Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Disusun Oleh :
Disusun oleh :
Kelompok : A9
Pogram Studi : Profesi Ners
Menyetujui
A. Latar Belakang
Ikterus adalah perubahan warna kulit dan sklera menjadi kuning akibat
peningkatan kadar bilirubin dalam darah Pada neonatus, ikteris dapat bersifat
fisiologis maupun patologis. Ikterus fisiologis tampak kira-kira 48 jam setelah
kelahiran, dan biasanya menetap dalam 10- 12 hari (Myles, 2009). Ikterus
neonatorum merupakan masalah yang sering dijumpai pada perawatan bayi baru
lahir normal, khususnya di Asia, yaitu munculnya warna kuning pada kulit dan
sklera karena terjadinya hiperbilirubinemia sampai bayi usia 72 – 120 jam dan akan
kembali normal setelah 7 – 10 hari. (Lin, Tsao, Hsieh, Chen, & Chou, 2008),
(Pediatrics, 2004), (Smithermen, Stark, & Bhutani, 2006) dalam (Nursanti, 2011).
Ikterus neonatorum berkaitan erat dengan kelahiran bayi prematur dan bayi berat
badan lahir rendah, hal ini dikarenakan oleh organ tubuh bayi prematur dan berat
badan lahir rendah yang masih lemah, serta belum matangnya fungsi hati bayi
untuk memproses eritrosit (sel darah merah), sehingga terjadi penumpukan
bilirubin yang berlebih (Zabeen,2013).
Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2006
Angka Kematian Bayi (AKB) 49/1.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2012
sebesar 35/1.000 kelahiran hidup. Di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat,
dari 4 juta neonatus yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% menderita ikterus
dalam minggu pertama kehidupannya (Suriadi, 2010). Menurut data dari hasil
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun, 2012, Angka Kematian Bayi
(AKB) mencapai 32 per 1.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Neonatus
(AKN) adalah sebesar 19 per 1.000 kelahiran (Depkes,2014)
Menurut Riskesdas 2010, penyebab kematian bayi baru lahir 0-8 hari di
Indonesia adalah gangguan pernafasan (36,9%), prematuritas (32,4%), sepsis
(12%), hipotermi (6,8%), ikterus (6,6%) dan lain lain. Penyebab kematian bayi 7-
28 hari adalah sepsis 20,5%, kelainan kongenital 18,1%, pneumonia 15,4%,
prematuritas dan BBLR 12,8%. Untuk angka kejadian ikterus bayi di Indonesia
sekitar 50% bayi cukup bulan yang mengalami perubahan warna kulit, mukosa dan
mata menjadi kekuningan (ikterus), dan pada bayi kurang bulan (premature)
kejadiannya lebih sering, yaitu 75% (Depkes RI, 2012).
Ikterus adalah suatu kegawatan yang sering terjadi pada bayi baru lahir,
sebanyak 25%-50% pada bayi cukup bulan dan 80% pada bayi lahir rendah (Dewi,
2012) Sampai saat ini ikterus masih merupakan masalah pada neonatus yang sering
dihadapi tenaga kesehatan terjadi pada sekitar 25-50% neonatus cukup bulan dan
lebih tinggi pada neonatus kurang bulan. Oleh sebab itu memeriksa ikterus pada
neonatus harus dilakukan pada waktu melakukan kunjungan neonatal/ pada saat
memeriksa bayi diklinik (Depkes RI. 2006). Walaupun ikterus merupakan hal yang
lazim terjadi pada bayi baru lahir namun perlu diwaspadai karena jika tidak
ditangani dan berlanjut dengan kadar bilirubin indirek yang terlalu tinggi maka
dapat merusak sel-sel otak (Kern Ikterus). Kern Ikterus ditandai dengan kadar
bilirubin darah (>20 mg % pada bayi cukup bulan atau >18 mg % pada bayi berat
lahir rendah) disertai dengan gejala, mata berputar, latergi, kejang, tak mau mengisap,
tonus otot meningkat, leher kaku, epistotonus, dan sianosis, serta dapat juga diikuti
dengan ketulian, gangguan berbicara, dan retardasi mental di kemudian hari (Dewi,
2012).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan banyaknya kasus dan pentingnya penanganan penyakit Ikterik,
rumusan masalahnya adalah “ Bagaimana asuhan keperawatan pada bayi dengan
ikterik ?”
