Вы находитесь на странице: 1из 15

LOBSTER ( DELTRAS FC)

KELOMPOK 2

Dwi Mungallamah 1600008001

Anita Yuni Astuti 1600008034

Munawarah Fauziah 1600008118

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BIOLOGI
Logo Deltras FC
I. SEJARAH DAN ARTI LOGO

Delta Raya Sidoarjo (biasa disingkat: Deltras) merupakan sebuah klub sepak
bola profesional yang bermarkas di kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Klub yang
memiliki julukan sebagai The Lobster ini pada tahun 1989 saat didirikan
bernama Gelora Dewata '89 dengan home base Bali. Gelora Dewata didirikan oleh
pengusaha HM. Mislan. Gelora Dewata pindah ke Sidoarjo pada musim
kompetisi 2001 setelah menjalani beberapa pertandingan awal Divisi Utama LI 2001,
dengan menggunakan nama Gelora Putra Delta.

Gelora Delta Putra akhirnya berganti nama menjadi Delta Putra Sidoarjo
atau Deltras beberapa waktu kemudian (masih tahun 2001 juga). Pada 2003 hingga
saat ini, status kepemilikan berubah dari HM. Mislan kepada pemerintah kabupaten
Sidoarjo. Pada 2011, Pemkab mengganti nama klub menjadi Delta Raya Sidoarjo.

Sejarah panjang klub Delta Putra Sidoarjo (Deltras) harus berakhir pada 2016.
Itu setelah klub yang cikal bakalnya bernama Gelora Dewata meleburkan diri dengan
Persida Sidoarjo, klub kontestan Indonesia Soccer Championship(ISC)B.
Proses penyatuan Persida-Deltras berlangsung cukup cepat, hanya beberapa hari
sebelum kick off ISC B akhir pekan lalu. Bahkan saat berlaga di kandang PSBK
Blitar, nama tim yang tercantum adalah Sidoarjo United, bukan Persida Sidoarjo.
Ini merupakan merger ketiga di sepak bola nasional pada 2016 setelah sebelumnya
ada penyatuan Surabaya United dengan PS Polri dan PS TNI dengan Persiram Raja
Ampat. Merger Persida-Deltra dianggap solusi untuk mempertahankan eksistensi tim
profesional di Sidoarjo.

Persida sendiri sebenarnya kurang begitu siap berkompetisi karena memakai


pemain seadanya di ISC B. Pada akhirnya kedua tim sepakat meleburkan diri,
sehingga Persida mendapat bantuan kekuatan dari skuad The Lobsters, julukan
Deltras Sidoarjo. Ketua Umum Sidoarjo United Muhamad Mahfud mengakui proses
peleburan Persida-Deltras baru tercapai dua hari sebelum ISC B dimulai. Prosesnya
sendiri sebenarnya masih belum tuntas 100% karena masalah legal masih dalam
prosespenyelesaian. "Begitu tercapai kesepakatan merger, kami langsung memakai
nama Sidoarjo United saat bertanding di Blitar lawan PSBK. Kami yakin ini solusi
terbaik bagi Persida dan Deltras demi menjaga eksistensi tim sepak bola di Sidoarjo,"
jelas Mahfud.Mahfud yang juga Ketua Askab PSSI Sidoarjo menambahkan, merger
tersebut sementara ini membawa implikasi pada tim. Jefri Dwi Hadi dkk belum
optimal di laga perdana ISC B karena butuh waktu untuk menyatukan pemain Persida
dan Deltras.

Soal legal atau pembentukan PT baru, menurutnya masih dalam proses dan
akan dituntaskan secepatnya di notaris. "Memang yang masih dikerjakan adalah
pembuatan PT baru yang memayungi Sidoarjo United. Sementara ini masih pakai PT
Sidoarjo Bumi Jenggolo (PT yang menaungi Persida)," tambah dia.
Dengan demikian, untuk laga ISC B berikutnya tidak ada lagi Persida Sidoarjo di ISC
B, melainkan Sidoarjo United. Pihak Sidoarjo United juga berharap suporter Sidoarjo
bisa bersatu mendukung Sidoarjo United di kompetisi ISC B.

