Вы находитесь на странице: 1из 31

METODOLOGI DESAIN

EVALUASI PURNA HUNI PADA HOTEL WINTON LHOKSEUMAWE


DITINJAU DARI ASPEK KEBISINGAN DAN PENGHAWAAN

DOSEN PEMBIMBING : Dr. Ars. RINALDI MIRSA, S.T.,M.T

DISUSUN OLEH :
RAIHAN MUFIDA
(170160002)

TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
2018/2019

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil ‘Alami, Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam.
Atas segala karunia nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan
sebaik-baiknya. Makalah yang berjudul “Evaluasi Purna Huni pada Hotel Winton” disusun
dalam rangka memenuhi salah satu tugas final mata kuliah Metodologi Desain yang diampu
oleh Bapak Dr. Ars. Rinaldi Mirsa, S.T.,M.T.

Makalah ini berisi tentang penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam
memberikan kepuasan dan dukungan terhadap penggunanya terkait aspek kebisingan dan
penghawaan pada bangunan hotel Winton yang berlokasi Jl. Sukaramai No.13-15,
Lhokseumawe, Banda Sakti, Kota Lhokseumawe,. Dalam penyusunannya melibatkan
berbagai pihak, baik dari dalam hotel maupun luar hotel. Oleh sebab itu kami mengucapkan
banyak terima kasih atas segala kontribusinya dalam membantu penyusunan makalah ini.

Meski telah disusun secara maksimal, namun penulis sebagai manusia biasa
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karenanya penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian.

Besar harapan penulis makalah ini dapat menjadi sarana membantu pembelajaran
kami sebagai mahasiswa dibidang Metodologi Desain.

Demikian apa yang bisa penulis sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil
manfaat dari karya ini.

Lhokseumawe, 28 Mei 2019

Raihan Mufida

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4
1. Latar Belakang .......................................................................................................................... 4
2. Rumusan Masalah .................................................................................................................... 5
3. Metode Evaluasi ........................................................................................................................ 5
4. Tujuan dan Manfaat ................................................................................................................. 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................ 6
1) Evaluasi Purna Huni ................................................................................................................ 6
2) Tingkat Kebisingan (Akustik)................................................................................................ 10
BAB 3 PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 12
A. Profil Bangunan ..................................................................................................................... 12
1) Kebisingan (Akustik) .............................................................................................................. 19
a) Analisa Kebisingan ............................................................................................................. 19
b) Ambang Batas Kebisingan ................................................................................................. 19
c) Respon Pengguna Terhadap Noise .................................................................................... 20
d) Faktor dan Sistem Kontrol Kebisingan ............................................................................ 21
2) Penghawaan ............................................................................................................................. 24
a) Penghawaan Buatan (Air Conditioner) ............................................................................ 25
b) Ambang Batas & Standar Penghawaan............................................................................ 28
c) Respon Pengguna Terhadap Penghawaan ....................................................................... 29
BAB 4 PENUTUP ............................................................................................................................... 31
Kesimpulan .................................................................................................................................. 31
Saran ............................................................................................................................................ 31

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Bangunan gedung pada umumnya merupakan bangunan yang dipergunakan oleh manusia
untuk melakukan kegiatannya, agar supaya bangunan gedung yang dibangun dapat dipakai, dihuni, dan
dinikmati oleh pengguna, perlu dilengkapi dengan prasarana lain, yang disebut prasarana
bangunan atau utilitas bangunan. Namun fasilitas publik sekarang ini berada dalam
tahap penghunian dan pemanfaatan, karena itu dibutuhkan evaluasi terhadap segala
fasilitas yang ada di dalamnya, yang di sebut dengan Evaluasi Pasca Huni (Post
Occupancy Evaluation).

Evaluasi Pasca Huni (EPH) adalah proses evaluasi terhadap bangunan dengan cara
sistematis dan teliti setelah bangunan selesai dibangun dan telah dipakai untuk beberapa
waktu. Evaluasi Pasca Huni (EPH) adalah kegiatan dalam rangka penilaian tingkat
keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada
penghuni, terutama dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Aspek yang ditinjau
terhadap kenyamanan dapat terkait dengan kenyamanan termal seperti kebisingan dan
penghawaan pada bangunan.

Dalam hal ini objek bangunan yang dijadikan sebagai sumber amatan untuk penelitian
Evaluasi Purna Huni terkait aspek kebisingan dan penghawaan adalah Hotel Winton yang
berlokasi Jl. Sukaramai No.13-15, Lhokseumawe, Banda Sakti, Kota Lhokseumawe.

Hotel Winton merupakan salah satu hotel terkenal di Lhokseumawe. Sudah


sepantasnya jika perencanaan gedung ini harus baik dari segi arsitektur, kekuatan dari
struktur dan juga kenyamanan termal, karena hal tersebut berkaitan dengan aspek
keamanan dan kenyamanan pengunjung atau tamu hotel. Namun perlu dilakukan
penelitian EPH untuk mengetahui tingkat keberhasilan hotel ini dalam memberikan
kepuasan bagi penggunanya.