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu mengetahui dan menerapkan asuhan keperawatan pada pasien
dengan ikterik sesuai standar keperawatan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengkajian pada pasien dengan ikterik beserta keluarganya.
b. Mampu menganalisa data pada pasien dengan ikterik.
c. Mampu menentukan diagnosa keperawatan pada pasien ikterik.
d. Mampu mengetahui penyusunan perencanaan keperawatan pada pasien
ikterik.
e. Mampu melaksanakan implementasi pada pasien dengan ikterik.
f. Mengetahui evaluasi pada pasien dengan ikterik.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Ikterik
1. Definisi
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin indirek yang
berlebih (Xiaong dkk, 2011). Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan
kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan
berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90 (Blackburn, 2007). Pada
orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2 mg/dl
(>17µmol/L) sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin
>5mg/dl (86µmol/L) (Mishra dkk, 2007). Ikterus lebih mengacu pada gambaran
klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih
mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total (Abdellatief dkk, 2012).
2. Etiologi
Penyebab ikterik pada neonatus dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, secara garis besar etioologi ikterik neonatus (PPNI,
2017):
a. Penurunan Berat Badan abnormal (7-8% pada bayi baru lahir yang
menyusui ASI, >15% pada bayi cukup bulan)
b. Pola makan tidak ditetapkan dengan baik
c. Kesulitan transisi ke kehidupan ekstra uterin
d. Usia kurang dari 7 hari
e. Keterlambatan pengeluaran feses (meconium)
3. Patofisiologi
Ikterus pada neonatus disebabkan oleh stadium maturase fungsional
(fisiologis) atau manifestasi dari suatu penyakit (patologik). 75% dari bilirubin
yang ada pada neonatus berasal dari penghancuran hemoglobin dan dari
myoglobin sitokorm, katalase dan triptofan pirolase. Satu gram hemoglobin
yang hancur akan menghasilkan 35 mg bilirubin. Bayi cukup bulan akan
menghancurkan eritrosit sebanyak 1 gram /hari dalam bentuk bentuk bilirubin
indirek yang terikat dengan albumin bebas (1 gram albumin akan mengikat 16
mg Bilirubin). Bilirubin indirek dalam lemak dan bila sawar otak terbuka,
bilirubin akan masuk ke dalam otak dan terjadi Kern Ikterus. Yang
memudahkan terjadinya hal tersebut adalah imaturitas, asfiksia/ hipoksia,
trauma lahir, BBLR (kurang dari 2000 g), infeksi , hipoglikemia, hiperkarbia,
dan lain- lain. Di dalam hepar bilirubin akan diikat oleh enzim glucuronil
transverase menjadi bilirubin direk yang larut dalam air, kemudian diekskresi
ke system empedu selanjutnya masuk ke dalam usus dan menjadi sterkobilin.
Sebagian diserap kembali dan keluar melalui urine urobilinogen. Pada
Neonatus bilirubin direk dapat diubah menjadi bilirubin indirek di dalam usus
karena disini terdapat beta-glukoronidase yang berperan penting terhadap
perubahan tersebut. Bilirubin indirek ini diserap kembali ke hati yang disebut
siklus intrahepatik (Mendri, 2017).
4. Klasifikasi
Terdapat dua jenis ikterus, Klasifikasi Menurut (Ridha, 2014):
a. Ikterik fisiologis
Ikterik fisiologis yaitu warna kuning yang timbul pada hari kedua atau
ketiga dan tampak jelas pada hari kelima sampai keenam dan menghilang
sampai hari kesepuluh. Ikterik fisiologis tidak mempunyai dasar patologis
potensi kern icterus. Bayi tampak biasa, minum baik, berat badan naik
biasa, kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 12 mg/dl
dan pada BBLR 10 mg/dl, dan akan hilang pada hari keempat belas,
kecepatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% perhari.
b. Ikterik patologis
Ikterik ini mempunyai dasar patologis, ikterik timbul dalam 24 jam pertama
kehidupan: serum total lebih dari 12 mg/dl. Terjadi peningkatan kadar
bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam. Konsentrasi bilirubin serum
serum melebihi 10 mg% pada bayi kurang bulan (BBLR) dan 12,5
mg%pada bayi cukup bulan, ikterik yang disertai dengan proses hemolisis
(inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G-6-PD dan sepsis). Bilirubin
direk lebih dari 1 mg/dl atau kenaikan bilirubin serum 1 mg/dl per-jam atau
lebih 5 mg/dl perhari. Ikterik menetap sesudah bayi umur 10 hari (bayi
cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada bayi baru lahir BBLR. Beberapa
keadaan yang menimbulkan ikterik patologis:
1) Penyakit hemolitik, isoantibody karena ketidak cocokan golongan
darah ibu dan anak seperti rhesus antagonis, ABO dan sebagainya.