Perubahan besar terjadi di sepak bola Sidoarjo. Tak ada nama Persida
Sidoarjo sebagai peserta penyisihan Grup 6 pada ISC B yang mulai resmi digelar 30
April. Untuk menyelamatkan masa depan olahraga rakyat ini di pentas nasional,
Askab PSSI Sidoarjo terpaksa turun tangan dengan menggabungkan (merger) klub
Deltras yang berkiprah di Liga Nusantara dengan Persida yang manggung di Divisi
Utama. Proses merger dan pergantian nama dari Persida menjadi Sidoarjo United
berlangsung sangat cepat. Makanya ada keanehan pada laga di Stadion Soeprijadi
Blitar, Minggu (1/5/2016). Lawan yang dihadapi PSBK Blitar bukan Persida, tapi
Sidoarjo United. "Dua hari sebelum pertandingan pertama ISC B di kandang PSBK
Blitar, kami baru menyelesaikan proses merger itu. Makanya semuanya serba
mendadak. Pembentukan tim ini pun juga dalam waktu dua hari," ungkap Muhamad
Mahfud, Ketua Umum Sidoarjo United

Akibat merger dadakan itu, lanjut Muhamad Mahfud, permainan Jefri Dwi
Hadi dkk. masih banyak kekurangan. Namun dia bangga karena semua anak buah
pelatih Harmadi murni pemain lokal Sidoarjo."Jika melihat hasil dan permainan tadi
(melawan PSBK), cukup menjanjikan. Tapi masih banyak yang harus diperbaiki.
Maklum ini tim dadakan," tutur Muhamad Mahfud. Menurut Jamrawi, anggota Exco
Askab PSSI Sidoarjo, Sidoarjo United adalah langkah untuk menyelamatkan aset dan
sepak bola daerah.

"Karena merger, maka kini status Deltras dan Persida kembali menjadi klub
anggota Askab. Kami harus menyelamatkan Persida yang tak memilki dana untuk ikut
ISC B. Makanya pemilik Deltras, Achmad Amir Aslikin melakukan merger dengan
Persida," jelas Jamrawi.

Manajemen Sidoarjo United belum sempat mengganti nama PT Sidoarjo Bumi


Jenggolo yang selama ini menaungi Persida Sidoarjo. "Proses legal masih berjalan.
Sembari menunggu pergantian nama PT, kami memakai nama PT yang lama. Kami
harus menyelesaikan proses itu di notaris untuk pembuatan akta kepemilikan yang
baru untuk memayungi Sidoarjo United," papar Muhamad Mahfud yang juga Ketua
Askab PSSI Sidoarjo itu.

Dengan demikian hilang sudah sejarah panjang Deltras yang dulu bernama
dari Gelora Dewata (Bali), kemudian berganti nama Gelora Putra Delta (GPD).
Setelah diambilalih Pemkab Sidoarjo, GPD pun berubah menjadi Deltras Sidoarjo.
Begitu pula kisah Persida Sidoarjo sebagai eks klub Perserikatan.

Data Klub

PT DELTA RAYA SIDOARJO

Berdiri : 1989

Julukan : The Lobster

Alamat Jl. Pahlawan 200, Sidoarjo - Jawa Timur

Telp.031 - 75677656

Fax.: 031 - 75677656

Email : kontak@deltras-fc.com

Stadion : Gelora Delta, Sidoarjo

Kapasitas: 35.000 penonton

Suporter : Deltamania

Pelatih : Harmadi

Assisten Pelatih : Adi Putra Setiawan

Pelatih Kiper : Yono Karpono

Prestasi Deltras Fc

Liga Indonesia
 1994/95: Peringkat ke-5 Wilayah Timur
 1995/96: Ronde 12 Besar

 1996/97: Ronde 12 Besar

 1997/98: Kompetisi dihentikan

 1998/99: Peringkat ke-5 Grup D

 1999/00: Peringkat ke-12 Wilayah Timur

 2001: Peringkat ke-9 Wilayah Timur

 2002: Peringkat ke-5 Wilayah Timur

 2003: Peringkat ke-12

 2004: Peringkat ke-18

 2005: Peringkat ke-13 Wilayah Barat

 2006: Peringkat ke-12 Wilayah Timur

 2007: Ronde 8 Besar Divisi Utama (Peringkat ke-3 Wilayah Timur, lolos Superliga)

 2009/10: Runner-up (Promosi)

Superliga Indonesia

 2008/09: Peringkat ke-16 (Degradasi)


 2010/11: Peringkat ke-13

 2011/12: Peringkat ke-17 (Degradasi)

Piala Indonesia

 2005: Putaran 2
 2006: Perempat final
 2007: Perempat final

 2008/09: Semifinal

 2009/10: Putaran 1

II. GAMBAR HEWAN

Sumber : digilib.unila.ac.id Sumber : digilib.unila.ac.id

III. DESKRIPSI DAN KLASIFIKASI HEWAN

Lobster air tawar (Cherax) sudah dikenal masyarakat dunia, terutama Australia sejak
tahun 1975. Australia telah membudidayakan dan mengekspor Cherax ke berbagai negara
dalam 20 tahun terakhir. Namun di Indonesia, keberadaan Cherax ini masih tergolong langka,
baik kegiatan budidaya maupun aktivitas konsumsinya.

Menurut Holthuis (1949) dan Riek (1968), Cherax diklasifikasikan sebagai berikut:

Phylum : Arthropoda

Class : Crustacea

Ordo : Decapoda

Family : Parastacidae

Genus : Cherax

Species : Cherax quadricarinatus/ red claw,

Cherax destructor/ yabbie


Cherax tenuimanus/ marron

Menurut Lowery (1988), genus Cherax merupakan udang air tawar yang mempunyai
bentuk seperti lobster karena memiliki capit yang besar dan kokoh, serta rostrum picak
berbentuk segitiga yang meruncing. Di Indonesia, jenis udang ini belum banyak dikenal
masyarakat karena menurut Sabar (1975), genus Cherax masih hidup liar di sungai-sungai di
Irian Jaya. Martosudarmo & Ranoemihardjo (1980) mengemukakan bahwa tubuh udang
secara morfologi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu sefalothoraks (bagian kepala dan
dada) dan bagian abdomen (perut/badan), demikian juga tubuh Cherax. Layaknya krustasea
yang lain, Cherax memiliki kerangka luar dan tidak memiliki kerangka dalam. Sefalotoraks
terdiri atas sepasang antena, sepasang antenulla, sepasang maksila, mandibula, maksilipedia
dan 4 pasang kaki jalan (pereipoda) sedangkan abdomen terdiri atas 6 pasang kaki renang
(pleopoda), 2 pasang ekor samping (uropoda) dan satu buah telson. Penutup sefalothoraks
tersusun dari zat tanduk atau kitin yang tebal dan disebut karapas.

Gambar 1. Struktur morfologi Cherax (BPPT-LBN LIPI, 1983/1984)

