Вы находитесь на странице: 1из 48

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma kapitis merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di

unit gawat darurat suatu rumah sakit. ”No head injury is so serious that it should

be despaired of, nor so trivial as to be lightly ignored”, menurut Hippocrates

bahwa tidak ada trauma kapitis yang perlu dikhawatirkan serius yang bisa kita

berikan harapan dan tidak ada juga keluhan yang dapat kita abaikan. Setiap tahun

di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma kapitis, 52.000 pasien

meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kapitis juga merupakan penyebab

kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian (arief

mansjoer dkk, CDC, 2000).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Trauma Project di

Islamic Republic of Iran bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang

dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma kapitis dan kematian paling banyak juga

disebabkan oleh trauma kapitis. (Robert L Martuza, Telmo M Aquino, 2000).

Rata-rata rawat inap pada laki-laki dan wanita akibat terjatuh dengan

diagnosa trauma kapitis sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000. Angka

kematian trauma kapitis akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding

perempuan yaitu sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8 per100.000. Bagi lansia pada

usia 65 tahun ke atas, kematian akibat trauma kapitis mencatat 16.000 kematian

1
dari 1,8 juta lansia di Amerika yang mangalami trauma kapitis akibat terjatuh.

(Mark S. Greenberg, 2009).

Menurut Hickey (2003), dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak

remaja Universitas Sumatera Utara hingga dewasa muda mengalami trauma

kapitis akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat kekerasan

sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kapitis yang

disebabkan oleh terjatuh. Penyebab utama trauma kapitis adalah kecelakaan lalu

lintas, kekerasan dan terjatuh. Pejalan kaki yang mengalami tabrakan dengan

kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma kapitis terutama pada pasien

anak-anak bila dibandingkan dengan pasien dewasa.

Estimasi sebanyak 1,9 juta hingga 2,3 juta orang mendapatkan perawatan

pada trauma yang tidak fatal akibat kekerasan (Turner DA, 1996). Menurut

(Sjahrir, 2004), insiden trauma kapitis pada tahun 1995 sampai 1998 terdiri dari

tiga tingkat keparahan trauma kapitis yaitu trauma kapitis ringan sebanyak 60,3%

(2463 kasus), trauma kapitis sedang sebanyak 27,3% (1114 kasus) dan trauma

kapitis berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian akibat trauma kapitis

mencatatkan sebanyak 11% berjumlah 448 kasus. Angka kejadian trauma kapitis

pada tahun 2004 dan 2005 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), FKUI

mencatat sebanyak 1426 kasus (Hasan Sjahrir, 2004).

Trauma kapitis merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan

utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan

lalu lintas. Disamping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi

korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat

2
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi,

anamnesis, dan pemeriksaan fisis umum serta neurologis harus dilakukan secara

serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan

terlewatinya evaluasi pada tanda vital. Tingkat keparahan trauma kapitis, menjadi

ringan segera ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit. (Arif mansjoer dkk, CDC

2000)

BAB II

3
T I N J A U A N P U S TA K A

2.1 Definisi

Trauma kapitis atau Cedera kepala atau Craniocerebral trauma atau head

injury adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung

mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis. (Hasan Sjahrir,

2004)

Trauma kapitis merupakan salah satu penyebab kematian utama pada

kelompok umur produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.

Tidak hanya berakibat pada tingginya angka kematian pada korban kecelakaan.

Justru, yang harus menjadi perhatian adalah banyaknya kasus kecacatan dari

korban kecelakaan. Khususnya, korban kecelakaan yang menderita trauma kapitis.

Trauma kapitis adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara

langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan

fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau

permanen. (PERDOSSI, 2007)

Trauma kapitis adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat

kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik

dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana

menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. (Mark S.

Greenberg, 2010)

Trauma kapitis adalah proses patologis pada jaringan otak yang bersifat

non- degenerative, non-congenital, dilihat dari perlindungan mekanis dari luar,

4
yang mungkin menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik, dan psikososial yang

sifatnya menetap maupun sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya

tingkat kesadaran. Selain penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi

korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat

menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. (Gennarelli TA, Meaney

DF, 1996).

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung

ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu

gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.

(PERDOSSI, 2007)

Trauma Kapitis adalah trauma yang mengenai kulit kepala, tengkorak, dan

otak yang disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus (Arif Mansjoer,

2000)

Trauma Kapitis adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,

tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat trauma baik secara langsung

maupun tidak langsung pada kepala (Mardjono, 2004).

Trauma Kapitis paling merupakan penyakit neuroligis yang paling sering di

antara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil dari

kecelakaan lalu lintas. (Turner DA, 1996).

Trauma Kapitis merupakan adaya pukulan/benturan mendadak pada kepala

dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. Traumatik yang terjadi pada otak mampu

menghasilkan perubahan pada fisik, intelektual, emosional, sosial, dan vocational.

(Harsono, 2005). Trauma Kapitis atau cedera kepala (brain injury) adalah salah

5
satu bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan

keseimbangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan atau dapat

dikatakan sebagai bagian dari gangguan traumatik yang dapat menimbulkan

perubahan – perubahan fungsi otak. (Mark S. Greenberg, 2010)

Menurut konsensus perdosi (2007), trauma kapitis yang sinonimnya = head

injury = trauma kranioserebral = traumatic brain injury merupakan trauma

mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang

menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi

psikososial baik bersifat temporer maupun permanen

Dari definisi itu saja, kita sudah tahu bahwa trauma kapitis sangat berbahaya

dan membutuhkan penanganan segera demi keselamatan penderita. Sayangnya,

kendati kasus terus meningkat, namun masih banyak pihak yang belum sadar

pentingnya kecepatan dalam menolong penderita.

2.2 Etiologi

a. Trauma oleh benda tajam

Menyebabkan trauma setempat dan menimbulkan trauma lokal. Kerusakan

lokal meliputi Kontusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder

yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau herniasi.

b. Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan trauma menyeluruh (difusi)

6
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cedera

akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil

multipel pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral,

batang otak atau kedua-duanya.

Etiologi lainnya:

a. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.

b. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.

c. Cedera akibat kekerasan.

2.3 Patofisiologi

Dalam keadaan normal otak mempunyai kemampuan melakukan

autoregulasi aliran darah serebral dan menjamin aliran daerah konstan melalui

pembuluh darah serebral. Faktor-faktor ini dapat mengubah kemampuan

pembuluh serebral untuk berkontraksi dan berdilatasi serta mengganggu

autoregulasi diantaranya trauma otak, iskemia dan hipoksia, pada klien dengan

kerusakan autoregulasi. Aktivitas yang dapat menyebabkan peningkatan aliran

darah serebral juga dapat meningkatkan tekanan intra kranial. Tekanan intra

kranial merupakan tekanan yang dikeluarkan oleh kombinasi dari 3 komplemen

intrakranial yaitu jaringan otak, cairan serebro spinal dan darah.

