Вы находитесь на странице: 1из 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal ginjal kronik merupakan salah satu penyakit kronis.Gagal ginjal
kronik memiliki etiologi yang bervariasi dan tiap negara memiliki data etiologi
gagal ginjal kronik yang berbeda-beda. Di Amerika Serikat, Diabetes
Melitustipe 2 merupakan penyebab terbesar gagal ginjal kronik. Hipertensi
menempati urutan kedua.Di Indonesia ,menurut data Perhimpunan Nefrologi
Indonesia glomerulonefritis merupakan 46.39% penyebab gagal ginjal yang
menjalani hemodialisis. Sedangkan diabetes melitus, insidennya 18,65% disuse
obstruksi/ infeksi ginjal (12.85%) dan hipertensi (8.46%) (Firmansyah,2010).
Etiologi gagal ginjal kronik menurut Brunner & Suddarth (2006) adalah
penyakit sistemik seperti diabetes melitus, glomerulonefritis kronis,
pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat dikontrol, obstruksi traktusurinarius,
lesi herediter seperti penyakit ginjal polikistik, gangguan vaskuler, infeksi,
medikasiatau toksik. Lingkungan dan agens berbahaya yang mempengaruhi
gagal ginjal kronik mencakup timah, kadmium, merkuri dan kromium (Rab, T,
2008)
Australian Instituteof Health and Welfare telah melakukan sistematisasi
faktor risiko kejadian penyakitginjal kronik yang menjalani hemodialisis(ESRD)
di Australia. Faktor risiko ESRD di Australia dibagi menjadi empat kelompok
yaitu: (1) faktor lingkungan sosial yang meliputi status sosial ekonomi,
lingkungan fisik dan ketersediaan lembaga pelayanan kesehatan, (2) faktor risiko
biomedik, meliputi antara lain diabetes, hipertensi, obesitas, sindroma
metabolisma, infeksi saluran kencing, batu ginjal dan batu saluran kencing,
glomerulonefritis, infeksi streptokokus dan keracunan obat; (3) faktor risiko
perilaku, meliputi antara lain merokok atau pengguna tembakau, kurang gerak
dan olahraga serta kekurangan makanan dan (4)factor predisposisi, meliputi
antara lain umur, jenis kelamin, rasa tauetnis, riwayat keluarga dangenetik (Rab,
T, 2008)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mengonsumsi minuman
suplemen energi berhubungan dengan kejadian CKD di RSU PKU

1
Muhammadiyah Yogyakarta. Hubungan antara mengonsumsi minuman
suplemen dengan kejadian CKD di RSUPKU Muhamadiyah Yogyakarta bersifat
dosedependence yaitu semakin banyak mengonsumsi minuman suplemen
makarisiko untuk mengalami gagal ginjal kronik terminal juga semakin tinggi.
Hasil penelitian tersebut juga diketahui bahwa meninggalkan kebiasaan
mengonsumsi minuman suplemen energy akan dapat menurunkan kemungkinan
kejadian CKD. Hubungan antara lama berhenti dari kebiasaan mengonsumsi
minuman suplemen energy dengan kejadian CKD di RSUPKU Muhammadiyah
Yogyakarta juga bersifat time- dependence (Rab, T, 2008)
Penelitian epidemiologi di Thailand pada pekerja bangunandi Provinsi
Chonburi diketahui bahwa kebiasaan mengonsumsi minuman suplemen secara
bermakna berhubungan dengan kebiasaan kerja lembur, terpengaruh iklan, kesan
positif pribadi selama mengonsumsi, kebiasaan minuman alkohol, merokokdan
mantan pengguna obat-obatan terlarang”Kratom” (Pichainaronget.al,2004).
Komisi Keamanan Makanan Uni Eropadan Depkes RI menyarankan agar lebih
berhati-hati dan tetap membatasi diri dalam mengonsumsi minuman suplemen
yang mengandung taurin maupun kafein karena belum ada bukti keamanannya
secara epidemiologi suntuk penggunaan jangka panjang (Depkes RI,1996).
Asupankafein 4–8 mg / kg BB mempunyai efek peningkatan kadar lemak dalam
darah, mengganggu pengambilan dan penyimpanan kalsium serta
peningkatan kadar glukosadarah (Rab, T, 2008)
Terkait dengan jamu tradisional yang ternyata mengandung bahan kimia
obat, pakar farmasi Nurul Mutma’inah mencontohkan jamu tradisional
penambah stamina pria. Ternyata didalamnya ditambahkan bahan kimia obat,
seperti sildinafildan pada lafil."Bahan kimia tersebut dalam pengobatan modern
sebenarnya untuk mengatasi disfungsi ereksi. Kemudian jika seseorang akan
memakainya, seharusnya dipastikan dulu, apakah punya riwayat tekanan darah
tinggi atau memakai obat lain ataukah tidak," jelasnya. Selain jamu tradisional
penambah stamina pria, yang juga perlu diwaspadai adalah jamu seperti jamu
keju kemeng dan jamu pegallinu. Biasanya, jamu seperti pegal linu tersebut
sering ditambahkan analgetik atau penghilang rasa sakit. Efek samping dari
minum jamu tradisional yang dicampur bahan kimia obat, bias berakibat jangka
pendekatau jangka panjang. Jangka pendek, bias any amuncul keluhan iritasi

2
lambung atau lambung berasa perih, sedangkan efek jangka panjang, bias
menimbulkan gangguan ginjal dan sebagainya. Penyakit ginjal tergolong
penyakit kronis tidak menular, tapi merupakan pencetus berbagai macam
penyakit berbahaya. Misalnya, jantung koroner, stroke dan hipertensi.
Penyakit-penyakit tersebut saat ini menjadi ancaman utama di dunia kesehatan
(Rab, T, 2008)
Angka penderita gagal ginjal di Indonesia mencapai 70 ribu lebih. Data
beberapa pusat nefrologi di Indonesia dipekirakan insidens dan prevalensi
penyakit ginjal kronik masing-masing berkisar 100–150 / 1 juta penduduk dan
200–250/ 1 juta penduduk. Penelitian WHO pada tahun 1999 memperkirakan di
Indonesia akan mengalami peningkatan penderita gagal ginjal antara tahun
1995–2025 sebesar 414%. Peningkatan ini sangat disayangkan karena
sebenarnya penyakit gagal ginjal dapat dicegah dan dideteksi dinijinkan
masyarakat mempunyai kesadaran mengenai pentingnya ginjal terhadap
kesehatan (Rab, T, 2008)