Zat tanduk ini merupakan nitrogen polisakarida (C8H13O5N) x yang disekresikan


oleh epidermis dan dapat mengelupas (moulted) pada interval waktu tertentu. Fungsi karapas
adalah untuk melindungi organ-organ bagian dalam seperti insang, alat pencernaan termasuk
organ hepatopankreas, jantung dan organ reproduksi. Selanjutnya Martosudarmo &
Ranoemihardjo (1980) menerangkan bahwa tubuh Cherax terdiri atas segmensegmen atau
ruas-ruas, namun segmentasi ini tidak terlihat dari luar karena tertutup oleh karapas. Masing-
masing segmen memiliki anggota badan dengan fungsi bermacam-macam. Anggota badan
tersebut mulai dari ruas badan terdepan hingga ruas badan terakhir terdiri atas: tangkai mata,
antenulla, antena, mandibula, maksila, maksiliped, periopoda, pleopoda, dan uropoda. Secara
garis besar struktur tubuh Cherax tidak terlalu berbeda dengan struktur tubuh udang jenis
lainnya.
Selandia Baru, Irian, dan Amerika Selatan merupakan salah satu genus yang cukup
terkenal adalah genus Cherax (Francois, 1960). Holthuis (1949) melaporkan bahwa genus
Cherax banyak terdapat di daerah Australia, Irian dan pulau-pulau di sekitarnya. Hingga kini
telah diketahui bahwa di Irian Jaya terdapat 12 spesies, di Papua New Guinea ada dua spesies
(Sabar, 1975) sedangkan di Australia ada 27 spesies (Riek, 1968). Di Irian Jaya, menurut
Sabar (1975), setiap spesies Cherax memiliki nama lokal yang berbeda-beda, antara lain Udi,
Obawo, Dede, Murido, Talia, Bopa, dan Juri. Menurut Salmon & Hyatt (1983) teritorialitas
atau sistem daerah teritorial merupakan ciri utama pada hewan krustasea, terutama ordo
Decapoda, karena pada umumnya jenis hewan ini sangat suka berkelahi. Namun Masser &
Rouse (1997) berpendapat sebaliknya bahwa Cherax jenis red claw relatif suka berkelompok
dan toleran terhadap kondisi yang padat, meskipun pada umur muda sering menunjukkan
sifat agresif yang tinggi dengan perilaku kanibalisme. Odum (1994) mendefinisikan habitat
atau tempat tinggal adalah suatu ruang tertentu sebagai tempat suatu organisme, yang terdiri
atas faktor-faktor fisika, kimia, dan biologi. Habitat Cherax adalah aliran air yang dangkal
dan perairan tawar (Storer & Usinger, 1961), misalnya danau, rawa dan sungai. Frost (1975)
melaporkan bahwa Cherax di Australia hidup pada kedalaman 0,8--1,0 meter. Kedalaman
kurang dari 0,8 meter menyebabkan kematian karena perubahan suhu selama musim panas.
Menurut Rouse (1977), habitat alami Cherax jenis red claw adalah wilayah tropis Australia
bagian utara yaitu daerah Queensland. Genus Cherax yang ada di Danau Paniai, Irian Jaya
hidup di dasar perairan dan kadangkadang membenamkan diri di lumpur (Anonim, 1977).
Menurut Holthuis (1949), Cherax dapat hidup di daerah dataran rendah maupun dataran
tinggi. Mereka cenderung bersembunyi di celah dan rongga bebatuan, potongan pohon dan di
antara akar tanaman rawa (Iskandar, 2003). Rouse (1977) mengemukakan, dari banyak
spesies Cherax yang ada di Australia, ada tiga spesies yang saat ini sedang digalakkan
pembudidayaannya, yaitu Cherax tenuimanus (marron), Cherax destructor (yabbie) dan
Cherax quadricarinatus (red claw). Ketiga spesies ini berasal dari wilayah Australia yang
berbeda dengan penyebaran alamiah yang berbeda pula. Gambar 3 menampilkan peta
distribusi dari tiga spesies Cherax di Benua Australia. Sebelum tahun 1975, hanya sedikit
sekali yang mengetahui mengenai reproduksi Cherax ini.

IV. HABITAT DAN PENYEBARAN


Francois (1960) mengemukakan bahwa jenis lobster air tawar terdiri atas famili
Astacidae yang terdapat di belahan bumi utara, dan famili Parastacidae di belahan bumi
bagian selatan. Riek (1968) menyatakan bahwa famili Parastacidae yang terdiri atas 14 genus
tersebar di belahan bumi selatan, yaitu Madagaskar, Tasmania, Australia, Selandia Baru,
Irian, dan Amerika Selatan. Salah satu genus yang cukup terkenal adalah genus Cherax
(Francois, 1960).