Hipotesa monro kellie mengatakan volume intrakranial sama dengan

volume otak ditambah volume darah serebral dan cairan serebro spinal, dimana

tiap perubahan volume dari tiap-tiap komponan karena gangguan kranial dapat

menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial.

7
Peningkatan tekanan intra kranial mengarah pada timbulnya iskemia,

kekakuan otak dan kemungkinan herniasi. Peningkatan tekanan intra kranial

berkembang pada hampir semua pasien dengan lesi intra kranial setelah

mengalami trauma kapitis. Pada semua pasien dengan trauma kapitis berat,

peningkatan tekanan intra kranial yang tidak terkontrol dapat menyebabkan

kematian.

Defisit Nerurologik pada trauma kapitis dimulai dengan adanya trauma

pada otak yang dapat menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, kerusakan

sawar otak, disertai vasodilatasi dan eksudasi jaringan sehingga timbul edema

yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial. Keadaan ini dapat

menurunkan aliran daerah serebral, iskemia, hipoksia, asidosis dan kerusakan

sawar darah otak lebih lanjut dan terjadi kematian sel-sel otak dan edema

bertambah positif.

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan

oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi

pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi

penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan

asidosis metabolik.

Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml /

menit / 100 gr. Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.

Trauma kapitis meyebabkan perubahan fungsi jantung pada aktivitas

atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan

8
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia,

fibrilasi atrium dan ventrikel, takikardia.

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,

dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan

berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh

darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar. (Mark S. Greenberg, 2010)

2.4 Klasifikasi

a. Menurut Jenis Cedera

9
 Trauma kapitis terbuka

Dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan otak

 Trauma kapitis tertutup

Dapat disamakan dengan keluhan gegar otak ringan dan edema serebral yang luas

b. Menurut Berat Ringannya Berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale)

 Trauma kapitis ringan (kelompok resiko rendah)

- GCS 14-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)

- Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt

- Tak ada fraktur tengkorak

- Tak ada kontusio serebral (hematom)

- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang

- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala

- Tidak adanya kriteria trauma sedang-berat.

 Trauma kapitis sedang

- GCS 9-13 (konfusi, letargi, atau stupor)

- Kehilangan kesadaran lebih dari 30 menit / kurang dari 24 jam (konkusi)

- Dapat mengalami fraktur tengkorak

- Amnesia pasca trauma

- Muntah

- Kejang

 Trauma kapitis berat

- GCS 3-8 (koma)

10
- Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran progresif)

- Diikuti kontusio serebri, laserasi, hematom intrakranial

- Tanda neurologis fokal

- Trauma kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium

c. Menurut morfologi

 Fraktur tengkorak

- Kranium : linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup

- Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa parese

nervus VII

- Fokal : epidural, subdural, intraserebral

- Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus

d. Menurut patofisiologi

 Trauma kapitis primer

Akibat langsung pada mekanisme dinamik (akselerasi - deselerasi rotasi)

yang menyebabkan gangguan pada jaringan.

Pada trauma primer dapat terjadi :

- Gegar kepala ringan

- Memar otak

- Laserasi

 Trauma kapitis sekunder

Pada trauma kapiitis sekunder akan timbul gejala, seperti :

- Hipotensi sistemik

- Hipoksia

11
- Hiperkapnea

- Edema otak

- Komplikasi pernapasan

- Infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain. (Mardjono, 2004)

2.5 Kerusakan Pada Bagian Otak Tertentu

Kerusakan pada lapisan otak paling superior (korteks serebri biasanya akan

mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah

tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggung jawab atas perilaku tertentu,

lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.

a. Kerusakan Lobus Frontalis

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian

motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu).

Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu

pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi

12
tubuh kontra lateral. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi,

tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang

kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan

perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.

Kerusakan luas yang mengarah ke bagian posterior lobus frontalis bisa

menyebabkan apatis, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas

yang mengarah ke bagian anterior atau lateral lobus frontalis menyebabkan

perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka

menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat

perilakunya.

b. Kerusakan Lobus Parietalis

Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,

tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan

matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu

mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian

tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan

parastesia pada sisi tubuh kontra lateral. Kerusakan yang agak luas bisa

menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan

(keadaan ini disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan.

Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam

mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa

mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik

(misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau

13
mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari

lainnya.

c. Kerusakan Lobus Temporalis

Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan

mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami

suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta

menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan

menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus

temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal

dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan

bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan,

akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat

kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

2.6 Trauma Spesifik Otak Kepala

a. Fraktur Tengkorak

Fraktur Linear : Kekuatan benturan lebih luas pada area tengkorak

Fraktur Basiler : Pada dasar tengkorak atau pada tulang sepanjang bagian frontal

atau temporal.

Fraktur ini cukup serius karena menimbulkan kontak antara cairan serebro

spinal dan dunia luar melalui ruang subarakhnoid dan sinus yang mengandung

udara dari wajah atau tengkorak, memungkinkan bakteri masuk & mengisi

drainase sinus. Fraktur ini bisa melukai arteri dan vena yang kemudian

14
mengalirkan darahnya ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di

dasar tengkorak bisa merobek meningens (selaput otak). Cairan serebrospinal

bisa merembes ke hidung atau telinga.

Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut,

dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian besar patah

tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan tulang

menekan otak atau posisinya bergeser.

b. Geger Serebral (Kontusio)

Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang biasanya

disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala. Robekan otak adalah

robekan pada jaringan otak, yang seringkali disertai oleh luka di kepala yang

nyata dan patah tulang tengkorak. Hal ini menandakan terjadinya perdarahan pada

otak yang dapat menimbulkan pembengkakan Bakteri ringan dari trauma otak

menyebar, disfungsi neurologis bersifat sementara dapat pulih.

Disorientasi dan bingung sesaat dengan gejala sakit kepala, tak mampu

konsentrasi, gangguan memori sementara pusing, pada amnesia retrograde. Jika

15
terjadi pembengkakan pada otak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada

jaringan otak, pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak.

c. Memar / Laserasi cerebral (Komosio)

Komosio cerebral setelah trauma kapitis adalah hilangnya fungsi

neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Umumnya meliputi sebuah

periode tidak sadarkan diri dalam beberapa detik sampai beberapa menit. Jika

jaringan otak di lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku

irasional yang aneh, dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan

amnesia atau disorientasi. Komosio cerebral ini merupakan memar pada

permukaan otak yang terdiri dari area hemoragi kecil-kecil yang tersebar, gejala

bersifat neorologis fokal, dapat berlangsung 2-3 hari setelah

trauma dan menimbulkan disfungsi luas akibat dari peningkatan edema serebral.

Pada scan tomografi terlihat masa dan menimbulkan perubahan TIK dengan jelas.

