Вы находитесь на странице: 1из 18

BAB I

PENDAHULUAN

Pada masyarakat yang terdiagnosis dakriosistitis mengeluhkan keluarnya air mata terus
menerus (epifora), nyeri pada daerah kantung air mata, bengkak kemerahan pada kantus medialis
yang dapat disertai nyeri, mata terasa seperti berpasir, terasa gatal, kemerahan pada kelopak mata
dan disertai demam sehingga, dapat mengakibatkan gangguan aktivitas dan pekerjaan sehari-hari.
(17)
Apabila diabaikan, dapat terjadi perjalanan yang kronis dan disertai komplikasi yang dapat
meningkatkan angka mobiditas dan mortalitas.

Penyakit ini dialami lebih sering pada wanita daripada pria dengan kasus sebanyak 80%
dan paling sering di atas 40 tahun dengan puncak insidensi pada usia 60 hingga 70 tahun. Pada
wanita karier hal ini bisa terjadi, meski jarang dijumpai. Pada bayi baru lahir, kasusnya kurang
dari 1% dan jumlahnya hampir sama antara laki-laki dan perempuan. Penyakit ini jarang
ditemukan pada orang dewasa usia pertengahan kecuali bila didahului dengan infeksi jamur.
Apabila penyakit ini diabaikan dapat menimbulkan komplikasi yang berakibat fatal. Menariknya,
dakriosistitis lebih sering dijumpai pada orang berkepala pendek daripada yang berkepala pajang
atau normal. Hal ini karena kepala pendek memiliki saluran air mata yang lebih panjang dan
rongga air mata yang lebih sempit. Kejadian dakriosistitis tidak jauh berbeda ketika dibandingkan
dengan America, setiap kelahiran 3884 anak terdapat 1 anak yang mengalami penyakit ini.
Mortalitas dan morbiditas insidens dakriosistitis dapat berakibat fatal jika tidak ditangani dengan
baik.(16)

Cara mudah dalam menangani penyakit ini berbeda pada anak dan dewasa. Pada anak,
dilakukan pijat kantong air mata ke pangkal hidung dalam keadaan tidak radang. Bila perlu dapat
diberikan tetes mata antibiotik sesuai anjuran. Pada orang dewasa, dapat dilakukan dengan
mengkompres air hangat sesering mungkin. Penyebab terseing terjadinya dakriosistitis pada
orang dewasa adalah infeksi bakteri aerob (Staphylococcus epidermidis, Streptococcus sp) dan
bakteri anaerob (Peptostrptococcus spp., Propionibacterium spp.,) dan pada anak-anak dengan
kejadian yang akut paling sering disebabkan oleh Haemophylus influenzae. Maka dapat diberi
antibiotika topikal maupun sistemik sesuai dengan hasil kultur dan tes kepekaan antibiotika.
Penyebab yang dapat mengakibatkan penyakit ini antara lain, terdapat benda yang menutupi

P a g e 1 | 18
lumen ductus (seperti pengendapan kalsium atau koloni jamur yang mengelilingi suatu korpus
alienum), terjadi striktur atau kongesti pada dinding ductus, fraktur atau adanya tumor pada sinus
maksilaris dan obstruksi. Apabila pengobatan tersebut tidak berhasil dan berlangsung kronis,
merupakan indikasi dilakukan operasi yang disebut dacryocystorhinostomy bila keadaan radang
sudah tenang. (15)

Penulis merasa perlu untuk mendalami penyakit ini karena insidens yang cukup banyak di
Asia yang dialami oleh sebagian besar usia lanjut sehingga penting untuk mengetahui tentang
dakriosistitis, jenis-jenis dakriosistitis, penyebab, gejala klinis yang muncul, cara penegakkan
diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis dari dakriosistitis.

P a g e 2 | 18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Lakrimalis

Apparatus Lakrimalis
Sistem lakrimalis mencakup struktur-struktur yang terlibat dalam produksi dan drainase air mata,
apparatus lakrimalis terdiri dari 2 bagian: (18)
1) Komponen sekresi, yang terdiri atas kelenjar yang menghasilkan berbagai unsur
pembentuk cairan air mata, yang disebarkan di atas permukaan mata oleh kedipan mata.
2) Komponen ekskresi, yang mengalirkan sekret ke dalam hidung, terdiri dari kanalikuli,
sakus lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis.

Gambar 1. Kelenjar Lakrimalis dan Sistem Drainase


Sumber: Clinical Anatomy, A Revision and Applied Anatomy for Clinical Students Eleventh
Edition

P a g e 3 | 18
Kelenjar lakrimalis terletak pada bagian lateral atas mata yang disebut dengan fossa
lakrimalis. Bagian utama kelenjar ini bentuk dan ukuranya mirip dengan biji almond, yang
terhubung dengan suatu penonjolan kecil yang meluas hingga ke bagian posterior dari palpebra
superior. Dari kelenjar ini, air mata diproduksi dan kemudian dialirkan melalui 8-12 duktus kecil
yang mengarah ke bagian lateral dari fornix konjungtiva superior dan di sini air mata akan
disebar ke seluruh permukaan bola mata oleh kedipan kelopak mata.5

Selanjutnya, air mata akan dialirkan ke dua kanalis lakrimalis, superior dan inferior,
kemudian menuju ke punctum lakrimalis yang terlihat sebagai penonjolan kecil pada kantus
medial. Setelah itu, air mata akan mengalir ke dalam sakus lakrimalis yang terlihat sebagai
cekungan kecil pada permukaan orbita. Dari sini, air mata akan mengalir ke duktus
nasolakrimalis dan bermuara pada meatus nasal bagian inferior. Dalam keadaan normal, duktus
ini memiliki panjang sekitar 12 mm dan berada pada sebuah saluran pada dinding medial orbita.5

Gambar 4: Fisiologi Sistem Drainase Lakrimal (Sumber: Kanski Clinical Ophthalmology)

2.2 Definisi

Dakriosistitis adalah peradangan pada sakus lakrimalis akibat adanya obstruksi pada
duktus nasolakrimalis. Obstruksi pada anak-anak biasanya akibat tidak terbukanya membran
nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa akibat adanya penekanan pada salurannya, misal
adanya polip hidung.(6)

2.3 Klasifikasi
P a g e 4 | 18
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, dakriosistitis dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis,
yaitu(5) :

a. Akut

Pasien dapat menunjukkan morbiditasnya yang berat namun jarang menimbulkan


kematian. Morbiditas yang terjadi berhubungan dengan abses pada sakus lakrimalis dan
penyebaran infeksinya.

b. Kronis

Morbiditas utamanya berhubungan dengan lakrimasi kronis yang berlebihan dan


terjadinya infeksi dan peradangan pada konjungtiva.

c. Kongenital

Merupakan penyakit yang sangat serius sebab morbiditas dan mortalitasnya juga sangat
tinggi. Jika tidak ditangani secara adekuat, dapat menimbulkan selulitis orbita, meningitis,
abses otak, sepsis, hingga kematian. Apabila terjadi selulitis orbita, infeksi dapat menyebar ke
vena oftalmika superior dan vena oftalmika inferior karena tidak memiliki katup. Vena
oftalmika superior mulai dari sudut sebelah dalam dari orbita berada pada bagian dalam dari
venayang dinamakan naso frontal yang berhubungan dengan anterior dengan vena angular,
bagian ini mengikuti posisi yang sama seperti arteri oftalmika, dan menerima anak-anak
cabang dari cabang dari pembuluh darah yang membentuk sebuah rangkaian tunggal yang
pendek. Bagian ini lewat antara dua ujung dari m. rektus superior dan m. obliquus superior dan
melewati bagian medial dari fissure orbitalis superior dan berakhir pada sinus kavernosus.(20)

Vena oftalmika inferior, berjalan mulai dari jaringan vena pada bagian depan dari lantai
orbita, bagian ini merima vena dari m. rektus inferior, m. obliquus superior, sakus lakrimalis,
dan kelopak mata yang berjalan ke belakang pada bagian bawah dari orbita dan membagi
dalam dua cabang. Salah satu vena tersebut berjalan melewati fissura orbitalis superior dan
bergabung dengan pleksus vena pterygoid, dimana yang lain masuk tulang kranial melalui
fissure orbitalis superior dan berakhir pada sinus kavernosus. (20)

Sinus kavernosus menerima darah dari vena wajah (melalui vena oftalmik superior dan
inferior) serta pembuluh darah serebral sphenoid dan menengah. Vena oftalmika superior dan
inferior pada gilirannya akan kosong ke dalam sinus petrosus inferior, kemudian ke vena
P a g e 5 | 18
jugularis interna dan sinus sigmoid melalui sinus petrosus superior. Ini koneksi yang rumit dari
pembuluh darah karena tidak mengandung katup; darah dapat mengalir ke segala arah
tergantung pada gradien tekanan yang berlaku. Karena sinus kavernosa menerima darah
melalui distribusi ini, infeksi dari wajah termasuk hidung, amandel, dan orbit dapat menyebar
dengan mudah dengan rute ini. (20)

Sebuah sistem katup dari sinus dan vena memungkinkan untuk penyebaran yang mudah
dari bakteri. Infeksi bakteri dari struktur orbital lebih sering pada pasien anak. Trombosis sinus
cavernosus muncul dalam cara yang berbeda dan secara substantial berbeda prognosis. Dua
kelompok utama adalah sudah jelas teridentifikasi: 1) Aseptik, yang dapat terjadi dalam jenis
yang sama seperti halnya kasus thrombosis dalam pembuluh darah dari tungkai atau panggul.
2) Trombosis sinus cavernosus yang disebabkan oleh sepsis, merupakan komplikasi dari
selulitis orbita, sehingga dapat menyebabkan meningitis dan abses otak. (21)

Dakriosistitis kongenital dapat berhubungan dengan amniotocele, di mana pada kasus


yang berat dapat menyebabkan obstruksi jalan napas. Dakriosistitis kongenital yang indolen
sangat sulit didiagnosis dan biasanya hanya ditandai dengan lakrimasi kronis, ambliopia, dan
kegagalan perkembangan.

Gambar 2. Dakriosistitis Akut


Sumber: http://www.emedicine.com/

P a g e 6 | 18
Gambar 3. Dakriosistitis Kongenital
Sumber: http://www.emedicine.com/

2.4 Faktor Predisposisi Dan Etiologi

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya obstruksi duktus nasolakrimalis(8) :

 Terdapat benda yang menutupi lumen duktus, seperti pengendapan kalsium, atau koloni jamur
yang mengelilingi suatu korpus alienum.
 Terjadi striktur atau kongesti pada dinding duktus.
 Penekanan dari luar oleh karena terjadi fraktur atau adanya tumor pada sinus maksilaris.
 Obstruksi akibat adanya deviasi septum atau polip.

Dakriosistitis dapat disebabkan oleh bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Bakteri
Gram positif Staphylococcus aureus merupakan penyebab utama terjadinya infeksi pada
dakriosistitis akut, sedangkan Coagulase Negative-Staphylococcus merupakan penyebab utama
terjadinya infeksi pada dakriosistitis kronis. Selain itu, dari golongan bakteri Gram negatif,
Pseudomonas sp. juga merupakan penyebab terbanyak terjadinya dakriosistitis akut dan kronis.(3)

Literatur lain menyebutkan bahwa dakriosistitis akut pada anak-anak sering disebabkan
oleh Haemophylus influenzae, sedangkan pada orang dewasa sering disebabkan oleh
Staphylococcus aureus dan Streptococcus β-haemolyticus. Pada literatur ini, juga disebutkan
bahwa dakriosistitis kronis sering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae.(3)

P a g e 7 | 18
2.5 Patofisiologi

Awal terjadinya peradangan pada sakus lakrimalis adalah adanya obstruksi pada duktus
nasolakrimalis. Obstruksi duktus nasolakrimalis pada anak-anak biasanya akibat tidak terbukanya
membran nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa akibat adanya penekanan pada salurannya,
misal adanya polip hidung. Obstruksi pada duktus nasolakrimalis ini dapat menimbulkan
penumpukan air mata, debris epitel, dan cairan mukus sakus lakrimalis yang merupakan media
pertumbuhan yang baik untuk pertumbuhan bakteri.(6)

Ada 3 tahapan terbentuknya sekret pada dakriosistitis. Hal ini dapat diketahui dengan
melakukan pemijatan pada sakus lakrimalis. Tahapan-tahapan tersebut antara lain:

 Tahap obstruksi
Pada tahap ini, baru saja terjadi obstruksi pada sakus lakrimalis, sehingga yang keluar
hanyalah air mata yang berlebihan.
 Tahap Infeksi
Pada tahap ini, yang keluar adalah cairan yang bersifat mukus, mukopurulen, atau
purulent tergantung pada organisme penyebabnya.
 Tahap Sikatrik
Pada tahap ini sudah tidak ada regurgitasi air mata maupun pus lagi. Hal ini dikarenakan
sekret yang terbentuk tertahan di dalam sakus sehingga membentuk suatu kista.

2.6 Gejala Klinis

Gejala umum pada penyakit ini adalah keluarnya air mata dan kotoran. Pada dakriosistitis
akut, pasien akan mengeluh nyeri di daerah kantus medial (epifora) yang menyebar ke daerah
dahi, orbita sebelah dalam dan gigi bagian depan. Sakus lakrimalis akan terlihat edema, lunak dan
hiperemi yang menyebar sampai ke kelopak mata dan pasien juga mengalami demam. Jika sakus
lakrimalis ditekan, maka yang keluar adalah sekret mukopurulen.(6)

Pada dakriosistitis kronis gejala klinis yang dominan adalah lakrimasi yang berlebihan
terutama bila terkena angin. Dapat disertai tanda-tanda inflamasi yang ringan, namun jarang
disertai nyeri. Bila kantung air mata ditekan akan keluar sekret yang mukoid dengan pus di
daerah punctum lakrimal dan palpebra yang melekat satu dengan lainnya.(6)

P a g e 8 | 18
Pada dakriosistitis kongenital biasanya ibu pasien akan mengeluh mata pasien merah pada
satu sisi, bengkak pada daerah pangkal hidung dan keluar air mata diikuti dengan keluarnya
nanah terus-menerus. Bila bagian yang bengkak tersebut ditekan pasien akan merasa kesakitan
(epifora).(6)

2.7 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis dakriosistitis dibutuhkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Pertama-pertama pada anamnesis dapat ditanyakan identitas pasien, dan
dilakukan dengan cara autoanamnesis dan heteroanamnesis. Kemudian, keluhan yang dapat
dialami pasien dengan dakriosistitis adalah keluarnya air mata terus menerus (epifora), nyeri pada
daerah kantung air mata, bengkak kemerahan pada kantus medialis yang dapat disertai nyeri,
mata terasa seperti berpasir, terasa gatal, kemerahan pada kelopak mata dan disertai demam
sehingga dapat mengakitbatkan aktivitas sehari-hari. Apabila pasien datang dengan gejala dini,
keluhan yang dikeluhkan adalah epifora. Gejala ini dapat serupa dengan gejala keratitis. Tetapi
dapat disingkarkan diagnosa keratitis, karena keratitis memiliki trias yakni, epifora, fotofobia,
blepharospasme.(6,7)

Setelah itu, dilakukan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik awal pada bagian segmen
anterior adalah dengan menginspeksi punctum lakrimalis superior dan inferior dan dapat dipijat
atau ditekan untuk mengetahui apakah ada sekret yang keluar atau tidak.

Jika, dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik masih belum bisa dipastikan penyakitnya,
maka boleh dilakukan pemeriksaan penunjang.(6,7)

Beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
obstruksi serta letak dan penyebab obstruksi. Pemeriksaan fisik yang digunakan untuk memeriksa
ada tidaknya obstruksi pada duktus nasolakrimalis adalah dye dissapearence test, fluorescein
clearance test dan Jones dye test. Ketiga pemeriksaan ini menggunakan zat warna fluorescein 2%
sebagai indikator. Sedangkan untuk memeriksa letak obstruksinya dapat digunakan probing test
dan anel test. (12)

Dye dissapearance test (DDT) dilakukan dengan meneteskan zat warna fluorescein 2%
pada kedua mata, masing-masing 1 tetes. Kemudian permukaan kedua mata dilihat dengan slit

P a g e 9 | 18
lamp. Jika ada obstruksi pada salah satu mata akan memperlihatkan gambaran seperti di bawah
ini. (6,7)

Gambar 4. Terdapat obstruksi pada duktus nasolakrimalis kiri


Sumber: http://www.djo.harvard.edu

Fluorescein clearance test dilakukan untuk melihat fungsi saluran ekskresi lakrimal. Uji
ini dilakukan dengan meneteskan zat warna fluorescein 2% pada mata yang dicurigai mengalami
obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya. Setelah itu pasien diminta berkedip beberapa kali dan
pada akhir menit ke-6 pasien diminta untuk beringus (bersin) dan menyekanya dengan tissue.
Jika pada tissue didapati zat warna, berarti duktus nasolakrimalis tidak mengalami obstruksi(6,7)

Jones dye test juga dilakukan untuk melihat kelainan fungsi saluran ekskresi lakrimal. Uji
ini terbagi menjadi dua yaitu Jones Test I dan Jones Test II. Pada Jones Test I, mata pasien yang
dicurigai mengalami obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya ditetesi zat warna fluorescein 2%
sebanyak 1-2 tetes. Kemudian kapas yang sudah ditetesi pantokain dimasukkan ke meatus nasal
inferior dan ditunggu selama 3 menit. Jika kapas yang dikeluarkan berwarna hijau berarti tidak
ada obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya. Pada Jones Test II, caranya hampir sama dengan
Jones test I, akan tetapi jika pada menit ke-5 tidak didapatkan kapas dengan bercak berwarna
hijau maka dilakukan irigasi pada sakus lakrimalisnya. Bila setelah 2 menit didapatkan zat warna
hijau pada kapas, maka dapat dipastikan fungsi sistem lakrimalnya dalam keadaan baik. Bila
lebih dari 2 menit atau bahkan tidak ada zat warna hijau pada kapas sama sekali setelah dilakukan
irigasi, maka dapat dikatakan bahwa fungsi sistem lakrimalnya sedang terganggu.(6,7)

P a g e 10 | 18
Gambar 5. Irigasi mata setelah ditetesi fluorescein pada Jones dye test II
Sumber: http://drlaurasanders.com/topics/102-Evaluation/

Anel test merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai fungsi ekskresi air mata ke dalam
rongga hidung. Tes ini dikatakan positif bila ada reaksi menelan. Hal ini menunjukkan bahwa
fungsi sistem ekskresi lakrimal normal. Pemeriksaan lainnya adalah probing test. Probing test
bertujuan untuk menentukan letak obstruksi pada saluran ekskresi air mata dengan cara
memasukkan sonde ke dalam saluran air mata. Pada tes ini, punctum lakrimal dilebarkan dengan
dilator, kemudian probe dimasukkan ke dalam sackus lakrimal. Jika probe yang bisa masuk
panjangnya lebi dari 8 mm berarti kanalis dalam keadaan normal, tapi jika yang masuk kurang 8
mm berarti ada obstruksi. (6,7)

Gambar 6. Anel Test


Sumber: Leitman MW 2007. Manual for Eye Examination and Diagnosis 7th Edition

P a g e 11 | 18
Pemeriksaan penunjang juga memiliki peranan penting dalan penegakkan diagnosis
dakriosistitis. CT scan sangat berguna untuk mencari tahu penyebab obstruksi pada dakriosistitis
terutama akibat adanya suatu massa atau keganasan. Dacryocystography (DCG) dan
dacryoscintigraphy sangat berguna untuk mendeteksi adanya kelainan anatomi pada sistem
drainase lakrimal. (6,7)

Gambar 7. Probing Test


Sumber: Leitman MW 2007. Manual for Eye Examination and
Diagnosis 7th Edition

2.8 Diagnosis Banding

a. Selulitis Orbita

Selulitis orbita merupakan peradangan supuratif jaringan ikat longgar intraorbita di


belakang septum orbita. Selulitis orbita akan memberikan gejala demam, mata merah, kelopak
sangat edema dan kemotik, mata proptosis, atau eksoftalmus diplopia, sakit terutama bila
digerakkan, dan tajam penglihatan menurun bila terjadi penyakit neuritis retrobulbar. Pada retina
terlihat tanda stasis pembuluh vena dengan edema papil.(18)

b. Hordeolum

Hordeolum merupakan peradangan supuratif kelenjar kelopak mata. Dikenal bentuk


hordeolum internum dan eksternum. Horedeolum eksternum merupakan infeksi pada kelenjar
Zeiss atau Moll. Hordeolum internum merupakan infeksi kelenjar Meibom yang terletak di dalam
tarsus. Gejalanya berupa kelopak yang bengkak dengan rasa sakit dan mengganjal, merah dan
nyeri bila ditekan. Hordeolum eksternum atau radang kelenjar Zeis atau Moll akan menunjukkan
penonjolan terutama ke daerah kulit kelopak.(18)

P a g e 12 | 18
2.9 Terapi

Pengobatan dakriosistitis pada anak (neonatus) dapat dilakukan dengan masase kantong
air mata ke arah pangkal hidung. Dapat juga diberikan antibiotik amoxicillin/clavulanate atau
cefaclor 20-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga dosis dan dapat pula diberikan antibiotik topikal
dalam bentuk tetes (moxifloxacin 0,5% atau azithromycin 1%) atau menggunakan sulfonamid 4-
5 kali sehari. (18)

Pada orang dewasa, dakriosistitis akut dapat diterapi dengan melakukan kompres hangat
pada daerah sakus yang terkena dalam frekuensi yang cukup sering. Amoxicillin dan
chepalosporine (cephalexin 500mg p.o. tiap 6 jam) juga merupakan pilihan antibiotik sistemik
yang baik untuk orang dewasa. Untuk mengatasi nyeri dan radang, dapat diberikan analgesik oral
(acetaminofen atau ibuprofen), bila perlu dilakukan perawatan di rumah sakit dengan pemberian
antibiotik secara intravena, seperti cefazoline tiap 8 jam. Bila terjadi abses dapat dilakukan insisi
dan drainase. Dakriosistitis kronis pada orang dewasa dapat diterapi dengan cara melakukan
irigasi dengan antibiotik. Sumbatan duktus nasolakrimal dapat diperbaiki dengan cara
pembedahan jika sudah tidak radang lagi.(18)

Penatalaksaan dakriosistitis dengan pembedahan bertujuan untuk mengurangi angka


rekurensi. Prosedur pembedahan yang sering dilakukan pada dakriosistitis adalah
dacryocystorhinostomy (DCR). Di mana pada DCR ini dibuat suatu hubungan langsung antara
sistem drainase lakrimal dengan cavum nasal dengan cara melakukan bypass pada kantung air
mata. Dulu, DCR merupakan prosedur bedah eksternal dengan pendekatan melalui kulit di dekat
pangkal hidung. Saat ini, banyak dokter telah menggunakan teknik endonasal dengan
menggunakan scalpel bergagang panjang atau laser.(14,18)

P a g e 13 | 18
Gambar 8. Teknik Dakriosistorinostomi Eksternal
Sumber: Orbit, Eyelid, and Lacrimal System, American Academy of Ophtalmology

Dakriosistorinostomi internal memiliki beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan


dakriosistorinostomi eksternal. Adapun keuntungannya yaitu, (1) trauma minimal dan tidak ada
luka di daerah wajah karena operasi dilakukan tanpa insisi kulit dan eksisi tulang, (2) lebih
sedikit gangguan pada fungsi pompa lakrimal, karena operasi merestorasi pasase air mata
fisiologis tanpa membuat sistem drainase bypass, dan (3) lebih sederhana, mudah, dan cepat
(rata-rata hanya 12,5 menit).(14)

Kontraindikasi pelaksanaan DCR ada 2 macam, yaitu kontraindikasi absolut dan


kontraindikasi relatif. Kontraindikasi relatif dilakukannya DCR adalah usia yang ekstrim (bayi
atau orang tua di atas 70 tahun) dan adanya mucocele atau fistula lakrimalis. Beberapa keadaan
yang menjadi kontraindikasi absolut antara lain:

 Kelainan pada kantong air mata :


- Keganasan pada kantong air mata.
- Dakriosistitis spesifik, seperti TB dan sifilis
P a g e 14 | 18
 Kelainan pada hidung :
- Keganasan pada hidung
- Rhinitis spesifik, seperti rhinoskleroma
- Rhinitis atopik
 Kelainan pada tulang hidung, seperti periostitis

Gambar 9. Teknik Dakriosistorinostomi Internal


Sumber: Orbit, Eyelid, and Lacrimal System, American Academy of Ophtalmology
2.10 Komplikasi

Dakriosistitis yang tidak diobati dapat menyebabkan pecahnya kantong air mata sehingga
membentuk fistel. Bisa juga terkadi abses kelopak mata, ulkus, bahkan selulitis orbita.(8)
P a g e 15 | 18
Komplikasi juga bisa muncul setelah dilakukannya DCR. Komplikasi tersebut di
antaranya adalah perdarahan pascaoperasi, nyeri transien pada segmen superior os.maxilla,
hematoma subkutaneus periorbita, infeksi dan sikatrik pascaoperasi yang tampak jelas.(9)

2.11 Prognosis

Dakriosistitis sangat sensitif terhadap antibiotika namun masih berpotensi terjadi


kekambuhan jika obstruksi duktus nasolakrimalis tidak ditangani secara tepat, sehingga
prognosisnya adalah dubia ad malam. Akan tetapi, jika dilakukan pembedahan baik itu dengan
dakriosistorinostomi eksternal atau dakriosistorinostomi internal, kekambuhan sangat jarang
terjadi sehingga prognosisnya dubia ad bonam.(19)

BAB III
KESIMPULAN

Dakriosistitis adalah peradangan pada sakus lakrimalis yang penyebabnya multifaktorial.


Dapat disebabkan oleh bakteri (aerob maupun anaerob), virus, jamur, trauma, kelainan kongenital
maupun obstruksi. Kelainan tersebut dapat menyebabkan terganggunya fungsi lakrimalis dan
P a g e 16 | 18
terjadi secara akut, kronis maupun kongenital. Gejala yang ditemukan adalah pasien
mengeluhkan nyeri di daerah kantus media (epifora) yang akan menyebar ked ahi, orbita sebelah
dalam dan gigi bagian depan. Sakus lakrimalis akan terlihat edema, lunak dan hiperemi yang
menyebar sampai ke kelopak mata dan pasien juga mengalami demam.

Untuk menegakkan diagnosis setelah dilakukannya anamnesis dapat dilakukan beberapa


pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi serta letak
dan penyebab obstruksi. Pemeriksaan fisik yang digunakan untuk memeriksa adan tidaknya
obstruksi pada duktus nasolakrimalis adalah dye disappearance test, fluorescein clearance test,
dan John’s dye test. Sedangkan untuk memeriksa letak obstruksinya dapat digunakan probing
test dan anal test. Pemeriksaan penunjang seperti CT scan berguna untuk mencari penyebab
obstruksi pada dakriosistitis yang dicurigai suatu keganasan.

Penanganan tergantung dengan causa dakriosistitis. Tetapi jika dakriosistitis sudah kronis
dan terus kambuh, dapat dilakukan pembedahan eksternal dengan pendekatan melalui kulit di
dekat pangkal hidung. Saat ini, banyak dokter telah menggunakan teknik endonasal dengan
menggunakan scalpel bergagang panjang atau laser dengan komplikasi yang lebih minimal.
Prognosis pada penyakit ini secara keseluruhan adalah dubia ad bonam jika dilakukan didiagnosis
dengan tepat dan dilakukan terapi yang adekuat sehingga tidak menimbulkan komplikasi yang
dapat berakibat fatal.

DAFTAR PUSTAKA

1. AAO. 2007. Orbit, Eyelid, and Lacrimal System. Singapore:American Academy of


Ophtalmology.
2. Anonim. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF. Ilmu Penyakit Mata Ed.III.
Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo.
3. Barathi, Ramakrishnan, Maneksha, Shivakumar, Nithya dan Mittal. 2007. Comparative
Bacteriology of Acute and Chronic Dacryocystitis. [serial online]. http://www.eye.com/.

P a g e 17 | 18
4. Ellis, Harold. 2006. Clinical Anatomy, A Revision and Applied Anatomy for Clinical
Students Eleventh Edition. Massachusetts, USA : Blackwell Publishing, Inc .
5. Gilliland, G.D. 2009. Dacryocystitis. [serial online]. http://www.emedicine.com/.
6. Ilyas, Sidharta. 2013. Dasar-Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata Edisi
Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
7. Leitman, M.W. 2007. Manual for Eye Examination and Diagnosis Seventh Edition.
Massachusetts, USA : Blackwell Publishing, Inc .
8. Mamoun, Tarek. 2009. Congenital Dacryocystitis. [serial online].
http://eyescure.com/Default.aspx?ID=83.
9. Mamoun, Tarek. 2009. Acute Dacryocystitis. [serial online].
http://eyescure.com/Default.aspx?ID=85.
10. Sanders, Laura. Cosmetic Facial and Eye Plastic Surgery Evaluation. [serial online].
http://drlaurasanders.com/topics/102-Evaluation/.
11. Sowka, J.W., Gurwood, A.S., dan Kabat, A.G. 2010. Review of Optometry, The Handbook
of Occular Disease Management Twelfth Edition. [serial online].
http://www.revoptom.com/.
12. Yohai, Robert. ____. Cosmetic and Reconstructive of The Eyelids, Orbits, and Tear Ducts.
[serial online]. http://www.dryohai.com/102-Evaluation.htm.
13. Yuliani, Putri. 2009. Pendekatan Sederhana dan Evolusional Untuk Merekanalisasi
Obstruksi Duktus Nasolakrimalis. [serial online].
http://www.scribd.com/doc/37289785/Journal-Reading-Rekanalisasi-Obstruksi-Sistem-
Lakrimalis#.
14. Zulvikar. 2009. Dakriosistitis. [serial online]. http://zulvikar.web.id/dakriosistitis/.
15. Dr.Dito Anurogo. The art of medicine. 2016.
https://books.google.co.id/books?
id=nRhIDwAAQBAJ&pg=PA84&dq=dakriosistitis&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwj23a
W91NHaAhUFK48KHdMBDQ8Q6AEILDAA#v=onepage&q=dakriosistitis&f=false
16. Diakses online [20 April 2018]
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470565/
17. Bruce J, Chris C, Anthony B. Lecture notes of oftalmologi. Ed 9. ECG. Diakses online
[20 April 2018].
https://books.google.co.id/books?id=X8pF13DaF-
YC&pg=PA60&dq=dakriosistitis&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjZ3sfs0dHaAhXDqo8K
HTsJByEQ6AEIRzAE#v=onepage&q=dakriosistitis&f=false
18. Vaughan, Daniel G, Asbury T., Riordan-Eva, Paul. 1996. Oftalmologi Umum, Edisi ke-14.
Jakarta: Widya Medika.
19. O'Brien, Terrence P. 2009. Dacryocystitis. [20 April 2018].
http://www.mdguidelines.com/dacryocystitis.htm.
20. Sharma R, Bessman E, 2011, Cavernosus Sinus Thrombosis. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/791704-overview
21. Bergin D.J, Wright J.E, 1986. Orbita Cellulitis. British J of Opthalmol, Vol. 70: 174-178.

P a g e 18 | 18

Вам также может понравиться