Вы находитесь на странице: 1из 29

MAKALAH TREND ISSUE

PATTERN OF PARENTING DALAM KEPERAWATA JIWA

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 3

ALVIN JAYA NPM.16.11.4066.E.A.0002

FARADILA NOVIANA NPM.16.11.4066.E.A.0009

INDRIANTI ROSIDA SAFITRI NPM.16.11.4066.E.A.0015

JULIANA SAPUTRI NPM.16.11.4066.E.A.0018

SHARAS AULIA APRILIANI NPM.16.11.4066.E.A.0027

YENNY SRI JULIARTY NPM.16.11.4066.E.A.0034

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM KALIMANTAN TIMUR

AKADEMI KEPERAWATAN YARSI SAMARINDA

2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan hidayahnya sehingga penyususnan Makalah yang berjudul Trend Issue

Pattern Of Parentin dalam keperawatan jiwa dapat terselesaikan. Makalah ini

disusun untuk menyelesaikan tugas Keperawatan Jiwa.

Terimakasih kepada Bapak Budi Rahman,S.Kep yang telah memberikan

bimbingan selama pembuatan makalah dan tugas dalam mata ajar Keperawatan

Jiwa, serta nasehat-nasehat yang sangat bermanfaat bagi kelompok.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada kelompok dari pihak

dosen pembimbing maupun teman-teman mendapat balasan dari Allah SWT.

Dalam penyusunan makalah keperawatan Jiwa ini penulis masih jauh dari

kesempurnaan, untuk itu mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun demi kesempurnaan dan perbaikan dimasa yang akan datang.

Akhirnya kami berharap semoga makalah keperawatan Jiwa ini dapat

bermanfaat bagi rekan-rekan pembaca dan dapat dikembangkan dimasa yang akan

datang, Amin

Samarinda, 15 Oktober 2018

Kelompok 3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan IPTEK di dunia ini ternyata tidak diimbangi dengan


kemajuan psikologis dan sosiologis dari setiap kalangan yang ada di setiap
negara. Maraknya peristiwa mengakhiri hidup dengan bunuh diri menjadi
sebuah fenomena menarik. Namun, pada kondisi empirik kita temukan justru
pada akhir-akhir ini fenomena mengambil jalan pintas bunuh diri menjadi
sebuah alternatif yang banyak dipilih tak hanya kalangan orang dewasa, tetapi
juga oleh remaja, bahkan anak-anak yang masih bersekolah di tingkat dasar.
Tingkat bunuh diri di Indonesia dinilai masih cukup tinggi. Berdasarkan data
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2005, sedikitnya 50 ribu orang
Indonesia melakukan tindak bunuh diri tiap tahunnya. Dengan demikian,
diperkirakan 1.500 orang Indonesia melakukan bunuh diri perharinya. Jumlah
ini belum ditambah tingkat kematian akibat dari pemakaian obat terlarang
(overdosis) yang jumlahnya mencapai 50 ribu orang tiap tahun.
Bunuh diri, menurut Dr Suryo Darmono SpKJ, dari Bagian Psikiatri
FKUI/RSCM, adalah kematian yang diperbuat oleh korban sendiri secara
sengaja. ”Bunuh diri merupakan masalah yang kompleks, dipengaruhi oleh
banyak faktor, mulai dari biologis, psikologis (koping individu tidak efektif),
dan sosio kultural. Jadi bunuh diri tidak pernah disebabkan oleh alasan
tunggal,” papar Suryo.
Berbagai penelitian menunjukkan, lebih dari 90% kasus bunuh diri
mempunyai latar belakang gangguan jiwa. Depresi merupakan diagnosis
tersering yang ditegakkan pada kasus bunuh diri. Lebih dari 60% di antaranya
mengalami gangguan depresi saat melakukan bunuh diri. Gangguan jiwa lain
yang seringkali menyertai perilaku bunuh diri adalah penyalahgunaan alkohol
dan zat psikoaktif, skizofrenia, gangguan mental organik (epilepsi), dan
gangguan kepribadian berciri impulsif-agresif (antisocial)
Posisi Indonesia sendiri hampir mendekati negara-negara bunuh diri,
seperti Jepang, dengan tingkat bunuh diri mencapai lebih dari 30.000 orang
per tahun dan China yang mencapai 250.000 per tahun.
Pada tahun 2005, tingkat bunuh diri di Indonesia dinilai masih cukup
tinggi. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2005,
sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan tindak bunuh diri tiap tahunnya.
Dengan demikian, diperkirakan 1.500 orang Indonesia melakukan bunuh diri
per harinya. Namun laporan di Jakarta menyebutkan sekitar 1,2 per 100.000
penduduk dan kejadian bunuh diri tertinggi di Indonesia adalah Gunung
Kidul, Yogyakarta mencapai 9 kasus per 100.000 penduduk.
Di Provinsi Bali, berdasarkan data yang dihimpun Kepolisian Daerah
Bali selama lima bulan tahun 2008 sebanyak 70 kasus, sementara tahun 2009
ada 39 kasus.
Psikolog Tika Bisono mensinyalir para pelaku bunuh diri memilih
keramaian sebagai tempat bunuh diri karena, pelaku ingin terlihat membaur
selayaknya orang normal melakukan aktivitas, masih berada di persimpangan
antara mau dan tidak mau serta berharap setidaknya ada orang yang berniat
mencegah dirinya melakukan usaha bunuh diri. Jika disimak, banyak peristiwa
bunuh diri yang dilakukan oleh anak usia belasan tahun dan masih bersekolah
disekolah dasar atau di sekolah menengah pertama (SMP). Kini, bunuh diri
dipandang sebagian masyarakat sebagai salah satu jalan keluar mengatasi
masalah yang dihadapinya. Bunuh diri dipandang potret masyarakat gagal.
Manusia dihargai bukan oleh nilai-nilai kemanusiaan, melainkan oleh
kedudukan, kekayaan, martabat dan status sosial. Lunturnya penghargaan
individu menjadi pemicu orang tidak lagi berharga di mata orang lain.
Hal tersebut juga sangat mempengaruhi faktor psikologis dan
sosiologis bangsa Indonesia yang tak mampu mengadaptasikan diri dengan
lingkungan sekitar dan diri sendiri. Hasil dari kebimbangan yang tak dapat
dikendalikan dapat menghasilkan dan menjadikan bunuh diri sebagai jalan
keluar yang tak akan pernah menyelesaikan masalah.
Beranjak dari permasalahan yang telah dipaparkan di atas, penulis
merasa perlu untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan tentang
tanda dan gejala bunuh diri pada anak dan remaja serta perkembangan jiwa
pada anak dan remaja. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami membahas
tentang “Trend dan Isu Keperawatan Jiwa : Pattern Of Parenting”
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Secara umum makalah ini bertujuan untuk mengetahui trend dan isu
pada keperawatan jiwa tentang pattern of parenting mengenai bunuh
diri pada anak dan remaja
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian bunuh diri
2. Mengetahui factor-faktor penyebab terjadinya bunuh diri
3. Mengetahui peran parenting pattern dalam mencegah bunuh diri
pada anak dan remaja
4. Mengetahui perkembangan bunuh diri pada anak dan remaja
5. Mengetahui pencegahan perilaku bunuh diri pada anak dan remaja
6. Mengetahui peran pemerintah dalam mengatasi perilaku bunuh diri
pada anak
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Bunuh Diri