Tindakan terhadap komosio meliputi mengobservasi pasien terhadap

adanya sakit kepala, pusing, peka rangsang, dan ansietas (sindrom pasca-

komosio), yang dapat mengikuti tipe cedera. Dengan memberi pasien informasi,

16
penjelasan, dan dukungan pada pasien dapat mengurangi beberapa

masalah sindrom pasca - komosio.

d. Hematom Epidural

Adalah suatu akumulasi darah pada ruang epidural, terjadi karena robekan

cabang kecil arteri meningea media atau frontal. Hal ini terjadi karena patah

tulang tengkorak telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan

lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar.

Tanda dan gejala berupa sakit kepala hebat yang bisa segera timbul tetapi

bisa juga muncul beberapa jam setelah trauma dengan intensitas nyeri tidak tetap,

penurunan kesadaran ringan, diikuti periode lucid, kemudian penurunan neurologi

dari kacau mental sampai koma, bentuk dekortikasi & deserebrasi, pupil isokor

sampai anisokor. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung

kepada CT scan. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat

burr hole di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga

dilakukan pencarian dan koagulasi sumber perdarahan.

17
e. Hematoma Subdural

Adalah akumulasi darah dibawah lapangan meningeal duramater diatas

lapangan arakhnoid yang menutupi otak. Penyebabnya robekan

permukaan dan lebih sering pada lansia dan alkoholik gejala sakit kepala, letargi,

kacau mental, kejang disfasia. Hematoma subdural berasal dari perdarahan

pada vena di sekeliling otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya

cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala

yang lebih ringan. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala

bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma

subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma

subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya

dikeluarkan melalui pembedahan.

18
Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut, atau kronik, bergantung

pada ukuran pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.

1. Hematoma subdural akut

Dihubungkan dengan trauma kapitis mayor yang meliputi kontusio atau

laserasi. Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting

dan serius dalam 24 – 48 jam setelah cedera. Trauma ini sering berkaitan dengan

trauma deselerasi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Biasanya pasien dalam

keadaan koma dan tanda klinis sama dengan hematoma epidural. Tekanan darah

meningkat, frekuensi nadi lambat dan pernapasan cepat.

2. Hematoma subdural sub akut

Menyebabkan defisit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam

setelah trauma. Hematoma ini disebabkan oleh perdarahan vena ke dalam ruang

subdural. Riwayat klinis khas dari penderita hematoma subdural subakut adalah

adanya trauma kapitis yang menyebabkan ketidaksadaran, yang diikuti penurunan

kesadaran, dan perbaikan status neurologik secara bertahap. Namun setelah jangka

waktu tertentu penderita memperlihatkan penurunan status neurologik. Tingkat

19
kesadaran menurun bertahap, pasien tidak berespon, peningkatan tekanan intra

kranial, lalu terjadi herniasi unkus atau sentral. Angka kematian tinggi pada pasien

hematom subdural akut dan sub akut, karena sering dihubungkan dengan

kerusakan otak.

3. Hematoma subdural kronik

Terjadi karena trauma kapitis minor, terjadi paling sering pada lansia akibat

atrofi otak karena proses penuaan. Tampaknya trauma kaptis minor dapat

mengakibatkan dampak yang cukup untuk menggeser isi otak secara abnormal

dengan sekuela negatif. Waktu di antara trauma dan awitan gejala mungkin lama,

sehingga akibat aktual mungkin terlupakan. Gejala dapat tampak beberapa

minggu setelah trauma minor. Hematom subdural kronik mirip dengan kondisi

lain dan mungkin dianggap sebagai stroke.

Tindakan terhadap hematom subdural kronik ini dapat dilakukan

melalui burr hole ganda, atau kraniotomi dapat dilakukan untuk lesi massa

subdural yang cukup besar yang tidak dapat dilakukan melalui burr hole.

f. Hematoma Intrakranial

Adalah pengumpalan darah lebih dari 25 ml dalam parenkim otak,

penyebabnya adalah fraktur depresi tulang tengkorak, trauma penetrasi peluru

dan gerakan aselerasi-deserasi tiba-tiba tindakan bersifat kontroversial bedah atau

medis, serta bisa juga terjadi karena trauma atau stroke.

Perdarahan karena trauma biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak

sebelah luar (hematom subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar

dengan tulang tengkorak (hematom epidural). Kedua jenis perdarahan diatas

20
biasanya bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi

dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit. Perdarahan

menahun (hematom kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut dan membesar

secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari.

Hematom yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan

pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematom yang luas juga akan

menyebabkan otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada

perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, parese

pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan

jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan,

terutama pada usia lanjut.

g. Konkusio

Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sementara,

setelah terjadinya trauma pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang

nyata. Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan

kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah trauma kapitis

yang ringan, tergantung kepada goncangan yang menimpa otak di dalam tulang

tengkorak.

Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa

mengantuk yang abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan

total dalam beberapa jam atau hari. Beberapa penderita merasakan pusing,

kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya

berkurang dan kecemasan. Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa

21
hari sampai beberapa minggu, jarang lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa

mengalami kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini

disebut sindroma pasca konkusio.

Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki, tidak

diketahui mengapa sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu trauma kapitis yang

ringan. Para ahli belum sepakat, apakah penyebabnya adalah

cedera mikroskopi atau faktor psikis. Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa

membantu beberapa penderita sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan selain

sindroma pasca konkusio adalah gejala-gejala yang lebih serius yang bisa timbul

dalam beberapa jam atau kadang beberapa hari setelah terjadinya trauma. Jika

sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk bertambah parah, sebaiknya segera

mencari pertolongan medis.

Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka

tidak diperlukan pengobatan. Setiap orang yang mengalami trauma kapitis

diberitahu mengenai pertanda memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak

semakin parah, biasanya untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika

traumanya tidak parah, aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.

(American College of Surgeon Commitee on Trauma, 2004)

2.7 Manifestasi Klinis

Adapun manifestasi klinis dari cedera kepala adalah sebagai berikut :

1. Gangguan kesadaran

2. Konfusi

22
3. Abnormalitas pupil

4. Piwitan tiba-tiba defisit neurologis

5. Perubahan TTV

6. Gangguan pergerakan

7. Gangguan penglihatan dan pendengaran

8. Disfungsi sensori

9. Kejang otot

10. Sakit kepala

11. Vertigo

12. Kejang

13. Pucat

14. Mual dan muntah

15. Pusing kepala

16. Terdapat hematom

17. Kecemasan

18. Sukar untuk dibangunkan

19. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung

(rhinorhoea) dan telinga (otorhoea) bila fraktur tulang temporal.

Akibat Dari Trauma Otak Ini Tergantung Pada

1. Kekuatan benturan

Makin besar benturan makin parah kerusakan

2. Akselerasi / Deselerasi

Akselerasi = Benda yang bergerak mengenai kepala yang diam

23
Desekrasi = Kepala membentur benda diam

Keduanya bisa bersamaan terjadi bila gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak

langsung.

3. KUP dan Kontra KUP

Cedera KUP Kerusakan pada daerah dekat yang terbentur

Kontra KUP Kerusakan cedera berlawanan pada sisi desakan benturan

4. Lokasi Benturan

Bagi otak yang tersebar kemungkinan trauma kapitis terberat adalah bagian lobus

anterior (Frontalis & temporalis) Lobus posterior (oksipitalis dan atas

mesenfalon).