2) Kelainan dalam sel darah merah pada defisiensi G-PD (Glukosa-6
Phostat Dehidrokiknase), talesemia dan lain-lain.
3) Hemolisis: Hematoma, polisitemia, perdarahan karena trauma lahir.
4) Infeksi: Septisemia, meningitis, infeksi saluran kemih, penyakit karena
toksoplasmosis, sifilis, rubella, hepatitis dan sebagainya.
5) Kelainan metabolik: hipoglikemia, galaktosemia.
6) Obat- obatan yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin
seperti solfonamida, salisilat, sodium benzoate, gentamisin, dan
sebagainya.
7) Pirau enterohepatic yang meninggi: obstruksi usus letak tinggi, penyakit
hiscprung, stenosis, pilorik, meconium ileus dan sebagainya.
5. Manifestasi klinis
Dikatakan Hiperbilirubinemia apabila ada tanda-tanda sebagai berikut (Ridha,
2014):
a. Warna kuning yang dapat terlihat pada sklera, selaput lender, kulit atau
organ lain akibat penumpukan bilirubin
b. Ikterik terjadi pada 24 jam pertama
c. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam.
d. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg% pada neonatus cukup bulan, dan 12,5
mg% pada neonatus kurang bulan.
e. Ikterik yang disertai proses hemolisis.
f. Ikterik yang disertai dengan berat badan lahir kurang 2000 gr, masa esfasi
kurang 36 mg, defikasi, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi
trauma lahir kepala, hipoglikemia, hiperkarbia.
6. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis pada ikterik neonatus menurut (Marmi, 2015):
a. Mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin; 1) Menyusui bayi
denga ASI, bilirubin dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan
urine, untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti yang diketahui
ASI memiliki zat zat terbaik yang dapat memperlancar BAB dan BAK, 2)
Pemberian fenobarbital, fenobarbital berfungsi untuk mengadakan induksi
enzim mikrosoma, sehingga konjungsi bilirubin berlangsung dengan cepat.
b. Fototerapi. Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin dari suatu senyawa
tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah
larut dalam air, dan dikeluarkan melalui urine, tinja, sehingga kadar
bilirubin menurun.
1) Cara kerja fototerapi fototerapi dapat menimbulkan dekomposisi
bilirubin dari suatu senyawa tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi
senyawa dipirol yang mudah larut dalam air dan cairan empedu
duodenum dan menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu
kedalam usus sehingga peristaltic usus menngkat dan bilirubin akan
keluar dalam feses.
2) Komplikasi fototerapi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada fototerapi adalah:
(a) Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan
peningkatan Insensible Water Loss (penguapan cairan). Pada BBLR
kehilangan cairan dapat meningkat 2-3 kali lebih besar.
(b) Frekuensi defekasi meningkat sebagai akibat meningkatnya bilirubin
indirek dalam cairan empedu dan meningkatkan peristaltic usus.
(c) Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar
(berupa kulit kemerahan) tetapi akan hilang jika fototerapi selesai.
(d) Gangguan pada retina jika mata tidak ditutup.
(e) Kenaikan suhu akibat sinar lampu, jika hal ini terjadi sebagian
lampu dimatikan, tetapi diteruskan dan jika suhu terus naik, lampu
semua dimatikan sementara, dan berikan ekstra minum kepada bayi.
c. Transfusi tukar
Transfuse tukar dilakukan pada keadaan hyperbilirubinemia yang tidak
dapat diatasi dengan tindakan lain, misalnya telah diberikan fototerapi kadar
bilirubin tetap tinggi. Pada umumnya transfuse tukar dilakukan pada ikterus
yang disebabkan hemolisis yang terdapat pada ketidakselarasan rhesus
ABO, defisiensi enzim glukuronil transferase G-6-PD, infeksi
toksoplasmosis dan sebagainya. Indikasi untuk melakukan transfusi tukar
adalah kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg%, peningkatan kadar
bilirubin indirek cepat yaitu 0,3-1 mg% per-jam, anemia berat pada
neunatus dengan gejala gagal jantung, bayi dengan kadar hemoglobin tali
pusat kurang dari 14 mg% dan uji comb positif. Tujuan transfuse tukar
adalah mengganti ertitrosit yang dapat menjadi hemolisis, membuang
antibody yang menyebabkan hemolisis, menurunkan kadar bilirubin indirek
dan memperbaiki anemia.
7. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada ikterik neonatus adalah
(Huda, 2015) :
a. Kadar bilirubin serum (total).
Kadar bilirubin serum direk dianjurkan untuk diperiksa, bila dijumpai bayi
kuning dengan usia kurang lebih dari 10 hari dan tau dicurigai adanya suatu
kolestatis.
b. Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat
morfologi eritrosit dan hitumg retikulosit
c. Penentuan golongan darah dan factor Rh dari ibu dan bayi. Bayi yang
berasal dari ibu dengan Rh negative harus dilakukan pemeriksaan golongan
darah, faktor Rh uji coombs pada saat bayi dilahirkan, kadar hemoglobin
dan bilirubin tali pusat juga diperiksa (Normal bila Hb >14mg/dl dan
bilirubin Tali Pusat , < 4 mg/dl ).
d. Pemeriksaan enzim G-6-PD (glukuronil transferase).
e. Pada Ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati (dapat dilanjutkan dengan
USG hati, sintigrafi system hepatobiliary, uji fungsi tiroid, uji urine
terhadap galaktosemia.
f. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, dan
pemeriksaan C reaktif protein (CRP).
8. Pathway
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA By. Ny. D DENGAN DX. MEDIS
IKTERIK NEONATORUM
I. DATA IDENTITAS
B. Diagnose keperawatan
1. Hiperbilirubinemia berhubungan dengan keterlambatan pengeluaran mekonium
2. Hipotermi berhubungan dengan transfer panas konveksi berlebihan.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan defisiensi pertahanan tubuh dan Prosedur
invasif
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasionalisasi
Hiperbilirubin Setelah dilakukan Fototerapi: neonatus 1. Agar mengetahui
emia Neonatus tindakan keperawatan (6924): setiap
selama 3 x 24 jam 1. Observasi tanda- perkembangannya
diharapkan tanda warna 2. Untuk mengetahui
hiperbilirubinemia kuning sudah mulai
neonatal teratasi 2. Periksa kadar membaik atau
dengan kriteria : serum bilirubin belum
Adaptasi bayi baru sesuai kebutuhan 3. Untuk menghindari
lahir (0118) 3. Tutupi kedua mata mata bayi dari
1. Skor APGAR 5 bayi, hindari paparan sinar foto
2. Warna kulit 4 penekanan yang terapi
3. Mata bersih 4 berlebih 4. Supaya bayi
4. Hasil laborat 4. Buka penutup mata mengenali ibunya
bilirubin dalam bayi setiap 4 jam 5. Untuk mengontrol
batas normal 4 atau ketika lampu keadaan mata bayi
Total : < 10-12 dimatikan untuk 6. Agar bayi tidak
mg/dl dilakukan kontak merasa telalu
Direk/Indirek : bayi dengan kepanasan karena
<1mg/dl orangtua sinar foto terapi
5. Bayi aktif 5 5. Monitor edema 7. Untuk mengetahui
6. Termoregulasi 5 pada mata, menyala dengan
drainase dan warna benar
6. Tempatkan 8. Untuk mengetahui
fototerapi dengan perkembangan
tinggi yang sesuai bilirubin bayi
7. Cek intensitas 9. Untuk mencegah
lampu setiap hari bayi dari dehidrasi
8. Monitor kadar 10. Supaya bayi
serum bilirubin terpenuhi kebutuhan
sesuai permintaan nutrisi dan
dokter cairannya
9. Observasi tanda- 11. Supaya keluarga
tanda dehidrasi mengetahui manfaat
10. Dorong dalam dari foto terapi yang
pemberian ASI dilakukan
11. Edukasi keluarga
mengenai
fototerapi yang
dilakukan
Hipotermi Setelah dilakukan Perawatan
tindakan keperawatan Hipotermia (3800)
3 x 24 jam, 1. Monitor suhu, 1. Untuk mengetahui
diharapkan hipotermi menggunakan alat suhu tubuh secara
teratasi dengan pengukur dan rute continue dan hasil
Kriteria hasil yang tepat suhu yang akurat
Termoregulasi 2. Bebaskan pasien 2. Memberikan
neonatus (0801): dari lingkungan kehangatan pada
1. Hipotermia skala yang dingin tubuh
4 3. Bebaskan pasien 3. Agar tubuh tidak
2. Kegelisahan skala dari pakaian yang menyerap dingin
4 dingin dan basah yang berlebih