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan pada
penderita Gagal Ginjal Kronik?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan pada
penderita Gagal Ginjal Kronik.
1.3.2tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi GGK
2. Untuk mengetahui klasifikasi GGK
3. Untuk mengetahui etiologi GGK
4. Untuk mengetahui faktor resiko GGK
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis GGK
6. Untuk mengetahui patofisiologi GGK
7. Untuk mengetahui pathway GGK
8. Untuk mengetahui penunjang GGK

3
9. Untuk mengetahui komplikasi GGK
10. Untuk mengetahui penatalaksanaan GGK
11. Untuk mengetahui pengkajian GGK
12. Untuk mengetahui diagnosa GGK
13. Untuk mengetahui intervensin GGK
14. Untuk mengetahui implementasi GGK
15. Untuk mengetahui evaluasi GGK

1.4 Sistematika Penulisan


1.4.1 Bab I. Pendahuluan, berisi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang
masalah, rumusan masalah, maksud dan tujuan, sistematika penulisan,
metode penulisan.
1.4.2 Bab II. Tinjauan Teori, berisi pembahasan yang menjelaskan tentang
konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan pada penderita
Gagal Ginjal Kronik.
1.4.3 Bab III. Penutup, berisi kesimpulan, dan saran.

1.5 Metode Penulisan


Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu dengan studi
keputusan.Studi kepustakaan adalah suatu metode pengumpulan data dengan cara
mencari, mengumpulkan, dan mempelajari materi-materi dari buku maupaun dari
media informasi lainnya dalam hal ini yang berkaitan dengan Ilmu Keperawatan
Medikal Bedah.

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Penyakit


2.1.1 Definisi
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD)
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang
bersifat persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal
yaitu penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan dalam
kategori ringan, sedang dan berat (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
CRF (Chronic Renal Failure) merupakan gangguan fungsi ginjal
yang progresif dan irreversible, yang menyebabkan kemampuan tubuh
gagal untuk mempetahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
maupun elektrolit, sehingga timbul gejala uremia yaitu retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)

2.1.2 Klasifikasi
Sesuai dengan topik yang saya tulis di depan Cronic Kidney
Disease (CKD). Pada dasar nya pengelolaan tidak jauh beda dengan
cronoic renal failure (CRF), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik
dalam rangka untuk membatasi kelainan klien pada kasus secara dini,
kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/ merasa
masih dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk
menentukan derajat (stage) menggunakan terminology CCT (clearance
creatinin test) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF
(cronic renal failure) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang
dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila
menggunakan istilah CRF (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)

5
1. Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium :
a. Stadium I : Penurunan cadangan ginjal
a) Kreatinin serum dan kadar BUN normal
b) Asimptomatik
c) Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR
b. Stadium II: Insufisiensi ginjal
a) Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam
diet)
b) Kadar kreatinin serum meningkat
c) Nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan)
Ada 3 derajat insufisiensi ginjal:
1) Ringan: 40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal.
2) Sedang: 15% - 40% fungsi ginjal normal
3) Kondisi berat: 2% - 20% fungsi ginjal normal
c. Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia
a) Kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat
b) Ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan
elektrolit
c) Air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan bj 1,010
2. KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality
Initiative) merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium
dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus):
a) Stadium 1: kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria
persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73
m2).
b) Stadium 2: Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG
antara 60 -89 mL/menit/1,73 m2).
c) Stadium 3: kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59
mL/menit/1,73m2).
d) Stadium 4: kelainan ginjal dengan LFG antara 15-
29mL/menit/1,73m2).
e) Stadium 5: kelainan ginjal dengan LFG <
15 mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal terminal.

6
2.1.3 Etiologi
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang
merusak nefron ginjal.Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal
difus dan bilateral (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
1. Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
2. Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.
4. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus
sistemik (SLE), poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal
polikistik, asidosis tubuler ginjal.
6. Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis.
7. Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati
timbale.
8. Nefropati obstruktif
a. Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis,
netroperitoneal.
b. Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra,
anomali congenital pada leher kandung kemih dan uretra.

2.1.4 Faktor Resiko


Menurut Norris dan Nissenson (2008) bahwa prevalensi CKD
bervariasi faktor risiko utama seperti diabetes, hipertensi, albuminuria
disosialekonomi, jenis kelamin, dan kelompok etnis memainkan peran
penting dalam perkembangan prevalensi dan komplikasi CKD. Australian
Institute of Health and Welfare (AIHW) telah melakukan sistematisasi
faktor risiko kejadian penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
(ESRD) di Australia. Faktor risiko ESRD di Australia dibagi menjadi
empat kelompok yaitu (Budiyanto, Cakro, 2009)
1) factor lingkungan-sosial yang meliputi status sosial ekonomi,

7
lingkungan fisik dan ketersediaan lembaga pelayanan kesehatan,
2) faktor risiko biomedik, meliputi antara lain diabetes, hipertensi,
obesitas, sindroma metabolisma, infeksi saluran kencing, batu ginjal
dan batu saluran kencing, glomerulonefritis, infeksi streptokokus dan
keracunan obat
3) factor risiko perilaku, meliputi antara lain merokok atau pengguna
tembakau, kurang gerak dan olahraga serta kekurangan makanan dan
4) faktor predisposisi, meliputi antara lain umur, jeniskelamin, rasa tau
etnis, riwayat keluarga dan genetik (Budiyanto, Cakro, 2009)
1. Diabetes Mellitus
Waktu rata-rata diabetes sampai timbul uremia adalah 20
tahun. Diabetes menyebabkan diabetic nefropati yaitu adanya lesi
arteriol, pielonefritis dan nekrosis papilla ginjal serta
glomerulosklerosis
2. Hipertensi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan
perubahan- perubahan struktur pada arteriol seluruh tubuh yang
ditandai oleh fibrosis dan sklerosis dinding pembuluh darah. Organ
sasaran utama adalah jantung, otak dan ginjal. Penyumbatan arteri
dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan
atrofitubulus sehingga seluruh nefronrusak. Proteinuri dan
azotemia ringan dapat berlangsung selama bertahun-tahun tanpa
memperlihatkan gejala dan kebanyakan pasienakan merasakan
gejala jika memasuki stadium ganas. Hipertensi pada kehamilan
(Pre eklamsi) menyebabkan terjaidnya proteinuria, retensi air dan
natirum dapat memicu timbulnya gagal ginjal.
3. Infeksi
Infeksi dapat terjadi pada beberapa bagian ginjal yang
berbeda seperti glomerulus pada kasus glomerulonefritis atau
renalpelvis dan sel tubulointerstitial pada pielonfritis. Infeksi juga
bias naik ke kandung kemih melalui ureter menuju ginjal dimanater
dapat sumbatan pada saluran kencing bawah. Beberapa infeksi
dapat menunjukkan gejala, sementara yang lain tanpa gejala. Jika