5. Rotasi

Pengubahan posisi rotasi kepala menyebabkan trauma regangan & robekan pada

substansia alba dan batang otak.

6. Fraktur Impresi

Disebabkan oleh suatu kekuatan yang mendorong fragmen tulang turun menekan

otak yang lebih dalam. Akibat fraktur ini kemungkinan cairan serebro spinal akan

mengalir ke hidung, telinga kemudian masuknya kuman dan terkontaminasi

dengan cairan serebro spinal dapat menimbulkan infeksi dan kejang.

2.8 Komplikasi

1. Epilepsi Pasca Trauma

Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi

beberapa waktu setelah otak mengalami trauma karena benturan di kepala. Kejang

24
bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya trauma. Kejang

terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami trauma kapitis hebat tanpa

adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka

tembus di kepala.

Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat)

biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering

diberikan kepada seseorang yang mengalami trauma kapitis yang serius, untuk

mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini seringkali berlanjut selama beberapa

tahun atau sampai waktu yang tak terhingga.

2. Afasia

Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena

terjadinya trauma pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami

atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa

adalah lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya.

Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, trauma

kapitis atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.

3. Apraksia

Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang

memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan

biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis.

Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah

menyebabkan kelainan fungsi otak.

25
4. Agnosia

Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan

merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau

fungsi normal dari benda tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah

yang dulu dikenalnya dengan baik atau benda-benda umum (misalnya sendok atau

pensil), meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda

tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan

temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan.

Agnosia seringkali terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala atau

stroke. Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan

secara spontan.

5. Amnesia

Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk

mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu.

Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Trauma pada otak bisa

menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum

terjadinya kecelakaan (amnesia retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera

setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia hanya

berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada

beratnya trauma) dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada trauma otak yang

hebat, amnesia bisa bersifat menetap.

Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali

dari memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan

26
lobus temporalis. Amnesia menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan

waktu, tempat dan orang, yang terjadi secara mendadak dan berat. Serangan bisa

hanya terjadi satu kali seumur hidup, atau bisa juga berulang. Alkoholik dan

penderita kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia yang

disebut sindroma Wernicke-Korsakoff.

Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan

amnesia yang berlangsung lama.

Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke.

Amnesia Korsakoff juga bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac

arrest atau ensefalitis akut.

6. Fistel Karotis-Kavernosus

Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat

timbul segera atau beberapa hari setelah trauma.

Angiografi perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan oklusi

balon endovaskuler untuk mencegah hilangnya penglihatan yang permanen.

7. Diabetes Insipidus

Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis,

menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien mengekskresikan

sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi

volume.

8. Kejang Pasca Trauma

Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau

lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk

27
kejang lanjut; kejang dini menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang

lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.

9. Kebocoran cairan serebrospinal

Dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 %

pasien dengan trauma kapitis tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan

elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase lumbal dapat

mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki risiko meningitis yang

meningkat, pemberian antibiotic profilaksis masih controversial. Otorea atau

rinorea cairan serebrospinal yang menetap atau meningitis berulang merupakan

indikasi untuk reparative.

10. Edema serebral dan herniasi

Penyebab paling umum dari peningkatan tekanan intra kranial, Puncak

edema terjadi 72 Jam setelah cedera. Perubahan tekanan darah, Frekuensi nadi,

pernafasan tidak teratur merupakan gejala klinis adanya peningkatan tekanan intra

kranial. Penekanan dikranium dikompensasi oleh tertekannya venosus & cairan

otak bergeser. Peningkatan tekanan terus menerus menyebabkan aliran darah otak

menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi vasodilatasi dan edema otak. Lama-

lama terjadi pergeseran supratentorial dan menimbulkan herniasi. Herniasi akan

mendorong hemusfer otak kebawah / lateral dan menekan di enchephalon dan

batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri otak posterior, saraf oculomotor,

jalur saraf corticospinal, serabut RES. Mekanisme kesadaran, tekanan darah, nadi,

respirasi dan pengatur akan gagal.

28
11. Defisit Neurologis dan Psikologis

Tanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan tingkat kesadaran,

Nyeri kepala hebat, Mual / muntah proyektil (tanda dari peningkatan tekanan

intra kranial).

2.9. Osmolaritas cairan dalam tubuh

Semua sel dan jaringan tubuh mausia terendam dalam cairan yang

komposisinya mirip dengan air laut, yang mencerminkan awal evolusi manusia.

Agar fungsi sel berlangsung normal komposisi cairan harus relatif konstan.

Komposisi cairan tersebut terdiri dari air dan zat terlarut baik yang termasuk

elektrolit ataupun yang non elektrolit dimana keduanya saling berhubungan dan

saling menyeimbangkan.

Cairan dalam tubuh manusia terbagi manjadi cairan intraselular dan

ekstraselular, dan cairan ekstraselular dibagi menjadi cairan interstisial dan

intravaskular. Semua pembagian ini pada prinsipnya saling menyeimbangkan. Jika

tubuh melewati batas kompensasinya maka diperlukan sejumlah besar cairan

intravena untuk mengkoreksi kekurangan cairan. Jika kompensasi ini tidak terjadi

atau tidak adanya penanganan yang adekuat maka akan berdampak perfusi ke

jaringan akan terganggu bahkan akan mengakibatkan kematian jaringan.

2.9.1. Molaritas, Molalitas, dan Ekuivalen

Satu mol menyatakan berat molekul yang dinyatakan dalam gram. Satu

milimol 1/1000 dari 1 mol, atau beratnya dinyatakan dalam miligram. Molaritas

29
adalah jumlah mol dari zat terlarut perliter larutan. Molalitas menyatakan mol dari

zat terlarut per kilogram pelarut. Ekuivalensi biasanya digunakan pada zat yang

mengandung ion. Jumlah ekuivalen dari sebuah ion dalam larutan adalah jumlah

mol dikalikan dengan muatannya (valensi).6,9

2.9.2. Osmolaritas, Osmolalitas, dan Tonisitas

Osmosis adalah proses pergerakan dari air yang melewati membran

semipermeabel yang disebabakan oleh perbedaan konsentrasi. Proses pergerakan

air ini dari yang konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Tekanan osmotik adalah

daya dorong air yang dihasilkan oleh partikel-partikel zat terlarut didalamnya.

Tekanan osmotik tergantung dari jumlah zat yang tidak terlarut didalamnya. Satu

osmol sama dengan satu mol pada zat yang tidak dapat dipisahkan. Perbedaan 1

mili osmol per liter antara dua larutan menghasilkan tekanan osmotik sebesar 19,3

mmHg. Osmolaritas dari larutan adalah sama dengan jumlah osmol per liter

larutan, dimana osmolalitas sama dengan jumlah osmol per kilogram pelarut.