Holthuis (1949) melaporkan bahwa genus Cherax banyak terdapat di daerah Australia,
Irian dan pulau-pulau di sekitarnya. Hingga kini telah diketahui bahwa di Irian Jaya terdapat
12 spesies, di Papua New Guinea ada dua spesies (Sabar, 1975) sedangkan di Australia ada
27 spesies (Riek, 1968). Di Irian Jaya, menurut Sabar (1975), setiap spesies Cherax memiliki
nama lokal yang berbeda-beda, antara lain Udi, Obawo, Dede, Murido, Talia, Bopa, dan Juri.
Menurut Salmon & Hyatt (1983) teritorialitas atau sistem daerah teritorial merupakan ciri
utama pada hewan krustasea, terutama ordo Decapoda, karena pada umumnya jenis hewan ini
sangat suka berkelahi. Namun Masser & Rouse (1997) berpendapat sebaliknya bahwa Cherax
jenis red claw relatif suka berkelompok dan toleran terhadap kondisi yang padat, meskipun
pada umur muda sering menunjukkan sifat agresif yang tinggi dengan perilaku kanibalisme.

Odum (1994) mendefinisikan habitat atau tempat tinggal adalah suatu ruang tertentu
sebagai tempat suatu organisme, yang terdiri atas faktor-faktor fisika, kimia, dan biologi.
Habitat Cherax adalah aliran air yang dangkal dan perairan tawar (Storer & Usinger, 1961),
misalnya danau, rawa dan sungai. Frost (1975) melaporkan bahwa Cherax di Australia hidup
pada kedalaman 0,8--1,0 meter. Kedalaman kurang dari 0,8 meter menyebabkan kematian
karena perubahan suhu selama musim panas.

Menurut Rouse (1977), habitat alami Cherax jenis red claw adalah wilayah tropis
Australia bagian utara yaitu daerah Queensland. Genus Cherax yang ada di Danau Paniai,
Irian Jaya hidup di dasar perairan dan kadangkadang membenamkan diri di lumpur (Rouse,
1977). Menurut Holthuis (1949), Cherax dapat hidup di daerah dataran rendah maupun
dataran tinggi. Mereka cenderung bersembunyi di celah dan rongga bebatuan, potongan
pohon dan di antara akar tanaman rawa (Iskandar, 2003). Rouse (1977) mengemukakan, dari
banyak spesies Cherax yang ada di Australia, ada tiga spesies yang saat ini sedang digalakkan
pembudidayaannya, yaitu Cherax tenuimanus (marron), Cherax destructor (yabbie) dan
Cherax quadricarinatus (red claw). Ketiga spesies ini berasal dari wilayah Australia yang
berbeda dengan penyebaran alamiah yang berbeda pula. Gambar 3 menampilkan peta
distribusi dari tiga spesies Cherax di Benua Australia. Sebelum tahun 1975, hanya sedikit
sekali yang mengetahui mengenai reproduksi Cherax ini. Setelah produksi Cherax
mendapatkan status legal di Australia banyak ahli akuakultur yang antusias untuk meneliti
potensi jenis udang liar ini untuk dibudidayakan. Genus Cherax ini kemudian banyak
dipelajari dari berbagai aspek, bahkan Australia telah mengekspornya sejak 20 tahun terakhir
dengan label perdagangan ’spiny lobster’ dan harganya cukup baik. Tanpa disadari,
penyebaran genus Cherax asal Australia ini kini meluas ke seluruh negara, dan permintaan
pasar akan jenis udang ini sangatlah tinggi.

Bardach et al. (1972) menyatakan bahwa pertumbuhan optimum Cherax adalah pada
kisaran suhu 21oC--29 oC. Suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan mengganggu
pertumbuhan dengan kecenderungan membenamkan diri dalam lumpur atau menjadi tidak
aktif. Kondisi kualitas air optimal untuk Cherax jenis red claw meliputi: oksigen > 1 mg/L,
kesadahan dan alkalinitas 20--300 mg/L, dan pH 6,5--9,0. Jenis red claw dewasa
menunjukkan toleransi terhadap kadar oksigen terlarut sampai 1 mg/L, tetapi red claw muda
lebih rentan. Red claw juga toleran terhadap konsentrasi amonia terionisasi sampai 1,0 mg/L
dan nitrit sampai 0,5 mg/L dalam jangka waktu yang pendek (Rouse, 1977).