8
tidak diperhatikan ,semakin banyak jaringan fungsional ginjal yang
perlahan-perlahan hilang. Selama proses peradangan tubuh kita
secara normal berusaha menyembuhkan diri.Hasil akhir
penyembuhan adalah adanya bekas luka jaringan dan atrofi sel
yang mengubah fungsi penyaring ginjal. Hal ini merupakan kondisi
yang tidak dapat dipulihkan. Jika presentase jaringan rusak besar,
akan berakhir pada gagal ginjal.
Wanita mempunyai insiden infeksi traktururinarius dan
pielonefritis yang lebih tinggi dibandingkan pria. Hal ini
disebabkan karena uretra lebih pendek dan mudah terkontaminasi
feses, selama kehamilan sampai beberapa waktu setelah melahirkan
terjadi hidronefrosis dan hidrureter pada ginjal kanan. Pria dewasa
usia lebih dari 60tahun sering ditemukan hiper tropiprostat yang
menyebabkan obstruksi aliran urin yang menekan pelvis ginjal dan
ureter. Obstruksi juga dapat disebabkan ada nya striktururetra dan
neoplasma. Obstruksi menyebabkan infeksi ginjal dan memicu
terjadinya gagal ginjal
4. Obat-obatan
Sebagian besar obat diekskresikan lewat ginjal. Padahal
banyak dari obat- obatan bersifat racun, oleh sebab itu istilahnya
disebut nefrotoksik (Budiyanto, Cakro, 2009)
a) Antibiotik: Aminoglikosid, sulfonamid, amphotericin B,
polymyxin, neomycin, bacitracin, rifampisin,
aminosalycylicacid, oxy-dan chlotetracyclines.
b) Analgesik (pereda sakit): Salisilat, acetaminolen, phenacetin,
semua NSAID, Phenybutazone, semua penghambat
prostaglandin synthetase.
c) Antiepileptik (untuk epilepsi dan kejang): Trimethadione,
paramethadione, succinamide,carbamazepine.
d) Obat-obat anti kanker:
Cyclosporine,cisplatin,cyclophospamide, streptozocin,
e) Immunecompex inducers (obat-obat untuk kekebalan tubuh):
captopril

9
5. Logam berat
Logam berat akan bergabung dalam tulang dan sedikit demi
sedikit dilepaskan kembali dalam darah setelah dalam jangka waktu
bertahun-tahun. Logam beratakan sampai ke tubulus ginjal.
Kerusakan dasar ginjal di akibatkan oleh nefritisinterstisial dan
gagal ginjal progresif lambat (Budiyanto, Cakro, 2009)
6. Genetik
Penyakit polikistik merupakan penakit keturunan dapat
menyebabkan gagal ginjal kronik (Budiyanto, Cakro, 2009)
7. Faktor kekebalan tubuh
Penyakit gangguan imunologi seperti sistemik lupus
eritematosus menyebabkan gagal ginjal kronik (Budiyanto, Cakro,
2009)
8. Bahan kimia dalam makanan dan minuman
Bahan pengawet, pewarna makanan, penyedap rasa dan
bahan tambahan lainnya dalam makanana yang dikaleng, botol,
daging olahan, jus dan soft drink dicurigai memberi pengaruh
berbahaya pada ginjal (Budiyanto, Cakro, 2009)
9. Air minum
Air minum dapat mengandung bahan kimia organic dan
anorganik yang larut dalam air, endapan logam berat,mineral yang
menimbulkan masalah pada ginjal (Budiyanto, Cakro, 2009)
10. Kurang minum/cairan
Ginjal berfungsi mempertahankan keseimbangan air,
mempunyai kemampuan meningkatkan atau mengencerkan urin.
Jika asupan cairan kurang pada kondisi cuaca panas, pekerja berat,
dehidrasi dalam waktu yang lama, maka usaha memekatkan urin
lebih berat dan ginjal kelelahan/gagal ginjal (Budiyanto, Cakro,
2009)
11. Makanan tinggi garam/natirum
Ginjal berfungsi menjaga keseimbangan natrium. Jika
jumlah garam dalam makanan tinggi dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan darah/hipertensi. Kerangka teori dari Norris

10
dan Nissenson (2008) menunjukkan secara jelas faktor risiko yang
berperan terjadinya penyakit gagal ginjal kronik (Budiyanto,
Cakro, 2009)

2.1.5 Manifestasi Klinis


1. Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia (Cahyaningsih,
D. Niken. 2011)
a) Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa sal
cerna, gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek,
bilirubuin serum meningkat/normal, uji comb’s negative dan
jumlah retikulosit normal.
b) Defisiensi hormone eritropoetin
Ginjal sumber ESF (Eritropoetic Stimulating Factor) → def. H
eritropoetin → Depresi sumsum tulang → sumsum tulang tidak
mampu bereaksi terhadap proses hemolisis/perdarahan → anemia
normokrom normositer.
2. Kelainan Saluran cerna
a) Mual, muntah, hicthcup
dikompensasi oleh flora normal usus → ammonia (NH3) →
iritasi/rangsang mukosa lambung dan usus.
b) Stomatitis uremia
Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan saliva
banyak mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.
c) Pankreatitis, berhubungan dengan gangguan ekskresi enzim
amylase.
3. Kelainan mata
4. Kardiovaskuler:
a) Hipertensi
b) Pitting edema
c) Edema periorbital
d) Pembesaran vena leher
e) Friction Rub Pericardial
5. Kelainan kulit