Tonisitas adalah istilah yang sering dipertukarkan dengan osmolaritas dan

osmolalitas. Sebenarnya, tonisitas menggambarkan efek dari larutan terhadap

volume sel. Larutan isotonik tidak mempunyai efek terhadap volume sel,

sedangkan larutan hipotonik dan hipertonik akan meningkatkan dan menurunkan

volume sel.6,9

30
2.9.3. Distribusi cairan tubuh

Komponen terbesar tunggal dari tubuh adalah air. Air bersifat pelarut bagi semua

yang terlarut. Air tubuh total atau total body water (TBW) adalah persentase dari

berat air dibandingkan dengan berat badan total, bervariasi menurut kelamin,

umur, dan kandungan lemak tubuh. Air membentuk sekitar 60% dari berat seorang

pria dan sekitar 50% dari berat badan wanita.1 Berikut ini adalah tabel persentase

air (TBW) berdasarkan umur;

Jaringan lemak pada dasarnya bebas air. Oleh karena itu jika dibandingkan

dengan orang gemuk dengan kurus maka orang gemuk memiliki TBW yang relaif

kecil. Jaringan otot memiliki kandungan air yang tinggi. Maka jika wanita

dibandingkan dengan pria, akan ditemukan bahwa TBW pria lebih besar karena

sedikit jaringan lemak dan banyaknya masa otot.9

Air didistribusikan antara dua kompartemen yang dipisahkan oleh

membran sel. Pada orang dewasa kira-kira 40% berat badannya atau 2/3 dari

TBWnya berada di cairan intrasel atau intracellular fluid (ICF) dan sisanya 1/3

31
dari TBW atau 20% berada cairan ekstra sel atau extraxellular fluid (ECF). Cairan

ekstrasel terbagi lagi kedalam kompartemen cairan intravaskular (IVF) sebesar

5% dari TBW dan cairan interstisial (ISF) sebesar 15%. Sebesar 1-2% tergolong

kedalam cairan transeluler seperti cairan serebrospinal, intraokular dan sekresi

saluran cerna dan kesemua bagian ini memiliki komposisi elektrolit masing-

masing.6,9

Zat terlarut yang ada dalam cairan tubuh terdiri dari elektrolit dan non

elektrolit. Non elektrolit adalah zat terlarut yang tidak terlarut dan tidak

bermuatan lisrtrik yang terdiri dari protein, urea, glukosa, oksigen, kardondioksida

dan asam-asam organik. Garam yang terurai didalam air menjadi satu atau lebih

partikel-partikel bermuatan disebut ion atau elektrolit. Elektrolit tubuh terdiri dari

natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca2+), magnesium (Mg2+), klorida (Cl-),

bikarbonat (HCO3-), fosfat (HPO42-) dan sulfat (SO42-). Ion yang bermuatan

posisitf disebut kation dan yang bermuatan negatif disebut anion9.

2.9.4. Cairan intraselular

Membran sel bagian luar memegang peranan penting dalam mengatur

volume dan komposisi intraselular. Pompa membran-bound ATP-dependent akan

mempertukarkan Na dengan K dengan perbandingan 3:2. Oleh karena membran

sel relativ tidak permeable tehadap ion Na dan ion K, oleh karenanya potasium

akan dikonsentrasikan di dalam sel sedangkan ion sodium akan dikonsentrasiksn

di ekstra sel. Potasium adalah kation utama ICF dan anion utamanya adalah fosfat.

Akibatnya, potasium menjadi faktor dominant yang menentukan tekanan osmotik

32
intraselular, sedangkan sodium merupakan faktor terpenting yang menentukan

tekanan osmotik ekstraselular.6,9

Impermeabilitas membran sel terhadap protein menyebabkan konsentrasi

protein intraselular yang tinggi. Oleh karena protein merupakan zat terlarut yang

nondifusif (anion),rasio pertukaran yang tidak sama dari 3 Na+ dengan 2 K+ oleh

pompa membran sel adalah hal yang penting untuk pencegahan hiperosmolaritas

intraselular relativ. Gangguan pada aktivitas pompa Na-K-ATPase seperti yang

terjadi pada keadaan iskemi akan menyebabkan pembengkakan sel.6

2.9.5. Cairan ekstraselular

Fungsi dasar dari cairan ekstraselular adalah menyediakan nutrisi bagi sel

dan memindahkan hasil metabolismenya. Keseimbangan antara volume ektrasel

yang normal terutama komponen sirkulasi (volume intravaskular)adalah hal yang

sangat penting. Oleh sebab itu secara kuantitatif sodium merupakan kation

ekstraselular terpenting dan merupakan faktor utama dalam menentukan tekanan

osmotik dan volume sedangkan anion utamanya adalah klorida (Cl-), bikarbonat

(HCO3-). Perubahan dalam volume cairan ekstraselular berhubungan dengan

perubahan jumlah total sodium dalam tubuh. Hal ini tergantung dari sodium yang

masuk, ekskeri sodium renal dan hilangnya sodium ekstra renal.6,9

2.9.6. Cairan interstisial (ISF)

Normalnya sebagian kecil cairan interstisial dalam bentuk cairan bebas.

Sebagian besar air interstisial secara kimia berhubungan dengan proteoglikan

33
ekstraselular membentuk gel. Pada umumnya tekanan cairan interstisial adalah

negatif ( kira-kira -5 mmHg). Bila terjadi peningkatan volume cairan iterstisial

maka tekanan interstisial juga akan meningkat dan kadang-kadang menjadi

positif. Pada saat hal ini terjadi, cairan bebas dalam gel akan meningkat secara

cepat dan secara klinis akan menimbulkan edema. Hanya sebagian kecil dari

plasma protein yang dapat melewati celah kapiler, oleh karena itu kadar protein

dalam cairan interstisial relatif rendah (2 g/Dl). Protein yang memasuki ruang

interstisial akan dikembalikan kedalam sistim vaskular melalui sistim limfatik.6,9

2.9.7. Cairan intravaskular (IVF)

Cairan intravaskular terbentuk sebagai plasma yang dipertahankan dalam

ruangan intravaskular oleh endotel vaskular. Sebagian besar elektrolit dapat

dengan bebas keluar masuk melalui plasma dan interstisial yang menyebabkan

komposisi elektrolit keduanya yang tidak jauh berbeda. Bagaimanapun juga,

ikatan antar sel endotel yang kuat akan mencegah keluarnya protein dari ruang

intravaskular. Akibatnya plasma protein (terutama albumin) merupakan satu-

satunya zat terlarut secara osmotik aktif dalam pertukaran cairan antara plasma

dan cairan interstisial. Peningkatan volume ekstraselular normalnya juga

merefleksikan volume intravaskular dan interstisial. Bila tekanan interstisial

berubah menjadi positif maka akan diikuti dengan peningkatan cairan ekstrasel

yang akan menghasilkan ekspansi hanya pada kompartemen cairan interstisial.