3. Perubahan warna 4. Tempatkan pasien 4. Agar termoregulasi
kulit skala 3 pada posisi panas dapat
4. Nafas tidak supine/terlentang menyebar
teratur skala 3 5. Berikan pemanas keseluruh tubuh
eksternal aktif 5. Meningkatkan suhu
(fototerapi) tubuh dalam
6. Dorong rentang normal
pemenuhan cairan 6. Menghindari
(ASI) dehidrasi
7. Monitor adanya 7. Menghindari panas
komplikasi yang berlebih dan
berhubungan dehidrasi
dengan pemanasan 8. Untuk mengetahui
eksternal kondisi sianosis
8. Monitor warna dan dan hipotermi
suhu kulit
Risiko Infeksi Setelah dilakukan Kontrol Infeksi 1. Agar ruangan sesuai
tindakan keperawatan (6541) dengan kebutuhan
3 x 24 jam, 1. Alokasikan 2. Agar pasien merasa
diharapkan infeksi kesesuaian luas nyaman
tidak terjadi dengan ruang per pasien, 3. Untuk mencegah
Kriteria hasil : seperti yang terjadinya infeksi
Status Imunitas diindikasikan oleh 4. Untuk mengajarkan
(0702) : pedoman pusat cara cuci tangan
1. Fungsi pengendalian dan yang benar
respirasi skala pencegahan 5. Untuk menutupi
4 penyakit (centers tubuh
2. Integritas kulit for disease control 6. Agar pasien bisa
skala 5 and prevention istirahat dengan
3. Integritas /CDC) sepenuhnya
mukosa skala 2. Bersihkan 7. Agar daya tahan
5 lingkungan dengan tubuh bayi lebih
4. Imunitas saat baik setelah tebal
ini skala 4 digunakan untuk 8. Agar cepat sembuh
5. Antibody yang pasien dan tidak terjadi
sesuai skala 5 3. Ganti peralatan infeksi
6. Leukosit perawatan per 9. Agar keluarga dapat
dalam batas pasien sesuai mengetahui cara
normal skala 5 protokol institusi menghindari infeksi
4. Cuci tangan 10. Untuk dapat
sebelum dan mengindari tanda
sesudah kontak dan gejala infeksi
dengan pasien 11. Untuk menambah
5. Batasi jumlah pengetahuan
pengunjung mengenai cara
6. Berikan imunisasi mempersiapan dan
yang sesuai mengawetan
7. Ajarkan keluarga makanan dan
cara bagaimana minuman yang
menghindari aman (Penyimpanan
infeksi ASI)
8. Ajarkan keluarga 12. Mempercepat
mengenai tanda penyembuhan
dan gejala infeksi infeksi
dan kapan harus
melaporkan kepada
perawatan
kesehatan
9. Promosikan
persiapan dan
pengawetan
makanan dan
minuman yang
aman
(Penyimpanan
ASI)
Tanda tangan
Akademi Kebidanan Sari Mulia. 2015. Panduan Karya Tulis Ilmiah (KTI).
Banjarmasin: Akademi Kebidanan Sari Mulia.
Depkes RI. 2009. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Badan pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
Dewi, V.N.L. 2012 . Dasar – dasar ilmu pendidikan. Jakarta : Rajawali pers
Kazemaian, M. et all (2001). Study Of Knowledge, Attitude and Practice Of
Mothers About Jaundice Of Neonate. Journal Of Guilan University Of
Medical Sciences Kemenkes, RI. (2010).
Riset Kesehatan Dasar 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementrian Kesehatan RI. Diakses 10 Desember 2010 dari
http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/gr een/dataIdentifier.jsp?id=20298098
Marmi. 2012. Asuhan neonates Bayi, Balita dan Anak Prasekolah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Maslow, Abraham. (2008). Motivasi dan
Kepribadian. Jakarta : Midas Surya Grafindo
Notoatmodjo, Soekidjo 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Sarwono. 2006. Metodologi Penelitian Kesehatan.Yogyakarta : Mitra Cendekia
Surasmi, Asrining. 2013.Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: Buku Kedokteran
ECG.
Varney, Hellen. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Volume 2. Jakarta : EGC
Wawan, A dan Dewi M. 2011. Teori dan Pengukuran Penetahuan Sikap Dan
Perilaku Manusia. Yogyakarta : Nuha Medika
Wiknjosastro, 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo