Вы находитесь на странице: 1из 17

Nama kelompok :

Diah arum ningsih (j201181114)

Mohammad hamzah rizad (j201181182)

Rahmah dini fitriani (j201181183)

Karlina cahya ningrum (j201181184)

Nurul rysma ramadhani (j201181185)


NOTULEN SEVEN JUMP

SKENARIO

Seorang pasien Tn. A umur 55 tahun, jatuh terduduk di kamar mandi, mengeluh nyeri dan
tidak dapat berjalan. Keluarga membawanya ke RS dan dilakukan x-ray. Hasilnya
menunjukkan femoral neck fracture. Dipertimbangkan kemungkinan tidak dapat dilakukan
internal fixation. Saat ini untuk sementara dilakukan skin tracktion. Pada hari ke 20 terjadi
foot droop, atropi dan kontraktur pada ankle kaki cedera. Saat ini klien tidak kooperative
untuk latihan ambulasi, nyeri skala 7 pada saat bergerak miring, mengeluh perut begah,
susah BAB terjadi pressure score pada bagian atas sacrum. TD 110/70 mmHg, N 90
x/menit, S 37,8 0C, RR 20 X/menit

TAHAP I

Identifikasi kata – kata sulit dan mendefinisikanya

1. Nyeri
2. Femoral neck fracture
3. Internal fixation
4. Skin tracktion
5. Foot droop
6. Atropi
7. Kontraktur pada ankle
8. Tidak kooperative
9. Pressure score (sore)
10. Sacrum
Definisi :
1. Nyeri adalah keluhan rasa sakit
2. Femoral neck fracture adalah lokasi patah tulang di pangkal paha.
3. Internal fixation adalah prosedur tindakan operasi (pembedahan) orthopedi untuk
memfixsasi (menstabilkan) tulang yang patah / memperbaiki tulang dengan implant
dari dalam seperti plate, screw, k-nail, rush nail, dll.
4. Skin tracktion adalah prosedur tindakan non pembedahan dengan traksi atau
penarikan untuk mereposisi, menstabilkan dan imobilisasi (mempertahankan posisi)
tulang yang patah melalui kulit.
5. Foot droop adalah ketidakmampuan mengangkat bagian depan kaki, sebagai tanda
adanya masalah otot atau syaraf tepi (syaraf peroneus).
6. Atropi adalah proses fisiologis umum reabsorpsi dan kerusakan jaringan, yang
melibatkan apoptosis (kematian sel). Ketika atrofi terjadi sebagai akibat dari penyakit
atau kehilangan dukungan trofik akibat penyakit lain, disebut sebagai atrofi patologis,
meskipun dapat menjadi bagian dari perkembangan normal tubuh dan homeostasis
juga.
7. Kontraktur pada ankle adalah kekakuan sendi pergelangan kaki
8. Tidak kooperative adalah tidak dapat diajak kerjasama
9. Pressure score (sore) adalah luka tekan / dekubitus
10. Sacrum adalah bagian dari struktur tulang belakang manusia
TAHAP II

Mengidentifikasi masalah

1. Nyeri
a. Mengapa pasien fraktur mengalami nyeri pada daerah fraktur ?
b. Bagaimaka asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan keluhan
nyeri?
2. Skin Traction
a. Apa indikasi skin traksi ?
b. Berapa berat beban maksimal skin traction ?
c. Kapan skin traction dapat diganti ?
d. Imobilisasi apa yang memungkinkan pasien dipasang skin traction ?
e. Apa perbedaat skin traction dan skeletal traction ?
3. Foot Droop
a. Mengapa bisa terjadi foot groop pada pasien ?
b. Apa hubungan foot groop dengan skin traction ?
c. Bagaimana cara mengatasi foot droop ?
4. Atrofi
a. mengapa bisa terjadi atrofi pada pasien yang terpasang skin traction ?
b. Apakah semua pasien fraktur dapat mengalami atrofi ?
c. Apa tindak lanjut untuk pasien yang mengalami atrofi ?
5. Kontraktur
Apa penyebab kontraktur pada pasien ?
6. Pressure Sore
Apa penyebab terjadinya presseru sore ?

TAHAP III

Menganalisis masalah (merinci dan menjelaskan msalah dengan brainstroming berdasar


prior knowledge)
1. Nyeri
a. Mengapa pasien fraktur mengalami nyeri pada daerah fraktur ?
Jawab : karena akibat patah terjadi luka sayat pada otot akibat permukaan tulang
yang patah terbentuk permukaan yang runcing dan tajam.
b. Bagaimaka asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan keluhan
nyeri?
Jawab :
Bio : tanda – tanda vital, pemeriksaan fisik, pemeriksaan nyeri secara khusus yaitu
Problem, quality, region, scale, time.
Psiko : Tingkat kecemasan dan tingkat kenyamanan pasien
Diagnosa : nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
Perencanaan :

No Tindakan Kriteria hasil rasionalisasi Tujuan


1. Lakukan teknik Dalam waktu Teknik Nuyeri
distraksi relaksasi 20 menit nyeri distraksi teratasi
berkurang relaksasi akan
memacu
andorpin untuk
merelaksasikan
tubuh
Implementasi : melaksanakan tindakan sesuai perencanaan
Evaluasi : tujuan tercapai
2. Skin Traction
a. Apa indikasi skin traksi ?
Jawab:
1) Indikasi skin traction:
a) Traksi kulit merupakan terapi pilihan pada fraktur femur dan beberapa
fraktur suprakondiler humeri anak-anak
b) Pada reduksi tertutup dimana manipulasi dan imobilisasi tidak dapat
dilakukan
c) Merupakan pengobatan sementara fraktur sambil menunggu terapi
definitif
d) Untuk traksi pada spasme otot atau kontraktur sendi misalnyasendi lutut
dari panggul
e) Untuk traksi pada kelainan-kelainan tulang belakang seperti (Hernia
Nucleus Pulposus) HNP atau spasme otot-otot tulang belakang.
b. Berapa berat beban maksimal skin traction ?
Jawab: Beban pada traksi kulit sebesar 1/7 dari berat badan, maksimal 6kg
c. Kapan skin traction dapat diganti ?
Jawab: skin traction di ganti maksimal setelah 2 minggu dari pemasangan.
3. Foot Droop
a. Mengapa bisa terjadi foot groop pada pasien ?
Jawab : karena, otot mengalami kelemahan/ kelumpuhan saat mengangkat bagian
depan kaki dikarenakan terjadi cidera pada saraf tepi (saraf peroneus).
b. Apa hubungan foot drop dengan skin traction ?
Jawab : Skin traksi berhubungan dengan terjadinya foot drop. Prinsipnya ketika
otot tidak bekerja lama maka otot akan mengalami kekakuan dan dapat terjadi
cidera pada saraf tepinya, sehingga apabila terpasang skin traction harus dilakukan
imobilisasi guna mencegah terjadinya foot drop.
c. Bagaimana cara mengatasi foot droop ?
Jawab : foot drop bisa di atasi dengan di lakukan exercise dan stimulasi saraf
4. Atrofi
d. Mengapa bisa terjadi atrofi pada pasien yang terpasang skin traction ?
Jawab: karena pada kondisi kaki pasien terpasang skin traction dan tidak
digerakan dalam waktu yang cukup lama. Pada kondisi tersebut pasien terasa
nyeri hal ini menyebabkan penurunan masa otot atau disebut atrofi
e. Apakah semua pasien fraktur dapat mengalami atrofi ?
Jawab: Bisa saja, apabila pasien mengalami imobilisasi anggota gerak tubuh yang
cukup lama.
f. Apa tindak lanjut untuk pasien yang mengalami atrofi ?
Jawab: Latihan otot yang dilakukan secara rutin perlahan-lahan dengan fisioterapi.
5. Kontraktur
Bagimana patofisiologi kontraktur pada pasien ?
Jawab : Apabila jaringan ikat dan otot dipertahankan dalam posisi memendek dalam
jangka waktu yang lama, serabut – serabut otot dan jaringan ikat akan menyesuaikan
memendek dan menyebabkan kontraktur sendi. Otot yang memendek dalam 5 -7 hari
akan mengakibatkan pemendekan perut otot yang menyebabkan kontraksi jaringan
kolagen dan pengurangan jaringan saekomer otot. Bila posisi ini berlanjut sampai 3
minggu atau lebih, jaringan ikat sekitar sendi dan otot akan menebal dan
menyebabkan kontaktur.
6. Pressure Sore
Bagaimana etiologi terjadinya presseru sore pada pasien ?
Jawab : penekanan pada jaringan adalah merupakan satu – satunya penyebab utama
satunya penyebab utama kejadian pressure sore. Penekanan pada jaringan lunak meny
ebabkan iskemi dan apabila tidak segeraditangani akan cepat berkembang menjadi
nekrosis dan kemudian ulserasi. Proses ulserasi dapatdipercepat dengan adanya
infeksi, penyakit diabetes, dan pada kasus-kasus neurologi.
TAHAP IV
Mengorganisir penjelasan masalah secara skeatik (mind mapping, flowchart, dll bukan
narasi)

TAHAP V
Merumuskan sasaran pembelajaran
1. Kelompok mampu mengkaji nyeri
2. Mampu memahami penyakit pasien pada kasus berdasarkan gejala yang ada.
3. Kelompok mampu memahami komplikasi yang terjadi pada kasus tersebut seperti
atrofi, foot drop, kontraktur dan pressure sore.
4. Kelompok mampu mengidentifikasi asuhan keperawatan yang dibutuhkan pasien pada
kasus tersebut.

TAHAP VI
Mengumpulkan informasi diluar waktu diskusi (belajar mandiri)

TAHAP VII
Femoral Neck Fracture
Fraktur leher femur merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan pada orang tua
terutama wanita umur 60 tahun keatas disertai tulang yang osteoporosis.
A. Klasifikasi
1. Lokasi
Menurut lokasi fraktur dapat berupa fraktur subkapital, transervikal dan
basal, yang kesemuanya terletak di dalam simpai sendi panggul atau
intrakapsular; fraktur intertrokanter dan subtrokanter terletak ekstrakapsuler.

Patah tulang intrakapsuler umumnya sukar mengalami pertautan dan


cenderung terjadi nekrosis avaskular kaput femur. Perdarahan kolum yang
terletak intraartikuler dan pendarahan kaput femur berasal dari proksimal a.
sirkumfleksa femoris lateralis melalui simpai sendi. Sumber pendarahan ini putus
pada patah tulang intraartikuler.
Pendarahan oleh arteri di dalam ligamentum teres sangat terbatas dan dan
sering tidak berarti. Pada luksasi arteri ini robek. Epifisis dan daerah trokanter
cukup kaya pendarahannya, karena mendapat darah dari simpai sendi, periost,
dan a. nutrisia diafisis femur.
Patah tulang kolum femur yang terletak intraartikuler sukar sembuh
karena bagian proksimal pendarahannya sangat terbatas, sehingga memerlukan
fiksasi kokoh untuk waktu yang cukup lama. Semua patah tulang di daerah ini
umumnya tidak stabil sehingga tidak ada cara reposisi tertutup terhadap fraktur
ini, kecuali jenis fraktur yang impaksi, baik yang subservikal atau yang basal.
Adanya oeteoporosis pada tulang mengakibatkan tidak tercapainya fiksasi
kokoh oleh pin pada fiksasi intern. Tambahan lagi periosteum fragmen
interkapsular leher femur tipis sehingga kemampuannya terbatas dalam
penyembuhan tulang. Oleh karena itu pada pertautan fraktur hanya tergantung
pada pembentukan kalus endosteal. Yang penting sekali ialah aliran darah ke
kolum dan kaput femur yang robek pada saat terjadinya fraktur.
Fraktur regio intertrokanterika pada femur lazim ditemukan. Nekrosis
avaskular tidak mengancam, karena kapsula koksa dan pembuluh darahnya tetap
utuh. Fraktura intertrokanterika paling baik diterapi secara bedah untuk
menghindari 12 sampai 14 minggu immobilisasi yang diperlukan untuk terapi
konservatif. Terutama pada orang tua, morbiditas terapi bedah kurang dari yang
menyertai perawatan konservatif lama. Karena fraktura ini biasa timbul pada
orang tua, maka diperlukan evaluasi prabedah yang cermat.
Fraktura intertrokanterika diklasifikasikan menurut lokasi garis fraktura
dan derajat kominuta (Boyd)
a. Fraktura tipe I, adalah fraktura tunggal sepanjang linea intertrokanterika.
Fraktrus ini dapat direduksi dengn traksi longitudinal dan rotasi interna serta
immobilisasi dengan pemasangan sekrup dan plat samping.
b. Fraktura tipe II, adalah kominutif dan bisa lebih sulit direduksi. Fiksasi dengan
sekrup dan plat samping, tetapi reduksi fragmen proksimal (kaput dan kollum0
pada vagus bisa diperlukan untuk mencapai kontak tulang medial
danstabilitas.
c. Fraktura tipe III dan IV, timbul pada regio subtrokanterika femur dan tidak
stabil, yang menjadi sifatnya. Fraktura ini mungkin disokong adekuat dengan
sekrup dan plat samping konvensional, serta penggunaan batang intramedulla
bersama dengan batang kollum femoris memberikan stabilitas lebih baik.
Pada fraktur subtrokanter fraktur berada pada atau dibawah trokanter
minor, fraktur mungkin bersifat melintang, oblik atau spiral dan sering kominutif.
Fragmen bagian atas berfleksi dan tampak seakan-akan pendek; batang
beradduksi dan bergeser ke bagian proksimal.

Pada fraktur subtrokanter reduksi terbuka dan fiksasi internal merupakan


terapi pilihan. Untuk fraktur pada tinggak trokanter minor, sekrup dan plat
pinggul kompresi (dinamis) hasilnya memuaskan. Pada fraktur yang lebih rendah
daripada tingkat ini, daya penekukan jauh lebih hebat, sehingga lebih baik
menggunakan paku intramedular dengan pen atau skrup pengunci yang
dimasukkan pada leher femur dan kaput. Kalau korteks medial bersifat kominutif
atau defisien, harus ditambah cangkokan tulang.

Reduksi tertutup dapat dilaksanakan pada fraktur subtrokanter, dan dapat


diindikasikan untuk fraktur kominutif berat bila fiksasi internal tak dapat
dilaksanakan atau tidak aman, dan juga diindikasikan untuk fraktur terbuka.
Traksi kerangka dipasang lewat pen femur distal, sehingga memungkinkan
gerakan lutut secara bebas. Karena fragmen proksimal ditarik ke dalam keadaan
duduk atau terbaring dengan pinggul dan lutut difleksikan 90˚ dan sedikit
terabduksi. Traksi perlu dipertahankan selama tiga bulan; karena itu metode itu
kurang coccok untuk manula.

2. Radiologis
a. Berdasarkan keadaan fraktur
1) Tidak ada pergeseran fraktur
2) Fragmen distal, rotasi eksterna, abduksi dan dapat bergeser ke proksimal
3) Fraktur impaksi
b. Klasifikasi menurut Garden
1) Tingkat I : fraktur impaksi yang tidak total
2) Tingkat II : fraktur total tetapi tidak bergeser
3) Tingkat III : fraktur total disertai sedikit pergeseran
4) Tingkat IV : fraktur disertai dengan pergeseran ynag hebat
c. Klasifikasi menurut Pauwel
1) Tipe I : fraktur dengan garis fraktur 30˚
2) Tipe II : fraktur dengan garis fraktur 50˚
3) Tipe III : fraktur dengan garis fraktur 70˚

B. Gambaran Klinik

Biasanya terdapat riwayat jatuh, yang diikuti nyeri pinggul. Tungkai pasien
terletak pada rotasi lateral, dan terlihat pemendekan bila dibandingkan tungkai kiri
dengan tungkai kanan. Jarak antara trochanter mayor dan spina iliaka anterior superior
lebih pendek, karena trokanter terletak lebih tinggi akibat pergeseran tungkai ke
kranial. Namun, tidak semua fraktur nampak demikian jelas. Pada fraktur yang
terimpaksi pasien mungkin masih dapat berjalan; dan pasien yang sangat lemah atau
cacat mental mungkin tidak mengeluh sekalipun mengalami fraktur bilateral.
C. Pemeriksaan Radiologis

Pada foto rontgen dapat diketahui apakah ada fraktur dan pergeseran. Biasanya
patahan itu jelas tapi fraktur yang terimpaksi dapat terlewatkan bila tidak hati-hati.
Pergeseran dinilai melalui bentuk bayangan tulang yang abnornal dan tingkat
ketidakcocokan garis trabekular pada kaput femoris dan ujung leher femur. Penilaian
ini penting karena fraktur yang terimpaksi atau tak bergeser (stadium I dan II Garden)
dapat membaik setelah fiksasi interna, sementara fraktur yang bergeser sering
mengalami non-union dan nekrosis avaskular.

D. Penatalaksanaan

Pengobatan operatif hampir selalu dilakukan pada penderita fraktur leher


femur baik orang dewasa muda maupun dewasa tua karena :

1. Perlu reduksi yang akurat dan stabil


2. Diperlukan mobilisasi yang cepat pada orang tua untuk mencegah komplikasi
paru-paru dan ulkus dekubitus.
Fraktur yang bergeser tidak akan menyatu tanpa fiksasi interna. Fraktur yang
terimpaksi dapat dibiarkan menyatu, tetapi selalu terdapat resiko pergeseran pada
fraktur-fraktur itu, sekalipun berada di tempat tidur; jadi fiksasi akan lebih aman.
Prinsip terapi adalah reduksi yang tepat, fiksasi secara erat dan aktivitas dini.
Bila pasien dibawah anestesi, pinggul dan lutut difleksikan dan paha yang mengalami
fraktur ditarik ke atas, kemudian dirotasikan secara internal, lalu diekstensikan dan
diabduksi; akhirnya kaki diikat pada footpiece. Pengawasan dengan sinar-X
diguanakan untuk memastikan reduksi pada foto anteroposterior dan lateral.
Diperlukan reduksi yang tepat pada fraktur stadium III dan IV; fiksasi pada fraktur
yang tak tereduksi hanya mengundang kegagalan. Kalau fraktur stadium III dan IV
tidak dapat direduksi secara tertutup, dan pasien berumur dibawah 60 tahun,
dianjurkan untuk melakukan reduksi terbuka melalui pendekatan anterolateral.
Tetapi, pada pasien tua (yang berusia lebih dari 70 tahun) cara ini jarang
diperbolehkan; kalau dua usaha yang cermat untuk melakukan reduksi tertutup gagal,
lebih baik dilaksanakan pergantian prostetik.
Sekali direduksi, fraktur dipertahankan dengan pen atau skrup berkanula atau,
kadang-kadang dengan sekrup kompresi geser (sekrup pinggul yang dinamis) yang
ditempelkan pada batang femur. Insisi lateral digunakan untuk membuka femur
bagian atas. Kawat pemandu, yang disisipkan di bawah kendali fluoroskopik,
digunakan untuk memastikan bahwa penempatan alat pengikat telah tepat. Dua
sekrup berkanula sudah mencukupi; keduanya harus terletak sejajar dan memanjang
sampai plat tulang subkondral; pada foto lateral keduanya berada di tengah-tengah
pada kaput dan leher, tetapi pada foto anteroposterior sekrup distal terletak pada
dengan korteks inferior leher.
Bila tidak dilakukan operasi ini cara konservatif terbaik adalah langsung
immobilisasi dengan pemberian anastesi dalam sendi dan bantuan tongkat. Mobilisasi
dilakukan agar terbentuk pseudoartrosis yang tidak nyeri sehingga penderita
diharapkan bisa berjalan dengan sedikit rasa sakit yang dapat ditahan, serta sedikit
pemendekan.
Sejak hari pertama pasien harus duduk di tempat tidur atau kursi. Dia dilatih
melakukan latihan pernafasan, dianjurkan berusaha sendiri dan memulai berjalan
(dengan alat penopang atau alat berjalan) secepat mungkin. Secara teoritis, idealnya
adalah menunda penahanan beban, tetapi ini jarang dapat dipraktekkan.
Jenis-jenis operasi :
a. Pemasangan pin
b. Pemasangan plate and screw
Beberapa ahli mengusulkan bahwa prognosis untuk fraktur stadium III dan IV
tak dapat diramalkan sehingga penggantian prostetik selalu lebih baik. Karena itu,
kebijaksanaan kita adalah mencoba reduksi dan fiksasi pada semua pasien yang
berumur dibawah 75 tahun dan mempersiapkan penggantian untuk pasien yang sangat
tua dan sangat lemah dan pasien yang gagal menjalani reduksi tertutup. Penggantian
yang paling sedikit traumanya adalah prostesis femur atau prostesis bipolar tanpa
semen yang dimasukkan dengan pendekatan posterior. Penggantian pinggul total
mungkin lebih baik kalau terapi telah tertunda selama beberapa minggu dan dicurigai
ada kerusakan asetabulum, atau pada pasien dengan penyakit metastatik atau penyakit
paget.

Artroplasti; dilakukan pada penderita umur diatas 55 tahun, berupa :

a. Eksisi artroplasti (pseudoartrosis menurut Girdlestone)


b. Hemiartroplasti
c. Artroplasti total
E. Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah :

1. Komplikasi yang bersifat umum ; trombosis vena, emboli paru, pneumonia,


dekubitus
2. Nekrosis avaskuler kaput femur
Nekrosis avaskular terjadi pada 30% penderita dengan fraktur yang disertai
pergeseran dan 10% pada fraktur tanpa pergeseran.tidak ada cara untuk
mendiagnosis hal ini pada saat terjadi fraktur. Beberapa minggu kemudian, scan
nanokoloid dapat memperlihatkan berkurangnya vaskularitas. Perubahan pada
sinar-X, meningkatnya kepadatan pada kaput femoris mungkin tidak nyata selama
berbualan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Baik fraktur itu menyatu atau tidak,
kolapsnya kaput femoris akan menyebabkan nyeri dan semakin hilangnya fungsi.
Apabila lokalisasi fraktur lebih ke proksimal maka kemungkinan untuk terjadi
nekrosis avaskular lebih besar.
Penanganan nekrosis avaskular kaput femur dengan atau tanpa gagal pertautan
juga dengan eksisi kaput dan leher femur dan kemudian diganti dengan protesis
metal.
5. Osteoartritis
Osteoartritis sekunder terjadi karena adanya kolaps kaput femur atau nekrosis
avaskuler. Kalau terdapat banyak kehilangan gerakan sendi dan kerusakan meluas
ke permukaan sendi, diperlukan pergantian sendi total.
6. Atrofi, kontraktur.

F. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Menurut Wijaya dan Putri (2013), pnegkajian yang dilakukan pada klien
fraktur femur adalah:
a. Identitas Klien
b. Keluhan Utama
c. Riwayat Kesehatan Sekararang
Pada pasien fraktur dapat disebabkan oleh trauma/ kecelakaan, degeneratif dan
patologis yang didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan yang
menyebabkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat, perubahan warna kulit dan
kesemutan.
d. Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien pernah mengalami fraktur femur atau punya penyakut menular
atau menurun sebelumnya.
e. Riwayat Penyakut Keluarga
Penyalit keluarga yang berhubungan dengan pe yakit tulang atau penyakit lain
yang sifatnya menurun.
f. Riwayat Psikososial
Pengaruh klien dikehidupan sehari-hari baik dalam keluarga maupun
masyarakat.
g. Pola-pola fungsi kesehatan
Pola persepsi kesehatan, pola nutrisi dan metabolisme, pola eliminasi, pola
istirahat dan tisur, pola aktivitas dan layihan, pola persepsi dan konsep diri,
pola sensori kognitif, pola hubungan peran, pola penanggulangan stress, pola
reproduksi seksual dan pola kepercayaan.
2. Pemeriksaan Fisik
Menurut Helmi (2012), pemeriksaan fisik pada fraktur femur dibagi menjadi 2,
meliputi gambaran umum dan pemeriksaan lokal. Secara gambaran umum
meliputi keadaan umum, kesadaran pasien, tanda-tanda vital dan pemeriksaan
fisik head to toe. Sedangkan fokus keadaan lokal meliputi look (Inspeksi)
perhatikan apa yang dilihat, Feel (Palpasi) dan Move (Pergerakan terutama pada
rentang gerak). Cara melakukan pemeriksaan fisik move yaitu dengan
memperhatikan gerakan yang dilakukan secara aktif maupun pasif apakah klien
dapat melakukan gerakan atau ada rasa sakit ketika melakukan gerakan. Hasil
pemeriksaan yang didapat adalah ketidakmampuan menggerakan kaki dan
penurunan kekuatan otot ekstremitas baeah dalam melakukan pergerakan.
3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul antara lain ( NANDA, 2015).
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan Gangguan Muskuloskeletal
3. Defisit perawatan diri (makan, berpakaian, mandi) atau Sindroma DPD
berhubungan dengan kelemahan fisik.
4. Konstipasi berhubungan dengan kurang aktivitas fisik
4. Intervensi Keperawatan
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang di tegakkan, menurut Moorhead,
Jhonson, Mass dan Swanson (2016); Bulechek, Butcher, Dochterman dan Wagner
(2016) dapat disusun intervensi sebagai berikut.
DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA
NIC
KEPERAWATAN HASIL
Nyeri akut NOC a. Kaji P, Q, R,S,T
berhubungan  Pain Level, nyeri
dengan agen cidera  Pain control, b. Ajarkan tehnik
biologis  Comfort level nafas dalam dan
Setelah dilakukan tindakan kep. selama distraksi relaksasi
3 x 24 jam kedepan diharapkan nyeri c. Berikan posisi yang
teratasi dg KH: nyaman
 Mampu mengontrol nyeri d. Berikan lingkungan
 Skala nyeri menjadi 1 yang nyaman
 Menyatakan rasa nyaman setelah e. Berikan O2 2
nyeri berkurang liter/menit
f. Berikan analgetik
sesuai indikasi

Hambatan NOC: a. Tentukan level


 Ambulasi motivasi pasien
mobilitas fisik
 Pergerakan untuk
berhubungan Setelah dilakukan tindakan kep. selama meningkatkan
3 x 24 jam kedepan diharapkan nyeri atau memelihara
dengan gangguan teratasi dg KH: pergerakan sendi.
muskoleskeletal Mampu melakukan mobilisasi b. Monitor lokasi
dan
kecenderungan
adanya nyeri dan
ketidaknyamanan
selama
pergerakan.
c. Bantu pasien
mendapatkan
posisi tubuh yang
optimal untuk
pergerakan sendi
pasif maupun
pasif
d. Dukung latihan
ROM aktif
e. Lakukan ROM
aktif sesuai
dengan indikasi
f. Kolaborasikan
dengan ahli terapi
fisik dalam
mengembangkan
dan menerapkan
sebuah program
latihan
Ansietas NOC : a. Gunakan
berhubungan dengan  Anxiety control pendekatan yang
perubahan status  Coping menenangkan
kesehatan. Setelah dilakukan tindakan kep. selama b. Nyatakan dengan
3 x 24 jam kedepan diharapkan ansietas jelas harapan
teratasi dg KH: terhadap pelaku
 Klien mampu mengidentifikasi dan pasien
mengungkapkan gejala cemas c. Temani pasien
untuk memberikan
keamanan dan
 Mengidentifikasi,mengungkapkanda mengurangi takut
n menunjukkan tehnik untuk d. Berikan informasi
mengontol cemas faktual mengenai
 Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa diagnosis, tindakan
tubuh dan tingkat aktivitas prognosis
menunjukkan berkurangnya
kecemasan e. Dorong keluarga
untuk menemani
anak
f. Identifikasi tingkat
kecemasan
g. Bantu pasien
mengenal situasi
yang menimbulkan
kecemasan
h. Dorong pasien
untuk
mengungkapkan
perasaan, ketakutan,
persepsi
Defisit perawatan NOC : a. Monitor
diri (makan,  Perawatan diri kemampuan
berpakaian, mandi)  Penampilan mekanik tubuh perawatan diri
atau berhubungan  Motivasi secara mandiri
dengan kelemahan Setelah dilakukan tindakan kep. selama b. Monitor kebutuhan
3 x 24 jam kedepan diharapkan DPD pasien terkait
fisik. dengan alat – lat
teratasi dg KH :
Pasien dapat melakukan perawatan diri kebersihan diri, alat
secara mandiri. bantu untuk
berpakaian,
berdandan,
eliminasi dan
makan.
c. Berikan bantuan
sampai pasien
mampu melakukan
perawatan diri
mandiri.
d. Bantu pasien
menerima
kebutuhan pasien
terkait dengan
kondisi
ketergantungaanya.
Konstipasi NOC: a. Monitor tanda dan
berhubungan  Bowl Elimination gejala konstipasi
dengan kurang  Hydration b. Monitor bising
aktivitas fisik Kriteria Hasil: usus
Setelah dilakukan tindakan keperawatan c. Monitor feses:
selama 3x24 jam diharapkan: Frekuensi,
a. Mempertahankan bentuk feses konsistensi dan
lunak setiap 1-3 hari volume
b. Bebas dari ketidaknyamanan dan d. Dukung intake
konstipasi cairan
c. Feses lunak dan berbentuk e. Kolaborasi
pemberian obat
laksatif
f. Ajarkan pasien
untuk diet tinggi
serat

Вам также может понравиться