4
1.2 RUMUSAN MASALAH
Di dalam makalah ini, penulis merumuskan beberapa rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana hasil analisa tingkat kebisingan pada hotel Winton?
2. Apakah tingkat kebisingan melampaui ambang batas?
3. Faktor apa yang paling mempengaruhi tingkat kebisingan?
4. Bagaimana sistem penghawaan pada hotel Winton?
5. Apakah penghawaan pada hotel Winton sudah sesuai standar?

1.3 TUJUAN
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan atau kesesuaian dengan cara membandingkan tingkat
kebisingan dan penghawaan antara kenyataan dengan nilai ambang batas baik secara objektif
(standar) maupun secara subjektif (pengguna)

1.4 METODE EVALUASI


1. Alat yang digunakan : Aplikasi Sound Meter dan Aplikasi Room Temperature
2. Data dan informasi yang diperlukan :
- Intensitas kebisingan dan penghawaan dalam ruangan di hotel Winton.
- Ambang batas kebisingan dan standar penghawaan optimal pada bangunan Hotel.
- Persepsi pengguna terkait kebisingan dan penghawaan pada bangunan hotel Winton
3. Jalannya Evaluasi
- Mengukur intensitas kebisingan pada jam sibuk yaitu siang hari (Db) di dalam
ruangan dan diluar ruangan.
- Mengukur intensitas penghawaan pada bangunan
- Hasil pengukuran dibandingkan dengan ambang batas dan standar penghawaan.
- Mengukur persepsi pengguna dengan melakukan questioner/wawancara.

1.4 MANFAAT
1.Mahasiswa dapat melakukan evaluasi purna huni terhadap bangunan
2.Mahasiswa dapat mengetahui tingkat keberhasilan bangunan dalam memberikan kepuasan
terhadap penghuninya.
3.Mahasiswa dapat mengetahui ambang batas kebisingan dan standar penghawaan pada
bangunan.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Evaluasi Pasca Huni (Post Occupancy Evaluation)

Fasilitas publik sekarang ini berada dalam tahap penghunian dan pemanfaatan,
karena itu dibutuhkan evaluasi terhadap segala fasilitas yang ada di dalamnya, yang di sebut
dengan Evaluasi Pasca Huni (Post Occupancy Evaluation).

Evaluasi Pasca Huni (EPH) adalah proses evaluasi terhadap bangunan dengan cara
sistematis dan teliti setelah bangunan selesai dibangun dan telah dipakai untuk beberapa
waktu. Fokus EPH adalah pemakai dan kebutuhan pemakai, sehingga mereka memberikan
pengetahuan mengenai akibat dari keputusan-keputusan desain masa lalu dan dari hasil
kinerja bangunan. Pengetahuan ini mejadi sebuah dasar yang baik untuk menciptakan
bangunan yang lebih baik di masa depan. Evaluasi Pasca Huni (EPH) adalah kegiatan
dalam rangka penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan
dan dukungan kepada penghuni, terutama dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya.
Kegiatan EPH dilakukan untuk menilai tingkat kesesuaian antara bangunan dan
lingkungan binaan dengan nilai – nilai dan kebutuhan penghuni bangunan, disamping itu
juga untuk memberikan masukan dalam merancang bangunan yang mempunyai fungsi
yang sama. EPH bermanfaat untuk acuan jangka pendek, jangka menengah dan jangka
panjang serta memberikan dukungan untuk meningkatkan kepuasan penghuni atas
bangunan dan lingkungan binaan yang dihuni (Suryadhi, 2005).

Menurut Preiser (1998) Evaluasi Pasca Huni (EPH) didefinisikan sebagai


pengkajian atau penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan
kepuasan dan dukungan kepada pemakai, terutama nilai – nilai dan kebutuhannya.
Penggunaan EPH adalah untuk menilai tingkat kesesuaian antara bangunan (lingkungan
binaan) dengan nilai-nilai dan kebutuhan penghuni/ pemakainya dan sebagai masukan
dalam merancang bangunan dengan fungsi yang sama.

Sebuah bangunan publik yakni Hotel sangat berpengaruh dengan keadaan dan
fungsi dari prasarana dan sarananya demi menunjang perekonomian dalam suatu kota,
namun banyak manajemen hotel yang kurang memperhatikan aspek kenyamanan

6
pengguna sesuai standar yang telah ditentukan. Seperti diketahui sebuah bangunan bukan
hanya terdiri atas ruangan dan pembatas- pembatasnya saja, tetapi berfungsi juga
komponen lain yaitu komponen servis. Komponen servis ini terdiri atas perlengkapan
elektrikal dan mekanikal dan perabotan yang jenis dan jumlah serta kualitasnya tergantung
dari kegiatan yang berlangsung di dalam bangunan tersebut. Dengan demikian ada 2 faktor
penting, yaitu manusia sebagai pengguna dan bangunan beserta komponen-komponennya
sebagai lingkungan binaan yang mengakomodasi kegiatan manusia.

