Вы находитесь на странице: 1из 3

Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak.

Di dalam keluarga, anak mendapatkan


seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan , maupun pengertian-pengertiantentang kehidupan. Ayah, ibu,
serta anggota keluarga yang lain merupakan guru bagi anak. Oleh karena itu keluarga menjadi institusi
yang penting bagi anak di dalam mengembangkan perilaku-perilaku tertentu. Salah satu perilaku yang
dipelajari di dalam keluarga adalah perilaku yang aberkaitan dengan gender. Bagaimana anak laki-laki
harus bersikap atau bagaimana anak perempuan harus berperilaku diajarkan pertama kali di dalam
keluarga. Ada sebuah uangkapan bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan terletak pada cara
memperlakukannya. Ungkapan tersebut tidak salah karena laki-laki dan perempuan memang sudah
diperlakukan secara berbeda sejak mereka dilahirkan. Dalam perkembangannya laki-laki kemudian lebih
banyak diuntungkan oleh budaya patriarki yang ada dalam masyrakat. Kondisi ini menjadikan perempuan
terpinggirkan dalam banyak hal, termasuk di dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh negara.
Bahkan dalam institusi keluarga, perempuan sering menjadi korban kekerasan yang mengakibatkan
penderitaan bagi perempuan.

Persoalan gender yang terjadi dalam keluarga lebih disebabkan oleh konstruksi sosial dan kultural yang
dipahami dan dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan pada asas kesetaraan gender. Pemahaman
tentang subyek-obyek, dominan-tidak dominan, superior-imperior serta pembagian peran-peran yang
tidak seimbang antara anggota keluarga laki-laki (ayah, anak laki-laki) dan perempuan (ibu, anak
perempuan) seringkali memposisikan laki-laki lebih mendapatkan hak-hak istimewa, sedangkan
perempuan sebagai kaum kelas kedua. Meskipun pada kelompok masyarakat tertentu (kelas menengah
dan berpendidikan, misalnya) relasi yang dibangun antara perempuan dan laki-laki sudah lebih baik,
tetapi jika ditelaah lebih jauh, pada sebagian besar kelompok masyarakat lainnya, relasi yang seimbang
antara perempuan dan laki-laki masih jauh dari harapan.

Keluarga menjadi tempat pertama kali gender ditumbuhkan, misalnya dalam penyiapan pakaian sudah
dibedakan sejak kita masih bayi. Juga dalam hal mainan, anak laki-laki misalnya: dia akan diberi mainan
mobil-mobilan, kapal-kapalan, pistol-pistolan, bola dan lain sebagainya. Dan anak perempuan diberi
mainan boneka, alat memasak, dan sebagainya. Ketika menginjak usia remaja perlakuan diskriminatif
lebih ditekankan pada penampilan fisik, aksesoris, dan aktivitas. Dalam pilihan warna dan motif baju juga
ada semacam diskriminasi. Warna pink dan motif bunga-bunga misalnya hanya “halal” dipakai oleh
remaja putri. Aspek behavioral lebih banyak menjadi sorotan diskriminasi. Seorang laki-laki lazimnya
harus mahir dalam olah raga, keterampilan teknik, elektronika, dan sebagainya. Sebaliknya perempuan
harus bisa memasak, menjahit, dan mengetik misalnya. Bahkan dalam olahraga pun tampak hal-hal yang
mengalami diskriminasi tersendiri.

Kesadaran gender anak-anak kemudian tumbuh dalam keluarga melalui kondisi real hubungan ayah dan
ibu serta perlakuan yang mereka dapatkan, sementara pada kenyataannya dalam keluarga-keluarga
masih diwarnai praktik bias gender yang tidak adil terhadap perempuan ibu maupun anak. Posisi suami
sebagai “kepala keluarga” yang mengambil keputusan final, serta istri yang harus menanggung beban
ganda sebagai pengurus rumah tangga dan pencari nafkah, jelas gambaran tidak adil dan tidak setara.
Kesempatan pendidikan lebih diberikan kepada anak laki-laki, sementara banyak pembatasan lebih
diberikan kepada anak perempuan, juga gambaran bagaimana bias gender ini masih mewarnai
kehidupan keluarga. Tradisi dan agama pun ikut melegitimasi budaya patriarki sehingga memperoleh
pembenarannya. Pada akhirnya, masyarakat pun mengamini praktik-praktik semacam itu.

Dalam teori struktural-fungsional, peran masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh
struktur kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga yang secara hierarkis memiliki kewenangan
paling tinggi dalam keputusan-keputusan keluarga. Hierarki dilanjutkan pada perbedaan usia dan jenis
kelamin anggota keluarga, misalnya saudara laki-laki memiliki struktur sosial lebih tinggi dibanding
saudara perempuan. Relasi yang terbangun seringkali menempatkan seolah-olah laki-laki memiliki
kemampuan/kekuasaan/kekuatan lebih besar dibanding anggota keluarga perempuan. Banyak streotype
bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggungjawab mutlak terhadap ekonomi
keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggungjawab domestik melulu tanggung jawab
ibu/istri. Padahal, faktanya begitu banyak kaum perempuan (istri/ibu) yang mampu menjadi tulang
punggung keluarga, secara mandiri menghidupi keluarganya dan lebih mampu bertahan dalam kesulitan
ekonomi keluarga. Banyak pedagang perempuan di pasar-pasar tradisional, buruh pabrik perempuan
yang secara tekun dan pantang menyerah, sampai pada profesi terhormat di masyarakat, mampu
menjadi sumber ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi di banyak daerah, peran perempuan dalam
memperkuat ekonomi keluarga tersebut seringkali tidak diperhitungkan dan selalu dianggap sebagai
pelengkap saja (pencari nafkah tambahan). Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran
perempuan dalam keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak
terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada suami/ayah
sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan pendidikan anak, serta peran-peran
domestik lainnya menjadi peran mutlak ibu/istri. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat sehingga tidak
ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan saja.

