernilai 1 sampai dengan 5 sesuai dengan tingkat jawabannya. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel III.3.

Tabel 3.4

Skala Penilaian untuk Instrumen Regulasi Diri

No Alternatif Jawaban Jumlah Skor

1 Sangat setuju (SS) 5

2 Setuju (S) 4

3 Ragu-ragu (R) 3

4 Tidak setuju (TS) 2

5 Sangat Tidak setuju (STS) 1

d. Validasi Instrumen
Proses pengembangan instrumen kemampuan berpikir kritis dimulai
dengan penyusunan instrument model skala Likert yang mengacu pada model
indikator-indikator model variabel kemampuan berpikir kritis terlihat pada tabel
3.3. Selanjutnya konsep instrumen dikonsultasikan kepada dosen pembimbing
berkaitan dengan validitas konstruk, yaitu seberapa jauh butir-butir instrument
tersebut mengukur variabel kemampuan berpikir kritis (X4). Setelah konsep
disetujui, langkah selanjutnya adalah instrumen ini diujicobakan kepada ............. .
Setelah instrumen dilakukan uji coba, langkah selanjutnya instrumen tersebut
dihitung validitas untuk mengetahui butir pernyataan yang drop. Setelah butir
pernyataan yang drop diketahui jumlahnya, maka langkah selanjutnya adalah butir
pernyataan yang valid diujikan kembali kepada .................. Proses validasi
dilakukan dengan menganalisis data uji coba instrumen yaitu validitas butir
dengan menggunakan koefisien korelasi antar skor butir dengan skor total
instrumen. Kriteria batas minimum pernyataan yang diterima adalah r tabel =
0,361. Jika r hitung > r tabel, maka butir pernyataan tersebut dianggap valid.
Sedangkan jika r hitung < r tabel maka butir pernyataan dianggap tidak valid atau
drop. Setelah dilakukan uji validitas dari ........ pernyataan variabel regulasi diri,
diperoleh ..... pernyataan yang valid dan ...... pernyataan yang tidak valid yaitu:
nomor ........ Oleh karena itu, hanya .... pernyataan yang digunakan untuk
penelitian. Selanjutnya dihitung reliabilitas terhadap skor butir-butir pertanyaan
yang telah dinyatakan valid dengan menggunakan rumus uji reliabilitas yakni
Alpha Cronbach. Rumus Alpha Cronbach digunakan apabila skor butirnya bukan
1 dan 0 tetapi bertingkat yaitu dari 0 atau 1 sampai dengan 3 atau 5 (Arikunto,
2009), dengan rumus sebagai berikut:

k  si 2 
r11  
1  st 2 

k 1  
Dimana:
rit = Koefisien reliabilitas instrumen
k = jumlah butir instrumen
Si2 = varians butir
St2 = varians total

Varian butir itu sendiri dapat diperoleh dengan menggunakan rumus


sebagai berikut:

= -
n

Keterangan:

Si2 : Varians butir

∑Xi2 : Jumlah dari hasil kuadrat dari setiap butir soal

(∑Xi)2 : Jumlah butir soal yang dikuadratkan


n : Banyaknya subyek penelitian

5. Kemampuan Pemecahan Masalah

a. Definisi Konseptual
Pemecahan masalah merupakan suatu usaha seseorang dengan
menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahamannya untuk menemukan
solusi dari suatu masalah.

b. Definisi Operasional
Kemampuan pemecahan masalah merupakan variabel terikat yang dapat
dihitung menggunakan indikator permasalahan, mengumpulkan informasi yang
relevan, merencanakan penyelesaian, melakukan penyelesaian, memeriksa
kembali hasil.