Frost (1975) berpendapat, genus Cherax merupakan pemakan oportunis, terutama


sisa-sisa tumbuhan (serasah) dan koloni mikroba yang banyak ditemukan pada dasar kolam.
Menurut Iskandar (2003), lobster air tawar adalah pemakan segala (omnivora), tetapi menurut
Goddard (1988), termasuk hewan herbivora dan karnivora. Cherax sebagai herbivora
memakan tanaman air, wortel, kentang, bayam, pisang dan tomat; sedangkan sebagai
karnivora memakan moluska, larva serangga, cacing, krustasea kecil, amfibi, dan pemakan
jenis sendiri (kanibalisme). Sedangkan Rouse (1977) melaporkan bahwamakanan alami yang
cocok untuk Cherax adalah jenis makanan seperti wortel, seledri dan hati. Meskipun Cherax
dapat tetap bertahan hidup dan tumbuh tanpa makanan tambahan (Kondos, 1990;
LoyaJavellana et al., 1993), tetapi tingkat pertumbuhan terbaik hanya dapat dicapai bila
pasokan makanan cukup. Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan pelet komersial
dapat memberikan hasil yang memuaskan.

Tingkat pertumbuhan benih yang bagus dapat juga dicapai jika zooplankton
berkembang dengan baik di kolam. Lobster air tawar aktif mencari makan pada malam hari
(nokturnal). Pada kolam pembudidayaan, Jones & Ruscoe (2001) menyarankan penggunaan
bahan-bahan tertentu seperti pipa PVC, batu koral, batu bata atau mesh sebagai tempat
persembunyian, karena sifatnya yang suka menggali untuk bersembunyi.

V. PERILAKU HEWAN

Lobster di habitat aslinya, mencari makan pada malam hari atau yang dikenal
nocturnal. Untuk mencari makan, lobster akan bersembunyi di akar-akar pohon atau dekat
lubang. Makanan lobster berupa umbi-umbian, biji-bijian, dan bangkai hewan ,pada kondisi
air yang mempunyai suhu 20-24oC dan pH 7. Lobster Cherax quadricarinatus, ini termasuk
jenis binatang omnivora (sumber nabati dan hewani). Lobster Cherax quadricarinatus, juga
aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal), sedangkan pada malam hari aktifitas sedikt
atau lebih banyak berdiam diri. Lobster biasa memangsa dan mengonsumsi udang-udang
kecil dan memangsa lobster kecil sehingga memiliki sifat kanibal.

Hewan ini dihabitat aslinya makan dari hewani (zoo), seperti cacing tanah, cacing air,
plankton, juga dari tumbuhan (fito), seperti lumut akar selada air. Dalam wadah budidaya
lobster air tawar biasa makan keong emas, daging ikan, cacing darah (blood worm), potongan
daging segar (rucah), kentang, ubi-ubian, kacang hijau dan lain-lain. Pakan buatan yang
dimakan lobster air tawar adalah jenis pellet udang galah, sementara kandungan oksigen 7-10
ppm. Lobster air tawar adalah jenis udang yang hidup di perairan darat (tawar), meskipun
secara umum hampir sama dengan udang air tawar lainnya, tetapi udang lobster air tawar
memiliki karakteristik yang bersifat khusus dan berbeda yaitu sebagai berikut:

1. Lobster air tawar beraktifitas pada malam hari, sementara pada siang hari, cendrung
bersembunyi di balik bebatuan atau naungan lainnya
2. Lobster air tawar merupakan pemakan oportunitis, terutama sisa-sisa tumbuhan
(serasa) dan mikroba yang ditemukan di dasar kolam. Jika sudah dewasa lobster air
tawar akan memakan segala jenis makanan (omnivira), terutama tumbuhan-tumbuhan
dan binatang air, baik yang masih dalam keadaan segar maupun yang telah membusuk
3. Selama hidupnya, lobster air tawar sering berganti kulit (moulting), terutama pada
fase juvenile (beruayak)