11
a. Gatal
Terutama pada klien dgn dialisis rutin karena:
a) Toksik uremia yang kurang terdialisis
b) Peningkatan kadar kalium phosphor
c) Alergi bahan-bahan dalam proses HD
b. Kering bersisik, karena ureum meningkat menimbulkan
penimbunan kristal urea di bawah kulit.
c. Kulit mudah memar
d. Kulit kering dan bersisik
e. rambut tipis dan kasar
6. Neuropsikiatri
7. Kelainan selaput serosa
8. Neurologi :
a. Kelemahan dan keletihan
b. Konfusi
c. Disorientasi
d. Kejang
e. Kelemahan pada tungkai
f. rasa panas pada telapak kaki
g. Perubahan Perilaku
9. Kardiomegali.
Tanpa memandang penyebabnya terdapat rangkaian perubahan
fungsi ginjal yang serupa yang disebabkan oleh desstruksi nefron
progresif. Rangkaian perubahan tersebut biasanya menimbulkan efek
berikut pada pasien : bila GFR menurun 5-10% dari keadaan normal
dan terus mendekati nol, maka pasien menderita apa yang
disebut Sindrom Uremik.Terdapat dua kelompok gejala klinis
(Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
a) Gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi; kelainan volume cairan
dan elektrolit, ketidakseimbangan asam basa, retensi metabolit
nitrogen dan metabolit lainnya, serta anemia akibat defisiensi
sekresi ginjal.

12
b) Gangguan kelainan CV, neuromuscular, saluran cerna dan kelainan
lainnya
Manifestasi Sindrom Uremik (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
Sistem Tubuh Manifestasi
Biokimia a) Asidosis Metabolik (HCO3 serum 18-20 mEq/L)
b) Azotemia (penurunan GFR, peningkatan BUN, kreatinin)
c) Hiperkalemia
d) Retensi atau pembuangan Natrium
e) Hipermagnesia
f) Hiperurisemia

Perkemihan& Kelamin a) Poliuria, menuju oliguri lalu anuria


b) Nokturia, pembalikan irama diurnal
c) Berat jenis kemih tetap sebesar 1,010
d) Protein silinder
e) Hilangnya libido, amenore, impotensi dan sterilitas

Kardiovaskular a) Hipertensi
b) Retinopati dan enselopati hipertensif
c) Beban sirkulasi berlebihan
d) Edema
e) Gagal jantung kongestif
f) Perikarditis (friction rub)
g) Disritmia

Pernafasan a) Pernafasan Kusmaul, dispnea


b) Edema paru
c) Pneumonitis

Hematologik a) Anemia menyebabkan kelelahan


b) Hemolisis
c) Kecenderungan perdarahan
d) Menurunnya resistensi terhadap infeksi (ISK,
pneumonia,septikemia)

Kulit a) Pucat, pigmentasi


b) Perubahan rambut dan kuku (kuku mudah patah, tipis,
bergerigi, ada garis merah biru yang berkaitan dengan
kehilangan protein)
c) Pruritus
d) “Kristal” uremik
e) Kulit kering
f) Memar

Saluran cerna a) Anoreksia, mual muntah menyebabkan penurunan BB


b) Nafas berbau amoniak
c) Rasa kecap logam, mulut kering
d) Stomatitis, parotitid
e) Gastritis, enteritis
f) Perdarahan saluran cerna
g) Diare

Metabolisme intermedier a) Protein-intoleransi, sintesisi abnormal


b) Karbohidrat-hiperglikemia, kebutuhan insulin menurun
c) Lemak-peninggian kadar trigliserida

13
Neuromuskular a) Mudah lelah
b) Otot mengecil dan lemah
c) Susunan saraf pusat :
d) Penurunan ketajaman mental
e) Konsentrasi buruk
f) Apati
g) Letargi/gelisah, insomnia
h) Kekacauan mental
i) Koma
j) Otot berkedut, asteriksis, kejang
k) Neuropati perifer :
l) Konduksi saraf lambat, sindrom restless leg
m) Perubahan sensorik pada ekstremitas – parestesi
n) Perubahan motorik – foot drop yang berlanjut menjadi
paraplegi

Gangguan kalsium dan a) Hiperfosfatemia, hipokalsemia


rangka b) Hiperparatiroidisme sekunder
c) Osteodistropi ginjal
d) Fraktur patologik (demineralisasi tulang)
e) Deposit garam kalsium pada jaringan lunak (sekitar sendi,
pembuluh darah, jantung, paru-paru)
f) Konjungtivitis (uremik mata merah)

2.1.6 Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi
volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam
keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan
ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan
yang harus dilarut menjadi lebih besar dari pada yang bisa direabsorpsi
berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena
jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi
produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi
lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira
fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang
demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih
rendah itu (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah, akan semakin berat (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)

14
1. Gangguan Klirens Ginjal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari
penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh
ginjal (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi
dengan mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin.
Menurut filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli)
klirens kreatinin akan menurunkan dan kadar kreatinin akan
meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya
meningkat. Kreatinin seru.m merupakan indicator yang paling sensitif
dari fungsi karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.
BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh
masukan protein dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan
medikasi seperti steroid (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
2. Retensi Cairan dan Ureum
Ginjal juga tidakmampu untuk mengkonsentrasi atau
mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir,
respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan
elektrolit sehari-hari, tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan
cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif,
dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin
angiotensin dan kerja sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.
Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kwehilangan garam,
mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan
diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin
memperburuk status uremik (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
3. Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi
asidosis metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal
mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan
sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk
menyekresi ammonia (NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat

15
(HCO3) .penurunan ekskresi fosfat dan asam organic lain juga terjadi
(Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
4. Anemia
Sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik
pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal,
produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai
keletihan, angina dan sesak napas (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
5. Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat
Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah
gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan
fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya
meningkat, maka yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi
melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat dan
sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium
serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid.
Namun, pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal terhadap
peningkatan sekresi parathormon dan mengakibatkan perubahan pada
tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga metabolit aktif vitamin D
(1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal
menurun (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
6. Penyakit Tulang Uremik
Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks
kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon (Cahyaningsih, D.
Niken, 2011)
7. Edema
dampak yang signifikan dari proses filtrasi glomerulus yang
sangat rendah menyebabkan terjadinya retensi Na+ dan H2O sehingga
terjadi osmosis dari laju glomelurus yang menurun masuk kedalam sel
atau jaringan tubuh sehingga menyebabkan edema. (Cahyaningsih, D.
Niken, 2011)