Pada keadaan ini kompartemen interstisial akan berperan sebagai reservoir dari

34
kompartemen intravaskular. Hal ini dapat dilihat secara klinis sebagai edema

jaringan.6

Koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma

substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan

yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang

menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)

dalam ruang intravaskuler. Seperti disebutkan sebelumnya, koloid adalah molekul

besar yang tidak melintasi hambatan diffusional secara mudah seperti kristaloid.

Cairan koloid dimasukkan ke dalam ruang vaskuler. Olehkarena itu koloid

memiliki kecendrungan yang lebih besar untuk tetap bertahan dan meningkatkan

volume plasma dibandingkan dengan cairan kristaloid.6

2.9.8. Pengaturan faal dari cairan dan elektrolit

Intake cairan yang normal dari seorang dewasa rata-rata sebanyak 2500ml,

dimana kira-kira 300 ml merupakan hasil dari metabolisme substrat untuk

menghasilkan energi.. Kehilangan air harian rata-rata mencapai 2500 ml dan

secara kasar diperkirakan 1500 hilang melalui urin, 400 ml melalui pengauapn di

saluran napas, 400 ml melalui pengaupan di kulit, 100 ml melalui keringat, dan

100 ml melalui feses. Osmolalitas ECF dan ICF keduanya diregulasi hampir sama

dalam pengaturan keseimbangan cairan yang normal dalam jaringan. Perubahan

dalam komposisi cairan dan volume sel akan menyebabkan timbulnya kerusakan

fungsi yang serius terutama pada otak. Nilai normal dari osmolalitas bervariasi

antara 280 sampai 290 mosm/kg.6

35
Rumus menghitung osmolalitas plasma;

2x (Na+K) + Glukosa/18 + Ureum/6,4

Dalam keadaan fisiologis plasma osmolaliti hanya dipengaruhi oleh

natrium sementara jika dalam keadaan patologis urea dan glukosa turut

menentukan osmolalitas plasma. Hal ini misalnya terlihat pada; ditemukan

penunrunan natrium tiap 1 mEq/L terhadap peningkatan glukosa tiap 62mg/dl.

Pengaturan keseimbangan cairan dilakukan melalui mekanisme fisiologis yang

kompleks. Yang banyak berperan adalah ginjal, sistem kardiovaskuler, kelenjar

hipofisis, kelenjar paratiroid, kelenjar adrenal dan paru-paru. TBW dan

konsentrasi elektrolit sangat ditentukan oleh apa yang disimpan di ginjal.6

2.10 Manitol

Manitol (osmitrol) merupakan 6-karbon alkohol, yang tergolong sebagai

obat diuretikosmotik.(1) Istilah diuretik osmotik terdiri dari dua kata yaitu diuretik

dan osmotik. Diuretikialah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan

urine dengan adanya natriuresi (peningkatan pengeluaran natrium)

dan diuresis (peningkatan pengeluaran H2O). (1,2)

Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang

berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan

ekstrasel kembali menjadi normal.

Secara umum diuretik dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu: (1)

diuretik osmotik; (2) penghambat mekanisme transport elektrolit di dalam tubuli

ginjal.(2)

36
Tekanan osmotik adalah tekanan yang ditimbulkan oleh daya osmosis.

Untuk memahaminya kita harus mengetahui prinsif-prinsif dasarnya, yaitu

sebagai berikut; bilamana suatu membran di antara dua cairan permiabel terhadap

air tetapi tidak permiabel terhadap beberapa solut (zat larut) yang terlarut (ini

disebut suatu membran semi permiabel) dan konsentrasi solut lebih besar daripada

sisi lainya, air mengalir melalui membran tersebut menuju ke sisi dengan

konsentrasi yang lebih besar. Fenomena ini disebut osmosis.(4) Dalam hal ini

manitol memainkan prinsif yang sama terhadap sistem sirkulasi dan atau cairan

tubuh.

Satu zat dapat bertindak sebagai diuretik osmotik apabila memenuhi 4

syarat berikut: (1) difiltrasi secara bebas oleh glomerulus; (2) tidak atau hanya

sedikit direabsorpsi sel tubuli ginjal; (3) secara farmakologis merupakan zat yang

inert; dan (4) umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolik.

Dengan sifat-sifat ini, maka diuretik osmotik dapat diberikan dalam jumlah cukup

besar sehingga turut menentukan derajat osmolaritas plasma, filtrasi gomerulus,

dan cairan tubuli. Contoh obat goongan ini adalah manitol, gliserol, urea, dan

isosorbit. Dalam klinik manitol yang paling sering digunakan di antara obat

segolongannya.(2,3,5)

2.10.1. Farmakodinamik

Adanya manitol dalam sirkulasi akan meningkatkan tekanan osmotik

sehingga jumlah elektrolit dan air yang dieksresi bertambah besar. Tetapi untuk

menimbulkan diuresis yang cukup besar diperlukan dosis diuretik osmotik yang

cukup tinggi.

37
Tempat kerja utama manitol adalah: (1) tubuli proksimal, yaitu dengan

menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya; (2) ansa henle,

yaitu dengan penghambatan reabsorpsi natrium dan air oleh karena hipertonisitas

daerah medula menurun; (3) duktus koligentes, yaitu dengan penghambatan

reabsorpi natrium dan air akibat adanya papillary wash out, kecepatan aliran

filtrat yang tinggi, atau adanya faktor lain.

Manitol dapat menurunkan tekanan maupun volume intra okuler maupun

serebrospinal dengan meninggikan tekanan osmotik plasma sehingga air dari

kedua macam cairan tersebut akan berdifusi kembali ke dalam plasma dan ke

dalam ruang ekstra sel. Di dalam sirkulasi cairan akan dikeluarkan dari tubuh

dengan mekanisme kerja manitol pada ginjal.(1,2,3)

2.10.2. Farmakokinetik

Manitol merupakan diuretik osmotik yang spesifik karena tidak diabsorpsi

dalam traktus gastrointestinal dan harus diberikan per intravena dalam jumlah

besar, karena itu manitol tidak praktis untuk pengobatan udem kronis.

Manitol sangat sedikit dimetabolisme oleh tubuh, lebih kurang 7%

dimetabolisme di hati dan hanya 7% diabsorpsi. Sebagian besar manitol (>90%)

dikeluarkan oleh ginjal dalam bentuk utuh pada urin.(2)

2.10.3. Indikasi

Diuretik osmotik mungkin bisa digunakan untuk beberapa tujuan yang

jelas dan terpisah, tetapi semua tergantung pada sifat darasnya. Manitol digunakan

misalnya untuk profilaksis gagal ginjal akut, suatu keadaan yang dapat timbul

38
akibat operasi jantung, luka traumatik berat, dan menderita ikterus berat. Manitol

juga banyak digunakan untuk menurunkan tekanan serebrospinal dan tekanan

intraokuler, serta pada pengelolaan terhadap reaksi hemolitik transfusi.(1,2,3)

Manitol bekerja dengan menekan efek osmotik cairan tubular,

menghambat reabsorpsi air, dan menjaga laju aliran urin dengan syarat membran

normal. Hal ini melindungi ginjal dari kerusakan. Manitol juga dapat

meningkatkan aliran plasma ginjal yang menyebabkan efek vasodilatasi, sehingga

manitol dapat digunakan untuk evaluasi oligouria akut dan keadaan penurunan

pada sebagian fungsi glomerulus seperti pada kehilangan cairan tubuh yang

berlebih.(3)

Pada penanganan perdarahan intrakranial atau penyakit serebrovaskuler

dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial dapat pula diberikan manitol

sebagai anti udem.(3,6)Manitol jarang diberikan dalam kasus gagal ginjal kronis

kecuali pada keadaan yang menyertai dialysis disegr sisequilibrium syndrome.