Peran-peran dalam keluarga tidak seluruhnya kaku sebagai tugas/peran ibu, ayah, anak laki-laki, atau
anak perempuan saja, tetapi ada beberapa tugas/peran yang dapat dipertukarkan. Sebaiknya, peran-
peran yang melekat pada perempuan atau laki-laki di dalam keluarga tidak terjebak pada streotype yang
dilekatkan pada perbedaan gender. Kesalahan mendasar pada sistem keluarga, lebih banyak diakibatkan
pola pendidikan yang diterapkan orang tua terhadap anak-anaknya yang masih berorientasi pada dogma-
dogma patriarkis. Image anak perempuan lebih lemah, rapuh serta berbagai sifat-sifat feminimnya
sedangkan anak laki-laki yang dipandang lebih kuat, tidak cengeng dan dengan segala atribut
maskulinitasnya mengakibatkan perbedaan perlakuan dan pola pendidikan yang diberikan orang tua
dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, setiap anak baik perempuan maupun laki-laki memiliki sifat
feminim dan maskulin meskipun pada masing-masing jenis kelamin ada sifat yang lebih dominan.
Pembiasaan perlakuan dan pembagian peran gender dalam keluarga yang tidak seimbang, bahkan
menempatkan posisi perempuan sebagai subordinat banyak menimbulkan konflik dalam keluarga yang
secara tidak sadar konflik tersebut akan berkembang lebih luas ke konflik masyarakat dan bahkan konflik
kemanusiaan

Dibutuhkan perubahan paradigma, khususnya dalam hubungan suami istri, untuk memulai penumbuhan
kesadaran akan kesetaraan gender dalam keluarga. Suami istri saling menghargai sebagai pribadi yang
semartabat, kendati tetap mengakui adanya perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan-perbedaan fungsi lebih bertumpu pada pembagian tugas dan partisipasi daripada atas dasar
gender. Dalam hal ini, tugas mengurus dan mendidik anak adalah tugas bersama antara ayah dan ibu.
Boleh dan tidak boleh suatu perbuatan bukan atas dasar gender, melainkan nilai moral yang
dikandungnya. Pendidikan yang paling efektif adalah keteladanan dan anak-anak belajar dari sana.
Orangtua yang memiliki kesadaran gender tinggi akan melahirkan anak-anak yang demikian pula, dan ini
berarti membekali anak-anak dengan ketrampilan hidup yang sesungguhnya.

Pendidikan adil gender di tingkat keluarga sangatlah penting untuk membangun relasi gender yang

lebih harmonis mulai dari tingkat keluarga sampai dengan tingkat nasional agar masyarakat adil dan
makmur dapat tercapai dengan lebih cepat dan lebih baik. Melalui manajemen sumberdaya keluarga
(yang terdiri atas sumberdaya materi, sumberdaya manusia, dan sumberdaya waktu) yang berwawasan
gender, maka diharapkan masalah kemiskinan yang mendominasi masyarakat pesisir akan teratasi
dengan lebih baik. Hal penting lain yang diharapkan berubah adalah adanya perubahan gradual terhadap
belenggu budaya yang merugikan masyarakat pesisir baik laki-laki maupun perempuan dalam menuntut
pendidikan formal di sekolah. Untuk itu, pengasuhan yang berwawasan gender adalah solusi yang tepat
untuk meningkatkan angkapartisipasi sekolah baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Sehingga diharapkan nantinya, isu gender yang bersifat negatif dapat berkurang dalam lingkungan
keluarga maupun masyarakat. Sehingga tak ada lagi perempuan yang merasa dirugikan atas adanya
pelabelan gender ini. Karena, pelabelan ini dapat menjadi penghalang aktivitas mereka. Banyak dari
perempuan yang berkecil hati karena adanya pelabelan ini. Banyak juga dari mereka yang akhirnya hanya
mengikuti arus yang ada di masyarakat tanpa mempedulikan perkembangan kepribadiannya sendiri.
Mereka beranggapan posisi mereka ada dibawah laki-laki. Hal ini mengakibatkan potensi para wanita
menjadi terisolasi dan susah untuk dieksplorasi. Untuk itulah, kesetaraan gender ini harus diperhatikan
dan dipahami oleh tiap-tiap individu baik itu laki-laki maupun perempuan, bahwa sebenarnya hak-hak
mereka adalah sama dan memiliki potensi yang sama untuk dapat mengembangkan kepribadiannya
sendiri-sendiri sehingga dapat melaksanakan fungsinya secara maksimal, baik itu fungsi dalam keluarga
maupun dalam ruang lingkup masyarakat luas. Oleh karena itu, kita harus menanamkan kesadaran
gender, baik untuk diri sendiri, maupun untuk anggota keluarga lain. Kesadaran ini perlu juga diajarkan
sejak dini, agar nantinya anak-anak telah memiliki pengetahuan tentang masalah gender ini.

Вам также может понравиться