16
2.1.7 WOC/ PATHWAY

17
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
1. Diagnostik (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)

a. Pemeriksaan EKG: Untuk melihat kemungkinan hipertrofi


ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis (misalnya voltase rendah),
aritmia dan gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia).
b. Ultrasonografi (USG): Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal
korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem,
pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostat.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mencari adanya factor yang
reversibel seperti obstruksi oleh karena batu atau masa tumor, juga
untuk menilai apakah proses sudah lanjut (ginjal yang lisut). USG
ini sering dipakai oleh karena non-infasif, tak memerlukan
persiapan apapun.
c. Foto Polos Abdomen: Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi
akan memperburuk fungsi ginjal, menilai bentuk dan besar ginjal
dan apakah ada batu atau obstruksi lain. Foto polos yang disertai
tomogram memberi keterangan yang lebih baik.
d. Pielografi Intra-Vena (PIV): Pada GGK lanjut tak bermanfaat lagi
oleh karena ginjal tak dapat memerlukan kontras dan pada GGK
ringan mempunyai resiko penurunan faal ginjal lebih berat,
terutama pada usia lanjut, diabetes melitus, dan nefropati asam
urat. Saat ini sudah jarang dilakukan pada GGK. Dapat dilakukan
dengan cara intravenous infusion pyelography, untuk menilai
sistem pelviokalises dan ureter.
e. Pemeriksaan Pielografi Retrograd: Dilakukan bila dicurigai ada
obsstruksi yang reversibel.
f. Pemeriksaan Foto Dada: Dapat terlihat tanda-tanda bendungan
paru akibat kelebihan air (fluid overload), efusi pleura,
kardiomegali dan efusi pericardial. Tak jarang ditemukan juga
infeksi spesifik oleh karena imunitas tubuh yang menurun.
g. Pemeriksaan Radiologi Tulang: Mencari osteodistrofi (terutama
falang/jari), dan kalsifikasi metastatik.

18
2. Laboratorium (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
a. Volume urine : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase
oliguria) terjadi dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak.
b. Warna Urine : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya
darah.
c. Berat jenis urine : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal
contoh : glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan
kemampuan memekatkan : menetap pada l, 0l0 menunjukkan
kerusakan ginjal berat.
d. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular
ginjal dan rasio urine/ serum saring (1 : 1).
e. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan
kerusakan ginjal.
f. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr
bila ginjal tidak mampu mengabsorpsi natrium.
g. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
h. Protein : Proteinuria derajat tinggi (+3 – +4 ) sangat menunjukkan
kerusakan glomerulus bila Sel darah merah dan warna Sel darah
merah tambahan juga ada. Protein derajat rendah (+1 – +2 ) dan
dapat menunjukan infeksi atau nefritis intertisial.
i. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi
tambahan warna merah diduga nefritis glomerulus.
j. Hemoglobin : Menurun pada anemia.
k. Sel darah merah : Sering menurun mengikuti peningkatan
kerapuhan / penurunan hidup.
l. pH : Asidosis metabolik (<>
m. Kreatinin : Biasanya meningkat pada proporsi rasio (l0:1).
n. Osmolalitas : Lebih besar dari 28,5 m Osm/ kg, sering sama
dengan urine.
o. Kalium : Meningkat sehubungan dengan retensi urine dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan
(hemolisis sel darah merah).
p. Natrium : Biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.

19
q. pH, Kalium & bikarbonat : Menurun.
r. Klorida fosfat &Magnesium : Meningkat.
s. Protein : Penurunan pada kadar serum dapat menunjukan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan penurunan
pemasukan dan penurunan sintesis karena kekurangan asam amino
esensial.
t. Ultrasono ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya masa /
kista (obstruksi pada saluran kemih bagian atas).
u. Biopsi ginjal : Dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis.
v. Endoskopi ginjal / nefroskopi : Untuk menentukan pelvis ginjal
(adanya batu, hematuria).
w. E K G : Mungkin abnormal menunjukkan ketidak seimbangan
asam / basa.

GFR / LFG dapat dihitung dengan formula Cockcroft-Gault


(Cahyaningsih,
D. Niken, 2011)

Nilai normal :
a. Laki-laki: 97 - 137 mL/menit/1,73 m3 atau0,93 - 1,32 mL/detik/m2
b. Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau0,85 - 1,23 mL/detik/m2
c. Hemopoesis : Hb, trobosit, fibrinogen, factor pembekuan
d. Elektrolit : Na+, K+, HCO3-, Ca2+, PO42-, Mg+
e. Endokrin : PTH dan T3,T4

20
f. Pemeriksaan lain: berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk
ginjal, misalnya: infark miokard.

2.1.9 Komplikasi (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)


a. Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic,
katabolisme dan masukan diet berlebih.
b. Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
rennin-angiotensin-aldosteron
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dna
kehilangan drah selama hemodialisa
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
f. Asidosis metabolic
g. Osteodistropi ginjal
h. Sepsis
i. neuropati perifer
j. hiperuremia

2.1.10 Penatalaksanaan
1. Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien
Cronic renal Desease (CKD) dan lama terapi konservatif bervariasi
dari bulan sampai tahun.
Tujuan terapi konservatif (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal secara profresi.
b. Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksi asotemia.
c. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal.
d. Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

21
Prinsip terapi konservatif (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
1. Mencegah memburuknya fungsi ginjal.
a) Hati-hati dalam pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.
b) Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan
ekstraseluler dan hipotensi.
c) Hindari gangguan keseimbangan elektrolit.
d) Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani.
e) Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi.
f) Hindari instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis
yang kuat.
g) Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat
tanpa indikasi medis yang kuat.
2. Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat
a) Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular.
b) Kendalikan terapi ISK.
c) Diet protein yang proporsional.
d) Kendalikan hiperfosfatemia.
e) Terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg%.
f) Terapi hIperfosfatemia.
g) Terapi keadaan asidosis metabolik.
h) Kendalikan keadaan hiperglikemia.
3. Terapi alleviative gejala asotemia
a) Pembatasan konsumsi protein hewani.
b) Terapi keluhan gatal-gatal.
c) Terapi keluhan gastrointestinal.
d) Terapi keluhan neuromuskuler.
e) Terapi keluhan tulang dan sendi.
f) Terapi anemia.
g) Terapi setiap infeksi.

22
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan
serum K+ (hiperkalemia) (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
1) Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5
mg/hari.
2) Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau
sama dengan 7,35 atau serum bikarbonat < atau sama dengan
20 mEq/L.
b. Anemia (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
1) Anemia Normokrom normositer
Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi
hormon eritropoetin (ESF: Eritroportic Stimulating Faktor).
Anemia ini diterapi dengan pemberian Recombinant Human
Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan pemberian 30-530 U per kg
BB.
2) Anemia hemolisis
Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan
adalah membuang toksin asotemia dengan hemodialisis atau
peritoneal dialisis.
3) Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan
saluran cerna dan kehilangan besi pada dialiser ( terapi
pengganti hemodialisis ). Klien yang mengalami anemia,
tranfusi darah merupakan salah satu pilihan terapi alternatif
,murah dan efektif, namun harus diberikan secara hati-hati.
Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal (Cahyaningsih, D.
Niken, 2011)
a) HCT < atau sama dengan 20 %
b) Hb < atau sama dengan 7 mg5
c) Klien dengan keluhan : angina pektoris, gejala umum
anemia dan high output heart failure.
Komplikasi tranfusi darah (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)

23
a) Hemosiderosis
b) Supresi sumsum tulang
c) Bahaya overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia
d) Bahaya infeksi hepatitis virus dan CMV
e) Pada Human Leukosite antigen (HLA) berubah, penting untuk
rencana transplantasi ginjal.
c. Kelainan Kulit
1) Pruritus (uremic itching)
Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus CKD dan terminal,
insiden meningkat pada klien yang mengalami HD
(Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
Keluhan :
a) Bersifat subyektif
b) Bersifat obyektif : kulit kering, prurigo nodularis, keratotic
papula dan lichen symply
Beberapa pilihan terapi :
a) Mengendalikan hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme
b) Terapi lokal : topikal emmolient ( tripel lanolin )
c) Fototerapi dengan sinar UV-B 2x perminggu selama 2-6
mg, terapi ini bisa diulang apabila diperlukan
d) Pemberian obat
Diphenhidramine 25-50 P.O
Hidroxyzine 10 mg P.O
2) Easy Bruishing
Kecenderungan perdarahan pada kulit dan selaput serosa
berhubungan denga retensi toksin asotemia dan gangguan
fungsi trombosit. Terapi yang diperlukan adalah tindakan
dialisis (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
d. Kelainan Neuromuskular
Terapi pilihannya (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
1) HD reguler.
2) Obat-obatan : Diasepam, sedatif.
3) Operasi sub total paratiroidektomi.

24
e. Hipertensi
Bentuk hipertensi pada klien dengan GG berupa : volum dependen
hipertensi, tipe vasokonstriksi atau kombinasi keduanya. Program
terapinya meliputi (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
1) Restriksi garam dapur.
2) Diuresis dan Ultrafiltrasi.
3) Obat-obat antihipertensi.

3. Terapi pengganti
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat
berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal
(Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
a. Dialisis yang meliputi:
1) Hemodialisa
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk
mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi
dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum
tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Secara
khusus, indikasi HD adalah (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
a. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK
dan GGA untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih.
b. Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan
hemodialisa apabila terdapat indikasi (Cahyaningsih, D.
Niken, 2011)
a) Hiperkalemia > 17 mg/lt
b) Asidosis metabolik dengan pH darah < 7.2
c) Kegagalan terapi konservatif
d) Kadar ureum > 200 mg % dan keadaan gawat pasien
uremia, asidosis metabolik berat, hiperkalemia,
perikarditis, efusi, edema paru ringan atau berat atau
kreatinin tinggi dalam darah dengan nilai kreatinin >
100 mg %

25
e) Kelebihan cairan
f) Mual dan muntah hebat
g) BUN > 100 mg/ dl (BUN = 2,14 x nilai ureum )
h) preparat (gagal ginjal dengan kasus bedah )
i) Sindrom kelebihan air
j) Intoksidasi obat jenis barbiturat
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut
dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi
absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/ neuropati azotemik,
bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif
dengan diuretik, hipertensi berat, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% atau > 40 mmol per liter
dan kreatinin > 10 mg% atau > 90 mmol perliter. Indikasi
elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat (Cahyaningsih, D. Niken,
2011)
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(PERNEFRI) (2003) secara ideal semua pasien dengan Laju
Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang
dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG
kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat
menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan
adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut
seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang,
dan nefropatik diabetic (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970
dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit
rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang
kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang
diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai
sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal
(Cahyaningsih, D. Niken, 2011)

26
2) Dialisis Peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan
di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak
dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang
telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien
yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien
dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan
residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik
disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik,
yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari
pusat ginjal (Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
b. Transplantasi ginjal atau cangkok ginjal.
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi
dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu
(Cahyaningsih, D. Niken, 2011)
a. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya
mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
b. Kualitas hidup normal kembali
c. Masa hidup (survival rate) lebih lama
d. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama
berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah
reaksi penolakan
e. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

27
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian KMB
Pengkajian pada penderita Gagal Ginjal Kronik (Colvy, Jack, 2010)
a) Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia
muda, dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria
(Colvy, Jack, 2010)
b) Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan
(anoreksi), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau
(ureum), gatal pada kulit (Colvy, Jack, 2010)
c) Riwayat penyakit
i. Sekarang: Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi
anafilaksis, renjatan kardiogenik (Colvy, Jack, 2010)
ii. Dahulu: Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih,
payah jantung, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik,
Benign Prostatic Hyperplasia, prostatektomi (Colvy, Jack, 2010)
iii. Keluarga: Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM)
(Colvy, Jack, 2010)
d) Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat
dan dalam (Kussmaul), dyspnea (Colvy, Jack, 2010)
e) Head To Toe (Colvy, Jack, 2010)
a. Kepala: Edema muka terutama daerah orbita, mulut bau khas
ureum, sakit kepala
b. Dada: Pernafasan cepat dan dalam, nyeri dada,nafas pendek, batuk
dengan/tanpa sputum, kental dan banyak, gangguan irama jantung,
edema, Disritmia jantung.
c. Perut: Adanya edema anasarka (ascites), Anoreksia, nausea,
vomiting, fektor uremicum, gastritis erosiva dan Diare
d. Ekstrimitas: Edema pada tungkai, spatisitas otot, piting pada kaki,
telapak tangan, pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan

28
perdarahan, Nyeri panggul, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat
malam hari), keterbatasan gerak sendi
e. Kulit: Sianosis, akaral dingin, turgor kulit menurun, Pruritus,
demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit,
defosit fosfat kalsium pda kulit
f. Kesadaran : Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent
sampai koma.
g. Genitalia : Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine
kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing. Penurunan frekuensi
urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut) abdomen kembung,
diare atau konstipasi, Perubahan warna urine, (pekat, merah,
coklat, berawan) oliguria atau anuria.

2.2.2 Pengkajian Kep. Komunitas


2.2.2.1 Data Demografi
Jumlah penderita penyakit ini sangat banyak dan
cenderung meningkat dari tahun ke tahun. World Health
Organization (WHO) merilis data pertumbuhan jumlah penderita
gagal ginjal kronik di dunia pada tahun 2013 meningkat sebesar
50% dari tahun sebelumnya dan di Amerika angka kejadian gagal
ginjal kronik meningkat sebesar 50% pada tahun 2014 dan setiap
tahun 200.000 orang Amerika menjalani hemodialisis (Widyastuti,
2014). Angka kejadian gagal ginjal di dunia secara global
lebih dari 500 juta orang dan yang harus menjalani hemodialis
sekitar 1,5 juta orang (Yuliana, 2015). Diperkirakan jumlah
penderita PGK di Indonesia sekitar 70.000 orang dan yang
menjalani hemodialisis 10.000 orang (Tandi, Mongan, & Manoppo,
2014).
2.2.2.2 Kesehatan Individu pada Klien dengan GGK
1) Lingkungan Fisik
Permasalahan yang biasa terjadi pada klien dengan
GGK salah satu diantaranya yaitu depresi. Kondisi GGK
biasanya dibarengi dengan tindakan Hemodialisa adalah

29
kondisi yang tidak nyaman. Kenyataan bahwa klien dengan
GGK tidak bisa lepas dari tindakan Hemodialisa sepanjang
hidupnya. Orang yang mengalami depresi sering tidak sadar
atau tidak tahu kalau dirinya menderita depresi. Mereka juga
sering merasa sudah tidak ada harapan atau bisa juga merasa
malu dan menganggap bahwa depresi bisa diatasi dengan
kemauan kuat dari dirinya tanpa pertolongan orang lain.
Padahal depresi jarang sembuh tanpa pengobatan,
bahkan sering menjadi lebih buruk. Salah satu cara menjaga
lingkungan fisik pada klien GGK dengan depresi yakni bantu
menciptakan lingkungan yang mendukung penyembuhan,
seperti lingkungan yang tenang dan tidak membuat stress.
2) Pendidikan dan Kesehatan
Tingkat pendidikan erat kaitannya dengan tingkat
kesehatan. Tingkat pendidikan juga merupakan faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan, dengan tingkat penidikan
yang tinggi maka akan semakin mudah untuk menerima
konsep hidup sehat secara mandiri, kreatif dan
berkesinambungan.
Kualitas hidup pasien GGK termasuk dalam kategori
baik, hal ini salah satunya dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan klien yang baik. Tingkat pengetahuan ini juga
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan sumber informasi
yang cukup banyak yang diperoleh secara kontinyu, sehingga
dapat meningkatkan pengetahuan pasien. Sumber informasi
yang diperoleh berasal dari petugas kesehatan. Tingkat
pengetahuan mempengaruhi kualitas hidup pasien terutama
pada kesehatan psikologis.
3) Politik Pemerintahan
Pemerintah daerah jarang melakukan penyuluhan atau
penyebaran informasi terkait penyakit GGK ini, dikarenakan
angka kejadian masih rendah dibandingkan dengan angka

30
kejadian penyakit kronik lain seperti DM, Hipertensi, dan
Stroke.
4) Sosial Ekonomi
Hal lain yang tak kalah pentingnya untuk kita
identifikasikan di sini adalah keadaan sosial-ekonomi
masyarakat sebab kedua hal inilah yang sesungguhnya penting
dalam pencegahan sampai kejadian suatu penyakit sebab dapat
mencerminkan tingkat pendidikan, pengetahuan, bahkan
kesadaran soal pentingnya kesehatan, utamanya di Indonesia
sebagai negara berkembang. Pengetahuan tentang kesehatan
sendiri dapat kita definisikan sebagai kemampuan untuk
memperoleh, memproses, dan memahami informasi kesehatan
dasar dan layanan yang diperlukan untuk membuat keputusan
kesehatan yang tepat, meliputi kemampuan untuk memahami
petunjuk pada botol obat resep, slip janji, brosur pendidikan
medis, arah dokter dan formulir persetujuan, dan kemampuan
untuk bernegosiasi sistem perawatan kesehatan yang
kompleks.
Kenyataan di Indonesia, meskipun dalam catatan
Badan pusat Statistik pendapatan perkapita Indonesia pada
2010 mencapai US$3.004,9 atau Rp27 juta, namun di lain
pihak catatn Badan Pusat Statistik menunjukkan angka
kemiskinan di Indonesiadi tahun 2010 masih sebesar 31,02
juta (13,33%).
Hasil pengamatan di lapangan menununjukkan PGK
juga diderita masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah
bahkan tingkat atas. Pendidikan dan tingkat penghasilan
rendah jelas bukan penyebabnya. Ironisnya, dalam beberapa
kasus ditemukan eksekutif bahkan tenaga medis harus
menjalani terapi farmakologis hingga hemodialisa.
5) Komunikasi
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70
th), usia muda. Komunikasi memang membutuhkan beberapa

31
kemampuan dan kesabaran yang lebih dibandingkan jika
melakukan komunikasi pada personal yang masih dalam usia
produktif. Banyak hambatan-hambatan komunikasi yang
terjadi dalam melakukan komunikasi. Contohnya seperti,
ketidakjelasan informasi, kesalahpahaman, dll. Contoh
hambatan komunikasi pada lansia yakni kondisi fisiologi dan
psikologis yang sudah menurun.
6) Rekreasi
Kondisi GGK biasanya dibarengi dengan tindakan
Hemodialisa adalah kondisi yang tidak nyaman. Kenyataan
bahwa klien dengan GGK tidak bisa lepas dari tindakan
Hemodialisa sepanjang hidupnya. seseorang yang mengalami
depresi sering tidak sadar atau tidak tahu kalau dirinya
menderita depresi. Mereka juga sering merasa sudah tidak ada
harapan atau bisa juga merasa malu dan menganggap bahwa
depresi bisa diatasi dengan kemauan kuat dari dirinya tanpa
pertolongan orang lain. Ditambah lagi dengan keadaan klien
yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk hemodialisa
dirumah sakit atau istirahat total didalam kamar dengan
menghindari interaksi sosial baik dari keluarga maupun warga
masyarakat.

2.2.3 Diagnosa Keperawatan


2.2.3.1 Diagnosa KMB yang Muncul
1. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran kapiler-
alveolar
2. Penurunan cardiac output b.d perubahan preload, afterload dan
sepsis
3. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic,
pneumonitis, perikarditis
4. Kelebihan volume cairan b.d mekanisme pengaturan melemah
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
intake makanan yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).

32
6. Intoleransi aktivitas b.d keletihan/kelemahan, anemia, retensi
produk sampah dan prosedur dialysis.
2.2.3.2 Diagnosa Kep. Komunitas yang Muncul
1. Tingginya angka kejadian GGK, berhubungan dengan
prevalensi kejadian GGK yang meningkat di setiap tahunnya,
dimanifestasikan oleh jumlah penderita PGK di Indonesia
sekitar 70.000 orang dan yang menjalani hemodialisis 10.000
orang.
2. Rendahnya tingkat pengetahuan warga tentang kesehatan,
berhubungan dengan tingginya angka kejadian GGK
dimanifestasikan Pemerintah daerah jarang melakukan
penyuluhan atau penyebaran informasi terkait penyakit GGK
ini, dikarenakan angka kejadian masih rendah dibandingkan
dengan angka kejadian penyakit kronik lain seperti DM,
Hipertensi, dan Stroke.

2.2.4 Intervensi Keperawatan


Perencanaan merupakan tindakan pencegahan primer, sekunder,
tersier yang cocok dengan kondisi klien (keluarga, masyarakat) yang
sesuai dengan diagnosa yang telah ditetapkan. Proses didalam tahap
perencanaan ini meliputi penyusunan, pengurutan masalah berdasarkan
diagnosa komunitas sesuai dengan prioritas (penapisan masalah),
penetapan tujuan dan sasaran, menetapkan strategi intervensi dan rencana
evaluasi.

2.2.5 Implementasi
(Anderson dan Mcfarlene, 1985), yaitu:
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah pencegahan sebelum sakit atau disfungsi
dan diaplikasikan ke populasi sehat pada umumnya, mencakup
pada kegiatan kesehatan secara umum dan perlindungan khusus
terhadap suatu penyakit. Misalnya, kegiatan penyuluhan gizi,
dan bimbingan dini dalam kesehatan keluarga penyandang GGK.
2. Pencegahan sekunder
33
Pencegahan sekunder adalah kegiatan yang dilakukan pada saat
terjadinya perubahan derajat kesehatan masyarakat dan ditemukannya
masalah kesehatan. Pencegahan sekunder ini menekankan
pada diagnosa dini dan inervensi yang tepat untuk menghambat proses
penyakit atau kelainan sehingga memperpendek waktu sakit dan
tingkat keparahan. Misalnya mengkaji dan memberi intervensi segera
terhadap penyandang GGK.
3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier adalah kegiatan yang menekankan pada
pengembalian individu pada tingkat fungsinya secara optimal dari
ketidakmampuan keluarga. Pencegahan ini dimulai ketika terjadinya
kecacatan atau ketidakmampuan yang menetap bertujuan untuk
mengembalikan ke fungsi semula dan menghambat proses penyakit.
Seperti, mengkonsumsi air putih secara teratur setelah Hemodialisa
atau Transplantasi ginjal agar ginjal mampu berfungsi sebagaimana
mestinya.

2.2.6 Evaluasi
Evaluasi perbandingan antara status kesehatan klien dengan hasil
yang diharapkan. Evaluasi terdiri dari tiga yaitu evaluasi struktur, evaluasi
proses dan evaluasi hasil. Tugas dari evaluator adalah melakukan evaluasi,
menginterpretasi data sesuai dengan kriteria evaluasi, menggunakan
penemuan dari evaluasi untuk membuat keputusan dalam memberikan
asuhan keperawatan.

34
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat
persisten dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal yaitu penurunan
laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan dalam kategori ringan, sedang
dan berat (Rab, T, 2008)
Faktor risiko ESRD di Australia dibagi menjadi empat kelompok yaitu:
(1) factor lingkungan-sosial yang meliputi status sosial ekonomi, lingkungan fisik
dan ketersediaan lembaga pelayanan kesehatan, 2) faktor risiko biomedik,
meliputi antaralain diabetes, hipertensi, obesitas, sindroma metabolisma,
infeksis aluran kencing, batu ginjal dan batu saluran kencing, glomerulonefritis,
infeksistreptokokus dan keracunan obat; 3) factor risiko perilaku, meliputi antara
lain merokok atau pengguna tembakau, kurang gerak dan olahraga serta
kekurangan makanan dan 4) faktor predisposisi, meliputi antara lain umur, jenis
kelamin, rasa tauetnis, riwayat keluargadan genetik (Rab, T, 2008)

3.2 SARAN
1. Bagi penyusun, agar lebih giat lagi dalam mencari referensi-referensi dari
sumber rujukan, karena dengan semakin banyak sumber yang di dapat
semakin baik makalah yang dapat disusun.
2. Bagi Institusi, agar dapat menyediakan sumber-sumber bacaan baru, sehingga
dapat mendukung proses belajar mengajar.
3. Bagi pembaca, agar dapat memberikan masukan yang bersifat membangun
demi kesempurnaan penyusunan makalah ini.

35

Вам также может понравиться