Clinton dalam Mental Health Nursing Practice (1995: 262)
menyebutkan :
Suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan,
individu secara sadar dan berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya
untuk mati. Perilaku bunuh diri meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau
ancaman verbal, yang akan mengakibat kan kematian, luka atau menyakiti
diri sendiri.
Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”,
dengan “sui” yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan.
Schneidman mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku
pemusnahan secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang
individu yang memandang bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah
isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang
cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis
dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh
diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang
bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000).
Dari aliran eksistensial, Baechler mengatakan bahwa bunuh diri
mencakup semua perilaku yang mencari penyelesaian atas suatu masalah
eksistensial dengan melakukan percobaan terhadap hidup subjek (dalam
Maris dkk., 2000). Menurut Corr, Nabe, dan Corr (2003), agar sebuah
kematian bisa disebut bunuh diri, maka harus disertai adanya intensi untuk
mati. Meskipun demikian, intensi bukanlah hal yang mudah ditentukan,
karena intensi sangat variatif dan bisa mendahului , misalnya untuk
mendapatkan perhatian, membalas dendam,mengakhiri sesuatu yang
dipersepsikan sebagai penderitaan, atau mengakhiri hidup. Menurut Maris,
Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri memiliki 4 pengertian,
antara lain:
1. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
2. Bunuh diri dilakukan dengan intense
3. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
4. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak
langsung (pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang
menentukan kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta
api.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa
bunuh diri secara umum adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan
intensi mati sebagai penyelesaian atas suatu masalah.
Dalam bukunya Le Suicide (1987), Durkheim merumuskan dan
menguraikan secara jelas tiga tipe bunuh diri. Pembagian ini, dapat
menjelaskan berbagai kasus bunuh diri di Indonesia karena dinilai praktis,
yaitu :
1. Bunuh diri egoistik
Terjadi akibat ketidakmampuan individu untuk berintegrasi dengan
masyarakat. Hal ini umumnya terjadi di kota besar, dimana
masyarakat kota memiliki interaksi dan integrasi sosial yang relatif
rendah. Bunuh diri egoistis terutama disebabkan oleh egoisme yang
tinggi pada diri orang yang bersangkutan. Kalaupun ia berada dalam
sebuah grup ia tidak total berada di dalamnya. Hidupnya tertutup
untuk orang lain, cenderung memikirkan dan mengusahakan
kebutuhannya sendiri. Orang yang egoismenya tinggi ketika
mengalami krisis tidak bisa menerima bantuan moral dari grupnya. Ia
dengan mudah bisa terjerumus oleh sikapnya yang egois untuk
mengakhiri hidupnya. Orang yang egois cenderung untuk melihat
segala sesuatu dari ukurannya sendiri.
2. Bunuh diri altruistik
Terjadi akibat individu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun
karena individu merasa bahwa kelompoknya mengharapkannya.
Contohnya adalah hara-kiri di Jepang. Bunuh diri altruistis dipahami
sebagai kebalikan dari bunuh diri egoistis. Individu terlalu berlebihan
dalam integrasi dengan grup atau kelompoknya hingga di luar itu ia
tidak memiliki identitas. Pengintegrasian yang berlebihan biasanya
berdimensi memandang hidup di luar grup atau dalam pertentangan
dengan grup sebagai tidak berharga. Dalam konteks ini Durkheim
mengambil contoh konkret orang yang suka mati syahid daripada
menyangkal agamanya dan para prajurit dan perwira yang berani mati
gugur demi keselamatan nusa dan bangsa.
3. Bunuh diri anomik
Terjadi akibat individu kehilangan pegangan dan tujuan sehingga
individu meninggalkan norma-norma kelakuan yang biasa. Anomi
adalah keadaan moral dimana orang yang bersangkutan kehilangan
cita-cita, tujuan dan norma dalam hidupnya. Nilai-nilai yang biasa
memotivasi dan mengarahkan perilakunya sudah tidak berpengaruh.
Adapun penyebab yang sering dijumpai yaitu m usibah dalam bentuk
apapun. Kehadiran musibah menghantam cita-cita, tujuan dan norma
hidupnya sehingga ia mengalami kekosongan hidup. Pada kontek
inilah, di Indonesia kasus bunuh diri meningkat tajam sehingga orang
rela bunuh diri dengan membakar diri, gantung diri, minum racun dan
sebagainya. Keadaan anomi melanda masyarakat karena adanya
perubahan sosial yang terlalu cepat.
4. Bunuh diri fatalistik
Terjadi pada individu yang hidup di masyarakat yang terlalu ketat
peraturannya. Misalnya karena tekanan seorang majikan terhadap
pembantunya. Sehingga terjadi bunuh diri.