c. Kisi-kisi Instrumen
Kisi-kisi instrumen variabel Kemampuan pemecahan masalah yang
disajikan pada bagian ini adalah kisi kisi-kisi instrumen yang digunakan oleh
peneliti dalam mengukur variabel Kemampuan pemecahan masalah yang diuji
cobakan, selain itu juga sebagai kisi-kisi instrumen final yang digunakan oleh
peneliti untuk mengukur variabel Kemampuan pemecahan masalah. Kisi-kisi
instrumen variabel Kemampuan pemecahan masalah ini disajikan dengan tujuan
untuk memberikan informasi mengenai butir-butir pernyataan yang dimaksudkan
setelah dilakukannya uji coba dan uji reliabilitas. Kisi-kisi instrument variabel
Kemampuan pemecahan masalah dapat dilihat pada tabel 3.3.3

Tabel 3.3.3

Kisi-kisi Insrumen Variabel X5

Kreativitas

Butir Uji Coba Butir Final


No. Indikator
+ - + -

Untuk mengisi setiap butir pernyataan, responden menjawab


menggunakan model skala Likert telah disediakan 5 alternatif jawaban. Setiap
jawaban bernilai 1 sampai dengan 5 sesuai dengan tingkat jawabannya. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel III.3.

Tabel 3.4

Skala Penilaian untuk Instrumen Regulasi Diri

No Alternatif Jawaban Jumlah Skor

1 Sangat setuju (SS) 5

2 Setuju (S) 4

3 Ragu-ragu (R) 3

4 Tidak setuju (TS) 2

5 Sangat Tidak setuju (STS) 1

d. Validasi Instrumen
Proses pengembangan instrumen Kemampuan pemecahan masalah
dimulai dengan penyusunan instrument model skala Likert yang mengacu pada
model indikator-indikator model variabel Kemampuan pemecahan masalah
terlihat pada tabel 3.3. Selanjutnya konsep instrumen dikonsultasikan kepada
dosen pembimbing berkaitan dengan validitas konstruk, yaitu seberapa jauh butir-
butir instrument tersebut mengukur variabel Kemampuan pemecahan masalah
(X5). Setelah konsep disetujui, langkah selanjutnya adalah instrumen ini
diujicobakan kepada ............. . Setelah instrumen dilakukan uji coba, langkah
selanjutnya instrumen tersebut dihitung validitas untuk mengetahui butir
pernyataan yang drop. Setelah butir pernyataan yang drop diketahui jumlahnya,
maka langkah selanjutnya adalah butir pernyataan yang valid diujikan kembali
kepada .................. Proses validasi dilakukan dengan menganalisis data uji coba
instrumen yaitu validitas butir dengan menggunakan koefisien korelasi antar skor
butir dengan skor total instrumen. Kriteria batas minimum pernyataan yang
diterima adalah r tabel = 0,361. Jika r hitung > r tabel, maka butir pernyataan
tersebut dianggap valid. Sedangkan jika r hitung < r tabel maka butir pernyataan
dianggap tidak valid atau drop. Setelah dilakukan uji validitas dari ........
pernyataan variabel regulasi diri, diperoleh ..... pernyataan yang valid dan ......
pernyataan yang tidak valid yaitu: nomor ........ Oleh karena itu, hanya ....
pernyataan yang digunakan untuk penelitian. Selanjutnya dihitung reliabilitas
terhadap skor butir-butir pertanyaan yang telah dinyatakan valid dengan
menggunakan rumus uji reliabilitas yakni Alpha Cronbach. Rumus Alpha
Cronbach digunakan apabila skor butirnya bukan 1 dan 0 tetapi bertingkat yaitu
dari 0 atau 1 sampai dengan 3 atau 5 (Arikunto, 2009), dengan rumus sebagai
berikut:

k  si 2 
r11  
1  st 2 

k 1  
Dimana:
rit = Koefisien reliabilitas instrumen
k = jumlah butir instrumen
Si2 = varians butir
St2 = varians total
Varian butir itu sendiri dapat diperoleh dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:

= -

Keterangan:

Si2 : Varians butir

∑Xi2 : Jumlah dari hasil kuadrat dari setiap butir soal

(∑Xi)2 : Jumlah butir soal yang dikuadratkan


n : Banyaknya subyek penelitian

3.4 Teknik Analisis Data


Analisis data yang akan dilakukan menggunakan estimasi parameter
model regresi. Dari persamaan regresi yang akan didapat, dilakukan pengujian
regresi tersebut, agar persamaan yang didapat mendekati keadaan yang
sebenarnya. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan program SPSS
(Statistical Package for Social Science). Adapun langkah-langkah dalam
menganalisis data adalah sebagai berikut:

1. Uji Persyaratan Analisis

a. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data berdistribusi
normal atau tidak. Untuk mendeteksi apakah model yang peneliti gunakan
memiliki distribusi normal atau tidak yaitu dengan menggunakan uji Kolmogorov
Smirnov dan Normal Probability Plot. Hipotesis penelitiannya adalah:
1) H0 : artinya data berdistribusi normal
2) H1 : artinya data tidak berdistribusi normal
Kriteria pengujian dengan uji statistik Kolmogorov Smirnov yaitu:
1) Jika signifikansi > 0,05, maka H0 diterima artinya data berdistribusi
normal.
2) Jika signifikansi < 0,05, maka H0 ditolak artinya data tidak berdistribusi
normal.

Sedangkan kriteria pengujian dengan analisis Normal Probability Plot, yaitu


sebagai berikut:

1) Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah diagonal,
maka H0 diterima artinya data berdistribusi normal.
2) Jika data menyebar jauh dari garis diagonal, H0 ditolak artinya data tidak
berdistribusi normal.

b. Uji Linieritas
Pengujian linieritas bertujuan untuk mengetahui apakah variabel
mempunyai hubungan yang linier atau tidak secara siginifikan. Pengujian dengan
SPSS menggunakan Test of Linearity pada taraf signifikansi 0,05. Variabel
dikatakan mempunyai hubungan yang linier bila signifikansi kurang dari 0,05.
Hipotesis penelitiannya adalah:
1) H0 : artinya data tidak linier
2) Ha : artinya data linier
Sedangkan kriteria pengujian dengan uji statistik yaitu:

1) Jika signifikansi > 0,05, maka H0 diterima artinya data tidak linier.
2) Jika signifikansi < 0,05, maka H0 ditolak artiya data linier.

2. Uji Asumsi Klasik

a. Uji Multikolinieritas
Multikolinieritas adalah keadaan dimana antara dua variabel independent
atau lebih pada model regresi terjadi hubungan linier yang sempurna atau
mendekati sempurna. Model regresi yang baik mensyaratkan tidak adanya
masalah multikolinieritas. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinieritas
dengan melihat nilai Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF). Semakin
kecil nilai Tolerance dan semakin besar nilai VIF maka akan semakin mendekati
terjadinya masalah multikolinieritas. Nilai yang dipakai jika nilai Tolerance lebih
dari 0,1 dan VIF kurang dari 10 maka tidak terjadi multikolineritas.
Kriteria pengujian statistik dengan melihat nilai VIF yaitu:
1) Jika VIF > 10, maka artinya terjadi multikolinieritas.
2) Jika VIF < 10, maka artinya tidak terjadi multikolinieritas.
Sedangkan kriteria pengujian statistic dengan melihat nilai Tolerance yaitu:
1) Jika nilai Tolerance< 0,1, maka artinya terjadi multikolinieritas.
2) Jika nilai Tolerance > 0,1, maka artinya tidak terjadi multikolinieritas.

b. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana terjadi ketidaksamaan varian
dari residual pada model regresi. Persyaratan yang harus dipenuhi dalam model
regresi adalah tidak adanya masalah heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi ada
tidaknya heterokedastisitas dapat menggunakan uji Spearman’s rho yaitu dengan
meregresi nilai absolute residual terhadap variabel independen. Hipotesis
penelitiannya adalah:
1) H0 : Varians residual konstan (Homokedastisitas)
2) Ha : Varians residual tidak konstan (Heteroskedastisitas).
Sedangkan kriteria pengujian dengan uji statistik yaitu:
1) Jika signifikansi >0,05, maka H0 diterima artinya tidak terjadi
heteroskedastisitas.
2) Jika signifikansi <0,05, maka H0 ditolak artinya terjadi heteroskedastisitas.

3. Persamaan Regresi Berganda


Analisis regresi linear digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya
hubungan antar variabel yang diteliti. Analisis regresi linier yang digunakan
adalah analisis regresi linier ganda yang biasanya digunakan untuk mengetahui
pengaruh dua variabel bebas atau lebih terhadap satu variabel terikat.

Persamaan regresi linier ganda adalah sebagai berikut:

a
,
Keterangan:
Ŷ = Variabel terikat (Kemampuan Pemecahan Masalah)
X1 = Variabel bebas pertama (Regulasi Diri)
X2 = Variabel bebas kedua (Sikap)
X3 = Variabel bebas ketiga (Kreatiivitas)
X4 = Variabel bebeas ke-empat (Berpikir Kritis)
a = konstanta (Nilai Ŷ apabila X1, X2…. Xn = 0)
b1 = koefisien regresi variabel bebas pertama, X1 (Regulasi Diri)
b2 = koefisien regresi variabel bebas kedua, X2 (Sikap)
b3 = koefisien regresi variabel bebas kedua, X3 (Kreativitas)
b4 = koefisien regresi variabel bebas kedua, X4 (Berpikir Kritis)

4. Uji Hipotesis

a. Uji
Uji F atau uji koefisien regresi secara serentak, yaitu untuk mengetahui
pengaruh signifikan variabel independen secara serentak terhadap variabel
dependen.

Hipotesis penelitiannya:

1) H0 : b1 = b2 = 0
Artinya variabel regulasi diri, sikap, kreativitas, dan berpikir kritis secara
serentak tidak berpengaruh terhadap Kemampuan pemecahan masalah

2) Ha : b1 ≠ b2 ≠ 0
Artinya variabel regulasi diri, sikap, kreativitas, dan berpikir kritis secara
serentak berpengaruh terhadap Kemampuan pemecahan masalah.

Kriteria pengambilan keputusan yaitu:


1) F hitung ≤ F tabel, jadi H0 diterima.
2) F hitung > F tabel, jadi H0 ditolak.

b. Uji t
Uji t digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara
parsial terhadap dependen, apakah pengaruhnya signifikan atau tidak.

Hipotesis penelitiannya:

1) H0 : b1 ≤ 0, artinya variabel regulasi diri tidak berpengaruh positif terhadap


kemampuan pemecahan masalah
Ha : b1 ≥ 0, artinya variabel regulasi diri berpengaruh positif terhadap
kemampuan pemecahan masalah
2) H0 : b2 ≤ 0, artinya variabel sikap tidak berpengaruh positif terhadap
kemampuan pemecahan masalah
Ha : b2 ≥ 0, artinya variabel sikap berpengaruh positif terhadap kemampuan
pemecahan masalah
3) H0 : b2 ≤ 0, artinya variabel kreativitas tidak berpengaruh positif terhadap
kemampuan pemecahan masalah
Ha : b2 ≥ 0, artinya variabel kreativitas berpengaruh positif terhadap
kemampuan pemecahan masalah
4) H0 : b2 ≤ 0, artinya variabel berpikir kritis tidak berpengaruh positif terhadap
kemampuan pemecahan masalah
Ha : b2 ≥ 0, artinya variabel berpikir kritis berpengaruh positif terhadap
kemampuan pemecahan masalah

Kriteria pengambilan keputusannya, yaitu:


1) t hitung ≤ t tabel, jadi H0 diterima.
2) t hitung > t tabel, jadi H0 ditolak.
5. Analisis Koefisien Determinasi
Analisis koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui seberapa
besar presentase sumbangan pengaruh variabel independen secara serentak
terhadap variabel dependen.

= 58,9%
DAFTAR PUSTAKA

Lyons, S. (2004). An exploration of generational values in life and at work.

Ahmadi, A. (2002). Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Aiken, E. R. (1994). Psychological Testing and Assessment. USA: Library of


Congres.

Ajzen, I. (2005). Attitude Personality And Behavior. New York: University Press.
.

Akhyar Lubis, S. (2008). Pendidikan dan Konseling Islami. Bandung: Cita


Pustaka.

Asrori, M. A. (2004). Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:


Bumi Aksara.

Azwar. (2011). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Jakarta: Pustaka


Pelajar.

B.Johnson, E. (2009). Contextual Teaching & Learning. Bandung: Keifa


Learning.

Baumiester, d. (2013). Hand Book of Self Regulation: Reseach, Theory and


Aplication. New York: The Guilford Press.

Brunning, R. H. (1990). Cognitive Psychology and Instruction. United State of


America: Merril, Prentice Hall, Inc.

Budiyono. (2015). Pengantar Penilaian Hasil Belajar. Surakarta: UPT UNS


Press.

Cahyono, B. (2017). Analisis Berfikir Kritis Dalam Memecahkan Masalah


Ditinjau Dari Perbedaan Gender. Aksioma Vol.8.

Carlson. (2000). Psychology Third Edition. New York: Allyn and Bacon.

Costillas, J. M. (2016). Eliciting and sustaining critical thinking through brain-


based teaching in mathematics. Journal of Educational and Human
Resource Development, 4,.

D’Agustino, S. (2011). A Math Major, Polya, Invention, and Discovery. Journal


of Humanistic Mathematics. Vol. 1, No. 2.
Desmita. (2011). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.

DT, C. (1950). The indirect assessment of social attitudes. Psychological Bulletin.

Eagly AH, C. S. (1993). The Psychology of Attitudes Fort Worth: Harcourt Brace
Jovanovitch.

Elfiandi. (2015). Pengaruh Regulasi Diri dan Sikap Pada Matematika Terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika.

Ennis, R. (1996). Critical Thinking. New Jersey: Printice-Hall Inc.

Ersoy, E. a. (2015). The Place of Problem Solving and Mathematical Thinking in


The Mathematical Teaching . The Online Journal of The Horizon in
Education Vol.5.

Facione. (2015). Critical Thingking: What It Is and Why It Counts.

Facione, P. A. (2011). Critical Thinking: What It is and Why It Counts. California:


California Academic Press.

Feldman, P. O. (2009). Human Development. Jakarta: Salemba Humanika.

Fisher, A. (2009). Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga.

Friskilia, O. (2018). (Self Regulated as Predictors of Student Achievement at


Vocational High School. Jurnal Pendidikan Manajemen Perkantoran.

Hidayat, A. F. (2013). Hubungan Regulasi Diri Dengan Prestasi Belajar Kalkulus


II. Jurnal Elektronik Pendidikan Matematika.

Howard S. Friedman dan Miriam W. Schustack. (2008). Kepribadian Teori Klasik


dan Riset Modern, Edisi Ketiga. Surabaya: Erlangga.

Howe, N. &. (2000). Millennials rising: The next great generation. New York:
Vintage.

Hudojo, H. (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.


Malang: UM Press.

Ismiyati Marfuah, M. S. (2016). PROSES BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK


DALAM MEMECAHKAN MASALAH SISTEM PERSAMAAN
LINIER. Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika Vol.4, No.7, 622-
632.
Jurkiewicz, C. L. (2000). Generation X and the Public Employee. Public
Personnel Management.

Juter, K. (2005). Students Attitudes to Mathematics And Performance in Limits of


Functions. Mathematic Education Research Journal Vol.17.

Karatas, I. a. (2013). The Effect of Learning Environments Based on Problem


Solving on Students’ Achievements of Problem Solving. International
Electronic Journal of Elementary Education, Vol 5, No. 3.

Kenedi. (2017). Pengembangan Kreativitas Siswa Dalam Proses Pembelajaran .


Jurnal Ilmu Pendidikan Sosial, Sains, dan Humaniora Vol. 3 No. 2.

Kennedy, L. M. (2008). Guiding Childern’s Learning of Mathematics. USA:


Thomson Wasdworth.

Kusmanto, H. (2014). Pengaruh Berpikir Kritis Terhadap Kemampuan Siswa


dalam memecahkan masalah matematika. Jurnal Eduma Vol.3.

Langley, A. (2007). Process Thinking in Strategic Organization. Journal of


Strategic Organization. Vol. 5, No. 3,, 271-282.

Lawrence A. Pervin, D. P. (2010). Psikologi Kepribadian Teori dan Penelitian.


Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Lisya Chairani, d. M. (2010). Psikologi Penghafal Al-Qur’an (Peranan Regulasi


Diri). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Littlejohn, S. W. (2001). Theories of Human Communication. New York:


Wadsworth.

Mannheim, K. (1952). . The Problem of Generations. Essays on the Sociology of


Knowledge. 276-332.

Martin, C. A. (2002). Managing the Generational Mix. Amhers. MA: HRD Press.

Miterer, D. C. (2009). Psychology Moduls for Active Learning (Belmont:


Thomson Wadsworth).

Munandar, U. (2012). Kreativitas & Keberbakatan; Strategi Mewujudkan Potensi


Kreatif & Bakat. Jakarta: Pustaka Utama.

Notoatmodjo. (2003). Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurul Husna, F. N. (2004). Regulasi Diri Mahasiswa Berprestasi. Jurnal


Psikologi Undip Vol.13 No.1.
Paul, R. a. (2007). The Miniatur Guide to Critical Thinking Concepts and Tools.
27th International Conference on Critical Thinking (hal. 23-26). Near
University of California at Berkeley.

Ryder, N. B. (1965). The Cohort as a Concept in the Study of Social Change.


American Sociological Review, 843-861.

Santrock, J. W. (2008). Psikologi Pendidikan (edisi kedua). Jakarta: Kencana.

Santrock, J. W. (2011). Educational Psychology. New York: McGraw Hill.

Saygli, G. (2017). Problem Solving Skills employed by Gifted Children And


Their Peers In Public Primary Schools In Turkey. Society for Personality
Research, Vol. 10.

Sekaran, U. &. (2010). Research Methods for Business. a Skill Building Approch.

Slavin, R. E. (2006). Educational Psycologi : Theory and Pratice. London:


Pearson Education.

Smith, M. J. (2013). An Exploration of Metacognition and its Effect on


Mathematical Performance in Differential Equations. Journal of the
Scholarship of Teaching and Learning.

Sugiyono. (2012). Methodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. .


Bandung: Alfabetha.

Suherman, E. (2001). Common textbook : Strategi Pembelajaran. Bandung:


JICA-UPI.

Sukmadinata, N. S. (2004). Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Sweeney, R. (2005). Reinventing Library Buildings and Services for the Millenial
Generation. Library Administration & Management.

Taylor, S. P. (2012). Psikologi Sosial. Jakarta: Kencana.

Tohirin. (2005). Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT.


Raja Grafindo.

Troksa, L. (2016). The Study of Generations: A Timeless Notion Within a


Contemporary. Colorado. Department of History at the University of
Colorado Boulder.
Tsai, K. C. (2016). Being a Critical And Creative Thinker: A Balanced Thinking
Mode. Journal Of Humanities and Social Sciences Vol.1.

Turkmen, H. (2016). Creative Thinking Skills Analyzes Of Vocational High


School Students. Journal Of Educational And Instructional Studies In The
World Vol.5.

V. Venkatesh, J. Y. (2012). Consumer Acceptance and Use of Information


Technology: Extending the Unifed Theory of Acceptance and Use of
Technology. MIS Quarterly.

Winne, P. H. (1997). Experimenting to Bootstrap Self-Regulated Learning.


Journal of Educational Psychology the American Psychological.

Wirawan Sarwono, S. (2009). Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: PT. Raja


Grafindo Persada.

Zimmerman, B. (2002). Becoming a Self-regulated Learner: An Overview, .


Theory Into Practice.

Zimmerman, B. J. (1990). Construct Validation of a Strategy Model of Student


Self regulated learning. Journal of Educational Psychology, 284-290.

Вам также может понравиться