Peningkatan fungsi dan pelayanan bangunan Hotel merupakan fenomena yang


selalu dihadapi oleh para pengelola hotel. Menurut Haryadi dan Slamet (1996)
perencanaan pengembangan dalam rangka peningkatan fungsi dan pelayanan hotel selalu
berdasarkan keadaan sebenarnya saat ini, untuk mencapai kondisi yang lebih baik di saat
mendatang. Untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari prasarana dan sarana fisik saat ini
perlu dilakukan evaluasi, yaitu evaluasi pasca huni (post occupancy evaluation).

Menurut Haryadi dan Slamet (1996), Evaluasi Pasca Huni (EPH) didefinisikan sebagai
pengkajian atau penilaian tingkat keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan
dan dukungan kepada pemakai, terutama nilai-nilai dan kebutuhannya. Evaluasi terhadap
tingkat kepuasan pengguna atas sebuah bangunan dengan mempelajari Performance
(tampilan) elemen-elemen bangunan tersebut setelah digunakan beberapa saat. Pengetahuan
tentang performansi bangunan hotel merupakan dasar peningkatan fungsi dan pelayanan pada
hotel tersebut.

Pengertian dari Evaluasi Pasca Huni adalah :

1. Merupakan sebuah proses evaluasi bangunan dalam suatu cara yang ketat dan sistematis
setelah bangunan tersebut dihuni beberapa saat.
2. Evaluasi Pasca Huni dipusatkan pada pengguna bangunan dan kebutuhan- kebutuhannya.
3. Tujuan adalah untuk menghasilkan bangunan yang lebih baik dikemudian hari.
4. Evaluasi merupakan penilaian performansi bangunan, secara informal telah dilakukan
sehari-hari (sadar atau tidak, terstruktur atau tidak).

7
5. Kegunaan

a. Jangka pendek :

 Mengidentifikasikan keberhasilan dan kegagalan bangunan.


 Membuat rekomendasi untuk mengatasi masalah.


 Memberi masukan untuk tahapan pembiayaan proyek




b. Jangka menengah :

 Membuat keputusan bagi pengguna kembali dan pembangunan baru


 Memecahkan masalah bagi bangunan yang ada.


c. Jangka Panjang

 Digunakan sebagai acuan pembangunan mendatang


 Mengembangkan “state of the art” bangunan dengan fungsi yang sama.

Menurut Presier.et.al (1998) evluasi pasca huni mempunyai tiga tingkatan yaitu:

1. Indikatif EPH

Indikasi keberhasilan dan kegagalan bangunan, dilakukan dalam waktu yang


sangat singkat (kurang lebih 3 jam). Biasanya evaluator sudah sangat mengenal
dengan objek evaluasinya. Perolehan data dapat diperoleh salah satunya dari
mempelajari dokumen (blue print), walk in through, kuesioner, wawancara.

8
2. Investigatif EPH

Berlangsung lebih lama dan lebih kompleks, biasanya dilakukan setelah


ditemukan isu-isu (saat indukatif EPH) dikerjakan selama 2-4 minggu. Hasil dari
EPH indikatif mempengaruhi hasil – hasil identifikasi permasalahan utama. EPH
investigatif meliputi berbagai macam topik yang lebih detail dan reliabel.

Adapun langkah – langkah utama dalam pelaksanaan EPH investigatif identik


dengan langkah – langkah dalam EPH indikatif, dimana level upaya lebih tinggi,
lebih banyak menghemat waktu di tempat dan data yang dikumpulkan serta teknik
analisa yang digunakan akan lebih sempurna. Tidak seperti EPH indikatif, dimana
kriteria bentuk bangunan yang digunakan dalam evaluasi berdasarkan pada
pengalaman dari tim evaluasi, maka EPH investigatif menggunakan kriteria riset
yang ditempatkan secara obyektif dan eksplisit. Pembentukan kriteria evaluasi pada
level investigatif melibatkan sedikitnya dua macam kegiatan : patokan perkiraan
dibandingkan dengan patokan fasilitas serupa yang ada saat ini.

3. Diagnostik

Menggunakan metode yang lebih canggih, dengan hasil yang lebih tepat/
akurat memerlukan waktu beberapa bulan. Hasilnya merupakan evaluasi yang
menyeluruh. EPH diagnostik ini mengikuti strategi metode yang beragam,
diantaranya; kuesioner, survey dan ukuran-ukuran fisik dimana seluruh pendekatan
ini disesuaikan dengan evaluasi komparatif terhadap fasilitas – fasilitas dengan tipe
yang sama secara lintas-bagian. EPH diagnostik dilaksanakan dalam jangka waktu
beberapa bulan hingga satu tahun atau lebih. Hasil-hasil dan rekomendasinya akan
berorientasi jangka panjang yang bertujuan untuk memperbaiki tidak hanya pada
fasilitas utama, tetapi juga dalam patokan tipe bangunan yang diberikan. Metodologi
yang digunakan sangat mirip dengan metode tradisional dimana riset ini
memfokuskan pada penggunaan paradigma ilmiah.

EPH diagnostik umumnya merupakan proyek berskala besar, dengan


melibatkan berbagai macam variabel. Tak jarang upaya yang dilakukan adalah untuk
mengembangkan hasil-hasil yang mengindikasikan hubungan-hubungan antar-

9
variabel. Karenanya, EPH diagnostik menggunakan baik teknik pengumpulan data
maupun teknik analisa sempurna yang menghasilkan EPH investigatif dan indikatif.

Bagian penting dari EPH diagnostik telah diteliti, sementara tujuannya


memiliki kolerasi secara fisik, lingkungan dan ukuran bentuk perilaku yang
memberikan pengalaman lebih baik terhadap signifikansi beragam kriteria bentuk
yang bersifat relatif. Seluruh prasyarat yang diajukan dalam EPH diagnostik memiliki
potensi yang cukup besar dalam pembuatan prediksi yang bersifat akurat tentang
bentuk bangunan dan menambahkan patokan pengetahuan untuk tentang tipe
bangunan yang diberikan melalui perbaikan-perbaikan dalam kriteria desain dan
pedoman literatur yang digunakan.

Bangunan setelah dihuni beberapa waktu ada kemungkinan mengalami perubahan


kinerja akibat ketidak sesuaian dengan perencanaan awal dengan pemanfaatan saat bangunan
dihuni, sehingga bukan tindakan evaluasi kinerja bangunan. Bangunan selain memiliki
persyaratan fisik, bangunan juga harus mempunyai fungsi atas kegiatan pada penghuninya,
sehingga bangunan dan penghuninya mempunyai interaksi (Suryadhi, 2005). Usia sebagai
bangunan dapat mencapai 50-100 tahun, karena itu penting sekali dipikirkan mengenai
pemakaian energi dalam tahap disain. Apabila kita salah dalam mengambil keputusan dalam
tahap disain, akibatnya harus ditanggung selama gedung ini berdiri. Misalnya kalau kita lebih
banyak menggunakan AC, padahal bisa dihemat dengan membuka jendela, lubang angin,
tanaman, pelindung (awning), beranda. Selain kerugian dalam bentuk materi (uang) juga
merusak lingkungan dan menghabiskan energi yang tidak perlu.

B. Tingkat Kebisingan (Akustik)

Akustik adalah suatu bunyi yang mengalihkan perhatian, mengganggu atau


berbahaya bagi kegiatan sehari-hari. Bising yang cukup keras diatas 70 desibel dapat
menyebabkan kegelisahan, kurang enak badan, kejenuhan mendengar,sakit lambung dan
masalah peredaran darah (Doelle,1980). Faktor kenyaman terhadap kebisingan adalah
tingkat kebisingan yang dapat diterima dan dapat diatasi oleh elemen interior di dalam
melawan airborne noise dan impact noise, elemen interior seperti dinding atau partisi
klinik harus meredam bunyi dengan kekuatan 40-50 desibel (Simha,2001).

10
Konsep pengendalian kebisingan ditujukan untuk mengatasi kebisingan dari dalam
banguan ( interior noise ) dan dari luar bangunan ( exterior noise ). Tingkat kebisingan
yang diizinkan untuk sebuah pelayanan publik seperti hotel berkisar antara 35-45 desibel,
sehingga penyelesaian pengendalian kebisingan diupayakan melalui elemen interior seperti
dinding atau partisi, dimana untuk hotel paling tidak harus dapat meredam bunyi dengan
kekuatan 40-45 desibel. Konsep yang digunakan untuk mengatasi masalah kebisingan
adalah mengelola tata letak dan perencanaan interior, pemilihan material bangunan serta
finishing dinding sedemikian rupa yang dapat mendukung pengendalian kebisingan
tersebut. Disisi lain, perencanaan tata massa bangunan juga berperan dalam pengendalian
kebisingan. Penggunaan material seperti karpet, baik pada lantai maupun dinding dapat
mereduksi kebisingan sampai 70%. Penggunaan plafon yang tepat juga dapat mereduksi
kebisingan terutama dari lantai ke lantai. Kebisingan juga dapat dihindari dengan tidak
menggunakan bahan-bahan logam pada furniture (Harmoko, 2010).

Preiser et.al (1998) menyebutkan dalam evaluasi pasca huni yang diukur adalah kriteria
performansi yang meliputi tiga aspek yaitu :

a. Aspek teknikal : dapat terjadi ciri latar belakang lingkungan pengguna beraktivitas.

Meliputi struktur, sanitasi dan ventilasi, keselamatan kebakaran, elektrikal, dinding

eksterior, finishing interior,atap, akustik, pencahayaan dan sistem kontrol

lingkungan.

b. Aspek fungsional : meliputi faktor manusia, penyimpanan, komunikasi dan alur


kerja, fleksibilitas dan perubahan, serta spesialisasi dalam tipe atau unit bangunan.

c. Aspek perilaku : meliputi teritorialitas, privasi dan interaksi, persepsi lingkungan,


citra dan makna, serta kognisi dan orientasi lingkungan.

11
BAB III
PEMBAHASAN

PROFIL BANGUNAN

Nama Bangunan : Hotel winton

Pemilik : Nurul Husna

Fungsi : Sebagai tempat penginapan yang datang dari luar kota lhokseumawe

ataupun dari dalam kota lhokseumawe

Aktifitas Bangunan : Beristirahat, dan menggunakan fasilitias dalam hotel.

Lokasi bangunan : Jl. Sukaramai, no 13-15, Banda Sakti, Kota Lhokseumaw,Aceh

Hotel Winton merupakan salah satu hotel terkenal di Lhokseumawe. Sudah sepantasnya
jika perencanaan gedung ini harus baik dari segi arsitektur, kekuatan dari struktur dan juga
kenyamanan termal, karena hal tersebut berkaitan dengan aspek keamanan dan kenyamanan
pengunjung atau tamu hotel. Namun perlu dilakukan penelitian EPH untuk mengetahui
tingkat keberhasilan hotel ini dalam memberikan kepuasan bagi penggunanya. Evaluasi yang
akan dilakukan ini terkait dengan aspek kebisingan dan penghawaan pada bangunan.

Dalam hal ini ruang-ruang yang akan dievaluasi pada bangunan hotel Winton adalah
sebagai berikut :

12
1. Lobby

Interior Lobby yang nyaman namun tidak begitu luas. Dilengkapi dengan beberapa
kursi dan meja pada area tunggu. Ruangan cukup sejuk karena dilengkapi dengan
pendingin ruangan berupa AC split dan AC Standing Floor.

13
2. Ruang Resepsionis

Ruang Resepsionis berukuran tidak terlalu besar dilengkapi fasilitas perangkat


komputer CCTV, telepon outlet, perangkat sound system dan lain sebagainya.

3. Aula Pertemuan (Rapat)

Meeting room ini cocok untuk acara rapat skala kecil dan menengah bahkan untuk
rapat pribadi. Masing-masing ruang rapat akan dilengkapi sejumlah fasilitas
pendukung antara lain sound system, alat tulis, speaker, layar besar, dan
perlengkapan standar lain

14
4. Kamar type Standard

5. Kamar Type Deluxe

6. Kamar Type VIP

15
7. Kamar Type SUITE

8. Mushalla

16
9. Dapur

10. Kafe

17
11. Ruang Mekanikal dan Elektrikal

12. Area Parkir

18
1. KEBISINGAN (AKUSTIK)

a. Analisa Kebisingan

Hotel Winton yang berlokasi di Jl. Sukaramai, no 13-15, Banda Sakti merupakan
kawasan yang sangat pesat perkembangannya, baik pertumbuhan permukiman penduduk
maupun arus lalu lintasnya, sehingga memiliki tingkat kebisingan lingkungan yang cukup
tinggi. Konsep pengendalian kebisingan ditujukan untuk mengatasi kebisingan dari dalam
banguan ( interior noise ) dan dari luar bangunan ( exterior noise ). Tingkat kebisingan yang
diizinkan untuk sebuah pelayanan publik seperti hotel berkisar antara 35-45 desibel namun
dalam peraturan Menteri Parekraf PM.53/HM.001/MPEK/2013 tentang Standar Usaha Hotel
terdapat persyaratan mutlak yaitu tingkat kebisingan kamar dan toleransi pencahayaan yang
diisyaratkan. Dalam persyaratan disebutkan bahwa kenyamanan suara antara 30-35 Db untuk
beberapa area. sehingga penyelesaian pengendalian kebisingan diupayakan melalui elemen
interior seperti dinding atau partisi, dimana untuk hotel paling tidak harus dapat meredam
bunyi dengan kekuatan 40-45 desibel. Konsep yang digunakan untuk mengatasi masalah
kebisingan adalah mengelola tata letak dan perencanaan interior, pemilihan material bangunan
serta finishing dinding sedemikian rupa yang dapat mendukung pengendalian kebisingan
tersebut. Disisi lain, perencanaan tata massa bangunan juga berperan dalam pengendalian
kebisingan. Penggunaan material seperti karpet, baik pada lantai maupun dinding dapat
mereduksi kebisingan sampai 70%. Penggunaan plafon yang tepat juga dapat mereduksi
kebisingan terutama dari lantai ke lantai (Harmoko, 2010).

b. Ambang Batas Kebisingan

Perbandingan Intensitas kebisingan (Realita) dengan ambang batas yang sudah ditetapkan
(standart) didalam ruang.

STANDART
RUANG REALITA (Db)
DEPKES
Lobby 51 50-55
R. Resepsionis 45 45-50
Kamar Type Standart 40 35-45
Kamar Type Deluxe 42 35-45
Kamar Type VIP 38 35-45
Kamar Type Suite 40 35-45

19
Aula Pertemuan 56,5 55-60
Mushalla 38 30-35
Dapur 60 55-60
Kafe 68 55-60
R. ME 49,5 55-60
Area Parkir 52 55-60

c. Respon Pengguna Terhadap Noise

Tingkat Kebisingan
Pengguna Jumlah
Cukup Agak Agak Cukup
Ruang Biasa Responden
Bising Bising Tenang Tenang

Lobby - - 2 1 - 3

R. Resepsionis - - - - 1 1

Kamar Type
- - - - 2 2
Standart
Kamar Type
- - - - 1 1
Deluxe
Kamar Type
- - - - 1 1
VIP
Kamar Type
- - - - 1 1
Suite
Aula
- - 3 - - 3
Pertemuan
Mushalla - - - - 1 1

Dapur - - 1 1 -

Kafe 3 1 - 4

R. ME - - - - - 0

Area Parkir - - - 2 - 2

20
d. Faktor-faktor dan sistem kontrol kebisingan

Hotel Winton yang berlokasi di Jl. Sukaramai, no 13-15, Banda Sakti merupakan
kawasan yang sangat pesat perkembangannya, baik pertumbuhan permukiman penduduk
maupun arus lalu lintasnya, sehingga memiliki tingkat kebisingan lingkungan yang cukup
tinggi. Kebisingan paling tinggi terjadi pada jam-jam sibuk seperti pagi hingga siang hari.

Kebisingan
tinggi pada
Jalan Merdeka
utama

Kebisingan
sedang pada Hotel
Jalan
sukaramai Winton

21
Pengendalian bising lingkungan yang dilakukan di gedung Hotel Winton ini meliputi
pengendalian bising interior maupun ekterior bangunannya. Pengendalian bising interior lingkungan
masing-masing di ruangan resepsionis, ruang lobby, ruang kamar dan ruang pertemuan (aula).

Pengendalian bising interior yang dilakukan di gedung ini tidak menggunakan metode
khusus, hanya menggunakan bahan penyerap bunyi yang sangat umum, yaitu dengan penggunaan
bahan gypsum board pada plafond dan pada penyekat ruangan. Upaya ini dapat mengurangi tingkat
bising yang terjadi di dalam gedung ini. Pada gedung ini pengendalian bising lebih ditekankan pada
pengendalian bising eksterior. Diharapkan dengan bising eksterior terkendalikan maka interior
gedung hanya memerlukan sedikit upaya pengendalian bising.

Kebisingan utama pada jalan


Sukaramai yang berada tepat di
depan enterance Hotel.
Permasalahan timbul
dikarenakan keterbatasan lahan.
Pada hotel ini tidak ada upaya
pengendalian kebisingan secara
eksterior dikarenakan lahan
yang cukup terbatas sehingga
tidak ada lahan untuk

penanaman vegetasi, pembuatan tanggul, pembatas dan sebagainya.

22
Dari pembahasan dan kesimpulan diatas dapat diperoleh beberapa rekomendasi yang dapat
digunakan untuk perancangan pengendalian kebisingan pada fasilitas hotel yaitu:

a. Pemilihan site atau lokasi hotel dioptimalkan pada daerah dengan kepadatan penduduk rendah
dan diusahakan tidak pada pusat ekonomi,hal ini karena mengurangi kepadatan lalulintas yang
ada dikawasan tersebut yang akan menambah intensitas kebisingan lingkungan.

b. Pengendalian kebisingan interior, efektif dilakukan dengan perancangan organisasi ruang yang
mempertimbangkan fungsi dan tingkat kebisingan yang diijinkan untuk fungsi bersangkutan.
ruang yang membutuhkan ketenangan ditempatkan paling jauh dengan sumber kebisingan dan
demikian juga sebaliknya.

c. Pengendalian eksterior dapat dilakukan dengan menggunakan penghalang dan atau barier bising,
memperluas sempadan bangunan, meletakan bangunan yang membutuhkan ketenangan pada
posisi terjauh dari sumber kebisingan lingkungan yang ada. Selain itu dapat menggunakan
parfum akustik

23
2. PENGHAWAAN

Hotel merupakan salah satu fasilitas yang patut diperhatikan Dimana kenyamanan dari
pengguna kamar hotel menjadi prioritas utama dari sebuah hotel. Salah satu aspek yang paling
terasa yaitu kenyamanan termal. Menurut Snyder & Catanese(1994), kelembaban, penghawaan
alami, pergerakan udara dan radiasi matahari (pencahayaan alami) merupakan faktor yang dapat
mempengaruhi kualitas kenyamanan termal. Dari segi arsitektural, faktor yang mempengaruhi
kenyamanan termal dalam ruang menurut Egan (1975) adalah orientasi bangunan, elemen arsitektur,
elemen lanskap serta material dan bahan bangunan. Definisi dari iklim dalam ruangan yang dapat
diterima pada sebuah bangunan tidak hanya mementingkan kenyamanannya saja, namun juga
memikirkan mengenai konsumsi energi di dalamnya serta memastikan keberlanjutannya
(Humphreys & Nicol, 2001).

Lhokseumawe kota yang berada di negara beriklim tropis ini menjadi wilayah dengan suhu
udara yang terbilang panas. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Lhokseumawe tahun 2017,
rata-rata suhu tahun 2016 berkisar pada 27 derajat celcius. Sedangkan SNI untuk kenyamanan
termal berkisar di antara 22.8 - 25.8 derajat celcius. Hal ini menunjukan perlu adanya usaha lebih
untuk dapat mencapai standar suhu optimal tersebut.

Kenyamanan termal pada kamar hotel dapat dicapai dengan menggunakan penghawaan
buatan (AC). Menurut ICED (2015) Sistem tata udara hotel mengggunakan 65% dari total biaya
energi sistem hotel. Jika penggunaan energi untuk sistem tata udara dapat dikurangi, maka
penggunaan energi keseluruhan akan banyak terpengaruhi. Pada sebuah bangunan hotel,
penggunaan energi yang efisien diartikan sebagai energi yang dapat memenuhi kebutuhan tamunya
yang dioperasikan seoptimal mungkin tanpa perlu adanya energi yang terbuang atau berlebihan.

Ruang kamar hotel yang diukur suhunya terdapat tiga tipe di setiap lantai hunian hotel.
Jumlah lantai yang diukur terdapat enam lantai mulai dari lantai 2,3,5,6,7 dan 8. Suhu ruang ideal
sesuai SNI yang berkisar antara 22,8 – 25,8°C diambil titik tengahnya yaitu 23,5 derajat celcius. Hal
lain yang perlu diperhatikan adalah perhitungan penelitian dibatasi oleh ruang yang diasumsikan
kosong dan tidak berpenghuni.

24
Oleh Attar (2014), rumus Q= m. c. ∆T digunakan untuk mengetahui energi panas yang
diperlukan AC untuk menaikan atau menurunkan suhu ruang. Perhitungan energi kalor
(Watt.hour) perlu mengetahui massa dari material yang dalam hal ini adalah udara. Massa udara
pada kamar didapat dari mengalikan volume ruangan dengan berat jenis udara yang bernilai 1,2
kg/m3 sesuai ketentuan. Untuk nilai c sebesar 1005 J/kg°C yang merupakan nilai kalor jenis
udara. Nilai delta suhu (∆T) memiliki angka yang berbeda tergantung data hasil perbandingan
antara suhu ruangan dengan suhu ideal.

a. Sistem penghawaan buatan

1. Penghawaan Buatan (Air Conditioning)


Manusia membutuhkan lingkungan udara yang nyaman (thermal comfort) untuk
melakukan aktifitas secara normal. Dengan adanya lingkungan udara yang nyaman ini manusia
akan dapat beraktifitas dengan tenang dan sehat. Keadaan udara pada suatu ruang aktifitas sangat
berpengaruh pada kondisi dan keadaan aktifitas itu. Bila dalam suatu ruangan yang panas dan
pengap, manusia yang melakukan aktivitas di dalamnya tentu juga akan sangat terganggu dan
tidak dapat melakukan aktifitasnya secara baik, dan ia merasa tidak nyaman.

Tubuh manusia seolah mesin pan as yang terus menerus menghasilkan


panas.Kenyamanan termal langsung berhubungan dengan tubuh manusia yang selalu membuang
panas yang berlebihan ini. Dalam keadaan keadaan normal pemindahan panas ini terjadi antara
tubuh dan udara disekitarnya. namun demikian tubuh manusia memiliki pertahanan mekanisme

25
alami yang terus menerus bekerja untuk mempertahankan keseimbangan yangdiperlukan antara
timbulnya panas dan pembuangan panas yang dihasilkan. Mekanisme mekanisme ini bekerja untuk
mempertahankan suhu tubuh yang normal, dengan mengendalikan jumlah pembuangan panas
tersebut.

Untuk memenuhi kondisi ruangan yang memenui thermal chomfort atau juga kondisi yang
harus memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan yang kita inginkan, tanpa adanya
ketergantungan dengan lingkungan luar, maka digunakan penghawaan buatan (air conditioning).
Penghawaan buatan tersebut adalah bahwa udara dari ruang di kondisikan berdasarkan beban kalor
yang terjadi pada beban tersebut.

Daerah lhokseumawe merupakan suatu daerah yang dimana memiliki cuaca panas yang
ekstrem, karena kota lhokseumawe merupakan daerah panas yang berasal dari area laut. Dengan
demikian bangunan bangunan didaerah lhokseumawe membuat penghawaan buatan di dalam
bangunan mereka. Dalam sebuah bangunan di salah satu daerah lhokseumawe yaitu HOTEL
WINTON yang memakai penghawaan buatan yaitu AC (AIR CONDITIONER)

Air conditioner adalah alat yang berfungsi untuk mengondidikan udara. Bisa dikataka bahwa
AC adalah alat yang berfungsi sebagai penyejuk udara. Penggunaan AC digunaka sebagai pengatur
temperatur udara yang diinginkan (sejuk atau dingin) sesuai kenyamanan tubuh.

Agar didapatkan suatu sistim serta kapasitas pendingin yang tepat, maka perludiketahui
besarnya beban kalor pada ruang karena fungsi AC adalah untuk menghapus beban
kalor tersebut sehingga suhu dan kelembaban udara tetap nyaman Besaran beban
transmisi, hantaran panas ventilasi atau inviltrasi, beban panas intem (manusia dan

26
peralatan elektronik atau mesin). Dalam hal ini dalam banguanan HOTEL WINTON
menggunakan penghawaan buatan, harus mengikuti pertimbangan berikut:

a. Bentuk cenderung beraturan agar memudahkan dalam perancanaan sistem penghawaannya.


b. Bentuknya diusahakan disejajarkan dengan arah aliran angin.
c. Langit-langit/plafon dibuat relatif rendah untuk memperkecil volume ruang.
Hotel winton memiliki penghawaan buatan yang dimana setiap ruang tersebut memiliki AC
(AIR CONDITIONER). Dari jenis jenis AC (AIR CONDITIONER) HOTEL WINTON memakai
jenis penghawaan buatan yaitu AC (AIR CONDITIONER) yaitu Ac Split dan AC standing Floor.

Sedangkan pada bagian kafe menggunakan sistem penghawaan alami dengan bukaan-bukaan yang
cukup lebar sehingga udara dapat masuk secara optimal serta penggunaan kipas di langit-langitnya.

27
b. Ambang batas dan Standar Penghawaan Bangunan

Data suhu eksisting digunakan untuk menghitung total energi kalor yang
dikeluarkan untuk mencapai suhu ruang yang ideal. Untuk mempermudah perhitungan,
maka data dari pengukuran di rata-ratakan menjadi satu hari saja. Jika diperhatikan pada
Gambar 3, baik suhu ruang maupun suhu luar berada di atas suhu ideal. Terutama pada luar
bangunan, suhu meningkat jauh pada siang hari. Dari hasil pengukuran lapangan ruang
suite room memiliki suhu paling tinggi diantara kamar lainnya. Hal ini disebabkan karena
orientasi kamar menghadap ke arah barat. Sehingga pada waktu siang hingga sore hari
ruangan banyak terpapar langsung dengan sinar matahari melalui dinding kaca. Tinggi
suhu tersebut hingga mencapai 31.18°C pada pukul dua belas siang.

Berdasarkan pengukuran pada lapangan, terlihat bahwa suhu luar bangunan


cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di dalam. Sedangkan kondisi ruangan
yang tertutup rapat, seharusnya menjadikan aliran udara terperangkap. Kemungkinan yang
dapat menyebabkan hal ini, yaitu karena ruang lainnya tetap menggunakan AC sehingga
suhu bangunan secara keseluruhan turun. Alasan lain adalah penggunaan AC sentral pada
kamar hotel. Meskipun ruang kamar sudah dikondisikan dengan dimatikannya pendingin
ruangan, namun sistem AC sentral tetap memungkinkan adanya pertukaran udara.

28
REALITA (°C)
RUANG STANDART
ALAMI BUATAN

Lobby - 24 22-27 °C
R. Resepsionis - 25 22-27 °C
Kamar Type Standart 27 22 20-24 °C
Kamar Type Deluxe 26 22,5 20-24 °C
Kamar Type VIP 25 21 20-24 °C
Kamar Type Suite 25 21 20-24 °C
Aula Pertemuan 28 24 20-24 °C
Mushalla 26 - 22-28 °C
Dapur 30 - 25-31 °C
Kafe 26 - 22-28,8 °C
R. ME 28 - 28-31 °C
Area Parkir 30 - 28-31 °C

c. Respon Pengguna Terhadap Kenyamanan Termal Penghawan

Tingkat Penghawaan
Pengguna Jumlah
Cukup Agak Agak Cukup
Ruang Biasa Responden
Sejuk Sejuk Panas Panas

Lobby 1 - 2 - - 3

R. Resepsionis 1 - - - - 1

Kamar Type
- 2 - - - 2
Standart
Kamar Type
1 - - - - 1
Deluxe
Kamar Type
2 - - - - 2
VIP

29
Kamar Type
- 1 - - - 1
Suite
Aula
2 3 - - - 5
Pertemuan
Mushalla - - 1 - - 1

Dapur - - 1 1 - 2

Kafe - - 4 - - 4

R. ME - - - 1 - 1

Area Parkir - - - - - 0

30
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Evaluasi Pasca Huni (EPH) adalah proses evaluasi terhadap bangunan dengan cara
sistematis dan teliti setelah bangunan selesai dibangun dan telah dipakai untuk beberapa
waktu. Evaluasi Pasca Huni (EPH) adalah kegiatan dalam rangka penilaian tingkat
keberhasilan suatu bangunan dalam memberikan kepuasan dan dukungan kepada penghuni,
terutama dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Aspek yang ditinjau terhadap
kenyamanan dapat terkait dengan kenyamanan termal seperti kebisingan dan penghawaan
pada bangunan.
Dalam hal ini objek bangunan yang dijadikan sebagai sumber amatan untuk penelitian
Evaluasi Purna Huni terkait aspek kebisingan dan penghawaan adalah Hotel Winton dan
ditemukan hasil bahwa hotel tersebut memiliki tingkat kesesuaian Sedang. Masalah paling
utama yaitu tidak adanya kontrol kebisingan secara eksterior dikarenakan keterbatasan lahan
namun kebisingan yang didapat pada ruangan masih dapat ditolerir dan tidak terlalu
mengganggu penggunanya. Sedangkan pada sistem penghawaan buatan pada hotel ini sudah
cukup baik dan penghawaan alami pada Kafe juga sudah optimal.

Saran

Karena tidak adanya kontrol terhadap kebisingan secara eksterior sebaiknya kontrol
kebisingan pada interior lebih dioptimalkan seperti penggunaan insulasi peredam suara pada
ruang-ruang yang membutuhkan lebih banyak ketenangan seperti ruang rapat dan ruang
kamar.

31

Вам также может понравиться