2.2 Faktor- factor Penyebab Bunuh Diri


Sampai saat ini belum didapatkan penyebab yang pasti dari bunuh
diri. Bunuh diri merupakan interaksi yang kompleks dari faktor-faktor
genetik, organobiologik, psikologik, dan sosiokultural. Faktor-faktor itu
dapat saling menguatkan atau melemahkan terjadinya tindakan bunuh diri
pada seorang individu.
Bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak
fenomena yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus
bunuh diri yang memiliki etiologi yang sama (Maris dkk.,2000).
Schneidman menyebut bunuh diri sebagai hasil dari “psychache”.
Psychache merupakan rasa sakit dan derita yang tidak tertahankan dalam
jiwa dan pikiran. Rasa sakit tersebut pada dasarnya berasal dari jiwa
seseorang ketika merasakan secara berlebih rasa malu, rasa bersalah,
penghinaan, kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan karena menua,
atau berada dalam keadaan sekarat (dalam Maris dkk., 2000). Di samping
itu, Mann dari bidang psikiatri mengatakan penyebab bunuh diri berada di
otak, akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-sinapsis, dan
pertanda biologis lainnya (dalam Maris dkk., 2000).
Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang
ada saling berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang
individu yang melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di
bawah ini. Berikut beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan
pada kasus bunuh diri yang berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di
antaranya (Maris, dalam Maris dkk.,2000; Meichenbaum, 2008):
1. Major-depressive illness, affective disorder
2. Penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban percobaan
bunuh memiliki level alkohol dalam darah yang positif)
3. Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh
diri
4. Sejarah percobaan bunuh diri
5. Sejarah bunuh diri dalam keluarga
6. Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan
7. Hopelessness dan cognitive rigidity
8. Stresor atau kejadian hidup yang negatif (masalah pekerjaan,
pernikahan, seksual, patologi keluarga, konflik interpersonal,
kehilangan, berhubungan dengan kelompok teman yang suicidal)
9. Kemarahan, agresi, dan impulsivitas
10. Key symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik,
insomnia global, halusinasi perintah)
11. Suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku
persiapan bunuh diri)
12. Akses pada media untuk melukai diri sendiri
13. Penyakit fisik dan komplikasinya
14. Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas

Adapun karakteristik kepribadian seseorang yang cenderung ingin


bunuh diri, antara lain :
1. Ambivalensi
Keinginan untuk tetap hidup dan keinginan untuk mati berkecamuk pada
pelaku bunuh diri. Terdapat dorongan untuk lari dari pedihnya kehidupan,
sekaligus terdapat pula keinginan untuk bertahan hidup. Banyak pelaku
bunuh diri sesungguhnya tidak ingin mati, hanya saja mereka tidak merasa
bahagia dengan kehidupannya. Bila diberikan dukungan dan keinginan
untuk hidup ditingkatkan, maka risiko bunuh diri akan berkurang.

2. Impulsivitas
Bunuh diri juga merupakan tindakan impulsif. Sebagaimana juga impuls
lain, impuls bunuh diri juga bersifat sementara dan berlangsung hanya
beberapa menit atau beberapa jam. Biasanya dicetuskan oleh peristiwa
sehari-hari yang negatif. Dengan mengatasi keadaan krisisnya serta
mengulur waktu, maka petugas kesehatan dapat menolong mengurangi
keinginan bunuh diri.
1. Rigiditas
Pada saat melakukan tindakan bunuh diri, pikiran, perasaan dan
perilakunya terbatas. Mereka terus memikirkan bunuh diri saja dan tidak
dapat menemukan jalan ke luar lain dari masalahnya. Mereka berpikir
secara kaku.

2.3 Peran Parenting Pattern Dalam Mencegah Bunuh Diri Pada Anak Dan
Remaja

Perilaku berisiko tinggi yang dilakukan remaja perlu dicermati


dengan bijaksana karena di satu pihak dapat merupakan perilaku sesaat
tapi juga dapat pula merupakan pola perilaku yang terus menerus dapat
membahayakan diri, orang lain maupun lingkungan. Untuk itu diperlukan
suatu cara pendekatan yang komprehensif dari semua pihak baik orang tua,
guru, maupun masyarakat sekitar agar memahami perkembangan jiwa
remaja dengan harapan masalah remaja dapat tertanggulangi.
Keluarga juga memiliki peran dalam mencegah tindakan bunuh diri
dengan memberikan perhatian khusus kepada anggota keluarga yang
berkecenderungan melakukan tindakan bunuh diri. Sering terjadi orang
tua dan anggota keluarga sudah tidak perlu lagi ikut campur dalam urusan
pribadi masing-masing anggota keluarga ketika mereka telah dewasa.
Padahal ikatan keluarga khususnya keluarga inti atau batih tidak berhenti
pada satu fase atau usia tertentu. Ikatan emosional keluarga sangat
menentukan kemampuan anak dalam bertindak. Tidak sedikit seorang
anak berpikir beberapa kali untuk melakukan tindakan yang menyimpang
dengan alasan tidak mau merusak nama baik keluarga dan ini merupakan
harta yang paling berharga dan cara paling efektif untuk meminimalisir
terjadinya kenakalan remaja.
Bila fungsi ini telah hilang, maka tidak mustahil bila seorang anak
justru melakukan penyimpangan social (social deviant) justru dengan
kesadaran untuk merusak nama keluarga. Tidak jarang keluarga justru
menjadi factor penyebab utama seseorang melakukan tindakan
penyimpangan seperti bunuh diri. Kekerasan, pelecehan dan pengabaian
sering menjadi alasan bagi seorang anggota keluarga untuk membenarkan
tindakannya yang menyimpang.

Peran Orangtua

a. Menanamkan pola asuh yang baik pada anak sejak prenatal dan balita
b. Membekali anak dengan dasar moral dan agama
c. Mengerti komunikasi yang baik dan efektif antara orangtua–anak
d. Menjalin kerjasama yang baik dengan guru
e. Menjadi tokoh panutan bagi anak baik dalam perilaku maupun dalam
yhal menjaga lingkungan yang sehat
f. Menerapkan disiplin yang konsisten pada anak
g. Hindarkan anak dari NAPZA

Peran Sebagai Pendidik

Orang tua hendaknya menyadari banyak tentang perubahan fisik


maupun psikis yang akan dialami remaja. Untuk itu orang tua wajib
memberikan bimbingan dan arahan kepada anak. Nilai-nilai agama yang
ditanamkan orang tua kepada anaknya sejak dini merupakan bekal dan
benteng mereka untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi.
Agar kelak remaja dapat membentuk rencana hidup mandiri, disiplin, dan
bertanggung jawab, orang tua perlu menanamkan arti penting dari
pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan di sekolah, di
luar sekolah, serta di dalam keluarga.

Peran Sebagai Pendorong


Menghadapi masa peralihan menuju dewasa, remaja sering
membutuhkan dorongan dari orang tua. Terutama saat mengalami
kegagalan yang mampu menyurutkan semangat mereka. Pada saat itu,
orang tua perlu menanamkan keberanian dan rasa percaya diri remaja
dalam menghadapi masalah, serta tidak gampang menyerah dari kesulitan.

Peran Sebagai Panutan

Remaja memerlukan model panutan di lingkungannya. Orang tua


perlu memberikan contoh dan teladan, baik dalam menjalankan nilai-nilai
agama maupun norma yang berlaku di masyarakat. Peran orang tua yang
baik akan mempengaruhi kepribadian remaja.

Peran Sebagai Pengawas

Menjadi kewajiban bagi orang tua untuk melihat dan mengawasi


sikap dan perilaku remaja agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang
membawanya ke dalam kenakalan remaja dan tindakan yang merugikan
diri sendiri. Namun demikian hendaknya dilakukan dengan bersahabat dan
lemah lembut. Sikap penuh curiga, justru akan menciptakan jarak antara
anak dan orang tua, serta kehilangan kesempatan untuk melakukan dialog
terbuka dengan anak dan remaja.

Peran Sebagai Teman

Menghadapi remaja yang telah memasuki masa akil balig, orang


tua perlu lebih sabar dan mau mengerti tentang perubahan pada remaja.
Perlu menciptakan dialog yang hangat dan akrab, jauh dari ketegangan
atau ucapan yang disertai cercaan. Hanya bila remaja merasa aman dan
terlindung, orang tua dapat menjadi sumber informasi, serta teman yang
dapat diajak bicara atau bertukar pendapat tentang kesulitan atau masalah
mereka.
Peran Sebagai Konselor

Peran orang tua sangat penting dalam mendampingi remaja, ketika


menghadapi masa-masa sulit dalam mengambil keputusan bagi dirinya.
Orang tua dapat memberikan gambaran dan pertimbangan nilai yang
positif dan negatif , sehingga mereka mampu belajar mengambil keputusan
tebaik. Selain itu orang tua juga perlu memiliki kesabaran tinggi serta
kesiapan mental yang kuat menghadapi segala tingkah laku mereka,
terlebih lagi seandainya remaja sudah melakukan hal yang tidak
diinginkan. Sebagai konselor, orang tua dituntut untuk tidak menghakimi,
tetapi dengan jiwa besar justru harus merangkul remaja yang bermasalah
tersebut.

Peran Sebagai Komunikator.

Suasana harmonis dan saling memahami antara orang tua dan


remaja, dapat menciptakan komunikasi yang baik. Orang tua perlu
membicarakan segala topik secara terbuka tetapi arif. Menciptakan rasa
aman dan telindung untuk memberanikan anak dalam menerima uluran
tangan orang tua secara terbuka dan membicarakan masalahnya. Artinya
tidak menghardik anak.

2.4 Perkembangan Jiwa Pada Anak dan Remaja

2.5 Pencegahan Perilaku Bunuh Diri Pada Anak Dan Remaja


1. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh individu
Bila menemukan orang dengan ciri risiko tinggi bunuh diri:
a. Coba menjalin kontak dan mengenali pelaku tindakan bunuh
diri beserta latar belakangnya.
b. Dengarkan dengan penuh perhatian dan biarkan pelaku
tindakan bunuh diri berbicara mengenai perasaannya.
c. Coba mengenali masalah dan memahami perasaannya.
d. Hargai pemikirannya dan jangan menyalahkan keputusan
mereka untuk bunuh diri.
e. Telusuri situasi yang dialami sekarang dan pengalaman serta
keyakinannya pada masa lalu.
f. Telusuri pilihan alternatif yang positif yang mungkin dan dapat
dilakukan sesuai dengan diri, nilai dan hal yang disenangi oleh
orang tersebut.
g. Identifikasi cara terbaik yang dapat dilakukan untuk menolong
mereka dalam situasi krisis.
h. Beri mereka harapan dan optimisme.
i. Bantu mereka mengurangi beban pikirannya.
j. Libatkan mereka dalam kegiatan sosial dan rekreasi seperti
bertemu orang, berbicara kepada teman, mendengarkan radio,
menonton televisi (bukan yang menayangkan tentang bunuh
diri), menghadiri pertemuan sosial dan lain-lain.
k. Rujuk mereka kepada konselor atau tenaga kesehatan jiwa
(psikiater, psikolog)
l. Ikuti saran dari dokter atau konselor, khususnya kepatuhan
terhadap terapi.
m. Dampingi dan bantu mereka dengan segala cara yang mungkin
dilakukan.
n. Teruskan berinteraksi, mendengarkan dan menawarkan
dukungan.
Bila situasi krisis sudah berlalu, penting untuk tetap
memberikan dukungan agar mereka mampu mengatasi tantangan
hidup dengan cara yang positif. Jika pikiran bunuh diri tetap ada,
diperlukan dukungan konselor dan profesional lain, jadi mereka perlu
dirujuk ke tenaga yang tepat. Semua anggota masyarakat sebenarnya
dapat bertindak sebagai konselor yang terbatas yaitu dengan cara
berkomunikasi, berempati, memberi dukungan dan menunjukkan
arahan yang positif bagi orang tersebut.
2. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh keluarga
Keluarga merupakan pusat dari semua kegiatan dalam
kehidupan individu. Konflik interpersonal, hubungan yang terganggu
dan kehidupan yang tidak harmonis merupakan faktor pencetus yang
penting dalam tindakan bunuh diri. Keluarga perlu memberi dukungan
dan melakukan upaya untuk mencegah bunuh diri. Anggota keluarga
dapat melakukan upaya yang efektif dengan berbagai cara, antara lain:
a. Mengidentifikasi tanda-tanda dari stres dan kecenderungan
bunuh diri. Karena ekspresinya sangat unik untuk setiap budaya,
maka keluarga harus mengenali kecenderungan tersebut.
b. Membina hubungan yang erat dengan pelaku, penuh perhatian,
mendengarkan, menghargai perasaan serta memahami
emosinya.
c. Tunjukkan bahwa keluarga ingin menolongnya.
d. Lebih baik membangun potensi kekuatan pelaku dari pada
terpaku pada kelemahannya.
e. Jangan tinggalkan seorang diri anggota keluarga yang
mempunyai keinginan bunuh diri.
f. Menjauhkan pelaku dari benda yang membahayakan dirinya
seperti: obat-obatan, racun, benda tajam, tali dan lain-lain.
g. Secara bertahap bangkitkan kembali keinginan untuk hidup
(untuk beberapa situasi dapat terjadi dengan cepat).
h. Ajari dan praktekkan metode penyelesaian masalah dan
timbulkan rasa optimis.
i. Mencoba untuk meminimalkan konflik di rumah dan
mengembangkan latihan pemecahan masalah bersama dengan
anggota keluarga yang lain.
j. Mendorong anggota keluarga tersebut untuk mencari
pertolongan profesional, rumah sakit atau LSM (lihat lampiran)
yang tepat. Mereka yang mempunyai masalah kesehatan jiwa
tidak mau dilabel dengan ”gangguan jiwa”. Oleh karena itu
persuasi merupakan faktor kunci untuk membawanya ke dokter.
Konsultasi dengan dokter tidak cukup hanya satu kali. Untuk
mendapatkan perubahan yang bermakna diperlukan konsultasi
yang teratur dan perlu mengikuti saran yang diberikan oleh
dokter.
k. Membantu anggota keluarga tersebut untuk mengatasi krisis
dengan berbagai cara yang realistik dan cocok dengan yang
bersangkutan
l. Tetap mengobservasi dan mewaspadai tindakan, reaksi dan
perilakunya.
m. Perhatian khusus diberikan pada usia lanjut, penyakit terminal,
gangguan jiwa (depresi, alkoholisme, tindak kekerasan dan lain-
lain) dan penderita cacat.
n. Identifikasi lembaga atau tokoh dalam masyarakat untuk
membantu kasus spesifik (misalnya sekolah, lembaga tenaga
kerja, lembaga sosial, institusi kesehatan, tokoh agama dan
sesepuh atau tokoh masyarakat).
o. Dengan memberikan perhatian yang penuh kasih sayang,
pengertian dan dukungan (selain dari memberi pengobatan yang
diperlukan secara teratur), dapat mencegah terjadinya tindakan
bunuh diri.

3. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan


jaringan yang lebih luas
Masyarakat mempunyai tanggung jawab yang besar untuk
mencegah tindakan bunuh diri. Masyarakat seharusnya menciptakan
norma perilaku untuk membantu anggota masyarakat bertumbuh
dengan cara yang positif, sehat dan merasa sejahtera. Jadi pengaruh
positif dari masyarakat dapat mempengaruhi individu untuk berhenti
dari perilaku merusak.
Problem besar pada masyarakat yang sedang dalam transisi
adalah menurunnya sistem nilai secara bertahap, perubahan yang
cepat yang diikuti oleh konflik yang disebabkan oleh adanya peluang
baru dan frustrasi yang timbul akibat dari perubahan sosial
masyarakat. Jadi setiap institusi dan individu di dalamnya dapat
memainkan peranan yang amat penting untuk mencegah tindakan
bunuh diri. Masyarakat perlu membangun mekanisme pertahanan
sosial yang meliputi pencegahan, terapi dan pelayanan ”after care”
untuk mengurangi tindakan bunuh diri.
Masyarakat, organisasi dan LSM mempunyai peranan yang
sangat penting dalam mengembangkan pelayanan pencegahan,
pelayanan gawat darurat, pelayanan ”after care” dan program
pencegahan. Mendata dukungan dari kelompok lokal merupakan
langkah penting dalam membuat program dan mengidentifikasi
sumber daya yang ada.
Masyarakat dapat membantu program pencegahan bunuh diri
dengan cara mengangkat isu lokal, masalah dan penyebab bunuh diri
kepada pengambil keputusan (misalnya memperbaiki kualitas hidup
masyarakat ekonomi lemah, mengurangi tindak kekerasan dan
kriminalitas, menghilangkan stigma, menghilangkan sikap
diskriminasi, mempengaruhi media massa lokal dan memperbaiki
informasi data tentang bunuh diri).

4. Mewaspadai tempat risiko tinggi


Bunuh diri juga sering terjadi di beberapa tempat seperti
rumah sakit, panti werda, lembaga pemasyarakatan, penginapan, mal
dan lain-lain. Oleh karena itu perlu mengembangkan mekanisme
pencegahan tindakan bunuh diri pada tempat-tempat tersebut dengan
upaya khusus.
a. Perlu mengidentifikasi individu berisiko tinggi untuk bunuh diri
pada tempat-tempat itu dan mengembangkan program intervensi
yang ditujukan pada individu tersebut.
b. Staf pada tempat tersebut perlu dilatih untuk mengidentifikasi dan
tetap mewaspadai mereka. Perlu dilakukan pelatihan periodik
untuk mengatasi masalah dan melakukan metode pencegahan.
c. Perlu meningkatkan kepekaan petugas penerima tamu dan
petugas lainnya untuk dapat mendeteksi adanya kemungkinan
risiko tinggi bunuh diri pada calon dan penghuninya.
d. Dalam memberikan pertolongan perlu melibatkan tenaga
kesehatan, psikolog, pengacara, polisi, pekerja sosial dan
konselor.
e. Perlu kerjasama antara keluarga, sahabat, pemuka agama, staf
rehabilitasi dan konselor profesional dalam memberikan
intervensi.
f. Perlu menyediakan alat/materi untuk pertolongan pertama bila
tiba-tiba terjadi usaha bunuh diri yang tak diduga sebelumnya.
g. Orang dengan risiko tinggi ditempatkan bersama dengan orang
lain, bila tidak merupakan ancaman terhadap orang lain.
h. Tempatkan pada tempat yang aman dan singkirkan benda yang
dapat digunakan untuk bunuh diri.
i. Tingkatkan pemeriksaan keamanan lingkungan khususnya pada
penginapan dan hotel.
j. Perlu meningkatkan interaksi sosial yang sehat dan melibatkan
mereka dalam kegiatan rekreasi (seperti menyanyi, olah raga,
mendengar radio, menonton televisi, membaca), berdoa,
meditasi.

5. Upaya yang dilakukan oleh media massa


Media massa (cetak dan elektronik) berdampak luas terhadap
kehidupan masyarakat. Walaupun media punya kebebasan untuk
menayangkan berita, namun mereka harus menyadari akibat dari
berita tersebut terhadap masyarakat.
Sejumlah novel, televisi, film, majalah dan surat kabar
melaporkan peristiwa bunuh diri sebagai tindakan yang berani dan
menjelaskan secara rinci cara bunuh diri yang dilakukan oleh individu
atau kelompok. Data menunjukkan bahwa dengan penayangan
demikian ternyata angka bunuh diri di masyarakat menjadi meningkat.
Jadi media dapat berperan negatif atau positif dalam membentuk
pemikiran dan perilaku masyarakat.
Media massa sebaiknya melakukan hal berikut:
a. Laporan tentang bunuh diri perlu menekankan bahwa setiap bunuh
diri merupakan kerugian bagi masyarakat.
b. Hati-hati menayangkan ”celebrity suicide”, jangan dianggap
sebagai tindakan pahlawan. Berikan publikasi yang minimal
terhadap hal tersebut.
c. Hindari memberikan penjelasan yang rinci tentang cara dan tempat
bunuh diri, karena masyarakat ingin tahu dan melihat tempat
tersebut dan mungkin pula melakukannya dengan motif dan cara
yang sama. Bila terdapat tempat dengan risiko tinggi, maka media
perlu menekankan bagaimana cara membuatnya lebih aman.
d. Bunuh diri tidak terjadi karena faktor tunggal. Jangan menyalahkan
korban, karena tindakan tersebut disebabkan oleh kombinasi
berbagai penyebab. Tekankan bahwa gagal bercinta, tidak lulus
ujian, tidak jadi ke luar negeri bukan merupakan penyebab bunuh
diri. Masyarakat perlu diberi informasi bagaimana cara
menghindari tindakan bunuh diri.
e. Pemberitaan bunuh diri di media massa merupakan beban yang
memalukan bagi keluarga.
f. Beritakan tanda-tanda yang perlu diwaspadai yaitu bencana sosial,
masalah ekonomi dan gangguan jiwa (khususnya depresi). Pada
situasi tersebut perlu kerjasama yang erat dengan petugas
kesehatan.
g. Berikan penjelasan dampak bunuh diri kepada individu yang
selamat, pegawai dan keluarganya serta akibat terhadap individu
baik jangka pendek maupun jangka panjang.
h. Jelaskan tentang miskonsepsi, budaya, keyakinan dan mitos tentang
bunuh diri. Menimbulkan kewaspadaan dan mengubah pemikiran
masyarakat merupakan salah satu dari tanggung jawab media.
i. Media lokal dapat memberikan informasi tentang ”hotline service”,
pusat pencegahan krisis, pusat pengobatan keracunan, atau LSM
yang dapat memberikan bantuan kepada individu dan keluarganya.
j. Pemilihan kalimat seperti ”bunuh diri yang berhasil” atau ”bunuh
diri yang lengkap” dapat mengubah persepsi masyarakat.
k. Media massa perlu bekerja sama yang erat dengan petugas
kesehatan sebelum menayangkan berita.
Tanggung jawab utama media massa adalah mempersiapkan
dan memberikan informasi kepada masyarakat bahwa bunuh diri dapat
dicegah.

6. Upaya yang perlu segera dilakukan oleh sektor kesehatan


Bunuh diri bukan semata-mata merupakan fenomena sosial,
budaya atau agama. Agar menjadi mitra kerja yang aktif dalam upaya
pencegahan bunuh diri, sektor kesehatan perlu meluaskan peran dan
tanggung jawabnya. Sektor kesehatan seharusnya memprakarsai untuk
melakukan riset multi sektoral, karena dengan memahami masalah,
faktor risiko dan metode yang dilakukan, merupakan isu kunci dalam
intervensi dan pencegahan bunuh diri yang efektif.
Sektor kesehatan perlu melakukan:
a. Program pengembangan sumber daya untuk penanganan bunuh diri
dengan cara meningkatkan pengetahuan, kemampuan, teknik dan
strategi dalam memberikan pelayanan.
b. Memperbaiki fasilitas gawat darurat dan pelayanan segera terhadap
pasien dengan percobaan bunuh diri dikombinasikan dengan
pelayanan rujukan dan rehabilitasi.
c. Mengintegrasikan pelayanan kesehatan jiwa ke sistem pelayanan
kesehatan primer seperti puskesmas. Dengan melakukan
identifikasi, penatalaksaan dan rujukan segera terhadap pasien
(khususnya mereka yang menderita depresi, penyalahgunaan
alkohol dan gangguan jiwa lainnya), bersamaan dengan
meningkatkan sikap yang positif dari masyarakat, akan sangat
menolong mengurangi angka bunuh diri.
d. Memberikan arahan kepada insan media massa dan sektor lain
untuk mengembangkan kebijakan penyebarluasan informasi yang
realistik agar terbentuk sikap yang positif pada masyarakat.
e. Mengembangkan program pencegahan bunuh diri lintas sektor
yang terintegrasi dan terkoordinasi (sektor kesehatan, pendidikan,
agama, pertanian, tenaga kerja, kepolisian, hukum dan lain-lain).
f. Mengembangkan pusat ”keracunan” yang dapat memberikan
informasi dan saran kepada mereka yang keracunan.
g. Perilaku bunuh diri seringkali dilaporkan oleh keluarga dekat,
tetangga, atau teman. Sarankan untuk segera mengubungi fasilitas
kesehatan terdekat untuk mendapatkan pertolongan medis. Perlu
menyediakan ”hotline service” yang dapat dihubungi 24 jam.

Dalam keadaan sehat maupun sakit para remaja perlu mendapatkan


pelayanan kesehatan yang komprehensif. Pelayanan kesehatan bagi remaja
sebaiknya terpisah dengan pelayanan lainnya. Pelayanan tersebut
memerlukan keterlibatan yang penuh dari para remaja sendiri, orang tua,
petugas kesehatan yang profesional dan masyarakat. Selama ini perhatian
masyarakat hanya tertuju pada upaya peningkatan kesehatan fisik remaja
semata tapi kurang memperhatikan faktor non-fisik. Kurangnya perhatian
pada faktor non-fisik dapat menyebabkan seorang remaja hanya sehat
fisiknya saja, namun secara psikologis rentan terhadap stres (tekanan
hidup).

Pada hakekatnya inti pelayanan kesehatan kepada remaja meliputi:


1) bimbingan yang berlanjut untuk mencegah terjadinya morbiditas baru
2) melakukan pemeriksaan rutin untuk memantau kesehatan mereka, 3)
menilai dan memantau proses biologis pubertas remaja dengan berbagai
keluhan yang mungkin timbul. Klinik kesehatan juga berfungsi sebagai
sarana deteksi dini dan mengatasi masalah perilaku beriko tinggi remaja
yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Hal yang perlu diperhatikan dari klinik remaja adalah tersedianya


petugas kesehatan yang menaruh perhatian penuh untuk membantu remaja
yang mempunyai masalah kesehatan jiwa dan raga. Di Klinik Kesehatan
dapat dilakukan skrining masalah remaja tentang kehidupan di rumah,
tingkat pendidikan, masalah seksualitas), penyalahgunaan narkoba,
pelayanan kesehatan raga dan penyuluhan. Petugas kesehatan dalam
melakukan pendekatan kepada remaja harus bersikap empati, menghindari
sikap curiga, sehingga mampu memberikan jaminan kerahasiaan seperti
remaja yang memiliki kasus kekerasan seksual dan upaya bunuhdiri. Saat
ini masih sedikit klinik khusus kesehatan remaja, sehingga para remaja
yang memiliki masalah psikososial diperiksakan kepada dokter ahli jiwa
psiakater terdekat.

Peran Puskesmas yang kini sudah mengakar di masyarakat bisa


dikembangkan untuk mempunyai divisi khusus yang menangani
permasalahan remaja. Pembentukan klinik kesehatan remaja agaknya bisa
menjadi solusi mengatasi makin tingginya remaja yang terkena penyakit
infeksi seksual menular dan penyakit lain akibat penyalahgunaan narkoba.
Melalui klinik khusus tersebut, remaja bisa mengungkapkan persoalannya
tanpa takut-takut guna dicarikan solusi atas masalahnya tersebut.
7. Upaya yang dapat dilakukan oleh guru
Akhir-akhir ini bunuh diri pada anak dan remaja semakin
meningkat. Penyebab utama adalah kegagalan di sekolah, masalah
tekanan dari orangtua, tuntutan prestasi sekolah terlalu tinggi, putus
cinta dan konflik.
Perilaku merusak pada remaja seperti merokok, minum
alkohol dan kegiatan seks bebas juga semakin meningkat. Sekolah dan
perguruan tinggi berfungsi sebagai tempat membangun kehidupan
individu dan dapat memainkan peranan penting dalam mencegah
perilaku merusak diri tersebut. Membangun sistem nilai, menyiapkan
aspirasi individu yang dapat diterima dan menanamkan mekanisme
tujuan yang sesuai, merupakan hal yang penting dalam mencegah
tindakan bunuh diri pada kelompok usia muda.
Beberapa hal yang dapat dilakukan guru:
a. Memberikan pendidikan keterampilan hidup yang dikombinasikan
dengan pendekatan pemecahan masalah merupakan modal untuk
menghadapi dan mengatasi kehidupan dengan cara yang realistik
dan optimistik.
b. Periode transisi dari masa kanak ke remaja selalu merupakan fase
yang bergejolak. Berbagai masalah perilaku seringkali ditemukan
pada masa ini (afek yang tak stabil, impulsif, kesulitan dalam
pertahanan diri, sedang mencari identitas diri, berfantasi, perilaku
merusak, marah, anxietas, perasaan yang kompleks tentang diri
sendiri dan orang lain serta ketertarikan pada sesama jenis). Perlu
dibantu terbentuknya citra dan identitas diri yang mantap agar
dapat mengatasi krisis masa peralihan ini dengan efektif.
c. Penganiayaan anak juga merupakan masalah yang seringkali
timbul yang disebabkan oleh masalah di rumah atau di lingkungan.
Anak tersebut sering menjadi korban dan mengalami trauma serta
takut untuk berbagi masalahnya dengan orang lain, karena alasan
keluarga dan budaya. Mereka membutuhkan dukungan dan
bantuan untuk mengatasi stres mental mereka dan belajar
mekanisme pertahanan diri.
d. Remaja tertentu memerlukan perhatian khusus di sekolah karena
mereka mempunyai risiko tinggi untuk tindakan bunuh diri. Ciri
anak tersebut adalah: kurang minat dalam bidang pelajaran dan
sekolah, menurunnya prestasi akademis, sering tidak masuk
sekolah, sering terlibat perilaku merusak, perokok berat, alkohol
atau NAPZA lain, harga diri rendah, gangguan makan dan tidur
serta meningkatnya derajat kecemasan.
e. Anak khususnya yang berasal dari lingkungan keluarga yang
berantakan, orangtua tunggal, orangtua bercerai, konflik
perkawinan, orangtua pengangguran dan keluarga besar dengan
penghasilan rendah merupakan kelompok risiko tinggi untuk
bunuh diri. Dalam hal ini guru perlu dibekali pengetahuan dan
keterampilan untuk mengubah sikapnya agar mampu bertindak
sebagai media untuk mengubah perilaku siswa (”agents of
change”).
f. Guru perlu menjadi lebih adaptif secara sosial dan psikologis untuk
mengubah realitas. Guru harus mengidentifikasi ”anak yang
mengalami krisis” sejak dini dan guru perlu melakukan konseling
atau merujuk mereka ke pelayanan yang sesuai.
g. Anak perlu dilengkapi dengan keterampilan sosial, membangun
rasa percaya diri, saling berbagi situasi krisis dengan yang lain,
mencari saran dan bahan pertimbangan untuk membuat pilihan dan
terbuka untuk pengetahuan baru. Guru perlu menciptakan
lingkungan yang sehat untuk interaksi yang positif diantara siswa
dan guru.
h. Meningkatkan harga diri siswa dan membantu mereka mengatasi
situasi stres dengan berbagi pengalaman hidup yang positif,
mengurangi tekanan yang ditimbulkan oleh sekolah dan
berkomunikasi dengan cara yang positif dengan anak-anak
merupakan hal yang sangat diperlukan.
i. Menciptakan sekolah agar menjadi tempat yang sehat melalui
pengembangan kegiatan sekolah yang lebih baik, membina
hubungan interpersonal dan mencegah perilaku berbahaya akan
meningkatkan interaksi yang lebih baik diantara siswa dan guru.
j. Mengupayakan program intervensi krisis untuk menyelesaikan
konflik interpersonal, membantu anak-anak yang mengalami
gangguan penggunaan NAPZA dan meningkatkan komunikasi
yang saling mempercayai merupakan intervensi yang vital di
institusi pendidikan.
k. Mengembangkan pelayanan konseling secara teratur dan segera
merujuknya ke sarana yang tepat bila guru sendiri tidak mampu
mengatasi masalah tersebut.
l. Membina komunikasi dan interaksi antara orangtua dan guru untuk
membicarakan perkembangan kepribadian anak secara
keseluruhan, tidak hanya sekedar membicarakan pencapaian atau
kegagalan akademik.
m. Mengidentifikasi anak dengan risiko tinggi dan melibatkan
orangtua serta teman untuk mengatasi masalahnya, akan
mengurangi risiko tindakan bunuh diri pada anak.

8. Upaya yang dapat dilakukan oleh pemuka agama dan pengobat


tradisional
Tokoh agama dan pengobat tradisional mempunyai posisi yang
unik di masyarakat karena pamor, posisi, kebijakan dan kemampuan
mereka untuk mempengaruhi nilai-nilai dan keyakinan masyarakat.
Sementara dimensi spiritual dan religi dari tindakan bunuh diri masih
diperdebatkan, namun perlu disadari bahwa kehidupan manusia itu
sangat berharga. Karena masyarakat mempunyai keyakinan,
penghargaan dan kepercayaan yang besar terhadap tokoh agama,
maka tokoh agama dan pengobat tradisional perlu menekankan
kenyataan bahwa bunuh diri dapat dicegah dan individu dapat
ditolong melalui konseling, pengobatan dan pemberian dukungan.
Tokoh agama perlu menekankan akan pentingnya kehidupan dan
makna kehidupan itu sendiri dengan meningkatkan nilai-nilai dan
keyakinan yang positif tanpa bersikap menghakimi.
Pengobat tradisional perlu dilibatkan dalam kegiatan
pencegahan bunuh diri di tingkat masyarakat karena mereka seringkali
merupakan kontak pertama terhadap berbagai masalah kesehatan. Jika
mereka dapat memainkan peran yang positif dalam mengenali
perilaku dan pikiran bunuh diri, keadaan depresi serta dapat
memberikan dukungan emosional kepada masyarakat, maka hal ini
merupakan langkah yang amat penting. Beberapa cara penanganan
yang biasa dilakukan adalah berdoa, meditasi, puasa dan lain-lain.
Walaupun belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengevaluasi
efektivitasnya dalam mengatasi masalah psikologis tertentu, namun
cara tersebut telah diterima secara luas di masyarakat. Sangat penting
untuk mengembangkan pengertian yang lebih baik tentang peran dari
sistem ini digabungkan dengan metode yang positif, tidak berbahaya
dan dapat diterima oleh masyarakat. Keterlibatan tokoh agama dalam
kegiatan pengambilan keputusan di masyarakat akan membantu
meningkatkan solidaritas di masyarakat.

2.6 Peran Pemerintah Dalam Mengatasi Perilaku Bunuh Diri Pada Anak

1. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah dinilai sudah mengadopsi standar keamanan


di tempat-tempat umum seperti misalnya yang tercantum dalam
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung. Hal ini merupakan bentuk pencegahan atau
pengurangan resiko (mitigasi) kecelakaan maupun upaya bunuh diri
yang dilakukan seseorang. Seperti adanya dinding pembatas di tempat-
tempat parkir pusat perbelanjaan, termasuk dinding pembatas pada
lantai atas sebuah mal.

2. Seminar/Simposium

Untuk pertama kalinya dilaksanakan Simposium Nasional


Pencegahan Bunuh Diri di Indonesia pada tanggal 18-19 April 2009,
diprakarsai oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa
Indonesia (PDSKJI) yang dilaksanakan di Hotel Sheraton
Surabaya. Tujuan simposium ini untuk menggugah seluruh lapisan
masyarakat dalam mengatasi masalah perilaku bunuh diri yang terjadi
di masyarakat. Pada acara tersebut narasumber menyampaikan materi
diantaranya yaituKejadian dan Pencegahan Bunuh Diri di Indonesia,
Peran Masyarakat di Indonesia Dalam Pencegahan Bunuh Diri, dan
Faktor Sosio Kultur Spiritual Pada Bunuh Diri.

3. Hot Line Krisis / Nomor Telepon Darurat

Pemerintah telah membuat semacam pusat bantuan yang


menyediakan layanan pengaduan melalui telepon 24 jam, untuk
mereka yang akan melaporkan peristiwa percobaan bunuh diri atau
orang yang mencoba bunuh diri itu sendiri.

Kementerian Kesehatan mencanangkan program Hotline Service


Kesehatan Jiwa 500-454 yang telah diresmikan menteri kesehatan pada
Hari Kesehatan Jiwa, 10 Oktober 2010. Program ini menyediakan 30
konselor terlatih yang akan membantu memecahkan konflik-konflik
atau beban pikiran berat yang pemicu hasrat untuk bunuh diri.

Pusat pencegahan bubuh diri diorganisir oleh sukarelawan yang


dilatih secara khusus. Ketika orang yang berpotensi bunuh diri
menghubungi hot line, sukarelawan melakukan konsultasi dengan
menawarkan pertolongan profesional darurat yang bersifat
membangun dan meyakinkan orang tersebut untuk melakukan
tindakan positif untuk menyelesaikannya. Sukarelawan berusaha untuk
memperoleh alamat orang tersebut dan menghubungi polisi untuk
melacak panggilan dan berupaya melakukan penyelamatan. Orang
tersebut dijaga tetap pada panggilan sampai polisi tiba.

4. Kampanye Pencegahan Bunuh Diri : Peran Media, Pendidikan,


Tokoh Agama, Politisi, dan Lingkungan/Keluarga

Hari pencegahan bunuh diri dunia diperingati setiap tanggal 10


September. Ini merupakan momentum untuk mengkampanyekan
komitmen dan aksi kemanusiaan untuk mencegah bunuh diri. Masih
dalam acara simposium nasional pencegahan bunuh diri di bagian
sebelumnya, Irwan Juliato dari Kompas, menyampaikan materi
mengenai ”Peran Media Massa Dalam Pencegahan Bunuh Diri”.

Peran media dalam pemberitaan kejadian bunuh diri dapat menjadi


dua sisi mata pisau. Di satu sisi bisa menjadi alat pencegahan, tetapi di
sisi lain justru dapat mendorong korban untuk meniru. Sehingga perlu
formula yang tepat untuk merumuskan peran media dalam
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang usaha pencegahan bunuh
diri. Dapat berupa iklan layanan masyarakat, yang mengajak orang-
orang untuk lebih perhatian terhadap keluarga, kerabat, dan teman
terutama apabila sudah ada kecenderungan perilaku negatif ketika
orang tersebut menghadapi sebuah permasalahan yang sulit. Hal ini
juga melibatkan peran dunia pendidikan, Tokoh Agama, Politisi, dan
Lingkungan/Keluarga terdekat.

Вам также может понравиться