Dalam hal ini kerja manitol mengurangi udem serebral yang menyebabkan mual,

muntah, tremor, dan kejang. Manitol dapat pula digunakan untuk mengeluarkan

racun dan obat pada kasus keracunan atau over dosis obat.(1,3)

2.10.4. Kontra Indikasi

Pada penderita payah jantung pemberian manitol berbahaya, karena

volume darah yang beredar meningkat sehingga memperberat kerja jantung yang

telah gagal. Pemberian manitol juga dikontraindikasikan pada penyakit ginjal

dengan anuria, kongesti atau udem paru yang berat, dehidrasi hebat, dan

39
perdarahan intra kranial, kecuali bila akan dilakukan kraniotomi, serta pada pasien

yang hipersensitivitas terhadap manitol.(1,2,3,5,7)

2.10.5. Sediaan

Manitol tersedia dalam berbagai kemasan dan konsentrasi, yaitu: Manitol

10% dalam kemasan plabottle 250 ml (25 gr) dan 500 ml (50 gr). Manitol 20%

dalam kemasan plabottle 250 ml (50 gr) dan 500 ml (100 gr).(1,3,5,7,8)

2.10.6. Dosis Dan Cara Pemberian

Sebelum digunakan manitol dihangatkan terlebih dahulu untuk melarutkan

kristal-kristalnya.(3) Untuk suntikan intravena digunakan larutan 5 – 25% dengan

volume antara 50 – 1000 ml. Dosis untuk menimbulkan diuresis ialah 50 – 200 gr

yang diberikan dalam cairan infus selama 24 jam dengan kecepatan infus

sedemikian, sehingga diperoleh diuresis sebanyak 30 – 50 ml/jam.

Untuk penderita dengan oligouria hebat diberikan dosis percobaan yaitu

200 ml/kg BB yang diberikan melalui infus selama 3 – 5 menit. Bila dengan 1 – 2

kali dosis percobaan diuresis masih kurang dari 30 ml/jam dalam 2 – 3 jam, maka

status pasien harus dievaluasi kembali sebelum pengobatan dilanjutkan.

Untuk pencegahan gagal ginjal akut pada tindakan operasi atau untuk

mengatasi oligouria, dosis total manitol untuk orang dewasa ialah 50 – 100 gr.

Untuk menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi, menurunkan tekanan

intraokuler pada seorang akut glaukoma kongestif, atau sebelum operasi mata,

40
digunakan manitol 1,5 – 2 gr/kg BB sebagai larutan 15 – 20%, yang diberikan

melalui infus selama 30 – 60 menit.(2,3)

2.10.7 Efek Samping

Infus maniotol harus segera dihentikan jika terdapat tanda-tanda gangguan

fungsi ginjal yang progresiv, payah jantung, atau kongesti paru. Keracunan akut

dapat menyertai pada pemberian intravena manitol jika aliran ginjal tidak adekuat.
(1,2,3,5)

Manitol adalah larutan hiperosmolar, larutan ini tidak boleh dicampur

dengan produk lain.(3)Larutan hiperosmotik manitol harus diberikan dengan pelan-

pelan secara injeksi intravena dan tidak boleh dicampur dengan darah dalam

peralatan transfusi.(2,3)

Hiperkalemia juga dapat timbul, dimana kadar potasium meningkat dalam

darah. Pasien harus segera diobservasi untuk tanda-tanda ketidakseimbangan

elektrolit dan cairan ini dengan pemeriksaan elektrolit darah. Reaksi anafilaksis

atau alergi bisa terjadi yang menyebabkan kardiak output dan tekanan arterial

gagal drastis. Destruksi eritrosit yang ireversibel juga dapat terjadi pada

pemberian manitol.

Manitol merupakan diuretik osmotik yang bekerja dengan cara

meningkatkan tekanan osmotik cairan intravaskuler sehingga diharapkan cairan

tertarik ke dalam vaskuler dan efek pada ginjal dapat meningkatkan aliran plasma,

dan menghambat reabsorpsi air dan elektrolit di tubulus proksimal, ansa henle,

dan duktus koligentes.

41
Sehingga manitol dapat digunakan dalam penatalaksanaan pencegahan

gagal ginjal akut pada tindakan operasi dan luka traumatik berat, juga dapat

digunakan dalam menurunkan tekanan intrakranial dan intraokuler pada penderita

glaukoma serta dapat digunakan sebagai anti udem. Lebih spesifik lagi manitol

sering digunakan sebagai anti udem otak.

Selain hal-hal yang memberikan manfaat, manitol juga dapat memberikan

efek yang tidak diharapkan seperti pada pasien-pasien dengan payah jantung dan

kongestif atau udem paru yang merupakan kontra indikasi. Reaksi hipersensitifitas

juga dapat timbul pada pemberian manitol.

Pengawasan pasien selama pemberian manitol harus dilakukan terutama

terhadap tanda-tanda adanya payah jantung, kongesti atau udem paru serta adanya

tanda-tanda ketidak seimbangan elektrolit terutama kalium.

Pemberiannya harus dihentikan segera bila dijumpai tanda-tanda tersebut.

Untuk dosis dan cara pemberian dapat disesuaikan dengan penyakit atau keadaan

yang diderita.

BAB III

PENUTUP

42
3.1 Prognosis Cedera Kepala

Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan terdapatnya

cedera ekstrakranial mayor pada umur yang tua merupakan prediksi buruknya

prognosis. Skor Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu hubungan linier yang

jelas terhadap mortalitas pasien. (Turner DA, 1996)

Lebih kurang 80% penderita yang datang ke ruang gawat darurat dengan

trauma kapitis ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan baik. 10%

penderita dengan trauma kapitis sedang, masih dapat mengikuti perintah

sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen, mungkin ada defisit

neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20% di antaranya menurun dan

koma. Bila gejala neurologis membaik dan atau CT-scan ulangan tidak

memperlihatkan lesi massa yang memerlukan operasi, penderita mungkin dapat

dipulangkan dalam beberapa hari kemudian.

Penderita yang tergolong dalam trauma kapitis berat, tidak dapat

mengikuti perintah yang sederhana, walaupun sudah dilakukan resusitasi

kardiopulmoner. Semua penderita mempunyai resiko morbiditas dan mortalitas

yang tinggi.

DEPARTEMEN ILMU BEDAH UNIVERSITAS HASANUDDIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

43
Makalah 1

Tinjauan Pustaka

PATOFISIOLOGI TRAUMA KAPITIS

Oleh:

NURHIDAYAT AFIANTO

Pembimbing:

Dr. ANDI IHWAN Sp.BS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS PPDS I

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2016

DAFTAR ISI

44
Halaman Judul..................................................................................................... i

Daftar Isi.............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 4

2.1 Definisi............................................................................................... 4

2.2 Etiologi............................................................................................... 6

2.3 Patofisiologi....................................................................................... 7

2.4 Klasifikasi.......................................................................................... 10

2.5 Kerusakan Pada Bagian Otak Tertentu.............................................. 12

2.6 Trauma Spesifik Otak Kepala............................................................ 14

2.7 Manifestasi Klinis.............................................................................. 22

2.8 Komplikasi......................................................................................... 24

2.9 Osmolaritas cairan dalam tubuh......................................................... 29

2.9.1. Molaritas, Molalitas, dan Ekuivalen.............................................. 29

2.9.2. Osmolaritas, Osmolalitas, dan Tonisitas........................................ 30

2.9.3. Distribusi cairan tubuh................................................................... 31

2.9.4. Cairan intraselular.......................................................................... 32

2.9.5. Cairan ekstraselular........................................................................ 33

2.9.6. Cairan interstisial (ISF).................................................................. 33

2.9.7. Cairan intravaskular (IVF)............................................................. 34

2.9.8. Pengaturan faal dari cairan dan elektrolit...................................... 35

45
2.10 Manitol............................................................................................. 36

2.10.1. Farmakodinamik.......................................................................... 37

2.10.2. Farmakokinetik............................................................................ 38

2.10.3. Indikasi......................................................................................... 39

2.10.4. Kontra Indikasi............................................................................. 40

2.10.5. Sediaan......................................................................................... 40

2.10.6. Dosis Dan Cara Pemberian.......................................................... 40

2.10.7 Efek Samping................................................................................ 41

BAB IIII PENUTUP............................................................................................ 43

3.1. Prognosis Cedera Kepala.................................................................. 43

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... iv

DAFTAR PUSTAKA

1. Hasan sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta,

2004

2. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press,

Yogyakarta, 2005

46
3. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat,

Jakarta, 2004

4. Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta

Kedokteran edisi Ketiga jilid 2, Media Aesculapius dan CDC, Jakarta, 2000

5. Robert L. Martuza, Telmo M. Aquino, Trauma dalam Manual of Neurologic

Therapeutics With Essentials of Diagnosis, 3th ed, Litle Brown & Co, 2000

6. PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal

3 November 2007

7. Mark S. Greenberg, M.D, Handbook of Neurosurgery, seventh edition,

2010

8. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala.

Dalam :Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah

Indonesia. Komisi trauma IKABI, 2004.

9. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam :

Neurosurgery 2nd edition. New York: Mc Graw Hill, 1996.

10. Gennarelli TA, Meaney DF. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam:

Neurosurgery 2nd edition. New York : McGraw Hill, 1996.

11. Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of

Neurological and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia :

lippincot William & Wilkins, 2003.

12. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta :

Deltacitra Grafindo, 2008.

47
48

Вам также может понравиться

  • Ax
    Ax
    Документ2 страницы
    Ax
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Dislokasi Bahu
    Dislokasi Bahu
    Документ32 страницы
    Dislokasi Bahu
    Diana Astria
    Оценок пока нет
  • Ax
    Ax
    Документ2 страницы
    Ax
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Turp
    Turp
    Документ20 страниц
    Turp
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Dislokasi Anterior Lama Bahu Kanan
    Dislokasi Anterior Lama Bahu Kanan
    Документ1 страница
    Dislokasi Anterior Lama Bahu Kanan
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Dislokasi Bahu
    Dislokasi Bahu
    Документ36 страниц
    Dislokasi Bahu
    VictorJansen
    67% (3)
  • BPH
    BPH
    Документ5 страниц
    BPH
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Tranns Tugas BTKV
    Tranns Tugas BTKV
    Документ6 страниц
    Tranns Tugas BTKV
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Obstruksi Usus Pada Anak
    Obstruksi Usus Pada Anak
    Документ3 страницы
    Obstruksi Usus Pada Anak
    ArHam
    Оценок пока нет
  • BPH
    BPH
    Документ5 страниц
    BPH
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Tatalaksana Dislokasi Pada Dislokasi Anterior Bahu
    Tatalaksana Dislokasi Pada Dislokasi Anterior Bahu
    Документ68 страниц
    Tatalaksana Dislokasi Pada Dislokasi Anterior Bahu
    Sarah Jehan
    Оценок пока нет
  • Sexual Dysfunction After TURP - En.id
    Sexual Dysfunction After TURP - En.id
    Документ6 страниц
    Sexual Dysfunction After TURP - En.id
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Metastasis
    Metastasis
    Документ35 страниц
    Metastasis
    Agung T Prakoso
    100% (5)
  • Kata Sambutan
    Kata Sambutan
    Документ1 страница
    Kata Sambutan
    ArHam
    Оценок пока нет
  • CT SCAN Thoorax
    CT SCAN Thoorax
    Документ39 страниц
    CT SCAN Thoorax
    ArHam
    100% (1)
  • Metastasis
    Metastasis
    Документ14 страниц
    Metastasis
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Chest X Ray
    Chest X Ray
    Документ42 страницы
    Chest X Ray
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Toleransi
    Toleransi
    Документ12 страниц
    Toleransi
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Tranns Tugas BTKV
    Tranns Tugas BTKV
    Документ6 страниц
    Tranns Tugas BTKV
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Laporan Kasus Aneurisma Arcus Aorta
    Laporan Kasus Aneurisma Arcus Aorta
    Документ17 страниц
    Laporan Kasus Aneurisma Arcus Aorta
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Toleransi
    Toleransi
    Документ12 страниц
    Toleransi
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Metastasis
    Metastasis
    Документ14 страниц
    Metastasis
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Mkdu Proposal
    Mkdu Proposal
    Документ8 страниц
    Mkdu Proposal
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Kolelitiasis Dan Morbiditas Gagal Usus Kronik
    Kolelitiasis Dan Morbiditas Gagal Usus Kronik
    Документ23 страницы
    Kolelitiasis Dan Morbiditas Gagal Usus Kronik
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Nothing
    Nothing
    Документ1 страница
    Nothing
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Makalah
    Makalah
    Документ34 страницы
    Makalah
    ArHam
    Оценок пока нет
  • XXVVVV
    XXVVVV
    Документ6 страниц
    XXVVVV
    ArHam
    Оценок пока нет
  • Complete Case Femur Shaft Fracture
    Complete Case Femur Shaft Fracture
    Документ19 страниц
    Complete Case Femur Shaft Fracture
    ArHam
    100% (1)
  • Pelvic Fracture
    Pelvic Fracture
    Документ20 страниц
    Pelvic Fracture
    ArHam
    Оценок пока нет