4. Lobster air tawar mempunyai sifat kanibal

5. Lobster air tawar cenderung berjalan dengan merambat/memanjat, bukan dengan


berenang

6. Salah satu sifat unik dari lobster air tawar yaitu pengembara, akan berpindah tempat
jika terjadi perubahan lingkungan yang ekstrim

7. Lobster air tawar tidak mengenal musim kawin. Pada kondisi sehat dan lingkungan
mendukung akan selalu kawin dan bertelur

8. Lobster air tawar dapat hidup selama kurang lebih 80 jam tanpa air pada suhu udara
120C dan lembab.

Siklus hidup lobster air tawar semuanya dilakukan di air tawar, mulai dari pengeraman telur
sampai dengan telur menetas. Setelah anakan menetas, induk mengasuh benih sampai
berbentuk juvenil.
VI. DAFTAR PUSTAKA

Bardach, J.E., J.H. Rhyter, and W.O. McLarvey. 1972. Aquaculture, the Farming and

Husbandry of Freshwater and Marine Organism. Willey Interscience. 651 pp.

BPPT-LBN LIPI. 1983/1984. Pengkajian Ekologi Udi, Cherax monticola sebagai Dasar

Teknik Budidaya (Progress Report). BPPT-LBN LIPI. 112 pp.

Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Provinsi Papua. 2003. Inventarisasi Potensi

Pengembangan Udang Cherax spp. Di Kabupaten Jayawijaya (Laporan Akhir). PT


Parama Iruf Consultan Papua. 59 pp.

Francois, D.I. 1960. Freshwater Crayfish. Aust. Mus. Mag. 13 (7): 217—220.

Holthuis, L.B. 1949. Decapoda Macrura with Revision of the New Guinea Parastacidae.

Iskandar. 2003. Budidaya Lobster Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.

Jones, C.M., C.P. McPhee, and I.M. Ruscoe. 2000. A review of genetic improvement in

growth rate inredclaw crayfish Cherax quadricarinatus (Decapoda:Parastacidae).


Aquaculture Research. 31: 61— 67.

Martosudarmo, B. dan B.S. Ranoemihardjo. 1980. Biologi Udang Penaeid. In Pedoman

Pembenihan Udang Penaeid. Ditjen Perikanan Jakarta. p. 1—21.

Masser, M.P. and D.B. Rouse. 1997. Australian Redclaw Crayfish. Southern Regional

Aquaculture Center. 244 pp.


Molony, B., N.M. Morrissy, and C. Bird. 2002. The West Australian recreational marron

fishery (Cherax tenuimanus Smith): history and future challenges. Freshwater


Crayfish. 13: 207—220.

Odum, E.P. 1994. Dasar-dasar Ekologi (terjemahan). Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Riek, E.F. 1968. The Australian Freshwater Crayfish (Crustacea: Decapoda: Parastacidae),

with Description of New Species. Australian Journal Zoology. 17(3): 855— 918.

Rouse, D.B. 1977. Production of Australian Red Claw Crayfish. Auburn University.

Alabama. USA.

Sabar, F. 1975. Udi (Crayfish) di Irian. Buletin Kebun Raya. 2(1): 27—29.

Salmon, M. and G.W. Hyatt. 1983. Communication p. 1— 40. In D.E. Bliss (Ed.) The

Biology of Crustacea. Vol II: Behaviour and Ecology. Academic Press. New York. p.
179—270.

Storer, T.I. and Usinger. 1961.Element of Zoology. Second Edition. McGraw-Hill Books

Company Inc.

Wiyanto, H. dan R. Hartono. 2003. Lobster Air Tawar, Pembenihan dan Pembesaran.

Penebar Swadaya. Jakarta. 79 pp.

Zoological Results of the Dutch New Guinea Expedition. Nova Guinea. New Ser. 5: 289—

328.

Вам также может понравиться